Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’anul Karim II yang diampu oleh
Bapak Rais Abdullah,LC.,MA
Kelompok 1 :
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Rais
Abdullah,LC.,MA pada mata kuliah Al-Qur’anul Karim. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang ilmu tafsir bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh kaena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
I. Latar Belakang..........................................................................................................................1
III. Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................2
BAB III............................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Al Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al Qur’an juga menjadi penjelasan
(bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara
yang baik dan yang buruk. Disinilah manusia mendapatkan petunjuk dari Al Qur’an. Manusia akan
mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap
Al Qur’an tersebut. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al Qur’an
diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al quran mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para ulama untuk
memahami dan menggali dan memahami makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga
lahirlah bermacam-macam tarfsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula,
dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al
quran serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
III. Tujuan
1
2. Mengetahui macam-macam Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur
3. Mengetahui metode Tafsir Bi Al-Ma’tsur
4. Mengetahui nilai-nilai Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur
5. Mengetahui kelebihan dan kelemahan Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur
6. Mengetahui contoh Tafsir Bi Al-Ma’tsur dalam bidang ekonomi
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
II. Sebab sebab timbulnya tafsir al isyari
Latar Belakang Timbulnya Tafsir AlIsyari Perkembangan sufisme yang kian marak
di dunia Islam, ditandai oleh praktikpraktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh
generasi awal Islam, hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal Nabi
Muhammad SAW, praktik seperti ini terus berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi, mereka pun menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan paham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat Al-
Qur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja, namun mereka memahami secara batin
atau secara tersurat. Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadits Rasulullah SAW:
د مطلعLLل حLLد ولكLLرف حLLل حLLر و بطن و لكL لكل أية ظهArtinya: “Setiap ayat itu mempunyai makna
dhahir dan batin, dan setiap huruf itu mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat
melihatnya.” Hadits di atas adalah merupakan dalil yang digunakan oleh para sufi untuk
menjastifikasi tafsir mereka yang eksentrik, menurut mereka dibalik makna zahir dalam
redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka menganggap penting makna batin
ini, mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsure asing (ghaib)
melainkan sesuatu yang indera dengan Al-Qur’an. (Abidu, 2007:54).
Tafsir jenis ini telah dikenal sejak awal turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah
SAW sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada
penafsiran Al-Qur’an melalui hirarki sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan
kepada Nabi, para sahabat dan kalangan tabi’in. Disamping itu, selain penafsiran yang
disandarkan melalui jalan periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup
kuat dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris kenabian. Mereka
mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda secara substansial.
Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan risalah ilahiyah kepada umat
manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama, maka para sufi memikul tugas guna
menyebarkan risalah akhlaqiyah, ajaran-ajaran moral yang mengacu kepada keluhuran
budi pekerti. Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyah memberi peluang bagi
kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan
hati mereka ketika mencapai tahapan makrifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah
SWT. Walhasil, dalam penafsiran sufi mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat
Al-Qur’an melalui jalan i’tibari dengan menelaah makna harfiyah ayat secara zahir. Tetapi
4
lebih pada menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara
simbolik atau dikenal dengan penafsiran isyari. Ketika ilmu-ilmu agama dan sains
mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam menyebar keseluruh pelosok dunia
dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai fenomena tafsir sufi isyari. Berikut pendapat
pendapat Ulama yang mendukung tafsir isyari. Diantaranya :
1. As-Suyuti menjelaskan berdasarkan riwayat dari Atho’, bahwa tafsir dari kelompok ini
(sufi isyari) mengenai kalamullah dan sabda Nabi Muhammad dengan makna bahasa
Arabnya tidak seluruhnya menyimpang dari makna eksternalnya, tetapi makna
eksternal ayat-ayat biasanya dapat dipahami. Karena itu, tidak dapat menghalangi
seseorang menerima ayat ayat dari para ulama ini.
