ABSTRAK
Masyarakat Kampung Pitu masih memegang tradisi dan budaya asal usulnya hingga sekarang,
bahkan jumlah Kepala Keluarga yang tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) juga masih bertahan hingga
sekarang. Sebagai masyarakat tradisional yang khas, masyarakat Kampung Pitu memiliki berbagai
macam bentuk Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang disisi lain hal ini perlu mendapatkan
perhatian serius oleh pemerintah. Regulasi di Indonesia mengatur perlindungan EBT melalui UU No.
28/2014 tentang Hak Cipta, sehingga dapat menjadi perlindungan EBT masyarakat Kampung Pitu
agar tetap lestari. Penelitian ini menjadi sangat penting karena tidak banyak masyarakat tradisional
yang mempertahankan hak asal-usulnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan pengumpulan data baik primer maupun sekunder
yang diperoleh secara daring serta analisa deskriptif-kualitatif. Hasilnya, masyarakat Kampung Pitu
dapat dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak identitas dan tradisional
atas asal-usulnya sehingga harus dilindungi dalam pelestariannya. Walaupun tidak ada regulasi
ataupun penetapan dari tingkat Pusat sampai Daerah terkait Kampung Pitu, namun Kampung Pitu
sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda sehingga menjadi dasar perlindungan.
Kata Kunci: perlindungan; Kampung Pitu; ekspresi budaya tradisional; perlindungan hukum.
ABSTRACT
The people of Kampung Pitu still hold traditions and culture of their origins until today. Even, they still
hold the tradition that in Kampung Pitu cannot be more than 7 (seven) Householders. As a distinctive
traditional society, the people of Kampung Pitu have various Traditional Cultural Expression (TCE)
which need serious attention from the Government. TCE in Indonesia regulated in Law Number 28
of 2014 concerning Copyright, which can protect the TCE of Kampung Pitu Society. This research
is essential because in the Special Region of Yogyakarta, not so many traditional communities who
defend their rights of origin. This research is study with a doctrinal approach and for data collection,
both primary and secondary, obtained online and offline, as well as descriptive-qualitative analysis
and in final. The result is, the people of Kampung Pitu can be categorized as Indigenous Society who
have identity and traditional right over their origins; therefore, they need to be protected to preserve
their existence. Even though there is no specific regulation or stipulation from Central to Regional
Government regarding Kampung Pitu, but Kampung Pitu has been designated as an Intangible
Cultural Heritage, thus, becomes the basis for the protection of Kampung Pitu.
Keywords: protection; kampung pitu; traditional cultural expression; indigenous society;
legal protection.
231
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
232
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
Masyarakat Kampung Pitu pada dasarnya Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
adalah masyarakat yang masih memegang oleh Peter Jaszi menunjukkan bahwa
teguh tradisi nenek moyang secara turun yang menjadi keprihatinan di Indonesia,
temurun, hal ini merupakan hak asal usul khususnya di kalangan seniman tradisional
yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan. dan ketua kelompok masyarakat adalah
Mengacu pada penjelasan Pasal 18 UU masalah pernyataan dan pengakuan bahwa
No. 6/2014 tentang Desa, yang dimaksud mereka adalah kustodian dan penjaga dari
dengan hak asal usul atau hak tradisional Pengetahuan Tradisional dan EBT (PTETB)
adalah hak yang masih hidup sesuai dengan Indonesia, bukan masalah ekonomi dan
perkembangan kehidupan masyarakat dan komersialisasi dari PTETB itu sendiri 6
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Dua perspektif yang berbeda ini kemudian
Republik Indonesia. Hal ini tak lain adalah
saling tarik-menarik, yakni apakah tujuan tetap
kelanjutan dari ketentuan Pasal 18B Undang
dapat dipertahankan sebagai warisan leluhur
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam kodratnya mempertahankan adat,
1945 yang pada intinya negara mengakui
atau sudah tergeser oleh kebutuhan ekonomi
dan menghormati hak tradisional
karena desakan komersialisasi desa wisata
masyarakat sepanjang masih hidup dan
yang mampu menarik pengunjung. Hukum
sesuai dengan perkembangan zaman.
harus berfungsi sebagai pelindung baik dari
Keberadaan pasal ini secara nalar jelas
segi prosedur adat dan juga secara materil
menjadi constitutional protection sehingga
sehingga tujuan sakral tidak tergantikan
tidak ada alasan dalam hal ini masyarakat
dengan komersialisasi, termasuk status dan
yang masih eksis dengan nilai dan adat
perlindungan terhadap masyarakat Kampung
leluhurnya tidak dilindungi oleh negara4.
Pitu.
Bentuk-bentuk perlindungan tersebut
Rumusan Masalah
ternyata mendapatkan persoalan juga karena
regulasi. Seperti dalam kasus perlindungan Berdasarkan latar belakang tersebut
atas ekspresi budaya dalam perspektif dapat diambil rumusan masalah sebagai
UUHC, tujuan filosofi dari hak cipta yang berikut:
individual-eksklusif sehingga selalu diketahui 1. Apakah masyarakat Kampung Pitu dapat
penciptanya untuk kemudian mendapatkan diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat
perlindungan guna memperoleh manfaat dalam perspektif yuridis-normatif sehingga
ekonomi bertentangan dengan EBT yang memiliki status yang jelas?
lebih bersifat komunal dan tujuan lahirnya
2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap
untuk kepentingan keagaamaan atau
hak-hak masyarakat Kampung Pitu
ritus adat lainnya yang bersifat sacral5.
terutama dalam hal mempertahankan dan
melestarikan EBTnya?
Berbahaya Yang Cuma Bisa Dihuni Tujuh
Keluarga Nglanggeran Gunung Kidul - VICE,”
Vice.Com, last modified 2019, accessed January
26, 2020, https://www.vice.com/id_id/article/
zmpkxe/kampung-pitu-nglanggeran-gunung- Hukum Prioris 2, no. 4 (2010), https://media.
kidul-berbahaya. neliti.com/media/publications/81590-ID-urgensi-
4 M. Ikhsan Alia and H. Ilhamdi Taufik, “Jaminan pengaturan-ekspresi-budaya-folkl.pdf.
Konstitusionalitas Hak Asal Usul Masyarakat 6 Afifah Kusumadara, “Pemeliharaan Dan
Hukum Adat Di Sumatera Barat,” Lex Journal: Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan
Kajian Hukum & Keadilan 1, no. 2 (2017): 1–25, Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia:
http://dx.doi.org/10.25139/lex.v1i2.550. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-
5 Simona Bustani, “Urgensi Pengaturan Ekspresi Hak Kekayaan Intelektual,” Jurnal Hukum Ius
Budaya (Folklore) Masyarakat Adat,” Jurnal Quia Iustum 18, no. 1 (2011): 20–41.
