Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa semboyan yang simpatik yaitu
membebaskan bangsa Asia dari penjajahan bangsa-bangsa barat, tetapi beberapa saat setelah kedatangannya sudah dapat dirasakan bahwa segala semboyan itu hanya omong kosong belaka. Mereka dirasakan mulai menindas rakyat Indonesia. Tata kehidupan rakyat beserta berbagai norma tidak dihormati bahkan diinjak-injak. Tindakan itu akhirnya menimbulkan berbagai perlawanan rakyat yang akhirnya memuncak pada pemberontakan bersenjata. Pemberontakan bersenjata terjadi di beberapa daerah yaitu pemberontakan di Aceh, Pemberotakan PETA di Blitar, dan Perlawanan di Singaparna Jawa Barat. Selain pemberontakan bersenjata di daerah-daerah tersebut Pemberontakan PETA juga berlangsung di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 20-25 april 1945. Pemberontakan dilakukan oleh para bundancho (komandan regu) dan giyuhei (prajurit) dari sebuah kompi PETA yang berkedudukan di desa Gumilir Cilacap. Pemimpin pemberontakan adalah seorang Heiki Bundancho (komandan regu bagian peralatan dan persenjataan) bernama Kusaeri.
Sebagai upaya menyusun kekuatan, Kusaeri melakukan penggalangan
kekuatan ke dalam dan ke luar. Ke dalam, Ia berusaha mendekati teman- temannya sesama bundancho, seperti : Sarjono, Sarjono K., Darman, Sukir, Jemiran, Mardiono, Marsan, Masirun, Anwari, Suwab, Sangin, Suparno, Udi, dan Wiryosukarto. Ke luar, Ia berhasil menghimpun dukungan dari Syudancho Sudarwo, Shikihancho Achmadi, dan Keiri Bundancho Subagyo, yang berasal dari markas batalyon PETA Cilacap. Pada malam hari tanggal 20 April 1945, setelah berhasil menaklukan petugas piket dan mengembil seluruh persenjataan di gudang, Kusaeri dan teman- temannya berangkat dari markas kompi menuju sasaran penyerangan yaitu sebuah markas Keibitai (penjagaan pantai) yang terletak di sekitar Bukit Srandil. Targetnya, setelah markas tersebut dikuasai, Kusaeri bermaksud mengajak batalyon PETA Kroya yang dipimpin Daidancho Sudirman (kemudian jadi Panglima Besar TKR) untuk bergabung dan melakukan pemberontakan yang lebih besar. Daidancho Sudirman
Namun karena rencana telah bocor, sebelum para pemberontak
mencapai sasaran, pasukan Jepang telah menghadang di daerah Adipala. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Para pemberontak tercerai berai dan kemudian berhasil ditangkap setelah beberapa hari bersembunyi. Akhirnya, Kusaeri dan 18 orang pemberontak lainnya dibawa ke Jakarta untuk diajukan ke pengadilan militer.
Anggota PETA diadili di pengadilan militer Jakarta
MEREDAM PEMBERONTAKAN PETA GUMILIR Pada saat Sudirman memegang kendali dan menjadi komandan PETA di Kroya. Terjadi pemberontakan para anggota PETA di Blitar yang dipimpin Supriyadi dan pemberontakan PETA - Gyugun Aceh yang dipimpin T. Hamid. Di Cilacap sendiri kemudian muncul letikan pemberontakan. Tanggal 21 April 1945, satuan Codan I Tulus Subroto dan satuan Daidan R. Sutirto yang dipimpin oleh Budanco Kusaeri dan wakilnya Mursidik melakukan pemberontakan di Gumilir, Cilacap. Jepang pun kemudian mencurigai Daidan Kroya pimpinan Sudirman sebagai bagian dari pemberontakan ini. Jepang yang sudah kewalahan menghadapi pemberontakan ini, kemudian mengambil langkah strategis, dengan memerintahkan Sudirman untuk turut meredamkan pemberontakan ini. Sudirman yang cerdik kemudian bersedia melaksanakan perintah itu, dengan syarat, anggota PETA yang terlibat tidak boleh dihukum dan kampung kampung yang dijadikan persembunyian pun tak boleh dibakar. Prasyarat ini pun diloloskan Jepang. Dengan didampingi oleh Suparjo Rustam dan bersama tentara Jepang, Sudirman dengan tegas melarang tentara Jepang mengarahkan senapannya ke para pemberontak. Dengan menggunakan pengeras suara yang dipasang diatas kepala truk, Sudirman menghimbau agar kawan kawannya yang memberontak menyerahkan diri. Dan Sudirman sendiri sebagai jaminan keselamatan mereka. Hingga akhirnya pada 25 April 1945 akhirnya Kusaeri pun menyerahkan diri. Perwira muda PETA itu memang berani dan kharismatik, sehingga tak perlu letup senjata untuk meredam pemberontakan yang kadung merepotkan itu.