Anda di halaman 1dari 1

Perlawanan Peta di Blitar

Perwira Peta mengetahui penderitaan rakyat ketika para perwira Peta kembali ke keluarga masing­-masing
dari pelatihan militer dasar. Mereka mendengar kabar tentang penderitaan para petani yang dipaksa menjual
padinya kepada kumiai melebihi jatah yang telah ditentukan sehingga sisanya tidak cukup untuk menghidupi
keluarga. Selain itu, mereka mendengar kabar bahwa Jepang telah memerintahkan pembelian telur secara
besar-­besaran dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan tentara Peta. Kenyataannya, tentara Peta
tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Kekecewaan para perwira Peta meningkat ketika mereka bertugas mengawasi pekerjaan para romusa
membangun kubu­kubu pertahanan di Pantai Selatan. Kondisi ini memicu para perwira Peta melakukan
perlawanan.
Perlawanan Peta terhadap Jepang di Blitar dipimpin
oleh Supriyadi. Sejak pertengahan September 1944, Supriyadi
sering mengadakan rapat-rapat rahasia bersama Muradi, Halir
Mangkudidjojo, dan Sunanto untuk menyusun strategi
penyerangan. Dalam perkembangannya, pada 13 Februari
1945 Supriyadi baru dapat meyakinkan para perwira Peta
lainnya untuk turut bergabung dalam gerakan perlawanan.
Selanjutnya, mereka bergegas meninggalkan Kota Blitar dan
membangun pertahanan di lereng Gunung Kelud.
Pada 14 Februari 1945, pasukan Supriyadi mulai
melakukan penyerangan terhadap kediaman para pelatih
mereka dan gedung Kenpeitai. Setelah itu, sebagian pasukan
bergerak menuju luar Kota Blitar, sedangkan sebagian lainnya
bergerak ke arah hutan Lodoyo. Sepanjang perjalanan, pasukan
Peta menyerang orang-orang Jepang yang dijumpai.
Serangan Peta terhadap Jepang makin masif pada 29
Februari 1945. Tentara Peta mulai mempersenjatai diri
dengan mortir, senapan mesin, dan granat. Mereka menyerang Supriyadi
beberapa pos penjagaan Jepang di Blitar. Untuk menghadapi Sumber: Seri Ensiklopedia Ilmu Pengetahuan Sosial: Pahlawan
Nasional Indonesia, Mediantara Sementa, 2009
gempuran Peta, pasukan Jepang membangun benteng
pertahanan. Selain itu, Jepang mendatangkan pasukan tambahan dari daerah lain. Meskipun pihak Jepang
mendatangkan pasukan tambahan, mereka tidak berani melakukan gempuran secara masif terhadap pasukan
Peta. Kondisi ini terjadi karena pada saat itu pihak Jepang hanya memiliki dua resimen di Pulau Jawa.
Sebagai upaya menghentikan perlawanan Peta,
Jepang melakukan siasat tipu muslihat. Siasat tersebut
ditunjukkan melalui perundingan yang dilakukan oleh pihak
Jepang dan Peta Blitar. Upaya tersebut berhasil mendorong
beberapa perwira Peta untuk kembali ke asrama. Akan tetapi,
di dalam asrama para perwira Peta mendapat penyiksaan dari
tentara Jepang. Selain itu, Kolonel Katagiri mengajak Supriyadi
dan Muradi untuk berdamai dan berjanji tidak akan membawa
masalah perlawanan tersebut ke Mahkamah Militer Jepang di
Jakarta. Akan tetapi, ketika pasukan Supriyadi dan Muradi
lengah, pasukan Peta segera dikepung oleh pasukan Jepang. Anggota tentara Peta Blitar sedang diadili oleh Mahkamah
Mereka kemudian dibawa ke Mahkamah Militer Jepang di Militer Jepang
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan
Jakarta. Zaman Republik, Balai Pustaka, 2009
Dalam persidangan Mahkamah Militer, para perwira Peta
dinilai telah melakukan perlawanan terhadap Jepang. Setelah
melalui beberapa proses persidangan, para pejuang mendapatkan vonis hukuman sesuai peran masing-masing.
Hukuman mati merupakan hukuman paling berat yang diterima oleh beberapa tokoh pejuang Peta seperti
Muradi, dr. Ismail, Suparyono, Halir Mangkudidjojo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak
diketahui nasibnya pascaperlawanan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai