Anda di halaman 1dari 19

1

Diponegoro dan Alam: Sekilas mengenai


sebuah hidup ekologis pada Tatanan Lama
Jawa (1785-1855)

Gambar 1: Sketsa arang Diponegoro sebagai orang muda, mungkin dibuat oleh seorang seniman
Keraton Yogya saat pernikahannya dengan istri sahnya yang pertama (putri Bupati Yogya untuk
Panolan—sekarang Cepu—Raden Tumenggung Notowijoyo III, menjabat 1803–1811) pada 25
Februari 1807. Inilah satu-satunya sketsa yang menampilkan Diponegoro dalam busana keraton Jawa
berupa surjan dan blangkon. Foto seizin almarhumah Ibu Dr Sahir (piut Diponegoro), Jl. Nyoman
Oka 7, Kota Baru, Yogyakarta, September 1972
2

Pengantar

Pangeran Diponegoro (1785-1855) adalah pahlawan nasional nomor wahid di


Indonesia. Tapi masih ada banyak yang masih samar dalam hidupnya.
Seumpamanya kita memanggil beliau hidup kembali kepada zaman sekarang, seperti
dikhayalkan Chairil Anwar (1922-49) dalam syair yang dahsyat ‘Diponegoro’ (1943),
bagaimana sang Pangeran akan bertindak terhadap ancaman yang paling nyata yang
ada di depan mata kita—kerusakan alam dan perubahan iklim? Jawab pertanyaan ini
paling baik dicarikan selama dasawarsa dimana ia tumbuh dewasa di bawah didikan
sang eyang-buyutnya yang teguh di kediaman di Tegalrejo barat laut Yogya pada
1793-1803. Inilah tahun-tahun waktu Diponegoro remaja dididik sebagai mistikus
dalam ajaran tasawuf garis tarekat Shattariyah, tarekat yang digemari sang eyang-
buyutnya—Ratu Ageng (pra-1792, Ratu Kadipaten; sekitar 1732-1803)—yang telah
lama menjadi pentolannya di Yogyakarta. Tentu pengaruh ajaran mistik Islam dan
suasana sunyi padesaan di sekitar Tegalrejo membentukan karakter dan sikap peduli
lingkungan dengan kapasitas membaca alam dan zaman, yang dalam bahasa Inggris
dijuluk ‘the wisdom of a simple man’ (kearifan manusia bersahaja).

Gambar 2: Lukisan khayali berwarna yang menggambarkan Pangeran Diponegoro di Benteng


Rotterdam sedang membaca sebuah teks tentang ilmu mistik Islam (tasawuf) didampingi istri yang
sah, Raden Ayu Retnoningsih (sekitar 1810-1885), dan seorang putra— disebut Pangeran “Ali
Basah”—yang sedang melihat punakawan, Bantengwareng, atau bayangan sebuah makhluk halus.
Foto dari Leiden Codex Orientalis 7398, koleksi Snouck Hurgronje, seizin Universiteitsbibliotheek
Leiden (UBL).
3

Ini dengan terang bisa dilihat ketika ia menulis—atau lebh tepat mendiktekan
tekst—babadnya (Babad Diponegoro) di Manado antara Mei 1831 dan Februari 1832
waktu ia berusaha untuk mencari pembenaran pemberontakan yang dilakukannya
dalam pandangan dan pengertian kebudayaan dan kosmis Jawa yang tradisional.
Tentu saja perbuatannya sama sekali tidak menyangkal pengaruh Islam yang begitu
penting. Ini dengan mudah dapat dilihat di dalam perjalanan hidup Pangeran serta
babadnya. Demikianlah misalnya, masa kanak-kanak dan remaja Diponegoro yang
tampaknya hampir dapat dipastikan merupakan sesuatu yang unik di kalangan kaum
bangsawan Yogyakarta pada masa itu. Ia hidup tinggal jauh dari istana dan banyak
bergaul dengan masyarakat agama dari pondok pesantren. Sejak kecil ia menjalani
hubungan dengan para kiai serta guru agama Islam di daerah sekitar kediamannya
di Tegalrejo (Carey 2018:94 catatan 66), termasuk guru ageng, Kiai Taptojani
(sekitar 1755-1828), dari Melangi yang membuat sebuah terjemahan dalam bahasa
Jawa dari sebuah buku tafsir tulisan Arab yang terkenal, Sirat al-Mustaqim (“Jalan
Yang Lurus”)(Carey 1975:341-44; 2012:105-6). Ia juga banyak membaca
kesusastraan Islam dan baik ia sendiri, maupun keluarganya, terkenal karena tingkat
peradaban mereka yang tinggi, sampai panglima Belanda sendiri, Jenderal Hendrik
Merkus de Kock (1779-1845), mencatat mereka sebagai sebuah keluarga “yang luar
biasa sopan-santun (zeer beschaafd)” (Carey 2018:94 catatan 67). Tidak ada
keraguan bahwa ia tekun dan tulus dalam melakukan pengkajian dan melaksanakan
kewajiban keagamaannya, sampai-sampai ia dihinakan oleh orang sezaman itu,
salah satunya kaum bangsawan Yogyakarta, atas sikapnya yang terlalu “menyantri”
(Carey 2018:95 catatan 68).

