Anda di halaman 1dari 72

TEORI PEMBELAJARAN

Wahyu Setyorini
13010034046/ PLS 2013 B

1|Teori Pembelajaran

TEORI
PEMBELAJARAN

2|Teori Pembelajaran

WAHYU SETYORINI

TEORI
PEMBELAJARAN

3|Teori Pembelajaran

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulilahirobbil, alamin. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah


SWT., Rabb Yang Maha Esa, Rabb Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Atas kehendak- Nya, penulis mampu menyelesaikan tulisan tentang Teori
Pembelajaran. Meskipun selama penyusunan, banyak menghadapi kesulitan,
namun berkat usaha yang keras serta dorongan semua pihak, penulis berhasil
menyelesaikan tulisan ini.
Tulisan ini memberikan uraian mulai bab 1 yang menguraikan tentang
konsep belajar dan konsep pembelajaran, bab 2 menguraikan tentang teori- teori
belajar behavioristik, dimana tokohnya adalah Edward Lee Thorndike, Ivan
Pavlov, Burrhus Frederic Skinner, John B. Watson, Clark Leonard Hull, Robert
M. Gagne, dan Edwin Guthrie
Bab 3 menguraikan teori belajar humanistik dimana tokohnya adalah
Arthur Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers, kemudian bab 4, menguraikan
teori belajar kognitif dimana tokohnya adalah Jean Piaget dan Gestalt, dan bab 5
menguraikan teori belajar pengelolaan informasi yang dipelopori oleh Robert
Mills Gagne.
Akhir kata, penulis mengharap agar tulisan tentang Teori Pembelajaran ini
bermanfaat bagi pembaca khusunya pendidik dan calon pendidik untuk
memberikan pembelajaran yang efektif dan efisien. Kepada pembaca, kritik dan
saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan tulisan ini, sangat penulis
harapkan.

Desember, 2014
Penulis

4|Teori Pembelajaran

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS

iii

DAFTAR ISI

iv

BAB 1 (PENDAHULUAN)

A.

Pengantar

B.

Konsep Dasar Belajar

C.

Konsep Dasar Pembelajaran

D.

Teori Belajar dan Manfaatnya dalam Pembelajaran

15

BAB II (TEORI- TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK)

18

A.

Teori Belajar Behavioristik

18

B.

Edward Lee Thorndike

19

C.

Ivan Pavlov

23

D.

Burrhus Frederic Skinner

26

E.

John B. Watson

29

F.

Clark Leonard Hull

30

G.

Robert M. Gagne

32

H.

Edwin Guthrie

34

BAB III (TEORI- TEORI BELAJAR HUMANISTIK)

41

A.

Teori Belajar Humanistik

41

B.

Arthur Combs

42

C.

Abraham Maslow

45

D.

Carl Rogers

47

5|Teori Pembelajaran

BAB IV (TEORI- TEORI BELAJAR KOGNITIF)

51

A.

Teori Belajar Kognitif

51

B.

Jean Piaget

52

C.

Gestalt

55

BAB V (TEORI- TEORI BELAJAR PENGELOLAAN INFORMASI)

59

A.

59

Robert M. Gagne

DAFTAR PUSTAKA

66

6|Teori Pembelajaran

1
PENDAHULUAN

Pengantar
Bagi

kebanyakan

siswa,

juga

mahasiswa,

belajar

berarti

menggarisbawahi buku pelajaran dengan stabilo kuning sambil mendengarkann


alunan musik dari ruang lain. Atau, bila menghadapi ujian akhir semester esok
hari, belajar berarti minum kopi sebanyak mungkin atau minum pil anti ngantuk
dan menghabiskan sepanjang malam untuk berusaha menjejali otaknya dengann
semua bahan kuliah yang sebetulnya, mesti dipelajari selama kurang lebih dua
belas minggu sebelumnya. Maka, SKS pun kemudian sering diplesetkan menjadi
Sistem Kebut Semalam.
Belajar, menurut anggapan sementara orang adalah proses yang terjadi
dalam otak manusia. Saraf dan sel- sel otak yang bekerja mengumpulkan semua
yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan lain- lain, lantas disusun oleh
otak sebagai hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi
otaknya terganggu.
Dalam bukunya The Organization of Behavior (1949), D.O. Hebb (Hardy
dan Heyes, 1988: 32- 33) mengemukakan teorinya mengenai

proses

berlangsungnya belajar dan penyimpanannya di otak. Pada masa penerbitann buku


ini, bukti- bukti yang mendukung teori ini masih sangat kurang, karena teknik
pembedahan yang canggih serta peralatan yang diperlukan untuk mempelajari
fungsi otak, belum ada. Sejalan dengan bertambahnya pengetahuan mengenai
fungsi otak yang berhasil diperoleh oleh para peneliti otak lain, kenyataan

7|Teori Pembelajaran

membuktikan bahwa teori Hebb, sekalipun mungkin kurang benar dalam beberapa
hal, telah menunjukkannya.
Ini teori Hebb adalah bahwa semakin serig dua atau lebih neuron di otak
meletub pada saat bersamaan, semakin besar kecenderungan bagi neuron tersebut
untuk bekerja sama pada kesempatan berikutnya. Perlu diingat bahwa neuron
dapat melompati celah ini dalam bentuk bahan pemancar, yang kemudian
melepaskan impuls dari neuron berikutnya pada suatu rantai neuron. Kedua,
neuron yang dihubungkan oleh celah sinapsis, ada kemungkinan, tidak perlu
bekerja bersama- sama, karena masing- masing neuron tersebut menjadi anggota
pada sirkit yang berbeda otak.
Sesungguhnya masalah belajar itu demikian kompleksnya. Namun
menurut Alex Sobur (2003: 218) secara singkat belajar dapat diartikan sebagai
perubahan perilkau yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman. Di sini
tidak termasuk perubahan perilaku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat
fisik, penyakit, obat- obatan, atau perubahan karena proses pematangan.

B Konsep Dasar Belajar


Belajar merupakan permasalahan yang umum dibicarakan setiap orang,
A
terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan. Belajar juga merupakan suatu
istilah yang familiar telinga mayoritas individu. Begitu familiarnya istilah belajar
sehingga setiap orang memahami tentang arti dari belajar. Namun demikian, pada
kenyataannya masih banyak hal- hal yang berkaitan dengan belajar yang belum
dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh sebab itu, sebagai pendidik dan calon
tenaga pendidik perlu memahami konsep dasar belajar secara lebih komprehensif
dan mendalam.

1.

Pengertian Belajar
Menurut Alex Sobur (2003: 221- 222), merumuskan beberapa unsur

penting yang menjadi ciri atas pengertian mengenai belajar, yaitu berikut ini:
1) Situasi belajar mesti bertujuan, dan tujuan- tujuan tersebut diterima, baik oleh
individu maupun masyarakat;

8|Teori Pembelajaran

2) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam tingkah laku, dan
perubahan itu bisa mengarah pada tingkah laku yang lebih baik, akan tetapi
juga ada kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk;
3) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan
pengalaman, dalam arti, perubahan- perubahan yang disebabkan oleh
pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar;
4) Untuk bisa disebut belajar, perubahan itu harus relatif mantap, harus
merupakan hasil akhir daripada periode waktu yang cukup panjang. Seberapa
lama periode waktu itu berlangsung, sulit ditentukan dengan pasti, namun
perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin
berlangsung berhari- hari, berbulan- bulan, ataupun bertahun- tahun. Ini
berarti kita harus mengesampingkan perubahan- perubahan tingkah laku yang
disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adptasi, ketajaman perhatian atau
kecapekan seseorang yang biasanya hanya berlangsung sementara.
5) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspekaspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam
pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, sikap,
ataupun kebiasaan.

2.

Komponen- Komponen Belajar


Proses belajar itu sendiri dilaksanakan oleh individu yang dibantu oleh

pendidik dalam memahami dan mengatasi suatu permasalahan guna mencapai


tujuan- tujuan tertentu. Tujuan- tujuan tersebut dalam proses pembelajaran pada
dasarnya

dirancang

sedemikian

rupa

oleh

pendidik

dengan

cara

mengorganisasikannya (sistem), dalam bentuk model dan metode pembelajaran


dengan tujuan agar individu dapat lebih mudah untuk memahami. Maka demikian,
pada dasarnya aktivitas belajar memiliki beberapa komponen yang saling
berkaitan dan berhubungan. Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 126- 127),
komponen- komponen tersebut meliputi:
a.

Tujuan Belajar

9|Teori Pembelajaran

Proses belajar berlangung karena adanya tujuan- tujuan yang ingin dicapai.
Selain iu, proses belajar itu sendiri akan lebih efektif apabila siswa mengerti
tujuan dan manfaat sari materi pelajaran yang akan dipelajari.
b.

Materi Pelajaran
Tujuan belajar yang hendak dicapai akan mudah dicapai siswa apabila ada
sumber- sumber materi pelajaran. Artinya, ada bahan materi yang dipelajari
yang sudah tersusun dan siap dikembangkan.

c.

Kondisi Siswa
Kondisi siswa sebagai subjek belajar juga merupakan komponen penting.
Namun demikian, tanpa mengesampingkan segenap potensi dan perbedaan
individu, faktor- faktor yang mnejadi komponen dalam proses belajar sebagai
berikut:
a. Kesiapan siswa artinya, agar proses berhasil maka siswa perlu memiliki
kesiapan, baik fisik maupun psikis serta kematangan untuk melaksanakan
aktivitas- aktivitas belajar.
b. Kemampuan interprestasi siswa artinya, siswa mampu membuat
hubungan- hubungan di antara beberapa kondisi belajar, materi belajar
dengan pengetahuan sisiwa, serta kemungkinan- kemungkinan tujuan yang
akan dicapai dari sebuah materi pelajaran.
c. Kemampuan respons siswa artinya, siswa secara aktif melakukan aktivitas
belajar, sesuai dengan instruksi yang diberikan, baik dalam pengerjaan
tugas- tugas, kerja kelompok, maupun aktivitas belajar lainnya.
d. Situasi proses belajar artinya keberhasilan belajar siswa juga ditentukan
oleh situasi dan kondisi ketika proses belajar dilaksanakan. Hal ini tidak
lepas dari kondisi fisik dan psikis siswa serta kondisi kelas yang
digunakan, proses penyampaian materi oleh guru, peralatan dan media
yang

digunakan,

dan

sebagainya,

apakah

dalam

situasi

yang

menyenangkan dan mengaktifkan siswa atau kah yang menegangkan.


e. Hasil belajar sebagai konsekuensi artinya belajar siswa dalam bentuk nilai
akun baik atau buruk. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi belajar
karena hasil belajar sangat tergantung dengan proses belajar itu sendiri,
kesiapan siswa, materi, bahan atau media, dan sebagainya. Dengan

10 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

demikian akan selalu ada hasil belajar yang positif dan negatif sebagai
sebuah konsekuensi dalam pelaksanaan belajar apakah sungguh- sungguh
ataukah asal- asalan.
f. Reaksi terhadap kegagalan artinya akan selalu ada reaksi yang muncul
terhadap hasil belajar yang telah diperoleh. Misalnya kegagalan dapat
menurunkan semangat dan motivasi, sedangkan keberhasilan dapat
meningkatkan semangat dan motivasi.

3.

Beberapa Aktivitas Belajar


Setiap Individu memiliki cara dan proses tersendiri dalam melakukan

aktivitas belajarnya. Apapun aktivitas yang dilakukan individu untuk menjadi


lebih baik dalam mempelajari dan memahami suatu materi pelajaran maka
dikatakan aktivitas belajar. Namun demikian, menurut Wasty Soemanto (2006:
107- 113), terdapat beberapa aktivitas belajar yang secara umum dikatakan
sebagai aktivitas belajar, yaitu meliputi:
a.

Mendengarkan
Menurut Wasty Soemanto (2006: 107-108), mendengarkan merupakan salah
satu bentuk aktivitas belajar. Hal ini disebabkan dalam proses pembelajaran
selalu ada guru yang memberikan materi dengan ceramah, proses presentasi,
diskusi, seminar, dan sebagainya. Namun demikian, proses mendengar yang
tergolong belajar adalah apabila mendengar dilakukan secara aktif dan
bertujuan. Selain itu mndengarkan merupakan aktivitas belajar karena melalui
aktivitas mendengar terjadi interaksi individu dengan lingkungannya.

b.

Memandang, memerhatikan, atau mengamati


Menurut Wasty Soemanto (2006: 108), memandang, memerhatikan, atau
mengamati merupakan aktivitas belajar. Namun demikian, tidak semua
kegiatan memandang, memerhatikan, atau mengamati merupakan aktivitas
belajar. Hal ini dikarenakan belajar memiliki tujuan sehingga apabila kegiatan
memandang, memerhatikan, atau mengamati dilakukan dengan tujuan
tertentu maka dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar.

c.

Meraba, mencium, dan mencecap

11 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Menurut Wasty Soemanto (2006: 109), meraba, mencium, dan mencecap


merupakan aktivitas belajar. Sama dengan proses lainnya meraba, mencium,
dan mencecap baru dapat dikatakan sebagai aktivitas belajar bila didorong
oleh kebutuhan untuk mengetahui, mencapai tujuan- tujuan tertentu, dan
melakukan perubahan perilkau, baik secara kognitif maupun psikomotorik.
d.

Menulis atau mencatat


Menurut Wasty Soemanto (2006: 109), menulis atau mencatat merupakan
aktivitas belajar. Mencatat akan dikategorisasikan sebagai aktivitas belajar
apabila individu menyadari akan tujuannya mencatat serta ada manfaatnya
dari apa yang dicatatnya untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu.

e.

Membaca
Menurut Wasty Soemanto (2006: 110), membaca merupakan aktivitas
belajar. Hal ini disebabkan dalam membaca selalu diawali dengan
memerhatikan judul- judul bab, topik pembahasan, dan sebagainya serta
menentukan topik yang relevan untuk dipelajari.

f.

Membuat ringkasan atau ikhtisar dan menggarisbawahi


Menurut Wasty Soemanto (2006: 111), membuat ringkasan atau ikhtisar dan
menggarisbawahi merupakan aktivitas belajar. Hal ini disebabkan untuk
membuat sebuah ikhtisar, siswa perlu membaca materi secara keseluruhan.
Oleh sebab itu, secara tidak langsung ia juga telah belajar, dan mengingat
kembali materi dari buku- buku yang telah dibacanya pada masa- masa yang
akan datang.

g.

Menyusun paper atau kertas kerja


Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), menyusun paper atau kertas kerja
merupakan aktivitas belajar apabila prosesnya dikerjakan sendirii oleh
individu siswa. Hal ini disebabkan untuk mmebuat paper maka diperlukan
rumusan masalah atau pokok pembahasan tertentu yang secara tidak langsung
menuntut individu mencari, membaca, dan memahami sumber- sumber bahan
tersebut terlebih dahulu sebelum menuliskannya .

h.

Mengingat
Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), mengingat merupakan aktivitas
belajar apabila proses mengingat tersebut didasari atas kebutuhan dan

12 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

kesadaran siswa untuk mencapai tujuan- tujuan belajar lebih lanjut, seperti
agar dapat mengerjakan soal- soal ujian sehingga nilainya baik dan dapat
lulus untuk segera melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi..
i.

