Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG

PENGARUH REFORMA AGRARIA


TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh:
Gita Ayu Wening Tyas
Npm. 1810631200072

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG

PENGARUH REFORMA AGRARIA


TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Disusun Oleh:

Gita Ayu Wening Tyas


Npm. 1810631200072

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH REFORMA AGRARIA


TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Tanggal Pelaksanaan PKL : 01 Juli 2021- 21 Oktober 2021


Tanggal Penyerahan Laporan :

Tanggal Ujian :

Karawang,…………..20….

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Yusuf Muhyidin, M. Pd.


NIP. 195901051986021001

Mengesahkan,

Koordinator Program Studi Dekan Fakultas Pertanian


Agribisnis

Luthfi Nur’azkiya, S.P., M.Si. Muharam, Ir., M.P.


NIDN.0026098805 NIP.196107141987031001

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Rahmatnya
sehingga Laporan Kegiatan Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka di
Kementerian ATR/BPN ini dapat diselesaikan. Terimakasih kepada Ibu Wuri
Isnuhoni, S.S.T selaku Mentor yang telah membimbing dan memberikan bantuan
selama kegiatan magang berlangsung hingga sampai Laporan kegiatan magang ini
dapat terselesaikan. Terimakasih Kepada seluruh Pihak yang telah membantu
dalam kegiatan magang ini.

Laporam Ini sebagai Hasil Pertanggung Jawaban penulis selama


melaksanakan kegiatan Magang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan
Pertanahan Nasional. Laporan Ini diharapkan Dapat memberikan manfaat dan
pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Pada Laporan Magang atau Praktek Kerja Lapangan ini masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki, maka dari itu diperlukan saran-saran dan kritik
yang membangun agar dalam penulisan selanjutnya dapat lebih baik lagi. Semoga
Laporan Kegiatan Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka di Kementrian
Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 03 Januari 2022

Gita Ayu Wening Tyas

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan PKL ...................................................................... 2
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan PKL .................................................. 2
BAB II KEADAAN UMUM INSTANSI ......................................................... 3
2.1 Profil Instansi ............................................................................................. 3
2.2 Visi – Misi ................................................................................................. 4
2.3 Struktur Organisasi ............................................................................... 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8
3.1 Reforma Agraria ................................................................................... 8
3.2 Pemberdayaan Masyarakat ................................................................... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 11
4.1 Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia ............................................. 11
4.2 Kendala Pelaksanaan Reforma Agraria .............................................. 19
4.3 Pengaruh Reforma Agraria terhadap Pemberdayaan Masyarakat ...... 26
BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 32
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 32
5.2 Saran ........................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 36
LAMPIRAN ..................................................................................................... 37

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan Peta Indikatif alokasi kawasan Hutan Untuk penyediaan


sumber TORA ....................................................................................................... 14
Tabel 2. Pencadangan HPK Tidak Produktif dan Pencetakan Sawah Baru Untuk
Sumber TORA ...................................................................................................... 16

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Target Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ................................. 11


Gambar 2. Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber
TORA Revisi V ..................................................................................................... 13
Gambar 3. Sebaran Lokasi Sumber TORA Alokasi 20% dari Pelepasan Kawasan
Hutan ..................................................................................................................... 15
Gambar 4. Target dan capaian reforma agraria .................................................... 18
Gambar 5. Kegiatan Koperasi Pemasaran Koerintji Barokah Bersama di Kabupaten
Kerinci ................................................................................................................... 27
Gambar 6. Pemanfaatan Lahan untuk Sayuran Hidroponik Kualitas Ekspor di Desa
Arjasari .................................................................................................................. 28
Gambar 7. Kebun Buah Rakyat di Desa Mekarsari, Kabupaten Pandeglang ...... 28
Gambar 8. Usaha Bidang Peternakan Sapi Perah dan Budidaya Paprika di Desa
Tlogosari, Kabupaten Pasuruan ............................................................................ 29
Gambar 9.Pemanfaatan sertipikat tanah sebagai modal usaha pengasapan ikan asin
di Desa Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan ................................................ 30
Gambar 10. Peremajaan Tanaman Sawit di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua
Barat ...................................................................................................................... 30

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Magang ....................................................... 38


Lampiran 2. Jurnal Mingguan ............................................................................... 39
Lampiran 3. Sertifikat Penilaian Magang ............................................................. 67
Lampiran 4. Struktur Organisasi…………………………………………………71

vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kementerian Pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan regulasi baru


untuk perguruan tinggi yang dikenal dengan Program “Merdeka Belajar-
Kampus Merdeka”. Program Ini memiliki banyak kegiatan salah satunya yaitu
Kegiatan Praktek Kerja Lapang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan
Pertanahan Nasional, dengan mengikuti Program ini artinya mahasiswa
memiliki kesempatan untuk menempuh pembelajaran di luar program studi
untuk lebih merasakan dan terlibat langsung dalam kegiatan di tingkat
Kementerian agar Mahasiswa mampu mempersiapkan diri untuk terjun
langsung ke dunia kerja kemudian hari.

Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini dilakukan dengan pengawasan dan


bimbingan dari Dosen yang berasal dari program studi mahasiswa dan
didampingi oleh Mentor yang berasal dari Kementeria Agraria dan Tata Ruang
Badan Pertanahan Nasional, sehingga diharapkan kegiatan Praktek Kerja
Lapang ini dapat memberikan wawasan baru, meningkatkan kompetensi
mahasiswa dan memberikan pengalaman untuk ikut serta terlibat dalam
kegiatan yang berada di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang
Badan Pertanahan Nasional.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional


Memiliki Beberapa Fungsi yaitu Melakukan Perumusan, Penetapan Kebijakan
di bidang Tata Ruang dan pertanahan, melakukan organisasi tugas, pembinaan
dan Evaluasi kegiatan.

Reforma Agraria Merupakan salah satu kegiatan yang menjadi


tanggung jawab dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan
Nasional dimana Program Ini menjadi Prioritas Nasional yang tujuannnya
untuk memberdayakan masyarakat terutama bagi masyarakat yang
menggantungkan kebutuhan hidupnya pada sektor Agraris dengan
mengadakan Penataan penguasaan tanah yang tentunya dapat meningkatkan.

1
2

Pendapatan para petani kecil. Pelaksanaan Program Ini memberikan banyak


pengaruh bagi para petani terutama dari segi ekonomi dan dalam dukungannya
mendorong Pemberdayaan masyarakat,

Pemberdayaan masyarakat secara umum merupakan salah satu tujuan


utama pembangunan pertanian. Peningkatan kesejahteraan rakyat yang adil dan
merata adalah amanat konstitusi sehingga sudah semestinya menjadi tujuan
akhir pembangunan pertanian sepanjang masa. Tidak saja sebagai tujuan akhir,
pemberdayaan masyarakat juga bagian dari 2ntrinsic2 pembangunan pertanian.
Petani yang lebih sejahtera, lebih memiliki kapabilitas dalam melaksanakan
pembangunan pertanian. Dipandang demikian, maka kesejahteraan memiliki
nilai 2ntrinsic dan nilai instrumental sehingga sudah semestinya dijadikan
sebagai prioritas utama tujuan pembangunan pertanian.

