Anda di halaman 1dari 23

Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006

Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571


IDENTIFIKASI JENIS ANNELIDA PADA HABITAT
SUNGAI JANGKOK KOTA MATARAM

Nizar Azhari1, Nofisulastri2


1&2
Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Mataram, Indonesia
E-mail : nizarazhari292@gmail.com

ABSTRAK: Sungai Jangkok merupakan salah satu ekosistem lotik yang berada di wilayah Kota
Mataram. Berdasarkan studi sebelumnya disimpulkan bahwa sungai ini memiliki berbagai macam
jenis keanekaragaman hayati di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
jenis Annelida yang terdapat di Sungai Jangkok Kota Mataram. Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 14 Maret 2018. Sampel penelitian yaitu air sungai yang diambil pada 3
stasiun yaitu hulu, tengah dan hilir menggunakan teknik purposive sampling. Berdasarkan
keberadaannya, jenis Annelida yang ditemukan pada stasiun hilir sebanyak 46 individu, dan 5 pada
stasiun tengah, sedangkan tidak ditemukan pada stasiun hulu. Jenis Annelida yang ditemukan
adalah kelas Olygochaeta dengan spesies Lumbricus terestis dan Tubifex sp. dan kelas Hirudinae
dengan spesies Hirudo medicinalis.

Kata Kunci: Identifikasi Jenis, Annelida.

ABSTRACT: Jangkok River is one of the lotic ecosystems in the city of Mataram. Based on
previous studies it was concluded that this river has various types of biodiversity in it. The purpose
of this study was to identify the types of Annelida found in the Jangkok River in Mataram City.
This type of research is descriptive exploratory research with quantitative and qualitative
approaches. This research was conducted on March 14, 2018. The research samples were river
water taken at 3 stations namely upstream, middle and downstream using purposive sampling
technique. Based on its existence, the Annelida type was found in downstream stations as many as
46 individuals, and 5 at the middle station, whereas it was not found at the upstream station. The
type of Annelida found is the Olygochaeta class with Lumbricus terestis species and Tubifex sp.
and the Hirudinae class with Hirudo medicinalis species.

Keywords: Type Identification, Annelida.

PENDAHULUAN
Kota Mataram dilewati oleh ekosistem perairan lotik yaitu Sungai Jangkok.
Sungai ini banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengairi sawah,
tempat mencuci, dan dijadikan tempat pembuangan limbah rumah tangga
maupun limbah industri. Di dalam ekosistem perairan terdapat juga berbagai
macam jenis keanekaragaman hayati di dalamnya, yang salah satunya ialah hewan
Annelida.
Sungai sebagai salah satu jenis media hidup bagi organisme perairan, sering
kali menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga baik sampah padat
maupun cair, baik sampah organik maupun sampah anorganik oleh masyarakat
sekitar sungai yang dapat mencemari sungai tersebut, sehingga sungai seringkali
tidak terhindar dari masalah penurunan kualitas air. Makroinvertebrata
mempunyai peranan penting dalam rantai makanan di ekosistem aquatik sering
dijadikan sebagai indikator kestabilan, kesuburan dan kualitas perairan (Siti, 2009
dalam Purwasih, 2012). Kualitas perairan berpengaruh langsung terhadap
organisme yang hidup di dalamnya, salah satunya yaitu filum Annelida. Annelida
hidup relatif menetap pada suatu subtrat sehingga hewan Annelida dapat
memberikan suatu gambaran kondisi pada ekosistem perairan yang ditempati.
130
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Hewan Annelida mempunyai peranan penting sebagai proses penguraian bahan
organik dan sumber makanan bagi organisme yang hidup pada ekosistem perairan
tersebut (Kusnadi, 2012).
Mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dan
lingkungan (Ekologi) sangatlah penting. Hubungan timbal balik ini bahwasanya
untuk tetap menjaga keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat pada
ekosistem tersebut. Kata Ekologi pertama kali diperkenalkan oleh (Ernest
Haeckel, ahli biologi Jerman pada tahun 1869 dalam Ngabekti, 2006), berasal dari
bahasa Yunani oikos yang berarti “rumah” atau “tempat untuk hidup” dan logos
yang berarti ilmu, telaah, atau studi. Secara harfiah, ekologi adalah ilmu yang
mempelajari organisme di rumahnya. Biasanya ekologi didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungannya
sangatlah penting.
Hewan Annelida berperan penting pada lingkungan khususnya ekosistem air
tawar mengalir (lotik) sebagai pengurai (dekomposer) serta menjadi makanan
untuk organisme yang hidup di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi jenis Annelida di Sungai Jangkok Kota Mataram.
Annelida berasal dari bahasa latin (kata annulus yang berarti cincin dan
oidos yang berarti bentuk), dari namanya Annelida dapat disebut sebagai cacing
yang bentuk tubuhnya bergelang-gelang atau disebut juga cacing gelang. Pada
Annelida terdapat selom yang oleh septum-septum dibagi menjadi beberapa
kompartemen. Annelida merupakan hewan simetris bilateral, mempunyai sistem
peredaran darah yang tertutup dan sistem saraf yang tersusun seperti tangga tali.
Pembuluh darah yang utama membujur sepanjang bagian dorsal sedangkan sistem
saraf terdapat pada bagian ventral. Annelida memiliki sistem digesti, saraf,
ekskresi dan reproduksi yang bersifat metamerik.
Cacing-cacing yang termasuk dalam Filum Annelida ini, tubuhnya
bersegmen-segmen. Mereka hidup di dalam tanah yang lembab, dalam laut, dan
dalam air tawar, pada umumnya Annelida hidup bebas, ada yang hidup dalam
liang, beberapa bersifat komensal pada hewan-hewan aquatik, dan ada juga yang
bersifat parasit pada vertebrata (Radiopoetro, 1991).

METODE
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
eksploratif. Penelitian deskriptif eksploratif digunakan untuk meneliti sesuatu
(yang menarik perhatian) yang belum diketahui, belum dipahami, dan belum
dikenali dengan baik (Kusnadi, 2012).
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif (Sugiyono, 2010). Pada penelitian deskriptif eksploratif
ini lebih menekankan pada pendekatan kualitatif karena data kualitatif yang akan
diperoleh adalah hasil kesimpulan dari data kuantitatif. Rancangan penelitian
deskriptif eksploratif dapat dilihat pada Gambar 1.

131
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571

Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3

Gambar 1. Rancangan Penelitian Deskriptif Eksploratif.


