Anda di halaman 1dari 3

Tanggal :

PEMBERONTAKAN PETA BLITAR 14 FEBRUARI 1945


-

Pemberontakan PETA di Kota Blitar pada 14 Februari 1945 dipimpin oleh Shodancho
Supriyadi. Supriyadi dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan 1 pendidikan PETA di
Bogor. Mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon)
Blitar. Nurani mereka tersentuh saat melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan
buruk oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha (pekerja paksa) sangat menyedihkan karena
banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati. Para
prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara Jepang yang suka melecehkan wanita
Indonesia.

Pertemuan rahasia sudah digelar sejak September 1944. Supriyadi merencanakan aksi itu
sebagai sebuah revolusi menuju kemerdekaan. 14 Februari 1945 dipilih sebagai waktu yang
tepat karena akan ada pertemuan seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga
diharapkan anggota-anggota yang lain akan ikut bergabung.

Tepat 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan PETA menembakkan mortir ke Hotel
Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Markas Kempetai juga
ditembaki senapan mesin. Dalam aksi yang lain, salah seorang Bhudancho PETA merobek
poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia
Sudah Merdeka!”
.
Pemberontakan PETA tidak berjalan sesuai rencana. Supriyadi gagal menggerakkan satuan
lain untuk memberontak dan rencana ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang.
Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk memadamkan
pemberontakan PETA. Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA ditangkap dan
dijebloskan ke penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak 6 orang divonis hukuman
mati di Ancol pada 16 Mei 1945, 6 orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum
sesuai dengan tingkat kesalahan.

Akan tetapi, nasib Supriyadi tidak diketahui. Supriyadi menghilang secara misterius. Setelah
Indonesia merdeka, sebenarnya Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri
Pertahanan dan Keamanan. Namun, Supriyadi tidak pernah muncul lagi untuk selama-
lamanya.

Tokoh :
 Shodancho Soeprijadi.
 Chudancho dr Soeryo Ismail,
 Shodancho Soeparjono,
 Budancho Soedarmo,
 Shodancho Moeradi,
 Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan.
 Budancho Soenanto.
Tak tahan melihat romusha

Pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer. Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang
latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani. Petani dipaksa menjual padinya kepada
kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan. Itu mengakibatkan padi
untuk kebutuhan keluarganya sendiri tak cukup. Mereka terancam kelaparan. Para tentara PETA
juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga
murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur. Baca
juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan Kekecewaan tentara PETA makin
menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di
Pantai Selatan. Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore. Tanpa makan
dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di
desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha
perempuqan. Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban
romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki. Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita
Bentukan Jepang Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari
para tentara PETA Blitar. Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia
mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian,
Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan
Di Timur Matahari. Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah
lapangan besar pada 14 Februari 1945.

Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang Lihat Foto Supriyadi, Pemimpin
pemberontakan PETA di Blitar.(Kementerian Sosial)

Pemberontakan Supriyadi

Dikutip dari Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008), pada 29
Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai bergerak melawan tentara Jepang.
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata
lengkap. Setelah Jepang mengetahui adanya aksi itu, Jepang segera mendatangkan
pasukannya. Pasukan Jepang juag dipersenjatai tank dan pesawat udara. Mereka mencoba
menghalau tentara PETA yang melakukan perlawanan. Kekuatan tentara Jepang sulit ditandingi.
Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang pun menyerukan agar tentara
PETA menyerah dan kembali ke kesatuan masing-masing. Beberapa kesatuan tunduk pada
perintah Jepang.

Akan tetapi mereka yang kembali justru ditangkap, ditahan, dan disiksa polisi Jepang. Kurang
lebih setengah pasukan Supriyadi kembali. Namun Supriyadi sendiri, Muradi, dan sisa
pasukannya tetap setia melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan
Distrik Pare. Jepang berupaya menahan perlawanan Supriyadi dengan memblokir serta
mengepung pertahanannya. Namun pasukan Supriyadi tetap bertahan. Jepang pun sulit
mematahkan tekad dan keuletan pasukan Supriyadi. Untuk itu, Jepang menggunakan tipu
muslihat.

Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi.
Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan halus. Sikap
itu membalikkan hati para pemuda yang sebelumnya geram terhadap Jepang. Kolonel Katagiri
berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan
serangan pun bersedia kembali ke daidan dan menyerahkan senjata. Katagiri menjanjikan
pemberontakan yang telah terjadi hanyalah masalah intern yang tak perlu dibawa ke pengadilan
militer. Semua akan diurus oleh Daidanco Surakhmad.

Berdasarkan kesepakatan itu, maka pada suatu hari sekitar pukul 8 malam, Muradi dan
pasukannya kembali ke daidan. Di sana sudah berderet barisan perwiran di bawah pimpinan
Daidanco Surakhmad. Kepada Surakhmad, Muradi melaporkan mereka sudah kembali dan
menyesal karena telah melawan Jepang. Karena sudah malam, Muradi tak melihat bahwa
pasukan Jepang sudah mengepung mereka. Senjata mereka pun dilucuti dan langsung ditahan.
Muradi dan anak buahnya diangkut ke markas kempetai Blitar. Baca juga: Dampak Pendudukan
Jepang di Indonesia Sementara Supriyadi yang masih bertahan, akhirnya berhasil ditangkap juga
oleh Jepang. Mereka semua, sebanyak 68 orang, diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di
Jakarta. Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Mereka yang dipidana
mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo. Sementara
Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui
apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.

Anda mungkin juga menyukai