Pada pertemuan pertama mata kuliah belajar dan pembelajaran, saya tidak bisa mengikuti
kuliah karena kesehatan saya terganggu (sakit). Namun, saya mendapat info dari teman hari
pertama kuliah hanya sebatas perkenalan dan pemberian buku pegangan untuk kuliah yang
ditulis oleh bapak prof wahab sendiri. Pembelajaran dimulai dengan membahas tentang sains,
sains identik dengan IPA. Natural sains terdiri dari biologi, fisika dan kimia. Kualitas pendidikan
atau hasil belajar pendidikan IPA dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu kurikulum
yang berlaku, guru, peserta didik dan lingkungan. Guru harus berwawasan luas, memiliki
kreativitas tinggi, keterampilan metodologis yang handal, rasa percaya diri yang tinggi, dan
berani mengemas dan mengembangkan materi. Secara akademik, guru dituntut untuk terus
menggali informasi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan dan
banyak membaca buku agar penguasaan bahan ajar tidak terfokus pada bidang kajian tertentu
saja. Tanpa kondisi ini, maka pembelajaran terpadu dalam IPA akan sulit terwujud. Kurikulum
harus luwes, berorientasi pada pencapaian ketuntasan pemahaman peserta didik (bukan pada
pencapaian target penyampaian materi). Pembelajaran terpadu menuntut kemampuan belajar
peserta didik yang relatif “baik”, baik dalam kemampuan akademik maupun kreativitasnya. Hal
ini terjadi karena model pembelajaran terpadu menekankan pada kemampuan analitik
(mengurai), kemampuan asosiatif (menghubung-hubungkan), kemampuan eksploratif dan
elaboratif (menemukan dan menggali). Bila kondisi ini tidak dimiliki, maka penerapan model
pembelajaran terpadu ini sangat sulit dilaksanakan.
KULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN IPA PERTEMUAN II (KEDUA)
SENIN, 11 SEPTEMBER 2017
Pertemuan kedua ini, dimulai dengan materi mengenai Teori Tentang Belajar Dan
Pembelajaran. Proses pembelajaran menerapkan model pembelajaran TPS (Think, Phair, and
Share), dimana kami berdiskusi dengan teman duduk sebelah kami, lalu membaca buku
mengenai Teori Belajar Tingkah Laku dan pendapat teori belajar tingkah laku menurut John
Watson, Edward Thorndike, dan B. F. Skinner, setelah itu menyampaikan atau
mengkomunikasikan apa yang telah kami diskusikan, dan waktu berdiskusinya adalah 5 menit.
Teman diskusi saya saat itu adalah Nurul Fauziah.
Setelah proses diskusi selesai, masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusinya.
Berdasarkan orientasinya, teori belajar dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu antara lain: 1)
teori yang berorientasi pada tingkah laku (behaviourism), 2) teori yang berorientasi pada
perkembangan kemampuan kognitif manusia (kognitivism), 3) teori yang berorientasi pada
pengembangan sifat kemanusiaan (humanism), dan 4) teori yang berorientasi pada pola belajar
antar sesame manusia (socialism). Diskusi pertama mengenai teori belajar tingkah laku
(behaviourism). Menurut teori belajar tingkah laku, belajar merupakan perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan sudah mengalami
proses belajar jika telah mampu bertingkah laku dengan cara baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus yang berupa proses dan materi pembelajaran dengan respon atau tanggapan yang
diberikan oleh pebelajar. Pendukung teori belajar tingkah laku yaitu John Watson, Edward
Thondike dan B.F Skinner. Meskipun mereka mendukung teori belajar tingkah laku, namun ada
beberapa hal mereka memiliki pendapat yang berbeda.
John Watson menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi stimulus dan respon. Dalam hal ini, Watson berpendapat bahwa hanya
tingkah laku yang teramati saja yang dapat dipelajari dengan valid dan reliable dan Watson lebih
memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak dapat diukur, meskipun tetap mengakui
bahwa semua hal itu cukup penting.
Sedangkan, Thorndike berpendapat bahwa ada tiga hukum pokok yang berlaku dalam
proses belajar manusia yaitu: 1) hukum kesiapan, 2) hukum akibat, dan 3) hukum latihan.
Hukum kesiapan (Law of Readiness) menyatakan adanya hubungan antara stimulus dan respon
yang mudah terbentuk dan lebih kuat. Contohnya dalam proses pembelajaran, sebelum memulai
pembelajaran siswa diberikan apersepsi untuk “membangunkan” ingatan yang ada di dalam otak
siswa mengenai materi tersebut. Sehingga dengan adanya apersepsi siswa menjadi lebih siap
dalam menerima materi selanjutnya dan pikiran siswa menjadi lebih terfokus pada materi
tersebut.
Hukum akibat (Law of Effect) menyatakan jika respon terhadap stimulus memberikan
pengaruh yang baik, maka besar kemungkinan respon tersebut akan diulang lagi oleh peserta
didik pada saat memperoleh stimulus yang sejenis begitupun sebaliknya jika respon terhadap
stimulus memberikan pengaruh yang kurang baik, maka besar kemungkinan respon tersebut
tidak akan diulang lagi oleh peserta didik. Contohnya adalah ketika guru ingin siswanya dapat
memahami suatu materi pembelajaran, ia meminta siswanya untuk memperhatikan, membaca,
dan mengaplikasikan apa yang sudah dipelajarinya maka akan mendapatkan penghargaan,
dengan begitu siswa akan merasa senang dan akan terus mengulang dan mengulanginya lagi.