1.2 Maksud dan Tujuan PKL

Maksud dalam tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini pada


hakekatnya adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman serta
memperoleh informasi sekaligus menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat
selama masa perkuliahan kedalam dunia kerja yang nyata dengan kemampuan
dan kompetensi yang dimiliki.

Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja lapangan Ini adalah untuk:

1. Mengetahui Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia


2. Mengetahui Kendala pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia
3. Mengetahui Pengaruh Reforma Agraria terhadap Pemberdayaan Masyarakat

1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan PKL

Lokasi pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan ini ada di Kementerian Agraria


dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional, yang beralamat di Jl.Sisingamangaraja
No.2, RT.2/RW.1, Selong, Kec. Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Adapun waktu pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan ini
dilaksanakan pada tanggal 01 Juli 2021 sampai dengan 08 Oktober 2021.
BAB II
KEADAAN UMUM INSTANSI
2.1 Profil Instansi

Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015


tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang (ATR) mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan Pemerintahan Negara. Dalam melaksanakan tugasnya,
Kementerian ATR menyelenggarakan fungsi:

1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang,


infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum
keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah,
pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan
masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang;
3. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang;
5. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
6. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Sedangkan sesuai Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia


Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan

3
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
melaksanakan tugasnya, BPN menyelenggarakan fungsi:

1. penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;


2. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan;
3. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
4. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
5. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
6. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan
penanganan sengketa dan perkara pertanahan;
7. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
8. pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
9. pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
10. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
11. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah, dibentuk Kantor


Wilayah BPN di provinsi dan Kantor Pertanahan di kabupaten/kota.

2.2 Visi – Misi

 Visi Kementerian ATR/BPN


Terwujudnya Penataan Ruang dan Pengelolaan Pertanahan yang
Terpercaya dan Berstandar Dunia dalam Melayani Masyarakat untuk
Mendukung Tercapainya: “Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”
 Misi Kementerian ATR/BPN

1.Menyelenggarakan Penataan Ruang dan Pengelolaan Pertanahan yang


Produktif, Berkelanjutan dan Berkeadilan;

2.Menyelenggarakan Pelayanan Pertanahan dan Penataan Ruang yang


Berstandar Dunia.

2.3 Struktur Organisasi

Kementerian Agraria dan Tata Ruang terdiri atas:

1. Sekretariat Jenderal

Sekretariat Jendral mempunyai wewenang untuk menjalankan


koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian.

2. Direktorat Jenderal Tata Ruang

Direktorat Jenderal Tata Ruang mempunyai tugas


menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang sesuai dengan kententuan
peraturan perundang-undangan.

3. Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan

Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan mempunyai tugas


menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei,
pengukuran, dan pemetaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

4. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan


Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengaturan, penetapan, dan pendaftaran hak tanah, pembinaan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, serta pemberdayaan masyarakat.

5. Direktorat Jenderal Penataan Agraria

Direktorat Jenderal Penataan Agraria mempunyai tugas


menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
penatagunaan tanah, penataan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu, konsolidasi tanah, dan
landreform sesuai dengan ketentuan peraturan .

6. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah

Pengadaan Tanah mempunyai tugas melaksanakan pengoordinasian,


pembinaan, dan pelaksanaan pemanfaatan tanah pemerintah, bina
pengadaan dan penetapan tanah pemerintah, serta penilaian tanah.

7. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan


Tanah

Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan


Penguasaan Tanah mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan


Tanah

Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan


Ruang, dan Tanah mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang bidang penyelesaian sengketa, konflik
dan perkara agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9. Inspektorat Jenderal

Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan


pengawasan intern di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

10. Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah

Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah


mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis
kepada Menteri terkait dengan bidang landreform dan hak masyarakat
atas tanah

11. Staf Ahli Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan

Staf Ahli Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan


mempunyai tugas memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis
kepada Menteri terkait dengan bidang masyarakat adat dan
kemasyarakatan.

12. Staf Ahli Bidang Ekonomi Pertanahan.

Staf Ahli Bidang Ekonomi Pertanahan mempunyai tugas


memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis kepada Menteri
terkait dengan bidang ekonomi pertanahan.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Reforma Agraria

a) Pengertian Reforma Agraria

Wiradi (2009) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan reforma agararia


adalah penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyekap dan buruh
tani tak bertanah. Selanjutnya Wiradi membedakan antara konsep reforma
agraria dan landreform. Istilah landreform dipakai untuk merujuk pada program-
program sekitar redistribusi tanah dalam rangka menata ulang struktur
kepemilikan tanah yang timpang menjadi lebih adil. Adapun istilah reforma
agararia mengacu pada pengertian lebih luas dan komprehensif, karena
mencakup juga berbagai program pendukung yang dapat mempengaruhi kinerja
sektor pertanian pasca redistribusi tanah.

Reforma Agraria dan pembaruan agraria memiliki pengertian yang lebih


luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang
lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan.

Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan


pembaharuan agrarian adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan)
kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (kususnya
tanah). Pembaharuan agrarian mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia.

b) Tujuan Reforma Agraria

Tujuan utama Reforma Agraria adalah sebagai berikut:


1. Memperbaiki ketimpangan struktur agrarian menjadi lebih berkeadilan
melalui redistribusi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk
masyarakat miskin dan petani gurem atau petani tak bertanah di pedesaan;
2. Menyelesaikan konflik agrarian yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia;
3. Menciptakan basis-basi kekuatan produktif oleh masyarakat berbasiskan
penggunaan dan pemanfaatan lahan (pertanian, perkebunan, peternakan),
serta nilai tambah dari penjualan hasil panen
4. memulihkan keseimbangan ekologi melalui penatagunaan lahan dan
pengelolaan sumber agraria secara berkelanjutan.

3.2 Pemberdayaan Masyarakat

a) Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat


untuk mendapat akses dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang penting.
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang
di Eropa mulai abad pertengahan, hingga akhir 70-an, 80-an, dan awal 90-
an. Konsep pemberdayaan pada dasarnya dibangun dari ide yang
menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Terdapat dua
kecenderungan proses pemberdayaan yaitu pertama adalah proses
pemberdayaan yang menekankan ke proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya
membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka melalui organisasi. Kecenderungan yang kedua adalah lebih
menekankan melalui proses dialog. Kecenderungan ini terkait dengan
kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya (Kartasasmita,
1996)

Pemberdayaan dapat juga diartikan sebagai proses di mana individu


atau kelompok mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka
untuk memahami, menafsirkan masalah yang mereka hadapi dan kemudian
mampu menentukan kebutuhan serta menerjemahkannya ke dalam tindakan
dengan berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kegiatan. Komponen utama
pemberdayaan dalam hal ini adalah kemampuan individu untuk
mendapatkan kontrol atau kendali dalam menentukan kehidupan mereka
seperti yang mereka inginkan (Samah dan Aref, 2009).

Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata konsep


ekonomi, namun sering kali ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan dapat diartikan
sebagai upaya untuk mendorong dan meningkatkan semua potensi yang
dimiliki masyarakat agar mampu melawan serta melepaskan diri dari jeratan
kemiskinan (Mardikanto dan Soebiato, 2015). Pemberdayaan memiliki
makna kesetaraan, adil, dan demokratis tanpa adanya tekanan atau dominasi
oleh salah satu atau beberapa pihak dalam suatu komunitas masyarakat.
Dengan demikian maka pemberdayaan memiliki makna sebagai suatu
proses untuk meningkatkan kemampuan individu atau masyarakat yang
dilakukan secara demokratis agar mampu membangun diri dan
lingkungannya sehingga mampu hidup secara mandiri dan sejahtera.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia

Reforma Agraria dilaksanakan dengan melakukan legalisasi tanah rakyat


seluas 4,5 juta hektar, redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas
4,5 juta hektar, dan pemberdayaan ekonomi bagi subyek penerima TORA.
Legalisasi atau sertipikasi tanah rakyat bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum atas kepemilikan asetnya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
ekonomi produktif serta peningkatan kesejahteraan keluarga. Kegiatan legalisasi
aset ini dilaksanakan melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
dengan target seluas 3,9 juta hektar dan sertipikasi tanah transmigrasi seluas 0,6
juta hektar. Sedangkan redistribusi TORA bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan dalam penguasaan lahan, menyelesaikan konflik agraria, sumber
kemakmuran untuk rakyat, dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. TORA yang
akan diredistribusikan kepada masyarakat tersebut bersumber dari pelepasan
Kawasan Hutan seluas 4,1 juta hektar dan tanah Ex-HGU, tanah telantar, serta tanah
negara lainnya seluas 0,4 juta hektar. Guna mendukung pelaksanaan Reforma
Agraria, Pemerintah juga memberikan akses kelola pemanfaatan Kawasan Hutan
kepada masyarakat yang berada di dalam dan disekitar hutan melalui program
Perhutanan Sosial.

Gambar 1. Target Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

11
Mengingat pentingnya program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka program ini tetap dilanjutkan
oleh Pemerintah untuk lima tahun ke depan. Dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan bahwa Reforma Agraria mencakup:

a) penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), termasuk melalui


pelepasan Kawasan Hutan;
b) pelaksanaan redistribusi tanah, termasuk untuk pengembangan kawasan
transmigrasi;
c) pemberian sertipikat tanah (legalisasi), termasuk untuk kawasan transmigrasi
yang penempatan sebelum tahun 1998;
d) pemberdayaan masyarakat penerima TORA. Program Reforma Agraria telah
berjalan kurang lebih 6 tahun di bawah koordinasi Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian.

Selama kurun waktu tersebut telah banyak capaian yang diselesaikan,


meskipun masih banyak pula tantangan yang perlu diatasi. Beberapa capaian
tersebut antara lain: legalisasi (sertipikasi) tanah rakyat melalui tanah transmigrasi
dan PTSL telah mencapai seluas 5,37 juta hektar atau 119,3 persen dari target.
Sedangkan tanah negara yang telah dibagikan kepada subyek yang memenuhi
persyaratan (redistribusi) kurang lebih seluas 1,17 juta hektar atau sekitar 26,15
persen dari target yang ditetapkan. Untuk mendukung penyediaan TORA, telah
dilakukan pelepasan Kawasan Hutan seluas 1.424.382 hektar. Selain itu, telah
diberikan akses kelola pemanfaatan Kawasan Hutan melalui program Perhutanan
Sosial seluas 4,41 juta hektar. Sedangkan tantangan dan kendala yang perlu
diselesaikan diantaranya adalah belum optimalnya proses redistribusi TORA yang
bersumber dari pelepasan Kawasan Hutan, belum dipahaminya prosedur dan
mekanisme penyediaan TORA terutama dari Kawasan Hutan, serta perlu
ditingkatkannya dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
program.
Dalam rangka memenuhi target penyediaan TORA yang bersumber dari
Kawasan Hutan seluas 4,1 juta hektar, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan telah mencadangkan Kawasan Hutan untuk TORA yang dituangkan
dalam Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA
dengan skala peta 1 : 250.000 (Peta Indikatif). Peta Indikatif TORA tersebut
memuat informasi sebaran lokasi indikasi TORA yang berasal dari: 1) Alokasi 20%
untuk kebun masyarakat dari pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan; 2)
Hutan produksi yang dapat di konversi (HPK) Tidak Produktif; 3) Program
pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru; 4) Permukiman
transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah memperoleh
persetujuan prinsip; 5) Permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum; 6) Lahan
garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan 7) Pertanian lahan kering yang
menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat. Peta Indikatif
TORA direvisi setiap 6 bulan sekali berdasarkan data dan informasi penutupan
lahan terkini, hasil inventarisasi dan verifikasi (inver) lapangan, serta masukan dari
para pihak terkait. Hingga saat ini, telah dilakukan revisi ke V terhadap Peta
Indikatif TORA yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor SK.5050/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/9/2020.
Peta tersebut telah mengidentifikasi dan mengalokasikan Kawasan Hutan seluas ±
4.846.844 hektar sebagai sumber TORA.

Gambar 2. Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA Revisi V
Adapun perkembangan Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan
Sumber TORA sampai dengan Revisi V dapat dilihat pada Tabel berikut ini :

Tabel 1. Perkembangan Peta Indikatif alokasi kawasan Hutan Untuk penyediaan sumber TORA

Dari ketujuh kriteria sumber Tora diatas beberapa diantaranya sangat berkaitan erat
dengan pertanian yang tentunya memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan petani
dan mendorong ketahanan pangan, yaitu sebagai berikut:

 Alokasi Tora Dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan


Ada sebanyak 195 SK atau perusahaan yang sudah mendapatkan pelepasan
Kawasan Hutan untuk perkebunan. Berdasarkan ketentuan bahwa setiap pemegang
ijin pelepasan wajib mengalokasikan 20 persen dari luas kawasan yang
diperolehnya maka terdapat potensi sumber TORA seluas kurang lebih 429.359
hektar. Sumber TORA alokasi 20 persen dari pelepasan Kawasan Hutan tersebut
tersebar di berbagai pulau di Indonesia, terutama di Pulau Kalimantan sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar dibawah ini
Gambar 3.Sebaran Lokasi Sumber TORA Alokasi 20% dari Pelepasan Kawasan Hutan

