Gambar 1: Sketsa arang Diponegoro sebagai orang muda, mungkin dibuat oleh seorang seniman
Keraton Yogya saat pernikahannya dengan istri sahnya yang pertama (putri Bupati Yogya untuk
Panolan—sekarang Cepu—Raden Tumenggung Notowijoyo III, menjabat 1803–1811) pada 25
Februari 1807. Inilah satu-satunya sketsa yang menampilkan Diponegoro dalam busana keraton Jawa
berupa surjan dan blangkon. Foto seizin almarhumah Ibu Dr Sahir (piut Diponegoro), Jl. Nyoman
Oka 7, Kota Baru, Yogyakarta, September 1972
2
Pengantar
Ini dengan terang bisa dilihat ketika ia menulis—atau lebh tepat mendiktekan
tekst—babadnya (Babad Diponegoro) di Manado antara Mei 1831 dan Februari 1832
waktu ia berusaha untuk mencari pembenaran pemberontakan yang dilakukannya
dalam pandangan dan pengertian kebudayaan dan kosmis Jawa yang tradisional.
Tentu saja perbuatannya sama sekali tidak menyangkal pengaruh Islam yang begitu
penting. Ini dengan mudah dapat dilihat di dalam perjalanan hidup Pangeran serta
babadnya. Demikianlah misalnya, masa kanak-kanak dan remaja Diponegoro yang
tampaknya hampir dapat dipastikan merupakan sesuatu yang unik di kalangan kaum
bangsawan Yogyakarta pada masa itu. Ia hidup tinggal jauh dari istana dan banyak
bergaul dengan masyarakat agama dari pondok pesantren. Sejak kecil ia menjalani
hubungan dengan para kiai serta guru agama Islam di daerah sekitar kediamannya
di Tegalrejo (Carey 2018:94 catatan 66), termasuk guru ageng, Kiai Taptojani
(sekitar 1755-1828), dari Melangi yang membuat sebuah terjemahan dalam bahasa
Jawa dari sebuah buku tafsir tulisan Arab yang terkenal, Sirat al-Mustaqim (“Jalan
Yang Lurus”)(Carey 1975:341-44; 2012:105-6). Ia juga banyak membaca
kesusastraan Islam dan baik ia sendiri, maupun keluarganya, terkenal karena tingkat
peradaban mereka yang tinggi, sampai panglima Belanda sendiri, Jenderal Hendrik
Merkus de Kock (1779-1845), mencatat mereka sebagai sebuah keluarga “yang luar
biasa sopan-santun (zeer beschaafd)” (Carey 2018:94 catatan 67). Tidak ada
keraguan bahwa ia tekun dan tulus dalam melakukan pengkajian dan melaksanakan
kewajiban keagamaannya, sampai-sampai ia dihinakan oleh orang sezaman itu,
salah satunya kaum bangsawan Yogyakarta, atas sikapnya yang terlalu “menyantri”
(Carey 2018:95 catatan 68).
Diponegoro muda juga dibiasakan oleh eyang buyutnya untuk hidup hemat
dan untuk bertindak sangat berhati-hati dengan uang, sebuah sikap yang
dikomentari oleh Gubernur Militer dan Sipil Celebes, Pieter Vreede-Bik (1806-1883;
menjabat 1849-52), saat Diponegoro dan keluarganya hidup sebagai tahanan politik
di dalam Fort Rotterdam. Vreede-Bik menulis bahwa Pangeran, isteri, dan enam
anaknya, “nyaris dalam kemiskinan” tidak hanya sebab mereka kekurangan
tunjangan bulanan dari Keraton Yogyakarta, 1 tapi juga oleh sebab sikap Diponegoro
1
Setia dengan cita-citanya untuk hidup seperti pengemis dan dengan maksud menabung sejumlah
uang untuk melaksanakan rencananya naik haji, Diponegoro mulai sangat hemat dengan uang
tunjangannya di pengasingannya di Manado. Pada akhir 1830, Residen Manado, Daniel François
Willem Pietermaat (1790-1848; menjabat, 1827-31), menjadi gempar jangan-jangan Pangeran itu
sedang membentuk “pundi-pundi perang” karena begitu besar nian tabungannya dalam bentuk uang
dan barang perhiasan. Ia pun secepatnya memutuskan untuk mengurangi pendapatan bulanan
4
yang dengan sengaja hidup sangat pas-pasan dan menolak minta bantuan uang
tambahan dari Belanda (Carey 2012:889 cstatan 269). Sikap yang sama terkuak
sebelum Perang Jawa, waktu ia menjabat sebagai wakil (wakil-Dalem) keponakan
