ABSTRAK: Sungai Jangkok merupakan salah satu ekosistem lotik yang berada di wilayah Kota
Mataram. Berdasarkan studi sebelumnya disimpulkan bahwa sungai ini memiliki berbagai macam
jenis keanekaragaman hayati di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
jenis Annelida yang terdapat di Sungai Jangkok Kota Mataram. Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 14 Maret 2018. Sampel penelitian yaitu air sungai yang diambil pada 3
stasiun yaitu hulu, tengah dan hilir menggunakan teknik purposive sampling. Berdasarkan
keberadaannya, jenis Annelida yang ditemukan pada stasiun hilir sebanyak 46 individu, dan 5 pada
stasiun tengah, sedangkan tidak ditemukan pada stasiun hulu. Jenis Annelida yang ditemukan
adalah kelas Olygochaeta dengan spesies Lumbricus terestis dan Tubifex sp. dan kelas Hirudinae
dengan spesies Hirudo medicinalis.
ABSTRACT: Jangkok River is one of the lotic ecosystems in the city of Mataram. Based on
previous studies it was concluded that this river has various types of biodiversity in it. The purpose
of this study was to identify the types of Annelida found in the Jangkok River in Mataram City.
This type of research is descriptive exploratory research with quantitative and qualitative
approaches. This research was conducted on March 14, 2018. The research samples were river
water taken at 3 stations namely upstream, middle and downstream using purposive sampling
technique. Based on its existence, the Annelida type was found in downstream stations as many as
46 individuals, and 5 at the middle station, whereas it was not found at the upstream station. The
type of Annelida found is the Olygochaeta class with Lumbricus terestis species and Tubifex sp.
and the Hirudinae class with Hirudo medicinalis species.
PENDAHULUAN
Kota Mataram dilewati oleh ekosistem perairan lotik yaitu Sungai Jangkok.
Sungai ini banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengairi sawah,
tempat mencuci, dan dijadikan tempat pembuangan limbah rumah tangga
maupun limbah industri. Di dalam ekosistem perairan terdapat juga berbagai
macam jenis keanekaragaman hayati di dalamnya, yang salah satunya ialah hewan
Annelida.
Sungai sebagai salah satu jenis media hidup bagi organisme perairan, sering
kali menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga baik sampah padat
maupun cair, baik sampah organik maupun sampah anorganik oleh masyarakat
sekitar sungai yang dapat mencemari sungai tersebut, sehingga sungai seringkali
tidak terhindar dari masalah penurunan kualitas air. Makroinvertebrata
mempunyai peranan penting dalam rantai makanan di ekosistem aquatik sering
dijadikan sebagai indikator kestabilan, kesuburan dan kualitas perairan (Siti, 2009
dalam Purwasih, 2012). Kualitas perairan berpengaruh langsung terhadap
organisme yang hidup di dalamnya, salah satunya yaitu filum Annelida. Annelida
hidup relatif menetap pada suatu subtrat sehingga hewan Annelida dapat
memberikan suatu gambaran kondisi pada ekosistem perairan yang ditempati.
130
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Hewan Annelida mempunyai peranan penting sebagai proses penguraian bahan
organik dan sumber makanan bagi organisme yang hidup pada ekosistem perairan
tersebut (Kusnadi, 2012).
Mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dan
lingkungan (Ekologi) sangatlah penting. Hubungan timbal balik ini bahwasanya
untuk tetap menjaga keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat pada
ekosistem tersebut. Kata Ekologi pertama kali diperkenalkan oleh (Ernest
Haeckel, ahli biologi Jerman pada tahun 1869 dalam Ngabekti, 2006), berasal dari
bahasa Yunani oikos yang berarti “rumah” atau “tempat untuk hidup” dan logos
yang berarti ilmu, telaah, atau studi. Secara harfiah, ekologi adalah ilmu yang
mempelajari organisme di rumahnya. Biasanya ekologi didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungannya
sangatlah penting.
Hewan Annelida berperan penting pada lingkungan khususnya ekosistem air
tawar mengalir (lotik) sebagai pengurai (dekomposer) serta menjadi makanan
untuk organisme yang hidup di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi jenis Annelida di Sungai Jangkok Kota Mataram.