Diponegoro muda juga dibiasakan oleh eyang buyutnya untuk hidup hemat
dan untuk bertindak sangat berhati-hati dengan uang, sebuah sikap yang
dikomentari oleh Gubernur Militer dan Sipil Celebes, Pieter Vreede-Bik (1806-1883;
menjabat 1849-52), saat Diponegoro dan keluarganya hidup sebagai tahanan politik
di dalam Fort Rotterdam. Vreede-Bik menulis bahwa Pangeran, isteri, dan enam
anaknya, “nyaris dalam kemiskinan” tidak hanya sebab mereka kekurangan
tunjangan bulanan dari Keraton Yogyakarta, 1 tapi juga oleh sebab sikap Diponegoro
1
Setia dengan cita-citanya untuk hidup seperti pengemis dan dengan maksud menabung sejumlah
uang untuk melaksanakan rencananya naik haji, Diponegoro mulai sangat hemat dengan uang
tunjangannya di pengasingannya di Manado. Pada akhir 1830, Residen Manado, Daniel François
Willem Pietermaat (1790-1848; menjabat, 1827-31), menjadi gempar jangan-jangan Pangeran itu
sedang membentuk “pundi-pundi perang” karena begitu besar nian tabungannya dalam bentuk uang
dan barang perhiasan. Ia pun secepatnya memutuskan untuk mengurangi pendapatan bulanan
4

yang dengan sengaja hidup sangat pas-pasan dan menolak minta bantuan uang
tambahan dari Belanda (Carey 2012:889 cstatan 269). Sikap yang sama terkuak
sebelum Perang Jawa, waktu ia menjabat sebagai wakil (wakil-Dalem) keponakan
yang telah menjadi Sultan pada umur tiga tahun, Hamengku Buwono V (bertakhta
1822-26/1828-55). Saat menjabat wakil sang pangeran mengeloh mengenai sikap
boros perdana menteri (patih) Yogyakarta yang korup, Danurejo IV (sekitar 1780-
1849; menjabat 1813-47), dan situasi dimana sang patih memanfaatkan lahan dan
kaveling kepunyaan Keraton Yogyakarta untuk membangun gedung baru dan
mencetak uang untuk diri sendiri:

“Ketika saya sudah keluar dari Keraton [Pangeran merujuk kepada saat ia
mengundurkan diri sebagai wakil-Dalem HB V pada Febuari 1824], saya mendengar
bahwa uang di perbendaharaan [Keraton] sudah habis, meskipun semua orang
berpikir bahwa seharusnya masih banyak uang yang tersisa. Patih (dengan sangat
meremehkan) membutuhkan uang, pertama untuk alasan ini itu, [dan] selalu ada saja
yang dibangun.” (Louw dan De Klerck 1894-1909, V:743)

Gambar 3: Pangeran Diponegoro (pakaian hitam) memberi sejumlah perintah kepada dua
orang pengikutnya, Kiai Joyomustopo dan Kiai Mopid, sebelum mereka memulai ziarah ke Gua Batu
di Pulau Nusa Kambangan Diponegoro sedang duduk di keteduhan pohon kemuning di atas batu
samadi bernama Selo Gilang di tempat menyepi (panepen) di Selorejo tepat arah timur laut Tegalrejo.
KITLV Oriental MS 13 (Buku Kedung Kebo), f.81v. Foto seizin Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL).

Pangeran itu sebanyak dua pertiga hingga tinggal 200 gulden saja. Hal ini sangat keterlaluan karena
Diponegoro memerlukan separo tunjangannya ini hanya untuk membayar upah para pembantu dan
belanja dapur, tapi demi harga dirinya ia diam saja dan hanya berkata, “Tidak apa-apa. Gubernemen
menetapkan pendapatan saya f. 600 [gulden] tanpa minta pendapat saya dan sekarang gubernemen
tentu boleh bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya pantas!” Lihat Carey 2012:861-62.
5

Perawakan tubuh Diponegoro yang kuat dan kemampuannya memikul derita


berat, termasuk serangan malaria tropika yang parah pada akhir Perang Jawa,
menyebabkan Pangeran seorang yang sangat tergantung terhadap pengobatan
tradisional. Selama Perang Jawa, ia mempunyai dokter pribadi, seorang muslim
Benggala bernama Nurngali yang mungkin bekas sepoy Benggala yang tetap tinggal
di Jawa setelah pemerintahan Inggris berakhir pada 1816 (Carey 1977:310, 322
catatan 117; hlm. 500-1). Ia merawat kesehatan pangeran dan keluarganya, demikian
juga para panglimanya yang utama. Kemudian, selama perjalanan ke Manado,
Diponegoro mengungkapkan sikapnya yang menganggap rendah cara pengobatan
Barat kepada perwira Jerman yang menjadi paswalnya, Julius Heinrich Knoerle
(1795-1833):

“Bagaimana kamu bisa bicara kepada saya tentang dokter-dokter dan obat-obat
Belanda […] [bila] tiap hari ada orang mati dalam kapal ini yang dilemparkan ke laut?
Betapa takhayul [kamu] orang Eropa mengenai dokter-dokter [kamu]! ”

Selama perjalanan itu, ia terus merawat diri sendiri dengan ramuan rempah-rempah
Jawa (jamu) seperti beras kencur dan kedawung, serta selama beberapa hari hanya
makan ubi kering untuk menangkal akibat mabuk laut. Makan sirih salah satu di
antara sedikit kebiasaannya; tampaknya ia terus-menerus melakukannya,
sedemikian rupa sehingga ia malah mengukur waktu berapa lama ia butuhkan untuk
mengunyah seracikan kapur, daun sirih, dan pinang. Memang, di antara segelintir
barang milik pribadi yang masih ada dari masa pengasingannya di Makassar (1833–
1855) terdapat beberapa potong sapu tangan bermotif Paisley kotak-kotak kotor yang
digunakan oleh Pangeran menyeka cairan sirih dari mulutnya (wawancara penulis
dengan almarhum Raden Mas Jusuf Diponegoro dan almarhum Raden Saleh
Diponegoro, Jalan Irian no. 83, Makassar, 8 September 1972).