yang telah menjadi Sultan pada umur tiga tahun, Hamengku Buwono V (bertakhta
1822-26/1828-55). Saat menjabat wakil sang pangeran mengeloh mengenai sikap
boros perdana menteri (patih) Yogyakarta yang korup, Danurejo IV (sekitar 1780-
1849; menjabat 1813-47), dan situasi dimana sang patih memanfaatkan lahan dan
kaveling kepunyaan Keraton Yogyakarta untuk membangun gedung baru dan
mencetak uang untuk diri sendiri:
“Ketika saya sudah keluar dari Keraton [Pangeran merujuk kepada saat ia
mengundurkan diri sebagai wakil-Dalem HB V pada Febuari 1824], saya mendengar
bahwa uang di perbendaharaan [Keraton] sudah habis, meskipun semua orang
berpikir bahwa seharusnya masih banyak uang yang tersisa. Patih (dengan sangat
meremehkan) membutuhkan uang, pertama untuk alasan ini itu, [dan] selalu ada saja
yang dibangun.” (Louw dan De Klerck 1894-1909, V:743)
Gambar 3: Pangeran Diponegoro (pakaian hitam) memberi sejumlah perintah kepada dua
orang pengikutnya, Kiai Joyomustopo dan Kiai Mopid, sebelum mereka memulai ziarah ke Gua Batu
di Pulau Nusa Kambangan Diponegoro sedang duduk di keteduhan pohon kemuning di atas batu
samadi bernama Selo Gilang di tempat menyepi (panepen) di Selorejo tepat arah timur laut Tegalrejo.
KITLV Oriental MS 13 (Buku Kedung Kebo), f.81v. Foto seizin Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL).
Pangeran itu sebanyak dua pertiga hingga tinggal 200 gulden saja. Hal ini sangat keterlaluan karena
Diponegoro memerlukan separo tunjangannya ini hanya untuk membayar upah para pembantu dan
belanja dapur, tapi demi harga dirinya ia diam saja dan hanya berkata, “Tidak apa-apa. Gubernemen
menetapkan pendapatan saya f. 600 [gulden] tanpa minta pendapat saya dan sekarang gubernemen
tentu boleh bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya pantas!” Lihat Carey 2012:861-62.
5
“Bagaimana kamu bisa bicara kepada saya tentang dokter-dokter dan obat-obat
Belanda […] [bila] tiap hari ada orang mati dalam kapal ini yang dilemparkan ke laut?
Betapa takhayul [kamu] orang Eropa mengenai dokter-dokter [kamu]! ”
Selama perjalanan itu, ia terus merawat diri sendiri dengan ramuan rempah-rempah
Jawa (jamu) seperti beras kencur dan kedawung, serta selama beberapa hari hanya
makan ubi kering untuk menangkal akibat mabuk laut. Makan sirih salah satu di
antara sedikit kebiasaannya; tampaknya ia terus-menerus melakukannya,
sedemikian rupa sehingga ia malah mengukur waktu berapa lama ia butuhkan untuk
mengunyah seracikan kapur, daun sirih, dan pinang. Memang, di antara segelintir
barang milik pribadi yang masih ada dari masa pengasingannya di Makassar (1833–
1855) terdapat beberapa potong sapu tangan bermotif Paisley kotak-kotak kotor yang
digunakan oleh Pangeran menyeka cairan sirih dari mulutnya (wawancara penulis
dengan almarhum Raden Mas Jusuf Diponegoro dan almarhum Raden Saleh
Diponegoro, Jalan Irian no. 83, Makassar, 8 September 1972).
sawah di sekitarnya yang pada 1798-99 menghasilkan 11 metrik ton (74 amet, 1 amet
= 150 kilogram) beras per tahun, sebagiannya digunakan untuk pesta keagamaan
(ajat), sebagiannya membantu para petugas agama (abdi-Dalem perdikan) dengan
pembebasan pajak (Carey dan Hoadley 2000:135–6; Carey 2012:91 catatan 31).
Seorang pengunjung Belanda, Predikant (Pastor) Jan Frederik Gerrit Brumund
(1814-63), yang memeriksa reruntuhannya (permukiman itu sudah dibakar pada
awal Perang Jawa) pada akhir 1840-an menggambarkannya dengan rasa kagum
(Brumund 1854:184–5):
Para pangeran Yogyakarta agaknya bertempat tinggal lebih baik daripada sekarang.