Meskipun lahan untuk alokasi 20% untuk kebun rakyat telah dilepaskan dari
Kawasan Hutan, namun proses redistribusinya belum berjalan efektif karena ada
kendala-kendala yang dihadapi antara lain belum adanya prosedur (rulebase)
penentuan lokasi dan tata cara pengambilan alokasi 20 persen dari pelepasan
Kawasan Hutan tersebut. Selain itu, terdapat peraturan sektor lain yang juga
mengatur tentang alokasi 20% untuk kebun rakyat seperti Undang-Undang No. 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan (sektor perkebunan) dan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang No. 7 Tahun 2017 (sektor pertanahan). Menurut ketentuan
di sektor perkebunan, lokasi 20% berada di luar areal perkebunan yang dikelola
perusahaan, dan perusahaan dalam hal ini tidak menyiapkan lahan 20% dari lahan
perusahaan tetapi lahan 20% adalah lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Peran
perusahaan hanyalah memfasilitasi pembangunan kebun plasma rakyat. Sementara
itu, pada aturan sektor pertanahan, alokasi 20% diambil dari luas HGU.
 Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) tidak produktif
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang Tidak Produktif adalah
HPK yang penutupan lahannya didominasi lahan tidak berhutan. Kawasan Hutan
seperti ini dialokasikan untuk sumber TORA yang dapat digunakan untuk
mendukung program pembangunan nasional/daerah; pengembangan wilayah;
pertanian tanaman pangan/pencetakan sawah baru; kebun rakyat; perikanan;
peternakan; dan fasilitas pendukung budidaya pertanian. Dengan demikian, subyek
penerima TORA HPK Tidak Produktif tidak terbatas hanya perorangan atau
kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, tetapi juga instansi
pemerintah dan badan hukum. Pelepasan HPK Tidak Produktif untuk sumber
TORA dilakukan dengan tahapan:
1) penelitian terpadu
2) pencadangan,
3) permohonan pelepasan,
4) penerbitan keputusan pelepasan,
5) pelaksanaan tata batas, dan
6) penetapan batas.
Pelepasan HPK Tidak Produktif untuk sumber TORA dilakukan
berdasarkan hasil penelitian Tim Terpadu (TIMDU) yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan atas nama Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penelitian atau kajian dilakukan berdasarkan
aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya, serta aspek hukum dan kelembagaan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini telah menetapkan
pencadangan HPK Tidak Produktif di 20 Provinsi dengan total luas 978.108
hektar, yang terdiri dari 938.879 hektar merupakan HPK Tidak Produktif dan
39.229 hektar merupakan pencetakan sawah baru. Ada 5 (lima) provinsi dengan
luas HPK Tidak Produktif terluas, berturut turut adalah Papua (262.109 hektar),
Kalimantan Tengah (223.335 hektar), Maluku (160.473 hektar), Maluku Utara
(97.695 hektar) dan Sumatera Selatan (45.712 hektar).

Tabel 2. Pencadangan HPK Tidak Produktif dan Pencetakan Sawah Baru Untuk Sumber TORA

No Provinsi Luas Lahan


1 Maluku utara 97.695
2 Kalimantan Tengah 223.335
3 Kalimantan utara 3.901
4 Jambi 2.086
5 Bengkulu 4.777
6 Nusa teggara timur 3.911
7 Sulawesi barat 3.732
8 Maluku 160.473
9 Sumatera selatan 45.712
10 Kalimantan barat 15.188
11 Papua barat 15.590
12 Kepulauan riau 2.916
13 Gorontalo 4.886
14 Kalimantan selatan 6.513
15 Sulawesi tenggara 21.107
16 Papua 262.109
17 Sulawesi tengah 15.305
18 Sumatera barat 30.392
19 Sumatera utara 7.243
20 Kalimantan timur 12.017
Luas total 938.979
Data pada Tabel di atas masih berupa pencadangan Kawasan Hutan yang
dapat dijadikan sebagai TORA, belum menjadi Areal Penggunaan Lain (APL)
sehingga belum dapat dilakukan redistribusi dan sertipikasi Hak Atas Tanah. Untuk
dapat diredistribusikan kepada Subyek Penerima TORA dalam bentuk sertipikat
hak atas tanah masih memerlukan proses pelepasan kawasan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, proses pelepasan HPK Tidak Produktif untuk TORA
memerlukan tahap-tahap kegiatan mulai dari pengajuan permohonan, verifikasi
proposal permohonan, penerbitan SK pelepasan Kawasan Hutan, tata batas hingga
penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan. Banyaknya persyaratan
administratif dan panjangnya prosedur yang harus dilalui oleh Pemohon
menyebabkan permohonan HPK Tidak Produktif selama ini sepi peminat.
Reforma Agraria bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang dilaksanakan dengan pemberian penataan aset dan penataan akses.
Berdasarkan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, penataan
aset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan
tanah, sedangkan penataan akses merupakan pemberian kesempatan akses
permodalan maupun bantuan lain kepada subyek Reforma Agraria dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut
juga pemberdayaan masyarakat. Reforma Agraria dalam RPJMN 2015-2019
ditargetkan sebesar 9 juta hektar yang terdiri atas legalisasi aset seluas 4,5 juta
hektar dan redistribusi aset seluas 4,5 juta hektar. Legalisasi tanah rakyat
ditargetkan seluas 3,9 juta hektar melalui kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) dan seluas 0,6 juta hektar melalui kegiatan sertipikasi lahan-lahan
transmigrasi. Sementara, untuk kegiatan redistribusi tanah ditargetkan 0,4 juta
hektar dari lahan telantar dan Ex-HGU serta 4,1 juta hektar dari pelepasan Kawasan
Hutan. Dari total target Reforma Agraria sebesar 9 juta hektar, capaian kegiatan
legalisasi aset yang telah diselesaikan sampai dengan tahun 2020 adalah seluas 5,37
juta hektar atau 119,3% dan capaian kegiatan redistribusi tanah yang sudah
terealisasi seluas 1.176.994 hektar atau 26,15%. Realisasi pelaksanaan legalisasi
aset dan redistribusi tanah secara lengkap diuraikan di bawah ini.

Gambar 4. Target dan capaian reforma agraria


4.2 Kendala Pelaksanaan Reforma Agraria

Selama kurang lebih dua tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden


Nomor 86 Tahun 2018, pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia telah berjalan
dengan baik meskipun belum sepenuhnya mencapai target yang ditetapkan.
Sebagai gambaran, hingga akhir tahun 2020 ini kita telah berhasil melakukan
legalisasi tanah seluas 5,37 juta hektar, baik tanah transmigrasi maupun tanah-
tanah milik masyarakat. Redistribusi tanah juga telah tercapai seluas 1,17 juta
hektar. Namun demikian harus kita akui, bahwa masih banyak target Reforma
Agraria yang masih harus kita selesaikan, baik untuk tanah-tanah transmigrasi
maupun untuk redistribusi tanah khususnya yang berasal dari pelepasan Kawasan
Hutan. Redistribusi tanah dari pelepasan Kawasan Hutan dengan target 4,1 juta
hektar hingga saat ini baru terealisasi 383.679 bidang seluas 210.835 hektar atau
5,14%, jauh dari target yang telah ditetapkan. Belum tercapainya target ini sudah
barang tentu tidak terlepas dari kendala dan tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan Reforma Agraria. Kendala dan tantangan tersebut meliputi penetapan
obyek dan subyek Reforma Agraria, kepastian hukum, kelembagaan, pemahaman
masyarakat, dukungan dan partisipasi Pemerintah Daerah, serta keterbatasan
sumber daya manusia. Apabila kendala dan tantangan ini bisa diatasi, maka
diharapkan pelaksanaan Reforma Agraria dapat berjalan dengan baik dan
mencapai target seperti yang telah ditetapkan.