Annelida berasal dari bahasa latin (kata annulus yang berarti cincin dan
oidos yang berarti bentuk), dari namanya Annelida dapat disebut sebagai cacing
yang bentuk tubuhnya bergelang-gelang atau disebut juga cacing gelang. Pada
Annelida terdapat selom yang oleh septum-septum dibagi menjadi beberapa
kompartemen. Annelida merupakan hewan simetris bilateral, mempunyai sistem
peredaran darah yang tertutup dan sistem saraf yang tersusun seperti tangga tali.
Pembuluh darah yang utama membujur sepanjang bagian dorsal sedangkan sistem
saraf terdapat pada bagian ventral. Annelida memiliki sistem digesti, saraf,
ekskresi dan reproduksi yang bersifat metamerik.
Cacing-cacing yang termasuk dalam Filum Annelida ini, tubuhnya
bersegmen-segmen. Mereka hidup di dalam tanah yang lembab, dalam laut, dan
dalam air tawar, pada umumnya Annelida hidup bebas, ada yang hidup dalam
liang, beberapa bersifat komensal pada hewan-hewan aquatik, dan ada juga yang
bersifat parasit pada vertebrata (Radiopoetro, 1991).
METODE
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
eksploratif. Penelitian deskriptif eksploratif digunakan untuk meneliti sesuatu
(yang menarik perhatian) yang belum diketahui, belum dipahami, dan belum
dikenali dengan baik (Kusnadi, 2012).
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif (Sugiyono, 2010). Pada penelitian deskriptif eksploratif
ini lebih menekankan pada pendekatan kualitatif karena data kualitatif yang akan
diperoleh adalah hasil kesimpulan dari data kuantitatif. Rancangan penelitian
deskriptif eksploratif dapat dilihat pada Gambar 1.
131
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3
= Aliran sungai.
132
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Tabel 1. Keberadaan Jenis Annelida di Tiga Stasiun Pengamatan dengan Tiga Kali
Ulangan di Sungai Jangkok Kota Mataram.
Stasiun
No. Nama Spesies
Hulu Tengah Hilir
1 Tubifex sp. 0 4 45
2 Lumbricus terestis 0 0 1
3 Hirudo medicinalis 0 1 0
Data pada Tabel 1 di atas, dapat juga dibuat dalam bentuk grafik seperti
yang terlihat pada Gambar 2.
50
40 Tubifex sp
30
20 Lumbricus
10 terestris
0
Hirudo
Stasiun Stasiun Stasiun Medicinalis
1 2 3
5 1
4 2
133
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
2. Tubifex sp.
1
4
2
5
3
3 1
4 2
134
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
Berdasarkan Tabel 1, dari tiga stasiun ditemukan hanya 2 kelas Annelida
yaitu Oligochaeta dan Hirudinea. Tidak semua jenis hewan Annelida dapat
ditemukan di semua stasiun, hewan Annelida yang ditemukan berada di stasiun
yang berbeda-beda, hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan hidupnya
yang berbeda untuk setiap jenis (Kusnadi, 2012). Filum Annelida merupakan
organisme yang tergolong dalam hewan makrozoobentos yang dimana dengan
adanya hewan Annelida dapat diketahui suatu perairan tercemar atau tidak
tercemar (Andriana, 2008). Cacing-cacing yang termasuk dalam filum Annelida
ini, tubuhnya bersegmen-segmen. Mereka hidup di dalam tanah yang lembab,
dalam laut, dan dalam air tawar. Pada umumnya Annelida hidup bebas, ada yang
hidup dalam liang, beberapa bersifat komensal pada hewan-hewan aquatik, dan
ada juga yang bersifat parasit pada vertebrata (Radiopoetro, 1991).
Pengulangan pengamatan berdasarkan analisis yang dilakukan di
Laboratorium. Pengamatan pertama yaitu di stasiun dua (tengah) pada tanggal 14
Maret 2018. Jumlah Annelida yang didapatkan sebanyak 2 individu, yang terdiri
atas dua spesies yaitu spesies Tubifex sp. sebanyak 1 individu dan Hirudo
medicinalis sebanyak 1 individu. Hirudo medicinalis hanya ditemukan di stasiun
dua, hal ini disebabkan lintah lebih menyukai kecepatan air sungai yang cukup
lambat dan memiliki bahan organik yang tinggi (Sawyer, 1974 dalam Kusnadi,
2012).
