Anda di halaman 1dari 183

Pendidikan Anak Dengan

Hambatan Penglihatan

Penulis:
Utomo, M.Pd.
Nadya Muniroh, M.Pd.

Editor:
Dr. Mashud, S.Pd.,M.Pd.

Layout & Cover:


Ardi Maulana

Cetakan Pertama, Maret 2019


Ukuran : 14,8 x 21 cm
Jumlah hal : i-viii | 1-171

Penerbit :
Prodi. PJ JPOK FKIP ULM Press
Jl. Taruna Praja Raya Loktabat Utara Kota Banjarbaru Kal-Sel
E-Mail: pjkrjpok@ulm.ac.id

ISBN: 978-602-53601-3-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak
Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

i
ii
KATA PENGANTAR

D
engan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang,
segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui lagi
Pemberi Petunjuk serta Pertolongan. Shalawat dan
salam senantiasa kita haturkan untuk Nabi Besar Muhammad
SAW, Nabi yang ikhlas memberi kita bimbingan hingga kita dapat
keluar dari zaman kegelapan jahiliyah menuju zaman yang
terang benderang seperti sekarang ini. Berkat hidayah Allah
serta taufiknya penulis dapat menyelesaikan buku “Pendidikan
Anak dengan Hambatan Penglihatan”.
Semua orang tua pastinya menginginkan anaknya terlahir
sesuai yang diharapkan. Semua orangtua tentu mengharapkan
anaknya terlahir dalam keadaan sempurna penglihatannya dan
sempurna yang lainnya. Namun ada beberapa keinginan yang
belum dikabulkan oleh Allah STW. Beberapa orangtua
melahirkan anaknya dalam keadaan mempunyai hambatan
penglihatannya, baik tidak bisa melihat sama sekali maupun
lemah penglihatan. Ada juga beberapa anak mengalami
hambatan penglihatan sesudah dilahirkan atau dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan. Tapi bagaimana pun, mereka
adalah seorang anak yang juga tidak ingin dilahirkan sebagai
anak yang terlahir dalam keadaan mempunyai hambatan

iii
penglihatan. Kita sebagai orang tua, mau tidak mau harus
menerimanya dengan ikhlas meskipun perlu proses untuk
menerima keadaan.
Anak, dalam keadaan apapunkan tetap harus mendapatkan
perhatian, apalagi jika anak mempunyai hambatan penglihatan,
maka perlu mendapatkan perhatian yang lebih untuk optimalnya
pertumbuhan maupun perkembangannya, termasuk perhatian
dalam pendidikannya. Kita harus memahami apa yang mereka
butuhkan karena tidak semua kegiatan dapat mereka lakukan.
Kita juga harus mendidik mereka agar mereka tumbuh tidak
sebagai anak yang terpuruk sebagai dampak dari kelainannya,
melainkan seperti kebanyakan anak lainnya yang tumbuh
berbeda, meskipun pada kenyataanya berlainan. Seperti hal nya
yang diatur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : “Tiap-tiap
warga negara Indonesia berhak mendapatkan pengajaran”. Jelas
disitu tertuang bahwa tidak ada kata diskriminasi dalam proses
pembelajaran, baik mereka anak pada umumnya maupun anak
berkebutuhan khusus.
Penulis mencoba untuk mengurai siapa anak dengan
hambatan penglihatan dan bagaimana gambaran penanganan
pendidikannya. Semoga buku ini bermanaat bagi orangtua, guru-
guru, mahasiswa, maupun semua orang yang ingin mewujudkan
kepeduliannya terhadap anak-anak dengan hambatan
penglihatan.
Adalah wajar jika dalam buku ini banyak terdapat
kekeliruan, kesalahan dan kejanggalan baik dari susunan
bahasanya, tata cara penulisannya, maupun dari segi materinya
sendiri. Kesemuanya itu bukanlah perbuatan yang disengaja
namun demikianlah kemampuan yang ada pada diri penulis.
Karena penulis sebagai manusia merupakan tempatnya salah
dan khilaf, hanya Allah semata yang paling sempurna dan Maha
Memiliki Kesempurnaan.

iv
Selamat membaca. Kritik dan saran dari para pembaca
untuk perbaikan buku ini pada penerbitan berikutnya sangat
kami harapkan. Salam!

Banjarmasin, April 2019


Penulis,

Utomo | Nadya Muniroh

v
vi
DAFTAR ISI

HALAMAN REDAKSI ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI .....................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


BAB II KONSEP MELIHAT.......................................................................... 9
BAB III HAMBATAN PENGLIHATAN ................................................. 13
A. Definisi ...................................................................................................... 13
B. Faktor Penyebab ................................................................................... 15
C. Karakteristik ........................................................................................... 18
D. Gradasi ...................................................................................................... 22

BAB IV IDENTIFIKASI DAN ASESMEN HAMBTAN


PENGLIHATAN ............................................................................................. 27
A. Konsep Dasar Identifikasi ................................................................. 27
B. Ruang Lingkup Identifikasi............................................................... 31
C. Pelaksanaan Identifikasi ................................................................... 33
D. Prosedur Identifikasi........................................................................... 34
E. Indikasi Ketunanetraan...................................................................... 35
F. Konsep Asesmen ................................................................................... 39
G. Tujuan Asesmen .................................................................................... 40
H. Pengembangan Instrumen................................................................ 42

vii
I. Teknik Asesmen .................................................................................... 45
J. Pendekatan Asesmen Anak Tunanetra........................................ 49
K. Bentuk Asesmen Anak Tunanetra ................................................. 52
L. Asesmen Bagi Anak Tunanetra ....................................................... 54

BAB V GAMBARAN PSIKOLOGIS ANAK TUNANETRA


BERDASARKAN WAKTU TERJADINYA KETUNANETRAAN .. 59
A. Anak Tunanetra sejak Lahir ............................................................. 59
B. Anak Tunanetra yang Mengalami Ketunanetraan
pada Masa Perkembangan ................................................................ 60

BAB VI ALAT BANTU ANAK TUNANETRA DALAM


PEMBELAJARAN .......................................................................................... 61
A. Optimalisasi Indra dalam Proses Pembelajaran ...................... 61
B. Alat Bantu Pembelajaran ................................................................... 67
C. Pengembangan Media Belajar untuk Anak Tunanetra ...... 109
D. Pengembangan Konsep pada Anak Tunanetra ...................... 110

BAB VII BRAILLE SEBAGAI MEDIA BELAJAR


KOMPENSATORIS ANAK TUNANETRA ......................................... 129
A. Sejarah Braille......................................................................................... 129
B. Sistematika Penggunaan Huruf Braille ........................................ 139

BAB VIII ORIENTASI MOBILITAS SEBAGAI MEDIA BELAJAR


KOMPENSATORIS ANAK TUNANETRA ......................................... 147
A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas ............................................... 147
B. Teknik-Teknik Orientasi dan Mobilitas ....................................... 149

DAFAR PUSTAKA ...................................................................................... 165

viii
PENDAHULUAN

M
emiliki fungsi penglihatan yang sempurna adalah suatu
anugerah terbesar yang tidak semua orang dapat
merasakannya. Dengan memiliki fungsi penglihatan
yang sempurna kita dapat dengan mudah melangkah tanpa
harus takut hilang arah. Dengan memiliki fungsi penglihatan
yang sempurna kita dapat dengan mudah melihat dunia yang
penuh warna, bentuk juga rupa. Fungsi penglihatan yang
sempurna membuat kita belajar bisa lebih lengkap konsepnya,
sebab penglihatan memegang peranan penting di dalam
memahami sebuah konsep.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana jika kita
terlahir sebagai seseorang dengan fungsi penglihatan yang
memiliki hambatan? Tidak memiliki kesempatan untuk
tersenyum lebar ketika memandangi indahnya warna-warni
dunia ini. Sulit melangkah sebab navigasi terbaik berupa
penglihatan tidak dapat difungsikan secara utuh. Rasa-rasanya
akan selalu membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan
berbagai aktivitas. Dan perlu cara lain dalam memahami
berbagai ilmu pengetahuan. Sekian hal yang harusnya mudah
dilalui, terkadang menjadi sulit dan serba terbatas. Mungkin
seperti itulah sedikit gambaran yang dirasakan sahabat-sahabat

1
kita dengan hambatan penglihatan atau yang lebih dikenal
dengan tunanetra. Orang-orang dengan hambatan penglihatan
cukup besar jumlahnya. Menurut data dari PPLS tahun 2012,
populasi tunanetra di Indonesia diestimasikan sebesar 142.860
orang (Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes,
2014).
Stigma negatif terhadap orang-orang yang mengalami
hambatan penglihatan telah lama berlangsung. Sepanjang
sejarah, misalnya kebutaan telah digunakan sebagai istilah untuk
mengartikan bahwa sesuatu tidak dipahami, seperti "Saya buta
terhadap gagasan itu". Kebutaan juga sering untuk
menggambarkan keadaan orang lanjut usia: "tua dan buta."
Gambaran terhadap pengemis, juga sering menggunakan istilah
“pengemis buta”. Dan masih banyak lagi stigma-stigma negatif
yang “membawa” istilah yang berhubungan dengan hambatan
penglihatan. Seakan orang-orang yang mengalami hambatan
penglihatan, dikonotasikan orang yang tidak berdaya. Stigma
yang terkait dengan kehilangan penglihatan mempengaruhi cara
pandang, sikap, perlakuan yang diskriminatif. FENOMENA
DISKRIMINASI TERHADAP MEREKA YANG MENGALAMI
HAMBATAN PENGLIHATAN (DAN JUGA DISABILITAS
LAINNYA) HARUS KITA HENTIKAN. Mereka harus kita pandang
sebagaimana manusia lainnya. Hambatan penglihatan harus kita
pandang sebagai sesuatu yang wajar dan hanya sebagai sesuatu
yang berbeda saja, sebagaimana setiap orang juga mempunyai
perbedaan dengan yang lainnya. Perbedaan kita (orang yang
melihat) dengan mereka (orang yang mempunyai hamatan
penglihatan) hanyalah: “saya dapat melihat, anda tidak bisa
melihat atau lemah pengilhatan”. Memang bagi orang yang
mempunyai hambatan penglihatan memerlukan
penanganan/perlakuan khusus, akan tetapi kekhususan
penanganan terhadap mereka yang mempunyai hambatan

2
penglihatan harus kita pandang sebagai sesuatu yang wajar dan
memang sebuah kebutuhan sebagaimana orang lain juga
mempunyai kebutuhan khusus juga. MEREKA SETARA DENGAN
ORANG YANG MELIHAT (ORANG AWAS). SETARA TIDAK
HARUS SAMA.
Stigma negatif bagi orang-orang yang mempunyai
hambatan penglihatan tidak selamanya benar. Jika ada sesuatu
yang benar, maka hal tersebut sebenarnya kesalahan bagi kita
(lingkungan) yang oleh Allah diberi kelebihan “melihat.” Salah
satu kesalahan kita yaitu, kita tidak segera memberi kesempatan
yang kondusif untuk perkembangan dan kemajuan bagi orang-
orang disabilitas netra. Mereka sering tidak mendapatkan
penanganan yang semestinya. Mereka sering mendapatkan
pendidikan yang tidak tepat. Mereka sering tidak diberi
kesempatan untuk ikut bekerja bersama-sama dengan kita.
Mereka kita anggap orang yang tidak mampu. Intinya kesalahan
kita yaitu, mereka sering mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif. Sebuah keyakinan yang mendasar, bahwa jika
mereka (disabilitas netra) tersebut diperlakukan setara seperti
orang-orang lain yang melihat, maka bukan tidak mungkin
mereka akan berkembang dan akan menjadi manusia yang ikut
serta dalam proses pembangunan, memajukan negeri tercinta
ini. Keadaan disabilitas tidak menutup kemungkinan untuk bisa
setara dan bahkan bisa melebihi kapasitasnya sebagai insan
daripada kita yang non disabilitas netra. Banyak orang-orang
disabilitas netra sukses dalam kehidupanya. Ternyata
kesuksesan mereka, selain motivasi yang`tinggi dari diri, juga
banyak sentuhan yang kondusif dari lingkungan. Sentuhan
kepedulian dari orangtua, guru, masyarakat, pemerintah dan
juga dunia usaha yang memberi kesempatan dan dukungan
untuk berkemabang. Di bawah ini beberapa kisah sukses orang-
orang yang mengalami hambatan penglihatan.

3
KISAH SUKSES HELEN KELLER
Hellen Keller, selain dia buta ternyata juga
Tuli. Akan tetapi berkat sentuhan gurunya
yang bernama Annie Sullivan yang luar
biasa, maka Hellen Keller menjadi seorang
tokoh Dunia. Perempuan cantik
penyandang tunanetra sekaligus tunarungu
ini adalah seorang penulis, aktivis politik
dan pengajar asal Amerika. Ia yang lahir
pada tanggal 27 Juni 1880 di Amerika
Serikat. Pada usia 19 bulan kedua mata dan
kedua telinganya tiba-tiba tidak berfungsi selamanya. Ia seorang
buta tuli pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah seni,
berkat jasa gurunya Annie Sullivan yang berhasil mengajarkan
Helen cara berkomunikasi tanpa bahasa. Helen bahkan menjadi
pembicara terkenal di seminar-seminar internasional, dia
bahkan meraih academiy award untuk the unconquered, dalam
film biografinya. Hellen memang telah tiada, namun dia masih
hidup dalam karya-karya nyatanya dan menjadi penyemangat,
bahkan menjadi simbol kebangkitan dunia disability.
Menyandang disabilitas bukan berarti tidak berguna.

KISAH SUKSES STEVIE WONDER


Seorang penyanyi, penulis lagu,
produser rekaman, aktifis sosial ini
merupakan penyandang tunanetra
dari AS. Ia mempunyai nama asli
Steveland Judkins Hardaway. Ia
telah merekam dan menyanyikan
lebih dari 30 hit Top 10. pernah
meraih 21 Grammy Award,
penerima penghargaan Lifeme

4
Achievement Grammy Award, dan peraih piala oscar untuk
kategori lagu terbaik, lewat I Just Called its Say I Love You dari
albumnya The Woman in Red.

KISAH SUKSES MARY INGELLS


Mary Ingalls adalah seorang pelajar di
Iowa College for the Blind (sekarang Iowa
Braille and Sight) pada tahun 1881.
Upaya-upaya skolastiknya menjadi
terkenal melalui Laura Ingalls Wilder’s
Little House on the Prairie, yang
kemudian menjadi serial televisi.
Penggambaran Laura tentang penentuan saudara
perempuannya, Mary, dan keluarga mereka untuk melanjutkan
pendidikannya setelah dia kehilangan penglihatannta pada usia
14 tahun menunjukkan kepada dunia bahwa keberhasilan
seseorang yang buta dapat tercapai.

KISAH SUKSES SAHARUDIN DAMING


Beliau adalah seorang
tunanetra pertama yang lulus
kuliah S3 bidang hukum di
Universitas Hasanudin
Makasar. Keseharian Saharudin
Daming yang penyandang
Tunanetra sejak usia 10 tahun
ini adalah pernah menjadi
anggota Komnas HAM periode 2007-2012. Saharudin Daming
adalah satu-satunya anggota komnas HAM dari kalangan
disabilitas. Saharudin sekarang lebih banyak berkecimpung
dalam pekerjaan advokasi, terutama melakukan pembelaan
terhadap kaum disabilitas.

5
KISAH SUKSES DIDI TARSIDI
Ia menjadi tunanetra sejak berusia 5 tahun.
Seorang tunanetra yang meraih gelar
doktoralnya di UPI Bandung bidang
Bimbingan Kanseling ini meniti kariernya
mulai dari menjadi interpreter di Helen Keller
Internasional. Beliau kesehariannya mejadi
Dosen di UPI Bandung, khususnya di Jurusan
PLB dan Sekolah Pasca Sarjana. Aktifias beliau
lainnya diantaranya berkecimpung di Direktorat PSLB (sekarang
PK-LK Dikdas dan Dikmen), Menjadi pembicara forum-forum
ilmiah, terutama menyebarluaskan pendidikan lnkusif di tingkat
nasional maupun internasional, menjadi Ketua PERTUNI dua
periode (2004-2014). Sebagian tulisan beliau bisa anda akses di
https://d.tarsidi.blogspot.com. Tentu saja masih banyak lagi
aktifitas beliau. Beliau sukses, karena salah satu kiatnya adalah
“tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi.”
Masih banyak lagi kisah-kisah sukses orang-orang yang
mengalami hambatan penglihatan. Banyak juga digambarkan
dalam sebuah film maupun media-media lainnya. Misalnya film
tentang orang-orang dengan gangguan penglihatan dan
publisitas tentang musisi dan atlet-atlet yang mengalami
hambatan penglihatan telah membantu mengubah citra orang
dengan hambatan penglihatan. Bahkan memuculkan berbagai
teknologi asistif seperti munculnya Braille di elevator, output
suara pada komputer, dan akses ke host restoran yang membaca
menu. Hal ini sebagai bukti telah mencerminkan pengakuan
bahwa orang dengan kehilangan penglihatan adalah hanya
dengan perbedaan ketajaman visual. Perubahan semacam itu
memungkinkan kemerdekaan bagi penyandang disabilitas netra
untuk bisa beraktifitas positif di dunia sehari-hari, walaupun
tentu memerlukan adaptasi. Adpatasi inilah yang harus

6
diciptakan oleh lingkungan, termasuk munculnya berbagai
produk teknologi asistif dan sentuhan akses bagi penyandang
disabilitas netra.
Paparan beberapa kisah sukses bagi orang-orang yang
mengalami hambatan penglihatan diatas menjadi bukti bahwa
selain motivasi yang kuat pada diri tunanetra, maka kepedulian
dari lingkungan turut andil bagian dalam memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya. Bentuk kepedulian kita akan
lebih lengkap jika kita dapat memahami tentang fenomena
hambatan penglihatan. Jika kita tahu tentang mereka, Insya Allah
maka kita akan lebih tepat mewujudkan kepedulian kita agar
sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Buku ini mencoba untuk mengungkapkan tentang siapa
sebenarnya orang-orang yang mengalami hambatan penglihatan
dan bagaimana cara penanganannya khususnya yang banyak
kaitannya dengan bidang-bidang pendidikan. Semoga dengan
membaca buku ini akan sedikit banyak bisa turut serta
memahamkan masyarakat bagaimana mereka harus peduli.

7
8
KONSEP MELIHAT

M
ata manusia adalah organ yang memberi kita indera
penglihatan, yang memungkinkan kita untuk belajar
lebih banyak tentang dunia sekitarnya daripada salah
satu dari empat indra lainnya. Mata digunakan di hampir setiap
aktivitas, baik membaca, bekerja, menonton televisi, menulis
surat, atau mengendarai mobil. Mata memungkinkan kita untuk
melihat dan menginterpretasi bentuk, warna, dan dimensi objek
dengan memproses cahaya. Cahaya masuk ke mata terlebih
dahulu melalui kornea yang bening dan kemudian melalui
bukaan melingkar dalam irpallil. Kemudian cahaya disatukan
oleh lensa kristal. Cahaya berkembang melalui humoral
gelatinous vitreous fokus yang jelas pada retina, area pusat di
antaranya macula. Di retina, impuls cahaya diubah menjadi
sinyal listrik dan dikirim sepanjang saraf optik ke lobus oksipital
(posterior) otak, yang menafsirkan sinyal listrik ini sebagai
gambar visual.
Tarsidi (2011) dalam tulisannya menyampaikan bahwa
Terdapat dua mispersepsi yang saling bertentangan di kalangan
masyarakat awam tentang keadaan yang mungkin terbentuk bila
orang kehilangan indera penglihatannya. Pertama, banyak orang
percaya bahwa bila orang kehilangan penglihatannya, maka

9
hilang pulalah semua persepsinya. Kedua, mispersepsi bahwa
secara otomatis orang tunanetra akan mengembangkan indera
keenam untuk menggantikan fungsi indera penglihatan.
Mispersepsi pertama tersebut terbentuk berdasarkan
bayangan yang menakutkan tentang betapa sulitnya kehidupan
tanpa indera penglihatan. Orang mencoba menutup mata
beberapa saat seraya berjalan beberapa langkah, dan mendapati
bahwa kebutaan merupakan pengalaman yang tak ingin mereka
bayangkan.
Di pihak lain, orang juga mengamati bahwa individu
tunanetra ternyata dapat melakukan banyak hal tanpa
menggunakan indera penglihatan, sesuatu yang tidak dapat
benar-benar mereka mengerti, sehingga kemampuan itu mereka
atribusikan sebagai kemampuan yang didasarkan atas
penggunaan indera "keenam" yang tumbuh secara alami.
Yang benar adalah bahwa orang awas dapat dengan
mudah menggunakan informasi yang diperolehnya secara visual
dan mengabaikan, tidak menghargai atau tidak menyadari semua
sumber informasi lain yang ada jika data visual awal diproses
oleh otak. Orang menjadi sangat berketergantungan pada
penglihatan sebagai sumber utama atau bahkan satu-satunya
sumber informasi, dan kebanyakan orang tidak ingin
membayangkan hidup tanpanya. Tetapi sesungguhnya sumber-
sumber lain itu tersedia bagi semua orang, dan hanya apabila
sumber utama informasi itu berkurang maka sumber-sumber
lain itu menjadi lebih dihargainya dan keterampilan berdasarkan
informasi non-visual itu terasah (Brenda Houlton-Aikin, 2001).
Jadi, sesungguhnya tidak ada indera keenam sebagaimana
dipersepsikan masyarakat awam (meskipun ada indera-indera
lain di samping pancaindera - yang akan dibahas kemudian), dan
bahkan juga tidak benar bahwa indera pendengaran, perabaan,
dan penciuman orang tunanetra otomatis lebih tajam daripada

10
orang awas. Yang pasti benar adalah bahwa orang tunanetra
dapat belajar mengunakan indera-indera lain dengan cara yang
berbeda dari yang dipergunakan oleh orang awas pada
umumnya sehingga mereka dapat meningkatkan informasi yang
diperolehnya untuk dapat berfungsi secara memadai di dalam
dunia awas (the Hadley School for the Blind, 1985).

11
12
HAMBATAN PENGLIHATAN

A. Definisi
Tarsidi (2011) memaparkan data yang dikeluarkan oleh
WHO (2011) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 284 juta
orang tunanetra di seluruh dunia. Berdasarkan hasil survei
nasional tahun 1993-1996 angka kebutaan di Indonesia
mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk
masalah kebutaan di urutan pertama di Asia dan nomor dua di
dunia setelah negara-negara di Afrika Tengah sekitar Gurun
Sahara. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka kebutaan
mencapai satu persen, di India 0,7 persen, di Thailand 0,3 persen,
Jepang dan AS berkisar 0,1 sampai 03 persen. (Gsianturi, 2004)
Apakah yang dimaksud dengan tunanetra ? Menurut Persatuan
Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) Orang tunanetra adalah
mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total)
hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak
mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan
biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal
meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti
bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai
penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan
antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan
seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada

13
orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan
sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya
itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk
untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12
point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini
bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf
standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci
memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan
bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang
selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang
tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional
seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih
dikenal dengan sebutan ”Low vision”.
Anak tuna netra merupakan anak yang mengalami
kehilangan penglihatan sehingga memberikan dampak baik
secara lamgsung maupun tidak langsung bagi perkembangannya.
Dampak yang nyata dari ketunanetraan tersebut adalah
keterbatasan/kehilangan alat orientasi yang utama, kesulitan
dalam melakukan mobilitas dan kesulitan bahkan tidak mampu
membaca dan menulis huruf (bagi tunanetra yang sangat berat).
Orang awas dapat dengan mudah melakukan orientasi atu
pengenalan lingkungan, dimana dia berada, melalui
penglihatannya. Oleh karena kehilangan penglihatan maka anak
tunanetra melakukan orientasi dengan menggunakan indra
lainnya, seperti pendengaran, perabaan/perasaan, dan
penciuman. Namun, untuk dapat melakukan orientasi dengan
baik, diperlukan suatu proses melalui latihan.
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit
dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak, dari
satu tempat ke tempat lain yang diinginkan. Oleh karena itu,
kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus, agar
dapat melakukan mobilitas dengan cepat, tepat, dan aman.

14
Dampak lain dari kehilangan penglihatan ini adalah
kesulitan atau bahkan tidak mampu membaca dan menulis
hurup awas. Bagi anak tunanetra kurang lihat mungkin masih
bisa menggunakan sisa penglihatannya untuk membaca huruf
awas yang dimodifikasi dengan menggunakan kaca pembesar
atau media elektronik. Namun, bagi anak yang tergolong buta,
sisa penglihatannya tidak mungkin lagi digunakan untuk
membaca huruf awas sehingga bagi meraka digunakan huruf
Braille. Namun, untuk dapat membaca huruf Braille ini, juga
diperlukan suatu proses melalui latihan.
Adanya keterbatasan tersebut di atas,menghambat anak
tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang
awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian,
mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan.
Oleh karena memiliki berbagai hambatan maka selain
membutuhkan layanan pendidikan umum sebagaimana halnya
anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk
merehabilitasi kelainannya. Dengan layanan pendidikan
tersebut, diharapkan mereka dapat memberdayakan dirinya
sehingga bisa hidup mandiri tanpa ketergantungan pada prang
lain.

B. Faktor Penyebab
Penyebab ketunanetraan sangat bervariasi tergantung
lokasi geografis, status Sosio ekomi, dan usia. Secara umum
sebetulnya bisa dicegah dan diatasi.
Trachoma merupakan penyebab utama timbulnya
kebutaan di negara-negara berkembang. Banyak organisasi yang
berhubungan dengan kesehatan mempunyai program
pencegahan kebutaan. Mereka bekerja di perkampungan dan
daerah-daerah miskin dengan tujuan untuk memberikan

15
penyuluhan kepada masyarakat. Berikut akan dijelaskan lebih
lanjut faktor peyebab terjadinya ketunanetraan yang terdiri atas
faktor prenatal, natal dan postnatal :
1. Pre-natal (dalam kandungan)
Faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal sangat
erat kaitannya dengan adanya riwayat dari orangtuanya atau
adanya kelainan pada masa kehamilan.
a. Keturunan
Pernikahan dengan sesama tunanetra dapat
menghasilkan anak dengan kekurangan yang sama, yaitu
tunanetra. Selain dari pernikahan tunanetra, juga akan
mendapatkan anak tunanetra. Ketunanetraan akiat
faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, yaitu
penyakit pada retina yang umumnya merupakan
keturunan. Selain itu, katarak juga disebabkan oleh
faktor keturunan.
b. Pertumbuhan anak di dalam kandungan
Ketunanetraan anak yang disebabkan pertumbuhan anak
dalam kandungan biasa disebabkan oleh:
1) Ganggan pada saat ibu masih hamil;
2) Adanya penyakit menahun, seperti TBC sehingga
merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan
janin dalam kandungan;
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat
terkena rubella atau cacar air dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, telinga, jantung, dan sistem
susunan saraf pusat pada janin yang sedang
berkembang;
4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis,
trachoma, dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak
yang berhubungan dengan indra penglihatan atau
pada bola mata; dan

16
5) Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan
gangguan pada mata sehingga kehilangan fungsi
penglihatan.