5
Pendapat dan alasan ulama yang menolak tafsir sufi isyari diantaranya :
Perselisihan dan perbedaan pendapat antara ulama ini, menghasilkan keputusan
dengan member jalan tengah antara ulama yang mendukung dan melarang, dengan
mengajukan syarat syarat sufi tafsir isyari yang bisa diterima. Tujuan dan syarat syarat ini
agar para mufasir ataupun para pembaca tafsir berhati hati dalam memahami kandungan
Al-Qur’an. Tafsir sufi isyari tidak bisa diterima menurut para Ahli ilmu Al-Quran, jika
syarat syarat berikut tidak dipenuhi :
1. Tidak meniadakan makna lahir ayat Al-Qur’an.
2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan murad satu satunya, tanpa
ada makna lahir.
3. Hendaknya suatu takwil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal.
4. Hendaknya ia tidak bertentangan dengan syara’ maupun akal.
5. Hendaknya dalam takwil atau isyarat itu tidak menimbulkan keraguan pemahaman
manusia.
Tanpa syarat syarat tersebut, tafsir sufi isyari tidak dapat diterima. Sebab jika tidak
memenuhi syarat syarat tersebut, ia termasuk dalam kategori tafsir bil rayi yang dilarang
atau sekedar penafsiran yang hanya mempertaruhkan hawa nafsu.
6
IV. Macam-macam tafsir al isyari dan contohnya
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam:
tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi
al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu :
1. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-
Qur’an.
2. Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa
mempertimbangkan makna tersurat.
3. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Contohny adalah seperti penafsiran Sahl al-Tustari terhadap Q.S. al-Baqarah
ayat 22:
دَادًاLوا هَّلِل ِ َأ ْنLLُا لَ ُك ْم فَاَل تَجْ َعلLLًت ِر ْزق
ِ َراL ِه ِمنَ الثَّ َمLِض فِ َرا ًشا َوال َّس َما َء بِنَا ًء َوَأ ْنزَ َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فََأ ْخ َر َج ب
َ ْالَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم اَأْلر
ََوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون
Maka ia menafsirkan kata داداLLLأن (tandingan-tandingan) sebagai داداLLLأض (yang
bertentangan), menurut beliau tandingan yang paling besar adalah nafsu amarah bi
al-Sû’ (nafsu yang selalu memerintahkan kepada keburukan) meskipun secara
zhahir ayatnya tidak berbicara tentang nafsu amarah,melainkan tandingan ataupun
sekutu bagi Allah SWT yang disembah oleh orang-orang musyrik.[11]
Penafsiran dapat diterima karena kata “andâd” juga dapat diartikan sebagai
“adhdâd”. Oleh sebab itu, al-Tustari menjadikan nafsu sebagai bagian dari “andad”.
Apabila dijelaskan, ayat tersebut bermakna:“Janganlah kalian jadikan bagi Allah
tandingan-tandingan, seperti berhala-berhala, nafsu, dan lain-lain”. Nafsu bisa masuk
dalam kategori “andâd” tatkala ia memerintahkan pada dirinya melanggar hukum-
hukum dan hak-hak Allah, saat itulah ia menjadi tandingan dan penentang.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi
salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.
Contohnya adalah seperti apa yang dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa الــم terdiri dari
makna “alif” yang berarti Allah, “lâm” berarti jibril dan “mîm” berarti Muhammad.
Penafsiran ini tidak diterima karena tidak sesuai dengan apa yang dipahami maknanya oleh
bangsa Arab secara ma’hud (kesepakatan) yang memenuhi dalil lafzhi ataupun hali.
7
8
Tibyan fi Ulumil Qu’an bahwa at-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an atau
Hadis atau ucapan sahabat untuk menjelaskan sesuatu yang dikehendaki Allah Swt.
Beda halnya dengan Said Agil Husin Al-Munawar mengatakan bahwa Tafsir bi
al- ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Quran yang
lain, termasuk tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang
diriwatkan dari Rasulullah saw, penaafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Begitupun
hampir serupa yang dikatakan oleh Abu Nizhan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah metode
menafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis atau perkataan para sahabat, karena para
sahabatlah yang lebih paham maksud kandungan al-Qur’an , selain itu mereka langsung
mendengar penjelasan langsung dari Rasulullah saw, dan merupakan saksi atas turunya
al- Qur’an dan beliau menambahkan tokoh dalam hal ini yang paling ahli adalah Ali bin
Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Abdllah bin mas’ud.
