Anda di halaman 1dari 10

RITUAL DEWI SRI, PERTANIAN SEBAGAI KEBUDAYAAN

RITUAL DEWI SRI,


PERTANIAN SEBAGAI KEBUDAYAAN
Dr Bisri Effendy

Namanya Dewi Sri, pastilah ia perempuan. Konon, seperti juga namanya, ia adalah
Dewi Kahyangan yang memberi kesuburan. Tetapi, karena nama itu hanya populer di
kalangan komunitas pertanian sawah, Dewi Sri lalu diasosiasikan sebagai atau menjadi
simbol padi. Para petani sawah sangat mengenalnya dengan akrab, bahkan banyak di antara
mereka yang menganggapnya sebagai padi itu sendiri. Dewi Sri memang dipandang sebagai
salah satu dewa yang mengisi biji padi hingga kemudian menjadi beras. Itulah sebabnya
mengapa, seperti yang masih kita temukan di sejumlah kalangan petani di pedesaan Jawa,
beras atau padi pantang disia-siakan, karena itu berarti menyepelekan Dewi Sri. Kuwalat,
kata orang Jawa menyumpah.
Soal nama memang tidak hanya Dewi Sri. Nini Thowok atau Nini Towong (Jawa), Sangiang
Sri seperti tertulis dalam La Galigo (Bugis-Makassar), Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang
Tisnawati (Sunda), Luing Indung Bunga atau Dara (Datu) Bini Kabungsuan (Dayak),
Seblang (Banyuwangi), dan Betari Sri atau SangHyang Ibu Pertiwi, lebih sering disebut Ibu
(Bali) menunjuk pada subtansi yang sama, semuanya merupakan simbol padi dan kesuburan.
Nama-nama itu, karenanya, menjadi sangat penting bukan hanya dalam memori dan
keyakinan petani, tetapi juga dalam upacara-upacara yang dihajatkan untuk itu, serangkai
aktivitas religius yang di Jawa biasanya berkelindan dengan niat-niat lain seperti tolak-balak,
mengusir pagebluk, keselamatan desa, dan seterusnya. Seperti halnya nama yang ditokohkan,
ritual-ritual yang dilakukan juga menyandang nama yang berbeda-beda, Bersih Desa (Jawa
Mataraman), Sedekah Bumi (Jawa non-Mataraman), Serentahun (Sunda) Kebo-keboan dan
Seblang (komunitas Using, Banyuwangi), Mappalili (Bugis-Makasaar), Lepeq Majau (Dayak
Kenyah, Kaltim), Bapalas Padang (Banjar, Kalsel), dan Mungkah, Mendak Sari, atau Muat
Emping Ngaturan Sari (Bali).
Tak pelak, karena itu, dalam setiap upacara yang berpautan dengan proses produksi
padi khususnya dan pertanian agraris pada umumnya, Dewi Sri menjadi atau ditampilkan
sebagai figur terpenting. Di banyak desa di Jawa, misalnya, upacara menjelang musim tanam
atau sesudah panen padi, dengan berbagai sebutan, masih sering kita saksikan hingga
sekarang. Di sebagian penduduk atau kelompok etnis, ia dipersonifikasi ke dalam seorang
gadis jelita, bertubuh semampai, dan berwajah ceria. Dengan pakaian anggun, tutup kepala
bercundhuk, dan jurai rangkaian bunga, diarak keliling kampung. Bahkan tak jarang, keliling
kampung itu, diiring oleh riuh warna-warni musik yang terdapat di kampung bersangkutan.
Dalam ritual Kebo-keboan di desa Alas Malang (Banyuwangi, Jawa Timur) tahun
1995 dan 2003 yang saya saksikan, misalnya, Dewi Sri diperankan seorang gadis cantik
mempesona, bernama Tuti; semampai, tinggi (165 cm), kuning langsat, jelita, dan selalu ceria
tanpa harus tersenyum. Posisinya di atas tandu berhias yang dipikul 8 orang, menebarkan dua
hal sekaligus; pesona dan wibawa. Delapan pasang “kebo-keboan” (terdiri dari orang yang
dihiasi seperti kerbau) dan 4-5 jenis musik dan kesenian yang mengiringi arak-arakan keliling
desa, ditambah ribuan pengunjung ritual yang berjajar di sepanjang jalan, menjadikan ritual
itu terkesan meriah
tetapi tetap mistis, dan yang lebih penting lagi, memantapkan posisi Dewi Sri dalam tahta
yang agung.
Dari situ, terlihat Dewi Sri sangat penting, terhormat, dipuja, dielu-elukan, dan
dikeramatkan. Secara simbolis, seluruh perintahnya dipatuhi, kerling matanya meng-gagap-
kan, dan kemarahannya membuat para warga bergetar ketakutan. Persis seperti ketika ia
dalam memori dan angan-angan (dalam kehidupan sehari-hari di luar upacara) penduduk
pedesaan pertanian. Sesaji, mantra-mantra, dan persembahan lain yang mengikuti proses
produksi padi (menjelang tanam, ketika padi sedang hamil, menjelang dan sesudah panen)
menjelaskan bagaimana para petani padi menggantungkannya pada Dewi Sri. Kemarahan
Dewi Sri, lantaran semua itu tak dipersembahkan, akan menyebabkan biji-biji padi tak terisi,
ditinggal pergi oleh Dewi Sri dan dibiarkan dimangsa wereng.

Dewi Sri: Kisah Asal-mula Padi dan Ritus Kesuburan


Meski Dewi Sri sebagai tokoh mitologis dan imajiner sangat jelas bagi para petani,
namun siapakah dan bagaimanakah hubungannya dengan padi cukup kontroversial dan
variatif yang selalu dikaitkan dengan mitos asal-mula kejadian padi. Di kalangan masyarakat
Sunda (Jawa Barat), misalnya, Sri terlahir dari sebutir telur yang berasal (mengkristal) dari
titik air mata seorang dewa cacat, Dewa Anta yang menangis sedih karena tidak dapat
berpartisipasi dalam mendirikan Balai Pertemuan para Dewa. Karena kecantikan Sri yang tak
tertandingi, Bethara Guru jatuh cinta dan ingin mengawininya tetapi dapat digagalkan oleh
para dewa lain dengan cara membunuh Sri dan menguburkan nya di bumi. Beberapa hari
kemudian, dari kuburan Sri tumbuh kelapa (dari kepalanya), padi biasa (dari matanya), padi
ketan (dari dadanya), pohon enau (dari kemaluannya), dan rerumputan (dari bagian yang
lain).
Mirip dengan itu adalah cerita tentang mahluk dewa hubungannya dengan padi di
sebagian masyarakat Dayak Kalimantan. Kisahnya bermula dari suatu peristiwa yang
merisaukan seluruh penduduk, kekeringan panjang yang melanda Tanah Lingo, suatu dataran
tertentu di pulau Kalimantan. Malapetaka ini diyakini sebagai akibat dari pelanggaran aturan
dan tatanan para dewa, dan untuk mengatasinya haruslah ada korban persembahan berupa
salah seorang penduduk harus rela mati. Di saat kebingungan kolektif, karena tak satu pun
yang bersedia mati, muncullah putri bungsu kepala adat menyediakan diri untuk itu. Luing
Indung Bunga, nama putri tersebut, rela mati demi kesuburan tanah dan kesejahteraan
penduduk yang amat didambakan. Dan bersamaan dengan mengalirnya darah dari tubuh sang
putri, seketika mendung menggulung dan hujan lebat pun membasahi bumi yang telah sekian
lama mengering. Sesaat setelah hujan usai, ibu sang putri menjenguk tempat dimana putrinya
mati berkorban, terlihatlah sehampar tetumbuhan semacam rumput alang-alang dengan buah
berbiji yang menggelantung yang kemudian dikenal sebagai tanaman padi. Sejak saat itulah
Luing Indung Bunga dipandang sebagai Dewi Pertanian dan asal muasal tanaman padi di
kalangan masyarakat ini.
Agak berbeda dengan itu, di kalangan masyarakat Dayak Kalimantan Selatan, padi
dipercaya berasal dari salah satu tanaman di langit (alam para dewa), sebuah tanaman
berbentuk pohon besar, akarnya menghunjam di Indung Besar dan pucuk daun/buahnya
mencapai puncak langit ke delapan. Buah pohon itu sangat besar dan lebat, bahkan jika
ditanam pagi hari, sore hari akan berbuah, sehingga Datu Laki Badangsanak Walu, pemilik
tanaman itu, kuwalahan menghimpun dan menyimpannya. Para Dewa juga kesukaran
menyantap buah itu karena terlalu besar, mereka bermohon agar buah tanaman itu bisa
terpecah atau menjadi kecil. Dan akhirnya atas petunjuk Suwara, Datu Laki Kabungsuan
membuat bakul pabayunan (bakul khusus untuk upacara) lalu buah itu dimasukkan ke
dalamnya, dan setelah diasapi dengan dupa dan dimantrai selama tujuh hari (siang-malam),
buah itu menjadi terbelah dan terpecah kecil-kecil sebesar butir padi sekarang. Datu Bini
Kabungsuanlah yang kemudian menyembunyikan sebagian buah yang sudah mengencil itu di
dalam balai kaca bagantung (dalam bahasa Balian diasosiasikan sebagai rahim perempuan)
untuk dibawa ke bumi. Ketika sampai di bumi, Datu Bini Kabungsuan bagaikan perempuan
hamil dan setelah berumur sembilan bulan sembilan hari, lahirlah buah itu bagaikan seorang
bayi dan diupacarai: diletakkan diatas kain putih, diasapi dengan dupa alam barasagi dan
alam barasangka, ditimang dan dihadapkan ke segenap penjuru bumi. Orang-orang Dayak
Kalsel, dengan demikian, percaya bahwa padi adalah buah dari langit yang suci dan tidak
boleh disia-siakan. Mungkin karena mite itulah maka bagi orang-orang Banjar pun padi juga
dipercaya sebagai tanaman dan buah dari surga (setelah mereka mengenal agama samawi).
Lain lagi ceritanya di kalangan Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Matoa Bissu Saidi
menceritakan kepada saya bahwa asal-mula padi tak lepas dari kisah turunnya Sawerigading
ke bumi. Ia turun tidak sendirian tetapi di barengi oleh Sangiang Sri, salah satu saudara
kandungnya, yang diturunkan dalam bentuk sekuntum tanaman langit yang dikawal oleh
seekor kucing belang tiga yang disebut meong palokarallae. Mereka diperintahkan oleh Dewa
Patotoe untuk menyediakan makanan bagi penduduk bumi yang juga rakyat Sawerigading.
Sekuntum tanaman langit itu ditanam pertama kali di Luwu, tetapi karena masyarakat Luwu
sering menyakiti kucing, maka tanaman tadi tak bisa subur di sana. Sangiang Sri bersama
meong palokarallae meninggalkan Luwu menunu Wajo, tetapi karena di daerah yang terakhir
itu sikap masyarakatnya terhadap kucing sama seperti masyarakat Luwu, maka mereka
pindah lagi ke Pangkep. Di daerah inilah Sangiang Sri dan pengawalnya mendapat
perlakukan yang baik, sehingga padi menjadi subur.
Di Madura, mitos Dewi Sri bermula dari cerita ketika Bethara Guru menciptakan
seorang perempuan cantik jelita bernama Retna Dumilah yang kemudian dicintainya sendiri.
Tetapi cinta Bethara Guru gagal karena tak bisa memenuhi permintaan Retna Dumilah berupa
makanan yang tak pernah membosankan, pakaian yang tidak pernah rusak, dan gamelan yang
bisa berbunyi tanpa dibunyikan. Maka ketika Bethara Guru hendak menyentuhnya, Retna
Dumilah mati seketika dan dikuburkan di suatu tempat di bumi. Beberapa saat kemudian, lalu
tumbuh berbagai macam tanaman, dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari tubuhnya
tumbuh padi sawah, padi gaga, dan pohon enau, dari tangannya tumbuh buah-buahan yang
menggelantung, dan dari kakinya tumbuh ubi-ubian seperti talas, ubi, dan lain-lain.