Berdasarkan konsep hukum akibat dapat disimpulkan bahwa siswa akan mengulangi suatu
kegiatan dengan perasaan senang jika diberikan stimulus yang baik sedangkan siswa tidak akan
mengulangi suatu kegiatan dengan perasaan kurang senang jika diberikan stimulus yang kurang
baik, agar siswa dapat merespon dengan baik maka guru diharapkan mampu untuk memodifikasi
stimulus ke dalam bentuk lain yang lebih efektif.
Hukum latihan (Law of Exercise) menyatakan adanya hubungan antara stimulus dan
respon akan menjadi lebih kuat dengan adanya latihan yang berkelanjutan sebaliknya hubungan
antara stimulus dan respon akan menjadi lemah jika latihan tidak berkelanjutan. Artinya dalam
proses pembelajaran terutama pelajaran IPA, materi pembelajaran harus berguna dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Perbedaan antara teori belajar John Watson dan Edward Thorndike, yaitu sikap yang
diamati dan tidak diamati, dimana menurut John Watson hanya perubahan tingkah laku yang
dapat diamati dan dipelajari, sedangkan menurut Edward Thorndike perubahan tingkah laku
berwujud sebagai sesuatu yang dapat diamati dan tidak dapat diamati.
Diskusi kedua mengenai teori belajar kognitif. Teori belajar kognitif merupakan teori-
teori yang berorientasi pada aspek kognitif manusia yang lebih mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar. Beberapa ahli yang mendukung teori belajar kognitif antara lain ialah Jean
Piaget, Benyamin S. Bloom, David Ausubel dan Jerome Bruner.
Teori Piaget terfokus pada perkembangan pola berpikir mulai dari bayi sampai dewasa.
Jean Piaget membagi fase perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu:
1. Tahap sensorimotor yang dimulai sejak lahir sampai dengan usia 2 tahun. Pada tahap ini,
anak mempelajari lingkungannya melalui gerakan dan perasaan serta mempelajari objek
secara permanen.
2. Tahap praoperasional berlangsung dari usia 2 – 7 tahun. Dalam fase ini seorang anak akan
memiliki kemampuan berpikir magis yang lebih berkembang dan memperoleh keterampilan
motorik.
3. Tahap operasional konkrit mulai dari usia 7 – 11 tahun. Anak-anak yang berada dalam fase
ini mulai dapat berpikir secara logis tetapi kemmapuan berpikirnya sangat konkret.
4. Tahap operasional-formal mulai berlaku setelah usia 11 tahun. Dalam fase ini seorang anak
sudah dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang bersifat abstrak.
Proses belajar yang dilalui anak pada tahap sensorimotor akan berbeda dengan proses
belajar pada anak yang telah mencapai tahap praoperasional. Secara umum, semakin tinggi
tingkat perkembangan kognitif seseorang, maka akan semakin teratur dan semakin abstrak cara
berpikirnya. Dengan demikan, pendidik sudah seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan
peserta didik, serta memberikan materi pelajaran dalam jumlah dan jenis sesuai dengan tahap-
tahap tersebut. Contohnya, anak yang telah mencapai tahap operasional formal mulai berlaku
setelah usia 11 tahun. Artinya pada tahap tersebut anak-anak sudah memasuki sekolah menengah
baik pertama (SMP) maupun (SMA). Sehingga, seharusnya mempertimbangkan soal-soal yang
berpikir tingkat tinggi atau dimulai dari kemampuan C4 – C6. Sehingga siswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikir abstraknya.
Hasil diskusi kami berdua mengenai implikasi penting dari teori Jean Piaget dalam
membelajaran IPA yang dikutip oleh Slavin (1994) adalah sebagai berikut:
a) Memusatkan perhatian pada kemampuan berpikir atau proses mental peserta didik dan tidak
sekedar pada hasilnya. Artinya dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya memperhatikan
hasil akhir dari pekerjaan siswa melainkan guru juga harus memperhatikan proses yang
dilalui siswa dalam mendapatkan hasil akhir tersebut.
b) Memperhatikan peran dan inisiatif peserta didik, serta keterlibatannya dalam kegiatan
pembelajaran. Misalnya dalam proses pembelajaran guru hanya menjadi fasilitator artinya
guru memberikan kesempatan kepada peserta didik mencari dan menemukan pengetahuan
melalui eksperimen dan diskusi kelompok.
c) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan
intelektual. Teori piaget mengasumsikan bahwa seluruh peserta didik tumbuh melalui urutan
perkembangan intelektual yang sama, akan tetapi pertumbuhan itu berlangsung dengan
kecepatan berbeda. Artinya, dalam proses pembelajaran agar tidak terjadi kesenjangan
intelektual guru dalam melakukan pembelajaran dengan pembagian kelompok dimana
peserta didik yang tingkat intelektualnya rendah satu kelompok dengan yang tingkat
intelektualnya tinggi sehingga dapat terjadi interaksi.
