Ritual Dewi Sri
Ritual Dewi Sri
Namanya Dewi Sri, pastilah ia perempuan. Konon, seperti juga namanya, ia adalah
Dewi Kahyangan yang memberi kesuburan. Tetapi, karena nama itu hanya populer di
kalangan komunitas pertanian sawah, Dewi Sri lalu diasosiasikan sebagai atau menjadi
simbol padi. Para petani sawah sangat mengenalnya dengan akrab, bahkan banyak di antara
mereka yang menganggapnya sebagai padi itu sendiri. Dewi Sri memang dipandang sebagai
salah satu dewa yang mengisi biji padi hingga kemudian menjadi beras. Itulah sebabnya
mengapa, seperti yang masih kita temukan di sejumlah kalangan petani di pedesaan Jawa,
beras atau padi pantang disia-siakan, karena itu berarti menyepelekan Dewi Sri. Kuwalat,
kata orang Jawa menyumpah.
Soal nama memang tidak hanya Dewi Sri. Nini Thowok atau Nini Towong (Jawa), Sangiang
Sri seperti tertulis dalam La Galigo (Bugis-Makassar), Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang
Tisnawati (Sunda), Luing Indung Bunga atau Dara (Datu) Bini Kabungsuan (Dayak),
Seblang (Banyuwangi), dan Betari Sri atau SangHyang Ibu Pertiwi, lebih sering disebut Ibu
(Bali) menunjuk pada subtansi yang sama, semuanya merupakan simbol padi dan kesuburan.
Nama-nama itu, karenanya, menjadi sangat penting bukan hanya dalam memori dan
keyakinan petani, tetapi juga dalam upacara-upacara yang dihajatkan untuk itu, serangkai
aktivitas religius yang di Jawa biasanya berkelindan dengan niat-niat lain seperti tolak-balak,
mengusir pagebluk, keselamatan desa, dan seterusnya. Seperti halnya nama yang ditokohkan,
ritual-ritual yang dilakukan juga menyandang nama yang berbeda-beda, Bersih Desa (Jawa
Mataraman), Sedekah Bumi (Jawa non-Mataraman), Serentahun (Sunda) Kebo-keboan dan
Seblang (komunitas Using, Banyuwangi), Mappalili (Bugis-Makasaar), Lepeq Majau (Dayak
Kenyah, Kaltim), Bapalas Padang (Banjar, Kalsel), dan Mungkah, Mendak Sari, atau Muat
Emping Ngaturan Sari (Bali).
Tak pelak, karena itu, dalam setiap upacara yang berpautan dengan proses produksi
padi khususnya dan pertanian agraris pada umumnya, Dewi Sri menjadi atau ditampilkan
sebagai figur terpenting. Di banyak desa di Jawa, misalnya, upacara menjelang musim tanam
atau sesudah panen padi, dengan berbagai sebutan, masih sering kita saksikan hingga
sekarang. Di sebagian penduduk atau kelompok etnis, ia dipersonifikasi ke dalam seorang
gadis jelita, bertubuh semampai, dan berwajah ceria. Dengan pakaian anggun, tutup kepala
bercundhuk, dan jurai rangkaian bunga, diarak keliling kampung. Bahkan tak jarang, keliling
kampung itu, diiring oleh riuh warna-warni musik yang terdapat di kampung bersangkutan.
Dalam ritual Kebo-keboan di desa Alas Malang (Banyuwangi, Jawa Timur) tahun
1995 dan 2003 yang saya saksikan, misalnya, Dewi Sri diperankan seorang gadis cantik
mempesona, bernama Tuti; semampai, tinggi (165 cm), kuning langsat, jelita, dan selalu ceria
tanpa harus tersenyum. Posisinya di atas tandu berhias yang dipikul 8 orang, menebarkan dua
hal sekaligus; pesona dan wibawa. Delapan pasang “kebo-keboan” (terdiri dari orang yang
dihiasi seperti kerbau) dan 4-5 jenis musik dan kesenian yang mengiringi arak-arakan keliling
desa, ditambah ribuan pengunjung ritual yang berjajar di sepanjang jalan, menjadikan ritual
itu terkesan meriah
tetapi tetap mistis, dan yang lebih penting lagi, memantapkan posisi Dewi Sri dalam tahta
yang agung.