2. Natal
Faktor natal merupakan masa pada saat bayi dilahirkan.
Tunanetra bisa saja terjadi pada masa ini.
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu
persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras;
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit
gonorrhoe sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi,
yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit
dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

3. Post-Natal
Faktor ini menjelaskan penyebab terjadinya
ketunanetraan ketika masa perkembangan seseorang atau
setelah masa kelahiran. Terbagi atas dua
a. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan
ketunanetraan, misalnya:
1) Xeropthalmia, yakni penyakit mata karena
kekurangan vitamin A;
2) Trachoma, yaitu penyakit mata karena virus
chilirnidezoon trachomanis;
3) Catarac, penyakit mata yang menyerang bola mata
sehingga lensa mata menjadi keru, akibatnya
terlihat dari luar mata menjadi putih;
4) Diabetik Retinopathy, yaitu gangguan pada retina
yang disebabkan oleh penyakit diabetes melitus.
Retina penuh dengan pembulu-pembulu darah dan
dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi
hingga merusak penglihatan;

17
5) Macular Degeneration, yaitu kondisi umum yang
agar baik, ketika daerah tengah retina secara
berangsur memburuk. Anak dengan retina
degenerasi masih memiliki kemampuan untuk
melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah
bidang penglihatan;
6) Retinopathy of prematurity, biasanya anak yang
mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur.
Pada saat lahir, bayi maih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan
prematur biasanya ditempatkan pada inkubator
yang berisi oksigen dengan kadar tinggi sehingga
pada saat bayi dikeluargakan dari inkubator terjadi
perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan
pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak
normal dan meninggalkan semacam bekas luka
pada jaringan mata. Peristiwa ini sering
menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina)
dan tunanetra total.
b. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya
kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam,
cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari
kendaraan, dan lain-lain.

C. Karakteristik
Bayangkan ketika seorang anak dengan penglihatan yang
normal dapat dengan mudah bergerak di lingkungannya,
menemukan mainan dan teman-teman bermainnya, serta
melihat dan meniru orang tuanya dalam aktifitas sehari-hari.
Anak-anak tunanetra kehilangan saat-saat belajar kritis
seperti itu, yang mungkin akan berdampak terhadap
perkembangan, belajar, keterampilan sosial, dan perilakunya.

18
Berikut adalah karakteristik anak tunanetra berdasarkan
aspek kognitif, akademik, sosial-emosional dan perilaku menurut
Rahardja (2007) :
1. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada
perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi.
Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low
vision terhadap perkembangan kognitif, dengan
mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak
dalam tiga area berikut ini:
 Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika
seorang anak mengalami ketunanetraan, maka
pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan
indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan
dan pendengaran. Tetapi bagaimanapun indera-indera
tersebut tidak dapat secara cepat dan menyeluruh dalam
memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan
hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan
segera melalui penglihatan.
 Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi
benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian
ke kesuluruhan, dan orang tersebut harus melakukan
kontak dengan bendanya selama dia melakukan
eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu
jauh (misalnya bintang, dan sebagainya), terlalu besar
(misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu rapuh
(misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau
membahayakan (misalnya api, dan sebagainya) untuk
diteliti dengan perabaan.
 Kemampuan untuk berpindah tempat. Penglihatan
memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa
dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai

19
keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut.
Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan
dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh
pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang
lainnya, anak tunanetra harus belajar cara
berjalandengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan
dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
 Interaksi dengan lingkungan. Jika anda berada di suatu
tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat
ruangan dimana andaberada, melihat orang-orang
disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di
lingkungan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki
kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan
mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan
masih tetap tidak utuh.

2. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap
perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada
perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam
bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda
membaca atau menulis anda tidak perlu
memperhatikansecara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi
bagi tunanetra hal tersebuttidak bisa dilakukan karena ada
gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak seperti
itu sebagai gantinya mempergunakan berbagai alternatif
media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin
mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai
alternatif ukuran.
Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak
tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan

20
kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman
lainnya yang dapat melihat.

3. Karakteristik Sosial dan Emosional


Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan
sehari-hari sekarang ini. Apakah seseorang mengajarkan
kepada anda bagaimana anda harus melihat kepada lawan
bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain,
bagaimana anda menggerakan tangan ketika akanberpisah
dengan orang lain, atau bagaimana anda melakukan ekspresi
wajah ketika melakukan komunikasi nonverbal? Dalam hal
seperti itu mungkinjawabannya tidak.
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan
melaluiobservasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial
serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui
penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan
meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena
tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui
pengamatan dan menirukan, siswa tunanetra sering
mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang
benar.
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang
berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tunanetra
harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan
sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan,
menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan
posturtubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan
ekspresi wajah dengan benar, mengekspresikan perasaan,
menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan
komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.

21
4. Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan
masalahatau penyimpangan perilaku pada diri anak,
meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada
perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang
memperhatikan kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada
kecenderungan orang lain untuk membantunya. Apabila hal
ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku pasif.
Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku
stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak
semestinya. Sebagaicontoh mereka sering menekan matanya,
membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan
kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapateori
yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang
mengembangkan perilaku stereotipnya.
Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya
rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di
dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial.
Biasanya para ahli mencoba mengurangi atau
menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka
memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan
strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan pujian atau
alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif,dan
sebagainya.

D. Gradasi
Dalam tulisannya Tarsidi (2011) menjelaskan bahwa
seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman
penglihatannya kurang dari 6/18. Ini berarti bahwa tingkat sisa
penglihatan orang tunanetra itu berkisar dari 0 (buta total)
hingga <6/18. Ini juga berarti bahwa orang yang dikategorikan
sebagai buta (blind) itu tidak hanya mereka yang buta total

22
melainkan juga mereka yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatan (<3/60) atau yang lebih sering dikenal dengan
istilah low vision.
Tunanetra sering dianggap orang yang tidak dapat melihat
alias buta total, hal ini tidak benar. 90% tunanetra masih
memiliki sisa penglihatan yang bisa dirangsang untuk dapat
digunakan meskipun hanya untuk membantu melancarkan
mobilitasnya. 60% dari yang disebut tunanetra ternyata masih
mampu menggunakan sisa penglihatannya untuk membaca dan
menulis awas, baik ia menggunakan alat Bantu penglihatan
seperti kaca mata dan alat pembesaran lainnya maupun tanpa
alat Bantu penglihatan. Dengan demikian tidak semua tunanetra
memerlukan tulisan Braille dalam pendidikannya. Orang awam
menyangka bahwa semua tunanetra itu buta tidak melihat.
Karena menyangka buta maka ia menganggap semua tunanetra
tidak bisa melihat sama sekali. Berikut adalah klasifikasi
ketajaman penglihatan menurut WHO.
No. Sisa Penglihatan Kondisi
1. 6/6 hingga 6/18 Normal vision
(penglihatan normal)
2. <6/18 hingga >3/60 (kurang Low vision (kurang
dari 6/18 tetapi lebih baik atau awas)
sama dengan 3/60)
3. <3/60 Blind (buta)

Untuk lebih lengkapnya gradasi tunanetra akan dijelaskan


sebagai berikut:
1. Totally Blind / Tunanetra Total
Seseorang dikatakan Tunantra Total jika mengalami
hambatan visual yang sangat berat atau tidak dapat melihat
sama sekali. Kadang-kadang di lingkungan sekolah juga
digunakan istilah functionally blind atau educationally blind
untuk kategori ini. Penyandang Tunanetra total
23
mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran
sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini
biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media
membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tunanetra
adalah seseorang yang karena sesuatu hal tidak dapat
menggunakan matanya sebagai saluran utama dalam
memperoleh informasi dari lingkungannya.
Dalam praktek sehari-hari terbukti bahwa Tunanetra
relatif kurang mendapatkan pelayanan yang memadai baik
mengenai koleksi-koleksi buku , format media bahan
pustaka, ataupun dari segi layanan dan komunikasi
untukmemenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan
keperluan informasi bagi para Tunanetra secara adil.
Sering kali, untuk dapat melakukan kegiatan
kehidupannya sehari-hari secara mandiri, orang tunanetra
harus menggunakan teknik alternatif, yaitu teknik yang
memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan fungsi
indera penglihatan dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari
sehingga pola kehidupan kesehariannya pun sangat berubah
dan dalam banyak hal menjadi berbeda dari orang pada
umumnya.

2. Low Vision
Istilah low vision mungkin kurang dikenal dikalangan
masyarakat. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, low
berarti rendah dan vision artinya penglihatan. Mungkin
sekedar sebatas itu saja masyarakat memahami pengertian
low vision. Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa
sebenarnya istilah low vision memang diberikan untuk
orang-orang yang mengalami keterbatasan penglihatan.

24
Jadi istilah low vision digunakan untuk membedakan
antara orang yang tidak dapat melihat (buta) dengan orang
yang mengalami gangguan penglihatan. Low vision
merupakan bagian dari kebutaan. Tetapi istilah low vision
diberikan kepada orang yang memiliki lemah daya
penglihatan namun masih dapat melihat meskipun
terbatasLow vision bisa digolongkan sebagai ketunanetraan,
tetapi tunanetra tidak dapat disebut low vision. Tidak semua
yang mengalami gangguan penglihatan dapat disebut low
vision.
Low vision adalah rusaknya fungsi penglihatan yang
tidak dapat dikembalikan seperti keadaan semula meskipun
melalui penanganan medis, seperti operasi, penggunaan obat-
obatan, dan tidak dapat dikoreksi secara refraktif dengan
kacamata ataupun lensa kontak. Tetapi Low Vision masih
mempunyai sisa penglihatan yang dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari seperti; mampu berjalan
tanpa bantuan tongkat, meskipun mengalami berbagai
hambatan dan kesulitan, misalnya saat menyeberang atau
menghentikan kendaraan umum, mereka juga dapat
membaca huruf latin dengan bantuan kaca pembesar
(magnifying glass) dan CCTV (Closed Circuit Television),
menonton TV dapat dilakukan meskipun tidak senyaman
orang awas , karena hanya dapat dilakukan dari jarak yang
sangat dekat dan aktivitas lainnnya. Meskipun terbatas, Low
Vision bukan berarti buta, tetapi tidak pula dapat dikatakan
normal dalam penglihatan.

25
26
IDENTIFIKASI DAN ASESMEN
HAMBATAN PENGLIHATAN

A. Konsep Dasar Identifikasi


1. Pengertian Identifikasi
Identifikasi merupakan kegiatan awal yang
mendahului proses asesmen. Identifikasi adalah kegiatan
mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai
proses penjaringan atau proses menemukan anak apakah
mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendeteksi
dini terhadap anak yang di duga memiliki berkebutuhan
khusus.
Identifikasi mempunyai dua konsep yaitu konsep
penyaringan (screening) dan identifikasi aktual (actual
identifikcation). Menurut Wardani (1995) dalam
Munawir Yusuf, M.Psi, identifikasi merupakan langkah
awal dan sangat penting untuk menandai munculnya
kelainan atau kesulitan.
Istilah identifkasi anak dengan kebutuhan khusus
dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang
tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk
mengetahui apakah seorang anak mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, social,
emosional /tingkah laku) dalam pertumbuhan/

27
perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya (anak-anak pada umumnya).
Mengidentifikasi masalah berarti mengidentifikasi
suatu kondisi atau hal yang dirasa kurang baik. Masalah-
masalah pada anak ini didapat dari keluhan-keluhan
orang tua dan keluarganya, keluhan guru, dan bisa
didapat dari pengalaman-pengalaman lapangan,
Identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat
(sering berhubungan/ bergaul) dengan anak, seperti
orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak
yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya,
yang sering disebut asesmen, akan di bahas dalam
pembelajaran selanjutnya.

2. Tujuan identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk
menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami
kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social,
emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam
pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya (anak-anak normal), yang
hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan
program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan
kebutuhannya.
Kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus
dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:
a. penjaringan (screening),
b. pengalihtanganan (referal),
c. klasifikasi,
d. perencanaan pembelajaran, dan
e. pemantauan kemajuan belajar.

28
Adapun penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai
berikut:
1) Penjaringan (screening)
Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai
anak-anak mana yang menunjukan gejala-gejala
tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana
yang mengalami kelainan/hambatan tertentu,
sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.
Dengan alat identifikasi ini guru, orangtua,
maupun tenaga profesional terkait, dapat
melakukan kegiatan penjaringan secara baik dan
hasilnya dapat digunakan untuk bahan
penanganan lebih lanjut.
2) Pengalihtanganan (referal),
Pengalihtanganan (referal) merupakan perujukan
anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk
membantu mengatasi masalah anak yang
bersangkutan. Berdasarkan gejala-gejala yang
ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya
dikelompokkan menjadi 2 kelompok:
Pertama, ada Anak yang perlu dirujuk ke ahli lain
(tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani
sendiri oleh guru dalam bentuk layanan
pembelajaran yang sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dikonsultasikan
keahlian lain terlebih dulu (referal) seperti
psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan
therapis, kemudian ditangani oleh guru.
3) Klasifikasi
Klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk
menentukan apakah anak yang telah dirujuk
ketenaga professional benar-benar memerlukan

29
penanganan lebih lanjut atau langsung dapat
diberi pelayanan pendidikan khusus.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tenaga
profesional ditemukan masalah yang perlu
penangan lebih lanjut (misalnya pengobatan,
terapi, latihan-latihan khusus, dan sebagainya)
maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada
orang tua siswa yang bersangkutan.
Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi terapi
sendiri, melainkan memfasilitasi dan meneruskan
kepada orang tua tentang kondisi anak yang
bersangkutan. Guru hanya memberi pelayanan
pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila
tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat
bahwa anak yang bersangkutan memerlukan
penanganan lebih lanjut, maka anak dapat
dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
4) Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan
untuk keperluan penyusunan program
pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI).
Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis
dan gradasi (tingkat kelainan) anak berkebutuhan
khusus memerlukan program pembelajaran yang
berbeda satu sama lain. Mengenai program
pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan
dibahas secara khusus dalam buku yang lain
tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusif.
5) Pemantauan kemajuan belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk
mengetahui apakah program pembelajaran khusus

30
yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam
kurun waktu tertentu anak tidak mengalami
kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu
ditinjau kembali. Beberapa hal yang perlu ditelaah
apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak,
begitu pula dengan Program Pembelajaran
Individual (PPI) serta metode pembelajaran yang
digunakan sesuai atau tidak dll.
Sebaliknya, apabila intervensi yang diberikan
menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan maka
pemberian layanan atau intervensi diteruskan dan
dikembangkan.
Dengan lima tujuan khusus di atas, indentifikasi
perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan
jika perlu dapat meminta bantuan dan atau bekerja
sama dengan tenaga professional yang dekat dengan
masalah yang dihadapi anak.

B. Ruang Lingkup Identifikasi


Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang
perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi.
Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan
orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan
layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut:
Form 1: Informasi riwayat perkembangan anak
Form 2: Informasi/ data orangtua anak/wali siswa
Form 3: Informasi profil kelainan anak (AI-ALB)
Dari ketiga informasi tersebut secara singkat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Informasi riwayat perkembangan anak
Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi
mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga

31
tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI. Informasi ini
penting sebab dengan mengetahui latar belakang
perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan
sumber penyebab problema belajar.
2. Data orang tua/wali siswa
Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya
adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa
yang bersangkutan.
Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya
mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali,
hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua,
serta tanggungan dan tanggapan orang tua/ keluarga
terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak
hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya
umur, agama, status, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan
sampingan, dan tempat tinggal.
Data mengenai tanggapan orang tua yang perlu
diungkapkan antara lain persepsi orang tua terhadap anak,
kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang
bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang
diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan.
3. Informasi mengenai profil kelainan anak
Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat
penting, tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada
siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya
kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak
langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya
problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada
berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap
penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.

32
C. Pelaksanaan Identifikasi
Setelah saudara mempelajari pengertian identifikasi
memahami tujuan identifikasi anak berkebutuhan khusus
subunit ini akan disajikan tentang sasaran identifikasi, petugas
identifikasi dan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus.
Untuk dapat melaksanakan identifikasi anak berkebutuhan
khusus akan dijelaskan terlebih dahulu untuk memahami
sasaran identifikasi, petugas dan alat identifikasi bagi anak
berkebutuhan khusus yang ada di SD/MI. Setelah mengikuti
uraian ini diharapkan saudara memiliki kompetensi untuk
melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus.
1. Sasaran Identifikasi
Sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus
adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah.
Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi
anak dengan kebutuhan khusus adalah:
1) Anak yang baru masuk sekolah baik di SLB maupun di
Sekolah penyelenggara Inklusif
2) Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah;
3) Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya
merasa anaknya tergolong anak dengan kebutuhan
khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat
tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat
belum/tidak mau menerimanya;
4) Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
karena faktor akademik.
2. Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong
anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dapat dilakukan
oleh:

33
1) Guru kelas;
2) Orang tua anak; dan/atau
3) Tenaga professional terkait

D. Prosedur Identifikasi
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan
identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak
usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka
sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan ke
masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT,
RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak
berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan
pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun
perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa
pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Menghimpun data tentang anak
Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data
kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang nampak
pada siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak
dengan kebutuhan khusus (AI ALB).
2. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan
anak-anak yang tergolong anak dengan kebutuhan khusus
(yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah
daftar nama anak yaang diindikasikan berkelainan sesuai
dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Jika
ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau
berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka
dimasukkan ke dalam daftar nama-nama anak yang

34
berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang
disediakan seperti terlampir.
Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukkan
gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan
ke dalam daftar khusus tersebut.
3. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah
Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah
dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk
mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
4. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference)
Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala
Sekolah setelah data anak dengan kebutuhan khusus
terhimpun dari seluruh kelas.
Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah
sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4)
tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan;
(5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan
memungkinkan.
Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan
dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk
mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta
penanggulangannya.
5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus
Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan
masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam
laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil
pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti
terlampir.

E. INDIKASI KETUNANETRA
Sering kali kelainan mata baru teridentifikasi ketika anak
masuk sekolah, baik itu terungkap melalui pemeriksaan

35
kesehatan rutin di sekolah atau karena adanya indikasi dalam
perilaku anak atau pencapaian akademiknya yang menyadarkan
guru tentang adanya kemungkinan kesulitan penglihatan pada
diri anak. Ada beberapa indikasi kelainan penglihatan seperti
yang di sampaikan Didi Tarsidi dalam Asesmen penglihatan
dalam http://d-tarsidi.blogspot.co.id/2008/06/ asesmen-
penglihatan .html sebagai berikut:
1. Tampilan Mata
Pada umumnya mata yang normal bening dan lurus, dan
bergerak bersama-sama dan menatap secara mantap.
 Gejala-gejala abnormalitas mencakup:
 meradang, keruh, merah atau berair;
 kelopak mata layu, bengkak atau kaku;
 sering timbilan;
 juling (mata sering tampak silang, satu mata mengarah ke
dalam
atau ke luar, pandangan kedua mata tidak tampak lurus,
terutama bila anak letih);
 gerakan mata yang tidak umum, termasuk gerakan cepat
tak sadar pada kedua mata, baik gerakan horizontal
ataupun vertikal, yang
dalam istilah medis disebut "nystagmus");
 sering mengedipkan atau menggosok-gosok mata dan
tampak tidak
 nyaman dalam cahaya terang, mata terasa "berdebu";
 cornea tampak buram.
2. Indikasi lain tentang ketunanetraan
Pengamatan terhadap perilaku umum anak dapat
memberikan bukti yang dapat menunjukkan adanya kelainan
penglihatan:
 gerakan kepala bukannya gerakan mata pada saat
membaca;

36
 jarak membaca yang terlalu dekat atau terlalu jauh;
 postur yang buruk pada saat duduk, kaku atau bungkuk
atau bergerak terus;
 menatap ke samping bila sedang berkonsentrasi pada
suatu tugas visual;
 sering mengerutkan dahi atau meringis;
 sering mengeluh pusing, sakit kepala atau merasa tidak
nyaman pada mata;
 gerakan yang kaku, menabrak benda-benda dengan
samping tubuhnya atau kakinya;
 sangat berhati-hati pada saat menuruni tangga;
 merasa gamang bila berada pada ketinggian;
 tersandung atau menabrak benda-benda;
 keseimbangan buruk; enggan turut dalam kegiatan
bermain di halaman;
 tidak menjawab pertanyaan atau suruhan kalau tidak
disebut namanya (sering dikira tidak sopan atau tidak
kooperatif);
 memalingkan kepalanya untuk menggunakan satu mata
saja atau menutupi satu matanya;
 tubuhnya tegang apabila membaca atau memandang
benda yang jauh.
3. Tanda-tanda dalam Hasil Pekerjaan Sekolah
Gejala-gejala berikut ini harus dicermati secara berhati-
hati karena beberapa di antaranya dijumpai juga pada
banyak anak yang berpenglihatan normal, tetapi gejala-gejala
ini dapat dicurigai sebagai tanda-tanda kelainan atau tidak
stabilnya penglihatan anak:
 kualitas hasil pekerjaan yang inkonsisten atau bervariasi
dalam jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikannya;
 luar biasa letih selama atau sesudah mengerjakan suatu
tugas visual;

37
 semakin buruk dalam tampilan membacanya sesudah
berlangsung lama;
 perhatiannya atau konsentrasinya tidak dapat bertahan
lama, terutama bila kegiatan didemonstrasikan di
seberang ruangan;
 sering gagal dalam melakukan kegiatan yang
membutuhkan koordinasi mata-tangan yang halus;
 ingin sangat dekat ke TV atau monitor komputer;
 sering membuat kesalahan dalam membaca dan menulis -
terbalik atau terlewati;
 mengalami kesulitan dalam membaca kata-kata yang
panjang;
 bingung dalam membaca huruf-huruf tertentu, misalnya
"cl: tertukar dengan "d", "m" tertukar dengan "n";
 menuliskan huruf-huruf dan kata-kata serta mengatur
spasinya secara tidak wajar;
 tulisan sangat kecil dan miring, kurang menghiraukan
baris-baris;
 bentuk huruf kurang tepat atau huruf-huruf dituliskan
dengan urutan yang salah;
 sulit membaca kembali tulisan sendiri;
 mengalami kesulitan menyalin dengan benar dari papan
tulis atau
 bahkan juga dari buku teks atau sumber-sumber lain;
 meningkatnya kesenjangan antara pemahaman dan skor
kecepatan
 dan ketepatan membaca bila diuji dengan tes standar
seperti the Neale Analysis of Reading Ability;
 sangat lambat dalam membaca, menggunakan jari sebagai
 penunjuk tempat dan untuk menuntun gerakan mata;
 selalu kehilangan tempat bila membaca;

38
 kesulitan mencari informasi pada suatu halaman,
misalnya bila menggunakan kamus atau menafsirkan
grafik;
 resah dan kurang berminat terhadap kegiatan yang
menuntut penglihatan dekat untuk waktu lama;
 kesulitan dalam membaca lembar kerja yang berkualitas
buruk atau dalam memproses informasi yang tidak
disajikan secara linear; Pekerjaan tertulis yang tidak
mencerminkan kemampuan lisan.
Tanpa memandang usia anak, sangat penting bahwa
setiap kecurigaan tentang adanya kelainan penglihatan
ditelaah secara seksama

F. Konsep Asesmen
Asesmen dapat dipandang sebagai upaya yang sistematis
untukmengetahui kemampuan, kesulitan, dan kebutuhan ABK
pada bidang tertentu. Data hasil asesmen dapat dijadikan
bahan dalam penyusunan program pembelajaran secara
individual. Sehubungan dengan itu, asesmen harus menjadi
kompetensi bagi seluruh guru khususnya dalam menangani
ABK.
Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan
melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan
kekuatan anak. Hasil keputusan asesmen dapat digunakan
untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak
dan sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan
pembelajaran.
Istilah asesmen dapat diartikan sebagai proses
mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan
belajar siswa sebagai dasar agar pengajaran yang diberikan
menjadi tepat dan sesuai dengan kebutuhan.

39
Istilah lain yang hampir mirip dengan asesmen ialah
evaluasi atau penilaian, tetapi istilah asesmen lebih banyak
menekankan pada penilaian sebelum mengajar, sedangkan
evaluasi mencakup kedua-duanya.
Asesmen juga dapat disamakan dengan analisis, tetapi
asesmen lebih mengarah kepada analisis yang mempersiapkan
tindakan. Seperti halnya evaluasi, asesmen juga seringkali
perlu diulang.
Asesmen ulangan bisa sama dengan asesmen yang
sudah dilakukan dan bisa juga berbeda. Dalam banyak hal,
asesmen juga bergantung pada intervensi.
Hubungan antara keduanya demikian erat sehingga
kadang-kadang sukar membicarakan asesmen tanpa
menggambarkan terlebih dahulu intervensi yang akan
digunakan. Dalam asesmen dapat menggunakantes atau
prosedur pengukuran yang baku maupun tidak baku (buatan
guru)

G. Tujuan Asesmen
Tujuan utama dilakukannya asesmen adalah untuk
memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran
bagi anak yang bersangkutan.
Moh.Amin (1995) mengemukakan bahwa tujuan
dilakukannya asesmen berkaitan erat dengan waktu
mengadakannya. Kegiatan asesmen yang dilakukan setelah
ditemukan bahwa seseorang itu ABK atau setelah kegiatan
deteksi, maka asesmen diperlukan untuk:
1. Menyaring kemampuan ABK; hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kemampuan anak dalam setiap aspek.
Misalnya: bagaimana kemampuan bahasanya, kemampuan

40
kognitifnya, kemampuan geraknya, atau kemampuan
penyesuaian dirinya.
2. Untuk keperluan pengklasifikasian, penempatan, dan
penemuan program pendidikan ABK
3. Untuk menentukan arah atau tujuan pendidikan serta
kebutuhan ABK. Tujuan pendidikan ABK pada dasarnya
sama dengan tujuan pendidikan pada umumnya. Mengingat
kemampuan dan kebutuhan mereka berbeda-beda dan
perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga perlu
dirumuskan tujuan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan tersebut.
4. Untuk mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan yang dikenal dengan IEP
(Individualized Educational Program). Dengan data yang
diperoleh sebagai hasil asesmen dapatlah diketahui
kemampuan dan ketidakmampuan ABK. Kemampuan dan
ketidak mampuan menjadi dasar untuk mengembangkan
kemampuan berikutnya. Dengan demikian program yang
dikembangkan akan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap anak.
5. Untuk menentukan strategi, lingkungan belajar, dan
evaluasi.
Pengajaran. McLoughlin & Lewis (1986) mengemukakan
bahwa sekurang-kurangnya ada lima keperluan mengapa kita
melakukan asesmen, yaitu untuk: screening (penyaringan),
referal (pengalihtanganan), perencanaan pembelajaran,
memonitor kemajuan siswa, dan evaluasi program Selanjutnya
Sunardi & Sunaryo (2006) mengemukakan bahwa secara
umum asesmen bermaksud untuk:
a. Memperoleh data yang relevan, objektif, akurat, dan
komprehensif tentang kondisi anak saat ini.

41
b. Mengetahui profil anak secara utuh, terutama
permasalahan dan hambatan belajar yang dihadapi,
potensi yang dimiliki, kebutuhan-kebutuhan khususnya,
serta daya dukung lingkungan yang dibutuhkan anak.
c. Menentukan layanan yang dibutuhkan dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya dan memonitor
kemajuannya.