a) Obyek dan Subyek Reforma Agraria

Penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang bersumber dari


tanah negara yang benar-benar bersih tidak terkait dengan hak-hak pihak ketiga,
serta belum dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain atau sering diistilahkan
dengan fresh land yang clear and clean masih sangat terbatas. Obyek
redistribusi tanah yang bersumber dari HGU yang telah habis masa berlakunya
serta tidak dimohon perpanjangan dan/ atau tidak dimohon pembaruan haknya,
pada umumnya telah dikuasai dan/atau terjadi sengketa antara pemegang HGU
dengan masyarakat. Sedangkan tanah yang diperoleh dari kewajiban
menyediakan paling sedikit 20% dari luas Tanah Negara yang diberikan kepada
pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan
haknya, selama ini masih sedikit realisasinya. Demikian pula dengan sumber
TORA dari Kawasan Hutan, pada umumnya adalah tanah-tanah yang berada di
dalam Kawasan Hutan yang selama ini sudah dikuasai dan dimanfaatkan oleh
masyarakat yang kemudian diselesaikan melalui skema PPTKH. Penguasaan
tanah dalam Kawasan Hutan yang dapat diselesaikan melalui skema PPTKH
adalah:

1. permukiman;
2. fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial;
3. lahan garapan;
4. hutan yang dikelola masyarakat hukum adat.

Selanjutnya disebutkan bahwa untuk dapat dilepaskan dari Kawasan Hutan,


lahan garapan harus sudah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa tidak ada fresh
land dari hasil kegiatan PPTKH yang diredistribusikan kepada masyarakat.
Pada Pasal 7 Perpres Nomor 86 Tahun 2018 disebutkan terdapat 11 sumber
perolehan obyek redistribusi tanah. Namun pada kenyataannya, sumber
redistribusi TORA selama ini hampir semuanya diperoleh dari tanah Ex-HGU
perkebunan dan Kawasan Hutan. Dengan demikian, ada kemungkinan
redistribusi tanah negara hanya akan berlangsung dan diterima oleh subyek
Reforma Agraria yang bertempat tinggal di sekitar areal perkebunan dan
Kawasan Hutan. Di sisi lain, Pasal 12 Ayat (3) Perpres Nomor 86 Tahun 2018
menyebutkan paling tidak ada 20 kelompok profesi sebagai subyek Reforma
Agraria, termasuk Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI/POLRI yang hidup
dan bertempat tinggal di perkotaan. Untuk mengatasi hal ini, sumber
redistribusi TORA harus diperluas terutama yang berasal dari tanah-tanah Ex-
HGB dan tanah telantar yang berada di perkotaan. Penetapan data subyek
penerima Reforma Agraria yang akurat dan tepat sasaran juga menjadi
tantangan yang perlu segera di atasi. Di lapangan sering kali subyek yang
ditemui berbeda dengan subjek yang ditetapkan sebelumnya sehingga
menghambat pelaksanaan legalisasi atau sertipikasi. Legalisasi lahan
transmigrasi selama ini terhambat oleh ketersediaan data subyek transmigasi.
Banyak transmigran yang sudah meninggalkan lahan mereka dan lahan tersebut
sudah berganti kepemilikannya, selain itu juga sering terjadi kesalahan
penetapan subjek dalam kegiatan PPTKH. Setiap pemohon PPTKH diwajibkan
melampirkan identitas diri atau bahkan KTP elektronik, namun data subyek ini
seringkali berbeda dengan data subyek yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan
setempat sehingga sertipikasi dan redistribusi tidak dapat dilaksanakan. Dengan
demikian, suatu database bersama dibutuhkan tidak hanya untuk obyek
Reforma Agraria, namun juga untuk subyek Reforma Agraria. Hal ini dilakukan
supaya penetapan data subyek dan obyek Reforma Agraria dapat tepat sasaran.

b) Kepastian Hukum

Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menetapkan


bahwa TORA antara lain bersumber dari HGU dan HGB yang sudah habis
masa berlakunya serta tidak dimohonkan perpanjangan dan/ atau pembaruan
haknya dalam jangka waktu satu tahun setelah haknya berakhir. Sedangkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dan Peraturan Menteri
(Permen) Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha,
menetapkan bahwa perpanjangan dan/atau pembaruan hak, paling lambat dua
tahun sebelum masa berlaku habis. Apabila ketentuan dalam Perpres
dibandingkan dengan PP dan Permen sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
dicatat bahwa HGU dan HGB bisa menjadi TORA paling tidak menjadi tiga
tahun, yaitu dua tahun sebelum HGU dan HGB berakhir dan satu tahun setelah
berakhir. Oleh sebab itu, satu tahun setelah HGU dan HGB tidak diperpanjang
atau diperbarui tidak diartikan sebagai masa tunggu lagi, akan tetapi masa
persiapan menuju redistribusi tanah, yang meliputi kerja-kerja inventarisasi
penguasaan, pemilikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah; analisa data fisik
dan yuridis tanah; dan penetapan subyek dan obyek Reforma Agraria.
Penjadwalan ini penting agar memberikan jaminan kepastian hukum,
khususnya bagi Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, maupun
masyarakat sekitar HGU dan HGB, kaitannya dengan rencana peruntukan
tanah, administrasi pertanahan dan ekstensifikasi tanah pertanian untuk petani,
dan pemenuhan hak atas perumahan. Dengan demikian, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan PPTKH akan
terus berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait sehingga kepastian
waktu redistribusi tanah dari lahan Ex-HGU dapat diselesaikan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Kepastian hukum juga diperlukan dalam kegiatan
penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dari Kawasan Hutan.
Salah satu skema penyediaan TORA dari Kawasan Hutan dilakukan melalui
Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH)
sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 88 Tahun 2017. Namun demikian,
ada Pemerintah Daerah yang mengeluarkan kebijakan dan peraturan daerah
yang tidak sejalan dengan Perpres PPTKH, sehingga menghambat pelaksanaan
Reforma Agraria.