Sekurang-kurangnya saya tahu tidak ada permukiman pangeran di Yogya yang dapat
dibandingkan dengan yang dulu ada di Tegalrejo. Rumah-rumah [para pangeran]
[sekarang] kebanyakan [terbuat dari] kayu [dan] bangunannya rendah, kecil, dan
sepele. [Namun], [permukiman] Diponegoro besar, luas, bangunannya tinggi dan
semuanya terbuat dari tembok. Sepanjang kedua sisinya terdapat rentetan rumah-
rumah tembok yang tidak kurang besar dan luas. Di sanalah tempat menginap teman-
teman [Diponegoro] dan ulama yang datang berkunjung. Ada juga beberapa gudang
[untuk menyimpan hasil-hasil pertanian Tegalrejo], dan tempat-tempat bagi para
pengikut dan pembantunya. Pengikut lainnya tinggal di desa yang mengelilingi wisma
pangeran [dalem].”
7
Gambar 4: Peta dari tata letak permukiman Tegalrejo dan sekelilingnya, sekitar 1830,
dengan skala satu inci ke 100 meter. Disadur dari Louw dan De Klerck 1894-1909, I: “Plattegrond van
de hoofdplaats Jogjakarta omstreeks 1830 (Denah ibu kota Yogyakarta sekitar 1830)”, oleh J. Wilbur
Wright dari Oxford.
Gambar 5: Surat asli Diponegoro kepada ibunda, Raden Ayu Mangkorowati (sekitar 1770-
1852), menggunakan kertas impor Belanda tanpa pasir untuk mengeringkan tinta. Diponegoro,
seorang autodidact, menulis surat-surat tersebut pada akhir April atau awal Mei 1830 di tempat
tahanan di Stadhuis (sekarang Museum Sejarah Jakarta), sebelum ia berangkat ke Manado (3
Mei 1830). Foto seizin Koninklijke Militaire Akademie (KMA), Breda.
Pengunjung Belanda itu terus menggambarkan dengan rinci tata letak bangunan
rumah itu sendiri, yang mencakup sisa-sisa suatu pendapa atau balai pertemuan
besar tanpa dinding dan serambi yang cocok sebagai tempat pertunjukan wayang
yang, bersama dengan gamelan, menurut sumber-sumber lain sangat disukai oleh
Diponegoro (Carey 2012:100 catatan 52). Pengunjung tersebut juga memberi
perhatian pada dinding tembok tinggi yang mengelilingi pekarangan rumah itu dan
banyak pohon buah-buahan yang ditanam di permukiman itu (Brumund 1854:185).
bentuk di Tegalrejo kelak pasca wafatnya sang Ratu pada 16 Oktober 1803. Dalam
babad karyanya, ia menceritakan berapa banyak bangunan diperbaiki dan diperbesar
setelah nenek buyutnya wafat, kemungkinan besar untuk menampung pengunjung
yang makin banyak, khususnya para santri kelana dan rohaniwan Islam lain yang
datang bergabung dalam ibadah dan diskusi agama (Carey 2012:100 catatan 58).
Menurut Pangeran, jumlah orang yang ikut ibadah di Tegalrejo “melampaui jumlah
orang yang ikut ibadah semasa hidup nenek buyutnya” (XIV.61. […] mangkana
Tegalreja/ langkung duk kang éyang swargi/ kang ibadah tanapi kathah ing
tiyang// 62. Miwah ingkang weangunan / sedaya mapan wus salin) (Babad
Dipanegara 2010, II:47). Barangkali pada waktu itulah dibuat rencana untuk
mendirikan masjid dari tembok di Tegalrejo, bangunan yang sudah hampir selesai
pada saat pecahnya Perang Jawa. Sebagaimana kemudian Diponegoro merenungkan
(Louw dan De Klerck 1894–1909, V:744; Van der Kemp 1896a:418; Carey 1992:495
catatan 464):
Saya selalu mempunyai keinginan untuk memiliki masjid yang benar-benar bagus
[dan] saya mengeluarkan banyak uang untuk masjid yang [saya bangun] di Tegalrejo,
yang benar-benar hampir rampung saat saya harus menyingkir [20 Juli 1825] [...]
masjid senantiasa menyenangkan buat saya: orang tidak selalu harus sembahyang di
sana, tapi masjid mengarahkan hati ke keikhlasan agamis.