Keterangan:
= Transek titik pengambilan sampel;

= Aliran sungai.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan ember yang telah


dilubangi dengan cara mengambil di tepi kiri, tengah dan tepi kanan di setiap
stasiun dengan 3 kali pengulangan. Perlakuannya sama dari stasiun 1 sampai
stasiun 3 dengan mengambil sampel di tepi kiri, tengah dan tepi kanan dengan 3
kali pengulangan. Setiap titik pengambilan sampel memiliki ukuran 3x3 m
(Kusnadi, 2012). Kemudian dilanjutkan dengan pengamatan di Laboratorium
Biologi IKIP Mataram untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Populasi pada penelitian ini adalah semua jenis Annelida di Sungai Jangkok
dengan penentuan lokasi pengambilan sampel pada penelitian deskriptif
eksploratif dilakukan berdasarkan metode purposive sampling (Sugiyono, 2010).
Pengambilan sampel air akan dilakukan pada 3 stasiun pengambilan sampel yang
meliputi bagian hulu, tengah dan hilir. Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan ember dan jaring besi dengan cara menggambil di tepi kiri, tengah
dan tepi kanan.
Alat dan bahan yang dipergunakan berupa ember, jaring besi, saringan
sampel, toples kaca, kamera, TDS meter, kunci identifikasi, kloroform, formalin
2%, tali, kertas label, dan kantung plastik. Berdasarkan indikator atau tanda-tanda
pada air yang akan diamati berupa pengamatan secara fisik (substrat, suhu,
kelembaban, kedalaman dan kekeruhan), dan secara kimiawi yaitu mengukur
partikel padatan terlarut pada air dengan menggunakan TDS meter dan mengukur
perubahan pH.
Data dikumpulkan berdasarkan hasil observasi yang digunakan untuk
memperoleh data konkret secara langsung pada jenis Annelida di Sungai Jangkok,
serta dokumentasi berupa pengambilan gambar pada saat penelitian dilakukan.
Selanjutnya diidentifikasi menurut jumlah individu per spesies (Shannon-Wiener
Formules) dan deskripsi morfologi yang tampak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis Annelida yang Ditemukan di Sungai Jangkok Kota Mataram
Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium, ditemukan komposisi jenis
Annelida dari masing-masing stasiun dengan tiga kali pengulangan di setiap
stasiun pada tiga titik pengambilan sampel di sekitar sungai Jangkok. Jenis
Annelida yang ditemukan di Sungai Jangkok Kota Mataram dapat dilihat pada
Tabel 1.

132
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Tabel 1. Keberadaan Jenis Annelida di Tiga Stasiun Pengamatan dengan Tiga Kali
Ulangan di Sungai Jangkok Kota Mataram.
Stasiun
No. Nama Spesies
Hulu Tengah Hilir
1 Tubifex sp. 0 4 45
2 Lumbricus terestis 0 0 1
3 Hirudo medicinalis 0 1 0
Data pada Tabel 1 di atas, dapat juga dibuat dalam bentuk grafik seperti
yang terlihat pada Gambar 2.

50
40 Tubifex sp
30
20 Lumbricus
10 terestris
0
Hirudo
Stasiun Stasiun Stasiun Medicinalis
1 2 3

Gambar 2. Grafik Keberadaan Jenis Annelida di Tiga Stasiun Pengamatan


dengan Tiga Kali Ulangan di Sungai Jangkok Kota Mataram.
Berikut ini adalah hewan Annelida yang ditemukan di Sungai Jangkok Kota
Mataram beserta morfologi dan klasifikasinya.
1. Lumbricus terestis

5 1

4 2

Morfologi Lumbricus terestis:


1. Mulut
2. Klitellium
3. Segmen
4. Pembuluh darah
5. Anus
Klasifikasi Lumbricus terestis:
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Opisthopora
Family : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus terestis.

133
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
2. Tubifex sp.

1
4
2
5
3

Morfologi Tubifex sp.:


1. Mulut
2. Klitellium
3. Segmen
4. Pembuluh darah
5. Anus
Klasifikasi Tubifex sp.:
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Opisthopora
Family : Tubifisidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp.
3. Hirudo Medicinalis

3 1

4 2

Morfologi Hirudo medicinalis:


1. Mulut
2. Penghisap anterior
3. Segmen
4. Penghisap posterior
Klasifikasi Hirudo medicinalis:
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Hirudinae
Ordo : Rhynchabdillida
Family : Hirudinidae
Genus : Hirudo
Spesies : Hirudo Medicilanis.

134
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Berdasarkan Tabel 1, dari tiga stasiun ditemukan hanya 2 kelas Annelida
yaitu Oligochaeta dan Hirudinea. Tidak semua jenis hewan Annelida dapat
ditemukan di semua stasiun, hewan Annelida yang ditemukan berada di stasiun
yang berbeda-beda, hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan hidupnya
yang berbeda untuk setiap jenis (Kusnadi, 2012). Filum Annelida merupakan
organisme yang tergolong dalam hewan makrozoobentos yang dimana dengan
adanya hewan Annelida dapat diketahui suatu perairan tercemar atau tidak
tercemar (Andriana, 2008). Cacing-cacing yang termasuk dalam filum Annelida
ini, tubuhnya bersegmen-segmen. Mereka hidup di dalam tanah yang lembab,
dalam laut, dan dalam air tawar. Pada umumnya Annelida hidup bebas, ada yang
hidup dalam liang, beberapa bersifat komensal pada hewan-hewan aquatik, dan
ada juga yang bersifat parasit pada vertebrata (Radiopoetro, 1991).
Pengulangan pengamatan berdasarkan analisis yang dilakukan di
Laboratorium. Pengamatan pertama yaitu di stasiun dua (tengah) pada tanggal 14
Maret 2018. Jumlah Annelida yang didapatkan sebanyak 2 individu, yang terdiri
atas dua spesies yaitu spesies Tubifex sp. sebanyak 1 individu dan Hirudo
medicinalis sebanyak 1 individu. Hirudo medicinalis hanya ditemukan di stasiun
dua, hal ini disebabkan lintah lebih menyukai kecepatan air sungai yang cukup
lambat dan memiliki bahan organik yang tinggi (Sawyer, 1974 dalam Kusnadi,
2012).
Terdapat dua spesies pada stasiun dua (tengah) dikarenakan pada stasiun
dua kecepatan arusnya 4 detik/m, serta pada kedalaman 30 cm keadaan air cukup
keruh dan kondisi pencemaran airnya berada di tingkat sedang dengan
perhitungan TDS 50 S sehingga tidak banyak ditemukan jumlah individu dalam
satu spesies dan pH dengan nilai 7 (normal), walaupun subtrat di stasiun dua
cukup mendukung yaitu berpasir lumpur berbatu dan berlumpur. Menurut
(Sugiharto, 1987 dalam Septiani, 2014) suhu akan menyebabkan banyak
sedikitnya makrozoobentos pada suatu habitat, sedangkan kecepatan arus air
mempengaruhi persebaran makrozoobentos dan juga pertumbuhannya.
Pengaruh suhu terhadap makrozoobentos sebesar 98%, sedangkan
kecepatan arus air mempunyai pengaruh terhadap makrozoobentos sebesar 91%.
Suhu pada stasiun ini sebesar 26ºc cukup dingin. Pengamatan pada stasiun 1
(hulu) tidak didapati hewan Annelida. Hal ini dikarenakan suhu air 23ºc yang
terlalu dingin, pencemaran air berada di dalam kategori belum tercermar serta
substrat pada stasiun ini kurang mendukung yaitu berpasir. Menurut Andriana
(2008), substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh
kehidupan makroskopik. Substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat
mikroorganismenya terutama organisme makrozoobentos yang dapat menempel
pada substrat berbatu. Pengamatan pada stasiun tiga (hilir) dipengulangan pertama
tidak dilakukan disebabkan cuaca yang tidak mendukung, hujan disertai petir pada
waktu itu.
Pengulangan pengamatan yang kedua pada tanggal 21 Maret 2018,
berdasarkan hasil analisis di Laboratorium, pengamatan pertama yaitu di stasiun
satu (hulu), pada pengulangan kedua juga tidak terdapat hewan Annelida yang
dikarenakan suhu air yang terlalu dingin sebesar 24ºc, pencemaran air berada di
dalam kategori belum tercemar dengan jumlah perhitungan TDS sebesar 28S,
pH dengan angka 7 (normal), di stasiun ini airnya sangat jernih serta subtrat pada
135
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
stasiun ini kurang mendukung yaitu berpasir. Pengamatan kedua pada stasiun dua
(tengah), jumlah spesies Annelida ditemukan hanya satu spesies yaitu Tubifex Sp.
dengan jumlah individu sebanyak 3 individu dikarenakan kualitas air pada
pengulangan kedua ini tingkat pencemaran semakin menurun dari 50S ke 40S,
pH dengan nilai 7 (normal), kuat arus pada stasiun ini juga berubah dari 4 detik/m
menjadi 3 detik/m, pada kedalaman 20cm terjadi kekeruhan dan suhu pada pada
pengulangan kedua di stasiun 2 (tengah) sama seperti ulangan pertama 26ºc.
Pengamatan ketiga di stasiun tiga (hilir) terdapat 2 spesies yaitu Tubifex sp. dan
Lumbricus terestis dengan jumlah individu Tubifex sp. yang sangat banyak yaitu
23 individu dan 1 individu Lumbricus terestis. Hal ini dikarenakan subtrat pada
stasiun ini sangat mendukung berbatu kecil, berpasir yang bercampur lumpur,
kuat arus yang tidak terlalu deras yaitu 5 detik/m. Tingkat pencemaran tinggi
dengan nilai TDS 67S, pH dengan angka 7 (normal) serta suhu pada stasiun ini
tidak terlalu dingin 29ºc. Umumnya spesies Annelida dapat ditemukan pada
habitat eutrofik, poly-saprobic dan lingkungan yang mengalami tekanan
menengah maupun tekanan yang tinggi (Juliantara, 2011 dalam Kusnadi, 2012).
Pengulangan pengamatan ketiga pada tanggal 28 Maret 2018, berdasarkan
analisis yang dilakukan di Laboratorium, pengamatan pertama yaitu di stasiun tiga
(hilir), pada stsiun ini terdapat satu spesies Annelida yaitu Tubifex sp. dengan
jumlah individu sebanyak 22 individu. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat
yang juga membuang bahan organik dan anorganik pada stasiun 3 (hilir). Menurut
(Hawkes, 1979 dalam Kusnadi, 2012) menyatakan bahwa meningkatnya
kandungan bahan organik di suatu perairan maka akan meningkat pula jenis-jenis
spesies yang tahan terhadap perairan tercemar, salah satu contohnya yaitu Tubifex
sp. Kualitas pencemaran air yang meningkat dengan nilai TDS 70S, pH dengan
nilai 7 (normal). Suhu pada stasiun ini 29ºc, kuat arus pada stasiun ini masih
lambat serta kekeruhan pada kedalaman 20cm. Sehingga jumlah individu Tubifex
sp. pada stasiun tiga tidak jauh menurun serta subtratnya yang sangat mendukung
yaitu berbatu, berpasir dan berlumpur. Pengamatan kedua di stasiun dua (tengah)
tidak terdapat hewan Annelida, hal ini dikarenakan kualitas pencemaran air pada
stasiun ini masih sama dengan pengulangan kedua yaitu 40S serta kuat arus pada
stasiun ini cukup deras 4 detik/m.
Pengamatan ketiga di stasiun tiga (hulu) tidak juga didapati hewan
Annelida, hal ini dikarenakan subtrat yang berpasir, tingkat pencemaran air di
stasiun ini berada di tingkat belum tercemar, arus pada stasiun ini juga cukup
deras serta suhu pada stasiun ini juga terlalu dingin.