Lalu, bagaimana dengan Tegalrejo sendiri? Seperti apa gerangan keadaan


permukiman penyandang nama sarat makna “Lahan Kemakmuran” itu? Pada saat
wafatnya Ratu Ageng pada 16 Oktober 1803, Tegalrejo boleh jadi sudah merupakan
permukiman mengesankan yang mencakup perumahan luas dengan taman, kebun
pekarangan, dan kolam-kolam (salah satunya diduga tempat Ratu Ageng tercebur
pada awal penyakit yang mengakibatkan kematiannya), dan juga berhektar-hektar
6

sawah di sekitarnya yang pada 1798-99 menghasilkan 11 metrik ton (74 amet, 1 amet
= 150 kilogram) beras per tahun, sebagiannya digunakan untuk pesta keagamaan
(ajat), sebagiannya membantu para petugas agama (abdi-Dalem perdikan) dengan
pembebasan pajak (Carey dan Hoadley 2000:135–6; Carey 2012:91 catatan 31).
Seorang pengunjung Belanda, Predikant (Pastor) Jan Frederik Gerrit Brumund
(1814-63), yang memeriksa reruntuhannya (permukiman itu sudah dibakar pada
awal Perang Jawa) pada akhir 1840-an menggambarkannya dengan rasa kagum
(Brumund 1854:184–5):

Para pangeran Yogyakarta agaknya bertempat tinggal lebih baik daripada sekarang.
Sekurang-kurangnya saya tahu tidak ada permukiman pangeran di Yogya yang dapat
dibandingkan dengan yang dulu ada di Tegalrejo. Rumah-rumah [para pangeran]
[sekarang] kebanyakan [terbuat dari] kayu [dan] bangunannya rendah, kecil, dan
sepele. [Namun], [permukiman] Diponegoro besar, luas, bangunannya tinggi dan
semuanya terbuat dari tembok. Sepanjang kedua sisinya terdapat rentetan rumah-
rumah tembok yang tidak kurang besar dan luas. Di sanalah tempat menginap teman-
teman [Diponegoro] dan ulama yang datang berkunjung. Ada juga beberapa gudang
[untuk menyimpan hasil-hasil pertanian Tegalrejo], dan tempat-tempat bagi para
pengikut dan pembantunya. Pengikut lainnya tinggal di desa yang mengelilingi wisma
pangeran [dalem].”
7

Gambar 4: Peta dari tata letak permukiman Tegalrejo dan sekelilingnya, sekitar 1830,
dengan skala satu inci ke 100 meter. Disadur dari Louw dan De Klerck 1894-1909, I: “Plattegrond van
de hoofdplaats Jogjakarta omstreeks 1830 (Denah ibu kota Yogyakarta sekitar 1830)”, oleh J. Wilbur
Wright dari Oxford.

A Pendapa induk di Tegalrejo


B Rumah luar yang mengelilingi pendapa induk
C Masjid (belum selesai saat pecahnya Perang Jawa)
D Tempat samadi Diponegoro di Selorejo dan pemakaman keluarga setempat (lihat
Gambar 3)
E Gerbang di dinding barat permukiman Tegalrejo yang digunakan oleh Diponegoro
dan Mangkubumi menyingkirkan diri pada 20 Juli 1825
F Desa Tompéyan (bagian Tegalrejo) dan sawah sekitarnya
G Sawah-sawah yang dikenal sebagai ‘Sawah Muntru’ milik permukiman Tegalrejo
8

Gambar 5: Surat asli Diponegoro kepada ibunda, Raden Ayu Mangkorowati (sekitar 1770-
1852), menggunakan kertas impor Belanda tanpa pasir untuk mengeringkan tinta. Diponegoro,
seorang autodidact, menulis surat-surat tersebut pada akhir April atau awal Mei 1830 di tempat
tahanan di Stadhuis (sekarang Museum Sejarah Jakarta), sebelum ia berangkat ke Manado (3
Mei 1830). Foto seizin Koninklijke Militaire Akademie (KMA), Breda.

Pengunjung Belanda itu terus menggambarkan dengan rinci tata letak bangunan
rumah itu sendiri, yang mencakup sisa-sisa suatu pendapa atau balai pertemuan
besar tanpa dinding dan serambi yang cocok sebagai tempat pertunjukan wayang
yang, bersama dengan gamelan, menurut sumber-sumber lain sangat disukai oleh
Diponegoro (Carey 2012:100 catatan 52). Pengunjung tersebut juga memberi
perhatian pada dinding tembok tinggi yang mengelilingi pekarangan rumah itu dan
banyak pohon buah-buahan yang ditanam di permukiman itu (Brumund 1854:185).