c) Pemahaman Mengenai Reforma Agraria

Salah satu kendala dalam kegiatan legalisasi atau sertipikasi tanah


rakyat adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat (petani atau
penggarap) tentang kegunaan serta tujuan sertipikat sebagai alat bukti Hak Atas
Tanah. Hal ini terbukti pada saat petugas melakukan identifikasi subyek dan
obyek, masih banyak petani atau penggarap yang tidak bersedia bahkan
menolak untuk mensertipikatkan tanahnya. Mereka beranggapan bahwa tanah
yang dikuasai atau dimilikinya tidak memerlukan sertipikat karena tanpa
sertipikat pun, masyarakat di sekitarnya mengetahui dan mengakui mereka
sebagai pemilik tanah tersebut. Sudah bertahun-tahun dan turun temurun, para
petani atau penggarap menguasai dan memanfaatkan sendiri tanah tersebut,
sehingga dapat menjadi bukti bahwa mereka adalah pemilik tanah dan tidak
perlu mengurus penerbitan sertipikat atas tanah tersebut. Di sisi lain, timbul
kekhawatiran masyarakat apabila tanah mereka disertipikat akan dikenakan
pajak dan pungutan lain. Kurangnya pemahaman dari masyarakat tentang
program sertipikasi tanah juga berakibat kurang antusiasnya masyarakat dalam
program redistribusi tanah obyek Reforma Agraria. Masyarakat petani atau
penggarap umumnya mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan
administrasi yang diperlukan dalam redistribusi tanah. Selain itu, adanya batas
luas maksimal tanah yang dapat diberikan untuk setiap Kepala Keluarga (KK)
dirasakan terlalu sedikit, sehingga mereka tidak berminat mengikuti program
redistribusi. Rendahnya pemahaman terhadap kebijakan Reforma Agraria juga
dijumpai di kalangan aparatur daerah, terutama terkait mekanisme PPTKH.
Dampaknya, pengusulan obyek tanah yang akan diselesaikan membutuhkan
waktu lebih lama. Pemerintah Daerah juga kesulitan menetapkan subyek
Reforma Agraria. Selain itu, identifikasi rinci dan penelusuran di lapangan
membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Kurangnya
pemahaman atas kebijakan Reforma Agraria tidak hanya terjadi di kalangan
petani, sedikitnya ahli-ahli reforma agraria di Indonesia. Kajian ilmiah tentang
Reforma Agraria sangat diperlukan untuk merumuskan kebijakan pemerintah
yang berbasis sains dan bukti dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi
rakyat yang berkeadilan. Dengan demikian sosialisasi dibutuhkan untuk
memberikan pemahaman tentang Reforma Agraria kepada masyarakat. Selain
itu, diperlukan peningkatan kapasitas pelaksana lapangan agar dapat berdialog
dengan masyarakat dengan lebih baik mengenai manfaat dari program Reforma
Agraria.

d) Dukungan dan Komitmen Pemerintah

Reforma Agraria merupakan salah satu upaya Pemerintah Pusat


meningkatkan perekonomian masyarakat melalui kegiatan legalisasi dan
redistribusi tanah, serta pemberdayaan ekonomi. Masyarakat yang selama ini
hanya menjadi penggarap lahan, nantinya dapat memiliki lahan tersebut dan sah
di mata hukum. Namun untuk mencapai hal tersebut, perlu peran Pemerintah
Daerah untuk mendampingi masyarakat mengurus berbagai persyaratannya
termasuk memberi pendampingan dan pemberdayaan ekonomi setelah mereka
memperoleh tanah. Pada umumnya, Pemerintah Daerah masih belum sepenuh
hati mendukung Reforma Agraria. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya
dukungan anggaran APBD di masing-masing dinas untuk kegiatan Reforma
Agraria. Komitmen para Kepala Daerah untuk mendukung pelaksanaan
Reforma Agraria masih perlu ditingkatkan, karena persoalan agraria lebih
banyak terjadi di daerah. Reforma Agraria merupakan tugas dan tanggung
jawab bersama yang memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kendala lain yang dihadapi dalam
pelaksanaan Reforma Agraria adalah rendahnya kemauan Pemerintah Daerah
untuk menyelesaikan konflik agraria. Hal itu bisa dilihat dari minimnya
sosialisasi program Reforma Agraria, termasuk mekanisme PPTKH yang
berpotensi menjadi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Instansi dan dinas
terkait di daerah seperti dinas pertanahan dan permukiman, terlihat enggan
menyosialisasikan program untuk kesejahteraan masyarakat ini. Salah satu
alasannya adalah keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM). Di
beberapa daerah, keterbatasan anggaran dan SDM telah menghambat proses
penyelesaian konflik agraria. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan
adanya kebijakan nasional untuk mendorong Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan APBD dan SDM secara
memadai dalam rangka mendukung kebijakan Reforma Agraria. Masih
rendahnya dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah juga dapat dilihat dari
masih banyaknya Kabupaten/Kota yang sampai saat ini belum membentuk
Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) meski sudah diamanatkan oleh Perpres
Nomor 86 Tahun 2018. Keberadaan GTRA di Kabupaten/Kota ini sangat
diperlukan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang
setiap tahunnya cenderung terus meningkat. Terkait dengan perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah Daerah harus berkomitmen untuk
mendorong diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) yang akan menjadi payung
hukum untuk pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat
adat. Perda ini tentu sangat dibutuhkan khususnya pada saat penyelesaian
konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat.

Adapun kendala dan tantangan yang ditemukan di lapangan dalam


kegiatan pelaksanaan redistribusi TORA hasil pelepasan Kawasan Hutan adalah
sebagai berikut:

1. Masih berupa SK pencadangan yang mana sebagian dari realisasi TORA


PKH masih berupa pencadangan (belum APL) dan masih memerlukan
pelepasan Kawasan Hutan;
2. Subyek dalam SK pelepasan Kawasan Hutan tidak memenuhi kriteria
sebagai subyek penerima redistribusi tanah (seperti tidak berdomisili di
lokasi/absentee, penguasaan oleh pemerintah/fasilitas sosial dan fasilitas
umum, penguasaan tanah > 5 hektar);
3. Sebagian yang sudah menjadi APL masih memerlukan tindak lanjut:
a. Adendum IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu),
harus ada pelepasan dari pemegang konsesi;
b. Alokasi 20% untuk kebun masyarakat lokasi belum bisa ditentukan dan
belum ada mekanisme pengambilannya;
c. Sebagian areal PKH masuk dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian
Izin Baru (PIPIB), namun demikian Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan akan melakukan revisi PIPPIB.

Dalam Arahan Presiden (Rapin, 2 Desember 2020), terdapat empat


hal yang masih menjadi permasalahan lapangan dalam redistribusi TORA
diantaranya adalah

1. kegiatan inver yang belum dapat menjangkau seluruh kabupaten/kota


karena anggaran,
2. penataan batas dan berita acara tata batas yang membutuhan waktu lama
sehingga memperlambat proses,
3. pelepasan Kawasan Hutan melalui inver yang memotong bidang
permukiman,
4. tidak jelasnya data penerima TORA pada lokasi bekas Kawasan Hutan .

4.3 Pengaruh Reforma Agraria terhadap Pemberdayaan Masyarakat

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Perpres 86 Tahun 2018 tentang


Reforma Agraria, penataan akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan
maupun bantuan lain kepada subyek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, atau yang disebut juga
pemberdayaan masyarakat. Kegiatan penataan akses atau pemberdayaan
masyarakat dilakukan dalam rangka penanganan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan melalui pemanfaatan tanah sebagai aset produksi ekonomi atau
dengan kata lain, tanah hasil penataan aset harus dimanfaatkan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan
melalui :

1. pemetaan sosial
2. peningkatan kapasitas kelembagaan,
3. pendampingan usaha,
4. diversifikasi usaha,
5. penggunaan teknologi tepat guna,
6. peningkatan keterampilan,
7. fasilitas akses permodalan dan pemasaran. Adapun Skema Reforma Agraria
dan Program Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat.