233
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p -I S S N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e -I S S N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
Metode Penelitian
Tidak ada satupun metode penelitian aturan yang mereka percayai turun temurun
hukum yang definitif, karena metode sebagai bagian dari hak asal usul.
menyesuaikan pada bidang dan konteks
3. Teknik Analisa Data
keilmuwannya, sebuah metode ilmiah sangat
bergantung pada obyek formal bagi ilmu Analisa yang dilakukan dalam penelian
yang bersangkutan7. Dalam konteks hukum, ini adalah deskriptif-kualitatif yakni dengan
banyak pendapat terkait metode apa yang menarasikan hasil fakta-fakta yang ada (das
paling tepat digunakan, Peneliti sepakat sein) dan mengujinya dengan norma yang
dengan Peter Mahmud Marzuki bahwa ada (das sollen) baik peraturan perundangan-
penelitan hukum pastilah normatif karena undangan maupun norma-norma yang
secara kebahasaan pun dapat ditangkap berkembang dan hidup di dalam masyarakat
istilah penelitian hukum (legal research) atau (living law). Pada akhirnya, agar tidak terjebak
rechtsonderzoek (Bahasa Belanda) selalu pada sebatas ruang deskripsi, maka hasil dari
mengarah arti normativistik8. pembahasan melahirkan preskripsi berupa
saran-saran normatif hasil dari refleksi timbal
1. Pendekatan
balik antara das sein dan das sollen.
Pendekatan yang dilakukan adalah
PEMBAHASAN
yuridis-normatif dimana sudut pandang
pandang yang akan digunakan tidak hanya Kajian terkait EBT sebagai langkah
pada perundang-undangan an-sich melainkan perlindungan terutama bagi masyarakat
juga nilai-nilai yang hidup dan berkembang Kampung Pitu, Gunung Kidul, Daerah
dalam masyarakat yang menurut Herman Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan.
Bakir sebagai bagian dari hukum yang eksis Penelitian tentang EBT pernah dilakukan oleh
atau hukum positif ‘amalgamasional’ (lunak) Dyah Permata Budi Asri khusus implementasi
dibanding hukum positif ‘segregasional’ Pasal 38 ayat (1) UU No. 28/2014 yang lebih
(keras). banyak menyorot peran Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sleman dalam
2. Metode Pengumpulan Data
memberikan perlindungan EBT dengan
Data yang diambil mayoritas adalah dukungan dari dana istimewa9.
data sekunder walaupun ada beberapa
Penelitian pada masyarakat Kampung
hasil dari pegambilan data primer dengan
Pitu lebih pada meneropong aspek pariwisata
cara wawancara, namun fokus perlindungan
daripada perlindungannya, bahkan peran
hukum sebagai objek penelitian ini lebih pada
serta pemerintah seringkali sepihak sehingga
bagaimana peran dan fungsi negara dalam
kurang memaksimalkan keterlibatan
melakukan perlindungan terhadap EBT di 10
masyarakat . Dari terlihat sini, persoalan
Kampung Pitu sesuai perundangan-undangan
perlindungan menjadi hal yang paling penting
yang ada dan perspektif masyarakat
untuk dikaji secara mendalam karena belum
digunakan sebagai perwujudan aspek materil
tersentuh.
dari kajian ini atau hak-hak masyarakat di
Kampung Pitu dalam menerapkan aturan- 9 Dyah Permata Budi Asri, “Implementasi Pasal
38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di
7 Anton Bakker and Achmad Charris Zubair, Kabupaten Sleman,” Jurnal Hukum IUS QUIA
Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: IUSTUM 23, no. 4 (2016): 612–632.
Kanisius, 1990). h. 28 10 Pratiwi and Pinasti, “Pariwisata Dan Budaya
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, VI. (Studi Peran Serta Masyarakat Lokal Dalam
(Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h. 55 Pengelolaan Pariwisata Di Kampung Pitu,
Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul).”
234
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
235
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
hukum, ekonomi, sosial dan budaya konkret19 belum dianggap sebagai hukum
mereka16. Namun, problem perbedaan yang modern dengan sistem tertulis. Disinilah
pandangan atas apa yang disebut kesalahan mereka karena menerapkan pola
‘perlindungan’ seringkali menjadi salah satu pikir cara atau cara pandang hukum kolonial
hambatan nyata, apakah dalam hal ini akan (yang pasca diberlakukan sistem civil law)
menggunakan perspektif negara atau malah sehingga melihat Adat bukan sebagai bagian
menggunakan perspektif Masyarakat Hukum hukum yang dapat dikatakan eksis dan
Adat. Hal inilah sebenarnya yang menjadi mendukung sistem social. Mereka kemudian
salah satu alasan kenapa walaupun sudah menerapkan ‘asas konkordansi’ yakni
ada kerangka hukum namun perlindungan mengahruskan hukum negara ‘penjajah’
atasnya belum optimal17. Lebih menarik lagi berlaku sama dengan hukum negara
jika kemudian pembahasan awal ini tidak ‘jajahannya’20. Hal ini kemudian mengundang
pada perspektif Hak Kekayaan Intelektual kritik keras dari van Vollenhoven yang
semata, melainkan bagaimana perlindungan belakangan dikenal sebagai Antorpolog yang
terhadap Masyarakat Hukum Adat itu sendiri menjadi Bapak Hukum Adat di Indonesia
di Indonesia. yang karena jasa menyakinkan Pemerintah
Hindia Belanda untuk mengakui eksistensi
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
dan pelaksanaan Adat sebagai hukum pada
sudah bahkan
kala, ada sejak menurut
era kerajaan
penelitian dahulu
yang
Masyarakat Hukum Adat. Van Vollenhoven
pernah dilakukan oleh Tjahyono Prasodjo
berpegang pada teori von Savigny (savignian)
menyebutkan di era Majapahit sendiri Adat
dengan mahzab sejarah hukum dimana Adat
diakui sebagai salah satu sumber hukum
itu sendiri dipandangan sebagai volkgeist
yang disebut sebagai Desadrsta yangberarti
sehingga tidak bisa dianulir begitu saja, tesis
hukum disuatu daerah18. Eksistensi terhadap
Savigny yang paling terkenal ada “Das Recht
Masyarakat Hukum Adat sangat bergantung
wird nicht gemacht est ist und wird mit dem
dari pelaksanaan dan pengakuan atas Adat
volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan
mereka sebagai benteng pertanahan sistem
tumbuh dan berkembang dalam jiwa bangsa)
social melalui berbagai macam pranata
sosial. Hal inilah kenapa, walau dalam bentuk .