SIMPULAN
Jenis Annelida yang ditemukan kelas Olygochaeta dengan spesies
Lumbricus terestis dan Tubifex sp. dan kelas Hirudinae dengan spesies Hirudo
medicinalis.

SARAN
Perlu diadakan penelitian dengan mengidentifikasi beberapa jenis hewan-
hewan sebagai bioindikator pencemaran perairan di Kota Mataram.

136
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada pemberi dana penelitian,
juga disampaikan kepada pihak-pihak yang membantu pelaksanaan penelitian.

DAFTAR RUJUKAN
Andriana, W. 2008. Keterkaitan Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai
Indikator Keberadaan Bahan Organik di Perairan Hulu Sungai Cisadane
Bogor Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Petanian Bogor.
Kusnadi, A. 2012. Struktur Komunitas Annelida sebagai Bioindikator
Pencemaran Sungai Ancar Kota Mataram dalam Upaya Pembuatan Poster
untuk Pendidikan Masyarakat Tahun 2012/2013. Skripsi. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Ngabekti, S. 2006. Buku Ajar dengan Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (JAS).
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Purwasih, A., S. 2012. Analisis Kualitas Perairan Sungai Raman Desa Pujodadi
Trimurjo sebagai Sumber Belajar Biologi SMA pada Materi Ekosistem.
Lampung: Universitas Muhammadiyah Metro.
Radiopoetro. 1991. Zoology. Jakarta: Erlangga.
Septiani, Y., A., Nugroho, A., W., & Zahida, F. 2014. Keanekaragaman Jenis
Makrozoobentos sebagai Penentu Kualitas Air Sungai Mruwe Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif,
dan R & D. Bandung: Alfabeta.

137
Prosiding Seminar Nasional Biotik 2018 ISBN: 978-602-60401-9-0

JENIS CACING TANAH DI KAWASAN DEUDAP PULO ACEH


KABUPATEN ACEH BESAR

Hasbuna1) Siti Syarifah2) Sulasmi Rike Syara3) dan Rizky Ahadi4)


1,2,3,4)
Program Studi Pendidikan Biologi FTK UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Email: sulasmirike.syara@gmail.com

ABSTRAK

Pulo Nasi adalah salah satu pulau dari beberapa pulau yang menjadi bagian dari gugusan kepulauan
Pulau Aceh yang terletak di kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Populasi dekomposer
merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesuburan tanah. Salah satu dekomposer
utama yang berperan dalam menentukan kesuburan tanah adalah cacing tanah. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui jenis cacing Tanah di Kawasan Deudap Pulo Aceh Kabupaten Aceh
Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hand sortir dan kimia. Hasil
penelitian ditemukan 4 spesies dari 3 famili cacing tanah, yaitu Lumbricus rubellus dan Pheretima
terestis dari famili Lumbricidae. Pheretima sp dari famili Megascolecidae, dan Eudrilus eugenia
dari famili Eudrilidae.

Kata Kunci: Populasi Cacing Tanah, Gampong Deudap.

PENDAHULUAN
ulo Nasi adalah salah satu pulau dari sisa pencernaan (feses) yang merupakan sumber
beberapa pulau yang menjadi bagian bahan organik tanah (Sapto, 2011).
dari gugusan kepulauan Pulau Aceh Peranan cacing tanah sangat penting
yang terletak di kabupaten Aceh Besar, Provinsi dalam proses dekomposisi bahan organic tanah.
Aceh. Pulau Nasi berada pada koordinat 95° 9’ Bersama-sama mikroba tanah lainnya terutama
4.44” BT dan 5° 37’ 18.68” LU, dan merupakan bakteri, cacing tanah ikut berperan dalam siklus
pulau terbesar kedua dalam gugusan kepulauan biogeokimia (Subowo, 2008). Cacing tanah
Pulau Aceh setelah Pulau Breuh atau Pulau memakan serasah daun dan materi tumbuhan
Beras. yang mati lainnya, dengan demikian materi
Di Pulau Aceh terdapat hutan yang tersebut terurai dan hancur (Hardjowigeno,
menjadi suatu kawasan hutan hujan tropis. 2010).
Kawasan hutan mempunyai fungsi pokok Tubuh cacing tanah terdiri dari segmen-
sebagai perlindungan sistem penyangga segmen dan memiliki struktur organ-organ
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah sederhana, yang justru menyebabkan cacing
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi tanah dapat terus beradaptasi dengan lingkungan
air laut, dan memelihara kesuburan tanah. hidupnya. Cacing tanah tidak memiliki alat
Populasi dekomposer merupakan salah gerak seperti kaki dan tangan, otot badannya
satu faktor yang menentukan tingkat kesuburan yang memanjang (longitudinal) dan otot
tanah. Salah satu dekomposer utama yang badannya yang melingkar tebal (sirkuler)
berperan dalam menentukan kesuburan tanah ternyata sangat berguna untuk pergerakan
adalah cacing tanah. Cacing tanah termasuk (Sugiantoro, 2012).
invertebrata, phylum Annelida, ordo Kontraksi otot longitudinal menyebabkan
Oligochaeta. Cacing tanah tersebut memakan tubuh cacing tanah bisa memanjang dan
sisa tanaman yang membusuk dan menghasilkan memendek. Sedangkan kontraksi otok sirkuler
menyebabkan tubuh cacing tanah mengembang

75
Hasbuna dkk.

dan mengkerut. Sinkronisasi kontraksi kedua pengambilan langsung dengan tangan


jenis otot ini menimbulkan gaya gerak kedepan. sedangkan metode kimia yaitu dengan
Kalau diperhatikan kelihatan lemah, tetapi menggunakan larutan cuka (M. Ali S dan
sebetulnya tidak demikian, cacing tanah Samsul Kamal, 2017).
termasuk relatif kuat karena dengan susunan Prosedur Penelitian
otot yang melingkar dan memanjang cacing Metode Hand Sortir
tanah dapat menembus tanah (Suin, 1997). Dibuat plot sampling berukuran 1x1 m
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebanyak 15 plot untuk metode handsortir dan
untuk mengetahui jenis cacing Tanah di 15 plot untuk metode kimia pada kawasan yang
Kawasan Deudap Pulo Aceh Kabupaten Aceh ingin dilakukan pengamatan. Diletakkan kertas
Besar. koran atau lainnya pada salah satu sisi plot.
Digali semua tanah sedalam lebih kurang 30 cm
METODE PENELITIAN dan tanah ditampung di dalam koran. Dicatat
Tempat dan Waktu Penelitian semua cacing yang diperoleh. Dilakukan
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah identifikasi dan dicatat di dalam tabel.
pegunungan gampong Deudap, Pulo Nasi Metode Kimia
Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Dibuat plot sampling berukuran 1x1 m
dan dilanjutkan di Laboratorium Biologi UIN pada kawasan yang ingin dilakukan
Ar-Raniry Banda Aceh dimulai dari bulan April pengamatan. Dituangkan cuka pada permukaan
2017 sampai Juli 2017. tanah di sisi tertentu di dalam plot sampling.
Alat dan Bahan Diamati apa yang terjadi dan dikumpulkan
Adapun alat yang digunakan dalam semua hewan yang ada. Dilakukan penggalian
penelitian ini adalah cangkul, meteran, kertas tanah yang ada di dalam plot sampling
koran, pipa plot, kamera, timbangan, soil tester, mengikuti cara kerja I.
LAM, botol sampel, slotip, label name, alat
tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah HASIL DAN PEMBAHASAN
alkohol, cuka, dan aquades. Adapun jenis-jenis cacing tanah
Metode Pengumpulan Data berdasarkan metode Hand Sortir dapat dilihat
Metode pengumpulan data yang pada Tabel 1 di bawah ini:
digunakan dalam pengamatan populasi cacing di
kawasan Hutan kampung Deudap pulo Aceh
Kabupaten Aceh Besar yaitu Hand sortir dan
Kimia. Metode Hand sortir yaitu metode

Tabel 1. Jenis-Jenis Cacing Tanah Berdasarkan Metode Hand Sortir

Jumlah
No. Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Individu

1 Annelida Clitellata Haplotaxida Lumbricidae Lumbricus Lumbricus rubellus 115

2 Annelida Oligochaeta Ophistopora Megascolecidae Pheretima Pheretima sp. 76

3 Annelida Oligochaeta Terricohaeta Lumbricidae Pheretima Pheretima terestis 6

Jumlah 197

76
Jenis Cacing Tanah di Kawasan Deudap Pulo Aceh ...

Adapun jenis-jenis cacing tanah Tabel 2 di bawah ini:


berdasarkan metode Kimia dapat dilihat pada

Tabel 2. Jenis-Jenis Cacing Tanah Berdasarkan Metode Kimia

Jumlah
No Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Individu

Lumbricus
1 Annelida Clitellata Haplotaxida Lumbricidae Lumbricus 136
rubellus

2 Annelida Oligochaeta Ophistopora Megascolecidae Pheretima Pheretima sp. 40

3 Annelida Oligochaeta Ophistopora Eudrilidae Eudrilus Eudrilus Eugenia 2

Jumlah 178

keasaman (pH) optimum bagi cacing tanah


Berdasarkan hasil penelitian dikawasan adalah 6,8-7,2.
Deudap Pulo Aceh ditemukan 4 spesies dari 3 Suhu lingkungan yang diperlukan oleh
famili cacing tanah, yaitu Lumbricus rubellus cacing tanah untuk pertumuhan berkisar antara
dan Pheretima terestis dari famili Lumbricidae. 15-25°C dan suhu yang lebih tinggi dari 25°C
Pheretima sp dari famili Megascolecidae, masih baik untuk pertumbuhan cacing tanah bila
Eudrilus eugenia dari famili Eudrilidae. kelembapannya mendukung. Suhu lingkungan
Spesies yang paling banyak ditemukan di sangat berpengaruh pada aktivitas metabolisme,
kawasan deudap adalah spesies Lumbricus pertumbuhan, respirasi dan produksi. Suhu yang
rubellus dari famili Lumbricidae dan spesies terlalu tinggi dan terlalu rendah akan sangat
yang paling sedikit ditemukan adalah spesies mengganggu terhadap fisiologi cacing tanah
Eudrilus eugenia. Hal ini disebabkan oleh faktor (Palungkun, 2010).
fisik dan kimia.
Adapun faktor fisik dan kimia yang KESIMPULAN
ditemukan pada plot penelitian mempunyai Ph Berdasarkan hasil penilitian ditemukan 4
tanah 5,1 dan temperatur 28ºC. Keasaman spesies dari 3 famili cacing tanah, yaitu
media merupakan faktor pembatas pada Lumbricus rubellus dan Pheretima terestis dari
penyebaran cacing tanah. famili Lumbricidae. Pheretima sp dari famili
Hal ini sesuai dengan pendapat Brata Megascolecidae, dan Eudrilus eugenia dari
(2009), dimana cacing tanah jarang dijumpai famili Eudrilidae.
pada tanah dengan pH di bawah 4, karena

DAFTAR PUSTAKA

Brata. 2009. Cacing Tanah: Factor Palungkun. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah
Mempengaruhi Pertumbuhan dan Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar
Perkembangbiakkan. Bogor: IPB Press. Swadaya.
Hardjowigeno. 2010. Ilmu Tanah, 288. Jakarta: Sapto. 2011. Mendulang Emas Hitam Melalui
Akademika Pressindo. Budu Daya Cacing Tanah. Yogyakarta:
M. Ali S dan Kamal S. 2017. Penuntun Lily Publisher.
Praktikum Ekologi Hewan. Banda Aceh.
77
Hasbuna dkk.

Subowo. 2003. Aktivitas Cacing Tanah


(Pheretima Hupiensis) pada bahan tanah
Ultisol lapisan atas di tetarium. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Sumberdaya Tanah dan Iklim. Bogor.
Sugiantoro. 2012. Harta Karun dari Cacing
Tanah. Yogyakarta: DAFA Publishing.
Suin NM. 1997. Ekologi Hewan Tanah.
Bandung: Bumi Aksara ITB.

78
I

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009

PENGAMATAN JENIS CACING LAOR (ANNELIDA, POLYCHAETA)


DI PERAIRAN DESA LATUHALAT PULAU AMBON,
DAN ASPEK REPRODUKSINYA

STUDI EKOLOGI KOMUNITAS GASTROPODA


PADA DAERAH MANGROVE DI PERAIRAN PANTAI DESA TUHAHA,
KECAMATAN SAPARUA

ASOSIASI INTER-SPESIES LAMUN DI PERAIRAN KETAPANG


KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

PENGARUH WARNA CAHAYA BERBEDA TERHADAP


KANDUNGAN KARAGINAN Kappaphycus alvarezii VARIAN MERAH

STUDI KEPADATAN Tetraselmis chuii YANG DIKULTUR


PADA INTENSITAS CAHAYA YANG BERBEDA

ANALISIS TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS


DI PERAIRAN SELAT SUNDA DENGAN AKUSTIK BIM TERBAGI

ESTIMASI ENERGI GELOMBANG PADA MUSIM TIMUR DAN


MUSIM BARAT DI PERAIRAN PANTAI DESA TAWIRI,
TELUK AMBON BAGIAN LUAR

DISTRIBUSI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK INDRAMAYU

PENENTUAN KONSENTRASI KLOROFIL-A PERAIRAN TELUK KAYELI


PULAU BURU MENGGUNAKAN METODE INDERAJA

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
TRITON Vol. 5 No. 2 Hlm. 1-66 Ambon, Oktober 2009 ISSN 1693-6493
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 1

PENGAMATAN JENIS CACING LAOR (ANNELIDA,


POLYCHAETA) DI PERAIRAN DESA LATUHALAT
PULAU AMBON, DAN ASPEK REPRODUKSINYA

(Species Richness of Laor Worm (Annelida, Polychaeta) on


Latuhalat Waters Ambon Island, and Its Reproduction Aspect)

Joko Pamungkas

UPT. Balai Konservasi Biota Laut


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Y. Syaranamual, Guru-Guru, Poka, Ambon
jpamungkas_lipi@yahoo.com

ABSTRACT : Preliminary research about species richness of laor


worm (Polychaeta) and its reproduction aspect was done in March
24th, 2008 on Latuhalat Shore. The aims of this research were to: (1)
assess species richness of laor worms on Latuhalat Shore; and (2)
investigate its reproduction aspect. Method of this research was
observation. Sampel were taken in the night in pelagic area by using
traditional device called nyiru. Samples were preserved and then
observed under stereo microscope. On this research, almost all of the
samples were only epitokous part of the worm whereas one species
from Nereidae family, Nereis sp., was found. Reproduction type of the
laor worm was epitoky and consists of two types. First, epitoke were
released to pelagic area to spawn whereas atoke were leaved on the
bottom. Second, full part of the body of laor worm become epitoke
and released to pelagic area to spawn.
Keywords: species richness, laor worm, reproduction, epitoky,
Latuhalat Shore

PENDAHULUAN
Cacing laor (Polychaeta) adalah salah satu biota khas perairan Maluku. Pada
bulan Maret atau April, di malam purnama atau beberapa hari setelahnya, biota ini
mengalami swarming, yakni peristiwa ketika cacing laut dari jenis tertentu
berkerumun dalam jumlah melimpah di sekitar permukaan air untuk melakukan
perkawinan secara eksternal. Pada saat itu, dengan menggunakan seser tradisional,
hewan ini biasa ditangkap oleh penduduk lokal di pantai-pantai berkarang guna
dijadikan sebagai bahan pangan tradisional.
Namun demikian walaupun cacing laor telah lama dikenal oleh masyarakat
Maluku sebagai bagian dari kekayaan sumberdaya hayati lautnya, riset tentang
biota ini masih jarang dilakukan. Semenjak penelitian Horst (1904, 1905) di
perairan Ambon yang berhasil mengidentifikasi hewan tersebut sebagai Lysidice
oele (Eunicidae), catatan penelitian mengenai cacing khas perairan Maluku ini,
2 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …

khususnya yang dikerjakan oleh peneliti lokal, masih tergolong langka. Ini
membuat potensi ekonomi cacing laor, sampai dengan saat ini, masih belum
tergali. Padahal, di beberapa negara maju, cacing laut Polychaeta telah menjadi
komoditas ekspor yang mampu menambah sumber devisa negara. Negara Inggris,
misalnya, cacing laut Polychaeta dari jenis Nereis virens (Nereidae) dijual secara
komersial ke beberapa negara lain sebagai pakan alami bagi beberapa jenis biota
laut. Cacing laut khas Inggris tersebut terbukti kaya akan protein sehingga baik
bagi pertumbuhan ikan dan udang-udangan (Ager, 2004).
Salah satu aspek yang belum banyak dikaji mengenai cacing laor ialah
perihal kekayaan jenisnya. Sejauh ini, jenis cacing laor yang dikenal di perairan
Maluku hanyalah Lysidice oele. Padahal, ada indikasi bahwa pada saat swarming,
cacing laut Polychaeta yang muncul ke permukaan perairan untuk melangsungkan
reproduksi tidak hanya satu jenis. Monk et al. (1997), misalnya, dalam
penelitiannya di perairan Lombok, Sumba, dan Ambon melaporkan ada 4 jenis
cacing laut Polychaeta yang menunjukkan fenomena swarming, yakni Eunice
siciliensis, E. viridis, Licydice collaris, dan Dendronereides heteropoda.
Sementara di perairan Kyushu, Jepang, Hanafiah et al. (2006) melaporkan ada 4
jenis cacing laut Polychaeta yang juga memperlihatkan fenomena swarming,
yakni Hediste japonica, H. diadroma, Tylorrhynchus osawai, dan Nectoneanthes
oxypoda. Dengan adanya informasi-informasi tersebut, pengamatan jenis cacing
laor yang muncul di perairan Maluku menjadi penting untuk dilakukan guna
mengungkap kekayaan sumber daya hayati khas perairan Maluku tersebut.
Selain kekayaan jenis, aspek biologi reproduksi cacing laor di perairan
Maluku juga belum banyak dikaji. Padahal, pengetahuan tentang aspek biologi
reproduksi cacing laor dapat menjadi langkah awal untuk mengetahui potensi
usaha budidaya biota laut tersebut. Ini mengingat, pada bisnis akuakultur, cacing
laut Polychaeta dari jenis Nereis virens yang secara alami hanya memijah sekali
dalam setahun (periode perkawinannya mirip dengan cacing laor), dapat
dimanipulasi agar mampu memijah seminggu sekali pada skala laboratorium
(Shoreline Polychaetes Farms LLP, 2009).
Perairan Desa Latuhalat, Pulau Ambon, Maluku, merupakan salah satu
daerah pantai yang berkarang. Setiap tahunnya, di musim tertentu, wilayah
tersebut menjadi zona perkawinan bagi jutaan cacing laor. Dengan demikian,
perairan tersebut merupakan salah satu tempat yang cukup ideal untuk digunakan
sebagai lokasi penelitian cacing laor.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui jenis-jenis cacing laor di
perairan Desa Latuhalat; dan (2) mengetahui aspek reproduksi cacing laor.