Latihan atau praktik


Menurut Wasty Soemanto (2006: 112), latihan atau praktik merupakan
aktivitas belajar. Hal ini disebabkan selama proses pelaksanaan praktik,
individu akan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian,
hasil dan aktivitas praktik tersebut berupa pengalaman yang secara tidak
langsung akan mengubah individu baik secara kognitif, adektif, maupun
psikomotoik sehingga ia dikatakan telah belajar.

4.

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar


Muhibbin Syah dalam Sugihartono dkk. (2007: 76), menyebutkan bahwa

hanya terdapat dua faktor yang memengaruhi proses belajar, segala sesuatu serta
kondisi yang berasal dari dalam dan segala sesuatu serta kondisi yang berasal dari
luar individu yang belajar. Penjelasan masing- masing faktor tersebut sebagai
berikut:
1.

Faktor Internal
a.

Faktor Fisiologis/ Fisik


Oleh sebab itu, menurut Sumadi Suryabrata (2011: 236), pendidik
memiliki kewajiban menjaga kondisi fisiologis siswa agar tetap dapat
berfungsi dengan baik dan kondisi fisik yang bugar yang dapat dilakukan
dengan adanya pemeriksaan oleh dokter sekolah secara periodik,
penyediaan, dan penggunaan alat- alat pembelajaran yang memenuhi
syarat kesehatan, penempatan posisi siswa di kelas dengan baik, dan
berbagai startegi lainnya yang mungkin dapat dilakukan guru sesuai
dengan kebutuhan dalam kegiatan preventif maupun kuratif.

b.

Faktor Psikologis
Menurut Sri Rumini dkk (2006: 61), siswa yang mengalami gangguan
psikis, misalnya, tingkat kecerdasan yang terlalu rendah tentu akan
mengalami kesulitasn dalam mengikuti dan memahami materi pelajaran
meskipun materi dan cara penyampainnya cukup sederhana. Siswa yang

13 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

sukar mengingat dan daya fantasi lemah juga membutuhkan proses


pembelajaran yang disesuaikan dengan kelemahannya.
2.

Faktor Eksternal
a. Faktor- Faktor Nonsosial
Segala sesuatu dan kondisi di sekitar siswa akan sangat memengaruhi
pencapaian hasil belajar belajar siswa tersebut. Menurut Sumadi
Suryabrata (2011: 233), faktor- faktor yang termasuk dalam kelompok
faktor non- sosial ini sangat banyak dan tidak terhingga. Misalnya cuaca,
suhu, udara, waktu belajar, dan pembelajaran (pagi, siang, sore atau
malam), tempat belajar (letak gedung, tata ruang), peralatan dalam
belajar.
b. Faktor- Faktor Sosial
Menurut Sumadi Suryabrata (2011: 234), yang dimaksud dengan faktor
sosial adalah faktor manusia, baik manusia yang hadir secara langsung
maupun yang tidak hadir, tetapi memengaruhi proses belajar dan
pembelajaran siswa.
(1) Faktor Lingkungan Keluarga
Faktor- faktor keluarga yang dapat memengaruhi proses belajar siswa,
antara lain pola asuh orang tua (misalnya demokratis, protektif,
permisif, dan sebagainya), cara orang tua mendidik (misalnya militer
ataukah sipil), relasi antaranggota keluarga (misalnya akrab, saling
tidak peduli, cekcok atau bertengkar, dan sebagainya), suasana rumah
(misalnya selalu ada keributan, damai, dan sebagainya), pengertian
orang tua (misalnya orangtua yang tidak mau mengalah, orang tua
mengalah, dan sebagainya), kebudayaan keluarga (misalnya disiplin
tinggi, kurang disiplin), serta keadaan sosial ekonomi keluarga dan
sebagainya.
(2) Faktor Lingkungan Sekolah
Faktor- faktor dari lingkungan sekolah yang dapat memengaruhi
proses belajar siswa, antara lain metode- metode mengajar yang
digunakan guru (misalnya berpusat pada guru atau berpusat pada
siswa), jenis kurikulum yang dikembangkan dan digunakan, pola

14 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

hubungan atau relasi antara guru dengan siswa, pola relasinya


mahasiswa, model disiplin sekolah yang dikembangkan, jenis mata
pelajaran dan beban belajar siswa, waktu sekolah, keadaan gedung
sekolah, kuantitas tugas rumah, media pembelajaran yang sering
digunakan, dan sebagainya.
(3) Faktor Lingkungan Masyarakat Dan Budayanya
Faktor- faktor dari lingkungan masyarakat yang dapat memegaruhi
proses belajar siswa, antara lain jenis kegiatan yang diikuti siswa di
masyarakat (misalnya karang taruna, pengurus masjid, atau ikut
apapun), teman bergaul siswa, media massa yang dikonsumsi, bentuk
kehidupan masyarakat nya, kebiasaan- kebiasaan yang berlaku di
masyarakat dan sebagainya.

C Konsep Dasar Pembelajaran


Istilah pembelajaran hampir sama dengan istilah teaching dan instruction.
A
Istilah pembelajaran dikaitkan dengan proses dan usaha yang dilakukan oleh guru
atau pendidik untuk melaksanakan proses penyampaian informasi kepada siswa
melalui proses pengorganisasian materi, siswa, dan lingkungan yang umumnya
terjadi di dalam kelas. Pembelajaran menjadi penting untuk diketahui oleh guru
calon guru agar proses mengajar yang dilakukannya dapat berjalan dengan baik.
Pembelajaran yang baik dan berhasil akan terlihat dari prestasi belajar siswa yang
tinggi dan adanya perubahan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.

1.

Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran

menurut

Sugiyono

dan

Hariyanto

(2011:

183),

didefinisikan sebagai sebuah kegiatan guru mengajar atau membimbing siswa


menuju proses pendewasaan diri. Pengertian tersebut menekankan pada proses
mendewasakan yang artinya mengajar dalam bentuk penyampaian materi tidak
serta merta menyampaikan informasi, tetapi lebih pada bagaimana menyampaikan
dan mengambil nilai- nilai dari materi yang diajarkan agar dengan bimbingan

15 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

pendidik bermanfaat untuk mendewasakan siswa. Berbeda dengan pendapat


tersebut, pembelajaran dapat dipahami sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan
oleh guru dalam mengatur dan mengorganisasikan lingkugan belajar dengan
sebaik- baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi
proses belajar.
Selain

pengertian-

pengertian

tentang

pembelajaran

yang telah

disebutkan, Sugiharto dkk. (2007: 81), mendefinisikan pembelajaran secara lebih


operasional, yaitu sebagai suatu upayayang dilakukan pendidik atau guru secara
sengaja dengan tujuan menyampaikan ilmu pengetahuan, dengan cara
mengorganisasikan dan menciptakan suatu sistem lingkungan belajar secara lebih
optimal. Konsep pengertian pembelajaran tersebut pada dasarnya menitikberatkan
pada proses pembelajaran sebagai sebuah aktivitas yang direncanakan, dilakukan,
dan dievaluasi oleh guru. Pembelajaran dilaksanakan secara sengaja untuk
mengubah dan membimbing siswa dalam mempelajari sesuatu dari lingkungan
dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk untuk mengembangkan kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik menuju kedewasaan siswa. Pembelajaran
memiliki tujuan- tujuan tertentu yang akan dicapai dengan memanfaatkan
lingkungan sebagai media dan sarana belajar bagi siswa.
Penjabaran tentang konsep dasar pengertian pembelajaran tersebut
menjelaskan bahwa fokus dari pengertian pembelajaran tersebut menjelaskan
bahwa fokus dari pengertian pembelajaran adalah bagaimana seorang guru
mengorganisasikan materi, siswa, dan lingkungan belajar agar siswa dapat belajar
dengan optimal. Namun demikian, pendapatl lain yang lebih rinci dan dilihat dari
berbagai siis tentang konsep pembelajaran disampaikan Biggs dalam Sugihartono
dkk. (2007: 80- 81), bahwa konsep tentang pengertian pembelajaran terbagi dalam
tiga kelompok dalam pengertian kuantitatif, kualitatif, dan institusional.
a.

Pembelajaran dalam pengertian kuantitatif


Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan jumlah materi dalam
pembelajaran. Artinya, konsep pembelajaran seperti ini menekankan pada
penularanatau penyampaian materi pelajaran atau pengetahuan dari guru
kepada siswa dalam jumlah yang banyak pula, baik dari segi jenis dan bentuk
pengetahuan

16 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Oleh sebab itu, guru dituntut untuk menguasai pengetahuan yang dimiliki
sebanyak mungkin sehingga dapat menyampaikannya kepada siswa dalam
jumlah yang banyak pula, baik dari segi jenis dan bentuk pengetahuan.
b.

Pembelajaran dalam pengertian kualitatif


Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan kualitas proses
pembelajaran yang dilakukan. Artinya, konsep pembelajaran seperti ini
menekankan pada upaya guru dalam mempermudah siswa melakukan
aktivitas belajar serta tingkat kebermanfaatan materi pelajaran bagi siswa.
Oleh sebab itu, guru dituntut untuk melibatkan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran dan tidak hanya menjejali siswa dengan pengetahuanpengatahuan secara teori dengan sebanyak- banyaknya. Dengan demikian,
pembelajaran secara kualitatif menekankan pada keberartian proses dan
materi pelajaran yang diterima siswa untuk memenuhi keterampilan dan
kebutuhan siswa dalam mengembangkan diri.

c.

Pembelajaran dalam pengertian institusional


Pembelajaran dalam pengertian ini berkaitan dengan bagaimana kemampuan
guru dalam melakukan penataan, pelaksanaan, dan evaluasi proses
pembelajaran. Artinya, secara institusional pembelajaran dituntut untuk dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh guru. Oleh sebab itu, guru
dituntut mampu mengadaptasi dan mengembangkan berbagai tehnik megajar
untuk berbagai macam perbedaan siswa dan karakteristiknya. Dengan
demikian, konsekuensi dari pembelajaran dalam pengertian ini adalah tingkat
pemahaman dan penguasaan guru tentang model- model dan metode yang
dikembangkann dalam pembelajaran, untuk dipraktikkan dalam proses
pembelajaran.

2.

Metode- Metode Pembelajaran


Menurut Sugiyono dan Hariyanto

(2011:

19), contoh metode

pembelajaran konvensional yang paling banyak digunakan dalam praktik


pembelajaran. Oleh sebab itu, guru dapat memilih metode pembelajaran yang
dipandang tepat dengan materi yang akan disampaikan dalam kegiatan

17 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

pembelajaran. Metode- metode pembelajaran yang umum digunakan sebagai


berikut:
1.

Metode Ceramah
Menurut Sugihartono dkk. (2007: 82), metode ceramah merupakan metode
pembelajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa dengan cara guru
menyampaikan materi pelajaran secara bahasa lisan. Pelaksanaan metode
ceramah murni menuntut guru agar dapat menyampaikan materi pelajaran
dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. Pada metode ini, peran guru
lebih aktif dibandingkan siswa karena proses komunikasi berjalan satu arah,
yaitu dari guru kepada siswa. Keberhasilan metode ini tidak semata- mata
karena kehebatan guru dalam mengolah kata, tetapi juga dukungan media
pembelajaran seperti gambar, film, dan sebagainya.

2.

Metode Latihan
Metode latihan merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru
dalam

menyampaikan

materi

pelajaran

dengan

cara

menanamkan

keterampilan- keterampilan tertentu yang dilakukan melalui kegiatankegiatan latihan. Pelaksanaan metode ini diharapkan siswa dapat menyerap
materi secara lebih optimal. Metode latihan banyak digunakan pada mata
pelajaran yang menekankan pada keterampilan motorik seperti olahraga dan
kecepatan dalam melakukan sesuatu seperti mengerjakan soal- soal pada mata
pelajaran matematika, fisika, dan sebagainya.
3.

Metode Diskusi dan Tanya Jawab


Metode diskusi sering kali disatukan dengan metode tanya jawab. Menurut
Sugihartono dkk. (2007: 83),

metode diskusi merupakan metode

pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara memberikan permasalahan


tertentu kepada siswa dan siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut
secara kelompok. Penggunaan metode ini dapat menumbuhkann dan
mendorong siswa agar mampu mengemukakan pendapat secara konstruktif
serta membiasakan siswa untuk bersikap toleren dan menghargai pendapat
orang lain. Pada pelaksanaannya selalu disertai dengan kegiatan tanya jawab,
baik siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru.
4.

Metode Karyawisata

18 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Sugihartono dkk. (2007: 82), metode karyawisata merupakan metode


penyampaian materi pelajaran dengan cara membawa langsung siswa ke
objek di luar kelas atau lingkungan kehidupan nyata. Tujuan utama
penggunaan metode ini adalah agar siswa dapat mengamati dan mencarmati
atau mengalami secara langsung tentang apa yang dipelajari di sekolah
menjadi lebih berarti karena relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang
ada di masyarakat. Misalnya, tentang sejarah candi- candi maka siswa bisa
diajak mengunjungi beberapa candi yang ada seperti Borobudur, Prambanan,
dan sebagainya.
5.

Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran yang dilakukan guru
dengan cara memperlihatkan suatu proses atau cara kerja satu benda yang
berkaitan dengan bahan dan materi pelajaran (Sugihartono dkk. 2007: 83).
Penggunaan metode ini lebih banyak digunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran yang berkaitan dengan cara kerja sesuatu, baik mesin, proses
terjadinya pelangi, proses terjadinya gerhana, dan sebagainya.

6.

Metode Sosiodrama dan Bermain Peran


Metode sosiodrama merupakan metode pembelajaran yang dilakukan guru
dengan cara memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan
memainkan peran tertentu yang ada dalam kehidupan sosial secara nyata
(Sugihartono dkk. 2007: 83). Metode bermain peran, merupakan metode
pembelajaran yang digunakan guru melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan siswa dengan cara siswa memerankan suatu tokoh, baik tokoh
yang berupa benda mati maupun tokoh hidup. Materi pelajaran yang sering
disampaikan

dengan

metode

ini

adalah

materi-

materi

pelajaran

kewarganegaraan yang meliputi, toleransi, kejujuran, sopan santun dan


sebagainya.
7.

Metode Pemberian Tugas dan Resitasi


Metode pemberian tugas merupakan metode pembelajaran yang dilakukan
guru dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk dikerjakan. Resitasi
merupakan bentuk pembelajaran yang berupa tugas kepada siswa untuk
membuat laporan atas pelaksanaan tugas yang telah diberikan oleh guru

19 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

sebelumnya (Sugihartono dkk. 2007: 84). Metode ini dapat menumbuhkan


kemandirian, tanggung jawab, dan inisiatif siswa dalam belajar.
8.

Metode Eksperimen
Metode eksperimen merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh
guru dalam bentuk pemberian kesempatan pada siswa untuk melakukan
sebuah proses atau percobaan (Sugihartono dkk. 2007: 84). Metode
eksperimen sering digunakan dalam mempelajari kelompok- kelompok mata
pelajaran pengetahuan alam, seperti kimia, fisika, dan biologi yang lebih
praktis, meskipun pada dasarnya bisa juga dilakukan bidang- bidang ilmu
sosial.

9.