Secara umum kegiatan penyediaan penataan akses sebagai instrumen


pemberdayaan masyarakat terdiri dari beberapa pola, yaitu:

a) pemetaan sosial;
b) peningkatan kapasitas kelembagaan berupa pembentukan kelompok sasaran
berdasarkan jenis usaha (koperasi, BumDes);
c) pendampingan usaha melalui kemitraan dengan BUMN dan BUMD yang
berkeadilan;
d) Peningkatan keterampilan berupa penyuluhan, pendidikan, pelatihan
dan/atau bimbingan teknis;
e) Penggunaan teknologi tepat guna melalui kerjasama dengan universitas,
dunia usaha, balai penelitian, serta badan pengkajian dan penerapan
teknologi;
f) Diversifikasi usaha;
g) Fasilitasi akses permodalan dari lembaga keuangan, koperasi, dan/atau
Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan;
h) Fasilitasi akses pemasaran untuk menampung dan menyalurkan hasil usaha
kelompok sasaran;
i) Penguatan basis data dan informasi komoditas untuk menyusun basis data
pemberdayaan masyarakat Reforma Agraria lintas K/L yang digunakan
sebagai dasar pengendalian dan pengawasan berdasarkan data points yang
telah disepakati;
j) Penyediaan infrastruktur pendukung antara lain berupa jalan, irigasi, dll.

Berikut beberapa kisah sukses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di


beberapa daerah, antara lain:

1. Kabupaten Kerinci, Provinsi Jawa Timur

Gambar 5. Kegiatan Koperasi Pemasaran Koerintji Barokah Bersama di Kabupaten Kerinci

Lokasi ini telah diberikan penataan aset berupa PTSL 2018 sebanyak 53
bidang, serta 160 bidang akan ditindaklanjuti melalui redistribusi tanah pada tahun
2020. Kegiatan pemberdayaan masyarakat berupa pendirian Koperasi Pemasaran
Koerintji Barokah Bersama terdiri dari 257 jiwa, yang merupakan binaan LSM
Rikolto berupa pendampingan dalam peningkatan kapasitas SDM. Koperasi ini
telah mendapat bantuan sarana oleh Bank Indonesia berupa pengering kopi serta
bantuan dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Kerinci berupa Bantuan
Pengering (Solar Drayer Dome).

2. Desa Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

Gambar 6. Pemanfaatan Lahan untuk Sayuran Hidroponik Kualitas Ekspor di Desa Arjasari

Lokasi terletak di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung.


Luas lokasi sekitar 886.315 m2 dan diberikan penguatan hak melalui pemberian
sertipikat redistribusi tanah kepada 1000 peserta yang merupakan masyarakat
setempat. Pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pertanian lebih
produktif dengan pola kemitraan untuk ditanami sayuran hidroponik kualitas
ekspor.
3. Desa Mekarsari, Kabupaten Pendeglang, Provinsi Banten

Gambar 7. Kebun Buah Rakyat di Desa Mekarsari, Kabupaten Pandeglang

Kampung Reforma Agraria ini lahir dari program redistribusi tanah TORA
yang berasal dari eks-HGU yang ditelantarkan oleh pemegang haknya dengan luas
48 hektar dan diredistribusi kepada 225 Kepala Keluarga. Pengelolaan tanah
tersebut dilakukan melalui kerja sama masyarakat dengan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes)..

4. Desa Tlogosari, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur

Luas keseluruhan Desa Tlogosari kurang lebih 578 hektar, yang sudah
tersertipikasi seluas 242,1 hektar. Penataan aset yang sudah dilakukan di Desa
Tlogosari adalah kegiatan PTSL tahun 2020 sebanyak 2.148 bidang, namun yang
sudah dibagikan sebanyak 884 bidang. Kegiatan akses yang sudah diberikan untuk
penerima manfaat di Desa Tlogosari yaitu akses permodalan dari Bank BPR Bank
Jatim Cabang Pasuruan.. Akses modal yang didapatkan oleh masyarakat digunakan
untuk mengembangkan usaha di bidang peternakan sapi perah dan budidaya
paprika.

Gambar 8. Usaha Bidang Peternakan Sapi Perah dan Budidaya Paprika di Desa Tlogosari,
Kabupaten Pasuruan

5. Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan


Sertipikat tanah untuk warga Kota Banjarbaru yang diterbitkan melalui
program PTSL, digunakan untuk memperoleh modal usaha kecil masyakarat. Salah
satu warga yang mendapat sertipikat adalah Bu Raudah, seorang pengusaha
pengasapan ikan asin. Berkat adanya sertipikat tersebut penghasilannya meningkat
dari semula Rp 500.000/bulan menjadi Rp 2.000.000/bulan.
Gambar 9.Pemanfaatan sertipikat tanah sebagai modal usaha pengasapan ikan asin di Desa
Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

6. Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat

Gambar 10. Peremajaan Tanaman Sawit di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat

Program redistribusi tanah dilaksanakan tahun 2019 sejumlah 960 bidang


dari total luas 5.000 hektar. Perkebunan sawit masyarakat Manokwari terletak di 3
kecamatan yaitu Prafi, Warmare, dan Masni. Masyarakat membangun perkebunan
sawit melalui Kelompok Tani di bawah binaan APKASINDO (Asosiasi Petani
Kelapa Sawit Indonesia) dan juga mendapatkan bantuan dari Kementerian
Pertanian dengan program peremajaan sawit melalui Dinas Tanaman Pangan
Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2018 telah dilakukan peremajaan seluas 2.000
hektar, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan menyiapkan
anggaran sebesar Rp 25.000.000/hektar untuk peremajaan tanaman sawit.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

Reforma agararia adalah penataan kembali (atau pembaruan) struktur


pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani
kecil, penyekap dan buruh tani tak bertanah dengan salah satu tujuannya yaitu
Menciptakan basis-basi kekuatan produktif oleh masyarakat berbasiskan
penggunaan dan pemanfaatan lahan (pertanian, perkebunan, peternakan), serta nilai
tambah dari penjualan hasil panen untuk mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat.
Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata konsep ekonomi, namun
sering kali ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk mendorong dan
meningkatkan semua potensi yang dimiliki masyarakat agar mampu melawan serta
melepaskan diri dari jeratan kemiskinan.

Pemberdayaan ekonomi bagi subyek penerima TORA. Legalisasi atau


sertipikasi tanah rakyat bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas
kepemilikan asetnya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi
produktif serta peningkatan kesejahteraan keluarga. Kegiatan legalisasi aset ini
dilaksanakan melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan target
seluas 3,9 juta hektar dan sertipikasi tanah transmigrasi seluas 0,6 juta hektar.
Sedangkan redistribusi TORA bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dalam
penguasaan lahan, menyelesaikan konflik agraria, sumber kemakmuran untuk
rakyat, dan sekaligus menciptakan lapangan kerja. TORA yang akan
diredistribusikan kepada masyarakat tersebut bersumber dari pelepasan Kawasan
Hutan seluas 4,1 juta hektar dan tanah Ex-HGU, tanah telantar, serta tanah negara
lainnya seluas 0,4 juta hektar. Mengingat pentingnya program Reforma Agraria dan
Perhutanan Sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka program
ini tetap dilanjutkan oleh Pemerintah untuk lima tahun ke depan dengan . tantangan
dan kendala yang perlu diselesaikan diantaranya adalah belum optimalnya proses
redistribusi TORA yang bersumber dari pelepasan Kawasan Hutan, belum

32
dipahaminya prosedur dan mekanisme penyediaan TORA terutama dari Kawasan
Hutan, serta perlu ditingkatkannya dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah
dalam pelaksanaan program.