Said Agil Husin al Munawir mengatakan bahwa Ada beberapa perselisihan
diantara para mufasir, apakah riwayat dari tabiin mendekati mendekati tafsir bi al-Ma’tsur
atau tafsir penalaran, berbagai pendapat, mayoritas mengatakan, bahwa tafsir dari riwayat
tabi’in adalah juga katagori Tafsir bi al-Ma’tsur, karena mereka hidup dan bergaul
dengan para sahabat Nabi serta mereka menimba Ilmu dengan para sahabat Nabi,.
Disamping itu, para tabi’in adalah orang dahulu yang baik-baik yang mendapatkan
julukan dari Nabi sebagai generasi yang terbaik, sehingga dalam tafsir Ibnu Jarir tidak
saja dicantumkan riwayat dari Rasul saw, sahabat tetapi juga riwayat dari tabi’in.
Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak,
peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau
peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW.
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi
sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap
paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena
mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.
9
Tafsir bil ma’tsur ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama
kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat
yang terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan
riwayat dari Nabi Saw., para sahabat dan juga dari tabi’in. Tentang yang terakhir ini
terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama menggolongkan qaultabi’in ini sebagai
bagian dari riwayat, sedangkan yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y saja.
1. Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk
Islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lama yang tidak menyangkut
soal hukum syariat.
2. Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya
meriwayatkan tafsir dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya
meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yang
mengkhususkan gurunya tertentu.
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah
SAW untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui para sahabat.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka.
5. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in untuk menjelaskan kesamaran yang
ditemui oleh kaum muslimin tentang sebagian makna Al-Qur’an.
Kelebihan :
1. Dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat Nabi dan Kaum Tabi’inselalu
disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayatnya) dan diperbanding-kan untuk
memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat.
2. Terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-
bentuk i’rab (kedudukan kata-kata didalam rangkaian kalimat), yang menambah
kejelasan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan riwayat
yang shahih dan yang dhaif.
Kelemahan :
1. Terjadinya campur baur antara yang sahih dan tidak sahih dan banyak pen-dapat
yang dihubungkan kepada saha-bat dan tabi’in, tampa ada isnad dan penelitian
yang mengakibatkan cam-purannya kebenaran dan kebatilan.
2. Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita Israiliyat yang memuat
banyak kurafat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Hal itu sengaja di-
susupkan kepada kaum muslimin dari ahlul kitab.
3. Sebagian majhab memutarbalikkan beberapa pendapat. Mereka berbuat kebatilan,
lalu menyandarkannya kepada sebahagaian parasahabat seperti para ulama Syi’ah
4. Sesungguhnya musuh-musuh Islam dari golongan kafir zindiq bersembinyi di-
belakang para sahabat, maka perlu ada-nya penelitian yang sungguh-sungguh
terhadappendapat-pendapatyang di-sandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
1
1
VI. Contoh Tafsir Bi Al-Ma’tsur dalam bidang ekonomi
س
ْلت واَِذاLُولَ ْو ْوا ق ا وLَ ْوف ّ ْر ٰب ۚى ذLَْم ا ُر ْو َن لَ َعلَكُ ْم ِب صى
َُفا ْم ع ِدل ِب َع ْه ِد ُق َن ْو ا ذ ِلكُ ل ُ َك كLَذLَه و ت
كا ل ْم
ِا
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia
kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar
kamu ingat.”
1
2
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Tafsir bir ra'yi
didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan
dengan mengapresiasi eksistensi akal.
Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan sahabat
tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun tafsir para tabi'in ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur
karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat.
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Apabila ada
kesalahan mohon kritik dan sarannya. Sekian, Terima kasih.
1
3
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. 2012. TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI Sebuah
Eksplorasi Melalui Kata-kata Kunci dalam Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
1
4