Terdapat dua spesies pada stasiun dua (tengah) dikarenakan pada stasiun
dua kecepatan arusnya 4 detik/m, serta pada kedalaman 30 cm keadaan air cukup
keruh dan kondisi pencemaran airnya berada di tingkat sedang dengan
perhitungan TDS 50 S sehingga tidak banyak ditemukan jumlah individu dalam
satu spesies dan pH dengan nilai 7 (normal), walaupun subtrat di stasiun dua
cukup mendukung yaitu berpasir lumpur berbatu dan berlumpur. Menurut
(Sugiharto, 1987 dalam Septiani, 2014) suhu akan menyebabkan banyak
sedikitnya makrozoobentos pada suatu habitat, sedangkan kecepatan arus air
mempengaruhi persebaran makrozoobentos dan juga pertumbuhannya.
Pengaruh suhu terhadap makrozoobentos sebesar 98%, sedangkan
kecepatan arus air mempunyai pengaruh terhadap makrozoobentos sebesar 91%.
Suhu pada stasiun ini sebesar 26ºc cukup dingin. Pengamatan pada stasiun 1
(hulu) tidak didapati hewan Annelida. Hal ini dikarenakan suhu air 23ºc yang
terlalu dingin, pencemaran air berada di dalam kategori belum tercermar serta
substrat pada stasiun ini kurang mendukung yaitu berpasir. Menurut Andriana
(2008), substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh
kehidupan makroskopik. Substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat
mikroorganismenya terutama organisme makrozoobentos yang dapat menempel
pada substrat berbatu. Pengamatan pada stasiun tiga (hilir) dipengulangan pertama
tidak dilakukan disebabkan cuaca yang tidak mendukung, hujan disertai petir pada
waktu itu.
Pengulangan pengamatan yang kedua pada tanggal 21 Maret 2018,
berdasarkan hasil analisis di Laboratorium, pengamatan pertama yaitu di stasiun
satu (hulu), pada pengulangan kedua juga tidak terdapat hewan Annelida yang
dikarenakan suhu air yang terlalu dingin sebesar 24ºc, pencemaran air berada di
dalam kategori belum tercemar dengan jumlah perhitungan TDS sebesar 28S,
pH dengan angka 7 (normal), di stasiun ini airnya sangat jernih serta subtrat pada
135
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
stasiun ini kurang mendukung yaitu berpasir. Pengamatan kedua pada stasiun dua
(tengah), jumlah spesies Annelida ditemukan hanya satu spesies yaitu Tubifex Sp.
dengan jumlah individu sebanyak 3 individu dikarenakan kualitas air pada
pengulangan kedua ini tingkat pencemaran semakin menurun dari 50S ke 40S,
pH dengan nilai 7 (normal), kuat arus pada stasiun ini juga berubah dari 4 detik/m
menjadi 3 detik/m, pada kedalaman 20cm terjadi kekeruhan dan suhu pada pada
pengulangan kedua di stasiun 2 (tengah) sama seperti ulangan pertama 26ºc.
Pengamatan ketiga di stasiun tiga (hilir) terdapat 2 spesies yaitu Tubifex sp. dan
Lumbricus terestis dengan jumlah individu Tubifex sp. yang sangat banyak yaitu
23 individu dan 1 individu Lumbricus terestis. Hal ini dikarenakan subtrat pada
stasiun ini sangat mendukung berbatu kecil, berpasir yang bercampur lumpur,
kuat arus yang tidak terlalu deras yaitu 5 detik/m. Tingkat pencemaran tinggi
dengan nilai TDS 67S, pH dengan angka 7 (normal) serta suhu pada stasiun ini
tidak terlalu dingin 29ºc. Umumnya spesies Annelida dapat ditemukan pada
habitat eutrofik, poly-saprobic dan lingkungan yang mengalami tekanan
menengah maupun tekanan yang tinggi (Juliantara, 2011 dalam Kusnadi, 2012).
Pengulangan pengamatan ketiga pada tanggal 28 Maret 2018, berdasarkan
analisis yang dilakukan di Laboratorium, pengamatan pertama yaitu di stasiun tiga
(hilir), pada stsiun ini terdapat satu spesies Annelida yaitu Tubifex sp. dengan
jumlah individu sebanyak 22 individu. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat
yang juga membuang bahan organik dan anorganik pada stasiun 3 (hilir). Menurut
(Hawkes, 1979 dalam Kusnadi, 2012) menyatakan bahwa meningkatnya
kandungan bahan organik di suatu perairan maka akan meningkat pula jenis-jenis
spesies yang tahan terhadap perairan tercemar, salah satu contohnya yaitu Tubifex
sp. Kualitas pencemaran air yang meningkat dengan nilai TDS 70S, pH dengan
nilai 7 (normal). Suhu pada stasiun ini 29ºc, kuat arus pada stasiun ini masih
lambat serta kekeruhan pada kedalaman 20cm. Sehingga jumlah individu Tubifex
sp. pada stasiun tiga tidak jauh menurun serta subtratnya yang sangat mendukung
yaitu berbatu, berpasir dan berlumpur. Pengamatan kedua di stasiun dua (tengah)
tidak terdapat hewan Annelida, hal ini dikarenakan kualitas pencemaran air pada
stasiun ini masih sama dengan pengulangan kedua yaitu 40S serta kuat arus pada
stasiun ini cukup deras 4 detik/m.
Pengamatan ketiga di stasiun tiga (hulu) tidak juga didapati hewan
Annelida, hal ini dikarenakan subtrat yang berpasir, tingkat pencemaran air di
stasiun ini berada di tingkat belum tercemar, arus pada stasiun ini juga cukup
deras serta suhu pada stasiun ini juga terlalu dingin.
SIMPULAN
Jenis Annelida yang ditemukan kelas Olygochaeta dengan spesies
Lumbricus terestis dan Tubifex sp. dan kelas Hirudinae dengan spesies Hirudo
medicinalis.
SARAN
Perlu diadakan penelitian dengan mengidentifikasi beberapa jenis hewan-
hewan sebagai bioindikator pencemaran perairan di Kota Mataram.
136
Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi P-ISSN 2338-5006
Vol. 6, No. 2; 2018 E-ISSN 2654-4571
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada pemberi dana penelitian,
juga disampaikan kepada pihak-pihak yang membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Andriana, W. 2008. Keterkaitan Struktur Komunitas Makrozoobentos sebagai
Indikator Keberadaan Bahan Organik di Perairan Hulu Sungai Cisadane
Bogor Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Petanian Bogor.
Kusnadi, A. 2012. Struktur Komunitas Annelida sebagai Bioindikator
Pencemaran Sungai Ancar Kota Mataram dalam Upaya Pembuatan Poster
untuk Pendidikan Masyarakat Tahun 2012/2013. Skripsi. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Ngabekti, S. 2006. Buku Ajar dengan Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (JAS).
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Purwasih, A., S. 2012. Analisis Kualitas Perairan Sungai Raman Desa Pujodadi
Trimurjo sebagai Sumber Belajar Biologi SMA pada Materi Ekosistem.
Lampung: Universitas Muhammadiyah Metro.
Radiopoetro. 1991. Zoology. Jakarta: Erlangga.
Septiani, Y., A., Nugroho, A., W., & Zahida, F. 2014. Keanekaragaman Jenis
Makrozoobentos sebagai Penentu Kualitas Air Sungai Mruwe Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif,
dan R & D. Bandung: Alfabeta.
137
Prosiding Seminar Nasional Biotik 2018 ISBN: 978-602-60401-9-0
ABSTRAK
Pulo Nasi adalah salah satu pulau dari beberapa pulau yang menjadi bagian dari gugusan kepulauan
Pulau Aceh yang terletak di kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Populasi dekomposer
merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesuburan tanah. Salah satu dekomposer
utama yang berperan dalam menentukan kesuburan tanah adalah cacing tanah. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui jenis cacing Tanah di Kawasan Deudap Pulo Aceh Kabupaten Aceh
Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hand sortir dan kimia. Hasil
penelitian ditemukan 4 spesies dari 3 famili cacing tanah, yaitu Lumbricus rubellus dan Pheretima
terestis dari famili Lumbricidae. Pheretima sp dari famili Megascolecidae, dan Eudrilus eugenia
dari famili Eudrilidae.