21
kerajaan sekalipun, eksistensi Masyarakat Atas bujukan dari van Vollenhoven inilah
Hukum Adat dapat tumbuh kembang dan kemudian di era kolonialisme Hindia-Belanda
baik. Memasuki era kolonialisme, Masyarakat keberadaan Adat diakui sebagai hukum
Hukum Adat awalnya disepelekan sebagai untuk Masyarakat Hukum Adat, namun untuk
primitive dengan sistem hukum yang belum wilayah-wilayah pusat administrasi yang
berkembang. Corak hukum adat seperti banyak dihuni oleh orang Belanda atau
kebersamaan, keagamaan (magis-relegius), Eropa
19 Raithah Noor Sabandiah and Endra Wijaya,
“Diskriminasi Terhadap Agama Tradisional
16 United Nations, “United Nations Declaration on the Masyarakat Hukum Adat Cigugur,” Jurnal
Rights of Indigenous Peoples,” United Nations2 Penelitian Hukum De Jure 18, no. 3 (2018): 335,
(New York: United Nations, 2007), https://www. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/
un.org/development/desa/indigenouspeoples/wp- dejure/article/view/426/pdf.
content/uploads/sites/19/2019/01/UNDRIP_E_ 20 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat Dalam
web.pdf. Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD
17 Simona Bustani, “Perlindungan Hak Komunal 1945,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 41, no.
Masyarakat Hukum Adat Dalam Perspektif 3 (2011).
Kekayaan Intelektual Tradisional Era Globalisasi: 21 Antonins Cahyad, “Hukum Rakyat a’ La
Kenyataan Dan Harapan,” Jurnal Hukum Prioris Friedrich Karl von Savigny,” Jurnal Hukum dan
6, no. 3 (2018): 304–325. Pembangunan 35, no. 4 (2005): 386–406, http://
18 (Sumarno, Airs, & Widodo, 2007, p. 38) jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1466.
236
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
Eropa maka tetap diberlakukan asas ini terkait dengan penghapusan peradilan
konkordansi. Akibatnya adalah muncul adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-
dualitas hukum, yakni hukum yang berlaku ketentuan untuk menghapuskan pengadilan
bagi Masyarakat Hukum Adat dan Hukum swapraja dan peradilan adat di Sulawesi,
yang berlaku bagi masyarakat Eropa. Lombok, Kalimantan, dan Irian Barat.
Walaupun dalam prakteknya, hak-hak dari
Semangatnya adalah sentralisme
Masyarakat Hukum Adat di era kolonial
hukum dan sistem peradilan dibawah
sering dikalahkan oleh hukum kolonial
kuasa Mahkamah Agung sehingga lebih
namun tentu adanya pengakuan ini
menjamin kepastian hukum itu sendiri.
menjadikan Masyarakat Hukum Adat
Disisi lain munculnya undang undang a quo
memiliki kedaulatan dalam bidang hukum,
malah menjadi preseden buruk dalam tubuh
tidak hanya secara politik dan ekonomi.
Masyarakat Hukum Adat, yakni bagaimana
pranata sosial dalam Masyarakat Hukum
Adat dapat bekerja dengan baik memberikan
pengayoman jika kemudian mereka tidak
diberi hak untuk ‘menegakkan’ Adat itu sendiri
karena sudah dikooptasi oleh Mahkamah
Agung. Dari sini, unifikasi hukum kemudian
dimaknai sebagai uniformitas hukum, padahal
pemberlakuan hukum secara nasional
Gambar 1. Legitimasi Masyarakat Hukum Adat
(unifikasi) harus dimaknai berbeda dengan
Memasuki era Republik Indonesia, penyeragaman hukum secara nasional
kemunduran malah terjadi dengan cara (uniformitas)23.
mulainya ketidakpercayaan bangsa Selama perjalanan sistem sentralistik
Indonesia dengan sistem Adat sebagai dasar peradilan dibawah Mahkamah Agung,
hukum nasional. Puncaknya adalah di era pemerintah sepertinya mulai sadar
Orde Lama dikeluarkan UU Darurat No. bahwa beban perkara sangat berat. Alih-
1/1951 pada tanggal 13 Januari 1951 yang alih mengembalikan kekuatan control di
pada pokoknya berisi 4 hal utama, yakni Masyarakat Hukum Adat, pemerintah lebih
22: (1) Penghapusan beberapa peradilan
focus pada pengembangan sistem arbritrase
yang tidak lagi sesuai dengan susunan dan alternatif penyelesaian sengketa untuk
negara kesatuan; (2) Penghapusan secara mengurangi beban perkara 24. Selain itu,
berangsur-angsur peradilan swapraja di sejak awal tahun 2000an, Mahkamah Agung
daerah-daerah tertentu dan semua peradilan banyak melakukan pembaharuan sistem
adat; (3) Melanjutkan peradilan agama dan mediasi di lembaga peradilan dengan yang
peradilan desa, sepanjang peradilan tersebut terakhir adalah dikeluarkannya Perma
merupakan bagian yang tersendiri atau No. 1/2016 tentang Prosedur Mediasi di
terpisah dari peradilan adat; Pembentukan Pengadilan.
pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-
tempat dimana landgerecht dihapuskan;
(4) Untuk melaksanakan undang-undang 23 (Yuli Isdiyanto, 2020, p. 6)
24 Raffles, “Pengaturan, Dan Model Alternatif Dalam
22 Yance Arizona, Kedudukan Peradilan Adat Perundang-Undangan Penyelesaian Sengketa
Dalam Sistem Hukum Nasional (Palu, 2013), Dalam Perundang-Undangan Indonesia,” Inovatif:
https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_ Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 (2010), https://
P e r a d i l a n _ A d a t_ d a l a m _ S i s t e m _ H u k u m _ online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/
Nasional?auto=download. view/206.