H. Pengembangan Instrumen Asesmen.


Untuk dapat mengembangkan instrument asesmen ada
beberapa prosedur atau strategi yang dapat dipilih, yaitu
asesmen formal dan asesmen informal. Asesmen formal
dilakukan dengan menggunakan tes baku yang dilengkapi
dengan petunjuk pelaksanaan tes, kunci jawaban, cara
menafsirkan hasilnya dan alternative penanganan anak yang
bersangkutan.
Penyusunan asesmen formal memerlukan keahlian
tinggi, waktu yang lama, dan biaya yang besar, karena harus
didasarkan atas validitas tertentu, memerlukan perhitungan
reliabilit as, dan tiap butir soal perlu dikalibrasi untuk
mengetahui daya pembeda dan derajat kesulitannya.
Karena penyusunan instrument asesmen formal tidak
mudah, maka tidak mudah pula untuk menemukan instrumen
asesmen formal tersebut.
Karena pentingnya asesmen ini para ahli di bidang
pendidikan bagi anak tuanentra, umumnya mempercayai
bahwa asesmen informal merupakan cara yang terbaik untuk
memperoleh informasi tentang penguasaan anak.
Berbagai observasi tentang perilaku anak sehari-hari
dalam menyelesaikan tugasnya atau hasil tes bidang tertentu
yang dibuat oleh guru berdasarkan kurikulum dapat

42
menyajikan informasi yang sangat berharga sebagai landasan
pelayanan pengajaran bagi anak tunanetra.
Yusuf, M (2005) mengemukakan beberapa jenis asesmen
informal yang dapat digunakan guru, seperti: observasi,
analisis sampel kerja, inventori informal, daftar cek, skala
penilaian, wawancara, dan kuesioner.
Observasi, adalah suatu strategi pengukuran dengan
cara melakukan pengamatan langsung terhadap perilaku
siswa, misalnya keterampilan sosial, keterampilan akademik,
dan kebiasaan belajar. Adapun teknik yang dapat digunakan
berupa: event recording (catatan berdasarkan frekuensi
kejadian), duration recording (mencatat perilaku berdasarkan
lamanya kejadian), interval time sample recording (mencatat
hasil amatan berdasarkan interval waktu kejadian). Agar
pelaksanaan observasi ini efisien dan akurat, perlu
diperhatikan hal-hal berikut: 1) tentukan perilaku yang akan
diamati, 2) perilaku harus dapat diamati dan diukur, 3)
tentukan waktu dan tempat, 4) sediakan form catatan, dan 5)
cara pengukuran.
Analisis sampel kerja, merupakan jenis pengukuran
informal dengan menggunakan sample pekerjaan siswa,
misalnya hasil tes, karangan, karya seni, respon lisan. Ada
beberapa tipe analisis sample kerja, yaitu: analisis kesalahan
dari suatu tugas dan analisis respon, baik respon yang benar
maupun yang salah.
Analisa Tugas, lebih banyak digunakan untuk
pengukuran maupun perencanakan pengajaran. Analisa tugas
merupakan proses pemisahan, pengurutan, dan penguraian
sebuah komponen penting dari semua tugas. Analisa tugas
umumnya digunakan dalam bidang menolong diri sendiri.
Misalnya tugas menyetrika baju/dari tahapan-tahapan yang
dilakukan anak.

43
Infentori Informal, biasanya digunakan untuk melihat
prestasi siswa dalam bidang akademik. Meskipun demikian
dapat pula digunakan untuk mengukur aspek-aspek non
akademik, seperti kebiasaan dan perilaku social.
Inventory informal memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya lebih umum, seperti
sejauh mana kemampuan membaca siswa ? Dari pertanyaan
umum ini dijabarkan ke dalam beberapa bagian yang dapat
diuji, seperti dalam pengenalan atau pemahaman bacaan.
Daftar Cek, biasanya digunakan untuk meneliti perilaku
siswa di dalam kelas, atau patokan-patokan perkembangan.
Daftar cek dapat juga untuk mengetahui apa yang sudah
dicapai pada masa lalu, kinerja siswa di luar sekolah, kurikulum
yang sudah dicapai dan sebagainya.
Skala penilaian, memungkinkan diperolehnya informasi
tentang opini dan penilaian, bukan laporan perilaku yang
dapat diamati. Misalnya sikap terhadap suatu obyek, persepsi
anak mengenai pengasuhan orang tua, konsep diri anak dan
sebagainya.
Kuisioner, biasanya berupa instrument tertulis, sedangkan
wawancara dilakukan secara lisan. Keduanya dapat disusun
secara sistematis atau secara terbuka. Wawancara dan
kuisioner merupakan salah satu teknik asesmen yang cukup
tepat untuk menghimpun informasi seseorang termasuk
informasi masa lalu, seperti pengalaman masa kecil,
kebiasaan di rumah, sejarah perkembangan anak dan
sebagainya.
Berdasarkan beberapa strategi/teknik dalam melakukan
asesmen seperti tersebut di atas, dapat disusun suatu skala
pengukuran terhadap aspek tertentu. Selanjutnya Yusuf M.
(2005) mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria yang

44
dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan skala
pengukuran :
1. Aspek apa yang akan diukur
2. Rumuskan definisi konsep dan operasional
3. Sebutkan indiktor dari aspek yang diukur
4. Susun daftar pertanyaan
5. Pilih tehnik/strategi yang akan digunakan.

I. Teknik Asesmen
1. Skala Penilaian.
Skala penilaian merupakan alat asesmen non tes.
Disebut non tes karena tidak ada jawaban yang benar
atau salah. Kelemahan skala penilaian adalah mudah
bias. Hal ini terjadi karena penilaian yang salah. Misal:
penilaian terhadap diri seseorang yang semestinya
rendah dinilai tinggi. Akibatnya data yang dikumpulkan
kurang cocok hasilnya.
Kelebihan skala penilaian adalah lebih cepat
pelaksanaannya, mudah digunakan disbanding alat
asesmen lainnya (observasi, wawancara, test objektif)
(Dharma Adji 1986).
2. Wawancara (wawancara dengan guru pendamping atau
ternan, menghubungi pihak keluarga).
Wawancara merupakan percakapn yang bertujuan
(Endang Warsigi Ghoali, wawancara mudah
dipergunakan untuk anak-anak. Hal ini disebabkan
karena wawancara bersifat fleksibel atau luwes.
Kelebihan wawancara adalah memungkinkan melacak
jawaban atau mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Biasanya berkaitan dengan harapan, aspirasi,
kesenangan, kesedihan.

45
Wawancara terdiri dari tiga tahap yang berbeda:
Pertama untuk mengadakan pendekatan secara pribadi.
Hal ini akan menjalin hubungan yang akrab. Hubungan
ke arah terbentuknya keterbukaan dan penerimaan
tujuan-tujuan wawancara secara umum. Kedua, saatnya
pewawancara mengarahkan pembicaraan ke arah topik-
topik yang ingin ditanyakan. Ketiga, saat mengambil
kesimpulan.
Hal lain yang perlu diinga dalam melakukan
wawancara adalah proses komunikasi. Di dalam proses
komunikasi terjadi saling menerima dan merespon satu
sama lain. Dalam merespon jawaban ada dua teknik
yang dapat membantu dalam mengambil kesimpulan.
Dua teknik tersebut adalah:
a. Teknik Parafrase.
Teknik untuk menyatakan kembali jawaban yang
telah dikatakan anak. Manfaatnya untuk melihat
kebenaran jawaban. Mungkin terjadi salah dalam
mengartikan jawaban.
b. Teknik Persepsi.
Teknik ini dipergunakan untuk melihat perasaan
orang lain. Maksudnya apakah perasaan yang
dirasakan oleh pewawancara sama dengan perasaan
anak. (McLoughlin dan Lewis (1981).
3. Observasi (observasi langsung dengan tunanetra,
observasi langsung tentang gerak gerik tunanetra,
observasi tidak langsung).
Observasi merupakan teknik asesmen yang tinggi.
Observasi adalah proses pengamatan yang cermat pada
tujuan tertentu. Tujuan utama observasi adalah
mengenal siswa; menentukan penyebab masalah tingkah
laku; dan menjelaskan pada orang tua masalah tingkah

46
laku anaknya. Dua pendekatan utama dalam observasi
adalah:
a. Observasi klinis.
Observasi klinis dilakukan bagi siswa yang
mengalami hambatan fisik. Hambatan ini
mengganggu situasi belajar di kelas. Observasi
dilakukan dalam situasi bebas (istirahat di luar
ruang, atau waktu bebas di kelas). Situasi-situasi
ini sangat mendukung untuk menghasilkan catatan
rinci. Catatan tersebut berupa gerakan motorik
(gerakan yang dihasilkan tubuh), afektif (gaya atau
gerakan yang menunjukkan perasaan) dan gerakan
kognitif siswa (kegiatan siswa memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman). Teknik observasi
klinis ini sangat tepat bila guru yang
melaksanakannya. Hal ini disebabkan guru telah
mengenal siswa, dan lingkungannya. Di dalam
observasi klinis terdapat dua bagian yaitu:
1) Gambaran obyektif masalah yang dihadapi
siswa.
2) Gambaran atau penafsiran pengobservasi atau
guru terhadap masalah siswa.
Catatan observasi ini dilengkap dengan data:
1) Sketsa autobiografi (gambaran tentang diri
siswa).
2) Buku agenda proyek (catatan harian tentang
perkembangan masalah siswa).
3) Sosiogram (gambaran tentang diri siswa
terhadap lingkungan kelasnya).
b. Observasi pengukuran
Observasi pengukuran dikenal dengan sebutan
pendekatan ekologi. Prosedur pengumpulan data

47
dilakukan dengan mengamati lingkungan kelas.
Pemahaman terhadap lingkungan siswa dapat
membantu memberikan penjelasan penyebab
permasalahan. Viola E. Cardwell (1993), menyusun
checklist (daftar tentang lingkungan kelas yang
perlu diobservasi) meliputi:
1) Susunan ruang.
2) Lingkungan ruang.
3) Pemberian hadiah atau penghargaan.
4) Pelaksanaan pengajaran individual.
5) Pemilihan materi pengajaran.
6) Keadaan anak pada umumnya dikelas tersebut.
7) Kegiatan kelas selama diadakan pengamatan.
8) Ketepatan pengamatan atau kecermatan dalam
pengamatan.
4. Tes formal dan Informal.
Test adalah alat asesmen. Tes formal bila telah
baku. Tes formal dirancang untuk kelompok dan atau
perorangan. Prosedur pelaksanaan dan pemberian skor
sangat ketat. Sehingga orang yang sedang mengadakan
diagnose tidak dapat leluasa menafsirkannya.
Macam tes formal menurut Viola E. Cardwell (1993),
sebagai berikut:
a) Test intelegensi.
b) Test bakat.
c) Test ketajaman penglihatan
5. Penilaian Klinis
Penilaian klinis (clinical judgement) merupakan
penilaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan
data diagnosa. Penilaian klinis merupakan penilaian
yang benar dipahami, bukan merupakan perkiraan

48
yang sembrono (asal-asalan). Penilaian klinis
merupakan penilaian yang cocok bagi anak kecil.

J. Pendekatan Asesmen Anak Tunanetra


Menurut haryanto (2010/2011) menyatakan pendekatan
asesmen tunanetra sebagai berikut:
1. Model konstruk (konsep) atau atribut.
Model ini paling cocok untuk mencari penyebab
hambatan dalam belajar yang akan berhubungan langsung
dengan bagaimana cara belajar, pribadi seseorang akan
menentukan cara belajamya. Karena memang model
konstruk ini akan melihat langsung pada atribut seseorang
(keadaan seseorang secara psikologis).
Contoh:
Deni umur 7 tahun dengan IQ 70, duduk di kelas 1
cawu 3. Guru mengeluh bahwa Deni belum dapat membaca
padahal teman-temannya pada umumnya sudah bisa
membaca.
Bagaimana cara kita menolong guru agar Deni dapat
membaca ? Tahap ke 1 kita telah menemukan bahwa Deni
mengalami kesulitan dalam membaca.
Tahap ke 2 bagilah tahap-tahap belajar membaca
dalam beberapa katagori atau beberapa tingkatan.
Tahap ke 3 buatlah kata atau kalimat sesuai dengan
tahap-tahap belajar membaca kemudian lakukanlah
diagnosa, pada tahap mana anak mengalami kesulitan.
Tahap ke 4 kembangkan program bantuan sesuai
dengan hasil diagnosa.
2. Model Fungsional
Model fungsional sangat dipergunakan untuk
mengetahui tingkat kemampuan seseorang, karena sukses
atau tidaknya seseorang dalam melakukan tugas tergantung

49
pada tingkat kemampuannya. Maka dalam model fungsional
ini akan dipergunakan task analysis (analisa tugas).
Tahap ke 1 kita membuat identifikasi tentang
kemampuan-kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan
tugas perkembangan anak. Maka akan terlihat pada tahap
tugas apa ia mengalami hambatan.
Tahap ke 2 kita dapat mempelajari langkah-langkah
apa yang dapat diberikan secara khusus untuk mempelajari
langkah/tahap di mana anak mengalami hambatan.
Tahap ke 3 kita mencoba mengembangkan program
bantuan yang telah ditetapkan sesuai dengan hasil diagnose
pada tahap sebelumnya. Dalam pembuatan task analysis ini
harus cukup cermat karena tiap jenjang yang akan
dilakukan sangatlah berarti bagi keberhasilan latihan.
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
task analysis yaitu:
1) Janganlah membuat jenis latihan yang panjang tapi
hendaknya sepenggal demi sepenggal.
contoh: latihan berpakaian, latihan ini harus dibagi
menjadi beberapa penggal yaitu: memakai baju,
mengkancingkan baju, membuka kancing baju, dan
membuka baju.
2) Telah menguasai latihan prasyarat.
Contoh: sebelum anak bisa makan dengan sendok, maka
anak harus terlebih dahulu dapat makan menggunakan
tangan.
3) Tugas dan jenjang urutan, setiap tugas dari jenjang
urutan/langkah haruslah mendapat penilaian agar
mengetahui kesalahan-kesalahan dalam menyusun atau
melaksanakan task analysis. Karena ada beberapa
kesalahan dalam analisa, yaitu: anak selalu membuat
kesalahan yang sama dalam semua jenis tugas, karena

50
anak takut melakukan tugas maka setiap langkah yang
dikerjakan tidak dengan sepenuh hati, dalam membuat
task analysis kurang memperhatikan kondisi anak
sehingga ada sesuatu yang terlupakan, kesalahan dalam
penyusunan jenjang-jenjang dalam task analysis.
Contoh task analysis: sikat gigi.
a) Penggalan 1: Cara memasang pasta gigi pada sikat
gigi. Tangan kiri memegang kepala sikat gigi.
 Telunjuk dan ibu jari tangan kiri berada di
luar/menjepit bulu-bulu sikat gigi yang sedang
dipegang.
 Ujung tube gigi diletakkan pada ujung sikat
gigi.
 Pasta gigi ditekan sambil ditarik ke belakang
seperluanya.
b) Penggalan 2: Cara gosok gigi.
 Ambil gayung atau gelas.
 Masukkan gayung atau gelas pada air dalam bak
mandi atau isi dengan air matang.
 Pegang gayung atau gelas dengan menggunakan
tangan kiri.
 Pegang sikat gigi dengan tangan kanan.
 Kumurlah dengan air yang ada dalam gayung
atau gelas.
 Masukkan sikat gigi dalam mulut.
 Gerakkan sikat gigi turun naik, atas bawah,
sikatlah semua gigi dengan cara demikian.
 Kumurlah dengan sisa air yang ada dalam
gayung atau gelas.
 Bersihkan sikat gigi dengan air.

51
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh anak agar ia
dapat melakukan kegiatan ini adalah:
 Telah dapat membuka menutup pasta gigi.
 Telah mengetahui cara menuangkan air dalam gelas.
 Telah mengetahui cara membersihkan sikat.
 Telah mengenal keadaan kamar mandi.
3. Model Ekologi
Model ekologi paling cocok untuk membantu anak
dalam mengadakan sosialisasi dengan lingkungannya. Hal-
hal yang dibutuhkan sebagai informasi adalah keadaan
lingkungan anak, tugas-tugas yang biasanya dilakukan
lingkungan, menilai kemampuan anak dalam melaksanakan
tiap tugas, hal-hal yang tidak dapat dilakukan anak dalam
bersosialisasi.
Dalam membuat program sosialisasi ini haruslah
memperhatikan hasil dari assessment lingkungan agar
program yang direncanakan tidak gagal sehingga anak tidak
jengkel dan gurupun senang atau tidak frustasi.
4. Model Membuat Keputusan
Prinsip dalam model ini adalah mencari informasi
assesmen sebanyak mungkin sehingga dapat membuat suatu
keputusan sementara, dari keputusan ini akan diadakan
evaluasi untuk menentukan altematif pemecahan
masalahnya. Informasi assesmen dapat diperoleh dari
berbagai macam test yang berhubungan dengan keadaan
anak.

K. Bentuk Asesemen Bagi Tunanetra


Asesmen Bagi Anak Tunanetra Total
1. Identifikasi data anak meliputi:
a) Nama :
b) Tempat/tanggal lahir :

52
c) Jenis kelamin :
d) Pendidikan/kelas :
e) Alamat :
f) Penyebab kebutaan :
g) Sejak kapan mengalami kebutaan :
2. Kemampuan yang dimiliki anak:
a) Kemampuan keterampilan dasar, bagaimanakah
reaksi anak
 Anak dapat mandiri dalam mengerjakan sesuatu
tanpa perintah.
 Hanya melalui instruksi yang diucapkan guru,
anak baru dapat melakukan perintah, tanpa
instruksi anak tidak dapat melakukan apapun.
 Dengan gerakan tangan, anak baru mengerti
perintah.
Contoh: membuka kran,
 Guru memberi contoh dengan gerakan jari-
jari tangan dalam membuka kran.
 Anak menirukan cara membuka kran, setelah
guru lebih dahulu melakukannya.
 Secara fisik guru membantu anak dalam
memutar kran yaitu dengan cara menuntun
tangan anak.
b) Kemampuan dalam bidang akademik.
Kemampuan dalam bidang akademik yang meliputi
berbahasa, membaca, menulis, berhitung, sehingga
guru dapat menentukan program pengajaran yang
harus diterima anak.
c) Kemampuan dalam bekerja dan berkarya.
Kemampuan bekerja dan berkarya di sini anak dilihat
tingkat kemampuan bekerja dan potensi yang

53
dimilikinya sehingga program yang dibuat sesuai
dengan kemampuan dan potensi anak.
d) Kemampuan mengadakan sosialisasi.
Bagaimana kemampuan dalam mengadakan
sosialisasi dengan lingkungannya.
e) Kebutuhan.
Hendaknya mengadakan identifikasi kebutuhan anak
secara menyeluruh, setelah itu dapat dipisahkan
mana kebutuhan primer atau yang mendesak dan
mana kebutuhan sekunder dalam arti kebutuhan
tersebut masih dapat ditunda dan tidak
mengakibatkan kefatalan. Pemilihan kebutuhan
primer dan sekunder dapat diasumsikan, andai 2
atau 3 tahun mendatang bila kebutuhan itu belum
dilatihkan, apa yang akan terjadi pada diri anak
tersebut.
Contoh
Untuk sekolah anak membutuhkan membaca,
menulis, berhitung, memasak, berjalan mandiri,
membuat keterampilan bunga, dan lain sebagainya.
Dengan perkiraan bila 2 atau 3 tahun mendatang
kebutuhan itu tidak diberikan maka akan fatal, maka
kebutuhan primernya adalah membaca, menulis,
berhitung dan berjalan mandiri sedangkan
kebutuhan sekundemya adalah masak, membuat
keterampilan bunga.

L. Asesmen Bagi Anak Tunanetra Kurang Lihat (low vision)


Tujuan diadakan pemeriksaan awal ini adalah untuk
mengetahui tingkat ketajaman penglihatan dan untuk
menentukan tingkat fungsi daya lihat low vision. Untuk itu
langkah-langklah yang harus dilakukan adalah:

54
1. Mengukur berapa jarak antara mata anak dengan halaman
kertas atau benda yang dipegangnya.
 Kurang dari 10 cm.
 Sekitar 15 cm.
 Sekitar 20 cm.
2. Bagaimanakah cara melihatnya.
 Menggunakan kedua matanya sekaligus atau
 Hanya menggunakan satu mata sebelah kiri selanjutnya
menggunakan kedua matanya atau
 Mula-mula menggunakan mata sebelah kanan
selanjutnya menggunakan kedua matanya atau
 Hanya menggunakan mata kiri atau
 Hanya menggunakan mata kanan atau
 Menggerakkan kepalanya dalam mengamati gambar
sampai bisa menemukan titik gambar yang dimaksud.
3. Bagaimanakah dalam melihat gambar.
 Dapat sekaligus mengerti gambar yang dilihatnya atau
 Melihat bagian demi bagian secara berurut (searah
dengan jarum) baru dapat mengerti gam bar yang
dilihatnya atau
 Melihat bagian demi bagian secara sembarang (tanpa
pola arah) baru dapat dimengerti gambar apa yang
sedang dilihatnya.
4. Apa komentar atau reaksi anak saat melihat gambar.
 Member komentar
 Menggerakkan tangan, kaki atau kepala sebagai respon
terhadap apa yang dilihat.
5. Bagaimana perhatian saat melihat gambar.
 tegang
 santai
 acuh tak acuh

55
6. Bagaimanakah reaksi terhadap cahaya.
 Menghindari cahaya
 Mencari cahaya agar dapat melihat dengan jelas.
7. Penggunaan cahaya penerangan
 25W
 40W
 60W
 100W
8. Reaksi lainnya .
 Menangis
 Menaikkan alis dengan maksud untuk lebih jelas dalam
melihat
 Badan gemetar karena takut diminta untuk melihat
gambar.
 Membawa benda kemulut dengan maksud untuk
mengetahui benda yang sedang dipegang.
 Meraba-raba benda yang sedang dibawa.
 Mengubah-ubah posisi benda dari dekat ke jauh dan
sebaliknya terus menerus.
9. Penggunaan warna yang dapat dilihat.
 Warna hitam pekat pada kertas putih.
 Warna hijau pada kertas putih.
 Warna biru pada kertas putih.
 Warna merah pada kertas putih.
 Warna kuning pada kertas putih.
10. Pergunakan spidol kecil untuk membuat sebuah gambar
pada kertas.
Dari tes ini akan terlihat apakah anak masih mampu meniru
atau tidak, karena gambar akan terlihat di tengah di atas atau
di luar garis.

56
Contoh:
 tepat pada lambang yang ditentukan
 di samping kiri lam bang yang ditentukan
 di samping kanan lambang yang ditentukan
 di atas lambang yang telah ditentukan
 di bawah lambang yang telah ditentukan.

57
58
GAMBARAN PSIKOLOGI ANAK
TUNANETRA BERDASARKAN WAKTU
TERJADINYA KETUNANETRAAN

A. Anak Tunanetra Sejak Lahir


Tuna netra yang terjadi sejak lahir secara kondisional
mereka lebih dapat menerima dirinya secara wajar seperti orang
pada umumnya, mereka cenderung bahagia, tidak ada beban,
santai dan bahkan ada yang sangat energik seolah-olah tiada
beban dalam hidupnya.
Pada awalnya tuna netra secara umum merasa berbeda
dengan yang lain dan rasa berbeda ini yang berakibat
selanjutnya menjadikan mereka memiliki rasa minder, tidak
mampu dan cenderung menolak keadaan dirinya. Bila
ketunanetraan itu terjadi sejak dari lahir atau sejak kecil maka
perasaan seperti di atas kebanyakan tidak terjadi lagi. Kaum tuna
netra yang mengalami ketunanetraan sejak kecil sebelum dapat
melihat maka lebih dapat menerima keadaan dirinya secara
wajar.

59
B. Anak Tunanetra Yang Mengalami Ketunanetraan Pada
Masa Perkembangan
Mereka yang mengalami ketunanetraan setelah mereka
pernah dapat melihat, maka ada kecenderungan mereka sangat
terganggu emosionalnya. Mereka merasa bahwa dalam dirinya
ada yang kurang, merasa hidupnya tertekan, kurang dapat
menerima dirinya, menyalahkan terhadap nasibnya dan banyak
lagi efek-efek psikologis yang dideritanya. Mereka lebih meratapi
hidup sebagaimana cobaan dan tidak sedikit dari mereka yang
frustasi.
Sifat rendah diri akan berdampak pada rasa tidak percaya
pada kemampuan dirinya sendiri yang akibat selanjutnya tuna
netra akan menarik diri dari komunitas sosial secara wajar dan
berikutnya mereka akan tertekan dan sering meratapi kejadian
yang dialami sebagai suatu persoalan hidupnya yang tak
berujung.
Tekanan jiwanya ini akan berakibat mereka menjadi
pendiam, pemurung, menyalahkan diri sendiri dan juga orang
lain di sekitarnya dan sering emosinya tidak setabil. Dalam
kondisi demikian tuna netra akan semakin terpuruk beban
psikologisnya dan tidak memiliki sikap hidup yang positif.

60
ALAT BANTU ANAK TUNANETRA
DALAM PEMBELAJARAN

A. Optimalisasi Indra dalam Proses Pembelajran


Dalam proses pembelajaran anak tunanetra akan banyak
mengandalkan indra-indra lainnya beberapa diantaranya yang
paling sering digunakan adalah indra perabaan dan indra
pendengaran, tetapi pada dasarnya dalam pembelajaran akan
selalu lebih baik jika semua indra dioptimalkan. Berikut adalah
penjelasan Tarsidi (2011) terkait optimalisasi indra lainnya
untuk mengkompensasi hambatan penglihatan yang dialami oleh
tunanetra :
1. Indra Pendengaran
Cobalah bereksperimen dengan menutup mata anda
dengan blindfold selama satu hari dan tinggal di rumah
sepanjang hari. Tidak ada informasi visual yang dapat anda
peroleh, tetapi anda akan menyadari kemajuan waktu
(meskipun di rumah anda tidak terdapat jam dinding yang
berdentang dari waktu ke waktu), melalui informasi auditer
yang anda dengar dari lingkungan anda. Jika burung-burung
mulai berkicau dan bunyi lalu-lintas semakin ramai, anda
akan yakin bahwa matahari sudah terbit untuk memulai
kehidupan siang hari; dan bila suara-suara ini mereda, itu

61
tandanya malam hari mulai menjelang. Suara tukang koran
atau bunyi koran yang dilemparkannya ke beranda rumah
anda mengindikasikan koran pagi atau koran sore telah
datang untuk menandai tibanya pagi dan berlalunya sore.
Dengarkan juga kalau-kalau ada bunyi bel atau sirine
yang terdengar dari sekolah atau pabrik pada jam-jam
tertentu, atau azan dari mesjid-mesjid. Anda juga akan
menyadari langkah kaki dan celotehan anak-anak pada saat
pergi atau pulang dari sekolah, serta bunyi-bunyi lain yang
khas untuk daerah tempat tinggal anda - seperti bunyi
gerobak sampah atau pedagang keliling yang biasa lewat di
sekitar rumah anda. Suara-suara ini memang tidak akan
memberikan gambaran yang tepat tentang jam, tetapi akan
terus menyadarkan anda tentang kemajuan hari dan
meningkatkan pengetahuan umum anda tentang daerah
tempat tinggal anda.
Pengembangan keterampilan mendengarkan juga
secara bertahap akan membuat anda sadar akan pola
perilaku tetangga anda - kapan mereka berangkat kerja,
kembali ke rumah, menonton TV, dan memasak.
Diperlengkapi dengan pengetahuan ini, seorang individu
tunanetra akan tahu ke mana dan kapan dia dapat meminta
bantuan jika benar-benar memerlukannya.
Dengan dilatih, pendengaran juga akan menjadi peka
terhadap bunyi-bunyi kecil di rumah anda seperti tetesan air
dari keran yang bocor, desau komputer yang lupa tidak
dimatikan, desis kompor gas yang belum dimatikan secara
sempurna.
Dari bunyinya, anda juga dapat memperkirakan apa
yang tengah dilakukan oleh orang-orang di sekitar anda -
bunyi kaki yang sedang dimasukkan ke celana, garitan
pencukur janggut ketika seseorang sedang bercukur, bunyi

62
goresan pena saat orang sedang menulis, dan perbedaan
antara bunyi gelas dan piring atau panci yang sedang
diletakkan orang di atas meja.
Dengan melatih keterampilan pendengaran seperti ini,
tanpa menggunakan indera penglihatan anda akan dapat
menyadari apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di
sekitar anda - melalui sumber informasi bunyi yang telah ada
di sana tetapi anda tidak menyadarinya karena anda selalu
bergantung pada indera penglihatan, satu hal yang harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh individu
tunanetra karena kondisi yang memaksanya.
Di samping itu, dengan sedikit imaginasi dan
kreativitas, anda dapat memanfaatkan indera pendengaran
ini untuk memberikan informasi tentang hal-hal yang
normalnya tidak diperoleh secara auditer. Misalnya, bola
yang diberi bunyi-bunyian memungkinkan anak tunanetra
bermain bola. Dia akan dapat mengikuti arah bola dengan
telinganya. Dengan teknologi, berbagai peralatan dapat
dimodifikasi agar memberikan informasi auditer. Misalnya
komputer, jam tangan, termometer, dll. dapat diakses oleh
tunanetra setelah dibuat bersuara.
2. Indra Perabaan
Hampir sama pentingnya dengan indera pendengaran
adalah indera perabaan. Anda mungkin tidak menyadari
bahwa indera perabaan ini dapat memberikan informasi
yang biasanya anda peroleh melalui indera penglihatan.
Anda ingat bahwa dengan indera perabaan anda pasti dapat
membedakan bermacam-macam benda yang ada di dalam
saku belakang celana anda, dan untuk itu anda tidak
menggunakan indera penglihatan, bukan? Keterampilan
seperti ini dapat anda kembangkan juga untuk hal-hal lain
dalam berbagai macam situasi. Dengan meraba perbedaan

63
bentuk kemasannya atau teksturnya, anda dapat
membedakan bermacam-macam bahan makanan yang akan
anda masak. Anda pasti tidak akan mempertukarkan kecap
dengan minyak goreng, atau beras dengan kacang hijau,
misalnya.
Dengan meraba bentuk dan besarnya kancing, kerah
atau bagian-bagian lain dari pakaian anda serta
memperhatikan tekstur bahannya, anda juga dapat
menggunakan indera perabaan untuk mengenali pakaian
anda.
Jika anda sudah mengembangkan kesadaran akan
fungsi indera perabaan, anda akan mendapati bahwa banyak
informasi tentang lingkungan anda yang dapat diberikan
oleh ujung-ujung jari - informasi yang sesungguhnya selalu
ada di sana tetapi anda tidak membutuhkannya karena anda
terlalu bergantung pada indera penglihatan. Sebagaimana
dikemukakan di atas, indera perabaan tidak terbatas pada
tangan saja. Arus udara yang menerpa wajah anda dapat
menginformasikan bahwa pintu atau jendela telah dibiarkan
terbuka. Kaki anda dapat belajar mendeteksi perbedaan
antara karpet, tikar dan permukaan lantai, antara jalan aspal
dengan tanah atau rumput.
Bagi individu tunanetra, tongkat merupakan
perpanjangan fungsi indera perabaan. Tongkat tidak hanya
mendeteksi hambatan jalan, tetapi juga memberikan
informasi tentang tekstur permukaan jalan, sehingga orang
tunanetra dapat mengetahui apakah yang akan diinjaknya itu
tanah becek, rumput, semen, dll.
Daya imaginasi dan kreativitas orang telah membantu
para tunanetra mengakses berbagai peralatan yang
normalnya diakses orang secara visual. Misalnya, pembuatan
peta timbul, jam tangan Braille, kompas Braille, dsb. Di atas

64
semua itu, diciptakannya sistem tulisan Braille oleh Louis
Braille merupakan karya taktual terbesar bagi tunanetra.
3. Indra Penciuman
Indera penciuman juga harus dikembangkan. Lihatlah
betapa banyaknya bahan makanan yang dapat anda kenali
melalui indera penciuman. Misalnya, jika anda tidak dapat
membedakan antara kunyit dan jahe melalui perabaan,
kenalilah baunya. Indera penciuman juga dapat membantu
anda mengenali lingkungan anda. Bila anda memasuki pusat
perbelanjaan, anda pasti dapat membedakan aroma toko
makanan, toko pakaian, toko sepatu, toko obat, dll.
4. Indra Taktil
Mungkin anda sering menyaksikan orang tunanetra
berjalan dan, tanpa terlihat mendeteksi dengan tongkatnya,
dia belok pada saat dan tempat yang tepat, memperlambat
langkahnya tepat di depan tangga yang akan dinaiki atau
dituruninya. Anda bilang dia dapat melakukannya karena
hafal? Ya. Hafalan semacam ini disebut kinesthetic memory.
Ingatan kinestetik adalah ingatan tentang kesadaran gerak
otot yang dihasilkan oleh interaksi antara indra perabaan
(tactile), propriosepsi dan keseimbangan (yang dikontrol
oleh sistem vestibular, yang berpusat di bagian atas dari
telinga bagian dalam. Sistem ini peka terhadap percepatan,
posisi dan gerakan kepala). Ingatan kinestetik ini dimiliki
oleh semua orang, termasuk anda yang awas. Mungkin anda
pernah mengalami pemadaman listrik ketika anda sedang
makan malam, dan anda tahu pasti bahwa tidak ada
persediaan lilin di rumah. Anda terus makan tanpa salah
menyuapkan sendok ke hidung, bukan? Sistem kinestetik
anda sudah hafal rute gerakan sendok dari piring ke mulut.
Ingatan kinestetik hanya terbentuk sesudah orang

65
melakukan gerakan yang sama di daerah yang sama atau
untuk kegiatan yang sama secara berulang-ulang.
5. Sisa Indra Penglihatan
Sebagian besar orang yang dikategorikan sebagai
tunanetra masih mempunyai sisa penglihatan. Tetapi tingkat
sisa penglihatan mereka itu sangat bervariasi, begitu pula
kemampuan mereka untuk memanfaatkan sisa penglihatan
tersebut. Kondisi fisik secara keseluruhan, jenis gangguan
mata yang dialami, bentuk pengaruh cahaya terhadap mata,
dan durasi baiknya penglihatan, kesemuanya ini akan sangat
berpengaruh terhadap seberapa baik individu yang low
vision dapat menggunakan sisa penglihatannya. Seorang
individu low vision harus dapat mengamati kondisi matanya
untuk menentukan kekuatan dan kelemahannya sendiri
dalam hal-hal ini. Kebanyakan orang low vision dapat
merespon secara baik terhadap warna-warna kontras, dan
mereka harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, lantai dasar dan puncak tangga dapat dicat atau
diberi karpet dengan warna mencolok dan menandai
pinggiran anak tangga dengan isolasi pemantul cahaya agar
mereka lebih waspada. Untuk memudahkan mencarinya,
benda-benda kerja yang kecil seperti pulpen atau obeng,
mereka dapat meletakkannya pada alas dengan warna
mencolok. Cara lainnya adalah dengan memilih barang
kesukaannya dengan warna yang mudah dibedakan dari
barang-barang lain yang serupa.
Untuk mempertinggi kekontrasan dan meningkatkan
lingkungan visual pada umumnya, pertimbangkanlah pentingnya
penggunaan cahaya yang lebih terang. Kondisi mata masing-
masing individu low vision akan menentukan pengaturan
pencahayaan yang bagaimana yang paling baik bagi dirinya.
Seberapa besar kekuatan bohlam yang dipergunakan, di mana

66
lampu sebaiknya diletakkan, apakah lebih baik menggunakan
lampu neon atau lampu biasa, cara-cara pengaturan cahaya agar
tidak silau, dll., semuanya ini akan tergantung pada situasi
tempat tinggal dan kondisi penglihatan individu. Di kebanyakan
rumah, sering terlalu sedikit orang memperhatikan kondisi
pencahayaan yang memadai ini, dan penghuninya sering
menerima keadaan itu sebagaimana adanya saja tanpa
mempertimbangkan bagaimana kondisi tersebut dapat
diperbaiki. Bagi anggota keluarga yang lain, perbaikan kondisi
pencahayaan ini dapat meningkatkan kenyamanan, tetapi bagi
individu low vision lebih dari sekedar kenyamanan, melainkan
juga menentukan apakah dia dapat melaksanakan tugas atau
tidak, dan juga akan mencegah terjadinya hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatan dirinya.
Di samping gagasan-gagasan tentang penggunaan warna
kontras dan pengaturan pencahayaan lingkungan ini,
pertimbangan juga harus dilakukan untuk memodifikasi alat-alat
bantu belajar/kerja agar sisa penglihatan dapat lebih fungsional.
Misalnya, penyediaan buku-buku bertulisan besar, jenis kaca
pembesar yang tepat, penggunaan program magnifikasi untuk
memperbesar tampilan pada monitor komputer, dsb., akan
sangat membantu meningkatkan keberfungsian individu low
vision.

B. Alat Bantu Pembelajaran


1. Identifikasi Media Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra
Media merupakan bentuk jamak dari medium yang
berarti sarana atau alat komunikasi sekaligus merupakan
sumber informasi. Disebut alat komunikasi karena istilah
media merujuk pada segala sesuatu yang membawa atau
mengantar pesan dari sumber kepada penerima
(receiver). Sedangkan media dikatakan sumber informasi

67
karena isi pesan yang terkandung di dalam sarana
tersebut. Beberapa contoh dapat disebut di sini antara
lain gambar, foto, televisi, video, diagram, barang-barang
cetakan, program komputer, radio, realia, dan model.
Contoh-contoh media di atas dapat menjadi media
pembelajaran ketika benda-benda itu mengandung pesan
untuk tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran
adalah benda-benda yang berisi pesan yang digunakan
dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik
dapat digunakan untuk menyampaikan isi materi
pembelajaran yang antara lain terdiri atas buku, tape
recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide,
foto, gambar, grafik, televisi, komputer, realita, dan
model. Dengan kata lain, media adalah komponen
sumber belajar atau peralatan fisik yang mengandung
materi pembelajaran di lingkungan peserta didik yang
dapat merangsang peserta didik untuk belajar.
Berdasarkan beberapa batasan pengertian media
tersebut dapat dikemukakan bahwa media pembelajaran
adalah sarana komunikasi dalam belajar-mengajar yang
berupa perangkat keras maupun lunak yang digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien.
Ada beberapa pendapat para pakar mengenai jenis
media. Media pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu (1) media audio, (2) media visual, (3) media
audio-visual. Media audio meliputi radio, piringan hitam,
dan tape recorder. Media visual dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, media yang penampilannya perlu
diproyeksikan, termasuk dalam media ini adalah (a) slide

68
dan film bisu, (b) fil strip /loop, (c) overhead projector,
dan (d) epidiascop. Kedua, media yang penampilannya
tidak perlu diproyeksikan, diantaranya adalah: (a)
wallsheets, contohnya, peta, chart, diagram, dan poster,
(b) model, contohnya mook up, miniatur, dan maket, dan
(c) objek, contohnya spesiment (herbarium-akuarium-
insektarium). Sedangkan media audio-visual meliputi
televisi, radio vission/video, film (bicara) dan sound
slides.
Rumampunk (1992:12-13) menegaskan beberapa
manfaat media dalam pembelajaran, yaitu:
 membangkitkan rasa ingin tahu;
 membuat konsep abstrak menjadi konkrit;
 mengatasai batas-batas ruang kelas;
 mengatasi perbedaan pengalaman peserta didik;
 menyajikan informasi belajar secara konsisten;
 menyajikan peristiwa yang telah lewat;
 memusatkan perhatian;
 mengatasi objek yang kompleks;
 mengatasi penampilan objek yang terlalu cepat atau
lambat, besar atau kecil.
Sebelum memutuskan untuk menggunakan media
tertentu dalam suatu proses pembelajaran, seorang guru
perlu memahami prinsip-prinsip atau faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan dalam memilih dan menetukan
media pembelajarannya. Cukup banyak jenis dan bentuk
media yang telah dikenal saat ini, dari yang sederhana
sampai yang berteknologi tinggi, dari yang mudah hingga
susah, ada media natural sampai kepada yang harus
dirancang sendiri oleh guru bersama-sama dengan
peserta didik.

69
Prinsip pemilihan media pembelajaran yang akan
digunakan di sekolah, hendaknya memperhatikan hal
berikut ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana
(1991) :
 menentukan jenis media dengan tepat, artinya guru
harus dapat memilih media manakah yang sesuai
dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan
diajarkan;
 menentukan atau mempertimbangkan subyek dengan
tepat, artinya perlu diperhitungkan apakah
penggunaan media itu sesuai dengan tingkat
kematangan atau kemampa peserta didik;
 menyajikan media dengan tepat, artinya teknik dan
metode penggunaan media dalam pembelajaran harus
disesuiakan dengan tujuan, bahan, metode, waktu dan
sarana pendukung lainnya;
 menempatkan atau memperlihatkan media pada
waktu, tempat dan situasi yang tepat, artinya kapan
dan dalam situasi bagaimana media pembelajaran itu
digunakan, agar penggunaan media itu memiliki
pengaruh dan tujuan yang jelas.
Sedangkan faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam memilih media adalah sebagai
berikut:
 Objektivitas, artinya pemilihan media tidak
didasarkan pada kesukaan pribadi, atau sekedar
hiburan sehingga menghiraukan kegunaan dan
relevansinya dengan materi dan karakteristik peserta
didik.
 Situasi dan kondisi, pemilihan media harus
disesuaikan dengan situasi pembelajaran, artinya

70
disesuaikan dengan metode, materi, serta lingkungan
sekolah dan kelas.
 Keefektifan dan efisiensi penggunaan artinya
penggunaan media bukan semata-mata karena
melaksanakan salah satu komponen pembelajaran
tetapi apakah media itu berguna untuk memudahkan
penguasaan materi bagi peserta didik.
Media yang digunakan dalam pembelajaran
hendaknya memenuhi beberapa kriteria berikut:
 menarik perhatian peserta didik;
 membantu mempecepat pemahaman dalam proses
pembelajaran;
 memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat
verbalitis;
 mengatasi keterlibatan ruang;
 pebelajaran lebih komunikatif dan produktif;
 waktu pembelajaran bisa dikondisikan;
 menghilangkan kebosanan peserta didik dalam
belajar;
 meningkatkan motivasi peserta didik dalam
mempelajari sesuatu dan menimbulkan gairah belajar;
 meningkatkan kadar keaktifan dan keterlibatan
peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
Anak tunanetra membutuhkan dukungan sarana
dan media pembelajaran khusus, baik dalam
penyelenggaraan pendidikan di SLB maupun Sekolah
Inklusif. Sarana dan media khusus itu diperlukan agar
pelayanan pendidikan yang disediakan dapat diberikan
secara optimal untuk menghasilkan pendidikan yang
bermutu.
Tidak mudah bagi setiap sekolah untuk
menyediakan sarana dan media pembelajaran khusus

71
secara memadai. Persoalannya mungkin karena memang
pihak sekolah belum mengetahui sarana dan media yang
dibutuhkan bagi anak tunanetra, atau jika sekolah
mengetahui berbagai jenis sarana dan media khusus
yang diperlukan, tetapi tidak tahu ke mana harus
mendapatkannya. Di samping itu persoalan harga juga
menjadi salah satu kendala dalam pengadaan sarana dan
media khusus untuk pembelajaran bagi anak tunanetra.
Beberapa sekolah melalui guru yang ada dengan
kreativitasnya sendiri mencoba melakukan rekayasa
media pembelajaran dengan menggunakan bahan-bahan
yang ada di sekitarnya. Tentu saja hal ini sangat positif
dan memang seharusnya semua sekolah didorong untuk
melakukan hal yang demikian. Tetapi tidak sedikit
sekolah yang cenderung pasif tidak berusaha keras untuk
mengadakan sarana dan media pembelajaran khusus
tersebut, sehingga pendidikan dan pembelajaran yang
disediakan di sekolah terkesan asal berjalan. Tentu saja
hal ini tidak positif untuk pengembangan mutu
pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada bagian
ini dibahas berbagai sarana dan media pembelajaran
khusus yang dapat digunakan untuk kelancaran
penyelenggaraan pendidikan bagi ABK.

2. Totally Blind (Tunanetra total)


1. Komputer Berbicara
Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa
Komputer Berbicara adalah Komputer dengan
program JAWS. Komputer yang memudahkan
penyandang tunanetra mengakses informasi dari
internet maupun ketika mengetik adalah computer
yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut

72
JAWS. Cara kerja aplikasi screen reader yaitu
komputer menerangkan tampilan yang ada pada
layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari
menu program yang tersedia, sampai
menginformasikan dimana letak kursor dan
menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada
screen (membaca kata perkata maupun huruf demi
huruf).
Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan
seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun
dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat.
Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari
Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari
kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun
menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC
MBC (Mitra Netra Braille Conventer). Duxbury
merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC
berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya
adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan
awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki
kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan
berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan
metematika) tidak dapat dikonversikan langsung.

73
Komputer Bicara

2. Huruf Braille
Huruf Braille ditemukan oleh Louis Braille
(1809-1852), seorang guru berkebamgsaan Perancis
yang mengalami kebutaan pada usia 3 tahun. Braille
menemukan sistem cetakan dan tulisan khusus untuk
penderita tunanetra ini pada tahun 1824 saat masih
menjadi siswa pada Institution Nationale des Jeunes
Aveugles (National Institute for Blind Children),
Paris, Perancis.
Tulisan braille berupa huruf-huruf timbul yang
sederhana dan praktis dan metoda membaca dipakai
diseluruh dunia. Tulisan braille yang ditulis menonjol
atau timbul di atas kertas dan dibaca dengan cara
meraba secara lembut dan perlahan tulisan, terdiri
atas 6 titik atau lubang dan dijadikan 2 baris, masing-

74
masing 3 titik dari atas kebawah. Jika hanya titik
pertama dari baris pertama yang timbul, itu huruf a,
jika titik pertama dan kedua dari baris pertama yang
timbul itu huruf b. Tulisan braille terdiri dari 63
karakter, yang meliputi huruf, angka, tanda baca,
tanda ulang, huruf besar .
Pada tahun 1932, tulisan braille diakui sebagai
Standard English Braille oleh perwakilan dari
perkumpulan penyandang cacat netra seInggris Raya
dan Amerika Serikat. Untuk melengkapi dan
menyempurnakan tulisan braille, pada tahun 1065
The Nemeth Code of Braille Mathematics and
Scientific Notation memodifikasi tulisan braille yang
mewakili bermacam-macam simbol khusus yang
digunakan untuk bidang matematika dan teknik. Di
samping itu juga, masih banyak tulisan braille yang
dimodifikasi untuk penulisan notasi musik, tulisan
cepat (stenografi) dan macam-macam bahasa di
dunia. Saat ini, tulisan tangan dengan menggunakan
tulisan braille sudah dimungkinkan dengan
menggunakan alat yang bernama ”slate”. Yang terdiri
dari 2 buah lembaran baja, yang dihubungkan dengan
menggunakan sendi yang berguna untuk
memasukkan selembar kertas diantaranya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tulisan
penemuan Louis Braille sangat berperan penting
untuk membantu para penyandang cacat netra
mengatasi kendala dalam bersosialisasi dan
berkomunikasi antar sesama penyandang cacat netra
dan dengan masyarakat umum. Kendala ini dapat
teratasi karena masalah pokok penyandang cacat
netra adalah individu yang mempunyai kelainan fisik

75
(physical handicap) yang berpengaruh terhadap
fungsi sosial dan fungsi emosional, yang
termanifestasi dalam bentuk gangguan kepribadian
(sikap pasif dan sikap ragu) serta gangguan dalam
penyesuaian diri (rendah diri, kurang berani
mengenal orang lain, merasa tidak berguna). Karena
tulisan braille sudah diakui sebagai standar cetakan
dan tulisan bagi penyandang cacat netra, sehingga
para penyandang cacat netra tidak perlu takut dan
cemas untuk berkomunikasi dengan sesamanya,
karena mereka mempunyai ”tilisan” sebagai akses
yang bisa dipakai sebagai identitas diri, dimana hal
ini nantinya akan menumbuhkan keberanian mereka
untuk berkomunikasi dengan orang normal dan
melakukan tugas dan fungsinya dalam masyarakat,
tanpa terganggu oleh ketunaannya, sama dengan
orang normal.
Jane Ware (2002 : 2) menyatakan bahwa Huruf
Braille adalah kode didasarkan pada enam titik,
disusun dalam dua kolom tiga titik. Ada berbagai
jenis kode braille. variasi menggunakan ini dari enam
titik untuk mewakili semua huruf dari alfabet, angka,
tanda baca dan kelompok yang sering terjadisurat.
orang buta membaca dari kiri ke kanan di halaman
dengan sentuhan ringan, menggunakan satu atau
kedua tangan. Bantalan lembut jari-jari digunakan
untuk merasakan titik terangkat, karena ini lebih
sensitif dibandingkan dengan ujung jari. Sebagian
besar pembaca braille terlihat membaca huruf braille
oleh penglihatan. Jari sensitif dibutuhkan untuk
membaca braille. Ukuran huruf braille yang umum
digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm,

76
serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam
sel sebesar 2.5 m

Angka Braille

Huruf Braille

77
3. Digital Ascesible System (DAISY) Player
PlayerDigital Ascesible System (DAISY)Player.
DAISY Player digunakan untuk mempermudah
penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi
dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk
suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur
sedemikian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang
digunakan untuk DAISY player ini berupa compact
disk.

DAISY player

4. Buku bicara (Digital Talking Book)


Digital talking books adalah perangkat yang
memungkinkan pembaca tidak hanya bisa menikmati
suara audio yang dibacakan dari buku, namun juga
memungkinkan pengguna untuk melewati beberapa
teks untuk mencari topik atau pencarian kata
tertentu. Buku-buku dioperasikan dengan
menggunakan pemutar buku digital berbicara,
dengan serangkaian tombol kontrol yang
memungkinkan pembaca untuk manuver melalui

78
teks di dalamnya. Ini membuktikan buku bicara lebih
dari sekedar buku audio sederhana yang hanya
memungkinkan pembaca untuk berhenti, mulai, dan
mundur untuk mencari titik tertentu dalam
presentasi.
Kemampuan untuk mengatur bookmark
elektronik dapat sangat berguna, karena
memungkinkan pembaca untuk berhenti bahkan di
tengah bagian atau bab, dan mengambil di tempat
yang sama di lain waktu. Pembaca juga dapat
menggunakan fungsi untuk melewatkan sebuah
paragraf membosankan, atau melakukan pencarian
kata kunci.
Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja
yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk
compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset
bicara harus menggunakan radio tape.

Buku Bicara

79
5. Printer Braille
Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa
Printer Braille memiliki cara kerja yang mirip dengan
printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan
dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga
printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan
printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe,
yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan
400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil
cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak
dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO
NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik).

Printer Braille

80
6. Termoform
Termoform merupakan mesin pengganda (copy)
bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan
kertas khusus, yaitu braillon.

Termoform

7. Telesensory
Telesensory merupakan suatu alat yang
digunakan untuk memperbesar huruf awas agar
terbaca oleh penderita tunanetra low vision.

Telesensory

81
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pelayanan pengguna tunanetra adalah memberikan
layanan kepada penyadang tunanetra dengan
memberikan fasilitas buku secara manual yaitu buku
braille maupun teknologi seperti komputer
berbicara, buku elektronik,yang menggunakan
program jaws. Dengan adanya layanan berbasis
teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi
penyandang tunanetra untuk mengakses informasi.
8. Gambar-gambar Alat Bantu Tunanetra Lainnya
a. Globe timbul
bahan fiber, diameter 42 cm, dilengkapi garis
lintang/bujur dan keterangan-keterangan dalam
huruf braile
b. Riglet kecil
Bahan plastik, terdiri dari 4 baris 28 petak
c. Abakus
Bingkai plastik, alas karpet, tiang stainlis, terdiri
atas 13 digit
d. Tongkat lipat
Bahan aluminium galfanis vernikel panjangg
110cm
e. Jam bicara bahasa inggris dan bahasa indonesia
f. Peta indonesia
Bahan relief fiber, bingkai triplek, ukuran
40x100cm
g. Bola kaki bunyi
Bahan kulit imitasi, terdapat kerincingan
didalamnya
h. Busur derajat braille
Bahan fiber, diameter 20 cm, dilengkapi jarum
penunjuk terdapat titik-titik setiap 5 derajat dan

82
terdapat angka braille pada sudut-sudut
istimewa

Globe Timbul Tongkat Lipat Peta Timbul

Riglet Kecil Abakus

Busur Derajat Braille


Bhs Inggris Bhs Indonesia

Bola Berbunyi Gambar Timbul

83
Kegiatan

3. Low Vision (Tunanetra dengan sisa penglihatan)


Alat-alat bantu optik maupun nonoptik dapat
membantu orang dengan low vision memgoptimalkan
sisa penglihatannya dan meningkatkan kualitas hidup
penderita serta mengurangi ketergantungan kepada
orang lain.
Dalam rangka menentukan bentuk alat bantu low
vision bagi seorang anak diperlukan kerjasama antara
setidaknya seorang optometris (orang yang menguji
ketajaman pandangan mata), guru spesialis tunanetra
dan orangtua anak tersebut. Kerjasama dilakukan dalam
bentuk pertemuan konsultasi untuk mengetahui alat low
vision seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan
individu anak.
Bagi banyak anak, sebuah alat bantu low vision
dapat merupakan alat yang serba guna. Akan tetapi, bagi
kasus-kasus tertentu, alat-alat ini mungkin terbatas atau
spesifik kegunaannya, dan tidak ada pendekatan yang
standar ataupun cara pemecahan yang seragam, karena
setiap anak memiliki kebutuhan visual yang berbeda

84
(Tarsidi, 2008). Berikut ini merupakan alat bantu yang
umumnya digunakan oleh lowvision:
a. Standar Baca (Reading Stand)
Standar baca digunakan karena banyak alat
optik menuntut jarak baca yang dekat. Standar baca
dapat memenuhi tuntutan ini.

Contoh standar baca duduk (sumber:


www.livingmadeeasy.org.uk)

Contoh standar baca berdiri (sumber:


www.shop.aph.org)

85
Contoh standar baca berdiri (sumber:
www.wakefieldscearce.com)

Standar baca itu harus dilengkapi dengan alat


untuk mengubah-ubah ketinggiannya dan
kebesaran sudutnya, dan dilengkapi dengan alat
untuk menyimpan dan menahan bahan bacaan.
Ada standar baca yang dilengkapi dengan klip pada
bagian atasnya untuk menahan kertas- kertas lepas
(Tarsidi, 2008).
b. Cahaya
Alat bantu low vision yang paling efektif
adalah cahaya. Cahaya merupakan alat bantu low
vision pertama yang harus dipertimbangkan,
dibahas dan diasesmen dalam konsultasi low vision
(Tarsidi, 2008).
Jika tingkat iluminasi (pencahayaan)
lingkungan rendah, dan cahaya lampu yang ada
tidak cukup terang, maka sebaiknya dipergunakan
lampu belajar yang dapat diputar ke segala arah,
sebaiknya dengan watt yang rendah.