Meode Proyek
Menurut Sugihartono dkk. (2007: 84), metode proyek merupakan sebuah
metode pembelajaran dalam benuk guru menyampaikan dan menyajikan
kepada siswa materi pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah yang
selanjutnya akan dibahas dari berbagai sisi atau sudut pandang yang relevan
sehingga diperoleh pemecahan masalah secara menyeluruh dan bermakna.
Prinsip pembelajaran proyek adalah membahas suatu materi pelajaran ditinjau
dari sudut pandang materi pelajaran lain. Penggunaan metode ini dapat
memantapkan pengetahuan yang diperoleh siswa, menyalurkan minat siswa,
dan melatih siswa untuk menganalisis suatu masalah dengan wawasan yang
luas.

Adapun faktor- faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam


pemilihan metode pembelajaran menurut Sugihartono dkk. (2007: 84- 85) sebagai
berikut:
a.

Materi pelajaran yang akan disampaikan dan tujuan pembelajaran, apakah


mengarah pada kompetensi kognitif, afektif, ataukah psikomotorik.

b.

Tingkat kematangan siswa dalam belajar, yaitu kesiapan siswa mengikuti


proses pembelajaran termasuk tingkat kemandirian, kedewasaan kemampuan
kognitif dalam berfikir masih konkret, atau sudah abstrak, dan sebagainya.

c.

Situasi dan kondisi proses pembelajaran.

20 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

d.

Kondisi sarana dan prasarana yang ada, yaitu apakah metode yang akan
digunakan didukung oleh sarana dan prasarana.

e.

Kondisi kemampuan guru, yaitu tingkat penguasaan guru terhadap sebuah


metode pembelajaran yang akan digunakan.

D Teori Belajar dan Manfaatnya dalam Pembelajaran


Menurut Kerlinger dalam Sugiyono dan Hariyanto (2011: 27), teori
A
merupakan sebuah konsep atau definisi yang menggambarkan sekaligus
menjelaskan sesuatu dari sudut pandang tertentu terhadap sebuah fenomena secara
sistematis dengan cara menghubungkan berbagai variabel yang ada di dalamnya.
Berbeda dengan pendapat tersebut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 28), sendiri
menjelaskan bahwa teori merupakan sebuah bentuk hukum- hukum, gagasan,
prinsip- prinsip, atau tentang teknik- teknik tertentu. Atas dasar pengertian
tersebut, pada dasarnya teori merupakan sebuah konsep dasar suatu kejadian,
aktivitas, atau sebagainya yang sudah teruji dan dibuktikan secara empiris dan
dipertanggungjawabkan.
Teori belajar pada dasarnya menjelaskan tentang bagaimana proses
belajar terjadi pada diri seseorang individu. Artinya, teori belajar akan membantu
dalam memahami bagaimana proses belajar terjasi pada seseorang individu
sehingga dengan pemahaman tentang teori belajar akan membantu pendidik untuk
menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik, efektif dan efisien. Dengan
kata lain, pemahaman guru dalam mengorganisasikan prose pembelajaran dengan
lebih baik sehingga siswa dapat belajar dengan lebih optimal. Dengan demikian,
teori belajar dalam aplikasinya sering digunakan sebagai dasar pertimbangan
untuk membantu siswa mencapai tujuan- tujuan pembelajaran.
Teori belajaar penting diketahui oleh para pendidik. Hal ini disebabkan,
pemahaman guru terhadap sebuah teori belajar akan mempermudah seorang guru
dalam menerapkannya dalam proses pembelajaran. Menurut Winfred F. Hill
(2011: 28-29), terdapat tiga fungsi utama dari teori belajar, sebagai berikut:

21 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

a.

Teori belajar berfungsi sebagai petunjuk dan sumber- sumber stimulasi bagi
penelitian dan pemikiran ilmiah lebih lanjut.

b.

Teori belajar merupakan simplifikasi atau garis- garis besar pengetahuan


mengenai hukum- hukum dan proses belajar.

c.

Teori belajar menjelaskan secara konsep dasar apa itu belajar dan mengapa
proses belajar dan pembelajaran dapat berlangsung.
Adapun menurut Sugiharto dkk. (2007: 89- 90), keuntungan yang akann

diperoleh oleh guru atau pendidik dengan memahami teori- teori belajar sebagai
berikut;
a.

Membantu guru dalam memahami bagaimana sebenarnya proses belajar pada


siswa terjadi,

b.

Membimbing guru dalam merancang dan merencanakan pelaksanaan proses


pembelajaran.,

c.

Membantu guru dalam mengelola kelas dan lingkungan pembelajaran,

d.

Membantu guru dalam mengevaluasi aktivitas pembelajaran yang meliputi


perencanaan, proses atau pelaksanaan, dan hasil belajar yang telah dicapai
siswa,

e.

Membantu guru dalam merancang dan melaksanakan proses belajar dan


pembelajaran bagi siswa secara lebih efektif, efisien, dan produktif.
Teori- teori belajar yang dikembangkan beberapa tokoh telah mengalami

peningkatan yang sangat pesat. Masing- masing tokoh memiliki dasar dan sudut
pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Namun
demikian, tanpa mengesampingkan berbagai bentuk pertentangan dan kritik
terhadap teori- teori tersebut, tidak dimungkiri bahwa teori- teori tersebut
memberikann kontribusi besar dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Bahkan,
tidak menutup kemungkinan kejeliann seorang pendidikan dalam memadukan
proses pembelajaran atas dasar berbagari teori- teori tersebut akan menjadikan
proses pembelajaran berjalan lebih baik.
Banyaknya teori belajar dan pembelajaran tersebut secara garis besar
terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar
humanistik dan teori belajar kognitif. Pengelompokan teori- teori belajar tersebut
lebih lebih menekankan perbedaan pada sudut pandang terjadinya proses belajar

22 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

pada individu. Teori belajar behavioristik memandang belajar dari sudut pandang
hasil belajar yang terukur dan dapat diamati. teori belajar humanistik memandang
belajar dari sudut pandang kondisi dan potensi individu manusiannya sebagai
manusia yang memiliki berbagai potensi dan perbedaan. Sedangkan, teori belajar
kognitif memandang belajar dari sudut pandang proses belajar dengan berbagai
komponen yang memengaruhi dan kompleksitas prosesnya.

23 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

2
TEORI- TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Teori Belajar Behavioristik


Belajar dalam pandangan behavioristik merupakan sebuah bentuk

perubahan yang dialami siswa dalam bentuk perubahan kemampuannya bentuk


tingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respons (Budiningsih, 2005: 20). Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 58),
teori belajar behavioristik memandang belajar yang terjadi pada individu lebih
kepada gejala- gejala atau fenomena jasmaniah yang terlihat dan terukur serta
mengabaikan aspek- aspek mental atau psikologis lainnya seperti kecerdasan,
bakat, minat dan perasaan atau emosi individu selama belajar. Dengan demikian,
pokok perhatian teori behavioristik adalah belajar akan terjadi akibat adanya
interaksi stimulus/ input dan respons/ output yang dapat diamati dan diukur.
Selain itu menurut teori belajar behavioristik meskipun terjadi perubahan
mental pada individu setelah belajar, faktor- faktor tersebut tidak diperhatikan dan
tidak dianggap sebagai hasil belajar karena dianggap tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Oleh sebab itu pengukuran merupakan hal yang sangat penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku. Penerapan teori
behavioristik dalam pendidikan lebih banyak menggunakan mekanisme penguatan
(reinforcement). Tokoh- tokoh teori behavioristik di antaranya Edwin Guthrie,
Clark Hull Gagne, Edward Lee Thorndike dengan teori belajar conectionism, Ivan
Pavlov dengan teori belajar clasical conditioning, B.F Skinner dengan teori belajar
Operant Conditioning, dan Albert Bandura dengan teori belajar sosial atau social
learning. Namun demikian, tidak semuanya akan dijabarkan karena hanya

24 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

beberapa teori belajar saja yang akan dibahas karena dianggap cukup mewakili
teori belajar dari tokoh- tokoh behavioristik.

B Edward Lee Thorndike


1. Biografi Edward Lee Thoerndike
A Thorndike lahir pada 1874 di Williamsburg, Massachusetts, putra kedua
dari seorang pendeta Methodis. Dia mengatakan belum pernah mendengar atau
melihat kata psikologi sampai dia masuk Wesleyan University. Pada saat itu dia
membaca karya William James, Principles of Psychology (1890), dan amat
tertarik dengannya. Kelak saat dia masuk Harvard dan mengikuti pelajaran James,
keduanya menjadi sahabat karib. Ketika pacar Thorndike melarangnya
meneruskan kegiatan menetaskan telur di tempat tidurnya. James berusaha
menolongnya dengan memberinya ruang laboratorium di kampus Harvard. Tetapi
karena upaya ini gagal, James kemudian merelakan ruang bawah tanahnya untuk
dijadikan tempat penetasan ayam dan ini membuat istri James jengkel, namun
anak- anak mereka senang.
Setelah dua tahun di Harvard, dimana Thorndike mendapat nafkah
dengan mengajar mahasiswa, dia mendapat beasiswa untuk studi di Colombia di
bawah bimbingan James McKeen Catell. Meskipun dia membawa dua ekor
ayamnya yang paling terdidik ke New York, dia segera beralih dari ayam ke
kucing. Masa- masa riset binatangnya dirngkas dalam disertai doktornya, yang
berjudul Animal Intelligence: an Experimental Study of The Associatve Process in
Animals, yang dipublikasikan pada 1898 dan kemudian dikembangkan dan
dipublikasikan kembali dalam bentuk buku berjudul Animal Intelligence (1911).
Ide dasar yang dikemukakan dalam dokumen ini mendasari semua tulisan
Thorndike dan hampir semua teori belajar.
Produktivitas ilmiah Thorndike hampir sulit dipercaya. Pada saat dia
meninggal pada 1949, bibliografinya mencakup 507 buku, monograf dan artikel
jurnal.

Thorndike tampaknya ingin mengukur segala hal, dan dalam

autobiografinya dia melaporkan bahwa sampai usia 60 tahun dia menghabiskan

25 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

sekitar 20 jam sehari untuk membaca dan mendalami buku dan jurnal- ilmiah,
meskipun dia terutama lebih merupakan sosok periset ketimbang sarjana ilmuwan.

2.

Eksperimen dan Teori Belajar Koneksionisme


Menurut Thorndike dalam Sugihartono dkk. (2007: 91), belajar pada

dasarnya merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi- asosiasi akibat adanya


Stimulus (S) dan Respons (R). Stimulus merupakan bentuk perubahan lingkungan
sebagai tanda bagi organisme untuk bertindak, sedangkan respons merupakan
tingkah laku yang dimunculkan organisme setelah menerima stimulus. Thorndike
melakukan eksperimen dengan seekor kucing dan sebuah sangkar. Kucing
dimasukkan ke dalam sangkar.
Thorndike merupakan psikolog berkebangsaan Amerika pertama yang
menggunakan kucing dalam eksperimen melalui prosedur yang sistematis,
sekaligus sebagai teori awal yang muncul dari rumpun teori belajar behavioristik.
Adapun proses pelaksanaan eksperimen Thorndike menurut Baharuddin
dan Esa Nur Wahyuni (2007: 64- 65) sebagai berikut:
a.

Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng yang dilengkapi


alat pembuka bila disentuh.

b.

Daging ditaruh di luar kotak. Kucing kemudian bergerak ke sana kemari


mencari jalan keluar. Kucing terus berusaha dari segala arah. Namun gagal
dan dilakukan terus- menerus.

c.

Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan sebuah tombol sehingga
pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging yang ada
di depannya.

d.

Percobaan dilakukan berulang- ulang, dan semakin lama kucing memiliki


kemajuan tingkah laku sehingga ketika dimasukkan ke dalam kotak dapat
langsung menyentuh tombol pembuka sehingga pintu langsung terbuka hanya
pada sekali usaha.
Melalui

eksperimen

dan

hasil

yang

diperolehnya,

Thorndike

menyimpulkan bahwa agar tercapai kesesuaian hubungan stimulus- respons (S- R)


artinya respons yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan maka perlu
adanya kemampuan organisme memilih respons yang tepat. Respons yang tepat

26 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

dihasilkan akan dihasilkan setelah individu melalui proses dan usaha- usaha atau
percobaan dan kegagalan terlebih dahulu.
Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa bentuk yang paling
mendasar dari belajar adalah melalui latihan- latihan dan pengulangan dalam
bentuk trial and error learning atau selecting and connesting learning dan cobacoba. Namun demikian, atas dasar percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa
jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan kondisi dan situasi yang memuaskan,
tindakan tersebut akan cenderung untuk diulangi lagi. Namun sebaliknya, jika
tidak menguntungkan, akan dikurangi atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.
Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan
Teori Belajar Koneksionisme atau Teori Asosiasi.
Hasil eksperimen tersebut memunculkan beberapa hukum dalam belajar
yang akan dilakukan dan akan terjadi pada siswa. Menurut Sugihartono dkk. (007:
92- 93), terjadinya proses asosiasi dalam belajar menurut Thorndike akan
mengikuti hukum- hukum kesiapan, latihan, akibat dan hukum reaksi bervariasi.

3.

Law of Readiwess (Hukum Kesiapan)


Hukum kesiapan terdiri dari:

Bila ada kecenderungan bertindak dan dilakukan tindakan tersebut dapat


menimbulkan kepuasan dan tidak dilakukan tindakan lainnya

Bila ada kecenderungan bertindak dan tidak melakukan tindakan tersebut


mengakibatkan tidak ada kepusan dan dilakukannya tindak lain untuk
mengurangi ketidakpuasannya

Bila tidak ada kecenderungan bertindak dan melakukan tindakan tersebut


menimbulkan ketidakpuasan dan dilakukannya

tindakan

lain untuk

mengurangi ketidakpuasannya.

4.

Law of Exercise (Hukum Pelatihan)


Thorndike mempelajari pemecahan masalah pada kucing dan berhasil

merancang sebuah kotak teka- teki, sehingga kucing yang diletakkan di dalam
kotak tersebut dapat keluar dari kotak dengan cara menarik simpul tali, baik
dengan menggunakan kaki maupun dengan mulut. Dengan menarik simpul tali,

27 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

kait akan terlepas dan pegas akan menarik pintu hingga pintu terbuka. Setelah
meletakkan seekor kucing di dalam kotak, Thorndike mencatat waktu yang
dibutuhkan kucing untuk keluar dari kotak tersebut.Jika berhasil keluar, kucing
tersebut dimasukkan lagi ke dalam kotak untuk dicatat lagi waktu keberhasilan
kucing keluar dari kotak.Ketika hasil pencatatan waktu ini digambarkan,
Thorndike melihat bahwa pada umumnya hewan tersebut membutuhkan waktu
yang lebih singkat pada setiap percobaan berikutnya.Sesudah kira- kira dua puluh
kali percobaan, kucing mampu meloloskan diri secepat ketika dia dimasukkan ke
dalam kotak. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesisnya: apabila suatu
respon berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respons yang lain cenderung
berakibat sama. Hipotesisi ini dikenal sebagai hukum efek.
Hukum efek ini menunjukkan adanya perangsang dengan tindakan
pelatihan.Hukum tersebut memberi gambaran betapa pentingnya pelatihan untuk
menyongsong tingkah laku yang nyata. Prinsip utama hukum ini adalah dari apa
yang dialami sebelumnya sehingga individu dapat bertingkah laku secara benar
dan tepat.
Edward Lee Thoerndike dapat dianggap sebagai pencetus teori belajar
modern pertama, yang mencoba menunjukkan bahwa proses belajar pada hewan
merupakan proses yang terus menerus, sama seperti proses belajar pada manusia.
Dalam percobaannya banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin.

5.

Law of Affect (Hukum Akibat)


Hukum ini menyatakan bahwa tingkah laku yang emendatangkan

keenakan (kepuasan) cenderung tingkah laku tersebut diulangi dan begitu


sebaliknya.Hukum ini dapat menerangkan pengaruh hadiah atau hukuman bagi
tingkah laku seseorang individu. Thorndike juga mengajukan konsep transfer of
training artinya yang telah dipelajari dapat digunakan untuk menghadapi atau
memecahkan masalah.`
Dalam

berbagai

eksperimen

Thorndike,

pembelajaran

adalah

konsekuensi langsung dari ganjaran.Tidak seperti bayi yang baru merangkak,


yang berusaha menguasai sesuatu untuk keperluannya sendiri.Thorndike
menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (bertahap), bukan langsung

28 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

mendalam. Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah- langkah kecil
yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam. Thorndike
menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan
seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar dan dia juga menegaskan bahwa
proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama.

6.

Aplikasi Teori Conectionism dalam Pembelajaran


Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kadang- kadang perlu

memerhatikan aplikasi dari teori belajar Conectionism tersebut. Bentuk aplikasi


teori pembelajaran Conectionism menurut Thorndike perlu memerhatikan
beberapa hal ataupun konsep dasarnya. Bentuk aplikasi teori belajar Conectionism
dari Thorndike menurut Sugihartono dkk. (2007: 69) sebagai berikut:
a.

Selama proses pembelajaran, siswa yang sudah menyelesaikan tugas belajar


dengan baik segera diberi hadiah dan bila belum baik maka guru segera
membantu siswa untuk memperbaikinya.

b.

Guru perlu menyadari bahwa dalam proses belajar akan selalu ada kesalahan
sehingga guru tidak harus dan tidak selayaknya marah- marah karena
kesalahan merupakan bagian dari trial and error dalam belajar.

c.

Dalam proses penyampaian materi, materi pelajaran yang diberikan harus


disadari oleh siswa dan mengandung manfaat bagi siswa setelah selesai
mempelajarinya atau selesai sekolah.

C Ivan Pavlov
1.ABiografi Ivan Pavlov

Pavlov lahir di Rusia pada 14 September 1849 dan meninggal di sana

pada 1936. Ayahnya adalah pendeta, dan Pavlov pada mulanya belajar untuk
menjadi pendeta. Dia berubah pikiran dan menghabiskan sepanjang hidupnya
untuk mempelajari fisiologi. Pada 1904 dia memenangkan hadiah Nobel untuk
karyanya di bidang fisiologi pencernaan. Dia baru memulai studi refleks yang
dikondisikan pada usia 50 tahun.
29 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Seperti Thorndike, dia memandang ilmuwan diwajibkan untuk mengubah


pandangan mereka ketika data mengharuskannya. Ini merupakan karakteristik
penting dari pekerjaan ilmiah. Melalui Pavlov, kita melihat pentingnya penemuan
tidak sengaja atau penemuan aksidental, dalam ilmu pengetahuan. Metode studi
pencernaan

Pavlov

menggunakan

cara

pembedahan

pada

anjing

yang

memungkinkan cairan perut mengalir melalui suatu hiliran keluar dari tubuh, dan
cairan itu ditampung.

2.

Eksperimen dan Teori Classical Conditioning


Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang kesanggupan untuk

berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada stimulus lain. Ivan
Petrovich Pavlov adalah seorang psikolog yang mengadakan percobaan mengenai
anjing yang mengeluarkan air liur, hal ini sering kali dikutib karena dianggap
sebagai salah satu bentuk percobaan conditioning formal yang pertama. Hal
belajar yang dapat diambil dari percobaannya adalah
-

Perbuatan maupun reflex dapat dipindahkan ke perbuatan yang lain.


Demikian pula terjadi dalam pembentukan kebiasaan dan juga kemampuankemampuan lain seperti kemampuan mengingat.

Belajar erat hubungannya dengann prinsip penguatan kembali atau dengan


perkataan lain, ulangan- ulangan dalam hal belajar adalah penting.
Pavlov melakukan kombinasi daging sebagai perangsang asli atau US

(Unconditioned Stimulus) dengan bel sebagai perangsang netral (Neutral


Stimulus) yang menjadi stimulus bersyarat, yaitu kombinasi daging dan bel atau
CS (Conditioning Stimulus), bersamaan secara berulang- ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan, yaitu munculnya air liur anjing atau CR
(Conditioning Respons), meskipun hanya mendengar bunyi bell. Menurut Sri
Rumini dkk. (2006: 71- 72), pelaksanaan prosedur eksperimen Pavlov sebagai
berikut:
a.

Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk keperluan pengukuran


sekresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel dibunyikan dan 30 detik
setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan.

b.

Percobaan tersebut diulang berkali- kali dengan jarak waktu 15 menit.

30 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

c.

Setelah 32 kali percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan


keluarnya air liur anjing dan bertambah deras bila makanan diberikan.
Menurut Pavlov, daging berfungsi sebagai reinforcement penguat.

d.

Berdasarkan eksperimen tersebut, bell merupakan CS, daging merupakan US,


dan air liur karena bunyi bell CR.
Procedur conditioning Pavlov disebut klasik karena merupakan suatu

penemuan

bersejarah

dalam

psikologi.

Barangkali

yang

menyebabkan

conditioning tersebut terkenal ialah kita sering pula merasakan diri kita terkondisi
pada macam- macam penglihatan dan bunyi, misalnya air liur keluar karena
melihat, mencium, ataupun memikirkan hal lezat. Kelemahan conditioning klasik,
antara lain, adalah sebagai berikut (Purwanto,1995):
a)

Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis,


keaktifan, dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya

b) Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan; sedangkan kita tahu bahwa


dalam bertindak dan berbuat sesuatu , manusia tidak semata- mata bergantung
pada pengaruh luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam
memilih dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yang akan dilakukannya
Teori conditioning

memang tepat kalau kita hubungkan dengan

kehidupan binatang. Namun, pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima
dalam hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam hal belajar mengenai skills
(kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak- anak kecil

3.

Aplikasi Teori Classical Conditioning dalam Pembelajaran


Teori Classical Conditioning memiliki pengertian stimulus yang

dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus- stimulus yang


dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus- stimulus alami untuk
menghasilkan respons- respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan
demikian, dalam proses

belajar dengan tingkah laku sebagai

ukuran

keberhasilannya dapat dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan


(Conditioning Process).
Oleh sebab itu, menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011. 62), belajar pada
dasarnya merupakan suatu upaya untuk mengordinasikan pembentukan suatu

31 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

perilaku- perilaku tertentu terhadap sebuah kondisi atau sesuatu. Misalnya,


membentuk kebiasaan mandi, makan, belajar pada jam- jam tertentu dan lain
sebagainya yang dapat dilakukan dengan mekanisme pengkondisian.
Menurut Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:6364), aplikasi teori belajar Classical Conditioning dari Ivan Pavlov dalam
pelaksanaan proses pembelajaran dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, sebagai
berikut:
1.

Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan


bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan
menarik.

2.

Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara
memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara
memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi- materi
tertentu.

3.

Membuat tahap- tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka
panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan
sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik

4.

Apabila ada siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas,
dapat kelas, dapat dibantu melalui aktivitas- aktivitas sedehana mulai dari
membaca laporan di dalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian sambil
berdiri, serta kemudian berpindah ke kelompok yang lebih besar sampai
berani membacakan laporan di depan kelas.

D
1.

Burrhus Frederic Skinner

Biografi Burrhus Frederick Skinner


Skinner (1904- 1990) lahir di Susquehanna, Pennysylvania. Dia meraih

gelar master pada 1930 dan Ph.D. pada 1931 dari Hardvard University. Gelar B. A
diperoleh dari Hamilton, College, New York, dimana dia mengambil jurusan
Sastra Inggris. Selama bertahun- tahun Skinner adalah penulis yang prolifik. Salah
satu perhatian utamanya adalah menghubungkan temuan laboratoriumnya dengan

32 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

solusi problem manusia. Karya- karyanya memicu perkembangan mesin


pengajaran dan belajar terprogram. Saat dia gagal mendeskripsikan perilaku
manusia lewat karya sastra, Skinner berusaha mendeskripsikan perilaku manusia
lewat ilmu pengetahuan. Jelas dia lebih sukses di bidang ilmu pengetahuan ini.\

2.

Eksperimen dan Teori Operant Conditioning


Istilah conditioning operan diciptakan oleh Burrhus Frederick Skinner

dan memiliki arti umum conditioning perilaku. Istilah operan disini berarti operasi
yang pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan suatu perbuaatan pada
lingkungannya, misalnya perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan
yang dilakukan nsecara sadar (Hardy & Hayes,1985; Reber,1988).
Skinner menciptakan sebuah alat yang sederhana, ia memasukkan tikus
ke dalam sebuah kotak yang tidak berisi apa- apa kecuali pengungkit dan baki
makanan. Dengan menekan pengungkit tersebut, sebutir makanan secara otomatis
disimpan pada baki tersebut.Tikus berusaha mendapatkan makanan dan dengan
cepat mempelajari hubungan antara kerja dan makanan.
Perilaku manusia selalu dikendalikan oleh factor luar (factor lingkungan,
rangsangan, atau stimulus). Dengan memberikan ganjaran yang positif maka suatu
perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan
ganjaran yang negative, suatu perilaku akan dihambat.
Sebagai contoh, anak yang buang air di celana, selalu dimarahi ibunya.
Sebaliknya, jika ia mengatakan terlebih dahulu kepada ibunya bahwa ia akan
buang air besar sehingga ibu bisa membawanya ke WC, maka anak itu akan dipuji
ibunya (ganjaran positif). Lama- kelamaan anak itu belajar buang air di WC saja,
bukan di sembarang tempat. Kelemahan pada teori belajar conditioning operan
adalah sebagai berikut (Syah, 1995:108) :
a)

Proses belajar dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar, kecuali sebagai
gejalanya

b) Proses belajar bersifat otomatis- mekanis sehingga terkesan seperti gerakan


mesin dan robot, padahal setiap individu memiliki self-direction (kemampuan
mengarahkandiri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognnitif,

33 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

sehingga ia bisa menolak untuk merespons jika ia tidak menghendaki,


misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hewan itu
c)

Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat
sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis
antara manusia dan hewan

3.

Aplikasi Teori Belajar Operant Conditioning


Teori belajar dari Skinner apabila dapat diterapkan denagn baik dan

benar, pada dasarnya akan menjadikan proses belajar dan mengajar bagi siswa
lebih berhasil. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan atau menerapkan teori belajar
Operant Conditioning dalam proses pembelajaran, menurut Sugihartono dkk.
(2007: 99), perlu memerhatikan prinsip- prinsip berikut:
a.

Dalam proses pembelajaran, laporan, hasil proses belajar harus segera


diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diberi
penguat.

b.

Dalam proses belajar dan pembelajaran, guru harus mengikuti irama siswa
yang belajar. Dengan kata lain, pendidik tidak dapat memaksakan
kehendaknya pada siswa.

c.

Pelaksanaan proses pembelajaran ada baiknya materi- materi pelajaran


disusun dan dilaksanakan menggunakan sistem modul.

d.

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak menggunakan dan menerapkan


hukuman. Namun demikian, pendidik berusaha mengubah lingkungan agar
tidak memunculkan perilaku siswa yang harus dihukum.

e.

Apabila tingkah laku yang diinginkan pendidik muncul, siswa dengan segera
diberi hadiah sebagai bentuk penguatan.

f.

Dalam pembelajaran digunakan shaping yaitu pembentukan pembiasaanpembiasaan atas dasar pengalaman belajar dari rangkaian stimulus respons.

34 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

E
1.

John B. Watson

Biografi John B. Watson


Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh

John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner.
Behavioristik lahir sebagai reaksi terhadap introspeksiosm. Kaum behavioristik,
khususnya Watson

tidak dapat menyetujui instropeksi digunakan dalam

penelitian psikologi, dengan alasan- alasan tertentu (dirganunangsa, 1996:77- 78):


Intropeksi yang digunakan metode utama oleh ahli- ahli aliran
strukturalisme, tidak dapat dipakai oleh behaviorisme yang banyak melakukan
penyelidikan terhadap hewan.

2.

Konsep Belajar J. B Watson


Watson meragukan ketelitian dankebenaran metode instropeksi dalam

penyelidikan-

penyelidikan

psikologi.

Instropeksi

menggambarkan

berlangsungnya berbagai hal dalam organism yang tidak dapat dilihat atau diukur
secara objektif. Watson mengakui bahwa memang ada tingkah laku yang tidak
dapat langsung terlihat dari luar, misalnya berfikir atau beremosi. Tingkah laku
seperti ini dinamakan covert behavior ( tingkah laku tertutup ). Ada pula overt
behavior ( tingkah laku terbuka ), yang dapat dengan jelas dilihat dari luar.
Watson berpendapat bahwa covert behavior merupakan tingkah laku sebagai
akibat kontraksi otot-otot atau sekresi kelenjar-kelenjar, sama halnya dengan overt
behavior , jadi berfikir menurut Watson, adalah implicit speech lidah bergerakgerak secara halus, selama kita berfikir itu.
Menurut Watson, kepribadian manusia dapat dibentuk melalui pemberian
rangsangan-rangsangan tertentu. Salah satu ucapan Watson yang terkenal adalah
berikan kepadaku selusin anak yang sehat, aku akan membuat mereka seperti
yang aku kehendaki, yaitu menjadi dokter, pemberani, bahkan menjadi penjahat
atau pemalu.
Menurut Watson, berfikir haruslah merupakan suatu tingkah laku
motoris. Anak-anak, bahkan juga orang dewasa, sering berfikir dengan bersuara.
Berfikir dengan bersuara adalah untuk membisiki diri sendiri. Pada fase

35 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

selanjutnya, berbicara terhadap diri sendiri ini menghilangkan dan diganti dengan
gerakan-gerakan pada lidah yang tidak dapat dilihat dari luar. Seorang anak
belajar berbicara terhadap diri sendiri bukan hanya mengenai apa yang sedang
dikerjakan, tetapi juga apa yang telah atau akan diperbuat. Oleh karena itu, ia
dapatv mencapai bentuk berfikir pada orang dewasa. Orang tuli yang berbicara
dengan tangan, menurut Watson juga berfikir dengan gerakan, yaitu gerakan
tangan yang tidak tampak atau implicit hand movement.
Watson juga mengadakan eksperimen mengenai perasaan takut pada
anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobannya, dapat ditarik
kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak
percobaan Watson yang mula-mula tidak takut kepada kelinci, dibuat menjadi
takut kepada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak
menjadi takut lagi kepada kelinci. Jadi, belajar adalah suatu proses perubahan
yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang kemudian menimbulkan respon.
Untuk menjadikan seorang itu belajar, menurut teori conditioning, ialah adanya
latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar
yang terjadi secara otomatis.
Watson berpendapat bahwa hampir semua perilaku merupakan hasil dari
pengondisian, dan lingkungan membentuk perilaku kita dengan memperkuat
kebiasaan tertentu. Respons yang terkondisikan dipandang sebagai unit perilaku
terkecil yang tidak dapat dibagi lagi, suatu atom perilaku dari tempat perilaku
yang lebih rumit dapat dibangun. Semua tipe perilaku kompleks yang berasal dari
latihan atau pendidikan khusus, tidak berarti lebih dari rangkaian respons
terkondisikan.