Walaupun rumah asli dan taman permukimannya dirancang atas petunjuk


Ratu Ageng, Diponegoro tampaknya berperan dalam mengembangkan karakter dan
9

bentuk di Tegalrejo kelak pasca wafatnya sang Ratu pada 16 Oktober 1803. Dalam
babad karyanya, ia menceritakan berapa banyak bangunan diperbaiki dan diperbesar
setelah nenek buyutnya wafat, kemungkinan besar untuk menampung pengunjung
yang makin banyak, khususnya para santri kelana dan rohaniwan Islam lain yang
datang bergabung dalam ibadah dan diskusi agama (Carey 2012:100 catatan 58).
Menurut Pangeran, jumlah orang yang ikut ibadah di Tegalrejo “melampaui jumlah
orang yang ikut ibadah semasa hidup nenek buyutnya” (XIV.61. […] mangkana
Tegalreja/ langkung duk kang éyang swargi/ kang ibadah tanapi kathah ing
tiyang// 62. Miwah ingkang weangunan / sedaya mapan wus salin) (Babad
Dipanegara 2010, II:47). Barangkali pada waktu itulah dibuat rencana untuk
mendirikan masjid dari tembok di Tegalrejo, bangunan yang sudah hampir selesai
pada saat pecahnya Perang Jawa. Sebagaimana kemudian Diponegoro merenungkan
(Louw dan De Klerck 1894–1909, V:744; Van der Kemp 1896a:418; Carey 1992:495
catatan 464):

Saya selalu mempunyai keinginan untuk memiliki masjid yang benar-benar bagus
[dan] saya mengeluarkan banyak uang untuk masjid yang [saya bangun] di Tegalrejo,
yang benar-benar hampir rampung saat saya harus menyingkir [20 Juli 1825] [...]
masjid senantiasa menyenangkan buat saya: orang tidak selalu harus sembahyang di
sana, tapi masjid mengarahkan hati ke keikhlasan agamis.
Seperti Ratu Ageng sebelum dia, Diponegoro menaruh perhatian pada susunan
letak pepohonan dan tambak-tambak di Tegalrejo, dan kemudian membangun suatu
tempat menyepi di Selorejo tepat di balik pagar tembok timur-laut Tegalrejo, di
mana ia sering bersamadi dan berdoa (lihat Gambar 4). Tempat menyepi ini
dikelilingi dengan telaga kecil berisi ikan beraneka macam, dan pulau kecil tempat
bangunan samadi itu didirikan ditanami dengan beragam jenis tumbuhan,
khususnya kemuning (Brumund 1854:192–4; Carey 1981a:236–7 catatan 14).
Dengan bunga putihnya yang harum semerbak, pohon ini, yang disukai di Jawa
untuk keteduhan makam dan tempat-tempat suci, akan menebarkan “lapisan bunga
putih” di kepala pangeran selama ia duduk bersamadi (Brumund 1854:188; Van
Raay 1926-27:51). Agaknya ada juga sebatang pohon beringin yang menjadi nama
pulau kecil itu, Pulo Waringin. Sang pangeran juga memberi perhatian pada masalah
tata-letak kebun buah-buahan, sayur-mayur, dan semak-belukar di atas
lahanlahannya di Selarong dekat Gua Secang di Kabupaten Bantul di sebelah selatan
Yogyakarta yang juga digunakannya sebagai tempat menyepi selama bulan puasa
dan yang perlengkapannya kemudian akan ia perluas secara besar-besaran (Carey
10

2020:238–40 catatan 20-25; Louw dan De Klerck 1894–1909, I:435–7; hlm. 429,
664-8, 677-80). Diponegoro sempat menyumbar, “tiada yang terdapat di dunia ini
yang tak bisa tumbuh subur di bumi Jawa” (Carey 2012:101), dan di dalam Babad
Dipanagara versi Surakarta (1825) kita bisa membaca bagaimana Diponegoro
mengelola kebun di tempat meditasi—retret—di Selarong di areal Bantul barat daya
Yogya:

“I.11. […] Sang Pangeran membuat satu tempat istirahat (pacengraman) lagi / di
[tempat] yang namanya Selarong. 12. Letaknya di sebelah barat daya negeri [Yogya]/
[dan] di sebelah selatan Ambarketawang [Gamping]/ di daerah Bukit Selarong./ Satu
gedung besar dibuat,/ satu tempat hiburan seperti kota./ Ada tiga lapis pintu gerbang
dan satu tempat yang kelihatan seperti alun-alun./ Di sebelah timur laut dari bukit/
ada semacam gua yang besar yang namanya Gua Secang,/ [di luar itu] dibuat kebun.
13. Pohon durian, dan manggis ditanam disana,/[dengan] buah krian, duku, langsat,
kukusan./ jambu, limau, buah rambai,/ mundu, careme, sentul/ [dan] pinang yang
baru saja berbuah. / Di tempat yang agak jauh/ ditempatkan pohon kelapa gading/
[dan] dekat mulut [gua]/ diatur sayur-sayuran yang banyak:/ jagung, cantel, juwawut,
jarak dan jali,/ nanas hijau [dan] nanas merah. 14. Cili, terong [dan] buah-buahan
tumbuh dengan lebat sekali, / buncis hijau [dan] buncis yana,/ kacang pendek, kacang
hijau/ [dan] kacang kerdil tumbuh dengan rimbun banyak./ Kacang loke dan kacang
polong, / kacang merah dan kacang mas/ dengan kacang lutung,/ banyak tanaman
sedang berbuah disana./ Di pinggir [kebun] ada kemangi dan sulasih/ [dan] gandarusa
di tengah-tengah. 15. Keladi, bentul, talas, ubi, kombili,/ kentang [dan] singkong ada
di tepi-tepi./ Sebuah pagar jari-jari/ diletakkan dekat empat pintu gerbang/ di sebelah
timur, barat, utara dan selatan/ di tempat jalan kecil empat./ Jadi luasnya [daerah]/ di
sekeliling Gua Secang/ ada kira-kira seratus tombak persegi/ dan menyenangkan kalau
dilihat.
Diponegoro juga menyebut cara dia mengelola areal Guwa Secang di Selarong
setelah dia mendapat sebagai tanah pilungguh (apanase) pada Juli 1812 dalam babad
otobiografinya (Carey 2012:664-65):