Seperti Ratu Ageng sebelum dia, Diponegoro menaruh perhatian pada susunan
letak pepohonan dan tambak-tambak di Tegalrejo, dan kemudian membangun suatu
tempat menyepi di Selorejo tepat di balik pagar tembok timur-laut Tegalrejo, di
mana ia sering bersamadi dan berdoa (lihat Gambar 4). Tempat menyepi ini
dikelilingi dengan telaga kecil berisi ikan beraneka macam, dan pulau kecil tempat
bangunan samadi itu didirikan ditanami dengan beragam jenis tumbuhan,
khususnya kemuning (Brumund 1854:192–4; Carey 1981a:236–7 catatan 14).
Dengan bunga putihnya yang harum semerbak, pohon ini, yang disukai di Jawa
untuk keteduhan makam dan tempat-tempat suci, akan menebarkan “lapisan bunga
putih” di kepala pangeran selama ia duduk bersamadi (Brumund 1854:188; Van
Raay 1926-27:51). Agaknya ada juga sebatang pohon beringin yang menjadi nama
pulau kecil itu, Pulo Waringin. Sang pangeran juga memberi perhatian pada masalah
tata-letak kebun buah-buahan, sayur-mayur, dan semak-belukar di atas
lahanlahannya di Selarong dekat Gua Secang di Kabupaten Bantul di sebelah selatan
Yogyakarta yang juga digunakannya sebagai tempat menyepi selama bulan puasa
dan yang perlengkapannya kemudian akan ia perluas secara besar-besaran (Carey
10
2020:238–40 catatan 20-25; Louw dan De Klerck 1894–1909, I:435–7; hlm. 429,
664-8, 677-80). Diponegoro sempat menyumbar, “tiada yang terdapat di dunia ini
yang tak bisa tumbuh subur di bumi Jawa” (Carey 2012:101), dan di dalam Babad
Dipanagara versi Surakarta (1825) kita bisa membaca bagaimana Diponegoro
mengelola kebun di tempat meditasi—retret—di Selarong di areal Bantul barat daya
Yogya:
“I.11. […] Sang Pangeran membuat satu tempat istirahat (pacengraman) lagi / di
[tempat] yang namanya Selarong. 12. Letaknya di sebelah barat daya negeri [Yogya]/
[dan] di sebelah selatan Ambarketawang [Gamping]/ di daerah Bukit Selarong./ Satu
gedung besar dibuat,/ satu tempat hiburan seperti kota./ Ada tiga lapis pintu gerbang
dan satu tempat yang kelihatan seperti alun-alun./ Di sebelah timur laut dari bukit/
ada semacam gua yang besar yang namanya Gua Secang,/ [di luar itu] dibuat kebun.
13. Pohon durian, dan manggis ditanam disana,/[dengan] buah krian, duku, langsat,
kukusan./ jambu, limau, buah rambai,/ mundu, careme, sentul/ [dan] pinang yang
baru saja berbuah. / Di tempat yang agak jauh/ ditempatkan pohon kelapa gading/
[dan] dekat mulut [gua]/ diatur sayur-sayuran yang banyak:/ jagung, cantel, juwawut,
jarak dan jali,/ nanas hijau [dan] nanas merah. 14. Cili, terong [dan] buah-buahan
tumbuh dengan lebat sekali, / buncis hijau [dan] buncis yana,/ kacang pendek, kacang
hijau/ [dan] kacang kerdil tumbuh dengan rimbun banyak./ Kacang loke dan kacang
polong, / kacang merah dan kacang mas/ dengan kacang lutung,/ banyak tanaman
sedang berbuah disana./ Di pinggir [kebun] ada kemangi dan sulasih/ [dan] gandarusa
di tengah-tengah. 15. Keladi, bentul, talas, ubi, kombili,/ kentang [dan] singkong ada
di tepi-tepi./ Sebuah pagar jari-jari/ diletakkan dekat empat pintu gerbang/ di sebelah
timur, barat, utara dan selatan/ di tempat jalan kecil empat./ Jadi luasnya [daerah]/ di
sekeliling Gua Secang/ ada kira-kira seratus tombak persegi/ dan menyenangkan kalau
dilihat.