Piaget menyatakan bahwa proses belajar berlangsung melalui tiga tahap yaitu asimilasi
(assimilation), akomodasi (accommodation) dan penyeimbangan (equilibration). Asimilasi
adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalam benak peserta didik atau dengan kata lain tahap asimilasi merupakan tahap menyerap
informasi. Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif/mental pada karakteristik
atau kejadian objek yang dipikirkannya atau dengan kata lain tahap akomodasi merupakan tahap
menyimpan informasi. Terakhir, tahap equilibrasi merupakan penyesuaian yang
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi atau proses mencampurkan/menggabungkan
antara pengetahuan awal dan pengetahuan baru.
Kegiatan diskusi dan perkuliahan di hari kedua ini telah berakhir. Untuk pertemuan
selanjutnya yaitu membaca dan membuat power point bab 3 hakekat belajar dan prinsip
pembelajaran dan dipersentasikan dengan teman kelompok.
2. Hakikat Belajar
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kegiatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU. No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran yang diarahkan kepada
perkembangan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik, antara peserta didik denga
tenaga pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Permendikbud No. 103
Tahun 2014). Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan
kondisi agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya
bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks
pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat mengelola pembelajaran
(learning management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran
(lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan
sebagai agen pembelajaran (PP No.19 tahun 2005), dimana guru bertindak sebagai seorang
planner, organizer dan evaluator pembelajaran).
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun
seyogyanya didesain agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensi
yang dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-
centered) dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh
peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Menurut Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam proses
pembelajaran. Pertama, proses pembelajaran membentuk kreasi lingkungan yang dapat
mengubah struktur kognitif peserta didik. Pengaturan lingkungan belajar dimaksudkan untuk
membentuk pengalaman belajar yang dapat memfasilitasi perkembangan kognitif peserta didik.
Artinya struktur kognitif akan tumbuh dengan baik apabila peserta didik memiliki pengalaman
belajar yang bermakna. Oleh karena itu, dalam melaksanakan proses pembelajaran guru harus
kreatif dalam menggabungkan berbagai metode sehingga peserta didik mempunyai pengalaman
belajar yang bermakna. Kedua, berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari.
Ada tiga tipe pengetahuan yaitu pengetahuan fisik, sosial dan logika. Pengetahuan fisik
merupakan pengetahuan akan sifat-sifat fisik dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar,
berat serta bagaimana objek itu berinteraksi dengan lingkungannya. Pengetahuan fisis diperoleh
melalui pengalaman indera secara langsung. Dalam hal ini, kurikulum 2013 menekankan pada
pendekatan sainstifik dimana peserta didik mencoba atau mempraktikan sendiri apa yang
diperlajari sehingga peserta didik dapat menarik kesimpulan dari apa yang diamati dan
dipraktekkan. Pengetahuan logika berhubungan dengan kemampuan berpikir matematis yaitu
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu.
Pengetahuan logika didapatkan dari proses abstraksi berdasarkan pengalaman objek.
Pengetahuan logis hanya akan berkembang apabila peserta didik berhubungan dan bertindak
sebagai objek, walaupun objek yang dipelajarinya tidak memberikan informasi atau menciptakan
pengetahuan matematis. Pengetahuan ini dibentuk oleh pikiran individu itu sendiri sedangkan
objek yang dipelajarinya hanya bertindak sebagai media. Ketiga, dalam proses pelaksanaan
pembelajaran guru harus melibatkan peran lingkungan sosial. Melalui pergaulan dan hubungan
sosial, peserta didik akan belajar lebih efektif jika dibandingkan dengan proses belajar yang
menjauhkan peserta didik dari lingkungan sosialnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan pada upaya untuk
mengantarkan peserta didik agar mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam
kehidupan yang cepat berubah melalui sejumlah kompetensi yang harus dimiliki. Makna belajar
bukan hanya mendorong peserta didik agar mampu menguasai sejumlah materi pelajar akan
tetapi bagaimana agar peserta didik memiliki sejumlah kompetensi untuk mampu menghadapi
rintangan yang muncul sesuai dengan perubahan pola kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran disekolah merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar dan harus
direncanakan dengan baik. Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru,
walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan tetapi mereka bisa dianggap menjadi guru,
asalkan paham tentang materi pelajaran yang akan disampaikan. Pandangan-pandangan seperti
ini sangat tidak benar karena apabila pembelajaran hanya digunakan sebagai penyampaian
pembelajaran saja. Karena, mengajar bukan hanya sekedar menyampaikan materi pembelajaran
saja tetapi bagaimana mengubah perilaku siswa sesuai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengoptimalisasikan berbagai strategi
pembelajaran yang dianggap cocok dengan minat dan bakat sesuai dengan taraf perkembangan
siswa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk mampu merancang pembelajaran yang mendidik (Raka
Joni, 2005) yakni pembelajaran yang memiliki karakteristik:
a) Menekankan proses membelajarkan cara belajar (learning how to learn)
b) Mengutamakan strategi pembelajaran yang mendukung proses belajar yang bermakna
c) Membantu peserta didik agar cakap dalam memikirkan dan memilih jawaban atas persoalan
yang dihadapkan kepadanya.
d) Peserta didik tidak banyak menyampaikan informasi langsung kepada peserta didik.
Makna dari pembelajaran yang mendidik dalam konteks standar pendidikan di Indonesia
ditunjukkan oleh beberapa prinsip yakni 1) pembelajaran sebagai pengembangan kemampuan
berpikir, 2) pembelajaran untuk pengembangan fungsi otak dan 3) proses belajar berlangsung
sepanjang hayat.