METODOLOGI

Materi
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah seser tradisional, lampu
petromaks, ember, botol sampel, label, tisu, jarum, pinset, gunting kecil, cawan
petri, object glass, cover glass, pipet tetes, kamera digital 10.0 mega pixels Canon
Digital IXUS 900 Ti, mikroskop stereo Nikon SMZ-645, dan mikroskop binokular
Nikon ECLIPSE-50i yang terhubung dengan layar LCD Nikon DS-Fi1. Bahan-
bahan yang digunakan adalah formalin 10%, air tawar, dan alkohol 70%.
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 3

Metode
Metode penelitian adalah observasi. Sampel diambil pada hari ke-2 „musim
laor‟ (24 Maret 2008) di perairan Desa Latuhalat (Gambar 1) dengan
menggunakan seser tradisional. Untuk keperluan identifikasi, sampel diawetkan
sesuai dengan prosedur pengawetan cacing laut Polychaeta menurut Fauchald
(1977). Sampel diambil dan difiksasi dengan formalin 10% selama 1 x 24 jam,
kemudian dibilas dengan air tawar. Sampel lalu dipindahkan ke dalam botol
sampel yang telah diisi dengan alkohol 70%. Identifikasi dan pengamatan sampel
dilakukan di UPT. Balai Konservasi Biota Laut – LIPI, Ambon. Identifikasi
dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan mencocokkan karakter yang ada
pada tubuh biota sampel dengan kunci identifikasi menurut Day (1967), Fauchald
(1977), dan Hutchings & Johnson (2003).
Pengamatan terhadap aspek reproduksi cacing laor dilakukan secara in situ
dan ex situ. Secara in situ, perilaku seksual cacing laor ketika sedang swarming
diamati secara langsung di lapangan dan dicatat hasilnya. Secara ex situ,
pengamatan dilakukan dengan dua cara. Pertama, sampel cacing laor diambil dan
diletakkan di dalam botol yang telah diisi air laut dari lokasi pengambilan sampel
(tanpa penambahan formalin 10%) untuk diamati perilaku seksualnya selama ± 8
jam. Kedua, sampel cacing laor diambil dan diawetkan, lalu diletakkan di bawah
mikroskop stereo. Pembedahan terhadap tubuh cacing laor dilakukan dengan
menggunakan gunting kecil untuk membedakan antara cacing jantan dan betina.
Guna mendapatkan gambaran yang lebih detail mengenai morfologi sel kelamin
pada cacing laor, sel kelamin yang didapat dari hasil pembedahan diambil dengan
menggunakan pipet tetes dan diletakkan di atas object glass. Sampel tersebut
kemudian diamati di bawah mikroskop binokular yang terhubung dengan layar
LCD. Hasil yang nampak lalu didokumentasikan dengan kamera digital.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel


4 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan jenis cacing laor


Pada penelitian ini, sebagian besar sampel yang didapat hanya berupa
epitoke separuh badan (tanpa kepala). Epitoke merupakan separuh bagian tubuh
cacing yang mengandung banyak sel kelamin (Crawford et al., 2007). Selain itu,
ditemukan pula epitoke sepenuh badan, yakni individu cacing laor utuh (dengan
bagian kepala) yang muncul ke permukaan perairan untuk melangsungkan
perkawinan. Dari hasil identifikasi, individu utuh cacing laor tersebut merupakan
spesies yang berasal dari famili Nereidae, yakni Nereis sp. (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis cacing laor yang ditemukan di perairan Desa Latuhalat, Pulau Ambon

NO. JENIS CACING LAOR FAMILI KETERANGAN


Tanpa kepala; berupa epitoke
1 Tidak teridentifikasi -
separuh badan
Ada kepala; berupa epitoke
2 Nereis sp. Nereidae
sepenuh badan

Secara visual, Nereis sp. memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut. Bagian
dorsal prostomium-nya terdiri atas 2 buah antena, 2 buah palp, 4 buah mata
berukuran relatif besar, dan 4 pasang tentacular cirri yang terbagi di bagian lateral
(kiri dan kanan) kepala cacing (Gambar 2).

Kaki renang

Gambar 2. Nereis sp. (perbesaran 10x)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis cacing laor yang ditemukan


berasal dari famili Nereidae, yakni Nereis sp. Temuan ini dapat dikonfirmasi
melalui penelitian Hanafiah et al. (2006) dan Etienne et al. (2008), bahwa
beberapa jenis cacing laut Polychaeta dari famili Nereidae memang memiliki
kebiasaan swarming pada saat hewan tersebut bereproduksi.
Dari penelitian ini, diketahui pula bahwa jenis cacing laor yang ditemukan,
yakni Nereis sp., berbeda famili dengan jenis cacing laor yang selama ini dikenal
oleh masyarakat Maluku. Jika Nereis sp. termasuk dalam famili Nereidae, maka
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 5

Lysidice oele, jenis cacing laor yang telah dikenal sebelumnya, termasuk dalam
famili Eunicidae. Hal ini dapat dipahami karena beberapa spesies cacing laut
Polychaeta, baik yang berasal dari famili Eunicidae maupun Nereidae, sama-sama
diketahui memperlihatkan fenomena swarming (Russell-Hunter, 1979).
Temuan ini diperkuat oleh penelitian terdahulu Monk et al. (1997) di
beberapa kawasan perairan Indonesia Timur, selain ditemukan jenis Eunice
siciliensis, E. viridis, dan Licydice collaris yang berasal dari famili Eunicidae,
juga ditemukan cacing laut Polychaeta dari jenis Dendronereides heteropoda yang
termasuk dalam famili Nereidae. Gaston dan Hall (2000), lebih lanjut,
memberikan informasi bahwa cacing laut Polychaeta dari jenis Odontosyllis
luminosa (Syllidae) juga memperlihatkan fenomena swarming. Dengan adanya
keterangan-keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa fenomena swarming pada
cacing laut Polychaeta tidaklah didominasi oleh satu famili saja.
Pada penelitian ini, hanya ditemukan satu jenis cacing laor. Sedikitnya
jumlah jenis cacing laor yang ditemukan di perairan Latuhalat, salah satunya,
disebabkan sebagian besar sampel yang didapat hanya berupa epitoke separuh
badan (tanpa bagian kepala). Padahal, seperti dikemukakan oleh Day (1967),
bagian kepala dari cacing laut Polychaeta merupakan salah satu bagian terpenting
dalam mengidentifikasi biota tersebut.
Teknik pengambilan sampel juga berpengaruh terhadap banyak-sedikitnya
jenis cacing laor yang tertangkap. Penangkapan cacing laor dengan menggunakan
seser tradisional, seperti yang dilakukan pada riset ini, hanya mampu
mendapatkan cacing laor yang muncul di permukaan air. Sedangkan bagian tubuh
cacing yang membawa kepala, tidak terambil. Berdasarkan atas penjelasan-
penjelasan tersebut, maka diduga masih ada jenis-jenis lain dari cacing laor yang
belum tereksplorasi.