Versi lain, juga dari Madura, hanya sampai ketika Bethara Guru gagal mencintai
Retna Dumilah. Kegagalan itu, menurut versi ini, karena seorang dewa yang diperintahkan
untuk mencari seluruh permintaan Dumilah bertemu Dewi Sri (isteri Wisnu) dan mencintai
nya sehingga melupakan perintah Bethara Guru. Dewa pesuruh itu terus mengejar Dewi Sri
meski ia telah dikutuk (atau menyembunyikan diri dengan menjelma) menjadi seekor babi
hutan. Dewi Sri akhirnya kewalahan dan seketika itu pula ia memohon agar dikembalikan ke
Kahyangan. Permohonannya terkabul, dan persis tempat dimana Dewi Sri musnah,
tumbuhlah hamparan tanaman padi, sedang dari babi hutan muncullah hama-hama seperti
tikus, walang, dan lain-lain. Versi ini melanjutkan bahwa untuk membasmi hama-hama itu,
Dewi Sri yang sudah kembali ke Kahyangan tadi mengirimkan ular ke bumi; inilah sebabnya
masih kita jumpai sebagian petani tak mau dan tak berani membunuh ular sawah karena
menganggap kiriman Dewi Sri dari Kahyangan.
Di kalangan petani Jawa, pandangan mengenai hal itu sangat beragam. Bagi para
petani di Banyumas (Jawa Tengah), misalnya, kehadiran Dewi Sri ke bumi berawal dari saat
ketika Bathara Guru menurunkan benih kehidupan, wiji widayat kepada semua dewa, karena
ketidak-hadiran Ramadi itu, para dewa tak mampu memikulnya, dan wiji widayat melesat ke
bumi bahkan sampai ke lapisan ke tujuh. Benih kehidupan itu ternyata masuk ke dalam perut
Nagaraja atau Hyang Anantaboga yang mulutnya sedang menganga.
Melihat peristiwa itu, Bethara Guru terkejut dan kemudian memerintahkan untuk
dimuntahkan, dan ternyata, setelah dimuntahkan, yang keluar adalah dua bayi, laki-laki dan
perempuan yang lalu diberi nama Sri dan Sadana. Setelah menginjak dewasa, baik Sri
maupun Sadana tak mau berpisah bahkan meminta untuk dijodohkan yang ternyata tak
setujui oleh para dewa. Hanya karena permintaannya itu, Sadana dikutuk mati yang
kemudian, dari mayatnya, muncul berbagai binatang liar seperti monyet, babi hutan, gajah,
dan binatang laut. Sri sangat sedih atas peristiwa itu dan meminta agar dibuatkan gamelan
Gedobrog untuk menghibur perih hatinya. Tetapi, ternyata ia pun terkena kutukan dan harus
mati seperti Sadana. Bethara Narada mendapat tugas membawa mayat Sri ke bumi untuk
diserahkan kepada seorang perempuan tani yang sedang bertapa untuk mendapat wiji
widayat. Narada memberikan mayat Sri kepada perempuan itu dan berpesan agar dikuburkan
secara baik-baik dan disiram terus selama tujuh hari. Setelah itu, dari kubur Sri tumbuh
sejumlah tetumbuhan diantaranya tanaman padi.
Serat Manikmaya yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Timur
menceritakan, dalam beberapa bagian sama dengan di Madura, bahwa Ken Tisnawati (Dewi
Sri), putri Retna Dumilah, mati ketika dirayu oleh Bethara Guru yang amat mencintainya.
Setelah di kubur, kemudian tumbuh beberapa tanaman yang sampai sekarang bermanfaat bagi
penduduk bumi. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa dan padi, dari tubuhnya tumbuh pohon
aren, dari kedua tangannnya tumbuh pohon buah-buahan, dan dari kedua kakinya tumbuh
ubi-ubian (ubi jalar dan talas).
Dewi Sri – atau apapun sebutannya – dan padi memang lengket dan tak mungkin
dipisah. Cerita rakyat yang masih kita dengar di kalangan masyarakat pedesaan Jawa dan
Madura mengisahkan tentang bagaimana Joko Tarub (Jawa) atau Aryo Menak (Madura)
berhasil mengawini seorang bidadari (dewi atau peri) yang tak bisa kembali ke Kahyangan
lantaran pakaiannya dicuri saat bidadari itu mandi di suatu sungai atau telaga. Mereka hidup
bahagia, tenteram, dan makmur. Suatu keanehan yang selalu mengganggu pikiran Joko Tarub
maupun Aryo Menak cukup lama adalah kenyataannya padi di lumbung seperti tak pernah
berkurang meski setiap hari dimasak selama bertahun-tahun. Suatu hari, Tunjung Wulan,
nama bidadari itu, ketika hendak bepergian, berpesan pada suaminya untuk tidak melihat
tempat dan pelaratan dia masak. Rupanya pesan itu justeru membuat penasaran sang suami,
dan ketika sang isteri telah jauh, Joko Tarub atau Aryo Menak memeriksa seluruh tempat dan
peralatan masak. Di sana ia melihat bahwa ternyata isterinya mempunyai kemampuan
memasak satu butir beras cukup untuk memenuhi seluruh keluarga.
Kamanungsan, begitu istilah yang paling populer di Jawa, sehingga kemampuan
memasak ajaib bidadari itu lenyap seketika. Maka gelisahlah Tunjung Wulan karena sudah
tidak mungkin lagi menghemat padi di lumbung, dan selanjutnya ia memasak nasi seperti
umumnya manusia biasa. Tidak sampai setahun, padi di lumbung pun makin menipis dan
ketika sampai di lapisan terakhir, paling bawah, ia terkejut bukan kepalang karena ternyata di
situlah ia menemukan pakaian bidadari yang dahulu menyebabkan ia tak bisa kembali ke
Kahyangan. Tunjung Wulan pun lalu berpamitan karena itu dianggap sebagai garis pemisah
antara manusia dan dewa untuk selanjutnya ia kembali ke Kahyangan. Tetapi, para dewa
yang sudah lama berpisah dengannya tak berkenan menerima kembali, dan seperti yang
tersurat dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa, bidadari itu lalu ditempatkan di laut selatan
bergelar Nyi Roro Kidul.
Babad Nitik atau Serat Tjabolek menceritakan bahwa Raja Mataram, Sultan Agung,
menjelang akhir hidupnya pernah mengadakan upacara penanaman padi dari bibit yang ia
datangkan dari negeri Campa. Dalam upacara itu, Sultan Agung didampingi oleh Ratu Laut
Selatan untuk secara bersama menanam jenis padi Campa (di Jawa lebih dikenal pari cempo)
tersebut dan menganjurkan agar rakyat Mataram menanam dan melestarikannya. Hingga ada
proyek intesifikasi pertanian Orde Baru, jenis padi itu di Jawa dianggap sebagai padi paling
enak dan sangat banyak produksinya. Dalam serat itu pula disebutkan bahwa upacara
penanaman padi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi lumbung-lumbung padi seluruh
Jawa; lumbung padi Mataram, seperti banyak disebut oleh sejarawan, menyebar hingga di
Karawang, dekat Jakarta yang dimaksudkan sebagai logistik perang melawan kompeni
Belanda di Batavia.
Dewi Sri ternyata tidak hanya berkaitan dengan dari mana (bibit) padi berasal-mula, tetapi
juga berpaut dengan kesuburan. Di samping simbol padi, Dewi Sri juga simbol kesuburan
tanaman-tanaman yang hingga sekarang ini sangat dikenal oleh masyarakat pedesaan di
Nusantara; kepala, pisang, buah-buahan, ubi-ubian, dan sebangsanya. Mite Dewi Sri juga
memperkenalkan berbagai hama pemangsa dan perusak tanaman seperti kera, tikus, walang,
dan seterusnya. Mite itu juga meneguhkan kepercayaan petani bahwa untuk mencapai
produksi tertentu dari seluruh olah pertanian haruslah selalu menghormatinya dengan
berbagai cara dan sesaji, baik sebagai simbol padi maupun simbol kesuburan.
Kesuburan memang didambakan oleh penduduk bumi yang tidak hanya dikaitkan
dengan jenis tanaman tertentu dan hama pemangsanya, tetapi juga menyangkut curah hujan.
Dan dalam konteks yang terakhir itu, kesuburan tidak selalu berpaut dengan Dewi Sri, meski
tetap disimbolisasi perempuan. Berbagai cerita menyatakan bahwa kekeringan yang
berkepanjangan di suatu tempat tertentu membuat penderitaan bagi penduduknya sehingga
terdorong untuk melakukan berbagai upaya mengatasinya. Nyanyian bersama untuk meminta
hujan dari berbagai negeri, bangsa, dan etnis adalah juga mantra-mantra yang dipanjatkan
ketika mereka dilanda kekeringan. Misalnya, sebuah pujian berbahasa Arab di kalangan
muslim santri: Rabbana anzil alaina ma’an midrara dan seterusnya. Pujian ini sering kita
dengar dari berbagai masjid di pedesaan Jawa khususnya menjelang shalat berjamaah
(magrib dan isya’), saat-saat mereka dilanda kemarau panjang. Selain, dalam tradisi muslim
santri pula, biasa dilakukan shalat bersama di lapangan dengan bacaan dan doa khusus yang
dikenal sebagai shalat istisqa’ (harfiah: minta disiram).
Sebuah tradisi yang sangat luas di kalangan berbagai bangsa dalam mendambakan
kesuburan itu adalah ritual dalam bentuk tari. Di Cina, misalnya, seperti dinyatakan Curt
Sach (World History of the Dance, 1963), jauh sebelum tarikh Masehi, orang-orang Shaman
telah menciptakan hujan melalui upacara berbentuk tari gembira. Sebuah tari, mirip dengan
tari Itogapuk (Amazon) atau Tsalon (Rio Yayuan), yang mempersatukan gerak laki-laki dan
perempuan, melingkari sebuah tanaman, saling menempelkan pinggul, dan akhirnya penari
perempuan digendong untuk dibawa pergi. Dalam tari itu, kedua insan berbeda kelamin itu
saling konsentrasi membuat dirinya menjadi kekuatan yang mampu menciptakan daya
tumbuh bagi tanaman tadi. Tari ritual kesuburan, seperti dilukiskan Ben Suharto (Tayub,
Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, 1999), selalu berusaha mencapai sikap mistis tentang
pengertian seksual dengan cara saling mendekatkan dua jenis seks atau dengan cara saling
melingkari.
Ada kalanya yang dikelilingi para penari perempuan itu adalah tubuh laki-laki
telanjang seperti pada lukisan batu di Cogul Spanyol, atau seperti ketika, dalam upacara
ribuan tahun lalu, sembilan perempuan penggembala domba mengelilingi Krisna, atau seperti
ketika sembilan Muses melingkari Dewa Appolo, atau seperti tari Indian Chaco. Ada juga
yang lain. sejumlah penari perempuan, dalam upacara kesuburan, sambil memegang phallus
(benda mirip kelamin laki-laki) menari melenggok, melingkar dan memukul-mukulkan
phallus itu. Bahkan, konon, di Nuba (Afrika Timur Laut) atau di Altai (Turki) para penari
perempuan, dalam ritual kesuburan pula, tidak hanya memegang phallus dan memukulkannya
kepada sesama penari tetapi memasukkan benda itu ke dalam vaginanya masing-masing.
Sangat mungkin kita menganggap semua tari dari berbagai belahan dunia itu porno, erotis,
atau bahkan jorok dan tak senonoh. Tetapi, bagaimana jika dalam kenyataannya semua itu
hanya demi atau sebagai simbolisasi kesuburan, seuatu kepolosan dan keluguan yang
acapkali memancing salah tafsir.