F
1.

Clark Leonard Hull


Biografi Clark Leonard Hull
Clark L. Hull (1884- 1952) meraih gelar Ph.D. dari University of

Wisconsin pada 1918, tempat dia mengajar dari 1916 sampai 1929. Pada 1929 dia
pindah ke Yale dan tetap di sana sampai meninggal. Karier Hull dapat dibagi

36 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

menjadi tiga bagian terpisah. Perhatian utama pertamanya adalah tes bakat atau
kecakapan. Dia mengumpulkan materi tentang tes bakat saat mengajar topik itu di
University of Wiconsin, dan sia memublikasikan buku berjudul Aptitude Testing
pada 1928.
Perhatian utama kedua Hull adalah hipnosis, dan setelah mempelajari
proses hinotik, dia menulis buku berjudul Hypnosis and Suggestibility (1933b).
Perhatian ketiganya, dan karya yang membuatnya terkenal adalah studi proses
belajar. Buku utama pertama Hull mengenai belajar, Principles of Behavior
(1943) mengubah studi tentang belajar secara radikal.
Hull menderita cacat fisik. Dia menderita kelumpuhan sebagian karena
folio sejak kecil. Pada 1948 dia terkena serangan jantung koroner dan empat tahun
kemudian dia meninggal. Dalam buku ketiga (A Behavior System), dia
mengekspresikan penyesalannya karena buku ketiga tentang belajar yang ingin
ditulisnya tidak pernah terwujud.

2.

Eksperimen dan Teori Sistematic Behavior


Clark Leonard Hull adalah orang pertama yang menggunakan teori yang

kukuh untuk mempelajari dan menjelaskan proses belajar. Seperti kebanyakan


teoritisi belajar fungsionalistik lainnya, Hull sangat dipengaruhi oleh tulisan
Darwin.Tujuan dari Hull adalah menjelaskan perilaku adaptif dan untuk
memahami variable- variable yang mempengaruhinya. Dapat dikatakan bahwa
Hull tertarik untuk menyusun sebuah teori yang menjelaskan bagaimana
kebutuhan tubuh, lingkungan dan perilaku saling berinteraksi unutk meningkatkan
probabilitas survival organisme.
Teori belajar dari Clark Hull berasal dari teori belajar Thorndike, ia
mengakui pentingnya reinforcement (penguat) dalam proses belajar tingkah laku.
Namun Hull menembahkan dalam organisasi belajar terdapat banyak factor
penghalang yang dapat mempengaruhi respond an sesuatu perangsang. Misalnya,
pada saat seseorang individu berkeinginan keras untuk belajar dan kemudian
melakukannya, tiba- tiba ada teman datang mengajak pergi. Oleh karena itu, Clark
Hull mengusulkan perlunya proses belajar dilakukan secara sistematis sehingga
proses belajar tidak mengalami hambatan. Misalnya, sebelum belajar individu

37 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

yang bersangkutan meminta bantuan ibunya, bila ada teman yang datang agar
diberi tahu ia tidak ada di rumah.

G
1.

Robert M. Gagne

Biografi Robert M. Gagne


Robert Mills Gagne lahir 21 Agustus 1916, di North Andover,

Massachusetts dan wafat pada tanggal 28 April 2002. Dia meraih gelar A.B. dari
Yale pada tahun 1937 dan Ph.D. dariBrown University tahun 1940. Dia adalah
seorang profesor psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College untuk
Wanita (1940-1949), Pennsylvania State University(1945-1946), Princeton (19581962), dan University of California di Berkeley (1966-1969)dan seorang profesor
di Departemen Penelitian Pendidikan di Florida State University diTallahassee
mulai

tahun

1969.

Gagne

juga

menjabat

sebagai

direktur

penelitian

untuk Angkatan Udara (1949-1958) di Lackland, Texas, dan Lowry, Colorado.


Dia bekerja sebagaikonsultan untuk Departemen Pertahanan (1958-1961) dan
Dinas Pendidikan Amerika Serikat (1964-1966). Selain itu, ia menjabat sebagai
direktur penelitian di American Institute of Research.Robert Mills Gagne adalah
seorang ahli psikologi pendidikan yang telahmengembangkan suatu pendekatan
perilaku mengenai psikologi belajar. Gagasan-gagasanGagne tentang belajar
sangatlah banyak, dalam makalah ini akan dibatasi pada hasil-hasil belajar yang
dikemukakan

oleh

Gagne,

kejadian-kejadian

belajar,

kejadian-kejadian

instruksi,dan implementasi teori Gagne dalam pembelajaran.

2.

Konsep Belajar Robert M. Gagne


Gagne memberikan sumbangan teori-teori belajar dan konsep dasar

belajar dalam bentuk adanya prinsip-prinsip dalam belajar, yaitu syarat-syarat


pembelajaran, proses terjadinya belajar, dan taksonomi hasil belajar. Menurut
Gagne dalam sugiyono dan Hariyanto ( 2011: 92-93 ), terdapat delapan peristiwa
atau tahapan dalam proses belajar individu.
1.

Memberikan motivasi dan perhatian. Misalnya, dalam sebuah pembelajaran


materi tentang es, tunjukan es krim dan ceritakan kelezatannya.

38 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

2.

Memberikan tujuan pembelajaran. Artinya, biarkan siswa mengetahui apa


yang akan dipelajari dan bagaimana prosesnya. Misalnya, beritahukan siswa
tujuan pembelajaran adalah mengetahui bagaimana membuat es krim.

3.

Memunculkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Misalnya,


dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah ada yang pernah membuat
es krim ? kapan, dimana, dan apa saja bahannya ?

4.

Melakukan presentasi atau demonstrasi materi. Misalnya, tunjukan pada


siswa bagaimana langkah-langkah dalam membuat es krim.

5.

Memberikan kesempatan pada siswa untuk mencoba dan melakukan apa yang
telah dipelajari. Misalnya, biarkan siswa membuat es krim sendiri.

6.

Memberikan umpan balik. Artinya, memberikan pengerahan tentang kinerja


masing-masing siswa. Misalnya, guru dengan antusias memerhatikan kerja
siswa dengan mengamati setiap pekerjaan siswa dan memberikan masukan
selama proses berlangsung

7.

Menilai hasil kerja. Artinya, memberikan penilaian terhadap hasil kerja siswa.
Misalnya, apabila es krim yang dibuat baik dan layak maka diperbolehkan
memakannya.

8.

Memperkuat ingatan atas proses belajar yang telah dilalui. Artinya, bantulah
siswa dalam mengingat-ingat dan menerapkan keterampilan baru hasil
belajarnya. Misalnya, berikan siswa tugas untuk membuat es krim pada waktu
liburan.
Proses belajar yang dilakukan siswa menurut pandangan Gagne akan

terlihat berhasil atau tidaknya dalam lima kategori atau lima taksonomi hasil
belajar. Kelima taksonomi hasil belajar tersebut meliputi informasi verbal,
ketrampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan keterampilan intelektual,
strategi kognitif, sikap, dan keterampilan motorik. Artinya, keberhasilan proses
belajar siswa akan terwujud dalam bentuk-bentuk kemampuan di antara lima
kategori tersebut.

39 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Edwin Guthrie

1. Biografi Edwin Guthrie


Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka tanggal 9 januari pada tahun 1886
dan meninggal pada tahun 1959 Dia adalah professor psikologi di university of
Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Karya dasarnya adalah the
psychology of learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direfisi pada 1952.
Gaya tulisannya mulai di ikuti, penuh humor, dan menggunakan banyak kisah
untuk menunjukan contoh-contoh idenya. Tidak ada istilah teknis atau persamaan
matematika, dan dia sangat yakin bahwa teorinya atau teori ilmiah apa saja harus
dikemukakan dengan cara yang dapat dipahami oleh mahasiswa baru. Dia sangat
menakankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan dalam hal ini dia mirip
dengan thorndike dan skinner. Pada usia 33 tahun Guthrie pemenang nobel yang
diberikan asosiasi psikologi Amerika dalam kontribusi terakhir. Karya dasarnya
adalah The Psycholoy of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi
pada 1952.
Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di
sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi
yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku
nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan
oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai
kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan
adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni
disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering
kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke
pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai
stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju
pesawat telepon.

40 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

2.

Konsep Belajar Teori Guthrie


Guthrie dan Horton (1946) secara cermat mengamati sekitar delapan

ratus kali tidak melepaskan diri dari kotak teka-teki yang dilakukan oleh kucing
yang kemudian observasi ini dilaporan dalam sebuah buku yang berjudul cats in a
Puzzle Box. Kotak yang mereka pakai sama dengan yang dipakai Thorndike
dalam melakukan eksperimennya. Guthrie dan Horton menggunakan banyak
kucing sebagai subyek percobaan, akan tetapi mereka melihat kucing kelar dari
kotak dengan cara sendiri-sendiri dan berbeda-beda.
Dari percobaan diatas respon khusus yang dipelajari oleh hewan
tertentu adalah respon yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak. Karena
respon ini cenderung diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang
lain, maka ia dinamakan stereotyped behavior (perilaku strereotip).
Guhtrie dan Horton mengamati bahwa seringkali hewan, setelah
bebas dari kotak akan mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun
hewan itu mengabaikan obyek yang disebut penguatan tersebut, kucing dapat
keluar dari kotak dengan lancar ketika diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke
dalam kotak. Observasi ini, menurut Guthrie memperkuat pendapatnya bahwa
penguatan hanyalah aransemen mekanis yang mencegah terjadinya unlearning.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap kejadian yang diikuti dengan respons
yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi yang menstimulasi dan
karenanya mempertahankan respons di dalam kondisi yang menstimulasi
sebelumnya.
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul
kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Hukum kontiguiti adalah
satu prinsip asosionisme yaitu respon atas suatu situasi cendrung diulang,
bilamana individu menghadapi suatu yang sama. Kunci teori guthrie terletak pada
prinsip tunggal bahwa kontiguitas merupakan fondasi pembelajaran.
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon

41 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh
karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sering diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula
diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih
langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan)
bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah
yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan.
Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang
memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan
dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR.
Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Stimulus dan respon cendrung bersifat sementara, persetujuan umum
di kalangan psikolog, bahwa kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi
yang penting bagi proses belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus
yang sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih
kuat dan menjadi kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan
berbagaimacam stimulus, situasi belajar merupakan gabungan stimulus dan
respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar dan bisa salah.
Meskipun

Guthrie

menekankan

keyakinannya

pada

hukum

kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita


menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli
lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan
responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit
untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie

selanjutnya

mengatasi

problem

tersebut

dengan

mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh


gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar
telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum
kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak

42 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri
menuju pesawat telepon.

Hukuman menurut Guthrie


Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini
adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Hukuman yang diberikan
dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada
dalam diri siswa.
Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak
efektif, bisa saja menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh
asusmi ideologis yang diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di
pondok pesantren tidak sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari
budaya pondok pesantren.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit
ditinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya
berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi
juga dengan stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman,
ingin tampak gagah, dan lain-lain.
Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan
mampu mengubah kebiasaan seseorang. Menurut Guthrie hukuman memegang
peranan penting dalam proses belajar.

Teori conditioning dari Guthrie


Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara
keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri
dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari
perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula
stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang
berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit

43 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

tingkah laku yang terus menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya
terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu sama lain yang berurutan.
Ulangan-ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang
terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang
berikutnya.

Teori Keterhubungan Guthrie


Guthrie lebih menekankan pada hubungan antara stimulus dan
respons, dan beranggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi
suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan timbul lagi bila
stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu stimulus
tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons hanya terbina oleh
satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak
memperkuat hubungan stimulus respons. Namun demikian, Guthrie menekankan
hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan
respons yang diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan
memaparkan tujuan-tujuannya serta dengan mengemukakan respons-respons apa
yang perlu dibuat terhadap rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan
lingkungan belajar yang tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan
dihasilkan sesuai dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan
lebih tidak penting lagi sebagaimana yang dianggap penting olehThorndike. Apa
yang diperlukan dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons
yang tepat ketika hadir suatu rangsangan.

Metode yang dirumuskan Guthrie


Guthrie merumuskan beberapa metode yang diantaranya adalah :
1.

Metode Threshold (Ambang) : yaitu metode mencari petunjuk yang memicu


kebiasaan buruk dan melakukan respons lain saat petunjuk itu muncul.
Misalnya, saat diketahui alasan merokok karena stres, maka ketika suatau saat
stres itu datang lakukan kegiatan lain.

2.

Metode Fatigue (kelelahan) : yaitu, membiarkan respons terus menerus


hingga tidak lagi menjadi fungsi dari stimulus. Misalnya, gadis kecil senang
44 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

menyalakan korek api, tugasnya adalah membiarkannya sampai dia merasa


menyalakan korek api tidak lagi menyenangkan.
3.

Metode Incompatible Stimuli (stimuli menyimpang): yaitu memberikan


penyandingan terhadap stimuli karena dianggap dapat menimbulkan respons
buruk. Misalnya, ibu memberi anaknya sebuah boneka, tetapi anak justru
takut dan gemetar. Jadi, ibu harus menjadi stimulus yang dominan agar
kombinasi keduanya berbentuk relaksasi.
Ketiga metode di atas menurut Guthrie efektif karena disajikan suatu

petunjuk tindakan yang tidak diinginkan dan berusaha mempengaruhi agar


tindakan itu tidak dilakukan, karena ada stimuli utuk perilaku lain yang terjadi dan
membuat respons yang buruk menjadi tersingkirkan.
Pendapat Guthrie Tentang Pendidikan
Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan
tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia
menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang
diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi
motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti
merespons

dengan

tepat

dalam

kehadiran

stimuli

tertentu.

Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli


untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah
unik, seseorang harus belajar ulang berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa
belajar 2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika
dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada
setiap stimuli (di dalam atau di luar kelas)
Sifat Pengetahuan menurut Edwin Ray Guthrie
Pada poin ini Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika
satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya
terulangnya respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak

45 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen


mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan hukum belajaranya.
Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi,
dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki,
hal yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan
satu tuas atau menarik cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan
seterusnya. Oleh karena itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut
pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama,
karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh
karena itu, tidak memungkinkan adanya respons baru yang dihubungkan dengan
kotak tersebut.