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki
tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas
bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang terbaik untuk
anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas
pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan
memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap
dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar.
Guru bisa dikatakan unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi
individunya dan tidak banyak bergantung pada orang lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai
berikut:
Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang
baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar
berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
Guru sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara
nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan
pembelajaran, yaitu:
a. Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b. Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c. Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan
diberikan reinforcement.
d. Penguasaan secara penuh.
e. Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
Guru sebagai demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa
lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
Guru sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan.
Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
Guru sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang media pendidikan juga harus
memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik.
4. Kondisi Pembelajaran
Kondisi pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal peserta didik. Faktor internal dapat berupa pola berpikir dalam menyelesaikan tugas-
tugas dan kemampuan lain yang sudah dipelajari sebelumnya. Kapasitas internal inilah yang
berperan lebih banyak dalam mendukung pembelajaran yang efektif. Sedangkan faktor eksternal
merupakan faktor yang timbul dari luar individu peserta didik seperti sekolah, sifat kurikulum
yang kurang fleksibel, terlalu berat beban belajar, teman pergaulan serta guru.
a) Faktor internal yang mempengaruhi proses pembelajaran antara lain: Pertama, pengaruh fisik
atau kesehatan peserta didik berpengaruh terhadap proses belajarnya. Tubuh yang sehat akan
membuat lebih nyaman dalam mengikuti proses pembelajaran. Kedua, pengaruh psikis.
Proses psikososial melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek perasaan, emosi dan
kepribadian individu. Perkembangan identitas diri, pola hubungan antar anggota keluarga,
teman, guru dan lainnya. Contoh pengaruh psikis yaitu perhatian, minat dan bakat.
b) Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembelajaran antara lain: Pertama, lingkungan
baik itu lingkungan fisik, sosial dan kultural. Lingkungan fisik meliputi cuaca, keadaan udara
ruangan, cahaya, kesehatan lingkungan dan waktu belajar. Sedangkan lingkungan sosial
meliputi pergaulan siswa dengan orang disekitarnya. Kedua, instrumental merupakan alat
atau sarana yang digunakan dalam proses belajar dan pembelajaran.
Ada empat tipe peserta didik menurut Orlich dkk (1998) yaitu:
1) Pebelajar pelihat-pemikir (seeing-thinking) adalah pebelajar yang berpikir praktis, bekerja
berdasarkan fakta dan berorientasi pada kerja.
2) Pebelajar pelihat-perasa (seeing-feeling) yaitu pebelajar yang cenderung bersifat simpatik
dan bersahabat serta berusaha atau bekerja atau keharmonisan kelompok.
3) Pebelajar intuitif-pemikir (intuitive-thinking) yaitu orang yang berorientasi pada teori dan
pengetahuan intelektual.
4) Pebelajar intuitif-perasa (intuitive-feeling) yaitu peserta didik yang memiliki rasa ingin tahu,
imajinasi dan kreativitas yang baik.
Pada pertemuan ke empat, perkuliahan dimulai dengan pertanyaan tentang apa perbedaan
antara pendidikan dan pembelajaran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
pendidikan merupakan proses pembelajaran yang diarahkan kepada perkembangan peserta didik
untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat bangsa dan negara. Sedangkan,
dalam permendikbud No. 103 tahun 2014 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi antar peserta didik, antar peserta didik, antara peserta didik dengan tenaga pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Dalam proses pembelajaran dikelas, perlu dikembangkan cara membelajarkan siswa
dengan menerapkan 4 pilar pendidikan yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui),
learning to do (belajar dengan melakukan), learning to be (belajar menjadi) dan learning to live
together (belajar dengan bekerja sama).
Setelah pendahuluan dengan mereview apa yang telah dipelajari kemarin, pembelajara
dilanjutkan dengan materi hasil belajar dan tujuan pembelajaran pada bab 4. Dalam memperoleh
hasil dan tujuan pembelajaran, pastinya ada kompetensi yang dicapai oleh peserta didik.
Komptensi adalah karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu
kriteria efektif atau kecakapan terbaik seseorang dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan
yang terkait pekerjaannya. Jadi seseorang berkompetensi mempunyai kriteria atau kecakapan
baik kecakapan dalam hal pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Dalam dunia pendidikan
dikenal istilah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). KKM merupakan kriteria minimal untuk
menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan. KKM harus ditetapkan diawal tahun ajaran oleh
satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau
beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan
pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM.
Adapun fungsi KKM antara lain:
a. Sebagai acuan bagi seorang guru untuk menilai kompetensi peserta didik sesuai dengan
Kompetensi Dasar (KD) suatu mata pelajaran atau Kompetensi Inti (KI).
b. Sebagai acuan bagi peserta didik untuk mempersiapkan diri dalam mengikuti pembelajaran
c. Sebagai target pencapaian penguasaan materi sesuai dengan KI/KD – nya.
d. Sebagai salah satu instrumen dalam melakukan evaluasi pembelajaran.
e. Sebagai “kontrak” pedagogik antara pendidik, peserta didik dan masyarakat (khususnya
orang tua dan wali murid).
Dalam menetapkan KKM melalui beberapa tahapan antara lain:
1. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan mempertimbangkan tiga
aspek kriteria, yaitu kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik. Hasil penetapan
KKM indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM mata pelajaran.
2. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan oleh kepala
sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian
3. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu peserta
didik, orang tua, dan dinas pendidikan
4. KKM dicantumkan dalam laporan hasi belajar atau rapor pada saat hasil penilaian dilaporkan
kepada orang tua/wali peserta didik
Jadi yang menjadi pertimbangan dalam menentukan KKM adalah kompleksitas, daya
dukung, dan intake. Kompleksitas mengacu pada tingkat kesulitan Kompetensi Dasar yang
bersangkutan. Daya dukung meliputi kelengkapan mengajar seperti buku, ruang belajar,
laboratorium (jika diperlukan) dan lain-lain. Sedangkan Intake merupakan kemampuan penalaran
dan daya pikir peserta didik.
Di dalam proses pendidikan, kompetensi peserta didik dijabarkan dalam bentuk indicator
ketercapaian kompetensi yan diperoleh melalui pengalaman belajar, serta dirumuskan sebagai
tujuan pembelajaran yang dinilai dan dapat diukur ketercapaiannya melalui proses evaluasi hasil
belajar. Gagne (1992) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan yang dapat teramati dalam
diri seseorang dan disebut dengan kapabilitas. Ada 5 kategori kapabilitas, yaitu:
1. Keterampilan intelektual.
Keterampilam intelektual merupakan jenis keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan dalam konteks symbol dan koseptualisme.
2. Strategi kognitif.
Strategi kognitif merupakan kemampuan yang mengarahkan seseorang umtuk mengatur cara
belajarnya, cara mengingat, dan tingkah laku berpikir.
3. Informasi verbal
Informasi verbal adalah jenis pengetahuan ang dapat dinyatakan secara verbal. Peserta didik
umumnya sudah banyak memiliki informasi yang didapatkan dari proses belajar.
4. Keterampilan motorik
Keterampilan motorik adalah hasil belajar berupa kemampuan yang direfleksikan dlam bentuk
kecepatan seseorang dalam rangka melakukan tugas tertentu.
5. Sikap
Sikap merupakan sikap peserta didik dalam belajar yang harus baik.
b. Pemahaman (comprehension)
Pemahaman diekspresikan dalam bentuk kemampuan mamahami informasi,
memanfaatkan pengetahuan dalam koteks baru, menjelaskan makna, menginterpresitasi fakta,
dan mengekstrapolasi pengetahuan tersebut untuk dimanfaatkan dalam situasi lain.
Kata kerja operasional yang digunakan untuk merumuskan tujuan pembelajaran pada kategori
ini: mengubah, mengelompokan, menjelaskan, merangkum, dan memprediksi. Sebagai contoh,
yaitu:
Siswa mampu memprediksi criteria yang direkomendasikan untuk menguji hipotesis tertentu.
Siswa dapat menjelaskan fungsi bagian-bagian tertentu dari mikroskop.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan atau abstraksi yang
dimiliki pada situasi konkret atau situasi khusus. Abstraksi dapat berupa ide, teori, metode,
konsep, da pedoman. Aplikasi berulangkali dilakukan pada situasi lama akan beralih menjadi
pengetahuan hafalan atau keterampilan. Kata kerja operasional yang digunakan untuk
merumuskan kategori ini: menerapkan, menghitung, melakukan, mendemontraksikan, menyusun
rencana, menunjukkan dan menggunakan. Sebagai contoh tujuan pembelajaran dalam kategori
ini:
Siswa dapat mendemontraksikan cara mencari bayangan objek pada mikroskop dengan
berbagai tingkat pembesaran.
Siswa dapat mendiskusikan tiap-tiap tahap dalam pembelajaran.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah usaha memilah suatu konsep atau struktur menjadi unsur-unsur sehi ngga
jelas hierarki atau susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks yang
memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe hasil belajar sebelumnya. Bila kecakapan analisis
telah dikuasi siswa maka siswa akan dapat mengaplikasikan nya pada situasi baru secara kreatif.
Kata kerja yang sesuai untuk merumuskan tujuan pembelajaran pada kategori ini: mengnalisis,
menguraikan, membedakan, mengilustrasikan, membadingkan, memilah dan menghubungkan.
Sebagai contoh rumusan tujuan pembelajaran pada kategori ini yaitu:
Siswa mampu mengilustrasikan tiap-tiap tahapan proses mitosis.
Siswa membedakan antara aksioma, ekuivalen, dan simetris.
e. Sintesis (syinthesis)
Sintesis adalah kemampuan menyatukan unsur-unsur kedalam satu kesatuan yang utuh.
Berpikir berdasarkan pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis dipandang sebagai berpikir
konvergen, sedangkan kemampuan,mensintesis digunakan sebagai salah satu aspek berpikir
divergen. Dalam berpikir divergen penyelesaian masalah atau jawaban terhadap masalah
memang belum dapat dipastikan. Berpikir sintesis merupakan darana untuk mengembangkan
berpikir kreatif. Kata kerja yang relevan untuk mengembangkan kemampuan mensistensis yaitu
mengatur, merancang, menulis kembali, merangkum, mensintesis, dan menceritakan. Adapun
contoh rumusan kalimat tujuan pembelajaran untuk kategori ini:
Siswa dapat menulis petunjuk pelaksanaan tugas sederhana dengan jelas.