PENDAHULUAN
ulo Nasi adalah salah satu pulau dari sisa pencernaan (feses) yang merupakan sumber
beberapa pulau yang menjadi bagian bahan organik tanah (Sapto, 2011).
dari gugusan kepulauan Pulau Aceh Peranan cacing tanah sangat penting
yang terletak di kabupaten Aceh Besar, Provinsi dalam proses dekomposisi bahan organic tanah.
Aceh. Pulau Nasi berada pada koordinat 95° 9’ Bersama-sama mikroba tanah lainnya terutama
4.44” BT dan 5° 37’ 18.68” LU, dan merupakan bakteri, cacing tanah ikut berperan dalam siklus
pulau terbesar kedua dalam gugusan kepulauan biogeokimia (Subowo, 2008). Cacing tanah
Pulau Aceh setelah Pulau Breuh atau Pulau memakan serasah daun dan materi tumbuhan
Beras. yang mati lainnya, dengan demikian materi
Di Pulau Aceh terdapat hutan yang tersebut terurai dan hancur (Hardjowigeno,
menjadi suatu kawasan hutan hujan tropis. 2010).
Kawasan hutan mempunyai fungsi pokok Tubuh cacing tanah terdiri dari segmen-
sebagai perlindungan sistem penyangga segmen dan memiliki struktur organ-organ
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah sederhana, yang justru menyebabkan cacing
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi tanah dapat terus beradaptasi dengan lingkungan
air laut, dan memelihara kesuburan tanah. hidupnya. Cacing tanah tidak memiliki alat
Populasi dekomposer merupakan salah gerak seperti kaki dan tangan, otot badannya
satu faktor yang menentukan tingkat kesuburan yang memanjang (longitudinal) dan otot
tanah. Salah satu dekomposer utama yang badannya yang melingkar tebal (sirkuler)
berperan dalam menentukan kesuburan tanah ternyata sangat berguna untuk pergerakan
adalah cacing tanah. Cacing tanah termasuk (Sugiantoro, 2012).
invertebrata, phylum Annelida, ordo Kontraksi otot longitudinal menyebabkan
Oligochaeta. Cacing tanah tersebut memakan tubuh cacing tanah bisa memanjang dan
sisa tanaman yang membusuk dan menghasilkan memendek. Sedangkan kontraksi otok sirkuler
menyebabkan tubuh cacing tanah mengembang
75
Hasbuna dkk.
Jumlah
No. Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Individu
Jumlah 197
76
Jenis Cacing Tanah di Kawasan Deudap Pulo Aceh ...
Jumlah
No Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Individu
Lumbricus
1 Annelida Clitellata Haplotaxida Lumbricidae Lumbricus 136
rubellus
Jumlah 178
DAFTAR PUSTAKA
Brata. 2009. Cacing Tanah: Factor Palungkun. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah
Mempengaruhi Pertumbuhan dan Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar
Perkembangbiakkan. Bogor: IPB Press. Swadaya.
Hardjowigeno. 2010. Ilmu Tanah, 288. Jakarta: Sapto. 2011. Mendulang Emas Hitam Melalui
Akademika Pressindo. Budu Daya Cacing Tanah. Yogyakarta:
M. Ali S dan Kamal S. 2017. Penuntun Lily Publisher.
Praktikum Ekologi Hewan. Banda Aceh.
77
Hasbuna dkk.
78
I
Joko Pamungkas
PENDAHULUAN
Cacing laor (Polychaeta) adalah salah satu biota khas perairan Maluku. Pada
bulan Maret atau April, di malam purnama atau beberapa hari setelahnya, biota ini
mengalami swarming, yakni peristiwa ketika cacing laut dari jenis tertentu
berkerumun dalam jumlah melimpah di sekitar permukaan air untuk melakukan
perkawinan secara eksternal. Pada saat itu, dengan menggunakan seser tradisional,
hewan ini biasa ditangkap oleh penduduk lokal di pantai-pantai berkarang guna
dijadikan sebagai bahan pangan tradisional.