XX.8. Sang Pangeran berada di suatu gua/ yang namanya Secang./Setiap bulan
Ramelan/ begitulah kebiasaan/ sang Pangeran: berhubungan dengan Yang Maha
Kuasa/ dalam doa/ di dalam gua itu/ tanpa kembali ke rumah [ke Tegalrejo]./
Demikianlah tujuannya./ Ia duduk di atas sebongkah selo gilang [batu bercahaya]
bernama/ Ambarmoyo. 9. Semua ini kesenangannya./Bagian dalam gua itu ia anggap
tempat tinggalnya; / [ada] air mandi di satu lubang/ [dan] di dekatnya satu kolam
[yang terbentuk] dengan/ tetesan [dari batu]/ yang terbentuk seperti sumur./ Ada
sebatang pohon bidara yang dipagari./ Sekarang tempat hadirin/ berpintu masuk
besar dan tangga yang terbuat dari batang/ palem gebang.

Sang Pangeran menambahkan rincian bahwa pohon bidara diberi pagar untuk
menimbulkan kesan mirip dengan waringin kurung di alun-alun utara di depan
Keraton Yogya, dengan demikian membubuhinya dengan suasana kerajaan. Juga
ada air mandi di satu lubang untuk wudu sebelum salat lima waktu tidak lagi tampak
di Selarong waktu penulis mengunjung dan bermalam disana pada Desember 1971,
11

tapi masih ada mata air di lereng bukit di atas Gua Secang yang dipakai oleh
penduduk. Terdapat juga air terjun dekat gua dengan kolam dangkal di dasarnya.
Kolam “menetes” mungkin merujuk pada kolam dangkal yang terbentuk oleh air
menetes dari batu sekitar yang diperikan oleh Louw dan De Klerck 1894–1909,
I:436. Mereka juga menyebut ceruk kecil di lantai batu pada “gua” kedua, yang
membentuk lubang dalam dengan air dangkal [0,35 meter]. 2 Tentang dapur (pawon)
Diponegoro di kompleks Gua Secang yang letaknya masih bisa dikenali berkat bekas-
bekas jelaga pada dinding gua ketika bekas perwira yang jadi penulis, W.A. van Rees
(1820–1898), berkunjung ke sana untuk penelitian buat bukunya tentang Toontje
Poland (Kolonel Theodorus Poland, 1795–1857) (Van Rees 1867, II:66–8, yang
dikutip dalam Louw dan De Klerck 1894–1909, I:436).

2
Tentang penggambaran Selarong pada 1825, lihat Van den Broek 1873–77, 22:40, yang menyebut
“air yang jatuh ke atas batu berbentuk cangkir; meski terus jatuh, air tidak meluap ke luar cangkir dan
juga tidak masuk ke dalam”. dan untuk uraiannya yang agak lebih aneh dan mengkhayal berasal dari
1860-an, yang membuat kawasan gua Diponegoro tampak betul-betul seperti istana bawah tanah
(Rees 1867, II:63, 66–8). Sikap Louw yang menahan diri mengenai hal ini, beserta pengukuran yang
ia buat jauh lebih teliti, sebagian berdasarkan survei yang dilakukan pada awal 1890-an atas
permintaannya oleh kontrolir Keresidenan Yogya, O.E.V. Hermens, bisa didapatkan dalam Louw dan
De Klerck 1894-1909, I:435-7.
12

Gambar 6: Di Hutan Wanalarban (Pegunungan Gowong, Kedu Selatan) pada ujung Perang Jawa
sekitar akhir Oktober/awal November 1829, seekor harimau namanya ‘Tepeng’ menghantarkan
buruan seekor kijang kepada Pangeran Diponegoro. Dua punakawannya, Bantengwareng dan
Joyosuroto (Roto), ketakutan. Tetapi ditenangkan oleh Pangeran bahwa hewan itu bermaksud baik.
Dua orang penduduk septempat, yang diberi julukan Gareng dan Petruk oleh Pangeran, menjelaskan
bahwa Tepeng adalah penunggu hutan Wanarlaban. Setyo Priyo Nugroho (lahir Semarang 1975),
‘Tepeng’, cat minyak di kanvas, 150 x 200 cm. 2019.