46 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

3
TEORI- TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Teori Belajar Humanistik


Teori belajar humanistik memandang bahwa siswa dapat dikatakan telah

berhasil dalamm belajar apabila ia telah mampu mengerti dan memahami


A

lingkungan serta dirinya sendiri. Teori belajar humanistik melihat proses dan
perilaku belajar dari sudut pandang pengamatannya. Oleh sebab itu, tujuan utama
proses pembelajaran dalam pandangan teori belajar humanistik adalah bertujuan
agar siswa dapat mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing- masing
individu untuk mengenali diri mereka, yaitu membantu masing- masing individu
untuk mengenali diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
mewujudkan dan mengembangkan potensi- potensi yang ada pada diri mereka
masing- masing. Dengan demikian, pembelajaran pada dasarnya untuk
kepentingan memanusiakan siswa sebagai manusia itu sendiri (Budiningsih, 2005:
68).
Penganut aliran humanistik ini meyakini adanya perasaan, persepsi,
keyakinan dan maksud- maksud tertentu sebagai perilaku- perilaku batiniah yang
menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Oleh sebab itu, aliran teori
belajar hunmasnistik lebih cenderung disebut sebagai teori belajar yang paling
ideal. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki perbedaan dan kondisi
individual yang sangat kompleks sehingga teori belajar humanistik ini pada
dasarnya menghendaki pemanfaatan bahkan memadukan berbagai teori belajar
dari aliran apa pun asal tujuan utamanya adalah memanusiakan manusia dalam
bentuk pengembangan potensi- potensi siswa tersebut.(Budiningsih, 2005: 69).

47 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Atas dasar pandangan- pandangann tersebut, teori belajar humanistik lebih


menekankan lebih mendekati sebagai teori belajar yang bersifat sangat eklektik.
Tokoh- tokoh yang termasuk dalam golongan atau aliran teori belajar
humanistik di antaranya Arthur Combs, Abraham Maslow, Carl Rogers, Bloom
dan Krathwohl, Habernas, Honey dan Mumford, Kols dan sebagainya.

B
1.

Arthur Combs

Biografi Arthur Combs


Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik / psikolog yang

memulai karir akademis sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di
sekolah umum di Alliance, Ohio (1935-1941). Ia menerima gelar MA dalam
Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan diterima di program
doktor dalam psikologi klinis pada lembaga, di mana Carl Rogers menjabat
sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun
1945(http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf 15
April 2010).
Arthur W. Combs began his professional career in the public schools of
Alliance, Ohio in 1935. To improve his skills in helping students, he sought a
doctorate in clinical Psychologi at Ohio state and spent the next ten years
operating a psychological clinic and training students and counceling and
psychoterapy at syracuse University (Arthur W. Combs, 2006, hlm. ii). (Arthur
W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum, Alliance, Ohio pada
tahun 1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari
gelar doktor di Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh
tahun berikutnya untuk mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling
psikologis di Syracuse University dan psychoterapy).
Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New
York dan pada tahun yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg)
perilaku individu: kerangka kerja baru untuk psikologi. Buku ini menyajikan

48 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk membuat rasa terbaik dari
pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya.

2.

Konsep Dasar Pembelajaran Arthur Combs (1912-1999)


Konsep dasar dalam pembelajaran yang digunakan Arthur Combs

adalah meaning (makna atau arti). Konsep ini menganggap bahwa proses belajar
pada siswa akan benar-benar terjadi apabila sesuatu yang dipelajari memiliki arti
bagi individu siswa yyang bersangkutan. Oleh sebab itu, guru juga tidak bisa dan
tidak akan dapat memaksakan para siswa untuk belajar atau mempelajari suatu
materi yang tidak disukai dan mungkin tidak relevan dengan kehidupan siswaa.
Dengan demikian, kebanyakan kasus para siswa yang tidak mau dan tidak bisa
menguasai sebuah materi pelajaran atau bahkan siswa berperilaku buruk (seperti
membolos atau tidak mengikuti proses belajar dengan sungguh-sungguh) bukan
karena mereka bodoh, melaikan tida memiliki alasan yang kuat untuk
mempelajarnya.
Perilaku-perilaku buruk yang muncul pada siswa selama proses
pemeblajaran lebih banyak disebabkan siswa tidak memperoleh atau merasakan
kepuasan dalam mengikuti proses pembelajaran. Menurut Combs, Avila, dan
Purkey dalam Sri Rusmini dkk. (2006: 103) perilaku yang keliru atau tidak baik
pada individu siswa dalam proses terjadi karena tidak adanya kesediaan dari
individu untuk melakukan apa yang seharunya dilakukan. Hal tersebut disebabkan
adanya sesuatu yang lebih menarik dan memuaskan siswa di luar kegiatan belajar
mengajar itu sendiri. Misalnya guru yang mengeluh karena siswanya tidak minat
dalam belajar. Hal itu sebenarnya disebabkan tidak berminat melakukan apa yang
dikehendaki oleh guru. Oleh sebab itu guru harus mengadakan aktivitas
pembelajaran lain dengan model dan metode yang lebih menarik bagi siswa.
Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih berminat dan merasa pelu untuk
mengikuti proses pembelajaran.
Konsep pembelajaran yang berarti menurut Gayne dan Briggs dalam
Sugihartono dkk. (2007:117) ialah bagaiman siswa mampu memperoleh arti atau
mengambil manfaat bagi diri pribadi siswa dari materi yang dipelajari tersebut

49 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

dalam bentuk kemampuannya menghubungkan dengan kehidupan nyata. Hal ini


disebabkan arti atau kebermaknaan sebuah materi pelajaran tidaklah menyatu
dalam materi tersebut. Akan tetapi, individu siswa sendirilah yang memberikan
arti pada sebuah materi pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu, guu harus
memahami perilaku siswa dengan cara memahami dunia persepsi atau kondisi dan
cara pandang siswa sehingga apabila ingin merubah perilaku sisawa, harus diawali
dengan mengubah keyakinan dan pandangan siswa tersebut.

3.

Aplikasi Teori
Berdasarkan konsep dasar humanistik tentang pembelajaran yang

baerarti tersebut, dapat dijelaskan bahwa semakin jauh sebuah materi pengajaran
atau pengtahuan dari persepsi diri atau keberartiannya bagi siswa akan semakin
berkurang pengaruhnya terhadap perilaku siswa dalam bentuk keaktifan
mengikuti proses pembelajaran maupun kesediaannya utuk mengikuti seluruh
proses pembelajaran. dengan demikian, apabila materi pelajaran atau pengetahuan
yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan diri sendiri, pengetahuan
tersebut akan mudah teruapakan dan hilang. Begiupun sebaliknya, apabila semkin
dekat pengetahuan dengan persepsi siswa maka akan semkin kuat tersimpan
dalam memory.
Artinya, semakin hal-hal yang dipelajari ( duia luar) oleh siswa
(persepsi guru), akan semakin kurang pengaruhnya terhadap individu tersebut.
Sebaliknya, semakin dekat hal-hal yang dipelajari tersebut dengan pusat
lingkaran, akan semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku
(Rmmini, dkk, 2006:104) jadi, dapat dipahami mengapabanyak hal yang
dipelajari, akan segera terlupakan adalah karena sedikit sekali kaitannya dengan
dirikita atau kita tidak dapat memahami atau mengambil makna dan keberartian
materi pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran terutama
pada proses pendahuluan guru harus menempuh hal-hal berikut.
1.

Memberikan sugesti-sugesti positif terhadap siswa

2.

Memberikan pemaparan tentang manfaat dri mempelajari materi pelajaran


yanga akan disampaikan nanti

50 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

3.

Memunculkan ras ingin tahu siswa dengan berbagai kelihatan terutama


mengkaitkannya dengan kehidupan siswa

4.

Menciptakan lingungan fisik pembelajaran yang positif dan menyenangkan


mencakup tata ruang dan kondisi lainnya.

5.

Menciptakan lngkingan sosio-emosional yang menyenangkan bagi seluruh


siswa

6.

Meredakan rasa gelisah, rasa tahut, dan sebagainya dan mungkin dimiliki
siswa sebelum proses pembelajaran dimulai.

7.

Menghilangkan segala bentuk hambatan yang mugkin mencul dalam proses


pembelajaran dan mengajar. Siswa untuk terliat secara penuh sejak awal
pembelajaran sampai akhir pembelajaran.

C
1.

Abaraham Maslow

Biografi Abraham Maslow


Maslow dibesarkan di pinggiran Kota Brooklyn. Ia pernah menjadi Guru

Besar psikologi di Universitas Brandeis dan pernah menjabat presiden American


Psychological Association (APA). Abraham Maslow meninggal secara mendadak
akibat serangan jantung pada 8 Juni 1970

2.

Hierarki Kebutuhan Mashlow dan Aplikasinya


Secara singkat, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia sebagai

pendorong (motivator) membentuk suatu hierarki atau jenjang peringkat. Pada


awalnya, Maslow mengajukan hierarki lima tingkat yang terdiri atas kebutuhan
fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan, dan mewujudkan jati diri. Di kemudian
hari, ia menambahkan kebutuhan lagi, yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan
memahami serta kebutuhan estetika. Namun tidak jelas bagaimana kedudukan
kedua kebutuhan ini dalam hierarki awal tersebut. Maslow berpendapat, jika tidak
ada satu pun dari kebutuhan dalam hierarki tersebut dipuaskan, perilaku akan
didominasi oleh kebutuhan fisiologis.

51 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Akan tetapi, jika kebutuhan fisiologis telah terpuaskan semua, kebutuhan


tersebut tidak lagi dapat mendorong atau memotivasi; orang itu akan dimotivasi
oleh kebutuhan tingkat berikutnya dalam hierarki itu, yaitu kebutuhan rasa aman.
Begitu kebutuhan rasa aman terpuaskan, orang akan beranjak ke tingkat
berikutnya, dan begitu seterusnya, dia terus menaiki hierarki, tingkat demi tingkat.
Menurut Teori Maslow, bahwa kegiatan seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya itu berjalan secara bertahap dari mulai pemenuhan kebutuhan dasar
sampai dengan kebutuhan yang kategori tahap akhir itu dilakukan secara
berurutan.
Pertama

: Kebutuhan dasar itu meliputi kebutuhan untuk memperoleh


pendapatan, pangan, sandang, kesehatan (istirahat, seks, kesegaran
jasmani, udara, air bersih) dan hiburan.

Kedua

: Kebutuhan rasa aman, meliputi kebutuhan untuk menghindar dari


kemunduran atau kejatuhan, suara bising, gangguan cahaya yang
menyilaukan, penyakit, kecelakaan, dan hal lain yang akan
menyebabkan rasa cemas dan takut. Dalam arti umum kebutuhan
rasa aman itu bersangkutan dengan perlunya lingkungan yang
menjadi keselamatan diri, terorganisasi, teratur dan memberi
harapan adanya kehidupan dimasa depan yang lebih baik.

Ketiga

: Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa kasih sayang. Termasuk


kedalamnya adalah kebutuhan untuk berteman dan bersahabat,
memiliki keluarga yang baik, memiliki hubungan dengan orang
lain secara mendalam, mempunyai tempat pada kelompok yang
dipilihnya, dan untuk dicintai atau mencintai orang lain.

Keempat

: Kebutuhan akan penghargaan diri. Kebutuhan ini menyangkut


pengakuan dan penghargaan yang tinggi oleh orang lain terhadap
dirinya. Hal ini bisa terpenuhi apabila pada orang yang diakui atau
dihargai itu terdapat sesuatu kelebihan, kepercayaan diri dan
keterbukaan. Sedangkan pada pihak lain bahwa orang- orang yang
menghargai itu menyatakan pengakuannya terhadap kedudukan,
kehormatan, keberhasilan, pentingnya, serta kemampuan orang
yang dihargainya.

52 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Kelima

: Kebutuhan akan pengembangan diri. Kebutuhan ini berhubungan


dengan perilaku yang tepat, usaha mengembangkan potensi diri
sehingga orang itu bertingkah laku sebagaimana sepatutnya ia
berbuat demikian sesuai dengan keinginan atau cita- citanya.
Sebagai contoh: kebutuhan untuk menjadi orang yang berprestasi
dalam profesinya, seseorang atlit yang ingin jadi juara, seorang
penyanyi yang ingin tenar atau ngetop, seorang gadis ingin menjadi
ibu yang ideal, seseorang ingin menjadi pegawai teladan, ingin
memanfaatkan diri bagi kepentingan masyarakat dan lain
sebagainya.

3.

Aplikasi Teori Maslow dalam Pembelajaran


Aplikasi Teori Maslow dalam pembelajaran menuntut guru untuk

memerhatikan pemenuhan hierarki kebutuhan- kebutuhan tersebut, terutama pada


individu siswa. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia tersebut memiliki implikasi
yang penting dan seharusnya diperhatikan juga oleh guru saat proses
pembelajaran. Misalnya, mengapa siswa tidak mengerjakan tugas rumah,
mengapa siswa tidak tenang sama sekali tidak berminat dalam belajar. Menurut
Maslow minat ataupun motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika
kebutuhan- kebutuhan pokok belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhankebutuhan pokok mendasar dari siswa tidak terpenuhi. Siswa yang datang ke
sekolah tanpa makan pagi yang cukup atau kurang tidur atau juga membawa
persoalan keluarga, rasa cemas atau takut, tidak berminat mengaktualisasikan diri
serta permasalahan lainnya akan menyebabkan siswa tidak dapat belajar dengan
baik di kelas.

D
1.

Carl Rogers

Biografi Carl Rogers


Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Chicago, AS. Latar belakang

pendidikannya adalah keagamaan yang kemudian tertarik dan mendalami bidang

53 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

psikologi. Bidang psikologis klinin merupakan bidang yang didalaminya di


Colombia University dan memperoleh gelar Ph. D pada 1931. Gelar profesor
diterima dari Ohio State University tahun 1940. Sejak tahun 1942, mulai
mengembangkan konsep counseling dan psikoterapi dengan menekankan
pengembangan model client centered theraphy atau terapi berpusat pada klien.

2.

Prinsip dalam Proses Pembelajaran


Menurut Rogers dalam Sugihartono dkk. (2007: 120), terdapat dua tipe

belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau


signifikansi). Tipe belajar experiential learning lebih menekankan pada
pemenuhan kebutuhandan keinginan siswa dalam belajar. Kualitas pembelajaran
ini akan terlihat dari tingkat keterlibatan siswa secara aktif, baik secara personal
maupun kelompok, siswa yang berinisiatif, evaluasi, yang dilakukan oleh siswa
itu sendiri, dan adanya efek yang membekas pada diri siswa setelah proses
pembelajaran

terakhir.

Misalnya,

menghubungkan

proses

pembelajaran

mempelajari mesin mobil dengan tujuan untuk menciptakan dan memperbaiki


mobil.
Menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 108- 110), terdapat
beberapa prinsip dalam proses pembelajaran menurut pandangan teori belajar
humanistik yang patut menjadi perhatian guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, hal ini terutama terkait dengan bagaimana siswa dapat belajar
dengan lebih baik dan proses pembelajarann dapat berproses dengan baik. Prinsipprinsip tersebut adalah hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa
ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, serta belajar dan perubahan.
1.

Hasrat untuk belajar


Menurut pandangan Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006: 108), pada
dasarnya setiap individu siswa atau manusia memiliki hasrat alami untuk
belajar. Konsep dorongan ingin tahu tersebut merupakan asumsi dasar
pendidikan dan pembelajaran dari sudut pandang humanistik. Dengan
demikian, praktek kelas yang memperhatikan teori humanistik dapat
diwujudkan dalam bentuk siswa diberi kesempatan dan kebebasan
memuaskan dorongan ingin tahunya selama proses belajar, memenuhi

54 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

minatnya untuk mempelajari dan mengetahui sesutau, dan membantu siswa


menemukan apa yang berarti, serta penting bagi dirinya sekarang dan yang
akan datang.
2.