Di kalangan masyarakat negeri ini, terutama di Jawa, kita sangat mengenal sejumlah
tari yang biasanya dikaitkan dengan kesuburan. Tari Tayub, Gandrung, dan Gambyong,
selain sering dikategori sebagai tari pergaulan, selalu disebut-sebut sebagai tari kesuburan
bumi. Ketiga tari itu, di banyak tempat di pedesaan Jawa, memang hampir selalu
dipertunjukkan dalam setiap Bersih Desa, Sedekah Bumi, atau Petik Laut, bahkan beberapa
pengamat tari menyatakan bahwa tari-tari itu sendiri diciptakan sebagai simbol kesuburan.
Baik Tayub, Gandrung, maupun Gambyong adalah tari berpasangan perempuan dan laki-laki
dalam suatu arena tertentu (pertunjukan) yang diiringi dengan musik dan lagu (tembang).
Para penari ketiga kesenian itu – biasa disebut teledhek, waranggono, ronggeng, atau
gandrung – pastilah perempuan yang terlatih, umumnya bertubuh langsing, berparas cantik,
dan mempunyai suara merdu. Mereka menari berpasangan dengan laki-laki (dari kalangan
penonton atau audien) mengikuti musik dan lagu yang dilantunkannya. Dalam tari
berpasangan itu, mula-mula mereka berhadapan dengan jarak yang makin mendekat bertemu-
muka (biasanya hingga berjarak 10 cm) mengesankan mau ciuman, lalu si laki-laki bergerak
melingkar hingga persis lurus dengan posisi di belakang penari perempuan (penari laki-laki
menghadap ke bagian belakang penari perempuan), dan setelah beberapa saat kemudian
peneri laki-laki melingkar melalui sisi berikutnya ke arah berhadapan kembali. Ketika pada
posisi di belakang penari perempuan, penari laki-laki, seperti ketika berhadapan muka,
bergerak makin mendekat dengan posisi tegak dan pada saat posisi yang paling dekat (sekitar
10 cm) ia menggerak-gerakkan ke depan bagian pinggulnya berkali-kali bagaikan seorang
yang sedang senggama; gerak tari yang terakhir ini juga sering terlihat ketika mereka pada
posisi berhadapan.
Dengan demikian jelaslah bahwa tari kesuburan tidak tampak dengan penuangan tema
dengan memperlihatkan cara menanam, merawat, dan memanen melainkan dengan
penggambaran ke dalam hubungan seksual perempuan dan laki-laki. Akan tetapi justeru
itulah yang menjadi persoalan di kemudian hari. Setelah masyarakat mengalami perubahan
sangat mendasar dalam tataran nilai sebagai akibat masuknya agama-agama besar (samawi)
dan modernitas yang gencar, gerak tari yang sebenarnya merupakan simbolisai kesuburan
dalam konteks reproduksi tadi mendapat ancaman sangat serius bukan hanya dalam
pengertian pengemasan ulang tetapi bahkan pemusnahan. Masyarakat yang tadinya tidak
mempunyai pretensi negatif apa pun karena murni menganggap sebagai simbol kesuburan
(dalam konteks ini bahkan mereka menganggap tari itu sebagai sakral), lalu secara sangat
radikal, sebagian besar, menganggapnya sebagai porno, saru, tak senonoh, maksiat, perusak
ahlak, bahkan, ini yang paling aneh, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Ternyata tidak hanya itu. Meski di beberapa tempat seperti halnya di Banyuwangi tari
tersebut masih dilaksanakan dalam ritual Bersih Desa atau Petik Laut, aura kesuburannya
makin menghilang. Entah sejak kapan, baik Tayub, Gandrung, maupun Gambyong telah
sejak lama kehilangan dimensi ritual kesuburannya, dan beralih menjadi seni pertunjukan
yang sepenuhnya profan dan hanya mementingkan estetika dan etika. Pada masa penjajahan
Belanda maupun Jepang, sebagaimana diungkap oleh banyak pengamat seni, ketiga kesenian
rakyat tersebut bahkan seringkali dipakai untuk kepentingan politik kaum republik, demikian
pula ketika perkelahian politik pada 50-an hingga pertengahan 60-an, ketiganya dimanfaatkan
oleh sejumlah partai politik untuk memobilisasi massa demi kepentingan partainya masing-
masing. Suatu fenomena yang sebenarnya juga dapat kita saksikan pada zaman Orde Baru,
bahkan hingga sekarang.
Yang paling terlihat kini bahwa ketiga tari di atas bukan lagi menjadi simbol
kesuburan, tetapi merupakan seni pertunjukan profan untuk memenuhi kebutuhan hiburan
masyarakat sekitar atau para wisatawan (pariwisata). Oleh karena itu, komersialitasnya
merupakan aspek yang paling penting dan selera penonton yang demikian dinamis menjadi
faktor dominan perkembangannya. Tayub, Gandrung, maupun Gambyong seolah kini
merupakan komoditas lain dari masyarakat dimana ketiga kesenian itu beredar dan
berkembang. Kenyataan yang terakhir ini sungguh tak bisa lepas dari peran birokrasi dan
modernitas (termasuk media dan pasar) yang sejak pertengahan 70-an menjamah seluruh
kesenian rakyat demi politik dan (sejak anjloknya BBM) pemenuhan devisa non-migas.
Tetapi peristiwa mengejutkan juga terdengar beberapa tahun lalu. Mbah Noto, wakil
Bupati Tuban yang juga dedengkot Tayub, menceritakan kepada saya bahwa kekeringan dan
mengamuknya hama di Tuban 1998-2001 sehingga nyaris tanpa panen padi dihubungkan
dengan sebuah larangan pentas Tayub oleh birokrasi dan kaum agama (Islam) di daerah itu.
Meski sulit dicari logikanya, masyarakat Tuban percaya bahwa malapetaka yang dialami
seluruh petani Tuban saat itu disebabkan oleh kesalahan dan kekeliruan tidak mementaskan
Tayub yang dipahami sebagai ritus kesuburan. “Dewi Sri mengamuk dan membiarkan hama-
hama itu merajalela memangsa padi”, kata Bambang, petayub yang sangat dekat dengan
Mbah Noto.

Dialektika Reproduksi
Ketika masih dalam keswadayaannya yang relatif penuh (belum terjamah oleh proyek
pertanian negara di zaman Orde Baru), para petani kita di banyak tempat di Jawa selalu
memilih beberapa onggok padi (bergagang, bertangkai) yang dianggapnya paling pas (tua dan
bagus) untuk dijadikan bibit pada musim tanam berikutnya. Dari onggokan tadi, sebagaimana
yang terjadi di sebagian petani Jember dan Ponorogo (Jawa Timur), lalu diambil dua gephok
untuk diikat sebagai simbol perempuan dan laki-laki atau Sri dan Sadono. Se gephok diikat
dengan menekuk daun-daunnya ke bawah sebagai simbol perempuan atau Sri, dan se gephok
lainnya diikat dengan membiarkan daun-daunnya tegak menjulur ke atas sebagai simbol laki-
laki atau Sadono. Kedua gephok padi berbentuk budaya tadi berikut onggokan lain yang
diikat tidak dalam bentuk orang-orangan (sering disebut ikatan unthilan) tersebut lalu
disimpan di tempat khusus (disertai upacara slametan) dan tidak akan digiling menjadi beras.
Saat tiba menjelang musim tanam berikutnya, bibit tersebut dikeluarkan (juga melalui
upacara slametan) untuk disemai di sawah. Begitulah mereka melakukan proses penanaman
padi secara terus-menerus dan turun-menurun.
Padi, oleh petani kita, memang diperlakukan secara khusus, melebihi tanaman-
tanaman lain yang juga mereka budidayakan di sawah atau di ladang. Kedua gephok padi
yang telah dihias tersebut diimajinasi dan diperlakukan sebagai sepasang pengantin yang
hendak memulai guliran reproduksi anak manusia. Bibit-bibit padi yang sudah tertanam di
sawah juga memperoleh penghormatan dan perlakukan yang serius dari para petani.
Menjelang penyemaian di tempat tertentu (di sawah), bulir-bulir bibit tadi mendapat iringan
sesaji, minimal bubur merah-putih, dan mantra-mantra atau doa dalam upacara slametan yang
khusus diadakan untuk itu.
Ada yang lebih spesifik seperti yang disaksikan oleh Philip van Akkeren (Dewi Sri
dan Kristus, 1995) di Mojowarno, Jawa Timur dan James Danandjaja di Trunyan, Bali
(Kebudayaan Petani Desa Trunyan, 1989). Di kedua daerah itu, bibit padi diambil melalui
cara yang sangat hati-hati. Ketika padi di sawah telah tua dan hari yang menguntungkan
untuk memanen telah dipilih, pemilik melaksanakan upacara methik dengan membawa
persembahan-persembahan (bubur merah-putih di takir, cabe merah, kembang boreh, dan
ayam ingkung) ke sawahnya dan meletakkan takir-takir itu di setiap pojok. Selesai
meletakkan persembahan dan pembacaan mantra (sebagian dengan pembakaran kemeyan di
atas dupa) dan doa, sang pemilik atau dukun/juru doa lalu memetik bulir-bulir padi yang
paling bagus dan tua sebanyak dua genggam untuk diarak pulang ke rumah sang pemilik
sawah sebagaimana layaknya arakan pengiring penganten. Sesampai di rumah pemilik,
langsung diadakan slametan untuk menjami keselamatan bulan madu dua genggam bulir padi
tadi yang telah dihias bagaikan penganten. Di Truyam, Bali, kedua genggam bulir padi
tersebut dibentuk seperti boneka dengan berpakaian lengkap seperti layaknya mempelai
penganten. Kedua genggam bulir itu lalu disimpan di tempat tertentu yang terjaga dan terus-
menerus di rawat sebagai ibu dan bapak padi.
Ketika batang-batang padi di sawah terlihat membengkak bagian atasnya, hal itu
pertanda bahwa padi tersebut memasuki masa produksi yang lebih konkret, dikenal dengan
sebutan meteng (hamil). Pada saat itulah para petani menyambutnya dengan upacara dengan
mempersembahkan sesaji berupa makanan tertentu (umumnya bubur merah-putih) atau
mengadakan slametan di rumah pemilik sawah. Persis seperti mereka menyikapi anak atau
keluarga mereka yang sedang hasil 7 bulan (nujuhbulan atau methoni) yang diupacarai dalam
bentuk yang berbeda di suatu tempat dengan di tempat lain, atau di suatu komunitas dengan
di komunitas yang lain. Pada masyarakat santri di Jawa, misalnya, upacara methoni
dilangsungkan dengan kenduri bersama dan pembacaan surat Yusuf dan Maryam dari al-
Qur’an secara kolektif, minimal tiga kali. Sedangkan di kalangan abangan Jawa, methoni
dilaksanakan dengan cara menyiram kedua suami-isteri dengan air tujuh sumur yang
dicampur dengan bunga-bunga dan mantra-mantra. Sebelum siraman (biasanya
diselenggarakan pada malam hari), kedua suami-isteri disuruh lari berkejaran mengilingi
rumah tempat upacara itu dilangsungkan sebanyak tiga atau tujuh kali dan para undangan
yang hadir meneriakinya sambil bersorak gembira. Ada kalanya yang tidak memakai
memutar rumah tetapi dengan mengganti 7 kali pakaian kedua suami-isteri lalu si suami
memangku isteri.
Ada suatu yang sama dalam methoni baik di kalangan komunitas santri maupun
dalam methoni di kalangan abangan, yaitu pemajangan ukiran dua sosok laki-laki dan
perempuan yang terbuat dari dua kelapa gading sangat muda – di Jawa disebut cengkir –
yang diletakkan di atas bokor. Bedanya, jika dua sosok yang terukir tadi di kalangan abangan
dibayangkan sebagai Sri dan Sadono, maka dua sosok itu di kalangan santri diimajinasi
sebagai Nabi Yusuf dan Siti Maryam; Yusuf oleh setiap muslim santri dibayangkan sangat
elok rupa atau ganteng, demikian pula Maryam diimajinasi sangat cantik-jelita. Pemajangan
kedua boneka cengkir itu dimaksudkan agar anak yang sedang dikandung (di-pethoni) kelak
lahir sebagai anak yang persis, paling tidak seperti Sri atau Maryam jika perempuan dan
Sadono atau Yusuf jika laki-laki.
Sangat jelas bahwa baik yang di kalangan santri maupun yang di kalangan abangan,
tradisi methoni mempunyai akar yang sama dan karena itu secara subtansial tidak berbeda.
Penggantian Sri dan Sadono dengan Yusuf dan Maryam hanya karena pengalihan tokoh ideal
yang berbeda tetapi tetap pada titik kepercayaan bahwa orang boleh berharap, dan
mewujudkan harapan itu dalam bentuk upacara, agar keturunan mereka ideal seperti tokoh-
tokoh yang mereka kagumi; dalam Islam pemberian nama anak juga mengikuti tradisi ini
agar dapat sesuai dengan nama yang disandangnya. Yusuf dan Maryam, sebagaimana
dilukiskan amat jelas dalam al-Qur’an, adalah sosok yang bukan saja tampan dan jelita
melainkan juga sangat baik-budi dan teguh pendirian. Bahkan ada anjuran khusus bagi
mereka yang sedang hamil dan suaminya agar selalu membaca surat Yusuf dan Maryam
sepanjang kehamilan sebagai upaya tafaul dan tabaruk.
Ada satu kenyataan yang lebih memperlihatkan kesesuaian mite Sri-Sadono dengan
reproduksi manusia seperti dilihat van Akkeren di beberapa tempat di Jawa Timur. Akkeren
mengatakan: “Kita melihat Sri dan Sadono terutama dalam bentuk dua boneka di depan
ranjang upacara di dalam kerobongan, tempat keramat di dalam rumah Jawa, di mana upacara
perkawinan diselenggarakan. Tetapi kesuburan perkawinan manusia bukan hanya saja
berkaitan dengan penyatuan antara kedua tokoh mistis ini; ia juga penting bagi kehidupan
tanaman padi. Sosok pasangan mistis yang sama serempak berkaitan, baik dengan kesuburan
manusia maupun beras, bagi kesejahteraan masyarakat dan alam”.
Ternyata sangat tampak, dalam pandangan dan imajinasi masyarakat Indonesia,
begitu tak berbedanya proses reproduksi padi dan manusia. Bahkan di banyak tempat
dipercaya jika bulir-bulir padi bisa menjadi kosong tak berisi akibat tidak dipenuhinya aturan-
aturan yang dituntut oleh Dewi Sri, maka anak-anak yang baru lahir bisa terkena penyakit
sarap atau sawan karena kelalaian yang sama. Jika ketiadaan panen lantaran bulir-bulir padi
tak berisi diatasi dengan upacara dan sesaji tertentu (Bersih Desa, misalnya), maka
malapetaka berupa penyakit kolektif yang menimpa anak-anak manusia juga dihadapi dan
diselesaikan dengan cara yang sama. Bukankah Bersih Desa juga dimaksudkan untuk tolak-
balak dan pengusir pegeblug, di samping untuk menyongsong tanam padi dan kesuburan.
Satu sisi penting yang mesti dilihat dalam mite Dewi Sri, padi, dan kesuburan adalah
proses reproduksi yang mengindahkan keseimbangan dan keteraturan saling menguntungkan
baik yang menyangkut hubungan sesama manusia, antar jenis kelamin, maupun hubungannya
dengan alam. Makrokosmos dan mikrokosmos bagi masyarakat kita (terutama yang
dikategori tradisional), seperti yang sering diungkap para peneliti, merupakan jagad yang
harus selalu dijaga keseimbangannya, karena melalaikan itu berarti ancaman serius bukan
saja bagi kehidupan dan proses dinamikanya tetapi juga bagi kelangsungan jagad itu sendiri.
Pelestarian reproduksi padi yang seimbang dan teratur atas “naungan” Dewi Sri dipahami
akan menjamin terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama di muka bumi,
sebagaimana pelestarian reproduksi manusia yang menjaga kesenambungan kehidupan dan
menentukan kelangsungan alam nyata.

Perempuan sebagai Hamparan Tanah


Padi, bagi masyarakat kita, ternyata bukan sembarang tanaman. Ia bukan hanya
melebihi tanaman lain, tetapi mempunyai kesejajaran dengan manusia. Seperti halnya
manusia, padi dipandang berasal dari alam dewata, langit, surga, atau Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, padi dan manusia mempunyai siklus hidup yang sama. Suatu kesamaan,
kesejajaran, hubungan erat, dan relasi mistis yang justeru mengantarkan masyarakat kita
menyatu dan simboisis dengan alam. Beras, bagi mereka, tidak hanya dilihat dari sudut
ekonomi dan hanya untuk memenuhi kebutuhan kalori, vitamin, protein, dan sebagainya,
melainkan merupakan buah perkawinan Ilahi, tanaman firdaus, dan memiliki tenaga misterius
yang menguatkan lahir-batin. Sejumlah mite menyatakan bahwa beras adalah makanan Ilahi
yang akan menimbulkan kekuatan, keberdayaan, dan mencegah kemalasan. Kulitnya tak akan
lapuk, tak menjadi kotor, dan bulir-bulirnya melantunkan musik saat tertiup angin, tanpa
harus tersentuh oleh manusia. Dan buah perkawinan Ilahi itu hanya mungkin menjadi padi
ketika ia telah menyatu dengan tanah. Ibu padi di alam dewata yang mati karena dicintai
Bethara Guru sebagaimana diceritakan di atas tak mungkin menjadi padi apabila tak
disatukan (dikubur) di bumi. Itulah sebabnya, sebagian masyarakat kita menganggap Dewi
Sri, selain sebagai simbol padi dan kesuburan, juga sebagai Dewi tanah. Perkawinan antara
Sri dan Sadono yang melahirkan padi, paling tidak oleh orang Jawa, Bali, dan Sasak
dianggap bukanlah perkawinan biasa tetapi mempunyai latarbelakang mistis, tradisi hieros
gamos, atau perkawainan antara surga/langit dan bumi.
Dengan demikian, wajarlah jika Dewi Sri dianggap sebagai bumi atau tanah. Sebuah
pandangan yang sangat umum terjadi di banyak suku bangsa. Bukankah ketika peri Dafne,
seorang putri cantik dalam mitologi Yunani, dikejar-kejar Apolo dan terpojok lalu berdoa:
“Oh Dewa-dewa, oh, Bunda Bumi” yang akhirnya, setelah doa itu, ia menjadi pohon “salam”.
Akan tetapi, justeru di sinilah masalahnya bermula. Sebagai hamparan tanah, seolah Dewi Sri
berada pada posisi bawah, relatif pasif, dan hanya menanti kapan disentuh oleh laki-laki
sehingga menjadi produktif. Atharvaveda, sebuah naskah lama, menyatakan: “Perempuan
datang sebagai sebidang lahan hidup; taburkanlah benih ke dalamnya, oh para lelaki.” Dalam
kenyataan yang kita saksikan, dalam setiap petak sawah atau bidang lahan, memang para
lelakilah yang melakukan pencangkulan dan pembajakan (meluku dan menggaru), suatu
tindakan yang mutlak bagi reproduksi, serta pengangkutan padi hingga sampai di lumbung.
Sangat mungkin bahwa hal itu merupakan pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan, karena tokh, dalam tradisi petani, perempuanlah yang melakukan penanaman,
penyiangan, pemanenan, hingga penyiapan menjadi makanan untuk hidup. Salah satu mite
menuturkan bahwa mula-mula Dewi Sri sebagai ibu padi jatuh ke dan menyatu dengan bumi
(ia telah menjadi bumi). Lalu ia bertemu dengan Wisnu (Sadono) yang lahir kembali dalam
air (menjadi air) dan melangsungkan perkawinan, sehingga padi menjadi subur.
Tetapi pada saat yang sama, Dewi Sri, juga sebagai hamparan tanah, mempunyai
otoritas tersendiri dan lepas dari Sadono terutama dalam mengawasi, mengatur, dan
mengelola bibit, di samping kesuburan. Para petani, seperti dikisahkan di atas, tampak
demikian bergantung pada Dewi Sri dalam menjaga agar bulir-bulir padi yang mereka tanam
tak menjadi kosong atau diserang hama. Ketertiban dan keteraturan mereka memberikan
sesaji dan mantra serta melakukan berbagai upacara yang sangat rumit memperlihatkan
ketergantungan itu, karena hanya Dewi Sri lah, dalam pandangan petani, yang menuntut
berbagai persembahan, bukan Sadono. Justeru dalam kondisi feminitasnya, Dewi Sri mampu
memelihara dan menggerakkan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang-biak.

Perempuan sebagai Ibu Pertiwi


Sudah pasti kita sangat familier dengan sebutan ibu pertiwi, bukan hanya karena ia
sering disebut dalam nyanyian/lagu dan percakapan sehari-hari, tetapi sebutan itu sendiri
telah menjadi bagian dari ulah politis kita dalam membangkitkan semangat juang dan
kepahlawanan demi membela bangsa dan negara. Bukankah setiap kita hendak mengenang
jasa seorang tokoh – atau ditokohkan – yang telah meninggal, selalu kita katakan: “ia telah
kembali ke pangkuan ibu pertiwi.” Ibu pertiwi, secara politis, merupakan pusat pengabdian
kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus.
Ibu pertiwi adalah sebutan lain bagi bumi yang berarti sama dengan Dewi Sri.
Bedanya, jika Dewi Sri mendapatkan penghormatan secara tulus dari para pendukungnya
(para petani), diposisikan secara proporsional, diakui otoritas-otoritasnya, dan dipenuhi
kehendaknya, maka ibu pertiwi yang hanya populer di luar petani, tampak hanya menjadi
kembang lambe, kata orang Jawa, atau dikerangkeng dalam pandangan ambivalen. Secara
performance, oral, dan sekilas tampak lahir, ibu pertiwi memang dihormati, ditokohkan,
simbol pengabdian dan dedikasi, dan dinyanyikan dalam upacara-upacara penting. Tetapi,
dalam kenyataan paling konkret, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun budaya,
dalam kehidupan individu maupun kolektif, ibu pertiwi menjadi tak lebih dari fenomena
perempuan, kurang memperoleh proporsi yang memadai atau sejawarnya. Kita pasti ingat,
sebagai contoh, bagaimana negara memandang dan menyikapi perempuan dalam bentuk
pemberian ruang publik yang sangat terkesan sebagai “pelipur lara”.
Mungkin karena rasionalitas pendukung Dewi Sri dan pendukung ibu pertiwi sangat
berbeda. Penghormatan, kepatuhan, dan pengakuan otoritas Dewi Sri oleh pendukungnya
bisa jadi karena pandangan-pandangan mistis yang memang masih kuat di kalangan mereka,
sementara ambivalensi pendukung ibu pertiwi justeru karena rasionalitas mereka yang
terbiasa hidup bermain politis dalam segenap aspek kehidupan. Tetapi, tidak mungkin kah
elite politik, ekonomi, budaya, dan kaum terpelajar kota, yang kebanyakan laki-laki, sebagai
pendukung ibu periwi, terbuka dan tidak terjebak dalam stereotip maskulinitas-feminitas
yang kaku sehingga peran-peran sosial dan kultural apa pun tanpa harus menimbang kategori
seksual.
Jika para petani percaya bahwa tanpa Dewi Sri bulir-bulir padi akan kosong, tanah
akan kering kerontang, dan proses reproduksi tak berjalan sehingga kelangsungan hidup dan
kesejahteraannya mustahil bisa ditercapai, maka mengapa roda dan gerak sosial tertentu
masih kita yakini tidak mungkin terjadi atau berjalan kurang dinamis apabila hanya diserah
kan pada perempuan dan kurang sentuhan laki-laki. Mengapa?

Anda mungkin juga menyukai