237
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
Pasca reformasi, terjadi pergeseran Desa tersebut sudah menjadi status Desa
paradigma rezim sentralistik dengan rezim Adat yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah
otonomi sehingga momentum ini kemudian Kabupaten/Kota (Pasal 98 UU No. 6/2014)
menjadi basis kekuatan baru untuk dengan memenuhi persyaratan sebagaimana
mengembangkan dan melindungi Masyarakat disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1) UU No.
Hukum Adat di Indonesia. Sebenarnya, 6/2014 yakni: 1). Hak tradisional masih hidup;
pengakuan terhadap sistem Adat sebagai 2). Hak tradisional yang hidup sesuai dengan
hukum sudah diakomodir sejak pertamakali perkembangan masyarakat; dan 3). Hak
Indonesia merdeka yakni yang ‘dikunci’ tradisional sesuai dengan prinsip NKRI.
oleh Soepomo dalam Penjelasan UUD
Padahal, jika melihat pada sisi realita,
1945 sebagai tafsir otentik atas UUD 1945.
keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat
Dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUD 1945
seringkali tidak dibarengi dengan sistem
(sebelum amandemen) disebutkan:
pembagian wilayah yang jelas, yakni secara
“Undang-Undang Dasar suatu negara administratif mereka seringkali menjadi
ialah sebagian dari hukumnya dasar bagian dari wilayah desa konvensional yang
negara itu. Undang-Undang Dasar ialah notabene sistem masyarakatnya sudah bukan
hukum dasar yang tertulis, sedangkan berlandaskan Adat lagi. Hal ini kemudian
di samping Undang-Undang Dasar itu menjadi alasan kenapa Masyarakat Hukum
berlaku juga hukum dasar yang tidak Adat yang rentan perlu untuk dilindungi
tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang secara utuh karena mereka tidak memiliki
timbul dan terpelihara dalam praktik banyak sumber daya untuk mempertahankan
penyelenggaraan negara meskipun tidak kedaulatan, otonomi dan identitasnya
tertulis” dikarenakan kelemahan baik yang sifatnya
Namun, dalam kenyataannya sampai internal maupun eksternal25.
era reformasi penjelasan ini tidak memiliki Regulasi yang tersebar secara
dampak faktual karena kedudukan hukum sektoral sebenarnya juga bisa mendukung
tidak tertulis sulit untuk diakomodir. Setelah untuk membantu perlindungan terhadap
reformasi, dalam amandemen terhadap Masyarakat Hukum Adat, terutama isu yang
UUD 1945, penjelasan atas UUD 1945 dibangun adalah ‘kehadiran negara’ menjadi
kemudian dihapuskan. Sebagi gantinya, sangat urgen untuk perlindungan ini. Dimulai
pada Amandemen ke-2 UUD 1945 dengan ketetuan Pasal 18B ayat (2) UUD
dimasukkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) NRI 1945 sebagai dasar konstitusi, kemudian
yang mengakomodir perlindungan atas ketentuan UU No. 6/2014 dalam langka
masyarakat adat dimana disebutkan: perlindungan hak tradisional dan hak asal-
usul, UU No. 41/1999 (Pasca Putusan MK)
“Negara mengakui dan menghormati
terkait perlindungan Tanah Ulayat, maupun
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
UU No. 5/2017 terkait pengamanan budaya,
adat beserta hak-hak tradisionalnya
dan perubahannya UUHC terkait perlindungan
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
EBT dan banyak regulasi sectoral lainnya
perkembangan masyarakat dan prinsip
yang bisa menjadi pintu masuk untuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.
25 M Syamsudin, “Beban Masyarakat Hukum Adat
Tidak selesai sampai disini, yang Menghadapi Hukum Negara,” JURNAL HUKUM
menjadi persoalan lain adalah, kewenangan IUS QUIA IUSTUM 15, no. 3 (2008): 338–351,
https://journal.uii.ac.id/index.php/IUSTUM/article/
atas pembelakuan hak asal-usul itu jika
viewFile/33/1839.
238
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
239
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
240
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
tatanan asli desa yang didasarkan pada adat ekonomi. UU Desa ini menempatkan status
ataupun nilai-nilai setempat menjadi runtuh34. desa sebagai badan hukum tersendiri terkait
dengan pemerintahan negara, sehingga desa
pun berhak membuat peraturan perundang-
undangann35.
Namun, terkait perlindungan terhadap
masayrakat adat, kewenangan tidak secara
mandiri diatur di desa, melainkan politik
hukum yang dibangun ada pada pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana ketentuan
Pasal 98 ayat (1) UU No. 6/2014: “Desa
Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota”. Berdasakan ketentuan
ini, maka politik terkait penentuan desa
Gambar 2. Fase Perkembangan Desa sejak adat bukanlah domain pemerintahan pusat,
Pasca Kemerdekaan melainkan ada pada pemerintah daerah
terutama Kaupaten/ Kota.
Fase terakhir adalah pasca reformasi,
dimana kebutuhan untuk kembali ke lokal Ketentuan pasal a quo memang tidak
menjadi sangat kuat. Konsep penyeragaman serta merta diikuti, seperti yang terjadi
a la Orde Baru ditentang dengan tuntutan di Bali, keberadaan legitimasi Desa Adat
kembali ke bentuk-bentuk penamaan semua. diakomodir melalui Perda Provinsi Bali
Fase ini dimulai dengan munculnya UU No. No. 4/2019 tentang Desa Adat di Bali yang
22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang dialam konsiderannya tidak mengakomodir
kemudian diganti dengan UU No. 32/2004 ketentuan dalam UU No. 6/2014 tentang
dan diganti kembali dengan UU No. 23/2014. Desa, bahkan didalam peraturan pelaksana
Selain itu, fase reformasi ini yang paling melalaui Pergub Bali No. 4/2020 tentang
terasa dan mejadi turning point adalah saat Peraturan Pelaksana Peraturan Daerah
disahkannya UU No. 6/2014 tentang Desa Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di
yang menempatkan kedudukan sebagai salah Bali juga tidak menjadikan UU No. 6/2014
satu tujuan utamanya sehingga memulai era tentang Desa sebagai konsideran. Hal ini
rezim pemerintahan desa. cukup menarik, karena jika mengacu pada
ketetnuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 6/2014
2. Kedudukan Masyarakat Kampung Pitu
maka kewenangan penetapan Desa Adat
sebagai Masyarakat Hukum Adat
bukanlah di Provinsi melainkan berada di
Melalui UU No. 6/2014 kedudukan Kabupaten/Kota sehingga produk hukumnya
desa kembali di perkuat sesuai konsep dan adalah Perda Kabupaten/Kota. Produk
marwah asalnya, terutama pada bidang hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah
politik/birokrasi pemerintahan dan dibidang Daerah Bali tersebut hanya mengacu pada
241
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p -I S S N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e -I S S N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
UU No. 64/1958 tentang Pembentukan rasa kebatinan yakni perasaan yang sama37.
Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Konsep memiliki perasaan yang sama ini
Barat dan Nusa Tenggara Timur. memang mirip jika disamakan dengan teori
imagined community Benedict Anderson yang
Berbeda dengan di wilayah lain, seperti
menempatkan kedudukan bangsa sebagai
penetapan Kampung Adat di Kabupaten Siak,
komunitas politik dan dibayangkan sebagai
Provinsi Riau yang sudah ada sejak tahun
sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren
2015. Melalui ketentuan Perda Kabupaten Siak
dan berkedaulatan, uniknya hal ini bersifat
No. 2/2015 tentang Penetapan Kampung Adat
‘terbayang’ karena satu sama lain anggota
di Kabupaten Siak didalam konsiderannya
bangsa belum tentu mengenal satu sama
memuat ketentuan UU No. 6/2014. Hal
lain tetapi ‘seakan-akan’ sudah terikat dalam
yang sama juga ada pada ketentuan Perda
‘rasa’ yang sama38.
Kabupaten Sukabumi No. 9/2015 tentang
Desa, dan Perda Kabupaten Pasuruan No. Keberadaan masyarakat hukum adat
16/2020 tentang Lembaga Kemasyarakat sendiri sudah ada sejak ratusan tahun
Desa dan Lembagfa Adat Desa di Kabupaten yang lalu, bahkan van Vollenhoven dalam
Pasuruan yang juga menyebutkan didalam penelitian pustakanya menyebutkan
konsiderannya UU No. 6/2014 tentang masyarakat asli Indonesia sudah ada sejak
Desa. Konsideran yang memuat ketentuan ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa
UU No. 6/2014 juga muncul pada ketentuan Eropa dan memiliki tata hukum sendiri atau
Perbub Bupati Pasaer No. 70/2019 tentang yang dikenal dengan istilah Hukum Adat 39.
Lembaga Kemasyarakat Desa dan Lembaga Hal ini menjadi penegas, legitimasi historis
Adat Desa, dan Peraturan Bupati Tanah Lau menjadi dasar utama keniscayaan terhadap
No. 26/2019 tentang Lembaga Adat Desa/ hak-hak masyarakat hukum adat.
Kelurahan.
Dalam UU No. 6/2014 terjadi pembedaan
Kedudukan Desa Adat menjadi sangat antara legitimasi Desa Adat dengan legitimasi
penting karena menjadi dasar utama Masyarakat Hukum Adat. Mengacu pada
kedudukan Masyarakat Hukum Adat. Untuk ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 6/2014
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, tidak menyebutkan syarat penetapan Desa Adat
ada regulasi ataupun perda baik provinsi adalah sebagai berikut:
maupun kabupaten yang mengatur terkait
a) kesatuan masyarakat hukum adat
Desa Adat, sehingga walaupun kedudukan beserta hak tradisionalnya secara nyata
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
masih hidup, baik yang bersifat teritorial,
berstatus istimewa berdasarkan UU No.
genealogis, maupun yang bersifat
13/2012 namun tidak memiliki Desa Adat.
fungsional;
Masyarakat Hukum Adat pada umumnya
b) kesatuan masyarakat hukum adat beserta
adalah kesatuan masyarakat hukum atau
hak tradisionalnya dipandang sesuai
kelompok masyarakat yang terbentuk
dengan perkembangan masyarakat; dan
baik secara genealogis, territorial maupun
gabungan genealogis dan territorial36. Ketiga
aspek tersebut baik secara genealogis,
territorial maupun campuran, diikat oleh 37 Jawahir Thontowi, “Pengaturan Masyarakat
Hukum Adat Dan Implementasi Perlindungan
Hak-Hak Tradisionalnya,” Pandecta: Research
36 Esrah D N A Benu, “Kontradiksi Penetapan Desa Law Journal 10, no. 1 (2015): 1–13.
Boti Sebagai Desa Adat,” Jurnal Politicon 9, no. 1 38 (Anderson, 2008: 8)
(2020). 39 (Kalolo, 2018: 2)
242
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
243
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
tradisi masih eksis dan dijaga kelestariannya Kraton Yogyakarta yang berhasil mengambil
hingga sekarang seperti tradisi wiwitan, pusaka berupa pohon Kinang Gadung Wulung
Rasulan, dan berbagai macam bentuk tradisi adalah Eyang Iro Kromo dan temannya yang
lainnya. Selain itu, yang paling utama adalah berjumlah tujuh orang. Saat mereka menetap
bagaimana sejarah Kampung Pitu terbentuk, di tanah pemberian Keraton didekat pohon
disebutkannya: dan menjadi cikal bakal Kampung Pitu,
mereka membuat kesepakatan yang menjadi
“Sejarah kampung pitu berawal dari
Adat yakni45:
ditemukan pohon Kinang Gadung Wulung
oleh abdi dalem keraton Yogyakarta dan 1. Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar
pada waktu itu Kraton Ngyugyokarto pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala
mengakan sayembara sehingga keluarga
banyak orang-orang saksi berkumpul di 2. Jika ada keturunan dari tujuh orang
Kampung Pitu. Sayembaranya adalah
tersebut berkeinginan tinggal di sekitar
barang siapa yang mampu menjaga
pohon tersebut maka harus menunggu
pohon Kinang Gadung Wulung tersebut
sampai ada kepala keluarga yang
akan dikasih tanah secukupnya dan
meninggal.
keturunannya kedepan. Tanah yang
diberikan tersebut adalah wilayah 3. Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala
Kampung Pitu saat ini, karena Eyang keluarga sudah ada tujuh, maka keluarga
Dikromo (Kromo) dari Banyumas yang mereka harus menginduk pada tujuh
berhasil dan mampu menjaga Pohon kepala keluarga yang ada, tak boleh
Kinang Gadung Wulung tersebut makai berdiri dalam kepala keluarga sendiri.