Aspek Reproduksi Cacing laor


Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa cacing laor pada saat swarming,
melakukan gerakan-gerakan putaran spiral secara aktif dan cenderung mendekat
ke arah cahaya. Pengamatan secara ex situ menunjukkan bahwa melalui gerakan-
gerakan ini, bagian epitoke dari cacing laor aktif mengeluarkan sel-sel sperma dan
sel telurnya. Sel sperma yang dilepaskan membuat air dalam botol sampel
menjadi licin, sedangkan ovum yang dilepaskan membuat air dipenuhi dengan
bulatan-bulatan kehijauan. Setelah seluruh sel kelamin dilepaskan, epitoke akan
menjadi kosong, tidak bergerak, dan mati (Tabel 2).

Tabel 2. Data pengamatan aspek reproduksi cacing laor

NO PENGAMATAN KETERANGAN
1 Perilaku seksual cacing laor - epitoke bersifat pelagis
(in situ) - epitoke melakukan gerakan-gerakan putaran spiral
- epitoke cenderung mendekati arah cahaya
2 Perilaku seksual cacing laor - epitoke melakukan gerakan-gerakan putaran spiral
(ex situ - tanpa penambahan - epitoke mengeluarkan sel kelamin (sperma dan
formalin 10%) ovum)
- sel kelamin yang dikeluarkan membuat air sampel
menjadi berwarna kehijauan dan licin.
- setelah kurang lebih 8 jam, epitoke mulai tidak
bergerak-gerak (mati)
6 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …

- epitoke yang mati tubuhnya menjadi kosong dan


hanya tersisa kulit luarnya saja yang berwarna
transparan
3 Epitoke (sampel diawetkan
dengan formalin 10%):

a. Epitoke warna merah - merupakan epitoke separuh badan (tanpa kepala)


muda - mengeluarkan cairan putih seperti susu
- cairan tersebut merupakan sel kelamin jantan
(sperma)
b. Epitoke warna hijau - merupakan epitoke separuh badan (tanpa kepala)
- mengeluarkan bulatan-bulatan berwarna hijau
- bulatan-bulatan tersebut merupakan sel kelamin
betina (ovum)
c. Epitoke berupa individu - merupakan epitoke sepenuh badan (ada kepala)
utuh cacing laor - ciri paling menonjol pada bagian kepala, terdapat 4
buah mata berukuran relatif besar
- melakukan gerakan renang
- segmen tubuh ke-20 dan seterusnya termodifikasi
menjadi semacam kaki renang
- terdiri atas individu jantan dan betina
- seluruh bagian tubuh, selain kepala, dipenuhi dengan
sel-sel kelamin
- mati setelah memijah

Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Russell-Hunter (1979) bahwa


epitoke merupakan bagian matang kelamin dari cacing laut Polychaeta yang
berperan penting dalam proses reproduksi. Dijelaskan selanjutnya, epitoke bersifat
fototrofik positif, yakni cenderung bergerak mendekat ke arah cahaya. Crawford
et al. (2007) memaparkan bahwa epitoke akan mengalami kematian setelah
melepaskan sel-sel kelaminnya. Dengan adanya informasi-informasi tersebut,
dapat diketahui bahwa cacing laor yang sepenuh tubuhnya muncul ke permukaan
perairan sebagai epitoke melakukan strategi perkawinan secara monotelik, yakni
hanya memijah sekali dalam setahun dan kemudian mati.
Pada penelitian ini, didapatkan pula banyak epitoke separuh badan (tanpa
bagian atoke). Epitoke merupakan bagian seksual cacing, sedangkan atoke adalah
bagian aseksualnya (Glasby et al., 2000). Epitoke yang didapat ada yang berwarna
merah muda dan ada yang berwarna hijau. Epitoke yang berwarna merah muda
diketahui membawa sel sperma, sedangkan pada epitoke yang berwarna hijau
diketahui membawa ovum (Gambar 3, 4, dan Tabel 1). Selain itu, ditemukan pula
individu utuh cacing laor yang sepenuh tubuhnya muncul ke permukaan air
sebagai epitoke (Gambar 2).
Temuan epitoke tanpa kepala memiliki kesamaan dengan penelitian awal
Gray‟s (1847) tentang cacing palolo (Palola viridis) yang kerap swarming di
perairan Pulau Samoa, Pasifik Selatan. Hewan tersebut, pada musim kawinnya,
kerap dijumpai muncul dalam jumlah yang berlimpah tanpa organ kepala.
Friedländer (1989) kemudian menyimpulkan bahwa bagian tersebut merupakan
epitoke separuh badan yang membawa jutaan sel kelamin.
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 7

100 µm

(a) (b)

Gambar 3. a=epitoke jantan (perbesaran 10x); b=sel-sel sperma (perbesaran 400x)

100 µm

(a) (b)

Gambar 4. a=epitoke betina dengan sel-sel telur yang keluar dari tubuhnya (perbesaran
10x); b=sel telur (perbesaran 200x)

Crawford et al. (2007) menjelaskan bahwa reproduksi pada cacing laut


Polychaeta secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara
klonal (aseksual) dan secara epitoky (seksual). Reproduksi secara klonal
dilakukan baik dengan meregenerasi bagian tubuh yang terpotong maupun dengan
membentuk stolon. Sedangkan pada reproduksi secara epitoky, separuh atau
seluruh bagian tubuh cacing, pada masa-masa tertentu, akan menjadi matang
kelamin. Melalui keterangan-keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa cacing
laor di perairan Desa Latuhalat melakukan reproduksi secara epitoky, serta
dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan memunculkan seluruh tubuhnya
yang telah matang kelamin ke permukaan air (epitoke sepenuh badan); dan kedua,
melalui pemisahan bagian epitoke dari atokenya. Epitoke muncul ke permukaan
air untuk melakukan pemijahan secara eksternal, sedangkan bagian atoke
tertinggal di dasar perairan.
Pada penelitian ini, tanda-tanda terjadinya proses reproduksi juga
ditunjukkan dengan adanya modifikasi bentuk tubuh cacing laor. Modifikasi
tersebut diperlihatkan pada cacing laor yang sepenuh tubuhnya muncul ke
8 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …

permukaan perairan untuk melakukan pemijahan. Dari hasil pengamatan di bawah


mikroskop, tepat mulai dari segmen ke-20 dari tubuh cacing ini ke arah posterior,
diketahui mengalami modifikasi bentuk (Gambar 2, Tabel 1). Segmen tubuh
cacing laor mulai dari segmen ke-20 terlihat lebih rapat; parapodia (struktur
serupa kaki) menjadi lebih lentur; dan setae (struktur serupa rambut yang melekat
pada parapodia) menjadi relatif lebih panjang. Di samping itu, organ mata dari
cacing laor juga diketahui relatif besar.
Menurut Russell-Hunter (1979), pada saat swarming, cacing laut Polychaeta
akan berubah sifat dari organisme bentik yang hidup di dasar perairan menjadi
organisme planktonik yang melayang pada kolom perairan. Dijelaskan
selanjutnya, perubahan sifat hidup cacing laut Polychaeta dari bentik menjadi
planktonik menuntut modifikasi bentuk tubuh. Day (1967) dan Barnes (1987)
menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi, sebagian tubuh spesies dari famili
Nereidae akan mengalami perubahan bentuk menjadi kaki renang. Perubahan ini,
menurutnya, ditandai dengan adanya natatory setae, yakni bentuk setae yang
memungkinkan bagi hewan tersebut untuk berenang. Selain itu, diterangkan
bahwa pada saat bereproduksi, ukuran organ mata cacing laut Polychaeta dari
famili Nereidae akan menjadi relatif lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran
matanya pada saat tidak sedang bereproduksi.
Pada penelitian ini, cacing laor yang ditemukan pada perairan Desa
Latuhalat, yakni Nereis sp., diduga memiliki potensi untuk bisa dibudidayakan.
Sebab, kajian tentang aspek reproduksi dan budidaya cacing laut Polychaeta,
khususnya yang berasal dari famili Nereidae, telah cukup banyak dilakukan
(Olive, 1999; 2000; Costa, 1999). Di Indonesia, khususnya Jawa, cacing laut
Polychaeta dari jenis Dendronereis pinnaticirris (Nereidae) juga telah berhasil
dibudidayakan dan terbukti mampu mempercepat pertumbuhan udang galah
(Macrobrachium rosenbergii de Man) (Yuwono, 2008). Kendala cukup besar
dalam upaya membudidayakan cacing laor memang dihadapi mengingat habitat
induk dari cacing laor berada di celah-celah karang perairan yang relatif sukar
untuk dijangkau. Namun demikian, usaha pembudidayaan cacing laor, selain
diharapkan menguntungkan secara ekonomi, diharapkan menjadi salah satu upaya
pemanfaatan sumber daya lokal secara bijak dan sustainable.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik beberapa kesimpulan: (1) jenis


cacing laor yang ditemukan di perairan Desa Latuhalat adalah Nereis sp. dan jenis
lain yang belum teridentifikasi karena ketiadaan organ kepala; (2) cacing laor di
perairan Desa Latuhalat melakukan reproduksi secara epitoky serta dilakukan
dengan dua cara. Pertama, dengan memunculkan seluruh tubuhnya yang telah
matang kelamin ke permukaan air (epitoke sepenuh badan), dan kedua, melalui
pemisahan bagian epitoke dari atokenya. Epitoke muncul ke permukaan air untuk
melakukan perkawinan secara eksternal, sedangkan atoke tertinggal di dasar
perairan.
Merujuk pada hasil penelitian yang didapat, maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut: (1) perlu dipikirkan mengenai teknik sampling
yang bisa digunakan untuk mendapatkan bagian atoke dari cacing laor yang
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 9

tertinggal di dasar perairan; (2) perlunya kerja sama dengan taksonomist


(polychaeta) sehingga sampel bisa diidentifikasi secara akurat sampai ke tingkat
spesies guna mendapatkan kemungkinan adanya new record species dari cacing
laor; (3) perlunya penelitian dalam lingkup lokasi yang lebih luas dan representatif
guna mengungkap seberapa banyak kekayaan spesies cacing laor yang ada di
perairan Maluku; dan (4) dengan diketahuinya aspek reproduksi cacing laor dan
prinsip-prinsip budidaya polychaeta secara umum, usaha pembudidayaan cacing
laor semestinya dapat mulai segera dicoba.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Uci dan Ila yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini, juga kepada masyarakat Desa Latuhalat atas partisipasinya pada
saat sampling cacing laor.

DAFTAR PUSTAKA
Ager, O. 2004. Aquaculture. The Marine Life Information Network for Britain and
Ireland.
Barnes, R.D. 1987. Invertebrate Zoology. Fifth edition. Saunders College Publishing,
Orlando.
Costa, P. F. E. 1999. Reproduction and Growth in Captivity of the Polychaete Nereis
diversicolor O. F. Müller, 1776, Using Two Different Kinds of Sediment:
Preliminary assays. Bol. Inst. Esp. Oceanogr. 15 (1-4): 351-355.
Crawford, L., G. Humprey, dan D. Fudge. 2007. Invertebrate Zoology. Class: Polychaeta
(The Bristle Worm).www.Freewebs.com/invertebratezoology/classpolychaeta.htm.
Diakses pada 25 Maret 2009.
Day, J.H. 1967. A Monograph on the Polychaeta of Southern Africa. Part I: Errantia.
Trustees of the British Museum (Natural History), London.
Etienne, H. C., B. sophie., L. hélène., B. pierre. 2008. Epitoky in Nereis (neanthes)
virens (Polychaeta: Nereididae) : a story about sex and death. Comparative
biochemistry and physiology 149: 202-208.
Fauchald, K. 1977. The Polychaete Worms: Definition and keys to the orders, families
and genera. Allan Hancock Foundation, University of Southern California, Los
Angeles.
Friedländer, B. 1898. Ueber den sogenannten Palolowurm. Biol. Centralblatt 18:337–
357.
Gaston, G.R. dan Jennifer, H. 2000. Lunar Periodicity and Bioluminescence of Swarming
Odontosyllis luminosa (Polychaeta: Syllidae) in Belize. Gulf and Caribbean
Research 12: 47-51.
Glasby, C.J., Fauchald, K. dan Hutchings, P.A. 2000. Glossary. In Beesley, P.L., Ross,
G.J.B. & Glasby, C.J. (eds). Polychaetes & Allies: the Southern Synthesis. Fauna of
Australia. 4: 401–412. CSIRO, Melbourne.
Gray, J. E. 1847. An account of Palolo, a sea worm eaten in the Navigator Islands. Proc.
Zool. Soc. London 15:17–18.
Hanafiah, Z., M. Sato., H. Nakashima., dan H. Tosuji. 2006. Reproductive Swarming of
Sympatric Nereidid Polychaetes in an Estuary of the Omuta-gawa River in Kyushu,
Japan, with Special Reference to Simultaneous Swarming of Two Hediste Species.
Zoological Science 23 (2): 205-217.
Hofmann, D. K. 1974. Maturation, Epitoky and Regeneration in the Polychaete Eunice
siciliensis under Field and Laboratory Conditions. Marine Biology 25 (2): 149-161
10 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …

Horst, R. 1904. Wawo and Palolo worms. Nature 69:582.


Horst, R. 1905. Over de “Wawo” von Rumphius (Lysidice oele n.sp.). Rumphius
Gedenkbook Kolon Mus. Haarlem 1905: 105-108.
Hutching, P.A dan R.T. Johnson. 2003. Australian Aphroditidae (Polychaeta) DELTA
Database. In R.S. Wilson, P. A. Hutchings & C.J. Glasby (eds). Polychaetes: An
interactive identification guide. CSIRO, Melbourne.
Monk, K.A., Y. de Fretes., dan G.R. Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and
Maluku. Periplus Eds.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An ecological approach. Third Edition.
Harpercollins College Publishers, New York.
Olive, P.J.W., 1999. Aquaculture of Polychaeta: a sustainable solution to the problems of
bait supply. Ross-on-Wye: Marine Conservation Society.
Olive, P.J.W., 2000. Polychaete Aquaculture and Polychaete Science: a mutual
synergism. Hydrobiologia 402: 175-183.
Russell-Hunter, W.D. 1979. A Life of Invertebrates. Macmillan Publishing, New York.
Shoreline Polychaetes Farms LLP. 2009. The Ragworm.
www.seabait.com/the_ragworm.html. Diakses pada 25 Maret 2009.
Yuwono, E. 2008. Makalah Pelatihan Pembenihan Welur (Dendronereis pinnaticirris).
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai