Anda di halaman 1dari 26

231-256

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DAN


EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG PITU
(Legal Protection of Traditional Cultural Expression and The Existence of
Customary Law Society of Kampung Pitu)
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
ilham.isdiyanto@law.uad.ac.id

Diterima: 17-12-2020; Direvisi: 24-06-2021; Disetujui Diterbitkan: 24-06-2021


DOI: http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2021.V15.231-256

ABSTRAK
Masyarakat Kampung Pitu masih memegang tradisi dan budaya asal usulnya hingga sekarang,
bahkan jumlah Kepala Keluarga yang tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) juga masih bertahan hingga
sekarang. Sebagai masyarakat tradisional yang khas, masyarakat Kampung Pitu memiliki berbagai
macam bentuk Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang disisi lain hal ini perlu mendapatkan
perhatian serius oleh pemerintah. Regulasi di Indonesia mengatur perlindungan EBT melalui UU No.
28/2014 tentang Hak Cipta, sehingga dapat menjadi perlindungan EBT masyarakat Kampung Pitu
agar tetap lestari. Penelitian ini menjadi sangat penting karena tidak banyak masyarakat tradisional
yang mempertahankan hak asal-usulnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan pengumpulan data baik primer maupun sekunder
yang diperoleh secara daring serta analisa deskriptif-kualitatif. Hasilnya, masyarakat Kampung Pitu
dapat dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak identitas dan tradisional
atas asal-usulnya sehingga harus dilindungi dalam pelestariannya. Walaupun tidak ada regulasi
ataupun penetapan dari tingkat Pusat sampai Daerah terkait Kampung Pitu, namun Kampung Pitu
sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda sehingga menjadi dasar perlindungan.
Kata Kunci: perlindungan; Kampung Pitu; ekspresi budaya tradisional; perlindungan hukum.

ABSTRACT
The people of Kampung Pitu still hold traditions and culture of their origins until today. Even, they still
hold the tradition that in Kampung Pitu cannot be more than 7 (seven) Householders. As a distinctive
traditional society, the people of Kampung Pitu have various Traditional Cultural Expression (TCE)
which need serious attention from the Government. TCE in Indonesia regulated in Law Number 28
of 2014 concerning Copyright, which can protect the TCE of Kampung Pitu Society. This research
is essential because in the Special Region of Yogyakarta, not so many traditional communities who
defend their rights of origin. This research is study with a doctrinal approach and for data collection,
both primary and secondary, obtained online and offline, as well as descriptive-qualitative analysis
and in final. The result is, the people of Kampung Pitu can be categorized as Indigenous Society who
have identity and traditional right over their origins; therefore, they need to be protected to preserve
their existence. Even though there is no specific regulation or stipulation from Central to Regional
Government regarding Kampung Pitu, but Kampung Pitu has been designated as an Intangible
Cultural Heritage, thus, becomes the basis for the protection of Kampung Pitu.
Keywords: protection; kampung pitu; traditional cultural expression; indigenous society;
legal protection.

231
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

PENDAHULUAN Perlindungan terhadap EBT


sebagaimana diamanatkan oleh UUHC
Latar Belakang
tersebut mengandung unsur ketidakjelasan
Masyarakat Kampung Pitu adalah salah di dalam penormaannya. UUHC tidak
satu masyarakat yang masih memegang teguh memberikan definisi yang jelas mengenai
tradisi nenek moyang sejak turun temurun, EBT itu sendiri. Dalam Penjelasan Pasal
sehingga keberadaan masyarakat Kampung 38 UUHC menerangkan contoh EBT yang
Pitu menjadi salah satu ‘esensi’ atas tidak dapat dilindungi di bawah Rezim Hak Cipta
lekangnya sebuah ‘budaya asli’ oleh zaman. yakni EBT yang mencakup salah satu atau
Eksistensi masyarakat kampung pitu yang kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut: 1)
masih ‘asli’ dari nenek moyang menjadi salah verbal tekstual; 2) musik; 3) gerak; 4) teater;
satu ciri utama bahwa keberadaan mereka 5) seni rupa; dan 6) upacara adat. Berbeda
harus dilihat bukan sebagai masyarakat dengan UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta
konvensional melainkan masyarakat hukum yang memasukkan permainan tradisional
adat yang memiliki hak asal usul yang harus sebagai bagian dari folklore (termasuk EBT),
dilindungi oleh negara. UUHC justru menghilangkan permainan
Salah satu hal yang menjadi ciri sebuah tradisional sebagai salah satu EBT yang
Masyarakat Hukum Adat adalah Ekspresi dilindungi oleh UUHC.
Budaya Tradisional (EBT) karena memiliki Persoalan selanjutnya adalah,
karakteristik berupa karya ekspresi dari bagaimana UUHC 2014 dapat juga menjadi
budaya tradisional, mengandung identitas pelindung atas eksistensi EBT yang dimiliki
warisan budaya tradisional serta nilai-nilai oleh masyarakat lokal secara langsung,
kearifan lokal hingga menjadi cerminan terutama masyarakat yang memegang
atas pengetahuan dan keterampilan yang adat istiadat secara turun menurun seperti
kemudian ditransformasikan dari nilai-nilai masyarakat Kampung Pitu, Nglanggeran,
mendasar dan keyakinan1. Patuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Secara yuridis, ada mekanisme untuk Yogyakarta. Mereka memiliki keyakinan
melindungi EBT ini, sehingga kedudukannya mendalam (vested interest) untuk tetap
dapat tetap bertahan dan menjadi pencirian melestarikan kearifan lokal yang diwariskan
eksistensi masyarakat tradisional tertentu. oleh Empu Pitu dari generasi ke generasi2,
Secara nomenklatur, istilah EBT muncul pada dimana mereka percaya tanah Kampung Pitu
UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta (UUHC) sangat bertuah. Konon, tidak semua orang
terutama pada Bab V, walaupun secara ‘kuat’ atau sanggup untuk tinggal disana dan
undang-undang ini tidak menyebutkan hanya boleh tujuh keluarga yang tinggal.
secara khusus apa yang dimaksud sebagai Kampung yang konon ada sejak tahun
EBT namun hanya menerangkan ruang 1400-an ini memiliki pantangan tersebut
lingkup pada penjelasan Pasal 38 ayat (1). dikarenakan alasan hukum alam, bahwa
Ketentuan ini kemudian yang menjadi norma jumlah semesta ada tujuh dan Kampung Pitu
utama dalam melindungi EBT. adalah papan pancer alias pusat semesta3.

2 Beta Desi Pratiwi and V Indah Sri Pinasti,


1 Ida Ayu Sukihana and I Gede Agus Kurniawan, “Pariwisata Dan Budaya (Studi Peran Serta
“Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional: Studi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Pariwisata
Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali Di Di Kampung Pitu, Nglanggeran, Patuk, Gunung
Kabupaten Bangli,” Jurnal Magister Hukum Kidul),” Jurnal Pendidikan Sosiologi 1, no. 1
Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 1 (2AD): 1–11.
(2018): 51. 3 Titah AW, “Mengunjungi Kampung Pitu, Desa

232
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

Masyarakat Kampung Pitu pada dasarnya Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
adalah masyarakat yang masih memegang oleh Peter Jaszi menunjukkan bahwa
teguh tradisi nenek moyang secara turun yang menjadi keprihatinan di Indonesia,
temurun, hal ini merupakan hak asal usul khususnya di kalangan seniman tradisional
yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan. dan ketua kelompok masyarakat adalah
Mengacu pada penjelasan Pasal 18 UU masalah pernyataan dan pengakuan bahwa
No. 6/2014 tentang Desa, yang dimaksud mereka adalah kustodian dan penjaga dari
dengan hak asal usul atau hak tradisional Pengetahuan Tradisional dan EBT (PTETB)
adalah hak yang masih hidup sesuai dengan Indonesia, bukan masalah ekonomi dan
perkembangan kehidupan masyarakat dan komersialisasi dari PTETB itu sendiri 6
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Dua perspektif yang berbeda ini kemudian
Republik Indonesia. Hal ini tak lain adalah
saling tarik-menarik, yakni apakah tujuan tetap
kelanjutan dari ketentuan Pasal 18B Undang
dapat dipertahankan sebagai warisan leluhur
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam kodratnya mempertahankan adat,
1945 yang pada intinya negara mengakui
atau sudah tergeser oleh kebutuhan ekonomi
dan menghormati hak tradisional
karena desakan komersialisasi desa wisata
masyarakat sepanjang masih hidup dan
yang mampu menarik pengunjung. Hukum
sesuai dengan perkembangan zaman.
harus berfungsi sebagai pelindung baik dari
Keberadaan pasal ini secara nalar jelas
segi prosedur adat dan juga secara materil
menjadi constitutional protection sehingga
sehingga tujuan sakral tidak tergantikan
tidak ada alasan dalam hal ini masyarakat
dengan komersialisasi, termasuk status dan
yang masih eksis dengan nilai dan adat
perlindungan terhadap masyarakat Kampung
leluhurnya tidak dilindungi oleh negara4.
Pitu.
Bentuk-bentuk perlindungan tersebut
Rumusan Masalah
ternyata mendapatkan persoalan juga karena
regulasi. Seperti dalam kasus perlindungan Berdasarkan latar belakang tersebut
atas ekspresi budaya dalam perspektif dapat diambil rumusan masalah sebagai
UUHC, tujuan filosofi dari hak cipta yang berikut:
individual-eksklusif sehingga selalu diketahui 1. Apakah masyarakat Kampung Pitu dapat
penciptanya untuk kemudian mendapatkan diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat
perlindungan guna memperoleh manfaat dalam perspektif yuridis-normatif sehingga
ekonomi bertentangan dengan EBT yang memiliki status yang jelas?
lebih bersifat komunal dan tujuan lahirnya
2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap
untuk kepentingan keagaamaan atau
hak-hak masyarakat Kampung Pitu
ritus adat lainnya yang bersifat sacral5.
terutama dalam hal mempertahankan dan
melestarikan EBTnya?
Berbahaya Yang Cuma Bisa Dihuni Tujuh
Keluarga Nglanggeran Gunung Kidul - VICE,”
Vice.Com, last modified 2019, accessed January
26, 2020, https://www.vice.com/id_id/article/
zmpkxe/kampung-pitu-nglanggeran-gunung- Hukum Prioris 2, no. 4 (2010), https://media.
kidul-berbahaya. neliti.com/media/publications/81590-ID-urgensi-
4 M. Ikhsan Alia and H. Ilhamdi Taufik, “Jaminan pengaturan-ekspresi-budaya-folkl.pdf.
Konstitusionalitas Hak Asal Usul Masyarakat 6 Afifah Kusumadara, “Pemeliharaan Dan
Hukum Adat Di Sumatera Barat,” Lex Journal: Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan
Kajian Hukum & Keadilan 1, no. 2 (2017): 1–25, Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia:
http://dx.doi.org/10.25139/lex.v1i2.550. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-
5 Simona Bustani, “Urgensi Pengaturan Ekspresi Hak Kekayaan Intelektual,” Jurnal Hukum Ius
Budaya (Folklore) Masyarakat Adat,” Jurnal Quia Iustum 18, no. 1 (2011): 20–41.

233
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p -I S S N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e -I S S N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

Metode Penelitian
Tidak ada satupun metode penelitian aturan yang mereka percayai turun temurun
hukum yang definitif, karena metode sebagai bagian dari hak asal usul.
menyesuaikan pada bidang dan konteks
3. Teknik Analisa Data
keilmuwannya, sebuah metode ilmiah sangat
bergantung pada obyek formal bagi ilmu Analisa yang dilakukan dalam penelian
yang bersangkutan7. Dalam konteks hukum, ini adalah deskriptif-kualitatif yakni dengan
banyak pendapat terkait metode apa yang menarasikan hasil fakta-fakta yang ada (das
paling tepat digunakan, Peneliti sepakat sein) dan mengujinya dengan norma yang
dengan Peter Mahmud Marzuki bahwa ada (das sollen) baik peraturan perundangan-
penelitan hukum pastilah normatif karena undangan maupun norma-norma yang
secara kebahasaan pun dapat ditangkap berkembang dan hidup di dalam masyarakat
istilah penelitian hukum (legal research) atau (living law). Pada akhirnya, agar tidak terjebak
rechtsonderzoek (Bahasa Belanda) selalu pada sebatas ruang deskripsi, maka hasil dari
mengarah arti normativistik8. pembahasan melahirkan preskripsi berupa
saran-saran normatif hasil dari refleksi timbal
1. Pendekatan
balik antara das sein dan das sollen.
Pendekatan yang dilakukan adalah
PEMBAHASAN
yuridis-normatif dimana sudut pandang
pandang yang akan digunakan tidak hanya Kajian terkait EBT sebagai langkah
pada perundang-undangan an-sich melainkan perlindungan terutama bagi masyarakat
juga nilai-nilai yang hidup dan berkembang Kampung Pitu, Gunung Kidul, Daerah
dalam masyarakat yang menurut Herman Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan.
Bakir sebagai bagian dari hukum yang eksis Penelitian tentang EBT pernah dilakukan oleh
atau hukum positif ‘amalgamasional’ (lunak) Dyah Permata Budi Asri khusus implementasi
dibanding hukum positif ‘segregasional’ Pasal 38 ayat (1) UU No. 28/2014 yang lebih
(keras). banyak menyorot peran Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sleman dalam
2. Metode Pengumpulan Data
memberikan perlindungan EBT dengan
Data yang diambil mayoritas adalah dukungan dari dana istimewa9.
data sekunder walaupun ada beberapa
Penelitian pada masyarakat Kampung
hasil dari pegambilan data primer dengan
Pitu lebih pada meneropong aspek pariwisata
cara wawancara, namun fokus perlindungan
daripada perlindungannya, bahkan peran
hukum sebagai objek penelitian ini lebih pada
serta pemerintah seringkali sepihak sehingga
bagaimana peran dan fungsi negara dalam
kurang memaksimalkan keterlibatan
melakukan perlindungan terhadap EBT di 10
masyarakat . Dari terlihat sini, persoalan
Kampung Pitu sesuai perundangan-undangan
perlindungan menjadi hal yang paling penting
yang ada dan perspektif masyarakat
untuk dikaji secara mendalam karena belum
digunakan sebagai perwujudan aspek materil
tersentuh.
dari kajian ini atau hak-hak masyarakat di
Kampung Pitu dalam menerapkan aturan- 9 Dyah Permata Budi Asri, “Implementasi Pasal
38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di
7 Anton Bakker and Achmad Charris Zubair, Kabupaten Sleman,” Jurnal Hukum IUS QUIA
Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: IUSTUM 23, no. 4 (2016): 612–632.
Kanisius, 1990). h. 28 10 Pratiwi and Pinasti, “Pariwisata Dan Budaya
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, VI. (Studi Peran Serta Masyarakat Lokal Dalam
(Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h. 55 Pengelolaan Pariwisata Di Kampung Pitu,
Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul).”

234
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

Perlindungan hukum terhadap EBT ‘tidak mengetahui’ terhadap hal tersebut,


menjadi semakin penting karena menurut yakni Masyarakat Hukum Adat yang
Kholis Roisah dalam penelitiannya biasanya berbanding lurus dengan laku hidup
menyebutkan perlindungan HKI belum tradisional tetapi minus teknologi dan sumber
mampu memberikan perlindungan secara informasi. Bahkan, Masyarakat Hukum Adat
maksimal / utuh terhadap EBT11. Salah melihat konsep dari Perlindungan EBT sama
satunya adalah dikarenakan hak atas EBT kaburnya dengan konsep HKI konvensional
dipegang oleh Negara sehingga hal ini lebih lainnya seperti Hak Cipta, Paten, Rahasia
pada kewajiban negara daripada sebuah Dagang maupun Desain Industri15.
inisiatif dari masyarakat, apalagi belum
Meskipun terdapat peraturan perundang-
ada instrument hukum nasional maupun
undangan lain yakni UU No.5 tahun 2017
internasional yang secara khusus mengatur
tentang Pemajuan Kebudayaan, akan tetapi
pengetahuan internasional maupun EBT12.
konsep pengaturan terhadap perlindungan
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat: EBT dalam UU Pemajuan kebudayaan
Menggugat Negara untuk Hadir berbeda dengan konsep perlindungan Hak
Cipta. UU No 28/2014 memberikan hak
Pemahaman atas perlindungan EBT
kepada negara sebagai Pemegang Hak
di Indonesia belum masuk sebagai sesuatu
Cipta, yang mana hal tersebut bertentangan
yang subtansial, atau menjadi urgensi
dengan hak-hak masyarakat adat. Disamping
bagi masyarakat. Hal ini mengingat juga
itu, perlindungan EBT dalam Hak Cipta
rendahnya kesadaran hukum masyarakat
kurang tepat pengaturannya manakala
yang juga menjadi salah satu persoalan
dihadapkan dengan konsep Hak Cipta yang
hukum nasional13. Ketidaktahuan dan
merupakan perlindungan terhadap hak
minimnya sosialiasi menjadi salah satu
individu, sedangkan EBT merupakan hak
penyebabnya, alih-alih fokus pada fungsi
komunal.
dan tujuan ekonomi yang bisa didapatkan,
masyarakat lebih fokus pada kepemilikan Melihat dalam konteks yang lebih
dari status EBT tersebut14. Salah satu yang universal, Masyarakat Hukum Adat
paling rentan adalah kelompok yang paling (Indigenous People) harus mendapat
Perlindungan dan Negara harus hadir
11 Kholis Roisah, “Perlindungan Ekspresi Budaya untuknya. Komitmen negara ini adalah
Tradisional Dalam Sistem Hukum Kekayaan bagian dari grand design komitmen dunia
Intelektual,” Masalah-Masalah Hukum 43, no. 3
(2014): 372–379. internasional dalam memperlakukan
12 Abdul Atsar, “Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat secara lebih baik,
Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional
sesuai dengan komitmen Perserikatan
Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Ditinjau Dari Undang Undang No. 5 Tahu 2017 Bangsa Bangsa melalui ketentuan Pasal 5
Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang Declaration in The Rights of Indigenous
Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,”
Jurnal Law Reform Program Studi Magister Ilmu People yang telah disahkan pada tanggal 7
Hukum 13, no. 2 (2017): 284. September 2007 bahwa Masyarakat Hukum
13 Jawardi, “Strategi Pengembangan Budaya Adat berhak untuk mempertahankan dan
Hukum,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 16, no.
1 (2016): 77–93, https://ejournal.balitbangham. memperkukuh lembaga-lembaga politik,
go.id/index.php/dejure/article/view/77/23. hukum, ekonomi,
14 fah Kusumadara, “Pemeliharaan Dan Pelestarian
Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya 15 Kusumadara, “Pemeliharaan Dan Pelestarian
Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya
Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak
Intelektual,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 18, no. Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan
1 (2011): 20–41. Intelektual.”

235
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

hukum, ekonomi, sosial dan budaya konkret19 belum dianggap sebagai hukum
mereka16. Namun, problem perbedaan yang modern dengan sistem tertulis. Disinilah
pandangan atas apa yang disebut kesalahan mereka karena menerapkan pola
‘perlindungan’ seringkali menjadi salah satu pikir cara atau cara pandang hukum kolonial
hambatan nyata, apakah dalam hal ini akan (yang pasca diberlakukan sistem civil law)
menggunakan perspektif negara atau malah sehingga melihat Adat bukan sebagai bagian
menggunakan perspektif Masyarakat Hukum hukum yang dapat dikatakan eksis dan
Adat. Hal inilah sebenarnya yang menjadi mendukung sistem social. Mereka kemudian
salah satu alasan kenapa walaupun sudah menerapkan ‘asas konkordansi’ yakni
ada kerangka hukum namun perlindungan mengahruskan hukum negara ‘penjajah’
atasnya belum optimal17. Lebih menarik lagi berlaku sama dengan hukum negara
jika kemudian pembahasan awal ini tidak ‘jajahannya’20. Hal ini kemudian mengundang
pada perspektif Hak Kekayaan Intelektual kritik keras dari van Vollenhoven yang
semata, melainkan bagaimana perlindungan belakangan dikenal sebagai Antorpolog yang
terhadap Masyarakat Hukum Adat itu sendiri menjadi Bapak Hukum Adat di Indonesia
di Indonesia. yang karena jasa menyakinkan Pemerintah
Hindia Belanda untuk mengakui eksistensi
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
dan pelaksanaan Adat sebagai hukum pada
sudah bahkan
kala, ada sejak menurut
era kerajaan
penelitian dahulu
yang
Masyarakat Hukum Adat. Van Vollenhoven
pernah dilakukan oleh Tjahyono Prasodjo
berpegang pada teori von Savigny (savignian)
menyebutkan di era Majapahit sendiri Adat
dengan mahzab sejarah hukum dimana Adat
diakui sebagai salah satu sumber hukum
itu sendiri dipandangan sebagai volkgeist
yang disebut sebagai Desadrsta yangberarti
sehingga tidak bisa dianulir begitu saja, tesis
hukum disuatu daerah18. Eksistensi terhadap
Savigny yang paling terkenal ada “Das Recht
Masyarakat Hukum Adat sangat bergantung
wird nicht gemacht est ist und wird mit dem
dari pelaksanaan dan pengakuan atas Adat
volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan
mereka sebagai benteng pertanahan sistem
tumbuh dan berkembang dalam jiwa bangsa)
social melalui berbagai macam pranata
sosial. Hal inilah kenapa, walau dalam bentuk .
21

kerajaan sekalipun, eksistensi Masyarakat Atas bujukan dari van Vollenhoven inilah
Hukum Adat dapat tumbuh kembang dan kemudian di era kolonialisme Hindia-Belanda
baik. Memasuki era kolonialisme, Masyarakat keberadaan Adat diakui sebagai hukum
Hukum Adat awalnya disepelekan sebagai untuk Masyarakat Hukum Adat, namun untuk
primitive dengan sistem hukum yang belum wilayah-wilayah pusat administrasi yang
berkembang. Corak hukum adat seperti banyak dihuni oleh orang Belanda atau
kebersamaan, keagamaan (magis-relegius), Eropa
19 Raithah Noor Sabandiah and Endra Wijaya,
“Diskriminasi Terhadap Agama Tradisional
16 United Nations, “United Nations Declaration on the Masyarakat Hukum Adat Cigugur,” Jurnal
Rights of Indigenous Peoples,” United Nations2 Penelitian Hukum De Jure 18, no. 3 (2018): 335,
(New York: United Nations, 2007), https://www. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/
un.org/development/desa/indigenouspeoples/wp- dejure/article/view/426/pdf.
content/uploads/sites/19/2019/01/UNDRIP_E_ 20 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat Dalam
web.pdf. Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD
17 Simona Bustani, “Perlindungan Hak Komunal 1945,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 41, no.
Masyarakat Hukum Adat Dalam Perspektif 3 (2011).
Kekayaan Intelektual Tradisional Era Globalisasi: 21 Antonins Cahyad, “Hukum Rakyat a’ La
Kenyataan Dan Harapan,” Jurnal Hukum Prioris Friedrich Karl von Savigny,” Jurnal Hukum dan
6, no. 3 (2018): 304–325. Pembangunan 35, no. 4 (2005): 386–406, http://
18 (Sumarno, Airs, & Widodo, 2007, p. 38) jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1466.