Belajar yang berarti


Prinsip belajar yang berarti menjelaskan bahwa siswa hanya akan belajar
dengan cepat dan berhasil apabila materi yang dipelajari mempunyai arti
baginya. Hal ini akan sangat mungkin terjadi apabila materi pelajaran yang
dipelajari relevan atau sesuai dengan kebutuhan dan maksud siswa. Misalnya,
siswa akan cepat belajar menghitung uang, karena dengan uang tersebut ia
akan membeli sendiri sesuatu atau mainan bahkan makanan yang
diinginkannya.

3.

Belajar tanpa ancaman


Prinsip belajar tanpa ancaman menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006:
108), adalah proses belajar akan menjadi lebih mudah dilakukan oleh siswa
dengan hasil memuaskan yang dapat disimpan dengan baik apabila dalam
pelaksanaan proses belajar dan pembelajaran berlangsung dalam lingkungan
yang terbebas dari ancaman- ancaman yang mengganggu yang akan
membahayakan siswa. Oleh sebab itu, proses belajar akan berjalan dan lancar
dan mencapai tujuan dengan baik manakala siswa memiliki kesempatan untuk
menguji kemampuannya selama proses belajar mencoba pengalamanpengalaman baru dalam belajar, atau membuat kesalahan selama belajar tanpa
mendapat ancaman, kecaman, apalagi hukuman yang biasanya menyinggung
perasaan siswa.

4.

Belajar atas inisiatif


Prinsip Belajar atas inisiatif sendiri tersebut menjelaskan bahwa belajar akan
menjadi lebih berarti dan bermakna bagi siswa apabila proses tersebut
dilakukan atas inisiatif siswa sendiri dan melibatkan perasaan serta pikiran
siswa. Dengan demikian, jika proses belajar yang dilakukan bersifat pribadi
dan afektif yang akan menghasilkan rasa memiliki pada siswa atas apa yang
sedang dipelajari akan menjadi mau dan mampu terlibat dalam proses belajar
dengan lebih aktif, lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas- tugas dan

55 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

bergairah untuk belajar terus. Oleh sebab itu, pemberian motivasi dan
dorongan pada siswa agar mau belajar secara mandiri menjadi penting.
5.

Belajar dan perubahan


Prinsip belajar dan perubahan menurut Rogers dalam Sri Rumini dkk. (2006:
109), mejelaskan bahwa belajar yang paling bermanfaat bagi siswa adalah
belajar tentnag proses belajar itu sendiri. Misalnya, pengetahuan zaman
dahulu berkembang lamban dan relatif statis, tetapi sekarang perubahan
pengetahuan berlangsung dengan cepat merupakan fakta hidupnya. Dengan
kata lain, ilmu pengetahuan terus maju dan berkembang dengan pesat. Oleh
sebab itu yang dibutuhkan pada siswa dewasa ini adalah individu- individu
yang mampu belajar di lingkungan yang sedang dan akan terus berubah,
artinya belajar untuk mempersiapkan siswa hidup dan menghadapi masa
depan.

3.

Aplikasi Teori Rogers dalam Pembelajaran


Rogers dalam Sugihartono dkk. (2007: 120), menekankan pentingnya

guru untuk memperhatika prinsip- prinsip dalam menyelenggarakan proses


pembelajaran.
1.

Memahami bahwa menjadi manusia berarti memiliki kekuatan untuk belajar.


Meskipun demikian siswa tidak harus belajar tentang hal- hal yang tidak ada
artinya.

2.

Memahami bahwa siswa hanya akan mempelajari hal- hal yang bermakna bgi
dirinya,

3.

Memahami bahwa belajar yang bermakna bagi masyarakat modern berarti


belajar tentang proses,

4.

Memahami

bahwa

pengorganisasian

bahan

pengajaran

berarti

mengorganisasikan barang dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi
siswa

56 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

4
TEORI- TEORI BELAJAR KOGNITIF

Teori Belajar Kognitif


Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai sebuah proses belajar

yang mementingkan proses belajar itu sendiri dari pada hasil belajarnya. Aliran
kognitif pada awalnya muncul sebagai bentuk respons ketidaksepakatan terhadap
konsep- konsep belajar behavioristik yang menganggap belajar hanya masalah
hubungan stimulus dengann respons (S- R). Menurut Asri Budiningsih (2005:34),
belajar dalam pandangan penganut aliran kognitif tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respons saja. Akan tetapi, merupakan aktivitas yang
melibatkan proses berfikir secara kompleks, artinya terdapat aktivitas yang
melibatkan proses berfikir secara kompleks, artinya terdapat aktivitas selama
proses belajar yang terjadi di dalam otak individu.
Menurut Teori Soekamto dan Udin Saripudin (1997: 21), teori kognitif
lebih menekankan pada gagasan bahwa masing- masing bagian dari sebuah
informasi dan situasi selama proses pembelajaran akan saling berhubungan
dengan keseluruhan konteks pengetahuan tersebut sehingga akan lebih bermakna.
Oleh sebab itu, pemahaman kunci terhadap teori pembelajaran kognitif menurut
Sugiyono dan Hariyanto (2011: 75) adalah
a.

Sistem ingatan atau memori di dalam otak selama individu belajar merupakan
suatu prosesor informasi yang aktif dan terorganisasi dan

b.

Pengetahuan awal pada individu memiliki peranan penting dalam proses


pembelajara.

57 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

B Jean Piaget
1. Biografi Jean Piaget
A

Jean Piaget lahir pada 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Ayahnya

adalah ahli sejarah yang mengkhususkan diri di bidang sejarah literatur abad
pertengaha. Piaget pada awalnya tertarik pada biologi, dan ketika dia berusia 11
tahun, dia memublikasikan artikel satu halaman tentang burung pipit albino yang
dilihatnya di taman. Antara usia lima belas tahun, dia memublikasikan sejumlah
artikel tentang kerang. Piaget mencatat bahwa karena publikasinya banyak, dia
ditawari posisi kurator koleksi kerang di Museum Geneva saat masih duduk di
sekolah menengah.
Piaget mendapat Ph. D. di bidang biologi saat masih berumur 21 tahun,
dan sampai usia 30 tahun dia telah memublikasikan lebih dari 20 paper, terutama
tentang kerang- kerangandan beberapa topik lainnya. Piaget memublikasikan
sekitar 30 buku dan lebih dari 200 artikel dan terus melakukan riset produktif di
University of Geneva sampai di meninggal pada 1980. Teori perkembangan
intelektual anak adalah teori yang ekstensif dan rumit.

2. Konsep Teoritis Utama


a. Intelegensia. Menurut Piaget, tindakan yang cerdasa adalah tindakan yang
menimbulkan kondisi yang mendekati optimal untuk kelangsungan hidup
organisme. Dengan kata lain, inteleensia memungkinkan organisme untuk
menangani masalah secara efektif lingkungannya. Jadi menurut Piaget,
intelegensia adalah ciri bawaan yang dinamis sebab tindakan yang cerdas akan
berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan mendapat
pengalaman. Teori Piaget sering disebut sebagai genetic epictemology karena
teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual.
b. Skemata. Seorang anak dilahirkan dengan sedikit refleks yang terorganisir,
seperti

menyedot,

melihat,

menggapai,

dan

memegang.

Alih-

alih

mendiskusikan kejadian individual dari refleks ini, Piaget lebih memilih


berbicara tentang potensi umum untuk melakukan hal- hal seperti mengisap,
menatap, menggapai, atau memegang. Potensi untuk bertindak dengan cara

58 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

tertentu itu diesbut schema (skema; jamak: sshemata). Misalnya, skema


memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu. Skema lebih
dari sekadar manifestasi refleks memegang saja. Skema memegang dapat
dianggap sebagai struktur kognitif yang membuat semua tindakan memegang
bisa dimungkinkan.
c. Asimilasi dan akomodasi. Proses merespons lingkungan sesuai dengan struktur
kognitif seorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni jenis pencocokan
atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Namun,
proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan
intelektual: accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
d. Ekuilibrasi. Menurut Piaget, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan
intelektual adalah ekuilibrasi. Piaget berasumsi semua organisme punya
tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, semua aspek dari organisme diarahkan
menuju adaptasi yang optimal. Ekuilibrasi (penyeimbang) adalah tendensi
bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapat adaptasi yang
maksimal. Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan sebagai doronan terusmenerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrum)
e. Interiorisasi. Setelah struktur kognitif makin luas, anak- anak mampu
merespons situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak lagi terlalu
bergantung pada situasi sekarang. Penurunan ketergantungan pada lingkungan
fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif ini dinamakan
interiorization (inteorisasi).

Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensimotor,


yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya.
Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensimotor ini. Dengan
kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat
direspons oleh si anak, dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan
pengalaman anak. Tetapi mulai pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi.
Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh
struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan

59 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus- menerus. Tetapi


ini adalah proses yang lambat, karena skemata baru itu selalu berkembang dari
skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, pertumbuhan intelektual
yang dimulai dengan respons reflektif anak terhadap lingkungan akan terus
berkembang sampai ke titik di mana anak mampu memikirkan kejadian potensial
dan mampu secra mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya.
Interiorisasi menghasilkan perkembangan operasi yang membebaskan
anak dari kebutuhan untuk berhadapan langsung dengan lingkungannya karena
dalam hal ini anak sudah mampu melakukan manipulasi simbolis. Perkembangan
operasi (tindakan yang diinteriorisasi) memberi anak cara yang kompleks untuk
menangani lingkungan, dan mereka karenanya mampu melakukan tindakan
intelektual yang lebih kompleks. Karena struktur kognitif mereka lebih
terartikulasi, demikian pula lingkungan fisik mereka; jadi dapat dikatakan bahwa
struktur kognitif mereka. Istilah intelligent dipakai oleh Piaget untuk
mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Jadi, perilaku anak yang memegang
mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam
memecahkan memecah problem. Menurut Piaget, tindakan yang cerdas selalu
cenderung menciptakan keseimbangan antara organisme dengan lingkungannya
dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi.

3. Tahap-Tahap Perkembangan
Meskipun perkembangan intelektual berkelanjutan selama masa kanakkanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Dia
mendeskripsikan empat tahap utama:
1. Sensorimotor, dimana anak berhadapan langsung dengan lingkungan dengan
menggunakan refleks bawaan mereka;
2. Pra- operasional, dimana anak mulai menyusun konsep sederhana,
3. Operasi

konkret,

dimana

anak

menggunakan

tindakan

yang

telah

diinteriorisasikan atau pemikiran untuk memecahkan masalah dalam


pengalaman mereka; dan
4. Operasi formal, dimana anak dapat memikirkan situasi hipotesis secara penuh.

60 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

4. Pendapat Piaget Tentang Pendidikan


Menurut Piaget, pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman
yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi
dapat mengahasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis
pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Maka kita
melihat, baik itu Piaget maupun kaum behavioris, telah mendapatkan kesimpulan
yang sama mengenai pendidikan, yakni pendidikan harus diindividualisasikan.
Piaget mendapatkan kesimpulan ini dengan menyadari bahwa kemampuan untuk
mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan bahwa materi
pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif anak.
Ginsburg dan Opper (1979) meringkaskan cara Piaget memandang
perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh warisan bawaan:
1. Struktur fisik bawaan (yakni sistem saraf) membatasi fungsi intelektual
2. Reaksi behavioral bawaan (yakni refleks) memengaruhi tahap awal kehidupan
manusia namun setelah itu dimodifikasi besar- besaran setelah bayi
berinteraksi dengan lingkungannya
3. Pendewasaan struktur fisik mungkin memiliki korelasi psikologis (yakni otak
menjadi matang sampai titik di mana perkembangan bahasa dimungkinkan).
Dan seperti telah dilihat, ekuilibrasi, atau tendensi mencari harmoni antara diri
dengan lingkungan, juga merupakan bawaan.

C Teori Belajar Gestalt


1. Biografi Gestalt
A Max Wertheiner merupakan peletak dasar teori Gestalt (1880- 1943)
yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving, diikuti Koffka (18861941) yang menjelaskan prinsip- prinsip pengamatan, dan juga Wolfang Kohler
(1887- 1959) yang meneliti insight pada simpanse. Gestalt berasal dari bahasa
Jerman yang berari konfigurasi atau organisasi atau eseluruhan yang punya arti.

61 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

2.

Konsep Belajar Gestalt


Teori belajar menurut psikologi Gestalt sering kali disebut insight full

learning atau field theory. Adapula istilah lain yang identik dengan teori ini, yaitu
organismic, pattern, holistic, integration, configuration, dan closure.
Dalam proses eksperimen Wolfgang Kohler, pendiri aliran psikologi
Gestalt menepatkan seekor simpanse yang bernama Sultan ke dalam sangar yang
di dalamnya berisi dua potong bambu yang satu berukuran kecil satunya lagi lebih
besar garis tengahnya. Di luar sangkat tersebut diletakkan sebuah pisang yang
jaraknya tidak terjangkau baik oleh tangan Sultan maupun oleh salah satu bambu
itu.
Selanjutnya Sultan yang telah mengerti cara meraih pisang ke dalam
sangkar dengan sepotong bambu, tidak berhasil mendapatkan pisang tersebut
dengan salah satu bambu yang tersedia. Kemudian diletakkannya sepotong bambu
di tanah dan didorongnya dengan sepotong bambu lain, sehingga menyentuh
pisang itu. Hal ini tidaklah memecahkan problemnya tetapi sekedar memberikan
kepuasan karena ia dapat mengadakan kontak dengan pisang itu. Kemudian kedua
bambu itu ditariknya kembali lantas dipermaikannya sampai akhirnya, secara
kebetulan Sultan meletakkan ujung bambu yang satu ke ujung bambu yang lain.
Segera setelah itu bambu yang satu dimasukkannya ke bambu yang lain, sehingga
berujud sebuah tongkat yang cukup panjang, lalu larilah Sultan ke tepi sangkar
dan menarik pisang tersebut.
Tingkah laku Sultan berbeda sekali dengan tingkah laku kucing
percobaan Thorndike seperti telah diuraikan dimuka.
Sultan menyadari pertautan-pertautan yang relevan, yang terkandung di
dalam pemecahan tugasnya dengan pasti dan segera. Tampaknya, ia
mengombinasikan ingatannya mengenai menarik pisang ke dalam sangkar dan
persepsi tentang sambugan bambu. Untuk bisa melakukan ini, ia harus mereconditioning dirinya; dia harus melepaskan tentang mengeluarkan sepotong
bambu keluar sangkar dan menghubungkannya dengan gambaran sintensis
tentang mengulurkan bambu yang disambungkan.
Dalam kasus Sultan diatas berlaku apa yang disebut dengan hukum
closure dan hukum proksimitas yaitu adanya kecenderungan yang kuat untuk

62 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

memersepsi pola-pola yang tidak lengkap sebagai keseluruhan seperti dalam


persepsi, dan bahwa item-item yang saling berdekatan cenderung untuk
dikelompokkan.

Dalam

memecahkan

problem

semacam

itu,

binatang

mendemonstrasikan apa yang oleh psikologi disebut pengertian Gestalt tentang


problem. Bedanya dengan manusia adalah tingkah simbolisasi pada binatang itu
rendah (Mahmud, 1990).
Jiwa manusia menurut aliran ini, adalah suatu keseluruhan yang
berstruktur atau merupakan suatu sitem, bukan hanya terdiri atas sejumlah bagian
atau unsur yang satu sama lain terpisah, yang tidak mempunyai hubungan
fungsional. Manusia adalah individu yang merupakan berbentuk jasmani rohani.
Sebagai individu, manusia itu bereaksi, atau lebih tepatnya berinteraksi, dengan
dunia luar, dengan kepribadiannya, dan dengan cara yang unik pula. Sebagai
pribadi, manusia tidak secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang dan
tidak pula reaksinya itu dilakukan secara trial and error seperti dikatakan oleh
penganut teori conditioning. Interaksi manusia terhadap dunia luar bergantung
pada cara ia menerima stimulasi dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada
padanya. Manusia adalah makhluk yang memilki kebebasan. Ia bebas memilih
cara bagaimana ia berinteraksi; stimulus mana yang diterima dan mana yang
ditolak.
Atas dasar itu, maka belajar, dalam pandangan psikologi Gestalt bukan
sekedar proses asosiasi antara stimulus-respon yang kian lama kian kuat
disebabkan karena adanya latihan atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini belajar
itu terjadi apabila terdapat pengertian. Pengertian ini muncul jika seseorang
setelah beberapa saat mencoba memahami suatu problem, tiba-tiba muncul
adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan
yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya, untuk kemudian dimengerti
maknanya.

3.

Prinsip dalam Pembelajaran Teori Gestalt


Prinsip-prinsip

belajar

ini

lebih

merupakan

trangkuman

atau

kesimpulan dari teori Gestalt:

63 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

(1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan, kemudian baru menuju bagianbagian. Dari hal-hal yang sangat kompleks ke hal-hal yang lebih sederhana.
(2) Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi
dalam suatu keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka
keseluruhan tersebut.
(3) Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Seseorang belajar jika ia
dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan yang dipelajarinya.
(4) Belajar akan berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh pengertian.
Pengertian adalah kemampuan hubungan antara berbagai faktor dalam situasi
yang problematis.
(5) Belajar akan berhasil jika tujuan yang berarti bagi individu.
(6) Dalam proses belajar itu individu selalu merupakan organisme yang aktif,
bukan bejana yang harus diisi oleh orang lain.

64 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

5
TEORI BELAJAR PENGELOLAAN
INFORMASI

A
1.

Robert Mills Gagne

Biografi Robert Mills Gagne


Robert Mills Gagne lahir 21 Agustus 1916, di North Andover,

Massachusetts dan wafat pada tanggal 28 April 2002. Dia meraih gelar A.B. dari
Yale pada tahun 1937 dan Ph.D. dariBrown University tahun 1940. Dia adalah
seorang profesor psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College untuk
Wanita (1940-1949), Pennsylvania State University(1945-1946), Princeton (19581962), dan University of California di Berkeley (1966-1969)dan seorang profesor
di Departemen Penelitian Pendidikan di Florida State University diTallahassee
mulai

tahun

1969.

Gagne

juga

menjabat

sebagai

direktur

penelitian

untuk Angkatan Udara (1949-1958) di Lackland, Texas, dan Lowry, Colorado.


Dia bekerja sebagaikonsultan untuk Departemen Pertahanan (1958-1961) dan
Dinas Pendidikan Amerika Serikat (1964-1966). Selain itu, ia menjabat sebagai
direktur penelitian di American Institute of Research.Robert Mills Gagne adalah
seorang ahli psikologi pendidikan yang telahmengembangkan suatu pendekatan
perilaku mengenai psikologi belajar. Gagasan-gagasanGagne tentang belajar
sangatlah banyak, dalam makalah ini akan dibatasi pada hasil-hasil belajar yang
dikemukakan

oleh

Gagne,

kejadian-kejadian

belajar,

kejadian-kejadian

instruksi,dan implementasi teori Gagne dalam pembelajaran.

65 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

2.

Ragam Transfer Belajar


Selanjutnya, menurut Gagne seorang education psychologi (pkar

psikologi pendidikan) yang mansyur, transfer dalam belajar dapat digolongkan ke


dalam empat kategori, yaitu: 1) transfer positi, yaitu transfer yang berefek baik
terhadap kegiatan belajar selajutnya; 2) tranfer negatif, yaitu transfer yang berefek
buruk terhadap kegiatan belajar selanjutya; 3) transfer vertikal, yaitu transfer yang
berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan keterampilan yang lebih
tinggi; 4) transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan
belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat.
Penjelasan lebih lanjut mengenai aneka ragam transfer baik dari
Thorndike maupun dari Robert M. Gagne tersebut adalah sebagaimana terutama
di bawah ini.
a.

Transfer Positif
Transfer positif dapat terjadi dalam diri seorang siswa apalagi guru membantu
untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut
belajar dalam situasi-situasi lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut
Barlow (1985) adalah learning in one situation helpful in other situations,
yakni belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasisituasi lain.

b.

Transfer Negatif
Transfer negatif dapat dialami seorang siswa apalagi ia belajar dalam situasi
tertentu yang memilki pengaruh merusak terhadap keterampilan/pengetahuan
yang dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diambil dari
Education Psychology: The Teaching Learning Process oleh Daniel Lenox
Barlow yang menyatakan bahwa tranfer negatif itu berarti, learning in one
situation has a damging effect in other situations.
Dengan demikian, pengaruh keterampilan atau pengetahuan yang telah
dimiliki oleh siswa sediri tak ada hubungannya dengan kesulitan yang
dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari pengetahuan atau keterampilan
lainnya. Menghadapi kemungkinan transfer negatif, yang penting bagi guru
ialah menyadari dan sekaligus menghindarkan para siswanya dari situasi-

66 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

situasi belajar tertentu yang diduga keras berpengaruh negatif terhadap


kegiatan belajar para siswa tersebut pada masa yang akan datang.
c.

Tranfer Vertikal
Tranfer Vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila
pelajaran yang telah sipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tersebut
dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang paling tinggi atau rumit.
Misalnya, seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan
pengurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari
perkalian pada waktu dia menduduki kelas III. Sehubungan dengan hal ini,
penguasaan materi pelajaran kelas II merupakan prasyarat untuk mempelajari
materi kelas III.
Agar memperoleh tranfer vertikal, guru sangat dianjurkan untuk menjelaskan
kepada para siswa secara eksplisit mengenai faidah materi yang sedang
dianjarkannya bagi kegiatan belajar materi lainnya lebih kompleks. Upaya ini
penting sebab kalau siswa tidak memiliki alasan yang benar mengapa ia harus
mempelajari materi yang sedang diajarkan gurunya itu (antara laun untuk
transfer vertikal), mungkin ia tak akan mampu memanfaatkan materi tadi
untuk mempelajari materi lainnya yang lebih rumit. Padahal, learning in one
situation allow mastery of more complex skill in other situations yang berarti
bahwa belajar dalam suatu situasi memungkinkan siswa menguasai
keterampilan-keterampilan yang lebih rumit dalam situasi yang lain.

d.

Transfer lateral
Transfer lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa
apabila ia mampu mengunakan materi ang telah sipelajari untuk mempelajari
materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal
ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa
tersebut.
Contoh: seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi X dari
sekolah dapat menjalankan mesin tersebut di tempat kerjanya. Di samping itu,
ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin
lainnya yang mengandung elemen dan kerumitan yang kurang lebih sama
dengan mesin X tadi. Alhasil, transfer lateral itu dapat dikatakan sebagai

67 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

gejala wajar yang memang sangat diharapkan baik oleh pihak pengajar
maupun pihak pelajar. Namun, idealnya hasil belajar siswa tidak hanya dapat
digunakan dalam konteks yang sama rumitnya dengan belajar, tetapi juga
dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang lebih kompleks dan penuh
persaingan.
3.

Terjadinya Transfer Positif


Diatas telah menyusun uraian mengenai arti transfer positif dan

signifikannya bagi kegiatan belajar siswa. Namun, bagaimanakah sebenarnya


transfer positif itu terjadi dalam diri siswa? Benar siswa akan mudah mempelajari
materi Y karena mengandung unsur yang identik dengan materi X yang telah
dikuasainya?
Transfer positif, seperti yang telah diutarakan di muka, akan mudah
terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip
dengan situasi sehari-hari yang akan ditempatkti siswa yang telah ia pelajari di
sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti inilah sebenarnya yang perlu
diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah terciptanya
sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang didapat dari
lingkungan pendidikan untuk digunakannya sehari-hari.
Oleh sebab itu, setiap lembaga kependidikan terutama jenjang
pendidikan menengah, perlu menyediakan kemudahan-kemudahan belajar, seperti
alat-alat dan ruang kerja yang akan ditempati siswa kelak setelah lulus. Apabila
cara ini sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil umpamanya on the job
training, yaitu mengadakan praktek lapangan di tempat-tempat kerja seperti
kantor, sekolah, pabrik, kebun, dan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan jurusan
dan keahlian yang dimilikinya.
Sementara itu, teori yang dikembangkan oleh Thorndike seperti yang
telah penyusun singgung di muka, transfer positif hanya akan terjadi apabila dua
materi pelajaran memiliki kesamaan unsur. Teori kesamaan unsur ini telah
memberi pengaruh besar terhadap pola pengembangan kurikulum di Amerika
Sekitar beberapa puluh tahun yang lalu.
Hal-hal lain seperti kesamaan situasi dan benda-benda yang digunakan
untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori Gagne, tidak dianggap

68 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Throndike memberi contoh, jika


Anda telah memecahkan masalah geometri (ilmu ukur) yang mengandung
sejumlah huruf tertebtu sebagai petunjuk. Anda taka akan dapat mentransfer
kemampuan memecahkan masalah geometri itu untuk memecahkan masalah
geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda.
Dalam perspektif psikologi kognitif masa kini, mekanisme transfer
positif ala Thorndike yang telah terlanjur diyakini banyak pakar itu ternyata hanya
isapan jempol belaka. Singley & Anderson dan Anderson misalnya, sangat
meragukan teori yang menganggap transfer sebagai peristiwa spontan dan
mekanis (asal ada kesamaan elemen) seperti yang diyakini orang selama ini.
Keraguan itu timbul karena ahli kognitif telah banyak menemukan peristiwa
tranfer positif yang sangat mencolok antara kedua keterampilan yang memiliki
unsur yang sangat berbeda namun memiliki struktur logika yang sama.
Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif antara lain seperti di atas,
Anderson yakin bahwa transfer positif hanya akan terjadi pada diri siswa apabila
dua wilayah pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut
menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama
pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah
pengetahuan yang sama.
Jadi, orang yang menduga bahwa seorang siswa yang telah pandai
membaca Al-Quran akan secara otomatis mudah belajar bahasa Arab karena ada
kesamaan elemen (sama-sama bertulisan Arab) perlu dipertanyakan. Namun,
seorang siswa yang pandai dalam seni baca Al-Quran sangat mungkin dia mudah
belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah keterampilan itu
terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya
dengan siswa yang sudah menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin
akan mudah menjadi menjadi seorang pengarang.
Sesungguhnya tranfer itu merupakan peristiwa kognitif (ranah cipta /
akal) yang terjadi karena belajar. Jadi, belajar dalam hal ini seyogyanya dipandang
sebagai keadaan sebelum transfer atau prasyarat adanya transfer. Dengan
demikian anggapan bahwa transfer itu spontan dan mekanis sebenarnya

69 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

berlawanan dengan hakikat belajar itu sendiri, yakni perbuatan siswa yang sedik
atau banyak selalu melibatkan ranah kognitif.
Bagaimana pula dengan transfer negatif yang sering dikhawatirkan
orang itu? Transfer negatif menurut Anderson dan Lawson tak perlu dirisaukan
lantaran sangat jarang terjadi. Kesulitan belajar siswa yang selama ini diduga
terjadi karena adanya transfer negatif, sebenarnya masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Sebab, sementara gangguan konflik antara ingatan fakta dalam
memori hampir tak pernah terjadi atau mengganggu perolehan keterampilan baru.
Alhasil, kesulitan belajat yang dialami siswa mungkin disebabkan oleh faktorfaktor antara lain seperti yang akan penyusun bahas segera setelah pembahasan ini
usai.
Sebagai catatan akhir pembahan ini, perlu diutarakan beberapa contoh
peristiwa belajar yang secara lahiriah tampak seperti transfer tetapi sesungguhnya
bukan. Contoh-contoh ini penting untuk diketahui agar siswa dan guru tidak
terkecoh oleh timbulnya sesuatu yang baru dan baik sebagai sesuatu yang sedang
diharapkan, yakni transfer positif.
Pertama, sekolah siswa yang telah berkemampuan menulis dengan
menggunakan tangan kanan, lalu suatu saat dia juga mampu menulis emngunkan
tangan kirinya. Kejadian ini sama halnya dengan kemampuan seorang sisswa
memantul-mantulkan bola dengan tangan kanannya, kemudian ternyata seorang
siswa itu mampu juga memantul-mantulkan bola dengan tangan kirinya walaupun
tanpa latihan khusus. Peristiwa-peristiwa itu tampaknya seperti tranfer karena
kemampuan tangan kanan seakan-akan memberi pengaruh pada munculnya
kemampuan tangan kirinya, padahal mungkin transfer. Peristiwa-peristiwa tadi
hanya merupakan bukti bahwa perilaku belajar itu bersifat organik, meskipun
siswa tadi tidak tampak memikirkan bagaimana cara memantulkan bola dengan
tangan kirinya.
Kedua seorang siswa SD yang mengenal huruf u dalam kata gula
suatus saat dapat pula mengenal huruf tersebut dalam kata guru atau madu
dan sebaginya. Seorang siswa SLTP yang telah menguasai sebuah rumus dalam
matematika, kemudian mampu menyelesaikan soal-soal matematika yang
berhubungan dengan rumus yang telah dikuasainya itu. Kasus yang terjadi pada

70 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

anak SD tadi bukan transfer melainkan peristiwa penerapan hasil belajar


perseptual belaka. Sementara itu, kasus siswa SLTP tadi merupakan kasus
penerapan kemampuan yang telah ia peroleh sebelumnya. Jadi, keduanya bukan
transfer.

71 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

DAFTAR PUSTAKA

Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.


Santoso, Slamet. 2010. Teori- Teori Psikologi Sosial. Bandung: PT Revika
Aditama.
Hergenhahn dan Matthew, 2008. Theories Of Learning (Teori Belajar). Jakarta:
Kencana.
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pebelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rumini, Sri dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin, 1997. Teori Belajar dan Model- Model
Pembelajaran. Jakarta: PAU- PPAI.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Presss
Sugiyono dan Hariyanto, 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep
Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprijanto, 2007. Pendidikan Orang Dewasa (Dari Teori Hingga Aplikasi).
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Soemanto, Wasty, 2006. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Irham, Muh dan Novan Ardy Wiyani, 2013.Psikologi Pendidikan Teori Dan
Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran.Yogyakarta.Ar- ruzz Media.
(http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf

15

April 2010).

72 | T e o r i P e m b e l a j a r a n

Anda mungkin juga menyukai