Dari situ, terlihat Dewi Sri sangat penting, terhormat, dipuja, dielu-elukan, dan
dikeramatkan. Secara simbolis, seluruh perintahnya dipatuhi, kerling matanya meng-gagap-
kan, dan kemarahannya membuat para warga bergetar ketakutan. Persis seperti ketika ia
dalam memori dan angan-angan (dalam kehidupan sehari-hari di luar upacara) penduduk
pedesaan pertanian. Sesaji, mantra-mantra, dan persembahan lain yang mengikuti proses
produksi padi (menjelang tanam, ketika padi sedang hamil, menjelang dan sesudah panen)
menjelaskan bagaimana para petani padi menggantungkannya pada Dewi Sri. Kemarahan
Dewi Sri, lantaran semua itu tak dipersembahkan, akan menyebabkan biji-biji padi tak terisi,
ditinggal pergi oleh Dewi Sri dan dibiarkan dimangsa wereng.
Dialektika Reproduksi
Ketika masih dalam keswadayaannya yang relatif penuh (belum terjamah oleh proyek
pertanian negara di zaman Orde Baru), para petani kita di banyak tempat di Jawa selalu
memilih beberapa onggok padi (bergagang, bertangkai) yang dianggapnya paling pas (tua dan
bagus) untuk dijadikan bibit pada musim tanam berikutnya. Dari onggokan tadi, sebagaimana
yang terjadi di sebagian petani Jember dan Ponorogo (Jawa Timur), lalu diambil dua gephok
untuk diikat sebagai simbol perempuan dan laki-laki atau Sri dan Sadono. Se gephok diikat
dengan menekuk daun-daunnya ke bawah sebagai simbol perempuan atau Sri, dan se gephok
lainnya diikat dengan membiarkan daun-daunnya tegak menjulur ke atas sebagai simbol laki-
laki atau Sadono. Kedua gephok padi berbentuk budaya tadi berikut onggokan lain yang
diikat tidak dalam bentuk orang-orangan (sering disebut ikatan unthilan) tersebut lalu
disimpan di tempat khusus (disertai upacara slametan) dan tidak akan digiling menjadi beras.
Saat tiba menjelang musim tanam berikutnya, bibit tersebut dikeluarkan (juga melalui
upacara slametan) untuk disemai di sawah. Begitulah mereka melakukan proses penanaman
padi secara terus-menerus dan turun-menurun.
Padi, oleh petani kita, memang diperlakukan secara khusus, melebihi tanaman-
tanaman lain yang juga mereka budidayakan di sawah atau di ladang. Kedua gephok padi
yang telah dihias tersebut diimajinasi dan diperlakukan sebagai sepasang pengantin yang
hendak memulai guliran reproduksi anak manusia. Bibit-bibit padi yang sudah tertanam di
sawah juga memperoleh penghormatan dan perlakukan yang serius dari para petani.
Menjelang penyemaian di tempat tertentu (di sawah), bulir-bulir bibit tadi mendapat iringan
sesaji, minimal bubur merah-putih, dan mantra-mantra atau doa dalam upacara slametan yang
khusus diadakan untuk itu.