236
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

Eropa maka tetap diberlakukan asas ini terkait dengan penghapusan peradilan
konkordansi. Akibatnya adalah muncul adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-
dualitas hukum, yakni hukum yang berlaku ketentuan untuk menghapuskan pengadilan
bagi Masyarakat Hukum Adat dan Hukum swapraja dan peradilan adat di Sulawesi,
yang berlaku bagi masyarakat Eropa. Lombok, Kalimantan, dan Irian Barat.
Walaupun dalam prakteknya, hak-hak dari
Semangatnya adalah sentralisme
Masyarakat Hukum Adat di era kolonial
hukum dan sistem peradilan dibawah
sering dikalahkan oleh hukum kolonial
kuasa Mahkamah Agung sehingga lebih
namun tentu adanya pengakuan ini
menjamin kepastian hukum itu sendiri.
menjadikan Masyarakat Hukum Adat
Disisi lain munculnya undang undang a quo
memiliki kedaulatan dalam bidang hukum,
malah menjadi preseden buruk dalam tubuh
tidak hanya secara politik dan ekonomi.
Masyarakat Hukum Adat, yakni bagaimana
pranata sosial dalam Masyarakat Hukum
Adat dapat bekerja dengan baik memberikan
pengayoman jika kemudian mereka tidak
diberi hak untuk ‘menegakkan’ Adat itu sendiri
karena sudah dikooptasi oleh Mahkamah
Agung. Dari sini, unifikasi hukum kemudian
dimaknai sebagai uniformitas hukum, padahal
pemberlakuan hukum secara nasional
Gambar 1. Legitimasi Masyarakat Hukum Adat
(unifikasi) harus dimaknai berbeda dengan
Memasuki era Republik Indonesia, penyeragaman hukum secara nasional
kemunduran malah terjadi dengan cara (uniformitas)23.
mulainya ketidakpercayaan bangsa Selama perjalanan sistem sentralistik
Indonesia dengan sistem Adat sebagai dasar peradilan dibawah Mahkamah Agung,
hukum nasional. Puncaknya adalah di era pemerintah sepertinya mulai sadar
Orde Lama dikeluarkan UU Darurat No. bahwa beban perkara sangat berat. Alih-
1/1951 pada tanggal 13 Januari 1951 yang alih mengembalikan kekuatan control di
pada pokoknya berisi 4 hal utama, yakni Masyarakat Hukum Adat, pemerintah lebih
22: (1) Penghapusan beberapa peradilan
focus pada pengembangan sistem arbritrase
yang tidak lagi sesuai dengan susunan dan alternatif penyelesaian sengketa untuk
negara kesatuan; (2) Penghapusan secara mengurangi beban perkara 24. Selain itu,
berangsur-angsur peradilan swapraja di sejak awal tahun 2000an, Mahkamah Agung
daerah-daerah tertentu dan semua peradilan banyak melakukan pembaharuan sistem
adat; (3) Melanjutkan peradilan agama dan mediasi di lembaga peradilan dengan yang
peradilan desa, sepanjang peradilan tersebut terakhir adalah dikeluarkannya Perma
merupakan bagian yang tersendiri atau No. 1/2016 tentang Prosedur Mediasi di
terpisah dari peradilan adat; Pembentukan Pengadilan.
pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-
tempat dimana landgerecht dihapuskan;
(4) Untuk melaksanakan undang-undang 23 (Yuli Isdiyanto, 2020, p. 6)
24 Raffles, “Pengaturan, Dan Model Alternatif Dalam
22 Yance Arizona, Kedudukan Peradilan Adat Perundang-Undangan Penyelesaian Sengketa
Dalam Sistem Hukum Nasional (Palu, 2013), Dalam Perundang-Undangan Indonesia,” Inovatif:
https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_ Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 (2010), https://
P e r a d i l a n _ A d a t_ d a l a m _ S i s t e m _ H u k u m _ online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/
Nasional?auto=download. view/206.

237
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

Pasca reformasi, terjadi pergeseran Desa tersebut sudah menjadi status Desa
paradigma rezim sentralistik dengan rezim Adat yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah
otonomi sehingga momentum ini kemudian Kabupaten/Kota (Pasal 98 UU No. 6/2014)
menjadi basis kekuatan baru untuk dengan memenuhi persyaratan sebagaimana
mengembangkan dan melindungi Masyarakat disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1) UU No.
Hukum Adat di Indonesia. Sebenarnya, 6/2014 yakni: 1). Hak tradisional masih hidup;
pengakuan terhadap sistem Adat sebagai 2). Hak tradisional yang hidup sesuai dengan
hukum sudah diakomodir sejak pertamakali perkembangan masyarakat; dan 3). Hak
Indonesia merdeka yakni yang ‘dikunci’ tradisional sesuai dengan prinsip NKRI.
oleh Soepomo dalam Penjelasan UUD
Padahal, jika melihat pada sisi realita,
1945 sebagai tafsir otentik atas UUD 1945.
keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat
Dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUD 1945
seringkali tidak dibarengi dengan sistem
(sebelum amandemen) disebutkan:
pembagian wilayah yang jelas, yakni secara
“Undang-Undang Dasar suatu negara administratif mereka seringkali menjadi
ialah sebagian dari hukumnya dasar bagian dari wilayah desa konvensional yang
negara itu. Undang-Undang Dasar ialah notabene sistem masyarakatnya sudah bukan
hukum dasar yang tertulis, sedangkan berlandaskan Adat lagi. Hal ini kemudian
di samping Undang-Undang Dasar itu menjadi alasan kenapa Masyarakat Hukum
berlaku juga hukum dasar yang tidak Adat yang rentan perlu untuk dilindungi
tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang secara utuh karena mereka tidak memiliki
timbul dan terpelihara dalam praktik banyak sumber daya untuk mempertahankan
penyelenggaraan negara meskipun tidak kedaulatan, otonomi dan identitasnya
tertulis” dikarenakan kelemahan baik yang sifatnya
Namun, dalam kenyataannya sampai internal maupun eksternal25.
era reformasi penjelasan ini tidak memiliki Regulasi yang tersebar secara
dampak faktual karena kedudukan hukum sektoral sebenarnya juga bisa mendukung
tidak tertulis sulit untuk diakomodir. Setelah untuk membantu perlindungan terhadap
reformasi, dalam amandemen terhadap Masyarakat Hukum Adat, terutama isu yang
UUD 1945, penjelasan atas UUD 1945 dibangun adalah ‘kehadiran negara’ menjadi
kemudian dihapuskan. Sebagi gantinya, sangat urgen untuk perlindungan ini. Dimulai
pada Amandemen ke-2 UUD 1945 dengan ketetuan Pasal 18B ayat (2) UUD
dimasukkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) NRI 1945 sebagai dasar konstitusi, kemudian
yang mengakomodir perlindungan atas ketentuan UU No. 6/2014 dalam langka
masyarakat adat dimana disebutkan: perlindungan hak tradisional dan hak asal-
usul, UU No. 41/1999 (Pasca Putusan MK)
“Negara mengakui dan menghormati
terkait perlindungan Tanah Ulayat, maupun
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
UU No. 5/2017 terkait pengamanan budaya,
adat beserta hak-hak tradisionalnya
dan perubahannya UUHC terkait perlindungan
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
EBT dan banyak regulasi sectoral lainnya
perkembangan masyarakat dan prinsip
yang bisa menjadi pintu masuk untuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.
25 M Syamsudin, “Beban Masyarakat Hukum Adat
Tidak selesai sampai disini, yang Menghadapi Hukum Negara,” JURNAL HUKUM
menjadi persoalan lain adalah, kewenangan IUS QUIA IUSTUM 15, no. 3 (2008): 338–351,
https://journal.uii.ac.id/index.php/IUSTUM/article/
atas pembelakuan hak asal-usul itu jika
viewFile/33/1839.

238
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

melakukan perlindungan kepada Masyarakat atau sebuatan lainnya sebagai satuan-satuan


Hukum Adat. Namun, kata kunci dari semua masyarakat sesuai dengan wilayahnya akan
itu tidak hanya pada sisi penegakan tetapi lebih stabil walau dalam perpolitikan dan
juga pembuatan produk hukum yang mampu suksesi kekuasaan sering menghancurkan
memberikan perlindungan tersebut menjadi kekuasaan. Kerajaan berganti, namun
lebih baik. desa tetap eksis, bahkan era kolonialisme
1. Titik Balik Eksistensi Masyarakat pun desa tetap mampu mempertahankan
eksistensinya, hal ini berlanjut sampai era
Hukum Adat
kemerdekaan Indonesia.
Mengacu pada ketentuan Pasal 19
Kedua, Desa adalah sebuah entitas
UU No. 6/2014 tentang Desa menyebutkan
bahwa desa memiliki kewenangan yang paling mandiri atau berdiri di kaki
sendiri. Sebagai bentuk satuan masyarakat
berdasarkaan asal usul. Hal ini kemudian
di suatu wilayah, masyarakat desa berhasil
dipertegas pada ketentuan Pasal 67 UU No.
membangun bentuk sistem dan pranata
6/2014 bahwa desa berhak untuk mengatur
sosialnya sendiri sehingga dapat bertahan
dan mengurus kepentingan masyarakat
baik dan memiliki kemandirian baik di bidang
berdasarkaan hak asal-usul, adat istiadat
ekonomi, politik bahkan hukum. Tidak heran
dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
kemudian Moh Hatta menyebutkan bahwa
Ketentuan ini pada dasarnya adalah turunan
demokrasi desa lebih maju dari demokrasi
dari semangat dalam Pasal 18B UUD 1945
politik Barat, karena demokrasi di desa
yang menyebutkan negara mengakui dan
adalah demokrasi ekonomi 27.
menghormati satuan-satuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya Ketiga, pranata sosial yang dibangun
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan dan dikembangkan di desa selama berates-
perkembangan masyrakat dan prinsip NKRI. ratus tahun telah berhasil membentuk tidak
hanya stabilitas, melainkan juga jati diri desa
Sebenarnya, gagasan terkait
mawa cara yang menjadi tidak tergantung
mengutamakan kedudukan desa terutama
dengan ‘negara’. Dalam konteks ini, desa
masyarakat tradisional yang ada di Indonesia
tidak hanya menjadi satuan masyarakat
sudah masuk sejak pembahasan di BPUPKI.
melainkan sebagai satuan pemerintahan
Pasla 18 BAB VI UUD 1945 (pra amandemen)
yang asli dan memiliki perangkat layaknya
adalah hasil dari perdebatan tersebut,
negara mulai dari teritorial, warga, aturan atau
dalam kacamata ini desa dilihat sebagai
hukum dan pemerintahan sehingga oleh Ter
daerah-daerah yang berfiat istimewa26.
Haat disebut sebagai doorpsrepubliek atau
Dalam kenyatannya, desa secara materil
‘negara kecil’ 28. Konsep pemerintahan yang
memanglah sangat istimewa. Sehingga
mandiri ini kemudian menginspirasi Soepomo
konsep keistimewaan disini dapat dilihat
dalam ‘membentuk’ sistem ketatanegaraan
dalam tiga aspek yakni:
Republik Indonesia diaman dalam kajian
Kesatu, desa adalah entitas yang paling Hamid Attamini disebutkan bahwa ‘republik
bertahan dalam dinamika dan dialektika
perpolitikan sejak era kerajaan. Artinya, desa
27 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Djakarta: PT
Pusaka Antara, 1966).
26 Huda Ni’matul, “Urgensi Pengaturan Desa 28 Udiyo Basuki, “Desa Mawa Cara Negara Mawa
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tata: Dinamika Pengaturan Desa Dalam Sistem
Indonesia Tahun 1945,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Al-Mazahib 5,
Hukum 4, no. 158 (2017): 1–18, http://jurnal. no. 2 (2017): 321–344, http://ejournal.uin-suka.
unpad.ac.id/pjih/article/viewFile/12075/6597. ac.id/syariah/almazahib/article/view/1424.

239
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

desa’ adalah percontohannya 29. Harapannya, 2. Melalui Keputusan Menteri Kehakiman


Republik Indonesia yang nantinya dibentuk tanggal 30 September 1953 No. J.B.4/4/7
dapat benar-benar mandiri dan bersatu (TLN462) dihapuskan pengadilan adat di
layaknya desa di Nusantara. seluruh Lombok;
Namun, konsep keistimewaan tersebut 3. Melalui Peraturan Menteri Kehakiman
kemudian ‘terusak’ oleh beberapa regulasi tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2
yang alih-alih membangun tetapi malah (TLN.641) jo. Surat Penetapan Menteri
menghancurkan. Di sini, masyarakat adat Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954
kemudian dibunuh karakternya secara No. J.B.4/4/20 (TLN.642) dihapuskan
perlahan oleh peraturan perundang-undangan pengadilan swapraja dan peradilan adat di
yang ada. Ada beberapa babakan atau fase seluruh Kalimantan;
bagaimana kedudukan Masyarakat Hukum
4. Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun
Adat di Indonesia pasca kemerdekaan,
1966 dihapuskan pengadilan adat dan
diantaranya adalah diterangkan dibawah ini.
swapraja serta dibentuk Pengadilan
Fase kesatu ditandai dengan keluarnya Negeri di Irian Barat. Selanjutnya
UU No. 23/1947 tentang Pehampusan
Fase kedua ini adalah turning point dan
Pengadilan-Raja di Jawa dan Sumatera.
menjadi pintu masuk senjakala Hukum Adat
Melalui regulasi ini, keberadaan eksistensi
di Indonesia. Fenomena ini kemudian seakan
hukum adat masih bertuah karena
menjadi ‘tamparan’ terhadap masayrakat
secara khusus tidak ada ketentuan yang
adat dengan beribu pertanyaan, bagaimana
menghapuskan keberdaan hukum adat 30.
dahulu pemerintah Hindia Belanda saja
Fase kedua adalah saat dikeluarkannya mengakui eksistensi atau keberadaan
UU Darurat No. 1/1951 yang tujuannya mereka tetapi bangsa Indonesia sendiri
adalah penghapusan beberapa peradilan setelah merdeka malah tidak percaya dengan
swapraja, peradilan adat, maupun menganggap keberdaan hukum adat tidak
peradilan desa yang ‘dianggap’ tidak sesuai mampu menampung kepentingan nasional
dengan susunan negara kesatuan. Untuk maupun internasional 32.
melaknsakan ketentuan ini, pemerintah
Fase ketiga adalah negara melakukan
kemudian mengeluarkan beberapa peraturan
kooptasi terhadap desa dengan menempatkan
pelaksana, yakni 31:
desa sebatas administrasi dan pembatasan
1. Melalui Peraturan Menteri Kehakiman kewenangan. Pola piker sentralistik menjadi
tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 sangat mengental pada fase ini bahkan
(TLN 276), dihapuskan pengadilan- sering disebut sebagai ‘bias Jakarta’ dengan
pengadilan swapraja dan pengadilan adat ditandai munculnya UU No. 5/1974 tentang
di seluruh Sulawesi; Pemerintah Di Daerah maupun UU No.
5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang
29 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan memaksa setiap desa harus ‘seragam’
Presiden Republik Indonesia Dalam dan menegasikan keberagaman maupun
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”
(Universitas Indonesia, 1990).
pencirian masing-masing desa baik dari
30 Ilham Yuli Isdiyanto and Muhammad Nur, “Masa segi budaya, politik maupun nilainya 33. Efek
Depan Hukum Adat Di Indonesia,” in Hukum domino dari kebijakan ini adalah struktur
Dan Politik: Regulasi Yang Memuliakan Martabat
Manusia, ed. Dwi Cipta (Yogyakarta: Sanggar
Inovasi Desa, 2020), 77–98. 32 Isdiyanto, Dekonstruksi Pemahaman Pancasila:
31 Arizona, Kedudukan Peradilan Adat Dalam Menggali Jati Diri Hukum Indonesia.
Sistem Hukum Nasional. 33 (Mandasari, 2015: 3-4)