86
Contoh lampu belajar duduk (sumber:
www.tradekorea.com)

Contoh lampu belajar berdiri (sumber:


www.hammacher.com)

Watt yang rendah itu sangat penting untuk


kenyamanan karena panas yang dipancarkannya
minimum dibandingkan dengan yang dipancarkan
dari lampu pijar biasa (Tarsidi, 2008).

87
c. Kacamata Resep
Alat bantu low vision yang paling efektif
berikutnya adalah kaca mata yang cocok, yang
diresepkan secara tepat. Antara 10 hingga 15%
anak penyandang ketunanetraan dapat dibantu
dengan kaca mata, dan sering kali hanya inilah yang
dibutuhkannya.

Contoh kacamata resep (sumber:


www.specsaver.co.uk)

d. Magnifikasi (Magnifier)
Magnifikasi (pembesaran) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu (Tarsidi, 2008):
1) memperbesar ukuran obyek (magnifikasi
ukuran);
2) memperkecil jarak lihat ke obyek (magnifikasi
jarak relatif);
3) memperbesar sudut penglihatan (magnifikasi
sudut relatif),biasanya dilakukan dengan sistem
multi-lensa seperti teleskop.
Sering kali ketiga teknik dasar tersebut
dipergunakan sekaligus. Jika hal ini dilakukan, maka
hasil magnifikasinya akan merupakan produk
magnifikasi yang dihasilkan oleh berbagai metode.
Dalam contoh berikut ini, seorang anak tunanetra
ingin menonton televisi dan memerlukan

88
magnifikasi 2x untuk melakukannya. Untuk itu
terdapat tiga kemungkinan opsi:
1) mengganti pesawat televisi berdiameter 10 inci
dengan 20 inci;
2) memperdekat jarak duduk anak dari yang
biasanya 6 meter menjadi 3 meter;
3) memberi anak teleskop dengan
magnifikasi 2x. Jika ketiga cara di atas
dipergunakan sekaligus, maka total magnifikasi
yang diperoleh bukan 6x melainkan 8x (yaitu 2
x 2 x 2). (Tarsidi, 2008)

Macam-macam Alat Magnifikasi


Secara umum, alat-alat magnifikasi terdiri dari tiga
jenis (Tarsidi, 2008):
1) Alat magnifikasi dasar berteknologi rendah,
terdiri dari:
a) Alat magnifikasi genggam (hand magnifier)
Alat ini merupakan bentuk alat bantu low
vision yang paling sederhana dan paling
banyak dipergunakan.

Contoh alat magnifikasi genggam


(sumber: www.csvrlowvision.co.uk)

89
Tingkat magnifikasi yang dinyatakan pada
alat ini mungkin tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan anak. Ini dikarenakan, para
produsen alat magnifikasi menggunakan
formula yang berbeda- beda untuk
menghitung tingkat magnifikasi bagi
produknya.
Alat magnifikasi genggam ini dayanya
berkisar dari +4,00 D (1x) hingga +24,00 D
(6x). Dengan daya di atas ini, alat
magnifikasi itu kadang-kadang disebut
"loupe", dan dayanya dapat mencapai
+64,00 D (16x).
Model alat magnifikasi genggam ini pada
umumnya adalah berupa lensa cembung
tunggal (plano convex) atau lensa cembung
ganda (bi convex) dengan bingkai plastik
dan bertangkai.
Jarak antara mata dengan alat magnifikasi
genggam itu harus mendekati jarak fokus
alat magnifikasi itu. Misalnya, jika alat
magnifikasi itu memiliki daya +12,00 D
(3x), maka harus dipegang pada jarak 8 cm
dari mata. Jika anak itu memakai kaca mata
baca, maka dia harus belajar menjaga agar
jarak dari matanya ke alat magnifikasi itu
konstan, dan mendekatkan bahan
bacaannya ke arah matanya hingga
fokusnya tercapai (Tarsidi, 2008).
b) Alat magnifikasi berdiri (stand magnifier)
Alatmagnifikasi berdiri tersedia dari
ukuran 8,00 D (2x) hingga 80,00 D (20x),

90
baik yang bersumber cahaya maupun yang
tidak (lihat Gambar 7.4 dan 7.5). Pada jenis
yang berdaya tinggi, alat magnifikasi ini
biasanya dilengkapi dengan lampu
sehingga permukaan bahan bacaan
menjadi terang. Untuk tingkat magnifikasi
yang tinggi seperti ini, dibutuhkan banyak
cahaya, dan alat magnifikasi itu mungkin
menggunakan tenaga listrik, batrai atau
gabungan keduanya. Disarankan agar
digunakan tenaga listrik karena baterai
cepat sekali habisnya.

Contoh alat magnifikasi berdiri tanpa


lampu (sumber: www.visionaustralia.org)

91
Contoh alat magnifikasi berdiri dengan
lampu (sumber :
www.telesightmagnifiers.org)

Alat magnifikasi berdiri yang sederhana


sering merupakan alat pertama yang
ditawarkan kepada anak tunanetra. Jika
ketajaman penglihatan anak itu cukup baik,
maka alat magnifikasi dengan daya 20,00 D
biasanya cocok. Bila anak kecil diberi alat
magnifikasi berdiri seperti coil Horseshoe
magnifier, biasanya mereka meletakkannya
dengan benar di atas halaman yang akan
dibacanya, melihatnya sebentar kemudian
menyingkirkan alat itu untuk mengecek
apakah obyek yang dilihatnya melalui alat
magnifikasi tadi masih berada di
tempatnya! Pada tahap inilah intervensi
melalui latihan yang efektif diperlukan,
dengan peragaan yang memadai (Tarsidi,
2008).

92
c) Alat magnifikasi tidur (Flat Bed Magnifier)
Disebut juga brightfield magnifier, alat
magnifikasi tidur ini diletakkan di atas
kertas dan fokusnya tetap.

Contoh alat magnifikasi tidur (sumber:


www.dx.com)

Alat ini dirancang dengan lensa cembung


tunggal dan dipergunakan dengan
menempelkan bahan bacaan pada bagian
yang datar dari alat magnifikasi ini. Flat
bed magnifier tersedia dalam berbagai
diameter dari 20 mm hingga 90 mm dan
tingkat magnifikasinya berkisar dari 1,75x
hingga 2,00x, meskipun perkembangan
teknologi lensa akhir-akhir ini telah sedikit
mempertinggi tingkat magnifikasinya
hingga 2,2x.
Jika seorang anak menggunakan flat bed
magnifier antara 4 hingga 5 mm dari
permukaan lembar kerja, ini biasanya
merupakan suatu tanda bahwa dia

93
membutuhkan tingkat magnifikasi yang
lebih tinggi, atau bahwa kaca mata anak itu
perlu diperiksa lagi dan diperbaharui.

Contoh alat magnifikasi tidur dengan


layar (sumber: www.ashlowvision.com)

Alat magnifikasi ini dapat dipergunakan


dengan memakai kaca mata baca jika
efeknya dirasakan lebih baik. Kelebihan
utama dari flat bed magnifier adalah bahwa
alat magnifikasi ini lebih banyak menyerap
cahaya. Dalam hal ini, sumber cahaya yang
menyebar seperti cahaya matahari atau
cahaya lampu ruanganlebih baik, karena
cahaya langsung dari sebuah lampu sorot
cenderung menimbulkan cahaya silau
akibat pantulan dari permukaan alat ini
sehingga mengurangi kinerja visual.
Kelebihan lainnya adalah tidak adanya
distorsi optik dan hal ini akan
meningkatkan dan memelihara potensi
binokuler.

94
Kekurangannya adalah bahwa bidang
pandangnya relatif sempit dan alat ini lebih
berat daripada alat magnifikasi genggam
ataupun alat magnifikasi berdiri (Tarsidi,
2008).

d) Alat magnifikasi garis (line magnifier)


Line magnifier terbuat dari plastik optik
berbentuk silinder. lat ini diletakkan di atas
lembar kerja sejajar dengan bahan bacaan,
dan memiliki daya magnifikasi antara 6,00
D (1,5x) hingga 8.00 D (2x). Beberapa jenis
alat magnifikasi garis memiliki skala atau
garis-garis cm atau mm, dan pada
umumnya ada pegangannya pada satu
ujungnya untuk memudahkan
penggunaannya.

Berbagai contoh alat magnifikasi garis


(sumber: www.gxoptical.com dan
www.kisbysundown.com)

95
2) Alat Magnifikasi Berteknologi Menengah, terdiri
dari:
a) Alat magnifikasi dengan bingkai kacamata
Kaca mata resep pada umumnya
merupakan alat bantu low vision yang
paling bermanfaat yang akan dipergunakan
oleh seorang anak tunanetra. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, alat ini
terdiri dari lensa cembung atau positif yang
diberi bingkai kaca mata.
Alat ini akan memberi penggunanya bidang
pandang maksimum untuk tingkat
magnifikasi tertentu, dengan berat
minimum dan dengan ketebalan yang wajar
jika dibuat dengan bentuk yang tepat. Bila
tingkat magnifikasinya tinggi, maka prisma
dasarnya dimasukkan ke dalam resep
pembuatan kaca mata pembesar ini untuk
meningkatkan kemampuan konvergensi
penggunanya (Tarsidi, 2008).

Gambar 4. 13 Contoh alat magnifikasi


bingkai kacamata (sumber:
www.magnifyingaids.com dan
www.kisbysundown.com)

96
b) Alat magnifikasi teleskopik
Cara yang paling sederhana dan praktis
untuk meningkatkan ketepatan
penglihatan jauh pada anak-anak tunanetra
adalah dengan memperkecil jarak antara
mata dan obyek yang ingin dilihatnya
(Tarsidi, 2008). Dengan memperkecil jarak
pandang dengan setengahnya, besarnya
citra pada retina otomatis berlipat dua,
tetapi kualitas citranya tidak terganggu.
Permasalahan timbul jika jarak pandang
dari mata ke obyek pandang itu tidak dapat
diubah.
Dalam hal seperti ini, alat bantu low vision
teleskopik merupakan cara yang tepat
untuk meningkatkan ketepatan penglihatan
jauh itu. Teleskop ada yang dirancang
untuk fokus tertentu dan ada pula yang
dirancang untuk fokus yang dapat diubah-
ubah, dan dapat dipergunakan dengan kaca
mata ataupun tanpa kaca mata.
Terdapat dua jenis dasar teleskop, yaitu:
1. Teleskop Galilea

Contoh alat magnifikasi teleskop Galilea


(sumber: www.aliexpress.com)

97
2. Teleskop Kepleria, atau teleskop
astronomik.

Contoh alat magnifikasi teleskop Kepleria


(sumber: www.magnifyingaids.com)

Kedua jenis alat ini menggunakan lensa


obyektif, artinya lensa diposisikan sedekat
mungkin ke obyek, tetapi berbeda dalam
kekuatan lensa matanya; jenis Galilea
menggunakan lensa negatif (cekung), dan
jenis Kepleria menggunakan lensa positif
(cembung).
Yang menggunakan bingkai kaca mata
biasanya jenis Galilea dan dipergunakan
untuk membaca, sedangkan yang
digenggam mungkin dari jenis Galilea
ataupun Kepleria dan biasanya
dipergunakan untuk melihat jauh. emua
alat magnifikasi teleskopik dispesifikasikan
dalam format A x B, di mana A adalah
tingkat magnifikasi sistem itu dan B adalah
diameter (dalam milimeter) lensa
obyektifnya.

98
Selain itu, terdapat juga jenis teleskop yang
lain (Tarsidi, 2008):
 Teleskop dengan fokus yang dapat
diubah-ubah (variable focus telescope)
Alat magnifikasi jenis ini dapat diubah-
ubah jaraknya antara lensa obyektif
dan lensa matanya, sehingga kisaran
fokusnya luas. Lensa-lensanya
tersimpan dalam bingkai pelindung
dari logam sehingga terhindar dari
kerusakan oleh debu. Dengan memutar
pelindung logamnya, teleskop ini
berubah fokusnya dari jauh ke dekat.
Contoh teleskop dengan fokus yang
dapat diubah-ubah ini antara lain
adalah Eschenbach, teleskop
monokuler untuk fokus pendek, dan
teleskop monokuler Keeler 8x. Alat
magnifikasi teleskopik Keeler itu
terutama bagus karena dilapisi karet
pelindung sehingga sangat tercegah
dari kerusakan akibat benturan
(Tarsidi, 2008).

Contoh Teleskop dengan fokus yang


dapat diubah-ubah (sumber:
www.aliexpress.com)

99
Kebanyakan teleskop jenis ini adalah
teleskop genggam, tetapi yang dayanya
rendah dapat ditempelkan ke kaca
mata dengan sebuah klip. Jika anak
tunanetra mempunyai ketajaman
penglihatan yang hampir sama pada
kedua matanya, maka dua teleskop
jenis ini dapat diberi bingkai kaca mata
dan berfungsi sebagai alat magnifikasi
binokuler, juga dengan
menggabungkannya dengan kaca mata
resepnya (Tarsidi, 2008).
Teleskop dengan jarak fokus tertentu
(fix focus telescope)
Alat ini tidak dapat diubah-ubah jarak
fokusnya seperti yangdigambarkan di
atas, dan oleh karenanya hanya dapat
dipergunakan bersama-sama dengan
kaca mata jauh yang diresepkan bagi
anak yang bersangkutan. Alat
magnifikasi ini terutama dipergunakan
untuk melihat jauh (Tarsidi, 2008).

Contoh Teleskop dengan fokus tertentu


(sumber: www.aliexpress.com)

100
Teleskop dengan fokus tertentu untuk
jarak dekat juga dapat ditempelkan
pada lensa kaca mata dan
dipergunakan bersama-sama dengan
kaca mata resep. Carl Zeiss dan
Eschenbach memproduksi teleskop
jenis ini untuk berbagai jarak. Teleskop
dengan fokus tertentu untuk jarak jauh
juga dibuat dalam bentuk binokuler,
seperti jenis binokuler untuk teater
(Tarsidi, 2008).

3) Alat Magnifikasi Berteknologi Tinggi, terdiri


dari:
a) Closed circuit television
CCTV kini cenderung dipergunakan untuk
anak-anak yang menyandang
ketunanetraan yang lebih berat yang
membutuhkan tingkat magnifikasi yang
lebih tinggi daripada yang dapat diperoleh
dari alat optik.
CCTV terdiri dari sebuah kamera televisi
yang diletakkan di atas sebuah meja X Y
yang dapat dipindah-pindahkan dan
dihubungkan ke monitor tayangan video
(Tarsidi, 2008).

101
Contoh closed circuit television (sumber:
www.kcvisionperformance.com)

Penyimpan bahan bacaan itu tidak dapat


diatur ketinggiannya sehingga magnifikasi
hanya dapat diperoleh secara elektronik
atau dengan menggunakan "zoom camera".
Magnifikasi berkisar dari 2x hingga 100x.
Sebaiknya menggunakan monitor
berkualitas baik yang frekuensi
kerdipannya lebih besar dari 50 Hertz (Hz),
karena ini dapat menghilangkan kerdipan
listrik yang mengurangi ketajaman
penglihatan pada penyandang low vision.
Sistem modern dibuat dengan frekuensi
kerdipan di atas 60 Hz (Tarsidi, 2008).
CCTV tersedia dalam versi monokrom
(hitam-putih) ataupun warna. Penggunaan
CCTV warna untuk anak-anak pengidap
disfungsi macula patut dipertanyakan
karena sistem yang hitam- putih biasanya
akan memberikan hasil yang lebih baik.

102
Dua opsi yang tersedia pada CCTV
monokrom adalah menayangkan tulisan
hitam pada latar putih atau menggunakan
sistem negatif untuk menayangkan tulisan
putih pada latar hitam. Telah ditemukan
bahwa menggunakan tulisan putih pada
latar hitam lebih nyaman dan memberikan
ketajaman yang lebih baik bagi mereka
yang mengidapretinitispigmentosa
(Tarsidi, 2008).
Kelebihan dari sistem CCTV adalah
kemampuannya untuk memvariasikan
iluminasinya dan kekontrasan citra yang
dihasilkannya. Seorang anak tunanetra
sering lebih menyukai kekontrasan yang
lebih tinggi daripada yang terdapat pada
dokumen aslinya. Pengalaman telah
menunjukkan bahwa anak yang mengidap
kondisi macula degeneratif dan mereka
yang kehilangan kebeningan pada media
optiknya membutuhkan cahaya yang lebih
terang dan kekontrasan yang lebih tinggi.
Sistem CCTV yang lebih kompleks mungkin
menyediakan beberapa fitur tambahan.
Sistem ini mungkin dapat dihubungkan ke
mesin tik atau komputer. Sebuah kamera
jarak jauh mungkin juga tersedia, sehingga
papan tulis maupun bahan bacaan dapat
terbaca.
Dalam hal ini, CCTV itu perlu dilengkapi
dengan layar monitor yang dapat terbagi
sehingga tulisan jarak jauh dapat terlihat

103
pada satu sisi layar itu dan bahan bacaan
ditayangkan pada sisi lainnya. Juga
memungkinkan untuk "menutupi" bagian-
bagian tertentu dari layarnya sehingga
hanya satu baris tulisan saja yang terlihat.
Dalam mode hitam-putih, bagian layar yang
tertutupi itu tampak hitam, dan dalam
mode putih-hitam bagian yang tertutupi itu
tampil putih. Terdapat juga fasilitas untuk
menggarisbawahi teks.
Tentu saja banyak masalah yang terkait
dengan sistem CCTV dibandingkan dengan
alat-alat optik yang sederhana. CCTV lebih
mahal dan tidak mudah dibawa-bawa.
Untuk mengatasi hal yang kedua tersebut,
dalam beberapa tahun terakhir ini telah
diperkenalkan kamera genggam seperti
mouse komputer yang dapat dihubungkan
ke pesawat televisi biasa. Kisaran
magnifikasinya bervariasi, tergantung pada
besarnya layar, tetapi dengan layar datar
modern yang lebih besar, magnifikasinya
dapat mencapai 25x. Semua sistem dengan
model genggam ini kini hanya tersedia
dengan tayangan hitam- putih; akan tetapi,
sistem warna pun akan tersedia dalam
waktu dekat ini (Tarsidi, 2008).

104
Contoh closed circuit television yang lebih
canggih (sumber: www.binoculas.com)

b) Closed circuit television dengan kombinasi


alat-alat lain
Alat-alat bantu low vision lainnya dapat
dipergunakan dengan CCTV. Misalnya, alat
magnifikasi garis yang dipasang pada
kedua tepi layar monitor dapat merupakan
cara yang efektif untuk meningkatkan
magnifikasi dari CCTV. Selain itu, sebuah
alat magnifikasi genggam dapat diberi
standar yang fleksibel seperti standar
lampu baca, sehingga dengan mudah dapat
didorong ke depan layar dan ditarik
kembali jika tidak diperlukan. Satu cara
lain untuk meningkatkan magnifikasi CCTV
adalah dengan menghubungkannya ke
sistem komputer, dan untuk ihni
diperlukan perangkat lunak khusus
(Tarsidi, 2008).

105
Selain alat bantu optik di atas, ada juga
alat-alat bantu nonoptik, yaitu sebagai
berikut:
a. Typoscope: garis berlubang untuk
membantumembaca
b. Letter writter: garis berlubang untuk
membantumenulis
c. Signature guide: untuk membantu
membuat tandatangan
d. Notex: untuk menentukan nilai uang
(belum digunakan di Indonesia karena
ukuran uang kertas takberaturan)
e. Reading Stand: untuk penyaangga buku
atau media bacalain
f. Bold line book: buku bergaris tebal agar
anak mudah melihatgaris
g. Adjustable Reading Lamp: lampu
belajar yang dapat diatur intensitas
cahayanya
h. Felt Tip Pen: alat tulis dengan warna
hitam yang memiliki ukuran ketebalan
garis yang lebih besar dari ballpoin
biasa (sejenis boxi atau spidol
hitamkecil)
i. Pensil 2B atau lebih: pensil ini dianggap
memiliki tingkat kehitaman yang cukup
pekat sehingga kontras bila dituliskan
pada kertas warna putih. Misalnya
untuk keperluanmenggambar
j. Needle traider: Alat bantu untuk
memasukkan benang ke liang jarum
untukmenjahit

106
k. Large Print: Buku bertuliskan huruf
berukuranbesar
l. Talking book: Kaset,CD.

4. Modifikasi Baca-Tulis untuk Low Vision


Selain alat bantu di atas, modifikasi lain untuk media
baca-tulis anak low vision yang tergolong non optik
adalah:
a. Kertas bergaris tebal
Penggunaan kertas bergaris tebal ini adalah untuk
menunjukkan baris yang tepat untuk menulis. Agar
tulisan berada tepat di dalam baris dan tidak keluar
garis.
b. Spidol hitam
Ketika kita menulis menggunakan pulpen biasa,
tulisan akan terlihat tipis dan mungkin tidak terlihat
oleh penderita low vision. Penggunaan spidol hitam
bertujuan agar tulisan menjadi lebih tebal dan mudah
dilihat kekontrasannya ketika dituliskan di kertas
berwarna putih.
c. Pensil hitam tebal/pensil 3b
Meskipun memakai pensil, tulisan akan menjadi tebal
karena memakai pensil ini.
d. Buku-buku dengan tulisan diperbesar (large print)
Huruf dicetak dengan ukuran yang lebih besar,
biasanya di atas 14 poin. Ini bertujuan agar tulisan
menjadi lebih jelas dan dengan mudah dibaca.
e. Bingkai untuk menulis
Pemakaian bingkai bertujuan agar penulis
mengetahui batas kertas ketika mereka menulis.
f. Reading stand/penyangga buku
Pemakaian reading stand bertujuan agar buku tetap

107
berada di tempatnya. Pemakaian alat ini juga
bertujuan agar buku tepat berada di depan orang
yang ingin membaca buku tersebut.
g. Lampu meja
Penggunaan lampu meja bertujuan agar intensitas
cahaya yang kita gunakan ketika membaca dapat
diatur
h. Typoscope reading guide
Dengan menggunakan typoskop kita dapat
mengarahkan kepada huruf yang ingin dibaca.
i. Kode warna-warna terang dan kontras
Kode warna digunakan pada tempat-tempat seperti
anak tangga untuk memudahkan penyandang low
vision ketika melangkah, tulisan pada kemasan agar
terlihat lebih jelas.
j. Topi
Pemakaian topi ini bertujuan agar cahaya matahaari
yang masuk tidak berlebihan dan membuat penderita
low vision menjadi silau.
Alat bantu nonoptik (non-optic devices) yang dapat
digunakan oleh siswa low vision dalam kegiatan
membaca antara lain:
 Typoscope untuk mengarahkan huruf
 Reading stand untuk penyangga buku
 Adjustable reading lamp yaitu lampu belajar yang
dapat diatur intensitas cahayanya
 Large print berupa buku yang menggunakan tulisan
huruf awas besar- besar dengan menggunakan huruf
di atas 14 point.

108
C. Pengembangan Media Belajar untuk Tunanetra
Tunanetra membutukan prinsip pembelajaran yang
mampu mengakomodasi hambatan penglihatan yang mereka
alami. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah
bagaimana media belajar dapat lebih disesuaikan ukurannya
sehingga anak tunanetra dapat memanfaatkan indra lain selain
penglihatan misalnya yang banyak digunakan dalam hal ini
adalah indra peraba untuk mengenali dan memahami media
belajar tersebut. Media belajar yang dimaksud adalah media
belajar semi kongkrit untuk memahami konsep tertentu. Media
belajar semi kongkrit digunakan dan dikembangkan jika benda
asli tidak bisa dihadirkan. Media semi kongkrit yang banyak
digunakan adalah replika, mialnya replika alat transportasi,
replika sayur-sayuran dan lain sebagainya. Replika digunakan
dengan prinsip-prinsip berikut :
a) Samaatur
Samaatur merupakan alat peraga replika yang ukurannya
sama atau hampir sama dengan benda aslinya. Analisis
replika yang samaatur yaitu jika alat peraga memenuhi daya
jangkau anggota tubuh, terutama tangan. Jika ukurannya
tidak terjangkau dan memerlukan lebih banyak gerak maka
dikawatirkan akan memecah konsep memadukan/utuh.
Misalnya replika kelinci, kambing, ayam dsb.
b) Miniatur
Miniatur merupaka alat peraga berupa replika yang
ukurannya diperkecil dari benda aslinya. Alasan pengecilan
bertujuan untuk menyatukan konsep. Jika memakai alat
peraga aslinya yang cukup besar, maka anak akan kehilangan
konsep yang utuh/konsep memadukan. Misalnya miniatur
rumah.