Siswa mampu mengusulkan metode yang tepat untuk menderteminasi sifat suatu larutan
yang belum dikenalnya.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi merupakan kategori hasil belajar kognitif yang tertinggi. Evaluasi meliputi
kemampuan memberi keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari tujuan, gagasan,
metode dan materi. Kemampuan mengevaluasi memerlukan pengetahuan, pemahaman, analisis
dan sintesis. Adapun kata kerja yang relevan untuk kategori ini: mendeterminasi, mendukung,
menilai dan mengevaluasi. Contoh rumusan tujuan pembelajaran untuk kemampuan
mengevaluasi:
Siswa mampu mendetermisi gambar terbaik yang memenuhi kriteria tertentu.
Siswa mampu mengambil keputusan berdasarkan alasan yang sesuai.
Secara umum hasil belajar tingkat pengetahuan, pemahaman, dan penerapan sering
disebut sebagai kmampuan berpikir tingkat rendah, sedangkan analisis, sintesis, dan evaluasi
tergolong sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Pada kuliah di pertemuan ke enam ini, pembelajaran dimulai dengan presentasi tugas
yang telah diberikan minggu lalu mengenai menganalisis kompetensi dasar yang dibuat dalam
bentuk bagan. Dari hasi presentasi tersebut, dosen pengampu menyimpulkan bahwa belum ada
ketajaman dalam menganalisis tingkat berpikir siswa. Untuk mempertajam dalam menganalisis
tingkat berpikir siswa, mahasiswa harus mengetahui terlebih dahulu dimensi pengetahuan yang
dikemukakan oleh Krathwohl.
Krathwohl memandang domain kognitif sebagai interaksi antara dimensi proses kognitif
dengan dimensi pengetahuan. Meskipun kedua dimensi tersebut sebenarnya merupakan langkah-
langkah hirarkis, tetapi perbedaan antara keduanya tidak selalu jelas. Misalnya, semua
pengetahuan prosedural tidak selalu bersifat abstrak dibandingkan dengan pengetahuan
konseptual, dan tujuan pembelajaran yang meliputi analisis ataupun evaluasi akan membutuhkan
keterampilan berpikir yang tidak lebih kompleks dari yang menjadi bagian dari mengkreasi.
Sesungguhnya aspek keterampilan berpikir tingkat rendah berperan sebagai pondasi bagi
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dimensi pengetahuan diklasifikasikan menjadi empat tipe
pengetahuan yang diharapkan dapat diperoleh atau dikembangkan oleh peserta didik, mulai dari
yang bersifat konkrit ke yang bersifat abstrak seperti yang ditunjukkan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Tipe dan Sub-sub dari Dimensi Pengetahuan
Pengetahuan Konkrit Pengetahuan Abstrak
Faktual Konseptual Prosedural Metakognisi
Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan
mengenai klasifikasi dan mengenai strategis
terminologi kategori keterampilan Pengetahuan
Pengetahuan Pengetahuan khusus dan tentang tugas
mengenai detail mengenai prinsip algoritma kognitif termasuk
dan elemen dari dan generalisasi Pengetahuan kecocokan
suatu objek Pengetahuan tentang teknik dan konteks dan
tentang teori, metode kondisi
model dan struktur Pengetahuan Pengetahuan
tentang cara tentang diri
menerapkan sendiri
prosedur tertentu
Dimensi proses kognitif lebih merupakan suatu kontinum (rangkaian yang sinambung)
seiring dengan kompleksitasnya mulai dari yang konkrit yang merupakan indikator berpikir
tingkat rendah (lower order thinking skill) kearah indikator berpikir tingkat tinggi (higher order
thinking). Jadi dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, harus mengacu
pada standar pisa mengenai literasi sains sains.
Contoh pengetahuan faktual pada mata pelajaran fisika yaitu menyebutkan berbagai jenis
alat ukur yang sesuai standar internasional dan bagaimana karakteristik dari masing-masing alat
ukur tersebut. Untuk pengetahuan konseptual, contohnya mendefinisikan prinsip hambatan pada
kawat penghantar. Sedangkan untuk pengetahuan prosedural, membuat rangkaian listrik pada
rumah dengan menerapkan konsep rangkaian listrik seri maupun paralel. Terakhir untuk
pengetahuan metakognisi, contohnya mengaplikasikan atau menerapkan hukum pascal dalam
kehidupan sehari-hari. Kemampuan metakognisi merupakan kemampuan mampu menciptakan
sesuatu lebih dari apa yang diperintahkan.
Pembahasan selanjutnya mengenai domain afektif atau hasil belajar ranah afektif. Ranah
afektif berkaitan dengan sikap dan nilai-nilai, perasaan dan emosi, karakter, falsafah pribadi,
konsep diri, tingkat penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu dan kesehatan mental yang
melekat dan membentuk kepribadian. Agar mampu memfasilitasi perkembangan sikap dan nilai-
nilai positif pada peserta didik, maka setiap pendidik perlu mengembangkan kompetensi efektif
dengan cara: 1) membantu peserta didik untuk memahami sikap dan nilai-nilai (menunjukkan
kecintaan pada pelajaran dan penghargaan pada sesama, membantu siswa menjauhi sikap
negative dan tidak percaya diri); 2) mengembangkan suasana kelas/sekolah yang kondusif bagi
terlaksananya pembelajaran yang berpusat pada siswa (mendorong semua siswa berpartisipasi,
bekerjasama positif, menghindarkan siswa dari kompetensi yang tidak sehat); 3) menunjukkan
adanya perhatian dan kecintaan pada peserta didik (berusaha mengenali kepribadian dan
membantu siswa mengembangkan jati dirinya); 4) memberikan dorongan semangat kepada
seluruh peserta didik untuk mengembangkan konsep diri yang positif.