Seperti banyak orang Jawa, Diponegoro sangat akrab dengan alam: beberapa
ungkapan yang paling indah dan liris dalam babad otobiografinya yang ia
menulis di Manado (1831-32) menceritakan tempat-tempat menyepi yang ia dirikan
di dalam gua, tempat pertahanan di gunung atau di tengah sungai yang mengalir
deras, atau di dalam pekarangannya di Selarong, di mana suatu laporan Belanda
mencatat pembangunan dinding pagar setinggi manusia (Carey 2012:10). Ia juga
merujuk dengan penuh perasaan pada bermacam jenis hewan yang menemaninya
selama menyepi: ikan di Selorejo, penyu, burung perkutut, buaya, macan kala
menyepi di hutan Bagelen dan Banyumas semasa Perang Jawa, serta burung kakatua
kesayangannya selama pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam di Manado (1830-
33) dan di Fort Rotterdam di Makassar (1833-55). Keakraban yang demikian dengan
alam dan dunia hewan, dalam pandangan Jawa, merupakan pantulan kepekaan dan
keutuhan rohani manusia, suatu keadaan yang diungkapkan sangat baik dengan
kisah kesatria kelana dalam kesusastraan wayang (Boedihardjo 1923:28):

“Kanda (cerita) yang diketengahkan oleh dalang mengenai kembalinya bambang


(anak laki-laki Arjuna) tersebut kepada ayahnya di Amarta: satogalak (binatang-
binatang buas), sardula-sardula (harimau-harimau) serta singa-singa menyingkir,
memberikan kesempatan kepada sang bambang (kesatria muda) itu untuk berlalu
dengan tenang sambil mengucapkan kata-kata “semoga kedamaian selalu menyertai
anda”; kutu-kutu walang-ataga (bermacam-macam jenis serangga) bernyanyi,
seakan-akan merupakan pujian serta ucapan selamat bagi bambang yang
bersangkutan. Burung-burung berkicau, seolah-olah dengan perbuatan mereka yang
demikian itu mereka ingin menunjukkan jalan yang harus ditempuh anak muda yang
tampan dan cantik itu […]”.

Gambaran yang dilukiskan di atas tersebut merupakan gambaran yang penuh


keselarasan dan keserasian dengan alam, yang mencerminkan kepekaan yang
dimiliki oleh sang kesatria (Carey 2018:87 catatan 53).

Memang banyak tingkah laku sang Pangeran sebagai seorang pemimpin


selama berlangsungnya Perang Jawa, yang menyamai pandangan yang diidealisir
tentang seseorang raja arif dan bijaksana yang dimiliki oleh orang Jawa. Di dalam
istilah Jawa tradisional, raja ideal itu adalah seorang raja yang akan selalu mencari
petunjuk dan tuntunan batin dari Tuhan. Ia akan bermeditasi serta merenung
13

keinginan-keinginan pribadinya kepada Roh Yang Maha Suci. Demikianlah di dalam


sebuah penggambaran tentang meditasi yang dilakukan oleh Diponegoro di Gua
Secang di tanah pelungguh di Selarong sebelum perang, tirakat sang Pangeran
digambarkan dengan istilah-istilah yang tepat sama dalam versi Joyoboyo dari
Babad Diponegoro (Carey 2018:83 catatan 45).

Petunjuk dan tuntunan Tuhan yang akan terungkap dalam kawicaksanan


(pandangan serta kearifbijaksanaan yang bersifat kosmis) yang diperlihatkan oleh
raja yang bersangkutan (Moertono 1968:40-42). Persis, sebagaimana sebelum
Perang Jawa Diponegoro mempersiapkan dirinya, sesuai dengan cara-cara yang
dilakukan Arjuna untuk menerima perintah dari Yang Maha Suci. Maka demikian
juga, selama berlangsungnya perang tersebut, masa bermeditasi sendirian serta
pertapaan dilanjutkan, agar ia tetap mampu menjalankan kawicaksanan sang Ratu
Adil itu. Masa penyendirian ini merupakan tema yang secara terus-menerus muncul
kembali dalam kegiatan Pangeran selama berlangsungnya peperangan. Bahkan pada
bulan yang pertama dari Perang Jawa (Agustus 1825) sebuah laporan Belanda
menyebutkan bahwa para pengikut Diponegoro membangun sebuah tembok,
setinggi badan manusia, untuk menutupi sebuah taman pengasingan diri di Selarong
(Carey 2018:31).

Dan sekali lagi, sebelum melakukan penyerbuan ke Surakarta di medio


Oktober 1826 yang berujung dengan pengalahan telak di Gawok (15 Oktober),
Diponegoro pun mengundurkan dirinya untuk bermeditasi di dekat telaga milik
Sunan yang terletak di Pengging.
14

Gambar 7: 'Diponegoro di Pengging sedang merenungkan panepen di Selorejo (Tegalrejo)’


oleh Sigit Rahardjo (lahir 1978), cat minyak di kanvas, 150 x 90 cm. Babad Dipanegara 2010, III:83,
‘7. […]/prapta Pengging mapan nulya mesanggrahan. 8. anèng umbul nenggih kelangenanipun/
Kangjeng Suhunan Sala/ ingkang toya langkung wening/ mina kathah Kangjeng Sultan pan
kacaryan. […] 10. Sareng mulat toya wening umbul agung lan kathah minanya/ lawan wonten
bulusnèki/ sela gilang dadya engèt Selareja. [Pangeran Diponegoro sedang singgah di Pengging,
pesanggrahan Sunan Solo di sebuah kolam ikan yang jernih. Dilihatnya air yang jernih banyak ikan
serta bulus, dan beliaupun teringat pada Selorejo].

Demikian juga ketika istrinya, Raden Ayu Maduretno (sekitar 1798-1827;


waktu perang bergelar Ratu Kedaton) jatuh sakit kritis pada awal November 1827, ia
pun bermeditasi di sebuah padepokan kecil—tempat pengasingan diri untuk bertapa
—yang terletak di tengah-tengah sebuah anak sungai Kali Progo dekat
Banyumeneng, Kecamatan Banyuroto, Kabupaten Kulon Progo. Dalam Babadnya,
Diponegoro menggambarkan tempat pengasingan diri itu seperti tempat
15

pertapaannya seorang pandita (lir pratapaning pandhita) serta mengemukakan


bagaimana burung-burung perkutut menemaninya (Carey 2018:31).