Namun demikian walaupun cacing laor telah lama dikenal oleh masyarakat
Maluku sebagai bagian dari kekayaan sumberdaya hayati lautnya, riset tentang
biota ini masih jarang dilakukan. Semenjak penelitian Horst (1904, 1905) di
perairan Ambon yang berhasil mengidentifikasi hewan tersebut sebagai Lysidice
oele (Eunicidae), catatan penelitian mengenai cacing khas perairan Maluku ini,
2 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …
khususnya yang dikerjakan oleh peneliti lokal, masih tergolong langka. Ini
membuat potensi ekonomi cacing laor, sampai dengan saat ini, masih belum
tergali. Padahal, di beberapa negara maju, cacing laut Polychaeta telah menjadi
komoditas ekspor yang mampu menambah sumber devisa negara. Negara Inggris,
misalnya, cacing laut Polychaeta dari jenis Nereis virens (Nereidae) dijual secara
komersial ke beberapa negara lain sebagai pakan alami bagi beberapa jenis biota
laut. Cacing laut khas Inggris tersebut terbukti kaya akan protein sehingga baik
bagi pertumbuhan ikan dan udang-udangan (Ager, 2004).
Salah satu aspek yang belum banyak dikaji mengenai cacing laor ialah
perihal kekayaan jenisnya. Sejauh ini, jenis cacing laor yang dikenal di perairan
Maluku hanyalah Lysidice oele. Padahal, ada indikasi bahwa pada saat swarming,
cacing laut Polychaeta yang muncul ke permukaan perairan untuk melangsungkan
reproduksi tidak hanya satu jenis. Monk et al. (1997), misalnya, dalam
penelitiannya di perairan Lombok, Sumba, dan Ambon melaporkan ada 4 jenis
cacing laut Polychaeta yang menunjukkan fenomena swarming, yakni Eunice
siciliensis, E. viridis, Licydice collaris, dan Dendronereides heteropoda.
Sementara di perairan Kyushu, Jepang, Hanafiah et al. (2006) melaporkan ada 4
jenis cacing laut Polychaeta yang juga memperlihatkan fenomena swarming,
yakni Hediste japonica, H. diadroma, Tylorrhynchus osawai, dan Nectoneanthes
oxypoda. Dengan adanya informasi-informasi tersebut, pengamatan jenis cacing
laor yang muncul di perairan Maluku menjadi penting untuk dilakukan guna
mengungkap kekayaan sumber daya hayati khas perairan Maluku tersebut.
Selain kekayaan jenis, aspek biologi reproduksi cacing laor di perairan
Maluku juga belum banyak dikaji. Padahal, pengetahuan tentang aspek biologi
reproduksi cacing laor dapat menjadi langkah awal untuk mengetahui potensi
usaha budidaya biota laut tersebut. Ini mengingat, pada bisnis akuakultur, cacing
laut Polychaeta dari jenis Nereis virens yang secara alami hanya memijah sekali
dalam setahun (periode perkawinannya mirip dengan cacing laor), dapat
dimanipulasi agar mampu memijah seminggu sekali pada skala laboratorium
(Shoreline Polychaetes Farms LLP, 2009).
Perairan Desa Latuhalat, Pulau Ambon, Maluku, merupakan salah satu
daerah pantai yang berkarang. Setiap tahunnya, di musim tertentu, wilayah
tersebut menjadi zona perkawinan bagi jutaan cacing laor. Dengan demikian,
perairan tersebut merupakan salah satu tempat yang cukup ideal untuk digunakan
sebagai lokasi penelitian cacing laor.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui jenis-jenis cacing laor di
perairan Desa Latuhalat; dan (2) mengetahui aspek reproduksi cacing laor.
METODOLOGI
Materi
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah seser tradisional, lampu
petromaks, ember, botol sampel, label, tisu, jarum, pinset, gunting kecil, cawan
petri, object glass, cover glass, pipet tetes, kamera digital 10.0 mega pixels Canon
Digital IXUS 900 Ti, mikroskop stereo Nikon SMZ-645, dan mikroskop binokular
Nikon ECLIPSE-50i yang terhubung dengan layar LCD Nikon DS-Fi1. Bahan-
bahan yang digunakan adalah formalin 10%, air tawar, dan alkohol 70%.