ia yang diberi tanah dan selanjutnya Kampung Pitu yang masuk Rukun
membabat alas yang sekarang dikenal Tetangga (RT) 19 Pedukuhan Ngelanggeran
sebagai Kampung Pitu”. Wetan memang tidak memiliki wilayah yang
Selanjutnya, yang menarik adalah luas yakni sekitar 7 (tujuh) hektar dan hanya
penamaan ‘Kampung Pitu’ itu sendiri, yakni dihuni oleh 30 orang penduduk dengan
kata ‘pitu’ berarti ‘tujuh’. Menurut Sugito, 8 (delapan) bangunan rumah46, namun
penamaan itu karena sejak dahulu kala Kampung Pitu dengan Adatnya ini menjadi
jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada di ciri tersendiri yang apabila melanggar
Kampung Pitu tidak lebih dari tujuh. Pernah dapat kena ‘bala’ bahkan ‘mitosnya’ sampai
ada penambahan sampai 9 (Sembilan) KK, meninggal dunia.
namun tidak tahu kenapa 2 (dua) orang KK Jika mengacu pada ketentuan Pasal 97
keluar entah karena sakit atau alasan lainnya. ayat (2) UU No. 6/2014, maka masyarakat
Alhasil, sampai sekarang jumlah KK yang Kampung Pitu bisa dikategorikan sebagai
ada di Kampung Pitu hanya tujuh orang. Hal Masyarakat Hukum Adat yang seharusnya
itu juga dibenarkan oleh Agus selaku Kepala
Dukuh Ngelanggeran Wetan44. 45 Ditwdb, “Kampung Pitu (1),” Https://Kebudayaan.
Kemdikbud.Go.Id/, last modified 2019, accessed
Berdasarkaan penuturan dari Mbah Rejo July 6, 2020, https://kebudayaan.kemdikbud.
Dimulyo yang merupakan generasi ketiga go.id/ditwdb/kampung-pitu-1/.
46 Sudadi, “Misteri Kampung Pitu,Di Desa
dari Eyang Iro Kromo, asal usul tujuh orang Nglanggeran Kecamatan Patuk, Gunungkidul,”
tersebut adalah karena saat sayembara dari Https://Www.Nglanggeran-Patuk.Desa.Id/, last
modified 2020, accessed July 7, 2020, https://
www.nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/1156-
44 Wawancara konfirmasi dilakukan pada tanggal 7 Misteri-Kampung-Pitu-di-Desa-Nglanggeran-
November 2020 Kecamatan-Patuk--Gunungkidul.
244
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
245
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
246
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
247
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
sektor pariwisata dan sektor ekonomi kreatif. mengakses informasi tersebut sehingga
Dengan demikian, produk Ekspresi Budaya pihak yang bermaksud untuk melakukan
Tradisional dapat menghasilkan keuntungan pemanfaatan tersebut dapat secara langsung
secara ekonomi secara terus menerus. terhubung dengan masyarakat tradisional
pemilik EBT sehingga keuntungan ekonomis
Meskipun demikian, perlindungan hukum
dari pemanfaatan EBT milik suatu komunitas
atas EBT melalui rezim Hak Cipta tidak berarti
atau masyarakat tradisional dapat langsung
tidak menemui masalah ketika persyaratan
dinikmati oleh pemilik EBT.
berupa fiksasi/perwujudan karya. Hampir
sebagian besar karya yang berbasis budaya Pada dasarnya, upaya hukum,
tradisional memiliki karakteristik tidak tertulis, administrasi dan kebijakan terhadap suatu
seperti mitos, legenda, atau lagu rakyat. EBT harus melindungi kepentingan ekonomis
Dalam dataran praktis, kreasi-kreasi tersebut dari pihak penerima keuntungan, khususnya
masih menggunakan tradisi tidak tertulis dan pemilik EBT sebagai pemangku, diantaranya
masih tetap hidup di masyarakat tradisional.53 dengan: 54
Peran negara untuk menginventarisasi 1. Mencegah pembocoran, fiksasi maupun
EBT sebagaimana amanat UUHC berbagai bentuk eksploitasi lain dari suatu
menjadi penting ketika dihadapkan EBT yang bersifat rahasia;
dengan permasalahan inventarisasi. 2. Mengakui bahwa penerima keuntungan
Pendokumentasian sebagai langkah awal
utama adalah masyarakat pemangku atau
inventarisasi atas EBT dapat dilakukan melalui
komunitas umber (source community) dari
Pemerintah Daerah agar dapat terwujud
suatu EBT sendiri, kecuali identifikasi dari
database EBT yang lengkap untuk seluruh
komunitas sumber ini sama sekali tidak
wilayah Indonesia. Hal ini dimaksudkan
memungkinkan;
selain untuk menghindari adanya sengketa
dengan pihak luar sebagaimana yang terjadi 3. Mencegah penggunaan atau modifikasi
dalam sengketa Indonesia-Malaysia yang yang akan mendistorsi atau memutilasi
pernah terjadi, dokumentasi dan inventarisasi suatu EBT, sehingga bersifat ofensif,
juga sebagai wujud dari penjagaan mengurangi, atau meniadakan signifikansi
dan pemeliharaan EBT dari kepunahan kulturalnya bagi pihak penerima
sebagaimana amanat Undang-Undang. keuntungan, khususnya masyarakat
pemangku EBT tersebut;
Di samping itu, pendataan atau
inventarisasi atas EBT juga dapat 4. Melindungi masyarakat pemangku dan
memberikan informasi atas kepemilikan EBT itu sendiri dar dari pemanfaatan yang
suatu EBT masyarakat tradisional, sehingga salah atau menyesatkan dalam konteks
menjadi jelas kepemilikan atas suatu EBT. penciptaan dan pengadaan barang dan
Dalam hal suatu EBT akan dimanfaatkan jasa, dengan mensyaratkan pengesahan
secara komersial oleh pihak luar, database atau pengaitan dengan pihak penerima
EBT juga memudahkan pihak luar untuk keuntungan, khususnya masyarakat
pemangkunya.
248
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
249
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
250
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
weton ini juga dikembangkan menjadi dari rasa syukur atas panen dan rezeki
etnomatematika57. dengan menghaturkan doa kepada
Tuhan 62.
2) Tayup/Ledek
4) Ngabekten
Adalah tarian-tarian yang berfungsi
untuk menghibur, dalam beberapa Banyak maksud arti dari ngabekten
pandangan, Tayub sering mendapatkan dalam konsep budaya Jawa, namun
stigma negatif karena identik dengan secara umum ngabekten artinya adalah
wanita penghibur, minuman dan hambur- ‘berbakti’ 63. Bentuk Ngebakten sendiri
hamburkan uang58. Namun, disisi negatif bermacam-cam, namun di Kampung
tersebut banyak juga Tayub yang memiliki Pitu, bentuk kegiatan dari tradisi ini
sisi positif, seperti nilai adiluhung bahkan adalah melakukan doa Bersama
nilai agamis karena pernah menjadi salah kemudian melakukan penyiraman air
satu cara syiar agama. Kata Tayub sendiri bunga terhadap kayu paling atas dari
berasal dari susunan kata “ditata meh rumah 64.
guyub” (diatur agar tercipta kerukunan)
5) Mong-mong
59. Kampung Pitu menggelar kegiatan
Tayub setiap setahun sekali dalam acara Berdasarkan wawancara dengan Sugito,
Rasulan yang dipentaskan dekat sumber tradisi mong-mong adalah bertujuan
Tlogo dan ada 4 (empat) lagu yang harus untuk menunjukkanrasa syukur dan juga
dimainkan, yakni; Blendrong, Ijo-Ijo, keselamatan. Seperti mong-mong pedet
Eleng-Eleng dan Sri Slamet 60. atau mong-mong motor adalah bentuk
tradisi supaya hewan tersebut selalu
3) Rasulan
sehat atau motor/kendaraan tersebut
Tradisi Rasulan atau bersih desa adalah awet dan tidak mencelakakan diri sendiri
salah satu tradisi khas Gunung Kidul dan atau orang lain.
melalui tradisi ini dibangunlah semangat
Berdasarkaan beberapa bentuk
solidaritas yang kuat, nilai toleransi dan
ekspresi tradisi diatas, maka berikut adalah
keiklahasan 61. Masyarakat Kampung
pengelompokan sesuai ketentuan Pasal 38
Pitu percaya, jika tradisi Rasulan ini tidak
ayat (1) UUHC:
dijalankan maka akan muncul berbagai Tabel 2 : Bentuk EBT di Kampung Pitu
macam bala (bencana) terutama bagi
Bidang Ekspresi Bentuk EBT di Kampung Pitu
mereka tradisi ini adalah ungkapan Verbal Tekstual, Cerita tentang asal muasal
Baik Lisan Kampung Pitu yang
Maupun Tulisan menjadikannya dikenal sebagai
57 David Setiadi and Aritsya Imswatama, “Pola desa ‘sakral’ dan hanya dapat
Bilangan Matematis Perhitungan Weton Dalam dihuni oleh 7 (tujuh) KK
Tradisi Jawa Dan Sunda,” Jurnal ADHUM 7, no. 2 Musik Musik secara umum untuk
(2017): 75–86, http://jurnal.ummi.ac.id/index.php/ mengiringi kegiatan seperti
JAD/article/download/42/26. Tayub
58 M. Chairul Basrun Umanailo, “Eksistensi
Waranggana Dalam Ritual Tayub,” OSF (2017),
https://osf.io/zfsvy/. 62 Ditwdb, “Kampung Pitu (1).”
59 Ibid. 63 Benny Ridwan, Ngabekten Dan Telaten: Studi
60 Ditwdb, “Kampung Pitu (1).” Atas Upaya Masyarakat Muslim Rawa Pening
61 Ervina Wulandari, Annisa Fitri Nurkholidah, and Dalam Pelestarian Lingkungan (Salatiga, 2014).
Cahyani Solikhah, “Penguatan Nilai Budi Pekerti 64 Puan Pertiwi, “Kampung Pitu Hanya Bisa Dihuni 7
Melalui Tradisi Rasulan Gunung Kidul,” Habitus: Kepala Keluarga,” Puanpertiwi.Com, last modified
Jurnal Pendidikan, Sosiologii dan Antropologi 2, 2017, accessed July 1, 2020, https://puanpertiwi.
no. 1 (2018): 139–150, https://jurnal.uns.ac.id/ com/kampung-pitu-hanya-bisa-dihuni-7-kepala-
habitus/article/download/20416/15846. keluarga/.
251
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
Gerak Tarian seperti Tayub/Ledek pengecualian jika adanya ketentuan lain yang
Teater Tidak ditemukan adanya bentuk mengatur, sehingga hal ini menjadi polemik.
teater tradisional.
Seni Rupa Belum ditemukan konsep seni Secara toeritik, sebagaimana
rupa yang spesifik. disampaikan oleh Maria Farida Indarti dalam
Upacara Adat Ada beberapa bentuk upcara
Adat seperti; Tinggalan, Rasulan, bukunya berjudul Ilmu Perundang-Undangan:
Mong-mong dan Ngabekten Dasar-Dasar dan Pembentukannya
Arsitektur Kampung Pitu memiliki menyebutkan bahwa sebuah seharusnya jika
arsitektural rumah Jawa pada
umumnya, yang berbentuk perundang-undangan telah disahkan maka ia
Limasan. sudah mengikat dan berlaku secara umum65 .
Lanskap Wilayah Kampung Pitu yang
terdapat di atas Pegunung Purba PENUTUP
dan beberapa situs yang masih
dijaga dan di ‘sakralkan’ oleh Kesimpulan
masyarakat Kampung Pitu.
Berdasarkan persoalan dan pembahasan
Rezim perundang-undangan yang
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
sektoral memang memunculkan berbagai
eksistensi masyarakat Kampung Pitu dapat
tanda tanya, seperti apakah jika sudah
dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat,
dilakukan penetapan sebagai Warisan
namun sampai saat ini belum ada regulasi
Budaya Takbenda masih dapat diusahakan
yang mengatur terkait penetapan Masyarakat
untuk penetapan EBT (Hak Cipta), mengingat
Hukum Adat, sehingga seharusnya hal ini dapat
ketentuan Pasal 38 Ayat (1) UUHC maka Hak
dilihat melalui barometer Pasal 97 ayat (2) UU
Cipta EBT dimaksud dipegang oleh negara,
Desa. Sebagai Masyarakat Hukum Adat, warga
namun teknis dan prosedurnya belum ada
Kampung Pitu berhak untuk menjalankan
hingga sekarang. Pada ketentuan Pasal 38
identitas dan hak tradisional sesuai hak asal
ayat (4) undang-undang a quo menyatakan
usulnya terutama terkait EBT yang menjadi
regulasi dimaksud akan diatur dalam dengan
pencirian utamanya.
Peraturan Pemerintah, namun belum ada
Peraturan Pemerintah terkait dalam hal ini. Perlindungan untuk hak cipta atas EBT
Kampung Pitu berdasarkan Pasal 38 UU No
Peraturan Pemerintah menjadi sangat
28/2014 tentang hak Cipta memang belum
penting sebagai regulasi pelaksana,
ada, namun dengan ditetapkannya Kampung
kedudukan Peraturan Pemerintah yang
Pitu sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh
secara hieraki dibawah Undang Undang
Kementrian Pendidikan & Kebudayaan RI
atau Peraturan Pengganti Undang Undang
sudah menjadi dasar karena mendapatkan
memiliki posisi yang penting, terutama dalam
legitimasi berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU
hal pelibatan pemerintah daearah secara
No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
aktif.
Walaupun terkait hak cipta terkait EBT belum
Ketidakadanya Peraturan Pemerintah ada, namun ini sudah menjadi pengaman
menjadikan regulasi a quo menjadi pertama untuk melindungi eksistensi EBT di
‘mandul’ karena kurang kesulitan untuk Kampung Pitu.
diimplementasikan atau diaktualisasikan.
Secara yuridis, sebuah peraturan yang sudah
disahkan maka dapat untuk dilaksanakan, hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 72 UU No.
12/2011. Namun, pada ketentuan Pasal 87 65 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-
Undang Undang a quo menyebutkan adanya Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya
(Yogyakarta: Kanisius, 1998). H. 151
252
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
253
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
254
Perlindungan Hukum Atas Ekspresi Budaya
Ilham Yuli Isdiyanto, Deslaely Putranti
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Ridwan, Benny. Ngabekten Dan Telaten: Studi
VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Atas Upaya Masyarakat Muslim Rawa
Mulyono, Sutrisno Purwohadi. “Sinergitas Pening Dalam Pelestarian Lingkungan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Salatiga, 2014.
Desa Pasca Pemberlakuan UU Roisah, Kholis. “Perlindungan Ekspresi
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.” Budaya Tradisional Dalam Sistem
Masalah-Masalah Hukum 43, no. 3 Hukum Kekayaan Intelektual.” Masalah-
(2014): 438–444. https://www.neliti. Masalah Hukum 43, no. 3 (2014): 372–
com /publicat ions/ 4685/sinerg it as - 379.
penyelenggaraan-pemerintahan-desa- Sabandiah, Raithah Noor, and Endra
pasca-pemberlakuan-uu-no-6-tahun-20. Wijaya. “Diskriminasi Terhadap Agama
Ni’matul, Huda. “Urgensi Pengaturan Desa Tradisional Masyarakat Hukum Adat
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Cigugur.” Jurnal Penelitian Hukum
Republik Indonesia Tahun 1945.” De Jure 18, no. 3 (2018): 335. https://
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 4, no. ejournal.balitbangham.go.id/index.php/
158 (2017): 1–18. http://jurnal.unpad. dejure/article/view/426/pdf.
ac.id/pjih/article/viewFile/12075/6597. Setiadi, David, and Aritsya Imswatama. “Pola
P, Dian Lakshmi, Sri Wahyuni S, Aryanto Bilangan Matematis Perhitungan Weton
Hendro S, Aldri Sanaky, and Anis Izdiha. Dalam Tradisi Jawa Dan Sunda.” Jurnal
“30 Karya Budaya DIY Ditetapkan ADHUM 7, no. 2 (2017): 75–86. http://
Sebagai Warisan Budaya Takbenda jurnal.ummi.ac.id/index.php/JAD/article/
Indonesia Tahun 2019.” Dinas download/42/26.
Kebudayaan. Last modified 2019. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu
Accessed July 1, 2020. https://budaya. Perundang-Undangan: Dasar-Dasar
jogjaprov.go.id/berita/detail/622-30- Dan Pembentukannya. Yogyakarta:
karya-budaya-diy-ditetapkan-sebagai- Kanisius, 1998.
warisan-budaya-takbenda-indonesia- Sudadi. “Misteri Kampung Pitu,Di
tahun-2019. Desa Kecamatan
Nglanggeran
Pertiwi, Puan. “Kampung Pitu Hanya Bisa Patuk, Gunungkidul.” Https://Www.
Dihuni 7 Kepala Keluarga.” Puanpertiwi. Nglanggeran-Patuk.Desa.Id/. Last
Com. Last modified 2017. Accessed modified 2020. Accessed July 7, 2020.
July 1, 2020. https://puanpertiwi.com/ https://www.nglanggeran-patuk.desa.
kampung-pitu-hanya-bisa-dihuni-7- id/first/artikel/1156-Misteri-Kampung-
kepala-keluarga/. Pitu-di-Desa-Nglanggeran-Kecamatan-
Pratiwi, Beta Desi, and V Indah Sri Pinasti. Patuk--Gunungkidul.
“Pariwisata Dan Budaya (Studi Peran Sugiswati, Besse. “Perlindungan Hukum
Serta Masyarakat Lokal Dalam Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat
Pengelolaan Pariwisata Di Kampung Di Indonesia” XVII, no. 1 (2012): 31–43.
Pitu, Nglanggeran, Patuk, Gunung http://jurnal-perspektif.org/index.php/
Kidul).” Jurnal Pendidikan Sosiologi 1, perspektif/article/view/92/84.
no. 1 (2AD): 1–11.
Sukihana, Ida Ayu, and I Gede Agus
Raffles. “Pengaturan, Dan Model Alternatif Kurniawan. “Karya Cipta Ekspresi
Dalam Perundang-Undangan Budaya Tradisional: Studi Empiris
Penyelesaian Sengketa Dalam Perlindungan Tari Tradisional Bali Di
Perundang-Undangan Indonesia.” Kabupaten Bangli.” Jurnal Magister
Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 Hukum Udayana (Udayana Master Law
(2010). https://online-journal.unja.ac.id/ Journal) 7, no. 1 (2018): 51.
index.php/jimih/article/view/206.
255
JIKH Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 231-256
p- ISS N: 1 9 7 8 -2 2 9 2 e- ISS N: 2 5 7 9 -7 4 2 5
256