Ada yang lebih spesifik seperti yang disaksikan oleh Philip van Akkeren (Dewi Sri
dan Kristus, 1995) di Mojowarno, Jawa Timur dan James Danandjaja di Trunyan, Bali
(Kebudayaan Petani Desa Trunyan, 1989). Di kedua daerah itu, bibit padi diambil melalui
cara yang sangat hati-hati. Ketika padi di sawah telah tua dan hari yang menguntungkan
untuk memanen telah dipilih, pemilik melaksanakan upacara methik dengan membawa
persembahan-persembahan (bubur merah-putih di takir, cabe merah, kembang boreh, dan
ayam ingkung) ke sawahnya dan meletakkan takir-takir itu di setiap pojok. Selesai
meletakkan persembahan dan pembacaan mantra (sebagian dengan pembakaran kemeyan di
atas dupa) dan doa, sang pemilik atau dukun/juru doa lalu memetik bulir-bulir padi yang
paling bagus dan tua sebanyak dua genggam untuk diarak pulang ke rumah sang pemilik
sawah sebagaimana layaknya arakan pengiring penganten. Sesampai di rumah pemilik,
langsung diadakan slametan untuk menjami keselamatan bulan madu dua genggam bulir padi
tadi yang telah dihias bagaikan penganten. Di Truyam, Bali, kedua genggam bulir padi
tersebut dibentuk seperti boneka dengan berpakaian lengkap seperti layaknya mempelai
penganten. Kedua genggam bulir itu lalu disimpan di tempat tertentu yang terjaga dan terus-
menerus di rawat sebagai ibu dan bapak padi.
Ketika batang-batang padi di sawah terlihat membengkak bagian atasnya, hal itu
pertanda bahwa padi tersebut memasuki masa produksi yang lebih konkret, dikenal dengan
sebutan meteng (hamil). Pada saat itulah para petani menyambutnya dengan upacara dengan
mempersembahkan sesaji berupa makanan tertentu (umumnya bubur merah-putih) atau
mengadakan slametan di rumah pemilik sawah. Persis seperti mereka menyikapi anak atau
keluarga mereka yang sedang hasil 7 bulan (nujuhbulan atau methoni) yang diupacarai dalam
bentuk yang berbeda di suatu tempat dengan di tempat lain, atau di suatu komunitas dengan
di komunitas yang lain. Pada masyarakat santri di Jawa, misalnya, upacara methoni
dilangsungkan dengan kenduri bersama dan pembacaan surat Yusuf dan Maryam dari al-
Qur’an secara kolektif, minimal tiga kali. Sedangkan di kalangan abangan Jawa, methoni
dilaksanakan dengan cara menyiram kedua suami-isteri dengan air tujuh sumur yang
dicampur dengan bunga-bunga dan mantra-mantra. Sebelum siraman (biasanya
diselenggarakan pada malam hari), kedua suami-isteri disuruh lari berkejaran mengilingi
rumah tempat upacara itu dilangsungkan sebanyak tiga atau tujuh kali dan para undangan
yang hadir meneriakinya sambil bersorak gembira. Ada kalanya yang tidak memakai
memutar rumah tetapi dengan mengganti 7 kali pakaian kedua suami-isteri lalu si suami
memangku isteri.
Ada suatu yang sama dalam methoni baik di kalangan komunitas santri maupun
dalam methoni di kalangan abangan, yaitu pemajangan ukiran dua sosok laki-laki dan
perempuan yang terbuat dari dua kelapa gading sangat muda – di Jawa disebut cengkir –
yang diletakkan di atas bokor. Bedanya, jika dua sosok yang terukir tadi di kalangan abangan
dibayangkan sebagai Sri dan Sadono, maka dua sosok itu di kalangan santri diimajinasi
sebagai Nabi Yusuf dan Siti Maryam; Yusuf oleh setiap muslim santri dibayangkan sangat
elok rupa atau ganteng, demikian pula Maryam diimajinasi sangat cantik-jelita. Pemajangan
kedua boneka cengkir itu dimaksudkan agar anak yang sedang dikandung (di-pethoni) kelak
lahir sebagai anak yang persis, paling tidak seperti Sri atau Maryam jika perempuan dan
Sadono atau Yusuf jika laki-laki.