Diponegoro juga menyebut cara dia mengelola areal Guwa Secang di Selarong
setelah dia mendapat sebagai tanah pilungguh (apanase) pada Juli 1812 dalam babad
otobiografinya (Carey 2012:664-65):
XX.8. Sang Pangeran berada di suatu gua/ yang namanya Secang./Setiap bulan
Ramelan/ begitulah kebiasaan/ sang Pangeran: berhubungan dengan Yang Maha
Kuasa/ dalam doa/ di dalam gua itu/ tanpa kembali ke rumah [ke Tegalrejo]./
Demikianlah tujuannya./ Ia duduk di atas sebongkah selo gilang [batu bercahaya]
bernama/ Ambarmoyo. 9. Semua ini kesenangannya./Bagian dalam gua itu ia anggap
tempat tinggalnya; / [ada] air mandi di satu lubang/ [dan] di dekatnya satu kolam
[yang terbentuk] dengan/ tetesan [dari batu]/ yang terbentuk seperti sumur./ Ada
sebatang pohon bidara yang dipagari./ Sekarang tempat hadirin/ berpintu masuk
besar dan tangga yang terbuat dari batang/ palem gebang.
Sang Pangeran menambahkan rincian bahwa pohon bidara diberi pagar untuk
menimbulkan kesan mirip dengan waringin kurung di alun-alun utara di depan
Keraton Yogya, dengan demikian membubuhinya dengan suasana kerajaan. Juga
ada air mandi di satu lubang untuk wudu sebelum salat lima waktu tidak lagi tampak
di Selarong waktu penulis mengunjung dan bermalam disana pada Desember 1971,
11
tapi masih ada mata air di lereng bukit di atas Gua Secang yang dipakai oleh
penduduk. Terdapat juga air terjun dekat gua dengan kolam dangkal di dasarnya.
Kolam “menetes” mungkin merujuk pada kolam dangkal yang terbentuk oleh air
menetes dari batu sekitar yang diperikan oleh Louw dan De Klerck 1894–1909,
I:436. Mereka juga menyebut ceruk kecil di lantai batu pada “gua” kedua, yang
membentuk lubang dalam dengan air dangkal [0,35 meter]. 2 Tentang dapur (pawon)
Diponegoro di kompleks Gua Secang yang letaknya masih bisa dikenali berkat bekas-
bekas jelaga pada dinding gua ketika bekas perwira yang jadi penulis, W.A. van Rees
(1820–1898), berkunjung ke sana untuk penelitian buat bukunya tentang Toontje
Poland (Kolonel Theodorus Poland, 1795–1857) (Van Rees 1867, II:66–8, yang
dikutip dalam Louw dan De Klerck 1894–1909, I:436).
2
Tentang penggambaran Selarong pada 1825, lihat Van den Broek 1873–77, 22:40, yang menyebut
“air yang jatuh ke atas batu berbentuk cangkir; meski terus jatuh, air tidak meluap ke luar cangkir dan
juga tidak masuk ke dalam”. dan untuk uraiannya yang agak lebih aneh dan mengkhayal berasal dari
1860-an, yang membuat kawasan gua Diponegoro tampak betul-betul seperti istana bawah tanah
(Rees 1867, II:63, 66–8). Sikap Louw yang menahan diri mengenai hal ini, beserta pengukuran yang
ia buat jauh lebih teliti, sebagian berdasarkan survei yang dilakukan pada awal 1890-an atas
permintaannya oleh kontrolir Keresidenan Yogya, O.E.V. Hermens, bisa didapatkan dalam Louw dan
De Klerck 1894-1909, I:435-7.
12
Gambar 6: Di Hutan Wanalarban (Pegunungan Gowong, Kedu Selatan) pada ujung Perang Jawa
sekitar akhir Oktober/awal November 1829, seekor harimau namanya ‘Tepeng’ menghantarkan
buruan seekor kijang kepada Pangeran Diponegoro. Dua punakawannya, Bantengwareng dan
Joyosuroto (Roto), ketakutan. Tetapi ditenangkan oleh Pangeran bahwa hewan itu bermaksud baik.
Dua orang penduduk septempat, yang diberi julukan Gareng dan Petruk oleh Pangeran, menjelaskan
bahwa Tepeng adalah penunggu hutan Wanarlaban. Setyo Priyo Nugroho (lahir Semarang 1975),
‘Tepeng’, cat minyak di kanvas, 150 x 200 cm. 2019.