5.2 Saran

Keberhasilan pelaksanaan Reforma Agraria sudah barang tentu tidak


terlepas dari bagaimana kita bisa mengelaborasi dan menyelesaikan kendala dan
tantangan tersebut dengan baik. Di bawah ini disampaikan beberapa rekomendasi
langkah tindaklanjut untuk pelaksanaan Reforma Agraria ke depan sebagai berikut:

a) Reforma Agraria merupakan agenda nasional untuk mewujudkan keadilan


dalam penyelesaian ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, serta
konflik agraria. Untuk mempercepat program Reforma Agraria ini
diperlukan kerjasama dan dukungan semua pihak, baik di Pusat maupun di
Daerah. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar Kementerian/Lembaga
dan dengan Pemerintah Daerah perlu terus ditingkatkan. Keberhasilan
pelaksanaan Reforma Agraria akan sangat ditentukan oleh kerjasama yang
sinergis semua komponen bangsa. Kerjasama Pemerintah Pusat hingga
Daerah serta partisipasi aktif masyarakat perlu terus digalang.
b) Pemerintah Daerah perlu mengambil peran penting dalam proses
redistribusi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima TORA dan
berkomitmen melaksanakan Reforma Agraria dan menyelesaikan konflik
agraria secara adil. Komitmen Pemerintah Daerah diwujudkan dengan
mengalokasikan APBD dan SDM di daerah masing-masing untuk
mendukung pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya kegiatan tata batas
Kawasan Hutan sehingga Sertipikat Hak Milik (SHM) tanah masyarakat
bisa segera diterbitkan.
c) Kepala Daerah perlu memastikan pelaksanaan Reforma Agraria menjadi
prioritas dalam program dan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), serta menjadi bagian dari program dan kegiatan Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD).
d) Peran dan fungsi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat
provinsi, kabupaten/kota perlu lebih ditingkatkan agar konflik pertanahan
dapat segera diselesaikan. Selain itu, GTRA perlu segera menyusun
pedoman teknis pelaksanaan Reforma Agraria sebagai panduan kerja bagi
semua pihak terkait.
e) Dalam rangka memperkuat kerangka regulasi, perlu dilakukan kaji ulang
(review) dan merevisi atau melakukan perubahan terhadap peraturan
perundangan-undangan yang tidak sejalan atau menghambat penyelesaian
konflik agraria dan pelaksanaan Reforma Agraria.
f) Untuk mempercepat penyediaan TORA dari Kawasan Hutan, perlu
dilakukan penyederhanaan regulasi dan prosedur sehingga penyelesaian
penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dan pemanfaatan Hutan
Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) Tidak Produktif mudah diakses
oleh masyarakat. Selain itu, kegiatan penataaan batas Kawasan Hutan yang
telah ditetapkan sebagai sumber TORA dan kegiatan Inventarisasi
Penguasaan, Penggunaan, Pemanfaatan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T)
agar dapat dilakukan bersamaan untuk menghindari kesalahan data subyek
dan obyek Reforma Agraria.
g) Perlu dilakukan identifikasi dan verifikasi kasus-kasus konflik agraria
struktural di berbagai sektor strategis (Kawasan Hutan, areal perkebunan,
dan pertambangan) dan disusun prioritas lokasi penyelesaiannya, untuk
dapat segera diselesaikan secara adil guna menghindari konflik sosial di
tengah masyarakat.
h) Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan perlu terus dilakukan guna
meningkatkan pemahaman dan kapasitas aparat pemerintah daerah
(provinsi, kabupaten/kota dan desa) dalam menjalankan program Reforma
Agraria. Selain itu sosialisasi mengenai berbagai peraturan perundang-
undangan terkait adat dan ulayat menuju pengakuan tanah-tanah adat yang
berada di wilayah masyarakat hukum adat secara komunal/ kolektif sebagai
wujud keadilan agraria perlu terus dilakukan.
i) Penataan akses dalam rangka Reforma Agraria berupa pemberdayaan
ekonomi subyek penerima TORA perlu ditingkatkan, mengingat legalisasi
atau redistribusi tanah semata belum sepenuhnya menyelesaikan masalah
kemiskinan bagi petani. Dalam hal ini, mereka masih memerlukan
dukungan usaha berupa bantuan modal, saran, produksi, pengolahan hasil,
pemasaran, dan pengetahuan kewirausahaan.
j) Untuk mempercepat Reforma Agraria, maka Kebijakan Satu Peta (One Map
Policy) perlu segera diselesaikan, termasuk menyinkronisasikan peraturan
dan sistem hukum yang menaunginya. Kebijakan Satu Peta dan sinkronisasi
sistem hukum diperlukan supaya pelaksanaan Reforma Agraria tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda, dualisme data yang tidak akurat,
sehingga dapat mengkibatkan munculnya sengketa agraria dalam
pelaksanaan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA

Nasional, T. D. (2019). Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata


Ruang Di Indonesia. Dalam Permasalahan dan Kebijakan Agraria,
Pertanahan, dan Tata Ruang Di Indonesia (hal. 175). Yogyakarta, DIY
Yogyakarta, Sleman: STPN Press.

Wiradi, Gunawan dkk. 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan
Hubungan Agraris. Yogyakarta: STPN Press.

Kartasasmita, G.1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan


Pemerataan. Jakarta : CIDES

Samah, A. A., & Aref, F. (2009). Empowerment as an Approach for Community


Development in Malaysia. World Rural Observation, 1 (2) , 63-68.

Mardikanto, Totok dan Poerwoko, Soebiato (2015). Pemberdayaan Masyarakat.


Bandung

36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Magang

38
Lampiran 2. Jurnal Mingguan

1) Minggu ke 1

39
40
2) Minggu ke 2

41
42
43
3) Minggu ke 3

44
45
46
47
4) Minggu ke 4

48
49
5) Minggu ke 5

50
51
6) Minggu ke 6

52
53
7) Minggu ke 7

54
55
56
8) Minggu ke 8

57
58
9) Minggu ke 9

59
60
10) Minggu ke 10

61
62
11) Minggu ke 11

63
64
12) Minggu ke 12

65
66
Lampiran 3. Sertifikat Penilaian Magang

67
Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan
Staff Ahli Pertanahan Nasional Staff Khusus

Inspektorat Jenderal Sekretariat Jenderal

Kantor Wilayah

Kantor Pertanahan

Lampiran 4. struktur organisasi

68

Anda mungkin juga menyukai