Jurnal TRITON Volume 5, Nomor 2, Oktober 2009, hal. 1 – 10 3
Metode
Metode penelitian adalah observasi. Sampel diambil pada hari ke-2 „musim
laor‟ (24 Maret 2008) di perairan Desa Latuhalat (Gambar 1) dengan
menggunakan seser tradisional. Untuk keperluan identifikasi, sampel diawetkan
sesuai dengan prosedur pengawetan cacing laut Polychaeta menurut Fauchald
(1977). Sampel diambil dan difiksasi dengan formalin 10% selama 1 x 24 jam,
kemudian dibilas dengan air tawar. Sampel lalu dipindahkan ke dalam botol
sampel yang telah diisi dengan alkohol 70%. Identifikasi dan pengamatan sampel
dilakukan di UPT. Balai Konservasi Biota Laut – LIPI, Ambon. Identifikasi
dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan mencocokkan karakter yang ada
pada tubuh biota sampel dengan kunci identifikasi menurut Day (1967), Fauchald
(1977), dan Hutchings & Johnson (2003).
Pengamatan terhadap aspek reproduksi cacing laor dilakukan secara in situ
dan ex situ. Secara in situ, perilaku seksual cacing laor ketika sedang swarming
diamati secara langsung di lapangan dan dicatat hasilnya. Secara ex situ,
pengamatan dilakukan dengan dua cara. Pertama, sampel cacing laor diambil dan
diletakkan di dalam botol yang telah diisi air laut dari lokasi pengambilan sampel
(tanpa penambahan formalin 10%) untuk diamati perilaku seksualnya selama ± 8
jam. Kedua, sampel cacing laor diambil dan diawetkan, lalu diletakkan di bawah
mikroskop stereo. Pembedahan terhadap tubuh cacing laor dilakukan dengan
menggunakan gunting kecil untuk membedakan antara cacing jantan dan betina.
Guna mendapatkan gambaran yang lebih detail mengenai morfologi sel kelamin
pada cacing laor, sel kelamin yang didapat dari hasil pembedahan diambil dengan
menggunakan pipet tetes dan diletakkan di atas object glass. Sampel tersebut
kemudian diamati di bawah mikroskop binokular yang terhubung dengan layar
LCD. Hasil yang nampak lalu didokumentasikan dengan kamera digital.
Tabel 1. Jenis cacing laor yang ditemukan di perairan Desa Latuhalat, Pulau Ambon
Secara visual, Nereis sp. memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut. Bagian
dorsal prostomium-nya terdiri atas 2 buah antena, 2 buah palp, 4 buah mata
berukuran relatif besar, dan 4 pasang tentacular cirri yang terbagi di bagian lateral
(kiri dan kanan) kepala cacing (Gambar 2).
Kaki renang
Lysidice oele, jenis cacing laor yang telah dikenal sebelumnya, termasuk dalam
famili Eunicidae. Hal ini dapat dipahami karena beberapa spesies cacing laut
Polychaeta, baik yang berasal dari famili Eunicidae maupun Nereidae, sama-sama
diketahui memperlihatkan fenomena swarming (Russell-Hunter, 1979).
Temuan ini diperkuat oleh penelitian terdahulu Monk et al. (1997) di
beberapa kawasan perairan Indonesia Timur, selain ditemukan jenis Eunice
siciliensis, E. viridis, dan Licydice collaris yang berasal dari famili Eunicidae,
juga ditemukan cacing laut Polychaeta dari jenis Dendronereides heteropoda yang
termasuk dalam famili Nereidae. Gaston dan Hall (2000), lebih lanjut,
memberikan informasi bahwa cacing laut Polychaeta dari jenis Odontosyllis
luminosa (Syllidae) juga memperlihatkan fenomena swarming. Dengan adanya
keterangan-keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa fenomena swarming pada
cacing laut Polychaeta tidaklah didominasi oleh satu famili saja.
Pada penelitian ini, hanya ditemukan satu jenis cacing laor. Sedikitnya
jumlah jenis cacing laor yang ditemukan di perairan Latuhalat, salah satunya,
disebabkan sebagian besar sampel yang didapat hanya berupa epitoke separuh
badan (tanpa bagian kepala). Padahal, seperti dikemukakan oleh Day (1967),
bagian kepala dari cacing laut Polychaeta merupakan salah satu bagian terpenting
dalam mengidentifikasi biota tersebut.