Sangat jelas bahwa baik yang di kalangan santri maupun yang di kalangan abangan,
tradisi methoni mempunyai akar yang sama dan karena itu secara subtansial tidak berbeda.
Penggantian Sri dan Sadono dengan Yusuf dan Maryam hanya karena pengalihan tokoh ideal
yang berbeda tetapi tetap pada titik kepercayaan bahwa orang boleh berharap, dan
mewujudkan harapan itu dalam bentuk upacara, agar keturunan mereka ideal seperti tokoh-
tokoh yang mereka kagumi; dalam Islam pemberian nama anak juga mengikuti tradisi ini
agar dapat sesuai dengan nama yang disandangnya. Yusuf dan Maryam, sebagaimana
dilukiskan amat jelas dalam al-Qur’an, adalah sosok yang bukan saja tampan dan jelita
melainkan juga sangat baik-budi dan teguh pendirian. Bahkan ada anjuran khusus bagi
mereka yang sedang hamil dan suaminya agar selalu membaca surat Yusuf dan Maryam
sepanjang kehamilan sebagai upaya tafaul dan tabaruk.
Ada satu kenyataan yang lebih memperlihatkan kesesuaian mite Sri-Sadono dengan
reproduksi manusia seperti dilihat van Akkeren di beberapa tempat di Jawa Timur. Akkeren
mengatakan: “Kita melihat Sri dan Sadono terutama dalam bentuk dua boneka di depan
ranjang upacara di dalam kerobongan, tempat keramat di dalam rumah Jawa, di mana upacara
perkawinan diselenggarakan. Tetapi kesuburan perkawinan manusia bukan hanya saja
berkaitan dengan penyatuan antara kedua tokoh mistis ini; ia juga penting bagi kehidupan
tanaman padi. Sosok pasangan mistis yang sama serempak berkaitan, baik dengan kesuburan
manusia maupun beras, bagi kesejahteraan masyarakat dan alam”.
Ternyata sangat tampak, dalam pandangan dan imajinasi masyarakat Indonesia,
begitu tak berbedanya proses reproduksi padi dan manusia. Bahkan di banyak tempat
dipercaya jika bulir-bulir padi bisa menjadi kosong tak berisi akibat tidak dipenuhinya aturan-
aturan yang dituntut oleh Dewi Sri, maka anak-anak yang baru lahir bisa terkena penyakit
sarap atau sawan karena kelalaian yang sama. Jika ketiadaan panen lantaran bulir-bulir padi
tak berisi diatasi dengan upacara dan sesaji tertentu (Bersih Desa, misalnya), maka
malapetaka berupa penyakit kolektif yang menimpa anak-anak manusia juga dihadapi dan
diselesaikan dengan cara yang sama. Bukankah Bersih Desa juga dimaksudkan untuk tolak-
balak dan pengusir pegeblug, di samping untuk menyongsong tanam padi dan kesuburan.
Satu sisi penting yang mesti dilihat dalam mite Dewi Sri, padi, dan kesuburan adalah
proses reproduksi yang mengindahkan keseimbangan dan keteraturan saling menguntungkan
baik yang menyangkut hubungan sesama manusia, antar jenis kelamin, maupun hubungannya
dengan alam. Makrokosmos dan mikrokosmos bagi masyarakat kita (terutama yang
dikategori tradisional), seperti yang sering diungkap para peneliti, merupakan jagad yang
harus selalu dijaga keseimbangannya, karena melalaikan itu berarti ancaman serius bukan
saja bagi kehidupan dan proses dinamikanya tetapi juga bagi kelangsungan jagad itu sendiri.
Pelestarian reproduksi padi yang seimbang dan teratur atas “naungan” Dewi Sri dipahami
akan menjamin terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama di muka bumi,
sebagaimana pelestarian reproduksi manusia yang menjaga kesenambungan kehidupan dan
menentukan kelangsungan alam nyata.