Seperti banyak orang Jawa, Diponegoro sangat akrab dengan alam: beberapa
ungkapan yang paling indah dan liris dalam babad otobiografinya yang ia
menulis di Manado (1831-32) menceritakan tempat-tempat menyepi yang ia dirikan
di dalam gua, tempat pertahanan di gunung atau di tengah sungai yang mengalir
deras, atau di dalam pekarangannya di Selarong, di mana suatu laporan Belanda
mencatat pembangunan dinding pagar setinggi manusia (Carey 2012:10). Ia juga
merujuk dengan penuh perasaan pada bermacam jenis hewan yang menemaninya
selama menyepi: ikan di Selorejo, penyu, burung perkutut, buaya, macan kala
menyepi di hutan Bagelen dan Banyumas semasa Perang Jawa, serta burung kakatua
kesayangannya selama pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam di Manado (1830-
33) dan di Fort Rotterdam di Makassar (1833-55). Keakraban yang demikian dengan
alam dan dunia hewan, dalam pandangan Jawa, merupakan pantulan kepekaan dan
keutuhan rohani manusia, suatu keadaan yang diungkapkan sangat baik dengan
kisah kesatria kelana dalam kesusastraan wayang (Boedihardjo 1923:28):
Kesimpulan
Sub-tema lain yang menarik juga dapat kita lihat dalam gambaran yang
diberikan oleh Diponegoro mengenai tempat-tempat bertapanya. Pertama-tama
16
seringnya terdapat air pada tempat tersebut. Ini kemungkinan bersumber kepada
kebiasaan orang-orang Hindu di Jawa untuk melakukan puja yang diawali dengan
pencelupan di suatu danau suci atau kali. Menarik di sini bahwa agama Hindu di Bali
disebutkan ‘agama tirtha’ (Āgama tirtha), agama yang didasarkan di atas air sebagai
kesucian yang dipentingkan dalam ritual (Hookyaas 1964). Memang di tempat yang
dipilih Diponegoro untuk menyendiri, terdapat sejumlah peninggalan zaman Hindu:
seperti telaganya di Selorejo, tempat retret pribadi di sebelah timur laut Tegalrejo,
air terjun di Selarong, telaga milik Sunan di Pengging, serta sungai yang melingkari
tempat meditasi di Banyumeneng di areal Kulon Progo.
atas enam buah yoni yang besar yang berasal dari zaman Hindu-Buddha di Jawa
(Brumund 1854:194).3 Akar sikap dan aspirasi Diponegoro, pada hakikatnya, dengan
kukuh menghunjam pada masa silam masyarakat Jawa.
[4,276 kata]
Biodata:
Peter Carey lahir di Rangoon (Yangon), Birma (Myanmar), 30 April 1948, putra
bungsu dari dua orang tua yang telah lama bermukim di Asia. Ia adalah Emeritus
Fellow dari Trinity College, Oxford, dan Adjunct Profesor (Profesor Tamu) di
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia (2013-sekarang).
Lulusan S1 dan S3 dari Oxford University, Inggris (1969, 1976), Peter mulai tertarik
dengan Asia Tenggara, Indonesia pada khususnya, selama setahun di Universitas
Cornell, Ithaca, New York, AS (1969-70). Ia tinggal di Indonesia selama empat tahun
(1971–73 dan 1976–78) waktu ia melakukan penelitian lapangan di ANRI, Jakarta,
dan di Yogyakarta. Setelah kembali ke Inggris, Peter mengajar selama tiga dekade
sebagai Laithwaite Fellow dalam Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, 1979–
2008. Buku yang diterbitkan adalah The British in Java, 1811-1816: A Javanese
Account (1992) dan The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an
Old Order in Java, 1785–1855 (2007). Ia juga membuat buku mengenai Birma
(Myanmar) dan Timor-Leste. Buku terakhir dengan Farish A. Noor (NTU) adalah,
Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021).
3
Menurut Brumund 1854:194, tempat samadi Diponegoro terdiri dari enam yoni (tiang yang
melambangkan perempuan dalam agama Siwa) besar dari batu yang dibariskan bertiga-tiga, satu
baris sedikit lebih tinggi daripada yang lain guna membentuk tampat bersila, yang dirujuknya sebagai
Selo Gilang (batu yang memancarkan cahaya), lihat juga Carey 2012:101.
18
Bibliografi
Wiselius, J.A.B. (1872). “Djåjå Båjå, zijn leven en profetieën”, Bijdragen tot de
Taal-, Landen Volkenkunde 19:172–217.