Kemudian setelah kekalahan di pertempuran terakhir di Siluk (17 September


1829), ketika Diponegoro menerima wahyu dari Tuhan yang menyatakan bahwa
segala usahanya akan menjadi sia-sia dan menemui kegagalan belaka, maka ia pun
memutuskan untuk melakukan pengembaraan dengan hanya ditemani beberapa
pengikut. Setelah sergapan mematikan oleh pasukan gerak cepat ke-11 di bawah
komando Mayor (pasca-1843, Mayor-Jenderal) Andreas Victor Michiels (1797-1849)
dengan serdadu melacak dari Manado dan Ternate di pegunungan di Gowong (11
November 1829), pengikut sang Pangeran menjadi lebih minim lagi. Selama tiga
bulan (11 November 1829–9 Februari 1830), ia hanya diiringi dua orang
punakawannya, Roto (Joyosuroto) dan Bantengwareng (sekitar 1810–1858). Waktu
itu Diponegoro memutuskan untuk mencari serta menemukan tanda-tanda lebih
lanjut dari Yang Maha Kuasa (Carey 2018:31-2).

Kesimpulan

Gambaran yang ditampilkan oleh Diponegoro mengenai dirinya dalam babad


otobiografinya yang ia tulis adalah gambaran seorang pandita-ratu (raja arif dan
bijaksana) Jawa yang tradisional. Itu artinya bahwa ia tetap ikut berperan dalam
permasalahan politik dan administrasi sehari-hari, tetapi juga kerap kali
mengasingkan diri untuk mencari tuntunan dan petunjuk dari Tuhan. Gambaran
tersebut juga mempunyai banyak persamaan dengan gambaran orang Jawa tentang
Erucokro. Sang Ratu Adil itu dilihat umum sebagai seorang raja dan pemuka agama
yang akan membangkitkan rasa hormat dalam hati rakyatnya (Wiselius 1872:187).
Konsep Diponegoro, tidak hanya sebagai seorang pertapa, tetapi juga sebagai
seorang guru juga muncul dalam babadnya. Ini bisa dilihat jelas ketika ia mendidik
adik laki-lakinya yang bernama Pangeran Ngabdurrahim (pra-1825, Pangeran
Adisuryo, 1800-1829) mengenai ilmu tasawuf Islam. Adiknya itu mengemukakan
bagaimana ia selalu melihat Diponegoro dalam tiga aspek, yaitu sebagai seorang
ayah (sudarma), seorang pendidik (guru), serta seorang raja (ratu) (Carey 2018:32).

Sub-tema lain yang menarik juga dapat kita lihat dalam gambaran yang
diberikan oleh Diponegoro mengenai tempat-tempat bertapanya. Pertama-tama
16

seringnya terdapat air pada tempat tersebut. Ini kemungkinan bersumber kepada
kebiasaan orang-orang Hindu di Jawa untuk melakukan puja yang diawali dengan
pencelupan di suatu danau suci atau kali. Menarik di sini bahwa agama Hindu di Bali
disebutkan ‘agama tirtha’ (Āgama tirtha), agama yang didasarkan di atas air sebagai
kesucian yang dipentingkan dalam ritual (Hookyaas 1964). Memang di tempat yang
dipilih Diponegoro untuk menyendiri, terdapat sejumlah peninggalan zaman Hindu:
seperti telaganya di Selorejo, tempat retret pribadi di sebelah timur laut Tegalrejo,
air terjun di Selarong, telaga milik Sunan di Pengging, serta sungai yang melingkari
tempat meditasi di Banyumeneng di areal Kulon Progo.

Kemudian, pada semua tempat-tempat yang pernah dikunjungi Diponegoro


terdapat pula binatang: ikan dalam telaganya di Selorejo, kurakura di Pengging,
burung perkutut di Banyumeneng, buaya di Kali Cingcingguling (Carey 2012:102
catatan 63). Pada tempat persembunyian terakhir sang Pangeran di Kabupaten
Rèmo-Karanganyar, Banyumas, juga ada harimau (Gambar 6) yang dijumpainya
selama pengembaraannya pada akhir masa Perang Jawa (11 November 1829-9
Februari 1830)—salah satu yang menjadi pelindungnya dan diberi nama ‘Tepeng’
(Brumund 1854:194; Rusche 1908-1909 II:238). Selama masa-masa pertapaan, ia
hanya ditemani oleh dua orang punakawannya, Bantengwareng dan Joyosuroto
(Roto). Bahkan Residen Manado menulis, ketika dalam pengasingan sekalipun, sang
Pangeran banyak menghabiskan waktu ditemani oleh kedua bujangnya tersebut yang
ketika itu masih remaja, serta beberapa ekor burung kakatua (Louw dan De Klerck
1894-1909, I:151). Sejumlah binatang yang disebutkan di atas, terutama burung
perkutut dan harimau, mempunyai makna gaib yang penting. Tetapi mereka juga
masih dapat mengingat binatang-binatang buas yang senantiasa menyampaikan
salam takzim kepada kesatria muda serta punakawannya dalam cerita-cerita wayang.