Krathwohl, Bloom dan Maisa seperti dikutip oleh Callahan, dkk (1992) mengelompokkan
hasil belajar afektif ke dalam 5 aspek yakni penerimaan, jawaban atau respon, penilaian,
organisasi dan internalisasi. Secara umum kategori afektif dan karakteristik perilaku yang
terekpresikan pada peserta didik adalah seperti tabel dibawah ini:
1. Menerima (Receiving)
Meliputi kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada
dirinya dalam bentuk gagasan, masalah, situasi, materi ataupun kejadian-kejadian tertentu.
Dalam tipe ini, termasuk kesadaran (awareness) akan pentingnya materi pelajaran, kemauan
untuk mendengarkan (willingness to hear) dan keinginan untuk mengontrol dan menyeleksi
informasi yang tidak bermanfaat. Contoh indikator menerima ialah: mendengarkan perkataan
guru dan temannya dengan respek, mendengar dan berusaha mengingat nama orang lain. Kata
kerja yang relevan untuk aspek ini dapat berupa: bertanya, memilih, menyeleksi, menggunakan
dan melakukan. Contoh rumusan tujuan pembelajarannya adalah:
Siswa memilih alternative yang penting dan relevan dengan tugas.
Siswa mendemonstrasikan kepekaan terhadap masalah orang lain.
Siswa mendengar dengan cermat dan penuh perhatian pada saat guru berbicara.
2. Merespon (Responden)
Merespon adalah reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang
dari luar. Hal ini mencakup ketetapan reaksi, kedalam perasaan, kepuasan merespon dan
tanggung jawab dalam memberikan respon terhadap stimulus dari luar yang datang pada dirinya.
Contoh indikator merespon adalah partisipasi dalam diskusi, menanyakan konsep, prinsip yang
penting, memahami dan mentaati aturan. Kata kerja yang dapat digunakan untuk rumusan tujuan
pada aspek ini antara lain: menjawab, mengapersiasi, menulis, membantu, menunjukkan,
memainkan. Contoh kalimat tujuan pembelajaran adalah:
Siswa mampu mengembangkan perhatian setelah membaca bacaan ekstra.
Siswa mampu berpartisipasi secara antusias dalam kegiatan diskusi.
Siswa mampu menyeleksi jenis music berdasarkan langgamnya.
3. Menilai (Valuing)
Kemampuan menilai berkenaan dengan nilai atau kepercayaan terhadap gejala atau
stimulus yang diterima oleh peserta didik. Dalam hal ini termasuk kesedian menerima nilai, latar
belakang atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut. Contoh
indikator kemampuan menilai antara lain: mendemonstrasikan kepercayaan pada proses
demokrasi, menghargai perbedaan individu dan budaya, menunjukkan kemampuan mengatasi
masalah. Kata kerja yang dapat dipakai dalam merumuskan tujuan pembelajaran kategori ini
termasuk: mendemonstrasikan, mengenal, mengapresiasi. Contoh kalimat tujuan pembelajaran
pada aspek ini sebagai berikut:
Siswa mampu mendemonstasikan kepekaan terhadap isu-isu sensitif.
Siswa mampu mengenal nilai-nilai tertentu yang penting bagi kebebasan pers.
4. Mengorganisasi (Organizing)
Kemampuan mengorganisasi yakni kemampuan mengembangkan nilai-nilai ke dalam
suatu sistem termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai yang lain, serta pemantapan dan
prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh indikator mengorganisasi ialah: penerimaan pada
standar etika professional, merancang cita-cita sesuai dengan kemampuan, minat dan
kepercayaan dan menghargai waktu. Kata kerja yang dapat digunakan antara lain: mengatur,
mempersiapkan, memodifikasi, menghubungkan, mendiskusikan dan menyeimbangkan. Contoh
rumusan tujuan pembelajaran yang relevan antara lain:
Siswa mampu memodifikasi perilaku standar untuk mengembangkan perilakunya sendiri.
Siswa mampu membentuk perilaku (tanggung jawab, jujur) yang sesuai dengan norma-
norma sekolah.
Siswa memilih nilai yang tepat atau penting untuk dirinya.
Diskusi pada pembelajaran ini selesai, dosen pengampu menekankan bahwa pada
pertemuan ini lebih focus kepada bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran yang baik dan
mampu mengembangkan berpikir kreatif siswa. Untuk pertemuan selanjutnya membahas
mengenai Bab 6 Pendidikan Sains di Sekolah Dasar dan Menengah yang akan dipresentasikan
oleh kelompok 2 dan 4.
KULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN IPA PERTEMUAN KETUJUH (VII)
SENIN, 16 OKTOBER 2017
Pada kuliah di pertemuan ke tujuh ini, proses pembelajaran dimulai dengan kegiatan
persentasi dilakukan oleh dua kelompok, yaitu Kelompok 2 dan Kelompok 4 dimana membahas
mengenai “Bab 6 Pendidikan Sains Di Sekolah Dasar Dan Menengah”.