240
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

tatanan asli desa yang didasarkan pada adat ekonomi. UU Desa ini menempatkan status
ataupun nilai-nilai setempat menjadi runtuh34. desa sebagai badan hukum tersendiri terkait
dengan pemerintahan negara, sehingga desa
pun berhak membuat peraturan perundang-
undangann35.
Namun, terkait perlindungan terhadap
masayrakat adat, kewenangan tidak secara
mandiri diatur di desa, melainkan politik
hukum yang dibangun ada pada pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana ketentuan
Pasal 98 ayat (1) UU No. 6/2014: “Desa
Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota”. Berdasakan ketentuan
ini, maka politik terkait penentuan desa
Gambar 2. Fase Perkembangan Desa sejak adat bukanlah domain pemerintahan pusat,
Pasca Kemerdekaan melainkan ada pada pemerintah daerah
terutama Kaupaten/ Kota.
Fase terakhir adalah pasca reformasi,
dimana kebutuhan untuk kembali ke lokal Ketentuan pasal a quo memang tidak
menjadi sangat kuat. Konsep penyeragaman serta merta diikuti, seperti yang terjadi
a la Orde Baru ditentang dengan tuntutan di Bali, keberadaan legitimasi Desa Adat
kembali ke bentuk-bentuk penamaan semua. diakomodir melalui Perda Provinsi Bali
Fase ini dimulai dengan munculnya UU No. No. 4/2019 tentang Desa Adat di Bali yang
22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang dialam konsiderannya tidak mengakomodir
kemudian diganti dengan UU No. 32/2004 ketentuan dalam UU No. 6/2014 tentang
dan diganti kembali dengan UU No. 23/2014. Desa, bahkan didalam peraturan pelaksana
Selain itu, fase reformasi ini yang paling melalaui Pergub Bali No. 4/2020 tentang
terasa dan mejadi turning point adalah saat Peraturan Pelaksana Peraturan Daerah
disahkannya UU No. 6/2014 tentang Desa Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di
yang menempatkan kedudukan sebagai salah Bali juga tidak menjadikan UU No. 6/2014
satu tujuan utamanya sehingga memulai era tentang Desa sebagai konsideran. Hal ini
rezim pemerintahan desa. cukup menarik, karena jika mengacu pada
ketetnuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 6/2014
2. Kedudukan Masyarakat Kampung Pitu
maka kewenangan penetapan Desa Adat
sebagai Masyarakat Hukum Adat
bukanlah di Provinsi melainkan berada di
Melalui UU No. 6/2014 kedudukan Kabupaten/Kota sehingga produk hukumnya
desa kembali di perkuat sesuai konsep dan adalah Perda Kabupaten/Kota. Produk
marwah asalnya, terutama pada bidang hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah
politik/birokrasi pemerintahan dan dibidang Daerah Bali tersebut hanya mengacu pada

34 Agus Kusnadi, “Perkembangan Politik Hukum 35 Sutrisno Purwohadi Mulyono, “Sinergitas


Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pasca
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Pemberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang
Daerah Dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun Desa,” Masalah-Masalah Hukum 43, no.
2014 Tentang Desa,” PADJADJARAN Jurnal 3 (2014): 438–444, https://www.neliti.com/
Ilmu Hukum (Journal of Law) 2, no. 3 (2015): publications/4685/sinergitas-penyelenggaraan-
564–580, http://journal.unpad.ac.id/pjih/article/ pemerintahan-desa-pasca-pemberlakuan-uu-no-
viewFile/9457/4249. 6-tahun-20.

241
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p -I S S N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e -I S S N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

UU No. 64/1958 tentang Pembentukan rasa kebatinan yakni perasaan yang sama37.
Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Konsep memiliki perasaan yang sama ini
Barat dan Nusa Tenggara Timur. memang mirip jika disamakan dengan teori
imagined community Benedict Anderson yang
Berbeda dengan di wilayah lain, seperti
menempatkan kedudukan bangsa sebagai
penetapan Kampung Adat di Kabupaten Siak,
komunitas politik dan dibayangkan sebagai
Provinsi Riau yang sudah ada sejak tahun
sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren
2015. Melalui ketentuan Perda Kabupaten Siak
dan berkedaulatan, uniknya hal ini bersifat
No. 2/2015 tentang Penetapan Kampung Adat
‘terbayang’ karena satu sama lain anggota
di Kabupaten Siak didalam konsiderannya
bangsa belum tentu mengenal satu sama
memuat ketentuan UU No. 6/2014. Hal
lain tetapi ‘seakan-akan’ sudah terikat dalam
yang sama juga ada pada ketentuan Perda
‘rasa’ yang sama38.
Kabupaten Sukabumi No. 9/2015 tentang
Desa, dan Perda Kabupaten Pasuruan No. Keberadaan masyarakat hukum adat
16/2020 tentang Lembaga Kemasyarakat sendiri sudah ada sejak ratusan tahun
Desa dan Lembagfa Adat Desa di Kabupaten yang lalu, bahkan van Vollenhoven dalam
Pasuruan yang juga menyebutkan didalam penelitian pustakanya menyebutkan
konsiderannya UU No. 6/2014 tentang masyarakat asli Indonesia sudah ada sejak
Desa. Konsideran yang memuat ketentuan ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa
UU No. 6/2014 juga muncul pada ketentuan Eropa dan memiliki tata hukum sendiri atau
Perbub Bupati Pasaer No. 70/2019 tentang yang dikenal dengan istilah Hukum Adat 39.
Lembaga Kemasyarakat Desa dan Lembaga Hal ini menjadi penegas, legitimasi historis
Adat Desa, dan Peraturan Bupati Tanah Lau menjadi dasar utama keniscayaan terhadap
No. 26/2019 tentang Lembaga Adat Desa/ hak-hak masyarakat hukum adat.
Kelurahan.
Dalam UU No. 6/2014 terjadi pembedaan
Kedudukan Desa Adat menjadi sangat antara legitimasi Desa Adat dengan legitimasi
penting karena menjadi dasar utama Masyarakat Hukum Adat. Mengacu pada
kedudukan Masyarakat Hukum Adat. Untuk ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 6/2014
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, tidak menyebutkan syarat penetapan Desa Adat
ada regulasi ataupun perda baik provinsi adalah sebagai berikut:
maupun kabupaten yang mengatur terkait
a) kesatuan masyarakat hukum adat
Desa Adat, sehingga walaupun kedudukan beserta hak tradisionalnya secara nyata
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
masih hidup, baik yang bersifat teritorial,
berstatus istimewa berdasarkan UU No.
genealogis, maupun yang bersifat
13/2012 namun tidak memiliki Desa Adat.
fungsional;
Masyarakat Hukum Adat pada umumnya
b) kesatuan masyarakat hukum adat beserta
adalah kesatuan masyarakat hukum atau
hak tradisionalnya dipandang sesuai
kelompok masyarakat yang terbentuk
dengan perkembangan masyarakat; dan
baik secara genealogis, territorial maupun
gabungan genealogis dan territorial36. Ketiga
aspek tersebut baik secara genealogis,
territorial maupun campuran, diikat oleh 37 Jawahir Thontowi, “Pengaturan Masyarakat
Hukum Adat Dan Implementasi Perlindungan
Hak-Hak Tradisionalnya,” Pandecta: Research
36 Esrah D N A Benu, “Kontradiksi Penetapan Desa Law Journal 10, no. 1 (2015): 1–13.
Boti Sebagai Desa Adat,” Jurnal Politicon 9, no. 1 38 (Anderson, 2008: 8)
(2020). 39 (Kalolo, 2018: 2)

242
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

c) kesatuan masyarakat hukum adat beserta Berbagai wilayah telah memberikan


hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip gambaran bahwa upaya rekognisi terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Hukum Adat pada dasarnya
Penetapan Desa Adat salah satu adalah diperoleh dengan memperjuangkan
hak, bukan diberikan sesuai regulasi yang
syaratnya adalah adanya ‘kesatuan
ada terutama jika berhubungan dengan
masyarakat hukum adat’ yang masih eksis
korporasi40. Ini terjadi karena rekognisi dari
dan hidup, disini ketentuan Pasal 97 ayat (2)
negara yang sangat formal dan persyaratan
UU No. 6/2014 disebutkan harus memiliki
yang ‘ribet’ menjadikan kedudukan mereka
wilayah dan paling tidak memenuhi salah
sangat rentan, apalagi seringkali masyarakat
satu atau gabungan unsur berikut:
hukum adat wilayahnya tidak mencakup satu
a) masyarakat yang warganya memiliki desa, kadang hanya salah satu bagian dari
perasaan bersama dalam kelompok; desa seperti halnya yang terjadi di Kampung
b) pranata pemerintahan adat; Pitu yang wilayahnya hanya 1 (satu) Rukun
Tetangga. Rekognisi atau pengakuan memiliki
c) harta kekayaan dan/atau benda adat;
terminologis sebagai proses, cara, perbuatan
dan/atau mengaku atau mengakui. Sedangkan istilah
d) perangkat norma hukum adat ‘mengakui’ sendiri berarti menyatakan
Penetapan Desa Adat salah satu berhak, oleh karenanya pengakuan ini ada
yang sifatnya de facto atau de jure41.
syaratnya adalah adanya ‘kesatuan
masyarakat hukum adat’ yang masih eksis Secara konstruksi teoritik, masyarakat
dan hidup, disini ketentuan Pasal 97 ayat (2) hukum adat pada dasarnya adalah kesatuan
UU No. 6/2014 disebutkan harus memiliki masyarakat dalam satu wilayah adat yang
wilayah dan paling tidak memenuhi salah satu bersifat otonom dimana mengatur sistem
atau gabungan unsur berikut: a) masyarakat sosial secara mandiri (hukum, politik,
yang warganya memiliki perasaan bersama ekonomi, dan lainnya)42. Hal ini sebenarnya
dalam kelompok; b) pranata pemerintahan juga sudah diakomodir oleh UU Desa, namun
adat; c) harta kekayaan dan/atau benda adat; siapa yang berhak memberikan rekognisi
dan/atau d) perangkat norma hukum adat. terhadap masyarakat hukum adat.
Selain syarat tersebut, untuk dapat Seperti masyarakat Kampung Pitu,
diakui sebagai masyarakat hukum adat juga secara sosial dan pranata mereka memiliki
jika dipandang sesuai dengan perkembangan sistem yang turun menurun sesuai
masyarakat sebagaimana disebutkan dalam sejarahnya. Hasil wawancara dengan
ketentuan Pasal 97 ayat (3) UU No. 6/2014 Sugito alias Aan43 yang merupakan warga
menyebutkan 2 (dua) barometer utama, Kampung Pitu menjelaskan bahwa banyak
yakni eksistensinya diakui secara yuridis dan
subtansinya diakui dan dihormati oleh warga 40 A. Afrizal, “Tanggung Jawab Sosial Korporasi Dan
kesatuan masyarakat luas maupun tidak Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Ilmu
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sosial dan Ilmu Politik 17, no. 2 (2013): 37788.
41 Ahyar Ari Gayo, “PERLINDUNGAN HUKUM HAK
Barometer yang penulis lihat lebih pada tidak ATAS TANAH ADAT Di KAB BENER MERIAH,”
bertentangan dengan perundang-undangan, Izvestiya of Altai State University Journal 18, no.
3(101) (2018): 77.
sedangkan barometer terakhir lebih pada 42 Besse Sugiswati, “Perlindungan Hukum Terhadap
legitimasi sosiologis. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia”
XVII, no. 1 (2012): 31–43, http://jurnal-perspektif.
org/index.php/perspektif/article/view/92/84.
43 Wawancara tanggal 28 Januari 2020