109
c) Besaratur
Besaratur merupakan sebuah replika yang ukurannya
diperbesar dari benda aslinya.
Alasan pembesaran karena jika menggunakan alat peraga
yang ukurannya sama dengan aslinya, maka indera perabaan
tidak mampu untuk mengakses. Misalnya alat peraga
binatang serangga kecil (semut, rayap, dll)

D. Pengembangan Konsep Pada Tunanetra


1. Pengembangan Konsep pada Anak Tunanetra
a. Pengembangan Konsep
Pengembangan konsep adalah proses
penggunaan informasi sensoris (sensory information)
untuk membentuk suatu gambaran ruang (space) dan
lingkungan (Juang Sunanto, 2003). Dalam hal ini
konsep dapat disamakan dengan kognitif dalam teori
perkembangan kognitif Piaget. Menurut Piaget
kemampuan kognitif akan berkembang jika anak
berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep tentang
ruang (spasial) akan berkembang tergantung
terutama pada indera penglihatan. Oleh karena itu,
keterbatasan luas dan variasi pengalaman akibat
ketunanetraan perlu dikompensasi melalui program
pengembangan konsep.
Menurut Piaget pengembangan kognitif
memiliki beberapa tahap secara hierarki, yaitu mulai
tahap sensori motor, preoperational, concrete
operation (operasi konkrit), dan formal operation
(operasi formal). Karena tidak memiliki indera
penglihatan (visual), tunanetra mengalami kesulitan
untuk mencapai tahap konkrit dalam memahami
konsep tertentu bahkan ada beberapa konsep yang

110
tidak mungkin dipahami oleh tunanetra seperti
misalnya warna, bulan, bintang, matahari dan
sebagainya.
Konsep tentang jarak atau ruang yang secara
ideal dapat dipahami melalui indera penglihatan,
tunanetra harus memahaminya melalui haptic atau
kinesthetic. Konsep tentang ruang atau jarak ini
sangat berguna untuk mengetahui atau mengenali
hubungan antar obyek. Misalnya benda B terletak
lebih jauh di samping kanan benda A, sementara
benda C terletak lebih dekat dengan A dibandingkan
dengan B. Untuk mengenal konsep seperti ini
tunanetra tidak menggunakan indera penglihatan
dan memerlukan teknik khusus.
Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak
konsep yang perlu dipahami oleh manusia tak
terkecuali tunanetra. Meskipun tunanetra tidak dapat
memahami semua konsep yang dapat dipahami oleh
orang awas sekurang-kurangnya mereka perlu
mengenal beberapa istilah yang digunakan untuk
menggambarkan konsep tersebut misalnya nama-
nama warna, matahari, bulan, bintang dan lain-lain.
Pengenalan istilah ini diperlukan untuk memenuhi
sebagai alat komunikasi dengan orang awas.
Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-
jenis konsep terutama yang diperlukan untuk
keterampilan orientasi dan mobilitas menjadi tiga
kategori besar yaitu (1) konsep tubuh (body
concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts), dan
konsep lingkungan (environmental concepts).
Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk
mengenal konsep tubuh mencakup kemampuan

111
untuk mengidentifikasi atau mengenali nama bagian-
bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan,
hubungannya dengan bagian tubuh yang lain, dan
fungsi bagian-bagian tubuh tersebut. Pengenalan
tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk
mengembangkan konsep ruang dan sebagai dasar
untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan
yang diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik.
Konsep ruang (spatial concepts) mencakup
posisi (positional) atau hubungan (relational), bentuk
dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang
posisi/hubungan melikputi depan, belakang, atas
(top), bottom (dasar), kiri, kanan, antara, paralel dan
sebagainya. Yang termasuk konsep bentuk meliputi
bulat, lingkaran, persegi panjang, segi tiga dan
sebagainya. Sedangkan yang termasuk konsep
ukuran meliputi jarak, jumlah, berat, volume,
panjang, dan sebagainya. Konsep ukuran dapat
berupa satuan. seperti: kg, cm, m2 dan lain- lain.
Selain itu juga berupa ukuran relatif seperti kecil,
besar, berat, ringan, sempit, jauh dan lain-lain.
b. Ciri Penguasaan Konsep
Suatu konsep akan bermakna bila ia fungsional
alias terasa manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari
seseorang, termasuk untuk seorang anak dengan
hambatan penglihatan. Menurut Irham Hosni dalam
“Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas,” bukti yang
tampak ketika seorang anak telah mampu
memanfaatkan konsep yang dimilikinya yaitu apabila
ia dapat:
 Mengenal (Identifying) yaitu kemampuan untuk
mengetahui dan mengenal suatu obyek atau

112
benda.
 Menjelaskan (Describing) yaitu kemampuan
untuk mengungkapkan ciri utama dari suatu
obyek.
 Melabel (Labeling) yaitu kemampuan memberi
nama pada suatu obyek yang bisa menjelaskan
isi, keadaan, apa yang dimilikinya, siapa yang
memilikinya, dan sebagainya.
 Mengelompokkan (Grouping) yaitu kemampuan
menyatukan kelompok orang atau benda
berdasarkan klasifikasi yang sama atau
mendekati.
 Memilih (Sorting) yaitu kemampuan memilah
dan meletakkan orang atau benda yang
kualitasnya sama.
 Menyusun (Ordering) yaitu kemampuan
menyusun berdasarkan urutan yang sistematis.
 Menyalin (copying) yaitu kemampuan meniru
sesuatu.
 Membuat pola (Paterning) yaitu kemampuan
membuat model, contoh atau petunjuk untuk
ditiru.
 Membedakan (Contrasting) yaitu kemampuan
memperlihatkan perbedaan dari sesuatu.
Seorang anak harus memiliki berbagai
kemampuan di atas agar ia dapat dengan mudah
menghubungkan konsep dengan
lingkungandisekitarnya. Misalnya mengenai konsep
bentuk. Ia harus dapat mengenal bentuk tersebut,
menjelaskan dan memberi nama pada bentuk
tersebut.

113
Setelah itu ia harus mampu mengelompokkan
berbagai bentuk sesuai kategorinya, memilih bentuk
dengan kualitas yang sama, dan menyusun bentuk
suatu obyek menjadi teratur atau sistematis. Selain
itu ia dapat meniru bentuk dari aslinya, membuat
pola/model/contoh dari berbagai bentuk, dan
menemukan perbedaan dari suatu bentuk yang sama
(misalnya ukuran yang berbeda).

mygiftedchild.com

Proses Pengembangan Konsep pada Anak


Tunanetra Pengembangan konsep merujuk kepada

114
pemahaman dasar yang diperlukan untuk memahami
dunia seseorang. Hal ini termasuk ide atau gagasan
tentang diri dan orang lain, benda-benda, serta
lingkungan. Pemahaman dasar ini krusial
untuk melakukan komunikasi, bepergian, dan
kemandirian. Ketika anak-anak tipikal— dalam hal
ini anak-anak awas—umumnya
mengembangkan pemahaman mengenai
konsep dasar dengan belajar secara
insidental, anak-anak dengan hambatan penglihatan
seringkali harus secara formal diajarkan mengenai
konsep-konsep tersebut berulang- ulang (Barbara &
Barbara, 2010).
Fungsi mata dalam menangkap informasi dari
lingkungan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh
indera lainnnya. Pengamatan indera- indera selain
mata tidak sekonkrit dan sedetail hasil pengamatan
dari indera penglihatan kita. Oleh karena itu,
seseorang dengan hambatan penglihatan
memerlukan waktu yang lebih lama daripada orang
tipikal (orang awas) dalam memahami suatu obyek.
Orang tanpa hambatan penglihatan ketika
mengamati suatu obyek, ia dapat melakukannya dari
jarak jauh dan mendapat informasi utuh mengenai
berbagai aspek dari benda tersebut. Namun tidak
demikian halnya dengan orang yang mengalami
hambatan penglihatan. Ketika hendak memperoleh
informasi mengenai suatu obyek, orang dengan
hambatan penglihatan harus secara langsung
melakukan kontak dengan obyek tersebut. Obyek
yang memiliki ukuran lebih besar dari genggaman
tangannya, tidak dapat dipelajari atau diamati

115
sekaligus. Ia harus melakukannya bagian per bagian
hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Ini berbeda
dengan orang awas yang mengamati obyek dari
keseluruhan yang utuh, lalu menuju ke bagian-bagian
yang lebih kecil untuk mengetahui detailnya.
Menyatukan bagian-bagian kecil menjadi satu
kesatuan utuh bukanlah hal yang gampang. Hal ini
menuntut kemampuan untuk mengingat sesuatu
yang abstrak dan kemudian menggabungkannya.
Memasuki tahap abstrak dalam mempelajari dan
memahami suatu obyek merupakan hal yang sulit
bagi seseorang yang tidak dapat menggunakan
matanya sebagai saluran utama informasi (Hosni,
halaman 173).
Seseorang dianggap telah memiliki konsep yang
utuh mengenai suatu obyek bila ia memiliki dan
mampu memasuki tiga tahap pembentukan konsep,
yaitu:
1) Tahap konkrit, adalah tahap ketika seseorang
melihat obyek sebagaimana adanya.
2) Tahap fungsional, merupakan tahap saat
seseorang mulai dapat memikirkan fungsi dari
berbagai obyek yang ada di sekitarnya. Fungsi
suatu obyek artinya apa yang dapat dilakukan
oleh obyek tertentu, dan apa yang dapat
dilakukan manusia terhadap obyek tersebut.
3) Tahap abstraksi, yaitu tahap ketika seseorang
mampu membuat gambaran dalam mentalnya
mengenai intisari dari semua sifat atau ciri
utama obyek. Melalui kemampuan ini, seseorang
dapat membuat generalisasi dan batasan
mengenai sekelompok obyek atau konsep.

116
2. Pengajaran Konsep pada Anak Tunanetra
a. Mengajarkan konsep
Selama proses belajar mengajar atau
komunikasi pada orang lain khususnya dengan anak
tunanetra, seringkali kita menggunakan konsep-
konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami
oleh anak. Misalnya, ketika berkomunikasi dengan
anak tunanetra kita menggunakan istilah (konsep)
„ini‟, „itu‟, „di sana‟ yang semuanya tidak dapat
dipahami oleh anak tunanetra. Di samping itu, kita
juga sering beranggapan bahwa istilah yang kita
gunakan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidak
bagi anak-anak. Jika hal semacam ini berlangsung
cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami,
maka dapat menghambat perkembangan konsep
anak-anak. Untuk memperkenalkan suatu konsep
pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu
dilakukan dengan pendekatan sistematis.
Terdapat dua langkah dalam menyampaikan
konsep melalui pendekatan yang sistematis, yaitu:
1) Memberikan atau mengembangkan definisi
tentang konsep yang dimaksud.
Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk
memberikan karakteristik suatu konsep secara
umum dengan cara sesederhana mungkin. Oleh
karena itu definisi ini tidak harus selalu diambil
dari kamus. Definisi yang sederhana akan
membantu memudahkan orang untuk
memahaminya.
2) Melakukan proses analisis secara konseptual agar
konsep tersebut dapat dipahami dengan langkah-

117
langkah yang strategis secara hierarkis.
Sebagai contoh, kita akan memperkenalkan
konsep „depan‟. Diharapkan anak dapat
menunjukkan secara verbal, atau perabaan
bagian depan suatu obyek yang tidak memiliki
bagian depan dan belakang secara jelas (misalnya
meja). Untuk itu, pertama-tama konsep „depan‟
tersebut kita pecah sekurang-kurangnya satu
tingkat di bawah level pemahaman anak. Dalam
contoh ini konsep „depan‟ dipecah menjadi
prosedur sebagai berikut:
1) Anak diminta menunjukkan bagian depan
tubuhnya atau mengidentifikasi obyek-obyek
yang tidak memiliki bagian depan dan bagian
belakang secara jelas (definitif).
2) Anak diminta mengidentifikasi obyek-obyek
yang tersentuh tubuh dengan mengatakan
bahwa obyek-obyek tersebut berada di
depan tubuhnya.
3) Anak diminta mengidentifikasi benda-benda
yang berada di depannya.
4) Anak diminta mengidentifikasi bagian depan
suatu obyek yang berada di depannya.
Melalui prosedur seperti ini diharapkan anak
mendapatkan pengertian istilah „depan‟ dengan
berbagai makna.

b. Memilih konsep untuk diajarkan


Sebelum memulai pembelajaran konsep,
identifikasi terlebih dahulu konsep-konsep yang
penting untuk dipelajari anak dengan hambatan
penglihatan, baik dalam konteks sekolah ataupun

118
kegiatan sehari-hari di luar sekolah.
Sejumlah konsep penting yang perlu diberikan
pada anak untuk pengembangan konsepnya, menurut
Sunanto (2005) adalah sebagai berikut:
1) Kesadaran Tubuh, yaitu konsep-konsep yang
berkaitan dengan tubuh.

Tabel Kesadaran Tubuh dan Posisi Tubuh


Atas, bawah, tengah, belakang, Keseluruhan tubuh, nama bagian
depan, kiri, kanan tubuh, tubuh bagian atas, tubuh
bagian bawah
Tabel Kesadaran Kinestetik
Kesadaran Kinestetik Sensasi Ekspresi Wajah
Belok Perabaan Senyum
Arah gerakan Pendengaran Cemberut
Gerak, diam Pembauan Marah
Gaya gravitasi Pengecap Tertawa
Tabel Kesadaran Proprioseptif
Kesadaran proprioseptif Gesture (bahasa tubuh)
Menengadah Ya, tidak
Menggenggam Menunjuk
Tegap Melambai
Dan lain-lain Besalaman, dan sebagainya

2) Kesadaran Lingkungan, yaitu obyek-obyek


penting di lingkungan dan hubungan khusus di
antara obyek di dalam lingkungan.
Tabel Kesadaran Lingkungan
Jalan Lampu lalulintas Mobil
Trotoar Kotak pos Kereta api
Jalan setapak Tempat sampah Toko
Perempatan Meja-kursi Rumah
Tangga Pintu Warung

119
Gang Lemari Pohon
Dan lain-lain Toilet Cermin, dan lain-lain

3) Kesadaran Karakteristik Obyek, yaitu


karakteristik umum obyek.
Tabel Kesadaran Karakteristik Obyek (1)
Ukuran Bentuk Warna
Kecil, sedang, besar Lingkaran Gelap
Lebar, sempit Segitiga Terang
Panjang, pendek Persegi Keruh
Dalam, dangkal Oval Nama warna
Gemuk, kurus Bujursangkar, dan Dan sebagainya
lain- lain
Tabel Kesadaran Karakteristik Obyek (2)
Suara Tekstur Perbandingan
Tinggi, rendah Kasar, halus Lebih besar
Keras, pelan Kaku, lentur Lebih kecil
Irama Keras, lunak Sama berbeda

4) Kesadaran Waktu, yaitu konsep yang


berhubungan dengan waktu.
Tabel Kesadaran Waktu
Mulai, berakhir Hari ini, besok
Sebelum, sesudah Kemarin, lusa
Pertama, berikutnya Yang akan datang
Selama Siang, sore
Selalu Konsep jam
Sering, dan lain-lain Dan lain-lain

120
5) Kesadaran Ruang, yaitu konsep yang
berhubungan dengan posisi ruang.
Tabel Kesadaran Ruang
Paralel
Siku-siku
Pinggir, tengah
Di dalam
Lurus
Di antara
Jauh, dekat

6) Aksi, yaitu konsep yang berkaitan dengan


gerakan atau kegiatan.
Tabel Konsep Aksi
Menulis, membaca Melompat
Makan, minum Merangkak
Dorong Memukul
Tarik Melempar
Tendang Menepuk
Mengikuti Dan lain-lain

7) Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan


angka atau kombinasi angka.
Tabel Konsep Kualitas
Kualitas Pengukuran Operasi hitung
Setengah Inci, meter, kubik Tambah
Sepertiga Ons, kilo, detik, menit, jam Kurang
Sedikit Meter persegi Bagi
Banyak Dan lain-lain Kali

121
8) Kesadaran Simbol, yaitu konsep simbol yang
penting.
Tabel Kesadaran Simbol
Arah mata angin
Warna
Kata ganti orang (saya, kamu, dia, kami, kita,
dan sebagainya)

9) Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep yang


berhubungan dengan penyesuaian psikososial.
Tabel Kesadaran Emosi
Bahasa tubuh
Konsep diri
Suasana hati (sedih, senang, kecewa, marah,
dan sebagainya)
Intonasi atau tinggi rendah suara saat
berbicara
Cara bertanya, dan sebagainya

10) Reasoning, yaitu cara berpikir yang


menggunakan konsep (masuk akal).
Tabel Konsep Reasoning
Orientasi
Estimasi
Memutuskan
Mempertimbangkan (baik, buruk, benar,
salah, dan sebagainya)
Klasifikasi
Perbandingan, dan lain-lain

122
Dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas,
konsep mengenai obyek dipelajari dengan
mengidentifikasi tiga hal, yaitu: tujuan, karakteristik
dan fungsi. Misalnya konsep tentang pintu dipelajari
sebagai berikut:
a) Tujuan:
Untuk memisahkan dua ruang dalam suatu
bangunan atau memisahkan antara ruangan
(indoor) dan luar ruang (outdoor/outside)
b) Karakteristik:
Pintu dapat dibuat dari kayu, metal, kaca, dan
lain-lain.
c) Fungsi:
Untuk membuka dan menutup dengan
menggunakan engsel
Pemahaman konsep juga sangat terkait dengan
pengembangan bahasa. Seorang anak dipandang
telah memahami suatu konsep jika ia dapat
mengikuti perintah yang disampaikan dengan kata-
kata. Selain itu, anak dapat menggunakan kata-kata
yang menggambarkan konsep tertentu dan dapat
menggunakannya dalam percakapan (Sunanto, 2005:
135).
Misalnya kita meletakkan bola di samping tubuh
anak, lalu kita bertanya “Apa ini?” dan ia menjawab
“Bola.” Kemudian kita bertanya lagi “Ada dimana
bolanya?” lalu ia menjawab “Di samping.” Kondisi ini
menggambarkan bahwa anak telah memahami
konsep bola dan konsep posisi (di samping) serta
dapat menggunakan bahasa untuk menjelaskan
konsep tersebut.

123
3. Asesmen Pemahaman Konsep
Dari penjelasan di atas kita telah mengetahui
berbagai jenis konsep yang penting untuk dipelajari anak
dengan hambatan penglihatan. Langkah selanjutnya
adalah melakukan asesmen untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman konsep yang telah dikuasai anak dan
menentukan kebutuhan anak dalam hal pengembangan
konsep.
Asesmen adalah proses mengumpulkan informasi
mengenai siswa yang akan digunakan untuk membuat
penilaian dan menentukan keputusan mengenai siswa
tersebut (Lerner & Kline, 2006: 44). Asesmen
dimaksudkan diantaranya untuk mengetahui sejauh
mana anak memiliki kemampuan pengembangan konsep.
Pembelajaran yang dilangsungkan tanpa didahului
pelaksanaan asesmen cenderung tidak berjalan dengan
baik akibat tidak diketahuinya tingkat pengembangan
konsep yang dikuasai anak.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa
pemahaman konsep berkaitan dengan pengembangan
bahasa, maka asesmen yang dilakukan harus mencakup
respon verbal (lisan) anak dan juga perilaku
(performance) anak. Prinsip asesmen yaitu mengases
pemahaman yang sebenarnya—secara luas dan
mendalam—mengenai suatu konsep.
Tingkat pemahaman konsep sangat bervariasi,
tergantung pada kemampuan anak dan tingkat
kerumitan konsep itu sendiri. Dalam menentukan tingkat
pemahaman konsep seorang anak, harus
dipertimbangkan usia anak, fungsi penglihatan yang
dimiliki anak, dan jenis konsep yang diases.

124
Berikut disajikan model asesmen pemahaman
konsep sebagaimana dipaparkan oleh Juang Sunanto
dalam buku “Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan
Penglihatan” (2005). Namun mengingat betapa
bervariasinya konsep, maka contoh yang diberikan ini
tidak dapat mencakup semua jenis konsep yang ada.
Meski demikian, model ini dapat menjadi acuan untuk
pengembangan asesmen pemahaman konsep yang
diperlukan guru di lapangan.

Tabel Format 1:
Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Benda Konkrit
Obyek yang Obyek yang
Familiar Kurang
Familiar
1. Identifikasi:
Tunjukkan obyek
yang disebut guru
Sebut nama
obyek yang
ditunjukkan
guru
2. Deskripsikan fungsi obyek
yang disebutkan atau
ditunjukkan guru
3. Deskripsikan hubungan
antara obyek yang
ditunjukkan/disebutka
n guru
dengan obyek lain

125
Tabel Format 2:
Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Bagian Tubuh
Diri sendiri Orang lain
1. Identifikasi:
Tunjukkan bagian tubuh yang
disebut oleh guru
2. Sebutkan fungsi obyek yang
disebutkan/ditunjukkan oleh
guru
3. Sebutkan hubungan antara
bagian tubuh
yang ditunjukkan/disebutkan
guru dengan bagian tubuh
lain

Tabel Format 3:
Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Karakteristik Obyek
Contoh Karakteristik
yang lebih rinci
1. Identifikasi:
Tunjukkan
karakteristik suatu
obyek, atau
tunjukkan obyek dengan
karakteristik tertentu yang
disebutkan oleh guru
2. Sebutkan nama obyek yang
karakteristiknya
disebutkan oleh guru

126
Tabel Format 4:
Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Aksi
Diri sendiri Obyek atau
orang
Lain
1. Identifikasi:
Tirukan gerakan yang
dilakukan oleh guru
Lakukan gerakan yang
disebut oleh guru
Sebutkan nama gerakan
yang
Dilakukan
2. Jelaskan fungsi dari suatu aksi
yang
Dilakukan

Tabel Format 5:
Asesmen Pemahaman Konsep mengenai Posisi
Hanya bagian Orang atau Hanya
tubuh sendiri obyek lain orang
dan atau
bagian obyek
tubuh lain
sendiri
1. Identifikasi:
Gerakkan tubuh ke
posisi yang disebut
oleh guru
2. Sebutkan posisi yang
ditunjukkan oleh
guru

127
Tabel Format 6:
Asesmen Pemahaman Konsep Abstrak

1. Jelaskan fungsi dari (“guru menyebutkan satu konsep abstrak”)

2. Sebutkan jenis kategorinya

3. Jelaskan persamaan dengan konsep lain yang sudah diketahui

128
BRAILLE SEBAGAI MEDIA BELAJAR
KOMPENSATORIS TUNANETRA

A. Sejarah Braille
Tarsidi (2016) menjelaskan Braille pertama kali
diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda pada awal abad ke-20
di Blinden Instituut, Bandung, menggunakan sistem yang berlaku
di Negeri Belanda. Setelah kemerdekaan, sistem yang berlaku di
Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat juga diperkenalkan.
Pada tahun 1960-an, guru-guru di berbagai Sekolah
Khusus bagi Tunanetrra menyadari pentingnya keberadaan
sistem Braille yang seragam. Oleh karena itu, Kementerian
Pendidikan membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk
penyeragaman sistem Braille tersebut. Hasil kerja kelompok
tersebut dibakukan dan diterbitkan oleh Kementerian
Pendidikan pada tahun 1972. Sistem tulisan Braille tersebut
mencakup Braille bahasa Indonesia (literary Braille) termasuk
sistem tulisan singkat Braille Indonesia (Indonesian contracted
Braille) dan tanda-tanda matematik.
Pada tahun 1676, seorang tunanetra Katolik di Roma,
Italia, bernama Francesco Terzi, menciptakan sejenis “abjad tali”.
Dia membentuk huruf-huruf dari berbagai variasi simpul tali,
dan menggunakan abjad talinya itu untuk mentranskripsikan
kitab Injil. Seorang musisi wanita tunanetra dari Wina, Maria

129
Theresa von Paradis (lahir tahun 1741) belajar membaca dengan
alat bantu berupa paku-paku yang ditancapkan pada sebuah
bantalan untuk membentuk huruf-huruf. Dengan cara ini dia
berhasil belajar membaca partitur musik (Andersen, 2000).
Hingga awal abad ke-19, orang masih memusatkan usaha
membantu tunanetra belajar membaca dan menulis itu dengan
memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan menggunakan
berbagai macam cara dan bahan seperti tali-temali, potongan-
potongan logam, kayu, kulit, lilin atau kertas, tetapi hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Dari semua cara ini memiliki ciri
yang sama yaitu memerlukan bahan yang sulit dibuat atau sukar
dimanipulasi sehingga tidak cocok sebagai media komunikasi.
Misalnya, orang tidak mungkin membawa begitu banyak balok
kayu untuk memungkinkannya berkomunikasi secara tertulis
dengan orang lain secara efisien. Kriteria standar yang sangat
penting bagi suatu bentuk teknologi komunikasi adalah mudah
diproduksi, permanen, mudah difahami, dan mudah dibawa-
bawa (portable).

1. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh Hauy


Salah satu upaya yang paling terkonsentrasi untuk
menciptakan sistem tulisan bagi tunanetra terjadi di Paris pada
tahun 1780-an. Valentin Hauy (1745-1822), pendiri dan direktur
sekolah pertama bagi tunanetra di dunia, menghasilkan huruf-
huruf timbul pada kertas tebal yang dapat diraba dan dibaca
dengan ujung-ujung jari. Untuk menghasilkan huruf timbul
tersebut, pertama-tama dia membuat cetakan huruf dari logam.
Huruf-huruf pada cetakan tersebut dibentuk terbalik. Kertas
tebal yang sudah dibasahi diletakkan di atas cetakan tersebut.
Sebuah "pena" yang bermata bundar dari logam digoreskan di
atasnya mengikuti bentuk huruf pada cetakan di bawahnya.
Setelah kertas itu dikeringkan, kini huruf-huruf timbul telah

130
terbentuk pada kertas tersebut. Buku pertama menggunakan
teknik penimbulan huruf ini diterbitkan pada tahun 1787 yang
berisikan essay tentang pendidikan bagi anak tunanetra
(Shodorsmall, 2000).
Gagasan untuk menghasilkan huruf yang ditimbulkan ini
muncul secara kebetulan. Franqois Lesueur, seorang anak laki-
laki tunanetra, dia adalah murid pertama Hauy sebelum
sekolahnya itu berdiri secara resmi. Pada suatu hari, ketika
Lesueur sedang membereskan kertas di meja kerja Hauy, jarinya
merasakan ada sebuah tonjolan pada salah satu lembaran kertas
itu: kesan sebuah huruf pada sisi belakang sebuah kartu ucapan
bela sungkawa yang baru dicetak. Lesueur bertanya kepada
gurunya itu apakah kesan yang dirasakan oleh jarinya itu adalah
huruf “o”. Memang benar, dan kejadian ini memunculkan
pemahaman pada diri Hauy bahwa jika jari-jari tangan seorang
anak tunanetra dapat mendeteksi sebuah huruf yang sedikit
timbul akibat tekanan yang tidak disengaja, maka jari-jari itu
pasti dapat mengenali huruf-huruf dengan baik apabila huruf-
huruf itu sengaja dibuat timbul. Hauy menguji pemikirannya
tersebut dengan mencetak berlembar-lembar teks dengan huruf
yang ditimbulkan. Lesueur ternyata dapat membedakan setiap
huruf dan dalam waktu enam bulan dia mampu membaca dan
menulis. Kemampuan Lesueur tersebut dipertunjukkan di
hadapan para anggota the Royal Academy of Sciences demi
memperoleh persetujuan mereka dan izin dari pemerintah
Perancis untuk membuka sekolah bagi anak tunanetra. Pada
tahun 1784 sekolah tersebut resmi berdiri dengan nama
L’Institute Nationale des Jeunes Aveugles, dengan 14 orang
murid pertama, dengan Hauy sebagai kepala sekolah dan
Franqois Lesueur sebagai asistennya (Koestler, 1984). Salah satu
tujuan Hauy dalam mendidik anak-anak tunanetra adalah
sedapat mungkin mempertahankan kesamaan antara cara

131
belajar anak tunanetra dan anak awas. Teorinya adalah bahwa
media dan teknologi pendidikan bagi siswa tunanetra
seyogyanya tidak menyimpang secara signifikan dari media dan
teknologi pendidikan yang dipergunakan oleh siswa-siswa yang
awas. Sistem tulisan timbul yang digagas oleh Hauy itu
mengalami sejumlah modifikasi, sebagian oleh Hauy sendiri dan
sebagian lainnya oleh orang lain.

2. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh


Moon
Kurun waktu dari tahun 1825 hingga 1835 tampaknya
merupakan masa di mana terdapat kegiatan yang universal
untuk menciptakan dan mencetak tulisan timbul. di Inggris ada
Gall, Alston, Moon, Fry, Frere, dan Lucas, yang masing-masing
memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai pendukungnya
masing-masing, dan di Amerika ada Friedlander, Howe dan lain-
lain (Shodorsmall, 2000). Tampaknya yang paling menonjol di
antara mereka adalah Dr. William Moon, seorang tunanetra
Inggris. Pada tahun 1845 dia menciptakan sebuah sistem huruf
timbul yang menggunakan abjad Romawi dengan beberapa
huruf dimodifikasi atau disederhanakan. Prinsip yang
digunakannya adalah bahwa sedapat mungkin huruf timbul itu
sama dengan bentuk aslinya (abjad Romawi) tetapi harus mudah
dikenali dengan perabaan. Dalam abjad Moon ini, 8 huruf tetap
sama, 14 huruf disederhanakan, dan 5 huruf dirancang sama
sekali baru. Sistem Moon ini dipergunakan oleh relatif banyak
orang tunanetra untuk jangka waktu yang cukup panjang. Abjad
ini masih dipergunakan hingga awal abad ke-20.

132
Pada dasarnya sistem Hauy dan sistem Moon ini adalah
tulisan awas (tulisan biasa) yangdiperbesar dan dibuat timbul
pada kertas. Keuntungan utama menggunakan abjad ini adalah
bahwa tulisan ini dapat dibaca oleh orang tunanetra maupun
orang awas. Kelemahannya adalah orang tunanetra tidak dapat
membacanya dengan cepat sehingga sangat tidak efisien sebagai
media penyerap informasi.

3. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh


Barbier
Yang mendasari sistem tulisan Braille yang kita kenal
sekarang ini adalah sistem titik-titik timbul yang diciptakan oleh
Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon. Pada tahun
1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan
sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang
dinamakannya "tulisan malam". Dia menggunakan tulisan ini
untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah
militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui
ujung-ujung jari. Sistem ini didasarkan atas metodologi fonetik
(atau sonografi). Setiap kata diuraikan menjadi bunyi, dan setiap
bunyi dilambangkan dengan konfigurasi titik-titik dan garis-

133
garis tertentu (Davidson, 2005; Shodorsmall, 2000). Barbier
menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical
yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut
dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal
yang diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang
inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis Braille
yang paling banyak dipergunakan. Di Indonesia, alat ini disebut
“pen” dan “reglet”.
Sistem Barbier tidak dimaksudkan sebagai alat pendidikan
bagi anak tunanetra ataupun untuk memungkinkan orang
tunanetra berkomunikasi secara tertulis. Barbier adalah seorang
insinyur di angkatan darat Perancis. Motivasinya adalah
menciptakan metode untuk mengirim pesan rahasia yang dapat
dibaca dalam kegelapan malam (dengan perabaan). Oleh karena
itu, sistem Barbier ini disebut “tulisan malam”. Namun demikian,
Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada orang
tunanetra. Maka pada tahun 1820, dia mempresentasikan
mnetodenya itu di lembaga pendidikan tunanetra di Paris. Pada
awalnya, anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang
dengan tulisan ini karena lebih mudah dikenali dengan ujung-
ujung jari. Namun, mereka menyadari bahwa sistem tulisan
malam ini memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak
membedakan huruf kapital dan huruf kecil, tidak ada tanda-
tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca sebab
membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari. Tulisan malam
mungkin efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti
“maju” atau “musuh ada di belakang kita” tetapi tidak bagus
dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra (Davidson,
2005).

134
4. Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra oleh
Louis Braille
Sistem tulisan bagi tunanetra yang kita kenal sekarang ini
diberi nama penciptanya, yaitu Braille. Louis Braille lahir pada
tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota kecil sekitar 40
kilometer di sebelah timur Paris. Dia menjadi buta pada usia tiga
tahun sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik ayahnya
yang seorang pembuat pelana kuda. Ayahnya
menyekolahkannya di sekolah biasa di daerah tempat tinggalnya,
dan dia membantunya dengan membuat tulisan yang dapat
dibacanya yaitu dengan membentuknya dari paku-paku yang
ditancapkan pada papan kayu. Pada usia sepuluh tahun, Louis
dimasukkan ke sekolah khusus bagi tunanetra di paris, di mana
dia bertemu dengan Kapten Charles Barbier dan diperkenalkan
dengan sistem tulisan Barbier. Louis Braille menyadari bahwa
sistem Barbier kurang baik sebagai media baca/tulis, tetapi dia
sangat menyukai gagasan penggunaan titik-titik untuk tulisan
bagi tunanetra. Maka setelah pertemuannya dengan Charles
Barbier, Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan
yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-
kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi
tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan
tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra.
Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap
titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk
hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-
garis bagi tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah
titiknya dari dua belas hanya menjadi enam saja. Akan tetapi
modifikasi yang paling penting adalah bahwa sistem tulisannya
itu tidak didasarkan atas metodologi sonografi melainkan
didasarkan atas sistem abjad Latin dalam bentuk yang berbeda

135
dan menggunakan titik-titik timbul dengan konfigurasi yang
unik.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia
awal 20-an, setelah bereksperimen dengan inovasinya itu selama
lebih dari sepuluh tahun, sempurnalah sistem tulisan yang
terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya
menggunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem
tulisannya itu – tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan (lihat
di gambar ). Untuk memudahkan pendeskripsian, tiga titik di
sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3 (dari atas ke bawah), dan
tiga titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5 dan 6. Satu atau
beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga
dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup
untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca,
matematika, musik, dan lain-lain.

Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan


sistem tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institute
Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-
anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh Valentin Hauy pada
tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia

136
dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata
bahasa Perancis, dan musik.
Ketika sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai
mencobakannya kepada murid-muridnya. Mereka
menyambutnya dengan gembira dan sangat merasakan
manfaatnya. Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga itu
mengizinkan sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran
di sekolah itu, namun tak seorang pun di luar lembaga itu mau
menerima keberadaannya. Karena mereka belum pernah melihat
betapa baiknya sistem tulisan ini, mengajarkan tulisan yang
berbeda dari tulisan umum dianggapnya sebagai sesuatu yang
amat ganjil dan tidak masuk akal. Karena badan pembina
lembaga itu pun tidak menyukai sistem tulisan ini, maka mereka
memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan menyalin buku
sejarah ke dalam braille. Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak
menyetujui sistem Braile itu dan melarang keras
penggunaannya. Karena murid-muridnya telah mengetahui
kebaikan tulisan Braille itu, mereka tidak kurang kecewanya
daripada Braille sendiri. Maka, mereka meminta Braille
mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya itu, dia
setuju mengajar mereka di luar jam sekolah. Karena guru dan
semua murid di dalam kelas itu tunanetra, maka tidaklah
mustahil bagi guru guru lain untuk mengintip kelas rahasia itu
dan memperhatikannya tanpa mereka ketahui. Kepala staf
pengajar, Dr. Guadet, sering mengamati pelajaran rahasia ini
dengan penuh minat dan simpati. Setelah melihat betapa
cepatnya murid-murid itu memahami pengajaran yang
disampaikan oleh Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau
kepada Dr. Dufau agar mengubah pendiriannya dan mengizinkan
penggunaan sistem tulisan itu. Akhirnya Dr. Dufau setuju dan
menjelang tahun 1847 Louis Braille kembali dapat mengajarkan
ciptaannya itu secara leluasa. Pada tahun 1851 Dr. Dufau

137
mengajukan ciptaan Braille itu kepada Pemerintah Perancis
dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan
pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi,
hingga dia meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa
ataupun pengakuan resmi terhadap ciptaannya itu tidak pernah
diterimanya. Baru beberapa bulan setelah wafatnya, ciptaan
Louis Braille itu diakui secara resmi di L'Institute Nationale des
Jeunes Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di
beberapa sekolah tunanetra di negara-negara lain. Baru
menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan ini diterima secara
universal dengan nama tulisan "Braille".
Braille adalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik
timbul yang dimaksudkan untuk memungkinkan orang
tunanetra membaca dengan merabanya menggunakan ujung-
ujung jari. Sistem tulisan ini diciptakan pada awal abad ke-19
oleh Louis Braille, seorang Perancis yang menjadi tunanetra
pada usia tiga tahun. Louis Braille hanya menggunakan enam
titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya itu – tiga titik
ke bawah dan dua titik ke kanan. Untuk memudahkan
pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3
(dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan diberi
nomor 4, 5 dan 6. Satu atau beberapa dari enam titik itu
divariasikan letaknya dalam kerangka domino itu sehingga dapat
membentuk sekurang-kurangnya 63 macam kombinasi yang
cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca,
matematika, musik, dan lain-lain.
Pengajaran tulisan Braille kepada siswa-siswa tunanetra
pada umumnya dilaksanakan oleh guru-guru pendidikan khusus
lulusan universitas yang mempunyai Departemen Pendidikan
Khusus. Terdapat sekurang-kurangnya 11 universitas di
Indonesia yang telah mempunyai Departemen Pendidikan

138
Khusus, yaitu tujuh universitas di pulau Jawa, satu di Sumatera,
satu di Kalimantan, dan dua universitas di Sulawesi.

B. Sistematika Penggunaan Huruf Braille


Sistem tulisan Braille mencapai taraf kesempurnaan di
tahun 1834. Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka
penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan
ini disebut sel Braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik
timbul yaitu tiga baris dengan dua titik. Keenam titik tersebut
dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam
kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat
melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol
matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum
digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi
horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.
Braille terdiri dari sel yang mempunyai 6 titik timbul yang
dinomorkan seperti berikut dan kehadiran atau ketiadaan titik
itu akan memberi kode untuk simbol tersebut. Huruf Braille
Bahasa Melayu adalah hampir sama dengan kode huruf Braille
Inggris. Perkataan, simbol (seperti tanda seru dan tanda soal),
beberapa perkataan dan suku kata bisa didapat secara terus.
Contohnya, perkataan orang disingkat menjadi org. Ini
membolehkan buku Braille yang lebih tipis dicetak.
Huruf Braille juga telah diperkaya sehingga dapat
digunakan untuk membaca nota musik dan matematik. Kini
Braille telah diubahsuai dengan menambah dua lagi titik
menjadikan Braille menjadi kode 8 titik. Ini memudahkan
pembaca Braille mengetahui huruf tersebut adalah huruf besar
atau kecil. Selain itu, penukaran ini membolehkan huruf huruf
ASCII dipertunjukkan dan kombinasi 8 titik ini dikodekan dalam
standard Unicode.

139
Braille boleh dihasilkan menggunakan batuan loh ( slate)
dan stilus ( stylus ) di mana titik dihasilkan daripada belakang
muka kertas, menulis dengan gambar cermin, menggunakan
tangan, atau menggunakan mesin taip Braille yang dikenali
sebagai Perkins Brailler. Braille juga dapat dihasilkan
menggunakan mesin cetak Braille yang disambung kepada
komputer.
Simbol Braille untuk sejumlah bahasa yang tidak
menggunakan abjad Latin dikembangkan sejak awal abad ke-20.
Ini mencakup simbol Braille bahasa Jepang, Cina, Arab, dll.
Perkembangan lainnya adalah penyusunan system tulisan
singkat Braille. Sejak diciptakan, disadari bahwa salah satu
kekurangan utama system Braille adalah ukuran hurufnya yang
besar. Ukuran standar sebuah karakter Braille adalah sekitar 4
mm lebar dan 6 mm tinggi dengan ketebalan sekitar 0,4 mm.
Ukuran ini ideal untuk diidentifikasi dengan ujung jari tetapi
mengakibatkan buku Braille menjadi sangat besar, makan
tempat untuk penyimpanannya, dan tidak nyaman untuk
dibawa-bawa. Di samping itu, pembaca Braille yang
berpengalaman pun tidak dapat membaca Braille secepat rekan-
rekanya yang awas. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan
bahwa ujung-ujung jari tidak dapat secara fisik mengamati
tulisan Braille secepat orang awas menggunakan matanya untuk
mengamati tulisan awas. Hasil penelitian Simon & Huertas
(1998) menunjukkan bahwa kecepatan membaca rata-rata
tunanetra pembaca Braille yang berpengalaman adalah 90-115
kata per menit dibandingkan dengan 250-300 kata per menit
untuk mereka yang membaca secara visual. Pada awal tahun
1900-an, para pendukung Braille berusaha mengatasi kedua
keterbatasan tersebut. Solusinya adalah pengembangan sistem
tulisan singkat Braille, di mana satu simbol dipergunakan untuk
mewakili satu kata atau bagian kata atau keduanya. Sesudah

140
melalui diskusi Selama beberapa tahun, dengan memadukan
versi Inggris dan versi amerika, pada tahun 1932 ditetapkan
Standard English Braille, yang mencakup kesepakatan tentang
sistem singkatan yang seragam untuk bahasa Inggris. Sistem
tulisan singkat Braille dalam bahasa Inggris itu disebut “grade
two Braille” atau “contraction”. Penggunaan sistem singkatan ini
dapat mengurangi ketebalan dan beratnya buku Braille dan
dapat mengurangi jumlah karakter yang harus diraba dalam
membaca sehingga kecepatan membaca pun menjadi lebih
tinggi. Sistem tulisan singkat Braille Indonesia (yang dikenal
dengan istilah “tusing”) dikembangkan sejak tahun 1960-an dan
versi terakhir dibakukan dengan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 053/U/2000. Salah seorang
penggagas utama tusing itu adalah Suharto, seorang tunanetra di
Bandung (Tarsidi, 1998). Pengembangan simbol-simbol lainnya
yang berlaku secara universal dilakukan di bawah koordinasi
World Braille Council (Dewan Braille Dunia), sebuah badan yang
dibentuk oleh World Blind Union (Persatuan Tunanetra Dunia).
Braille dapat diproduksi menggunakan beberapa macam
alat, yaitu (1) reglet dan pen, (2) mesin tik Braille, dan (3)
computer dengan printer Braille.

Reglet dan Pen

141
Reglet dan pen (slate and stylus) adalah alat tertua yang
dipergunakan untuk menulis Braille. Prototipe alat ini diciptakan
oleh Charles Barbier (Shodorsmall, 2000). Keuntungan utama
alat yang sederhana ini adalah portabilitasnya dan harganya
yang terjangkau. Reglet ini terdiri dari dua plat logam atau
plastik yang dihubungkan dengan engsel. Satu plat logam (plat
bawah) mempunyai lubang-lubang tak tembus yang berfungsi
sebagai cetakan titik-titik sedangkan satu plat lainnya (plat atas)
mempunyai lubang-lubang tembus yang berfungsi untuk
mengarahkan penggunanya dalam membentuk titik-titik itu.
Lubang-lubang pada plat atas itu disebut petak. Dalam keadaan
plat bawah dan plat atas ditutupkan, setiap petak merupakan
pedoman untuk mengarah pada enam lubang titik yang
membentuk kerangka tulisan Braille. Untuk menulis, kertas
dijepit di antara kedua plat logam tersebut. Sebuah pen (paku
dengan pegangan kayu) ditusuk-tusukkan di atas kertas itu
melalui lubang-lubang pada plat atas untuk membentuk titik-
titik dengan cetakan plat bawah.
Kelemahan utama reglet dan pen adalah soal orientasi
menulisnya. Karena titik-titik itu ditusukkan dari atas ke bawah,
maka ini berarti bahwa untuk membacanya, kertas harus dibalik
sehingga menulisnya pun harus dengan orientasi yang
berlawanan. Jadi, agar tulisan dapat dibaca dari kiri ke kanan,
menulis dengan reglet harus dari kanan ke kiri. Terdapat
bermacam-macam reglet berdasarkan jenis bahannya, jumlah
barisnya, dan jumlah petak perbaris. Pada awalnya reglet dibuat
dari logam, tetapi kemudian diproduksi juga reglet dengan
bahan plastik. Jumlah barisnya berkisar dari dua hingga 36 baris,
sedangkan jumlah petaknya berkisar dari 18 hingga 40 petak
perbaris. Akan tetapi, yang paling umum dipergunakan adalah
reglet dengan empat baris dan 27 petak perbaris.

142
Mesin Tik Braille

Mesin tik Braille (Braille writer atau Brailler) adalah alat


yang dipergunakan untuk menghasilkan tulisan Braille dengan
cara yang banyak persamaannya dengan cara mesin tik biasa
menghasilkan tulisan awas. Prototipe mesin ini diciptakan pada
tahun 1951 oleh David Abraham, seorang guru di Perkins School
for the Blind, Amerika Serikat (Perkins School for the Blind,
2007). Terdapat beberapa macam mesin tik Braille yang
diproduksi oleh beberapa Negara, tetapi prinsip kerjanya sama.
Mesin tik Braille yang paling banyak dipergunakan di seluruh
dunia adalah Perkins Brailler buatan Howe Press, Amerika
Serikat. Berbeda dari mesin tik biasa, mesin tik Braille hanya
mempunyai enam tombol untuk menghasilkan karakter Braille,
satu tombol spasi (di tengah), dan dua tombol lainnya (masing-
masing satu tombol di pinggir kiri dan kanan mesin) untuk
menggerakkan kertas. Tiga tombol di sebelah kiri tombol spasi
ditekan menggunakan telunjuk, jari tengah dan jari manis kiri,
dipergunakan untuk menghasilkan titik 1, 2 dan 3 sedangkan
tiga tombol di sebelah kanan tombol spasi ditekan menggunakan
telunjuk, jari tengah dan jari manis kiri, dipergunakan untuk
menghasilkan titik 4, 5 dan 6. Untuk menghasilkan satu huruf,
tombol-tombol tersebut ditekan bersama-sama. Misalnya, untuk
menghasilkan huruf “g”, tombol untuk titik 1 (telunjuk kiri), titik

143
2 (jari tengah kiri), titik 4 (telunjuk kanan), dan titik 5 (jari
tengah kanan), ditekan berbarengan. Titik-titik tersebut akan
muncul ke permukaan kertas dan dapat langsung dibaca tanpa
mengeluarkannya terlebih dahulu dari mesin tik tersebut.

Printer Braille
Printer Braille (yang
juga dikenal dengan
istilah Braille
embosser) digunakan
untuk mencetak data
yang dikirim dari
komputer. Braillo
merupakan satu dari
banyak produsen
printer Braille di dunia. Printer ini banyak terdapat di Indonesia
sebagai hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah Norwegia untuk mengembangkan pendidikan bagi
tunanetra di Indonesia. Untuk dapat mencetak data
menggunakan printer Braille, terlebih dahulu data itu dibuat
menggunakan program pengolah data seperti Microsoft Word.
Kemudian data Word itu dikonversi ke dalam format Braille
menggunakan program aplikasi penerjemah Braille. Program
inilah yang mengirim data Braille dari komputer ke Braille
embosser itu. Inovasi ini telah membuat pencetakan Braille
menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

144
Kertas Braille

Istilah kertas Braille digunakan


untuk mengacu pada jenis kertas
yang cocok untuk menulis Braille
yaitu kertas yang berukuran
maksimal 12 kali 11,5 inci (±30,4
kali 29,2 cm), dengan ketebalan
antara 100 hingga 160 gram.
Ukuran kertas itu terkait dengan
kapasitas alat tulis Braille
(terutama mesin tik Braille dan
printer Braille) sedangkan
ketebalan kertas terkait dengan
daya tahan tulisan Braille terhadap
tekanan, baik tekanan yang diakibatkan oleh penumpukan
ataupun akibat tekanan jari-jari tangan pada saat dibaca oleh
pembaca tunanetra. Kertas yang tidak cukup tebal rentan
mengakibatkan tulisannya mudah terhapus.

145
146
ORIENTASI DAN MOBILITAS
SEBAGAI MEDIA BELAJAR
KOMPENSATORIS TUNANETRA

A. Pengertian Orientasi dan Mobilitas


a. Orientasi
Orientasi adalah proses penggunaan indera-indera
yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan
hubungannya dengan objek-objek yang ada dalam
lingkungannya. Orientasi itu mencari informasi untuk
menjawab pertanyaan: (1) di mana saya berada? (2) di
mana tujuan saya? dan (3) bagaimana saya bisa sampai
tujuan?
Orientasi melibatkan proses kognitif yang dimulai
dari proses persepsi, analitik, seleksi, perencanaan dan
pelaksanaan. Proses asimilasi data dari lingkungan yang
diperoleh melalui indera-indera yang masih berfungsi
seperti penciuman, pendengaran, perabaan, persepsi
kinestetis, atau sisa penglihatan. Proses analitik
merupakan pengorganisasian data yang diterima ke
dalam beberapa kategori berdasarkan ketetapannya,
keterkaitannya, keterkenalannya, sumber, jenis dan
intensitas sensorisnya. Proses seleksi merupakan
pemilihan data yang telah dianalisis yang dibutuhkan

147
dalam melakukan orientasi yang dapat menggambarkan
situasi lingkungan sekitar. Proses perencanaan
merupkan perencanaan tindakan yang akan dilakukan
berdasarkan data hasil seleksi sensoris yang sangat
relevan untuk menggambarkan situasi lingkungan.Proses
melaksanakan hasil perencanaan dalam suatu tindakan.
Kelima proses kognitif itu akan efektif jika anak
tunanetra memiliki pengetahuan/knowledge) dan
pemahaman/Comprehension) terhadap hal- hal khusus
sebagai berikut.
1) Landmarks (ciri medan): Setiap benda, suara, bau,
suhu, atau petunjuk taktual yang mudah dikenali,
menetap, dan telah diketahui sebelumnya, serta
memiliki lokasi yang permanen dalam lingkungan.
2) Clue (petunjuk): Setiap rangsangan suara, bau,
perabaan, kinestetis, atau visual yang mempengaruhi
penginderaan yang dapat segera memberikan
informasi kepada siswa tentang informasi penting
untuk menentukan posisi dirinya atau sebagai garis
pengarah
3) Indoor Numbering System (sistem penomoran di
dalam ruangan): Pola dan susunan nomor-nomor
ruangan di dalam suatu bangunan.
4) Measurement (pengukuran): Tindakan atau proses
mengukur. Mengukur merupakan suatu keterampilan
untuk menentukan suatu dimensi secara pasti atau
kira-kira dari suatu benda atau ruang dengan
mempergunakan alat.
5) Compass Directions (arah-arah mata angin): Arah-
arah mata angin adalah arah-arah tertentu yang
ditentukan oleh medan magnetik dari bumi. Empat
arah pokok ditentukan oleh titik-titik yang pasti,

148
dengan interval 90 derajat setiap sudutnya. Keempat
arah tersebut adalah utara, timur, selatan, dan barat.
6) Self Familiarization (pengakraban diri) –Proses
pengakraban diri merupakan aktivitas khusus
sebagai upaya untuk memadukan kelima komponen
orientasi dan menunjukkan saling
keterhubungannya. Kelima komponen orientasi
merupakan dasar dari proses pengakraban diri.
Kelima komponen tersebut adalah: arah mata angin,
pengukuran, clue, landmark, dan sistem penomoran.
b. Mobilitas
Mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan
mudahnya bergerak dan berpindah untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Mobilitas juga berarti
kemampuan bergerak dan berpindah dalam suatu
lingkungan ke lingkungan yang lain. Mobilitas amat
berkaitan dengan kesiapan fisik. Kesanggupan mobilitas
amat ditentukan oleh kemampuan orientasi. Kekuatan
orientasi akan berdampak pada jangkauan mobilitas
anak tunanetra.
c. Orientasi dan mobilitas
OM adalah satu kemampuan, kesiapan dan
mudahnya bergerak dari satu posisi/tempat ke satu
posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat,
efektif, dan selamat.

B. Teknik-Teknik dalam Orientasi dan Mobilita


1. Jalan dengan Pendamping awas
a. Tehik Membuat Kontak: Membuat kontak antara
pendamping dengan tunanetra, lebih dahulu
pendamping menyentuh punggung telapak tangan
tunanetra. Kontak dapat dilakukan oleh pendamping

149
awas ataupun tunanetra. Jika tunanetra yang
mengajak, tunanetra dapat mengajak pendamping
baik dengan lisan maupun dengan sentuhan tangan,
sedangkan jika pendamping awas yang melakukan
kontak, maka pendamping dapat menyentuh
pungggung tangan tunanentra dan dibarengi dengan
ajakan lisan. Kemudian tunanetra segera memegang
lengan pendamping dengan erat, tetapi relax sedikit
di atas sikut. Ibu jari tunanetra berada di sebelah luar
dan jari-jari yang lain berada di sebelah dalam lengan
pendamping. Lengan bawah tunanetra paralel
dengan tanah dan lengan atas paralel dan dekat
tubuhnya sendiri. Posisi tunanetra berada setengah
langkah di belakang pendamping dan di samping
pendamping. Bahu lurus dan sejajar di belakang bahu
pendamping.
b. Melalui jalan sempit atau tempat yang padat orang:
Bila tunanetra bersama pembimbing melalui jalan
yang sempit, maka agar perjalannya lancar,
tunanetra tidak tersangkut-sangkut, pendamping
menggerakkan siku ke arah belakang ke arah
tengah-tengah punggung. Ini adalah merupakan
isyarat kepada tunanetra kalau akan melalui tempat
yang sempit atau tempat yang banyak orang (padat
suasannya), untuk selanjutnya tunanetra
memanjangkan lenganya, sehingga jarak tunanetra
dan pendamping menjadi satu langkah, agar
tunanetra tidak menginjak/ menendang tumit
pembimbing. Setelah perjalanan melampaui tempat
yang sempit atau tempat yang padat, pendamping
menarik sikunya ke samping kembali dan tunanetra
juga posisinya kembali ke posisi semula dan berada

150
di samping pendamping dengan jarak setengah
langkah di belakang pendamping kembali. Jadi pada
waktu melalui jalan sempit tersebut tunanetra harus
benar-benar berada satu langkah penuh di belakang
pendamping.
c. Berjalan melalui pintu tertutup: Bila perjalanan
pendamping dan tunanetra akan melalui pintu,
pendamping memberitahukan kepada tunanetra agar
jaraknya dipersempit sampai menjadi satu baris
dengan pendamping. Kemudian pendamping
menyebutkan tentang variasi terbukanya pintu.
Misalnya : pintu membuka ke kiri atau ke kanan,
membukanya menjauh kita atau mendekati kita (ke
luar atau ke dalam).Waktu membuka pintu, yang
membuka pendamping, tunanetra membantu
menahan dengan meletakkan telapak tangan yang
bebas pada tengah-tengah daun pintu, agar
pendamping tidak kewalahan melayani pintu. Jika
pintu membukanya ke arah yang berlawanan dengan
pegangan tunanetra, tunanetra pegangannya ganti
dengan tangan yang bebas dan tangan yang tadi
untuk berpegangan dilepas kemudian posisi
berdirinya di belakang pendamping seperti bila
melalui jalan sempit dan tangan tunanetra yang tadi
untuk berpegangan utnuk menahan pintu. Misalnya
jika tunanetra pegangannya ada sebelah kanan,
sedangkan pintu membukanya ke arah kiri, maka
pegangan tunanetra ganti dengan tangan yang kanan.
Pendamping dapat membuka dengan tangan kanan
atau dengan tangan kiri, tetapi bagi tunanetra yang
selanjutnya menutup pintu, bila pintu membuka ke
arah kiri menutup juga dengan tangan kiri, kalau

151
membukanya ke arah kanan, tunanetra menutupnya
juga dengan tangan kanan. Bila telah lewat pintu
posisi pegangan tunanetra segera kembali seperti
biasa.
d. Teknik naik dan turun tangga: Waktu akan naik
tangga suatu gedung atau rumah pendamping awas
memberi tahu tunanetra bahwa akan naik tangga,
kemudian kalau sudah dekat tapi tangan pendamping
berhenti. Tunanetra mengikuti berhenti dengan
mengambil jarak setengah langkah di belakang
pendamping. Bila siku pendamping terasa naik,
tunanetra maju setengah langkah lagi dan
selanjutnya adalah melangkah naik mengikuti
pendamping. Berat badan tunanetra bertumpu pada
ujung telapak kaki dan tetapi berada satu tangga di
belakang pendamping sampai naik tangga tersebut
habis, sehingga pada waktu mencapai tempat yang
datar siku pendamping terasa memberi isyarat pada
tunanetra, bahwa tangga naik sudah habis. Pada
waktu turun tangga, caranya juga sama dengan
waktu naik tangga. Pendamping juga lebih dahulu
memberi tahukan kalau mau turun tangga. Kemudian
berhenti di tepi tangga sebentar, baru seterusya
turun. Tunanetra mengikuti pendamping dengan
posisi satu tangan di belakang pendamping seperti
ketika naik tangga, sampai siku pendamping terasa
memberi isyarat kalau turun tangga sudah sampai di
tempat yang datar.
e. Duduk di kursi: Jika akan duduk di kursi, pendamping
lebih dahulu harus meyakinkan pada tunanetra
tentang bentuk, ukuran dan kondisi dari pada kursi
cukup kuat atau tidak. Jika datang dari depan kursi,

152
pendamping membawa tunanetra sejauh setengah
langkah dari bagian depan kursi dan menerangkan
posisi dan jarka kursi terhadap tunanetra. Kemudian
tunanetra melepaskan pegangannya dna maju ke
depan sampai tulang kering kakinya menyentuh
pinggiran depan kursi. Seterusnya tunanetra
mengecek kursi dengan menyapukan tangannya ke
seluruh permukaan kursi, sandaran dan tempat
duduknya benar- benar kosong ataukah ada benda di
atasnya. Bila tak ada benda di atasnya, tunanetra
selanjutnya berputar, berdiri membelakangi kursi
dengan meluruskan atau menyentuhkan bagian
belakang kakinya pada pinggiran kursi, baru untuk
duduk sambil berpegangan pada kedua sisi (tepi)
kursi sebelum duduk. Mungkin juga pendamping dan
tunanetra datangnya dari belakang kursi. Maka bila
demikian pendamping harus merabakan tunanetra
pada bagian belakang kursi. Tunanetra seterusnya
meraba sandaran dan tempat duduk dengan sebelah
tangan tetap memegang sandaran kursi. Tehnik
duduknya sama dengan kalau datangnya dari depan
kursi. Bila di ruang makan di mana terdapat kursi
yang bermeja, caranya sama dengan kalau dari
belakang kursi. Yang penting bagaimana posisi
tunanetra di depan meja itu, seudah lurus atau
belum, sudah terasa enak atau belum dan sebagainya.
Untuk mengontrol ini, tunanetra dapat
merentangkan tangannya ke bagian pinggir meja
sesudah duduk. Sedang untuk mengatur letak kursi
agar cukup enak untuk duduk, sebelum duduk
tunanetra dapat mengontrol dengan memegang kursi
dan tangan sebelahnya lagi meraba meja, bila jarak

153
meja dan kursi terlalu rapat dapat ditarik
direntangkan agar dapat untuk duduk dengan enak.
f. Masuk mobil: Setelah sampai di depan pintu mobil,
pendamping menjelaskan posisi pintu mobil,
membukanya ke sebelah kanan atau kiri, kemudian
tangan tunanetra dipegangkan pada handlenya
supaya tunanetra membuka sendiri. Setelah pintu
terbuka tangan tunanetra yang satunya mengontrol
pinggiran atas pintu mobil, terus meraba tempat
duduk untuk mengetahui posisi tempat duduk dan
mengontrol ada benda-benda di atasnya atau tidak.
Setelah tunanetra yakin kalau tempat duduk benar-
benar kosong, barulan tunanetra masuk dan duduk.
Jika tunanetra akan naik bus umum yang pintunya
agak besar dan tinggi, maka tangan tunanetra
dipegangkan pada besi pegangan yang ada di pintu
atau dekat pintu, selanjutnya dengan tehnik trailing
(merambat) pada tepi sandaran tempat duduk
tunanetra akan dapat menemukan tempat duduk
yang masih kosong.
g. Memindahkan pegangan tangan: Tunanetra bila
memegangnya pada pendamping sudah terlalu lama
mungkin merasa capai, sehingga ingin memindahkan
pegangannya dengan berganti tangan yang sebelah.
Hal ini dapat dilakukan dengan lebih dahulu bertanya
kepada pendamping, apakah sisi yang sebelah yang
akan digunakan untuk pindah itu suasananya aman
atau tidak. Kalau pendamping menjawab kalau
keadaan aman, tunanetra dapat pindah pegangan
dengan cara tangannya yang bebas berpegangan
pada tangan pendamping yang semula dipegang.
Tangan yang pertama kali berpegangan dilepas dan

154
sambil menggeser ke belakang pendamping untuk
memegang tangan pendamping yang bebas.
Kemudian tangan yang untuk pegangan kedua
dipindahkan ke tangan pendamping yang dipegang
oleh tangan pertama, setelah itu tangan yang pertama
kali berpegangan dilepas dan tangan yang kedualah
yang memegang tangan pendamping pada sisi yang
sebelahnya tadi.
h. Berbalik arah: Jika pendamping dan tunanetra dalam
perjalanan menemui jalan buntu atau mungkin
karena sesuatu hal yang menyebabkan mereka harus
berbalik arah, ini dapat dilakukan dengan cara,
pendamping berhenti sebentar, kemudian berputar
45 derajad dari posisi semula menghadap ke arah
tunanetra demikian pula tunanetra juga berputar 45
derajad ke arah pendamping, sehingga tunanetra dan
pendamping berhadap-hadapan posisinya. Tangan
tunanetra yang bebas kemudian memegang tangan
pendamping yang bebas. Selanjutnya pendamping
berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah
semula dan tunanetra melepaskan tangan yang
pertama kali memegang pendamping dan berjalan
seperti biasa.

2. Jalan mandiri tanpa alat bantu


a. Trailing (Menyusuri): Trailing adalah kegiatan
dengan menggunakan punggung jari manis dan
kelingking untuk menyusuri permukaan yang datar,
seperti dinding, meja lemari dan sebagainya untuk
menentukan posisi diri, mengetahui sesuatu tempat
dan untuk menentukan arah yang sejajar dengan
benda-benda yang ditrailing.

155
b. Squaring Off (Menertibkan): Squaring off adalah
sikap berdiri lurus sesempurna mungkin dengan
menggunakan tubuh dan bagian-bagiannya untuk
menentukan posisi di suatu tempat (misalnya di
ambang pintu) dan di samping itu meletakkan posisi
tubuh sejajar dengan garis pengarah, sehingga
tunanetra mengetahui posisi awal dan garis arah
menuju suatu benda. Pada waktu tunanetra
mengadakan squaring off pada ambang pintu tangan
direntangkan sampai menyentuh tiang kusen,
kemudian tubuhya menyesuaikannya. Squaring off
dapat juga pada tembok dengan merapatkan
punggung dan tumit keduanya pada tembok. Cara
lain ialah dengan merapatkan betis pada pinggiran
tempat tidur, merapatkan pantat pada pinggiran meja
dan sebagainya. Dalam kegiatan ini yang penting
harus selalu ingat bahwa seluruh tubuh harus
mengikuti penyesuaian yang dilakukan oleh bagian-
bagiannya.
c. Upper Hand and Fore Arm (Tangan di atas menyilang
tubuh): Tahnik ini diciptakan guna melindungi badan
bagian atas dan kepala dari benturan- benturan
benda-benda yang tinggi, seperti : pintu yang
setengah teruka, sudut bangunan yang menonjol,
tiang dan sebagainya. Cara tangan kanan atau kiri
diangkat ke depan/atas setinggi bahu/dada
menyilang badan, sikut membentuk sudut kira-kira
120 derajad, telapak tangan menghadap ke depan
dan ujung jari segaris dengan bahu dengan rilek.
Tehnik ini digunakan dalam lingkungan yang sudah
betul-betul dikenal, misalnya di rumah sendiri atau di
kantor, sehingga tunanetra dapat menggunakan

156
tehnik ini dengan tepat pada satu atau dua langkah
terakhir saja.
d. Lower Hand and Fore Arm (Tangan di bawah
menyilang tubuh): Tehnik ini digunakan untuk
melindungi tubuh bagian bawah, yaitu daerah perut
dan pangkal paha, supaya tidak terbentur pada
benda-benda seperti : kursi, meja, tempat jemuran
handuk dan sebagainya. Caranya, tangan kanan atau
kiri ke arah bawah disilangkan badan, telapak tangan
pada tengah-tengah tubuh mengharap badan
(punggung telapak tangan ke luar). Jarak telapak
tangan dan tubuh kira-kira 20 centimeter. Tehnik ini
penddunannya seperti teknik upper hand and fore
arm, yaitu di tempat yang betul-betul sudah dikenal
oleh tunanetra.
e. Menentukan Arah (Direction taking): Teknik ini
digunakan untuk memperoleh garis pengarah dari
suatu benda atau bunyi agar tunanetra dapat
berjalan lurus dan dapat sampai ke tujuan dengan
tepat. Caranya, tunanetra berdiri sejajar dengan garis
pengarah yang menuju ke tempat tujuan. Teknik ini
mirip dengan teknik trailing, jadi tunanetra dapat
menentukan arah dengan menggunakan permukaan
rata dari benda- benda seperti bangku, papan tulis,
dan sebagainya, sebagai alat bantu orientasi dan
mobilitas.
f. Pencari Benda Jatuh (Dropped Objects): Tunanetra
kalau mempunyai sesuatu benda yang jatuh penting
sekali untuk mendengarkan dan menghadapkan
muka ke arah sumber bunyi itu berhenti. Sebab
dengan berbuat begitu akan mudah untuk
mengadakan pencarian. Kemudian segera berbalik ke

157
arah bunyi, untuk menemukan kembali. Untuk
mencari benda yang jatuh ini ada dua cara: Pertama,
dengan jalan membunkukkan badan ke arah benda
dengan sikap tangan melindungi muka (upper hand
yang disesuaikan dengan situasi). Kemudian tangan
mencari dengan teknik membuat lingkaran kecil
berupa rabaan ke tempat benda yang jatuh, makin
meluas sampai benda ketemu. Kedua, dengan
jongkok badan tegak lurus, agar kepala tidak
membentur sesuatu benda yang mungkin ada di
dekat tunanetra. Setelah memegang lantai/anah,
telapak tangan diletakkan terbuka rata di lantai
untuk mencari dengan cara yang sistimatis, dengan
cara meraba mulai dari lingkaran kecil yang semakin
meluas atau dengan merabakan kedua belah telapak
tangan digerakkan ke arah samping, kemudian
kembali ke tengah-tengah badan dengan diulang-
ulang makin menjauh ke depan sampai benda dapat
ditemukan kembali.
g. Pengenalan Ruangan (Search Pattern): Bagaimana
dengan tunanetra dapat mengenal suatu ruangan
dengan mendetail dan menyeluruh, sehingga dapat
mengetahui keadaan sesuatu ruangan berapa luasnya
dan benda-benda apa saja yang ada dalam ruangan
itu? Untuk mengetahui hal ini ada dua cara: Pertama,
dengan cara Perimater Method (mengelilingi
ruangan), untuk mengetahui berapa kira-kira luas
ruangan. Untuk ini tunanetra dapat menentukan titik
tolak (vacal point) lebih dahulu, misalnya
menggunakan pintu, sehingga setiap gerakan
tunanetra dapat bertitik tolak pada pintu itu. Mula-
mula tunanetra berdiri pada vacal point, kemudian

158
dengan trailing mengelilingi ruangan menurut arah
jarum jam sampai kembali ke vacal point. Kedua,
ialah dengan Grid System (menjelajahi ruangan).
Tujuang menggunakan teknik ini adalah untuk
mengetahui keadaan ruangan secara menyeluruh.
Caranya : Tunanetra dapat berjalan diagonal dari
sudut yang satu menyeberang ke sudut yang lain atau
dapat juga menyeberang dari dinding yang satu ke
dinding yang lain, sehingga seluruh ruangan dapat
dijelajahi.
h. Shaking Hand (Berjabat tangan): Kesulitan sering
dialami oleh dua orang tunanetra yang ingin saling
berjabat tangan. Bila tunanetra bermaksud jabat
tangan dengan orang awas, mungkin sudah tidak
problem, sebab orang yang awas dapat melihat
tunanetra, tetapi bila tunanetra dengan tunanetra
bermaksud akan berjabat tangan ini merupakan suatu
kesulitan, karena sama-sama tidak melihat. Bila
antara tunanetra dengan tunanetra ingin berjabat
tangan hendaknya kedua tunanetra itu saling
mengulurkan tangannya ke depan tingginya jangan
sampai melewati dada, kemudian digerakkan ke
kanan dan ke kiri atau ke kiri terus ke kanan. Kalau
kedua telapak tangan tersebut sudah bersentuhan,
barulah berjabat tangan. Buat orang awas yang ingin
berjabat tangan dengan tunanetra, maka
sentuhkanlah punggung telapak tangan pada
punggung telapak tangan tunanetra, kemudian baru
jabat tangan.

159
3. Teknik tongkat
a. Teknik trailing: Teknik ini sebetulnya adalah teknik
diagonal yang digunakan untuk trailing. Tujuan
penggunaan teknik ini agar tunanetra mampu
berjalan di dalam ruangan yang sudah dikenal dan
dengan teknik ini tunanetra dapat berjalan lurus
dalam mencapai tujuan tertentu Caranya posisi
tongkat sama dengan teknik diagonal, tetapi posisi
tip/ujung tongkat menempel pada permukaan datar
yang ada pada tembok atau mungkin pagar batu
yang datar pada pinggiran yang horisontal dan
vertikal.
b. Teknik di luar ruangan (out door technique): eknik
ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal
maupun yang belum dikenal oleh tunanetra. Panjang
tongkat harus sudah diukur yang sebaik-baiknya
dengan tunanetra yang memakainya. Panjangnya
yang paling ideal adalah setinggi tulang dada
tunanetra yang memakainya. Dalam hal ini perlu
diperhatikan beberapa teknik yang harus dikuasai
dengan baik oleh tunanetra, yaitu : (a) Mengenai cara
memegang tongkat (grip); (b) Lebar busur ke kiri dan
ke kanan harus selalu sama dan stabil (arc
consistent; (c) Sebelum melangkahkan kaki,
tunanetra harus mengecek dulu tempat yang akan
diinjak untuk berjalan (clearing before walk); (d)
Posisi tangan lentur di depan pada tengah-tengah
badan (arm resting on body); (e)Gerak tongkat dan
langkah kaki ada koordinasi yang harmonis
(coordination/keep in step). Teknik-teknik itu
mencakup teknik sentuhan dan teknik 2 sentuhan.

160
c. Teknik sentuhan (Touch technique): Teknik ini dapat
digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun
daerah yang belum dikenal oleh tunanetra, yang
masih asing bagi tunanetra untuk menjelajahi tempat
tersebut, namun tunanetra dapat berjalan dengan
selamat. Prosedur dari teknik sentuhan ini adalah
sebagai berikut: (a) Cara memegang tongkat (grip)
Cara memegang grip diharapkan tidak tegang, tetapi
harus relax seperti orang yang sedang berjabat
tangan. Dari yang benar-benar berfungsi dalam
memegang tongkat in adalah jari telunjuk yang untuk
menahan tongkat dan ibu jari, untuk menekan
pegangan atau grip. Sedang jari-jari yang lain
fungsinya hanya sebagai pembantu saja. Posisi
tongkat harus rapat pada telapak tangan dengan
telunjuk lurus pada bagian tongkat atau grip yang
datang (rata); (b) Lebar Busur: Lebar busur ke kiri dan
ke kanan harus selalu sama atau stabil sehingga dapat
melindungi kaki kiri dan kanan (tip tepat lurus
dengan bahu) tidak boleh terlalu lebar ke kiri atau ke
kanan. Posisi pergelangan tangan juga tidak boleh
terlalu ke tepi / sisi kiri atau kanan, terlalu ke atas atau
ke bawah; (c) Mengecek sebelum melangkah
(clearing) Sebelum melangkahkan kaki, tunanetra
harus mengecek lebih dulu tempat yang akan diinjak
untuk berjalan. Bila menyentuh sesuatu harus benar-
benar diperhatikan apakah jenis benda itu. Cara
mengecek : Ujung tongkat (tip) digeserkan dari
samping kiri ke samping kanan (atau sebaliknya),
kemudian digeserkan kembali ke depan pada tengah-
tengah badan, selanjutnya ditarik digeser menuju
tengah-tengah ke dua telapak kaki. Teknik ini

161
digunakan juga waktu akan menyeberang jalan; (d)
Posisi tangan: Posisi pergelangan tangan di tengah-
tengah badan, sehingga kalau menyentuh / menabrak
sesuatu benda atau terkait tidak menusuk perut dan
bagian busurnya akan menyentuh benda itu lebih
dulu.(e) Gerak tongkat dan langkah kaki ada
koordinasi yang harmonis.
d. Teknik Dua Sentuhan (Two Touch Technique): Teknik
dua sentuhan ini pada dasarnya adalah sama dengan
teknik sentuhan, perbedaanya hanya pada
penggunaan dan geseran tongkat saja. Teknik dua
sentuhan digunakan untuk berjalan di jalan / tempat
yang kasar, dimana kalau tongkat digeser busrnya
akan kerap tersangkut/menusuk jalan atau tanah,
sehingga gerakan tongkat ke kiri dan kanannya tidak
dengan digeser, melainkan sedikit diangkat ujungnya
dari tanah (jangan lebih dari 10 sentimenter diatas
tanah), dan disentuhkan ke sebelah kiri dan kanan di
depan telapak kaki jaraknya sama dengan teknik
sentuhan. Tujuan penggunaan teknik ini untuk
berjalan mengikuti shore line, mencari belokan, jalan
masuk, jalan yang bahaya (kasar) dan untuk
mengecek posisi tubuh berada di pinggir atau tidak.
Teknik sentuhan maupun teknik dua sentuhan ini
tidak selalu digunakan sepanjang perjalanan, tetapi
hanya digunakan dalam hal-hal seperti tersebut ditas.
e. Teknik Menggeserkan Tip (Slide Technique):
Prosedur teknik ini juga sama dengan prosedur
kedua teknik tersebut diatas. Perbedaannya juga
hanya pada penggunaan geseran waktu menggerakan
tongkat. Teknik ini digunakan pada jalan / trotoar /
tempat yang rata / licin permukaannya dengan

162
menggunakan ujung tongkat ke kiri atau ke kanan
pada jalan / trotoar / tanah yang rata, sehingga
semua benda, lubang baik besar maupun kecil dapat
tersentuh oleh bagian busur tongkat dan akhirnya
tidak ada sesuatu halangan pun yang tidak tersentuh
oleh bagian busur dari geseran tongkat sebelumnya.
Berjalan dengan teknik menggeserkan tip yang besar,
akan membawa tunanetra sampai ke tempat tujuan
dengan aman dan sleamat karena semua halangan
akan terdeteksi.
f. Teknik Naik dan Turun Tangga (Up and Down Stair
Technique): Tujuan penggunaan teknik ini, agar
tunanetra mampu berjalan nai dan turun tangga
dengan aman dan selamat sampai habis seluruh
tangga yang sedang dilalui. Sebelum naik atau turun
tangga tu harus mengadakan penertiban dulu
(squaring off) pada pinggir tangga yang pertama
untuk naik atau turun, dengan menggunakan ujung
ke dua telapak kaki, dirasakan pada bagian pinggir
tangga (lurus dengan tangga). Setela squaring off,
tunanetra mengecek tinggi angga dan lebar tangan
serta posisinya sudah di tengah-tengah jalan atau
belum, untuk menghindari kalau tangga naik atau
turunnya tidakmenggunakan pegangan agar
tunanetra tidak terjun ke samping tangga. Tetapi
kalau disamping kiri / kanan ada pegangan,
tunanetra lebih baik naik atau turun mendekati
pegangan. Tunanetra dapat naik atau turun denga
sebelah tangan memegang tongkat dan sebelumnya
berpegangan pada pegangan tangan.

163
164
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik anak tunagrahita, Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anastasia Widjajantin, Dra, dkk, Ortopedagogik Tunanetra I,


Departemen Pendidkian dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan tinggi.

Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan (2014), Jakarta:


Kemenkes.

Conrad,R. (1979) The Deaf Schoolchild. Language and cognitive


function. Harper & Row Ltd.

Coon,N. (1953) The Modern Typewriter. A Device for the Blind.


Upublished paper. Perkins
Institution, Watertown, Mass., US.

Lash,J.P. (1980) Helen and Teacher. The Story of Helen Keller


and Anne Sullivan Macy.Allen
Lane, London (First published in the US - 1980 - by Delacorte
Press/Seymour Lawrence).

LondonDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985)


“Pedoman Guru Olahraga dan Kesehatan”.. Jakarta.

165
Dewi, Alif (2013). Prinsip-prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak
Tunanetra.
[http://aliphdewi.blogspot.co.id/2013/05/prinsip-
prinsip-layanan-pendidikan- bagi.html diakses
25/12/2018].

Dewi, Alif (2013). Prinsip-prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak


Tunanetra.
[http://aliphdewi.blogspot.co.id/2013/05/prinsip-
prinsip-layanan-pendidikan- bagi.html diakses
25/12/2018].

Dharma Adji. (1986). Major Diagnosa Fisik, Jakarta: DGC.


Penerbit Buku Kedokteran.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi


Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan
Inklusif, diambil dari http://www.ditplb.or.id/ new/index.
php?menu= profile&pro=52

Djadja, R. (1994). Dasar-dasar O&M Bagi Anak Tunanetra Usia


Pra Sekolah, Bandung:Jurusan PLB FIP IKIP Bandung.

Dijk,J.van (1991) Persons Handicapped by Rubella.Swets &


Zeitlinger B.V., Amsterdam,Lisse (The Netherlands).

Ghozali, Endang Warsigi. (1993). Deteksi Dini Aspek


Sosi
al Psikologis Anak Balita,
Surabaya: Dinas Kesehatan prop. Jawa Timur.

Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children


Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall
International, Inc.

Haryanto. (2010/2011). Pengantar Asesmen Anak Berkebutuhan


Khusus. Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu

166
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. (untuk
Kalangan Sendiri).

Heri Purwanto. (2007). Bahan Ajar Cetak Pendidikan anak


berkebutuhan khusus, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Humairo, Noer (2015). Makalah Tunanetra


dari
https://www.academia.edu/5269460/makalah_tuna_netr
a diakses 10/11/2018

Hosni, Irham (2005). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta:


Depdikbud, Dirjen Dikti.

Hosni, Irham. 2012. Membaca dan Menulis bagi Anak Low Vision.
Pusat Layanan Terpadu Low Vision. Jurusan Pendidkan
Luar Biasa. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung. Diunduh tanggal 20
November 2018
.http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FIP/JUR._P
END._LUAR _BIASA/195101211985031-IRHAM_HOSNI/

Houlton-Aikin, B. (2001). Reflections on a White Cane Seminar.


The Braille Monitor, June 2001. Baltimore: The National
Federation of the Blind.

Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National


Federation of the Blind.

Marzano, R. J. (1998). A Theory- Based Meta- Analysis of


Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid- continent
Regional Educational Laboratory.

Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access


to Education for Children and Young People. London:
David Fulton Publishers

167
McLoughlin, LA. dan Lewis, RB. (1981). Assessing
Special_Student Columbus: Charles E. Merrill. Bab 11 292
s.d 339 tentang classroom Behavior.
McLoughlin,James,A. & Lewis, Rena,B, (1986). Assessing Special
Students (2nd) USA: Merril Publishing Company.

Mulyasa, E (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Ahmad (2010). Makalah Pendidikan Inklusif bagi Anak


Low Vision. Bandung: UPI.

Nurjana, Fitri (2009). Tunanetra.


[http://bintangbangsaku.com/artikel/tunanetra.
Diakses 25/12/2015].

Nursiam, Afifah. (2015). Karakteristik Anak Tunanetra. Diambil


dari http://membumikan-
pendidikan.blogspot.com/2015/05/karakteristik-anak-
tunanetra.html. tanggal 5 November 2018.
Oxford Food & Fitness Dictionary (2003), Body
Awareness.[http://www.answers.com/topic/body-
awareness diakses pada 28-10-2015].

Permendiknas Nomor 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi


Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus.

Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra


Indonesia. Jakarta: Pertuni.

Pradopo, Soekini dkk. (1977). Pendidikan Anak-Anak Tunanetra.


Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Psychology Facts (2006), Concept Formation.


[http://psychologyfacts.blogspot.com/2006/06/concept-
formation.html diakses pada 29-10-2018].

168
Rahardja, Djadja (2010). Sistem Pengajaran Modul Orientasi dan
Mobilitas. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Riyanti,Widi (2013). Karakteristik dan Pendidikan


Anak.
[http://widiriyanti.blogspot.co.id/2013/03/karakteristik-
dan-pendidikan- anak.html. diakses 12/11/2018].

Rochyadi & Alimin, Z. (2005), Pengembangan Program Individual


Bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas

Slamet Riadi, Drs., dkk, Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa,
Cv. Haran Baru, Jakarta.
Smith, M. K. (1999) „The humanistic to learning‟, the
encyclopedia of informal
education.http://infed.org/mobi/humanistic-orientations-
to-learning/. diakses 27/11/2018].

Smith, M. K. (1999). „The social/situational orientation to


learning’, the encyclopedia of informal education.
[http://infed.org/mobi/the- socialsituational-orientation-
to-learning/. diakses 29/10/2015].

Smith, M. K. (2015). What is education? A definition and


discussion. The encyclopaedia of informal education.
[http://infed.org/mobi/what-is-education- a-definition-
and-discussion/ diakses 21/10/2015].

Sugiarti (2008). Vision 2020 The Right to Sight. Bandung: Syamsi


Dhuha Foundation.

Sunanto, Juang. Asesmen dan Pembelajaran Tunanetra, dalam


file.upi.edu/.../ASESMEN_DAN_PEMBELAJARAN_BAGI_TUNA
NET... di download 7 November 2018.

169
Tarsidi (2011). Definisi Tunanetra. [d-
tarsidi.blogspot.com/2011/10/definisi-tunanetra.html.
diakses 02/12/2018].

Tarsidi (2008). Dampak Kehilangan Penglihatan. [http://d-


tarsidi.blogspot.co.id/2008/06/dampak-kehilangan-
penglihatan.html. diakses 12/11/2015].

Tarsidi, D. (1998). Analisis tentang Sistem Tulisan Singkat Braille


Indonesia (Tusing). Makalah disajikan pada Seminar
Sistem Braille Indonesia Tingkat Nasional. Jakarta, 13-15
Oktober 1998.

(Tn.). (1985). Independent Living for the Visually Impaired.


Winnetka: The Hadley School for the Blind. />

Utah Deaf blind Conference (1997), Conceptual Development.


[http://www.nationaldb.org/dish/conceptmonaco.pdf
diakses pada 24-10-2015].

Viola E. Cardwell. (1993). Cerebral Palsy, An Anvances in


Understanding and Care, New York: Assosiation for the
Aid of Crippled Children.

World Health Organization (2011). Visual impairment and


blindness. (Online). Tersedia:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/.
Diakses. 2 Maret 2019.

Winkel, W.S.. 1996. Psikologi Pengajaran. Fakultas Keguruan


Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Darma. Grasindo.
Jakarta

Yatiningsih, Rusli (2009). Skripsi: Meningkatkan Prestasi Belajar


Matematika pada Pokok Bahasan Geometri melalui Media
Geoboard pada Siswa Tunanetra. Surakarta: Universitas

170
Sebelas Maret.
[https://eprints.uns.ac.id/8656/1/162812708201005241.
pdf].

Yusuf, Munawir .(2005). Asesmen perkembangan pada anak


tunagrahita, Jakarta: DepartemenPendidikan Nasional.

Yusuf, Munawir, dkk. (1997). Mengenal Siswa Berkesulitan


Belajar, Jakarta: Depdikbud

171
172

Anda mungkin juga menyukai