Teknik pengambilan sampel juga berpengaruh terhadap banyak-sedikitnya
jenis cacing laor yang tertangkap. Penangkapan cacing laor dengan menggunakan
seser tradisional, seperti yang dilakukan pada riset ini, hanya mampu
mendapatkan cacing laor yang muncul di permukaan air. Sedangkan bagian tubuh
cacing yang membawa kepala, tidak terambil. Berdasarkan atas penjelasan-
penjelasan tersebut, maka diduga masih ada jenis-jenis lain dari cacing laor yang
belum tereksplorasi.
NO PENGAMATAN KETERANGAN
1 Perilaku seksual cacing laor - epitoke bersifat pelagis
(in situ) - epitoke melakukan gerakan-gerakan putaran spiral
- epitoke cenderung mendekati arah cahaya
2 Perilaku seksual cacing laor - epitoke melakukan gerakan-gerakan putaran spiral
(ex situ - tanpa penambahan - epitoke mengeluarkan sel kelamin (sperma dan
formalin 10%) ovum)
- sel kelamin yang dikeluarkan membuat air sampel
menjadi berwarna kehijauan dan licin.
- setelah kurang lebih 8 jam, epitoke mulai tidak
bergerak-gerak (mati)
6 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …
100 µm
(a) (b)
100 µm
(a) (b)
Gambar 4. a=epitoke betina dengan sel-sel telur yang keluar dari tubuhnya (perbesaran
10x); b=sel telur (perbesaran 200x)
Terima kasih kepada Uci dan Ila yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini, juga kepada masyarakat Desa Latuhalat atas partisipasinya pada
saat sampling cacing laor.
DAFTAR PUSTAKA
Ager, O. 2004. Aquaculture. The Marine Life Information Network for Britain and
Ireland.
Barnes, R.D. 1987. Invertebrate Zoology. Fifth edition. Saunders College Publishing,
Orlando.
Costa, P. F. E. 1999. Reproduction and Growth in Captivity of the Polychaete Nereis
diversicolor O. F. Müller, 1776, Using Two Different Kinds of Sediment:
Preliminary assays. Bol. Inst. Esp. Oceanogr. 15 (1-4): 351-355.
Crawford, L., G. Humprey, dan D. Fudge. 2007. Invertebrate Zoology. Class: Polychaeta
(The Bristle Worm).www.Freewebs.com/invertebratezoology/classpolychaeta.htm.
Diakses pada 25 Maret 2009.
Day, J.H. 1967. A Monograph on the Polychaeta of Southern Africa. Part I: Errantia.
Trustees of the British Museum (Natural History), London.
Etienne, H. C., B. sophie., L. hélène., B. pierre. 2008. Epitoky in Nereis (neanthes)
virens (Polychaeta: Nereididae) : a story about sex and death. Comparative
biochemistry and physiology 149: 202-208.
Fauchald, K. 1977. The Polychaete Worms: Definition and keys to the orders, families
and genera. Allan Hancock Foundation, University of Southern California, Los
Angeles.
Friedländer, B. 1898. Ueber den sogenannten Palolowurm. Biol. Centralblatt 18:337–
357.
Gaston, G.R. dan Jennifer, H. 2000. Lunar Periodicity and Bioluminescence of Swarming
Odontosyllis luminosa (Polychaeta: Syllidae) in Belize. Gulf and Caribbean
Research 12: 47-51.
Glasby, C.J., Fauchald, K. dan Hutchings, P.A. 2000. Glossary. In Beesley, P.L., Ross,
G.J.B. & Glasby, C.J. (eds). Polychaetes & Allies: the Southern Synthesis. Fauna of
Australia. 4: 401–412. CSIRO, Melbourne.
Gray, J. E. 1847. An account of Palolo, a sea worm eaten in the Navigator Islands. Proc.
Zool. Soc. London 15:17–18.
Hanafiah, Z., M. Sato., H. Nakashima., dan H. Tosuji. 2006. Reproductive Swarming of
Sympatric Nereidid Polychaetes in an Estuary of the Omuta-gawa River in Kyushu,
Japan, with Special Reference to Simultaneous Swarming of Two Hediste Species.
Zoological Science 23 (2): 205-217.
Hofmann, D. K. 1974. Maturation, Epitoky and Regeneration in the Polychaete Eunice
siciliensis under Field and Laboratory Conditions. Marine Biology 25 (2): 149-161
10 Pamungkas, Pengamatan Jenis Cacing Laor (Annelida, Polychaeta) …