243
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

tradisi masih eksis dan dijaga kelestariannya Kraton Yogyakarta yang berhasil mengambil
hingga sekarang seperti tradisi wiwitan, pusaka berupa pohon Kinang Gadung Wulung
Rasulan, dan berbagai macam bentuk tradisi adalah Eyang Iro Kromo dan temannya yang
lainnya. Selain itu, yang paling utama adalah berjumlah tujuh orang. Saat mereka menetap
bagaimana sejarah Kampung Pitu terbentuk, di tanah pemberian Keraton didekat pohon
disebutkannya: dan menjadi cikal bakal Kampung Pitu,
mereka membuat kesepakatan yang menjadi
“Sejarah kampung pitu berawal dari
Adat yakni45:
ditemukan pohon Kinang Gadung Wulung
oleh abdi dalem keraton Yogyakarta dan 1. Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar
pada waktu itu Kraton Ngyugyokarto pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala
mengakan sayembara sehingga keluarga
banyak orang-orang saksi berkumpul di 2. Jika ada keturunan dari tujuh orang
Kampung Pitu. Sayembaranya adalah
tersebut berkeinginan tinggal di sekitar
barang siapa yang mampu menjaga
pohon tersebut maka harus menunggu
pohon Kinang Gadung Wulung tersebut
sampai ada kepala keluarga yang
akan dikasih tanah secukupnya dan
meninggal.
keturunannya kedepan. Tanah yang
diberikan tersebut adalah wilayah 3. Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala
Kampung Pitu saat ini, karena Eyang keluarga sudah ada tujuh, maka keluarga
Dikromo (Kromo) dari Banyumas yang mereka harus menginduk pada tujuh
berhasil dan mampu menjaga Pohon kepala keluarga yang ada, tak boleh
Kinang Gadung Wulung tersebut makai berdiri dalam kepala keluarga sendiri.
ia yang diberi tanah dan selanjutnya Kampung Pitu yang masuk Rukun
membabat alas yang sekarang dikenal Tetangga (RT) 19 Pedukuhan Ngelanggeran
sebagai Kampung Pitu”. Wetan memang tidak memiliki wilayah yang
Selanjutnya, yang menarik adalah luas yakni sekitar 7 (tujuh) hektar dan hanya
penamaan ‘Kampung Pitu’ itu sendiri, yakni dihuni oleh 30 orang penduduk dengan
kata ‘pitu’ berarti ‘tujuh’. Menurut Sugito, 8 (delapan) bangunan rumah46, namun
penamaan itu karena sejak dahulu kala Kampung Pitu dengan Adatnya ini menjadi
jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada di ciri tersendiri yang apabila melanggar
Kampung Pitu tidak lebih dari tujuh. Pernah dapat kena ‘bala’ bahkan ‘mitosnya’ sampai
ada penambahan sampai 9 (Sembilan) KK, meninggal dunia.
namun tidak tahu kenapa 2 (dua) orang KK Jika mengacu pada ketentuan Pasal 97
keluar entah karena sakit atau alasan lainnya. ayat (2) UU No. 6/2014, maka masyarakat
Alhasil, sampai sekarang jumlah KK yang Kampung Pitu bisa dikategorikan sebagai
ada di Kampung Pitu hanya tujuh orang. Hal Masyarakat Hukum Adat yang seharusnya
itu juga dibenarkan oleh Agus selaku Kepala
Dukuh Ngelanggeran Wetan44. 45 Ditwdb, “Kampung Pitu (1),” Https://Kebudayaan.
Kemdikbud.Go.Id/, last modified 2019, accessed
Berdasarkaan penuturan dari Mbah Rejo July 6, 2020, https://kebudayaan.kemdikbud.
Dimulyo yang merupakan generasi ketiga go.id/ditwdb/kampung-pitu-1/.
46 Sudadi, “Misteri Kampung Pitu,Di Desa
dari Eyang Iro Kromo, asal usul tujuh orang Nglanggeran Kecamatan Patuk, Gunungkidul,”
tersebut adalah karena saat sayembara dari Https://Www.Nglanggeran-Patuk.Desa.Id/, last
modified 2020, accessed July 7, 2020, https://
www.nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/1156-
44 Wawancara konfirmasi dilakukan pada tanggal 7 Misteri-Kampung-Pitu-di-Desa-Nglanggeran-
November 2020 Kecamatan-Patuk--Gunungkidul.

244
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

mendapatkan perhatian dari masyarakat. Perangkat Kampung Pitu memiliki norma


Namun, legitimasi atau rekognisi ini kurang norma hukum masyarakat tradisional Jawa pada
adat umumnya, namun yang paling
mendapatkan status posisi tawar (bargaining menonjol adalah ketentuan adat
position) karena bukanlah sebagai Desa Adat, terkait jumlah KK yang tinggal di
Kampung Pitu.
sehingga dalam hal mempertahankan hak-
haknya termasuk didalamnya terkait ekspresi 3. Hak ‘Kebudayaan’ Kampung Pitu:
budaya tidaklah dapat secara maksimal dan Analisa Yuridis
komprehensif. Bahkan setelah dilakukan
Pengetahuan Tradisional (PT) dan
penelusuran terkait regulasi khusus baik di
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) adalah
tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi
elemen penting dari warisan budaya dan
yang mengakomodir keberadaan Desa Adat
identitas dari banyak masyarakat adat dan
maupun Masyarakat Hukum Adat hampir tidak
komunitas lokal, serta di banyak negara
bisa ditemukan. Begitu juga terkait Peraturan
dan wilayah. PTEBT berkontribusi untuk
Desa Nglanggeran yang mengatur terkait
kesejahteraan, pembangunan berkelanjutan
Kampung Pitu, juga tidak dapat ditemukan.
dan vitalitas budaya komunitas tersebut.
Tabel 1. Barometer Masyarakat Hukum Adat
Apalagi PTEBT secara historis, diakui
berdasakarkan Pasal 97 ayat (2) UU Desa
sebagai “common heritage of humanity” atau
Barometer Keterangan Kampung Pitu
warisan bersama umat manusia yang artinya,
Masyarakat
Hukum Adat manfaatnya adalah milik seluruh umat
Memiliki wilayah Kampung Pitu memiliki wilayah di manusia.47
Desa Ngelanggeran, Gunung Kidul
dan keberadaannya sudah ada Budaya tradisional merupakan bagian
sejak era dahulu kala. Sehingga
kehidupan suatu masyarakat pemilik budaya
wilayah tersebut adalah milik
warga Kampung Pitu. tersebut yang mengandung nilai-nilai
Masyarakat Masyarakat Kampung Pitu yang ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk spiritual),
yang warganya berjumlah 30 (tiga puluh) orang
maupun nilai-nilai komunal yang menjadi
memiliki sangat menjunjung tinggi adat
perasaan atau nilai-nilai dari leluhur dan bagian penting dari masyarakat tradisional
bersama dalam terus menjalankan tradisi. Hal ini tersebut. Oleh karena itu, terdapat keterkaitan
kelompok mengikat perasaan dan kebatian
warga Kampung Pitu satu sama kuat antara budaya tradisional dengan
lain yang terikat baik secara identitas masyarakat adat tempat budaya
genealogis maupun teritorial. tersebut hidup, tumbuh dan berkembang.48
Pranata Kampung Pitu memiliki pemimpin
pemerintahan yang ada sejak era Eyang Iro Indonesia sebagai negara dengan
adat Kromo, lalu diganti Mbah Mento
Dikromo, lalu Mbah Kartoyoso, berbagai suku dan etnis merupakan rumah
hingga saat ini dipimpin oleh Mbah bagi ribuan budaya yang berbeda yang telah
Rejo Dimulyo yang berusia lebih hidup selama berabad-abad, menghasilkan
dari 100 tahun. Sistem pranata
sosial sudah diturunkan hingga berbagai karya, dan ekspresi budata yang
generasi ke-4. bertahan lama. Ekspresi budaya tersebut
Harta kekayaan Belum ditemukan harta kekayaan
dan/atau benda atau benda adat selain dari
adat bentuk tradisi atau situs- 47 WIPO, Intellectual Property, Traditional Knowledge
situs yang disakralkan oleh and Traditional Cultural Expressions/Folklore – A
masyarakat seperti mata air Guide for Countries in Transition (WIPO-2013)
atau tlogo Guyangan/Mardhido https://www.wipo.int/publications/en/details.
yang dipercaya sebagai tempat jsp?id=4108 last accessed 08 December 2020
pemandian Jaran Sembrani (kuda 48 Afrillyana Purba, “Pemberdayaan Perlindungan
ghaib) tunggangan bidadari. Hukum Pengetahuan Tradisional dan
ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana
Pertumbungan Ekonomi Indonesia” (Bandung :
PT Alumni, 2012) H. 139

245
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

merupakan kekayaan dan warisan Indonesia dapat dilihat sebagai berikut51 :


yang harus dilindungi oleh pemerintah dari
tindakan yang merugikan ekspresi itu sendiri
maupun masyarakat yang memproduksinya.49
Secara internasional, perlindungan
atas PTEBT didorong oleh organisasi
internasional seperti UNESCO dan WIPO
(World Intellectual Property Organization)
dimana UNESCO berfokus pada “Safeguard”
atas warisan budaya di dunia, sedangkan
Gambar 3. Kaitan antara Hak Kebudayaan
WIPO berfokus pada perlindungan hukum
dengan Hak kekayaan Intelektual
atas kekayaan intelektual dan budaya.50
Ekspresi Budaya Tradisional sebagai
Hak Kebudayaan atau Hak Kultural
wujud dari eksistensi masyarakat tradisional
telah diatur oleh instrumen-instrumen hukum
atau masyarakat hukum adat adalah suatu
internasional yang berkaitan dengan Hak
entitas yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Asasi Manusia, misalnya dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948 Pasal Pengaitan Hak kebudayaan dengan
27(1) dan (2) yang menyatakan bahwa: Hak Kekayaan Intelektual akan menghindari
potensi eksploitasi dari pihak luar terhadap
“(1) Tiap-tiap orang berhak untuk
Hak-Hak Kekayaan Intelektual masyarakat
berpartisipasi secara bebas dalam
tradisional atau komunitas lokal. Sehingga
kehidupan berbudaya kelompoknya,
tujuan ekploitasi berupa keuntungan baik
menikmati hasil-hasil karya seni
secara ekonomis maupun non ekonomis akan
dan berbagi dalam pengembangan
pemanfaatan hak kekayaan intelektual yang
keuntungan-keuntungan yang didapat
dimiliki oleh masyarakat adat dapat dilakukan
dari ilmu pengetahuan;
sendiri oleh masyarakat adat itu sendiri.
(2) Tiap orang berhak mendapat
Tujuan dari pemanfaatan Ekspresi
perlindungan atas keuntungan moral
Budaya Tradisional pada dasarnya adalah
dan material yang merupakan hasil
untuk:52
dari produk-produk karya ilmiah,
kesusasteraan dan kesenian ciptaannya 1. Mengakui adanya nilai-nilai yang secara
sendiri”. intrinsik terdapat dalam warisan budaya
tradisional. Termasuk di dalam nya adalah
Pada Pasal tersebut ditemukan kaitan
pengakuan bahwa kebudayaan tradisional
erat antara Hak Kebudayaan dengan Hak
dan ekspresi budaya tradisional juga dapat
Kekayaan Intelektual. Kaitan antara hak
memberikan kontribusi dan keuntungan,
kebudayaan dengan hak kekayaan
baik bagi masyarakat pemangkunya,
intelektual dapat dilihat sebagai berikut51:
maupun seluruh umat manusia;
49 Diah Imaningrum Susanti, Rini Susrijani and
Raymundus I Made Sudhiarsa, “Traditional
Cultural Expressions and Intellectual Property
Rights in Indonesia”, Yuridika, Volume 35
No. 2 (2020) http://dx.doi.org/10.20473/ydk. 51 Miranda Risang Ayu, Harry Alexander, dan Wina
v35i2.15745 Puspitasari, “Hukum Sumber Daya Genetik,
50 Lindsey Schuler, Modern Age Protection: Pengetahuan Tradisional, dan Ekspresi Budaya
Protecting Indigenous Knowledge through Tradisional di Indonesia”, (Bandung : PT Alumni,
Intellectual Property Law, 21 Mich. St. Int’l L. 2014) H.69
Rev. 751 (2013) 52 Ibid. H. 213

246
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

2. Mempromosikan penghormatan terhadap hukum bagi masyarakat pemangku;


Budaya Tradisional dan Ekspresi Budaya
10.Mencegah pemberian hak kekayaan
Tradisional, termasuk penghormatan
intelektual yang tidak sah dan tidak
terhadap nilai-nilai filosofis, intelektual
menyertakan izin dari komunitas pemangku
maupun spiritual dari masyarakat
suatu Ekspresi Budaya Tradisional.
pemangku dan pelestari nilai-nilai tersebut;
Termasuk diantaranya adalah mencegah
3. Mewadahi aspirasi masyarakat pemangku. pemberian, pengimplementasian dan
Hal ini adalah sebagai wujud penghormatan penegakan Kekayaan Intelektual oleh
kepada hak-hak masyarakat pemangku, pihak-pihak diluar masyarakat adat atas
baik berdasarkan hukum nasional maupun suatu EBT;
internasional, dan berkontribusi terhadap
11.Mendorong adanya kepastian hukum,
kesejahteraan dan pembangunan sosial,
transparansi dan saling percaya dalam
lingkungan, budaya, dan ekonomi yang
hubungan antara masyarakat pemilik EBT
berkelanjutan, bagi masyarakat pemangku
dengan pemerintah, pelaku usaha, serta
terkait;
pengguna lain.
4. Memberdayakan masyarakat pemangku
UUHC memberikan konsep perlindungan
secara seimbang dan adil tetapi juga efektif,
terhadap EBT sebagaimana tercantum di
sehingga dapat mengimplementasikan
dalam Pasal 38 Ayat (1) yang menyatakan
hak atas Ekspresi Budaya Tradisional
“Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional
mereka sendiri;
dipegang oleh Negara” yang kemudian
5. Mencegah pemanfaatan secara melawan dilanjutkan pengaturan dalam Ayat (2)
hukum maupun penyalahgunaan lainnya “Negara wajib menginvetarisasi, menjaga,
(misappropriation and misuse); dan memelihara ekspresi budaya tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
6. Mendukung praktik-praktik Adat
Berbeda dengan konsep Hak Cipta yang
dan Kerjasama antar komunitas,
memberikan perlindungan terhadap Hak
termasuk penggunaan berkelanjutan
yang berdasarkan kepada hukum Pencipta yang bersifat individual, pengaturan
terkait Ekspresi Budaya Tradisional dalam
kebiasaan, pembangunan, pertukaran,
UUHC dimaksudkan untuk memberikan
dan penyebarluasan Ekspresi Budaya
eksklusifitas atas EBT sebagai hak komunal,
Tradisional oleh, di dalam, dan di antara
dalam hal ini adalah masyarakat tradisional
komnitas-komunitas terkait;
atau masyarakat adat.
7. Berkontribusi terhadap pelestarian dan
Keberadaan UUHC sebagai payung
penyelamatan budaya tradisional dan
perlindungan bagi Ekspresi Budaya
lingkungan tempat suatu Ekspresi Budaya
Tradisional pada dasarnya merupakan upaya
Tradisional dikembangkan dan dijaga,
untuk melindungi kepentingan ekonomis
untuk keuntungan langsung bagi kelompok
dari pemangku kepentingan, dalam hal ini
masyarakat pemangkunya;
masyarakat hukum adat, sebagai pemilik
8. Mendorong kreativitas dan inovasi dari kekayaan intelektual berbasis budaya
komunitas dan memberi imbalan terhadap tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kreasi dan inovasi yang berbasis tradisi kekayaan budaya, dapat mendatangkan nilai
9. Mengupayakan perlindungan hukum manfaat yang tinggi bagi pemerintah. Ekspresi
dengan memungkinkan dilakukannya Budaya Tradisional sebagai aset bangsa
cara-cara praktis maupun upaya-upaya dapat menjadi pendorong salah satunya pada

247
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

sektor pariwisata dan sektor ekonomi kreatif. mengakses informasi tersebut sehingga
Dengan demikian, produk Ekspresi Budaya pihak yang bermaksud untuk melakukan
Tradisional dapat menghasilkan keuntungan pemanfaatan tersebut dapat secara langsung
secara ekonomi secara terus menerus. terhubung dengan masyarakat tradisional
pemilik EBT sehingga keuntungan ekonomis
Meskipun demikian, perlindungan hukum
dari pemanfaatan EBT milik suatu komunitas
atas EBT melalui rezim Hak Cipta tidak berarti
atau masyarakat tradisional dapat langsung
tidak menemui masalah ketika persyaratan
dinikmati oleh pemilik EBT.
berupa fiksasi/perwujudan karya. Hampir
sebagian besar karya yang berbasis budaya Pada dasarnya, upaya hukum,
tradisional memiliki karakteristik tidak tertulis, administrasi dan kebijakan terhadap suatu
seperti mitos, legenda, atau lagu rakyat. EBT harus melindungi kepentingan ekonomis
Dalam dataran praktis, kreasi-kreasi tersebut dari pihak penerima keuntungan, khususnya
masih menggunakan tradisi tidak tertulis dan pemilik EBT sebagai pemangku, diantaranya
masih tetap hidup di masyarakat tradisional.53 dengan: 54
Peran negara untuk menginventarisasi 1. Mencegah pembocoran, fiksasi maupun
EBT sebagaimana amanat UUHC berbagai bentuk eksploitasi lain dari suatu
menjadi penting ketika dihadapkan EBT yang bersifat rahasia;
dengan permasalahan inventarisasi. 2. Mengakui bahwa penerima keuntungan
Pendokumentasian sebagai langkah awal
utama adalah masyarakat pemangku atau
inventarisasi atas EBT dapat dilakukan melalui
komunitas umber (source community) dari
Pemerintah Daerah agar dapat terwujud
suatu EBT sendiri, kecuali identifikasi dari
database EBT yang lengkap untuk seluruh
komunitas sumber ini sama sekali tidak
wilayah Indonesia. Hal ini dimaksudkan
memungkinkan;
selain untuk menghindari adanya sengketa
dengan pihak luar sebagaimana yang terjadi 3. Mencegah penggunaan atau modifikasi
dalam sengketa Indonesia-Malaysia yang yang akan mendistorsi atau memutilasi
pernah terjadi, dokumentasi dan inventarisasi suatu EBT, sehingga bersifat ofensif,
juga sebagai wujud dari penjagaan mengurangi, atau meniadakan signifikansi
dan pemeliharaan EBT dari kepunahan kulturalnya bagi pihak penerima
sebagaimana amanat Undang-Undang. keuntungan, khususnya masyarakat
pemangku EBT tersebut;
Di samping itu, pendataan atau
inventarisasi atas EBT juga dapat 4. Melindungi masyarakat pemangku dan
memberikan informasi atas kepemilikan EBT itu sendiri dar dari pemanfaatan yang
suatu EBT masyarakat tradisional, sehingga salah atau menyesatkan dalam konteks
menjadi jelas kepemilikan atas suatu EBT. penciptaan dan pengadaan barang dan
Dalam hal suatu EBT akan dimanfaatkan jasa, dengan mensyaratkan pengesahan
secara komersial oleh pihak luar, database atau pengaitan dengan pihak penerima
EBT juga memudahkan pihak luar untuk keuntungan, khususnya masyarakat
pemangkunya.

53 Dyah Permata Budi Asri, “Perlindungan Hukum


Dalam perspektif Adat kedudukan
Preventif terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Kampung Pitu memang tidak dikategorikan
di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sebagai ‘Kampung Adat’ ataupun ‘Desa Adat’
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta”, Journal of Intellectual Property. Vol.
1 No. 1 (2018). https://journal.uii.ac.id/JIPRO/
article/view/11142/8509 54 Miranda Risang Ayu, Op.Cit. H. 215

248
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

karena masih dibawah administrasi Desa Kebudayaan. Maksud dari pemajuan


Ngelanggeran. Namun, ‘hak asal usul’ dari kebudayaan sendiri menurut Pasal 1 angka 3
Kampung Pitu tidak bisa dinegasikan begitu UU No. 5/2017 adalah upaya meningkatkan
saja karena menjadi ‘hak identitas budaya ketahanan budaya dan kontribusi budaya
dan masyarakat tradisional’ yang dijamin oleh Indonesia di tengah peradaban dunia
konstitusi. Ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD melalui Perlindungan, Pengembangan,
1945 dengan jelas menyebutkan: “Identitas Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.
budaya dan hak masyarakat tradisional Untuk selanjutnya, terhadap objek pemajuan
dihormati selaras dengan perkembangan budaya pemerintah wajib melakukan:
zaman dan peradaban”. Pemahaman kata 1. Pengamanan, yang dilakukan dengan
‘selaras’ ini kemudian dapat diterjemahkan
cara (Pasal 22 ayat (4) UU No. 5/2017):
pada ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 a) memutakhirkan data dalam Sistem
“…sepanjang masih hidup dan sesuai dengan Pendataan Kebudayaan Terpadu
perkembangan masyarakat dan prinsip secara terus-menerus;
Negara Kesatuan Republik Indonesia…” b) mewariskan Objek Pemajuan
atau diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal Kebudayaan kepada generasi
97 ayat (2) UU No. 6/2014. Bahkan, secara berikutnya; dan
konstitusi, Negara memiliki kewajiban dalam c) memperjuangkan Objek Pemajuan
memajukan kebudayaan dan menjamin Kebudayaan sebagai warisan
masyarakat mengembangkan nilai-nilainya budaya dunia.
sebagaimana tertuang dalam ketentuan
Pasal 32 ayat (1) UUD 1945: 2. Pemeliharaan, yang dilakukan dengan
cara (Pasal 24 ayat (4) UU No. 5/2017):
“Negara memajukan kebudayaan a) menjaga nilai keluhuran dan kearifan
nasional Indonesia di tengah peradaban Objek Pemajuan Kebudayaan;
dunia dengan menjamin kebebasan b) menggunakan Objek Pemajuan
masyarakat dalam memelihara dan Kebudayaan dalam kehidupan
mengembangkan nilai-nilai budayanya.” sehari-hari;
Walaupun tidak ada penetapan Kampung c) menjaga keanekaragaman Objek
Pitu sebagai Desa Adat atau secara resmi Pemajuan Kebudayaan;
menetapkan sebagai Masyarakat Hukum d) menghidupkan dan menjaga
Adat namun disisi lain tepatnya tanggal 15 ekosistem Kebudayaan untuk setiap
Agustus 2019, Kampung Pitu ditetapkan Objek Pemajuan Kebudayaan; dan
oleh sebagai Warisan Budaya Takbenda e) mewariskan Objek Pemajuan
oleh Kementrian Pendidikan & Kebudayaan Kebudayaan kepada generasi
RI melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, berikutnya
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya55.
3. Penyelamatan, yang dilakukan dengan
Hal ini sesuai dengan upaya pemajuan
cara (Pasal 26 ayat (3) UU No. 6/2017):
kebudayaan sebagaimana ketentuan Pasal
19 ayat (1) UU No. 5/2017 tentang Pemajuan a) revitalisasi;
b) repatriasi; dan/atau
55 Dian Lakshmi P et al., “30 Karya Budaya DIY
Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda c) restorasi.
Indonesia Tahun 2019,” Dinas Kebudayaan, last
modified 2019, accessed July 1, 2020, https:// 4. Publikasi
budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/622 -30-
karya-budaya-diy-ditetapkan-sebagai-warisan-
budaya-takbenda-indonesia-tahun-2019.

249
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

5. Pengembangan, yang dilakukan dengan b) musik, mencakup antara lain, vokal,


cara (Pasal 30 ayat (3) UU No. 5/2017): instrumental, atau kombinasinya;
a) penyebarluasan; c) gerak, mencakup antara lain, tarian;
b) pengkajian; dan d) teater, mencakup antara lain, pertunjukan
wayang dan sandiwara rakyat;
c) pengayaan keberagaman.
e) seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi
6. Pemanfaatan, yang memiliki tujuan untuk
maupun tiga dimensi yang terbuat dari
(Pasal 32 ayat (2) UU No. 5/2017):
berbagai macam bahan seperti kulit, kayu,
a) membangun karakter bangsa; bambu, logam, batu, keramik, kertas,
b) meningkatkan ketahanan budaya; tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya;
dan
c) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; dan f) upacara adat.

d) meningkatkan peran aktif dan Keenam bentuk ekspresi tersebut


pengaruh Indonesia dalam hubungan memang tidak bersifat komulatif, tetapi
internasional. fakultatif atau gabungan dari beberapa bentuk
ekspresi. Pembidangan terkait eskpresi
7. Pembinaan, yakni bertujuan untuk
budaya kemudian ditambahkan lagi dalam
meningkatkan jumlah dan mutu Sumber
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum
Daya Manusia Kebudayaan, lembaga
dan Hak Asasi Manusia (Permenkuham) No.
Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan
13/2017 tentang Data Intelektual Komunal
(Pasal 39 ayat (2) UU No. 5/2017).
diantaranya; a. verbal tekstual; b. musik; c.
Dengan ditetapkannya Kampung gerak; d. teater; e. seni rupa; f. upacara adat;
Pitu sebagai Warisan Budaya Takbenda g. arsitektur; h. lanskap; dan/atau i. bentuk
maka selanjutnya pemerintah wajib untuk ekspresi lainnya sesuai perkembangan.
melaksanakan 7 (tujuh) poin pokok sesuai Melihat apa yang ada di Kampung Pitu,
dengan ketentuan UU No. 5/2017. Hal ini ditemukan beberapa bentuk ekspresi
menjadi dasar untuk Analisa selanjutnya diantaranya:
terkait perlindungan EBT yang ada di
1) Tingalan
Kampung Pitu.
Dalam Bahasa Indonesia disebut
Perlindungan EBT Kampung Pitu
sebagai perayaan ulang tahun, namun
UUHC memberikan gambaran yang tidak semua orang dapat dilakukan
cukup jelas tentang apa yang dimaksud Tingalan, karena hanya khusus untuk
dengan EBT dimana dalam penjelasan Pasal yang telah dewasa. Tetua di Kampung
38 ayat (1) undang undang a quo disebutkan Pitu masih mengdakan kegiatan ini
yang dimaksud EBT adalah mencakup salah dirumahnya setiap weton 56. Weton
satu atau kombinasi dari beberapa bentuk sendiri adalah peringatan hari lahir
ekspresi seperti: seseorang yang diperingati setiap 35 hari
sekali dan sangat berpengaruh dalam
a) verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan,
kehidupan sehari-hari, tidak heran jika
yang berbentuk prosa maupun puisi,
dalam berbagai tema dan kandungan isi
pesan, yang dapat berupa karya sastra
ataupun narasi informatif;
56 Ditwdb, “Kampung Pitu (1).”

250
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

weton ini juga dikembangkan menjadi dari rasa syukur atas panen dan rezeki
etnomatematika57. dengan menghaturkan doa kepada
Tuhan 62.
2) Tayup/Ledek
4) Ngabekten
Adalah tarian-tarian yang berfungsi
untuk menghibur, dalam beberapa Banyak maksud arti dari ngabekten
pandangan, Tayub sering mendapatkan dalam konsep budaya Jawa, namun
stigma negatif karena identik dengan secara umum ngabekten artinya adalah
wanita penghibur, minuman dan hambur- ‘berbakti’ 63. Bentuk Ngebakten sendiri
hamburkan uang58. Namun, disisi negatif bermacam-cam, namun di Kampung
tersebut banyak juga Tayub yang memiliki Pitu, bentuk kegiatan dari tradisi ini
sisi positif, seperti nilai adiluhung bahkan adalah melakukan doa Bersama
nilai agamis karena pernah menjadi salah kemudian melakukan penyiraman air
satu cara syiar agama. Kata Tayub sendiri bunga terhadap kayu paling atas dari
berasal dari susunan kata “ditata meh rumah 64.
guyub” (diatur agar tercipta kerukunan)
5) Mong-mong
59. Kampung Pitu menggelar kegiatan

Tayub setiap setahun sekali dalam acara Berdasarkan wawancara dengan Sugito,
Rasulan yang dipentaskan dekat sumber tradisi mong-mong adalah bertujuan
Tlogo dan ada 4 (empat) lagu yang harus untuk menunjukkanrasa syukur dan juga
dimainkan, yakni; Blendrong, Ijo-Ijo, keselamatan. Seperti mong-mong pedet
Eleng-Eleng dan Sri Slamet 60. atau mong-mong motor adalah bentuk
tradisi supaya hewan tersebut selalu
3) Rasulan
sehat atau motor/kendaraan tersebut
Tradisi Rasulan atau bersih desa adalah awet dan tidak mencelakakan diri sendiri
salah satu tradisi khas Gunung Kidul dan atau orang lain.
melalui tradisi ini dibangunlah semangat
Berdasarkaan beberapa bentuk
solidaritas yang kuat, nilai toleransi dan
ekspresi tradisi diatas, maka berikut adalah
keiklahasan 61. Masyarakat Kampung
pengelompokan sesuai ketentuan Pasal 38
Pitu percaya, jika tradisi Rasulan ini tidak
ayat (1) UUHC:
dijalankan maka akan muncul berbagai Tabel 2 : Bentuk EBT di Kampung Pitu
macam bala (bencana) terutama bagi
Bidang Ekspresi Bentuk EBT di Kampung Pitu
mereka tradisi ini adalah ungkapan Verbal Tekstual, Cerita tentang asal muasal
Baik Lisan Kampung Pitu yang
Maupun Tulisan menjadikannya dikenal sebagai
57 David Setiadi and Aritsya Imswatama, “Pola desa ‘sakral’ dan hanya dapat
Bilangan Matematis Perhitungan Weton Dalam dihuni oleh 7 (tujuh) KK
Tradisi Jawa Dan Sunda,” Jurnal ADHUM 7, no. 2 Musik Musik secara umum untuk
(2017): 75–86, http://jurnal.ummi.ac.id/index.php/ mengiringi kegiatan seperti
JAD/article/download/42/26. Tayub
58 M. Chairul Basrun Umanailo, “Eksistensi
Waranggana Dalam Ritual Tayub,” OSF (2017),
https://osf.io/zfsvy/. 62 Ditwdb, “Kampung Pitu (1).”
59 Ibid. 63 Benny Ridwan, Ngabekten Dan Telaten: Studi
60 Ditwdb, “Kampung Pitu (1).” Atas Upaya Masyarakat Muslim Rawa Pening
61 Ervina Wulandari, Annisa Fitri Nurkholidah, and Dalam Pelestarian Lingkungan (Salatiga, 2014).
Cahyani Solikhah, “Penguatan Nilai Budi Pekerti 64 Puan Pertiwi, “Kampung Pitu Hanya Bisa Dihuni 7
Melalui Tradisi Rasulan Gunung Kidul,” Habitus: Kepala Keluarga,” Puanpertiwi.Com, last modified
Jurnal Pendidikan, Sosiologii dan Antropologi 2, 2017, accessed July 1, 2020, https://puanpertiwi.
no. 1 (2018): 139–150, https://jurnal.uns.ac.id/ com/kampung-pitu-hanya-bisa-dihuni-7-kepala-
habitus/article/download/20416/15846. keluarga/.

251
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

Gerak Tarian seperti Tayub/Ledek pengecualian jika adanya ketentuan lain yang
Teater Tidak ditemukan adanya bentuk mengatur, sehingga hal ini menjadi polemik.
teater tradisional.
Seni Rupa Belum ditemukan konsep seni Secara toeritik, sebagaimana
rupa yang spesifik. disampaikan oleh Maria Farida Indarti dalam
Upacara Adat Ada beberapa bentuk upcara
Adat seperti; Tinggalan, Rasulan, bukunya berjudul Ilmu Perundang-Undangan:
Mong-mong dan Ngabekten Dasar-Dasar dan Pembentukannya
Arsitektur Kampung Pitu memiliki menyebutkan bahwa sebuah seharusnya jika
arsitektural rumah Jawa pada
umumnya, yang berbentuk perundang-undangan telah disahkan maka ia
Limasan. sudah mengikat dan berlaku secara umum65 .
Lanskap Wilayah Kampung Pitu yang
terdapat di atas Pegunung Purba PENUTUP
dan beberapa situs yang masih
dijaga dan di ‘sakralkan’ oleh Kesimpulan
masyarakat Kampung Pitu.
Berdasarkan persoalan dan pembahasan
Rezim perundang-undangan yang
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
sektoral memang memunculkan berbagai
eksistensi masyarakat Kampung Pitu dapat
tanda tanya, seperti apakah jika sudah
dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat,
dilakukan penetapan sebagai Warisan
namun sampai saat ini belum ada regulasi
Budaya Takbenda masih dapat diusahakan
yang mengatur terkait penetapan Masyarakat
untuk penetapan EBT (Hak Cipta), mengingat
Hukum Adat, sehingga seharusnya hal ini dapat
ketentuan Pasal 38 Ayat (1) UUHC maka Hak
dilihat melalui barometer Pasal 97 ayat (2) UU
Cipta EBT dimaksud dipegang oleh negara,
Desa. Sebagai Masyarakat Hukum Adat, warga
namun teknis dan prosedurnya belum ada
Kampung Pitu berhak untuk menjalankan
hingga sekarang. Pada ketentuan Pasal 38
identitas dan hak tradisional sesuai hak asal
ayat (4) undang-undang a quo menyatakan
usulnya terutama terkait EBT yang menjadi
regulasi dimaksud akan diatur dalam dengan
pencirian utamanya.
Peraturan Pemerintah, namun belum ada
Peraturan Pemerintah terkait dalam hal ini. Perlindungan untuk hak cipta atas EBT
Kampung Pitu berdasarkan Pasal 38 UU No
Peraturan Pemerintah menjadi sangat
28/2014 tentang hak Cipta memang belum
penting sebagai regulasi pelaksana,
ada, namun dengan ditetapkannya Kampung
kedudukan Peraturan Pemerintah yang
Pitu sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh
secara hieraki dibawah Undang Undang
Kementrian Pendidikan & Kebudayaan RI
atau Peraturan Pengganti Undang Undang
sudah menjadi dasar karena mendapatkan
memiliki posisi yang penting, terutama dalam
legitimasi berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU
hal pelibatan pemerintah daearah secara
No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
aktif.
Walaupun terkait hak cipta terkait EBT belum
Ketidakadanya Peraturan Pemerintah ada, namun ini sudah menjadi pengaman
menjadikan regulasi a quo menjadi pertama untuk melindungi eksistensi EBT di
‘mandul’ karena kurang kesulitan untuk Kampung Pitu.
diimplementasikan atau diaktualisasikan.
Secara yuridis, sebuah peraturan yang sudah
disahkan maka dapat untuk dilaksanakan, hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 72 UU No.
12/2011. Namun, pada ketentuan Pasal 87 65 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-
Undang Undang a quo menyebutkan adanya Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya
(Yogyakarta: Kanisius, 1998). H. 151

252
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

Saran DAFTAR PUSTAKA


1. Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Afrizal, A. “Tanggung Jawab Sosial Korporasi
Pemerintah dimana kewenangan Dan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat.”
penetapan Masyarakat Hukum Adat Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 17, no.
2 (2013): 37788.
berada ditingkat Kabupaten/Kota dengan
mengakomodir dua sistem, yakni 1). Alia, M. Ikhsan, and H. Ilhamdi Taufik.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota “Jaminan Konstitusionalitas Hak Asal
Usul Masyarakat Hukum Adat Di
yang aktif dalam menetapkan masyarakat
Sumatera Barat.” Lex Journal: Kajian
Hukum Adat atau; 2). Masyarakat yang
Hukum & Keadilan 1, no. 2 (2017): 1–25.
sudah memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat
http://dx.doi.org/10.25139/lex.v1i2.550.
(2) UU Desa berhak untuk mengajukan
Anderson, Benedict. Imagined Communities;
penetapan kepada Pemerintah Daerah
Komunitas-Komunitas Terbayang. Edited
Kabupaten/Kota;
by Omi Intan Naomi. III. Yogyakarta:
2. Pemerintah perlu membuat Peraturan Insist dan Pustaka Pelajar, 2008.
Pemerintah terkait teknis dan prosedur Arizona, Yance. Kedudukan Peradilan
penetapan EBT sesuai ketentuan Pasal Adat Dalam Sistem Hukum Nasional.
38 ayat (4) UUHC; Palu, 2013. https://www.academia.
edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung
Adat_dalam_Sistem_Huk um_
Kidul perlu membuat regulasi (Peraturan Nasional?auto=download.
Daerah atau Peraturan Bupati) untuk
Asri, Dyah Permata Budi. “Implementasi Pasal
memberikan perlindungan terkait EBT di
38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Kampung Pitu, bukan hanya eksploitasi Tahun 2014 Terhadap Ekspresi Budaya
sektor wisata; Tradisional Di Kabupaten Sleman.”
4. Pemerintah Desa Ngelanggeran perlu Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 23,
membuat Peraturan Desa atau Peraturan no. 4 (2016): 612–632.
Lurah yang menetapkan Kampung Pitu Atsar, Abdul. “Perlindungan Hukum Terhadap
sebagai Warisan Budaya Takbenda Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya
dengan perlindungan khusus sehingga Tradisional Untuk Meningkatkan
menjaga kelestarian EBT. Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau
Dari Undang Undang No. 5 Tahu 2017
UCAPAN TERIMAKASIH Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan
Undang Undang No. 28 Tahun 2014
Terimakasih kepada Lembaga Penelitian Tentang Hak Cipta.” Jurnal Law Reform
dan Pengabdian Masyarakat Universitas Program Studi Magister Ilmu Hukum 13,
Ahmad Dahlan karena telah memberikan no. 2 (2017): 284.
dukungan terhadap penelitian ini serta kepada Attamimi, A. Hamid S. “Peranan Keputusan
Pemerintah Desa Nglanggeran, Pedukuhan Presiden Republik Indonesia Dalam
Nglanggeran Wetan serta pengurus Kampung Penyelenggaraan Pemerintahan
Pitu yang memberikan akses untuk peneltiian Negara.” Universitas Indonesia, 1990.
ini. AW, Titah. “Mengunjungi Kampung Pitu,
Desa Berbahaya Yang Cuma Bisa
Dihuni Tujuh Keluarga Nglanggeran
Gunung Kidul - VICE.” Vice.Com. Last
modified 2019. Accessed January 26,
2020. https://www.vice.com/id_id/article/

253
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

zmpkxe/kampung-pitu-nglanggeran- Diri Hukum Indonesia. Yogyakarta: UGM


gunung-kidul-berbahaya. Press, 2019.
Bakker, Anton, and Achmad Charris Isdiyanto, Ilham Yuli, and Muhammad Nur.
Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. “Masa Depan Hukum Adat Di Indonesia.”
Yogyakarta: Kanisius, 1990. In Hukum Dan Politik: Regulasi Yang
Basuki, Udiyo. “Desa Mawa Cara Negara Memuliakan Martabat Manusia, edited by
Mawa Tata: Dinamika Pengaturan Dwi Cipta, 77–98. Yogyakarta: Sanggar
Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Inovasi Desa, 2020.
Indonesia.” Jurnal Al-Mazahib 5, no. Jawardi. “Strategi Pengembangan Budaya
2 (2017): 321–344. http://ejournal.uin- Hukum.” Jurnal Penelitian Hukum De
suka.ac.id/syariah/almazahib/article/ Jure 16, no. 1 (2016): 77–93. https://
view/1424. ejournal.balitbangham.go.id/index.php/
Benu, Esrah D N A. “Kontradiksi Penetapan dejure/article/view/77/23.
Desa Boti Sebagai Desa Adat.” Jurnal Kalolo, Julianto Jover Jotam. “Politik Hukum
Politicon 9, no. 1 (2020). Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
Bustani, Simona. “Perlindungan Hak Komunal Hukum Adat Di Daerah Perbatasan.”
Masyarakat Adat Dalam Perspektif Universitas Hasanuddin, 2018.
Kekayaan Intelektual Tradisional Era Kusnadi, Agus. “Perkembangan Politik
Globalisasi: Kenyataan Dan Harapan.” Hukum Pemerintahan Desa Menurut
Jurnal Hukum Prioris 6, no. 3 (2018): Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
304–325. Tentang Pemerintahan Daerah Dan
———. “Urgensi Pengaturan Ekspresi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Budaya (Folklore) Masyarakat Tentang Desa.” PADJADJARAN Jurnal
Adat.” Jurnal Hukum Prioris 2, no. Ilmu Hukum (Journal of Law) 2, no. 3
4 (2010). https://media.neliti.com/ (2015): 564–580. http://journal.unpad.
media/publications/81590-ID-urgensi- ac.id/pjih/article/viewFile/9457/4249.
pengaturan-ekspresi-budaya-folkl.pdf. Kusumadara, Afifah. “Pemeliharaan Dan
Cahyad, Antonins. “Hukum Rakyat a’ La Pelestarian Pengetahuan Tradisional
Friedrich Karl von Savigny.” Jurnal Dan Ekspresi Budaya Tradisional
Hukum dan Pembangunan 35, no. 4 Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan
(2005): 386–406. http://jhp.ui.ac.id/ Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan
index.php/home/article/view/1466. Intelektual.” Jurnal Hukum Ius Quia
Ditwdb. “Kampung Pitu (1).” Https:// Iustum 18, no. 1 (2011): 20–41.
Kebudayaan.Kemdikbud.Go.Id/. Last Maladi, Yanis. “Eksistensi Hukum Adat Dalam
modified 2019. Accessed July 6, 2020. Konstitusi Negara Pasca Amandemen
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ UUD 1945.” Jurnal Hukum dan
ditwdb/kampung-pitu-1/. Pembangunan 41, no. 3 (2011).
Gayo, Ahyar Ari. “PERLINDUNGAN HUKUM Mandasari, Zayanti. “Politik Hukum
HAK ATAS TANAH ADAT Di KAB Pemerintahan Desa; Studi
BENER MERIAH.” Izvestiya of Altai Perkembangan Pemerintahan Desa
State University Journal 18, no. 3(101) Di Masa Orde Lama, Orde Baru, Dan
(2018): 77. Reformasi.” UII. Universitas Islam
Indonesia, 2015. https://dspace.uii.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Djakarta:
ac.id/bitstream/handle/123456789/8300/
PT Pusaka Antara, 1966.
ZAYANTI MANDASARI - Program
Isdiyanto, Ilham Yuli. Dekonstruksi Pascasarjana Fakultas Hukum FIX.
Pemahaman Pancasila: Menggali Jati
compressed.pdf?sequence=1.

254
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Ridwan, Benny. Ngabekten Dan Telaten: Studi
VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Atas Upaya Masyarakat Muslim Rawa
Mulyono, Sutrisno Purwohadi. “Sinergitas Pening Dalam Pelestarian Lingkungan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Salatiga, 2014.
Desa Pasca Pemberlakuan UU Roisah, Kholis. “Perlindungan Ekspresi
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.” Budaya Tradisional Dalam Sistem
Masalah-Masalah Hukum 43, no. 3 Hukum Kekayaan Intelektual.” Masalah-
(2014): 438–444. https://www.neliti. Masalah Hukum 43, no. 3 (2014): 372–
com /publicat ions/ 4685/sinerg it as - 379.
penyelenggaraan-pemerintahan-desa- Sabandiah, Raithah Noor, and Endra
pasca-pemberlakuan-uu-no-6-tahun-20. Wijaya. “Diskriminasi Terhadap Agama
Ni’matul, Huda. “Urgensi Pengaturan Desa Tradisional Masyarakat Hukum Adat
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Cigugur.” Jurnal Penelitian Hukum
Republik Indonesia Tahun 1945.” De Jure 18, no. 3 (2018): 335. https://
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 4, no. ejournal.balitbangham.go.id/index.php/
158 (2017): 1–18. http://jurnal.unpad. dejure/article/view/426/pdf.
ac.id/pjih/article/viewFile/12075/6597. Setiadi, David, and Aritsya Imswatama. “Pola
P, Dian Lakshmi, Sri Wahyuni S, Aryanto Bilangan Matematis Perhitungan Weton
Hendro S, Aldri Sanaky, and Anis Izdiha. Dalam Tradisi Jawa Dan Sunda.” Jurnal
“30 Karya Budaya DIY Ditetapkan ADHUM 7, no. 2 (2017): 75–86. http://
Sebagai Warisan Budaya Takbenda jurnal.ummi.ac.id/index.php/JAD/article/
Indonesia Tahun 2019.” Dinas download/42/26.
Kebudayaan. Last modified 2019. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu
Accessed July 1, 2020. https://budaya. Perundang-Undangan: Dasar-Dasar
jogjaprov.go.id/berita/detail/622-30- Dan Pembentukannya. Yogyakarta:
karya-budaya-diy-ditetapkan-sebagai- Kanisius, 1998.
warisan-budaya-takbenda-indonesia- Sudadi. “Misteri Kampung Pitu,Di
tahun-2019. Desa Kecamatan
Nglanggeran
Pertiwi, Puan. “Kampung Pitu Hanya Bisa Patuk, Gunungkidul.” Https://Www.
Dihuni 7 Kepala Keluarga.” Puanpertiwi. Nglanggeran-Patuk.Desa.Id/. Last
Com. Last modified 2017. Accessed modified 2020. Accessed July 7, 2020.
July 1, 2020. https://puanpertiwi.com/ https://www.nglanggeran-patuk.desa.
kampung-pitu-hanya-bisa-dihuni-7- id/first/artikel/1156-Misteri-Kampung-
kepala-keluarga/. Pitu-di-Desa-Nglanggeran-Kecamatan-
Pratiwi, Beta Desi, and V Indah Sri Pinasti. Patuk--Gunungkidul.
“Pariwisata Dan Budaya (Studi Peran Sugiswati, Besse. “Perlindungan Hukum
Serta Masyarakat Lokal Dalam Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat
Pengelolaan Pariwisata Di Kampung Di Indonesia” XVII, no. 1 (2012): 31–43.
Pitu, Nglanggeran, Patuk, Gunung http://jurnal-perspektif.org/index.php/
Kidul).” Jurnal Pendidikan Sosiologi 1, perspektif/article/view/92/84.
no. 1 (2AD): 1–11.
Sukihana, Ida Ayu, and I Gede Agus
Raffles. “Pengaturan, Dan Model Alternatif Kurniawan. “Karya Cipta Ekspresi
Dalam Perundang-Undangan Budaya Tradisional: Studi Empiris
Penyelesaian Sengketa Dalam Perlindungan Tari Tradisional Bali Di
Perundang-Undangan Indonesia.” Kabupaten Bangli.” Jurnal Magister
Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 Hukum Udayana (Udayana Master Law
(2010). https://online-journal.unja.ac.id/ Journal) 7, no. 1 (2018): 51.
index.php/jimih/article/view/206.

255
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5

Sumarno, Airs, and Edhy Widodo. Mutiara-


Mutiara Majapahit. Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.
Syamsudin, M. “Beban Masyarakat Adat
Menghadapi Hukum Negara.” JURNAL
HUKUM IUS QUIA IUSTUM 15, no.
3 (2008): 338–351. https://journal.
uii.ac.id/index.php/IUSTUM/article/
viewFile/33/1839.
Thontowi, Jawahir. “Pengaturan Masyarakat
Hukum Adat Dan Implementasi
Perlindungan Hak-Hak Tradisionalnya.”
Pandecta: Research Law Journal 10, no.
1 (2015): 1–13.
Umanailo, M. Chairul Basrun. “Eksistensi
Waranggana Dalam Ritual Tayub.” OSF
(2017). https://osf.io/zfsvy/.
United Nations. “United Nations Declaration
on the Rights of Indigenous Peoples.”
United Nations2. New York: United
Nations, 2007. https://www.un.org/
development/desa/indigenouspeoples/
wp-content/uploads/sites/19/2019/01/
UNDRIP_E_web.pdf.
Wulandari, Ervina, Annisa Fitri Nurkholidah,
and Cahyani Solikhah. “Penguatan
Nilai Budi Pekerti Melalui Tradisi
Rasulan Gunung Kidul.” Habitus:
Jurnal Pendidikan, Sosiologii dan
Antropologi 2, no. 1 (2018): 139–150.
https://jurnal.uns.ac.id/habitus/article/
download/20416/15846.

256

Anda mungkin juga menyukai