Gambaran sangat indah yang diberikan oleh Diponegoro dalam Babadnya


tentang masa berlimpah ruah di Selarong setelah pecahnya perang, juga mempunyai
persamaan erat dengan gambaran tradisional yang diberikan mengenai zaman ini
dalam Serat Cabolang (1815). Rupanya pandangan dirinya sebagai Ratu Paneteg
Panatagama banyak terinspirasi dari peraturan-peraturan yang dijalankan oleh para
wali di Jawa serta leluhurnya, Sultan Agung. Mungkin contoh simbolis yang paling
baik dari semua sikap dan tingkah laku Diponegoro adalah pengunduran dirinya ke
Selorejo, di mana ia mengerjakan shalatnya setiap hari, menghadap ke Mekkah, di
17

atas enam buah yoni yang besar yang berasal dari zaman Hindu-Buddha di Jawa
(Brumund 1854:194).3 Akar sikap dan aspirasi Diponegoro, pada hakikatnya, dengan
kukuh menghunjam pada masa silam masyarakat Jawa.

[4,276 kata]

Biodata:

Peter Carey lahir di Rangoon (Yangon), Birma (Myanmar), 30 April 1948, putra
bungsu dari dua orang tua yang telah lama bermukim di Asia. Ia adalah Emeritus
Fellow dari Trinity College, Oxford, dan Adjunct Profesor (Profesor Tamu) di
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia (2013-sekarang).
Lulusan S1 dan S3 dari Oxford University, Inggris (1969, 1976), Peter mulai tertarik
dengan Asia Tenggara, Indonesia pada khususnya, selama setahun di Universitas
Cornell, Ithaca, New York, AS (1969-70). Ia tinggal di Indonesia selama empat tahun
(1971–73 dan 1976–78) waktu ia melakukan penelitian lapangan di ANRI, Jakarta,
dan di Yogyakarta. Setelah kembali ke Inggris, Peter mengajar selama tiga dekade
sebagai Laithwaite Fellow dalam Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, 1979–
2008. Buku yang diterbitkan adalah The British in Java, 1811-1816: A Javanese
Account (1992) dan The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an
Old Order in Java, 1785–1855 (2007). Ia juga membuat buku mengenai Birma
(Myanmar) dan Timor-Leste. Buku terakhir dengan Farish A. Noor (NTU) adalah,
Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021).

3
Menurut Brumund 1854:194, tempat samadi Diponegoro terdiri dari enam yoni (tiang yang
melambangkan perempuan dalam agama Siwa) besar dari batu yang dibariskan bertiga-tiga, satu
baris sedikit lebih tinggi daripada yang lain guna membentuk tampat bersila, yang dirujuknya sebagai
Selo Gilang (batu yang memancarkan cahaya), lihat juga Carey 2012:101.
18

Bibliografi

Babad Dipanagara (2020). Babad Dipanagara: A Surakarta Court Poet’s Account


of the Outbreak of the Java War (1825-30). Peny. dan terj. Peter Carey.
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph no. 9. Edisi Kedua
yang direvisi. Kuala Lumpur: MBRAS.
Babad Dipanegara (2010). Ed. Nindya Noegraha. Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Empat jilid.
Boedihardjo (1923). “Grepen uit de wajang”, Djåwå 2:22–8.
Brumund, J.F.G. (1854). “Bezoek in den vervallen dalem van Dipo Negoro te Tegal
Redjo”, Indiana 2:181-97.
Carey, Peter (1975). 'A Further Note on Professor Johns's "Gift Addressed to the Spirit
of the Prophet" ', Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde (Leiden), 131:2-3,
hlm.341-4.
Carey, Peter (1977). “The sepoy conspiracy of 1815 in Java”, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 133:294–322.
Carey, Peter (2012). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG.
Carey, Peter (2018). Sisi Lain Diponegoro: Buku Kedung Kebo dan Historiografi
Perang Jawa. Jakarta: KPG.
Carey, P. & M.C. Hoadley (peny.) (2000). The archive of Yogyakarta. Vol. II:
Documents relating to economic and agrarian affairs. Oxford: Oxford University
Press.
Hookyaas, Christiaan (peny.) (1964). Āgama tirtha. Five Studies in Hindu-Balinese
Religion. Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Kemp, P.H. van der (1896). “Dipanegara, eene geschiedkundige Hamlettype”,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 46:281–433.
Louw, P.J.F. & E.S. de Klerck (1894-1909). De Java-oorlog van 1825–1830. ‘s-
Gravenhage: Nijhoff / Batavia: Landsdrukkerij. Enam jilid.
Soemarsaid Moertono (1968). State and statecraft in old Java; A study of the later
Mataram period, 16th to 19th century. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Raay, J.V.J. van (1926-27). “Wat de oude boom in den dalem van den Javaanschen
Hamlet beleefde”, Indische Verlofganger (1926-27):51.
Rees, W.A. van (1867). Toontje Poland; Voorafgegaan door eenige indische typen.
Arnhem: Thieme. Dua jilid.
Rusche, A. (peny.) (1908–09). Babad Diponagoro; Serat Babad Dipanagaran
karanganipun swargi Kangjeng Pangéran Arya Dipanagara piyambak;
Nyariyosaken wiwit remenipun dhateng agami Islam tuwin dadosing prang
ageng ngantos dumuginipun kakéndhangaken dhateng Menadho. Soerakarta:
Albert Rusche. Dua jilid.
19

Wiselius, J.A.B. (1872). “Djåjå Båjå, zijn leven en profetieën”, Bijdragen tot de
Taal-, Landen Volkenkunde 19:172–217.

Anda mungkin juga menyukai