Sains menurut tim pakar Universitas California Amerika Serikat (2014) beberapa hal
yang penting untuk dimaknai dan dipikirkan oleh seorang pendidik tentang sains mencakup
batang tubuh dan proses ilmu pengetahuan (Science is both of knowledge and a proses). Dimana
sains dapat dipelajari sebagai batang tubuh ilmu pengetahuan dalam bentuk fakta, konsep,
generalisasi, dan teori-teori yang dituangkan dalam buku teks pelajaran. Terkait dengan pelajaran
sains di SD, SMP dan SMA tertuang dalam lampiran permendikbud Nomor 58 tahun 2014 yang
menyatakan bahwa IPA sebagai mata pelajaran, diberikan mulai dari jenjang sekolah dasar
sampai jenjang sekolah menengah atas. Konsep keterpaduan IPA di SMP ditunjukkan dalam KI
dan KD , dimana konsep-konsep fisika, kimia, biologi dan ilmu pengetahuan bumi dan antariksa
(IPBA) telah dipadukan. Dalam permendikbud nomor 58 tahun 2014 , dinyatakan bahwa mata
pelajaran IPA dijenjang sekolah menengah pertama (SMP/MTs) ditujukan agar peserta didik
menguasai kompetensi inti (KI 1, Ki 2, KI 3 dan KI 4). Dijelaskan juga tujuan fisika, biologi dan
kimia yang tertuang dalam permendikbud nomor 59 tahun 2014 tentang kurikulum 2013
Semua sudah dijelaskan oleh kelompok 2 termasuk dimensi dari sains dan pelajaran
sains di SD, SMP dan SMA, dilanjutkan dengan sesi diskusi. Moderator memberikan
kesempatan bagi tiga orang untuk bertanya.
1. Baiq Uswatul Khasanah: terkait dengan pelajaran sains disekolah, untuk lebih dipahami oleh
peserta didik perlu diberikan contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Apa sajakah
contoh sehari-hari pelajaran sains yang dapat dijelaskan kepada peserta didik agar mudah
dipahami? Bisa dari segi fisika, kimia ataupun biologi?
2. Mahdi Abdurrahman: Bagaimana keterkaitan pendidikan sains dari SD, SMP sampai SMA.
3. Wawan: Bagaimana alternatif pembelajaran terbaik menurut kemendikbud no.22 tahun 2016
tentang standar proses menurut anda yang pernah mengajar?
Pertanyaan pertama dari Baiq Uswatul Khasanah dijelaskan oleh Tirmayasari bahwa
contoh dalam kehidupan sehari pembelajaran sains anak , misalnya perpindahan kalor salah
satunya adalah radiasi, disana dijelaskan bahwa benda yang hitam akan menyerap kalor dan
menyimpann kalor, sehingga peserta didik dapat dianjurkan tidak menggunakan baju warna
hitam, sebaiknya siang hari gunakan baju putih, selain radiasi perpindahan kalor secara
konduksi misalnya ketika memasak, sebaiknya peserta didik memberitahu orangtuanya bahwa
memasak dengan panci dari stainless lebih cepat panas ketimbang memasak dengan
menggunakan panci dari gerabah. Contoh dari segi biologi misalnya dalam sistem pencernaan,
ketika mengunyah makanan paling tidak makanan dikunyah 33 kali dengan tujuan agar
makanan lebih lunak saat diterima oleh lambung , perlu juga bagi wanita mejaga kebersihan
untuk menghindari penyakit servik . Jawaban ini dilengkapi oleh Agive, Huurun iin dan Mulyati.
Pertanyaan Mahdi Abdurrahman, ditanggapi oleh Samsul Hakim : keterkaitan
pendidikan sain SD, SMP dan SMA, ditanggapi pak samsul hakim, pembelajran IPA khusus SD
masih sesuai dengan tema tentang materi yang dipelajari , pelajarannya masih bersifat umum
dan mendasar, misalnya pengukuran di SD hanya mengkonversi dari besaran meter ke
centimeter, kalau di SMP lebih spesifik lagi pengukuran yang lebih komplek yaitu pengukuran
waktu, massa, panjang, kalau di SMA ditambah lagi dengan adanya dimensi dari besaran ,
apakah mengukur itu bagian dari IPA, di SMP bagaimana melakukan pengukuran. Muliyati :
pelajaran IPA di SD, SMP dan SMA maupun perguruan tinggi pada dasarnya materinya sama
yang berbeda hanya kedalamannya saja,sesuai dengan karakteristik dari peserta didik, jadi
mengenai pengukuran, di SD ada, di SMP ada di SMA juga ada, misalnya di SD dasarnya itu jadi
prasyarat pengukuran di SMP, prasyaratnya ke SMA jadi berkesinambungan. Ditambahkan oleh
Tirmayasari: dilihat dari KD nya di SD pada pengukuran lebih tertema, hanya mengenalkan
pengukuran entah itu dengan jengkal, penggaris tetapi tidak dispesifikkan untuk mengukur ini
panjang, ini waktu, di SMP sdh spesifik untuk mengukur panjang beserta satuannya, diawali
dengan prasyarat ketika di SD,di SMP belum diperkenalkan dimensi besaran atau tentang
karakteristik zat, di SD cukup membedakan zat itu dari zat padat, cair dan gas, dari bentuk
fisiknya, di SMP lebih ke bentuk partikelnya,seperti apa gaya tarik menarik, di SMA lebih lanjut
lagi ke unsur senyawa dan campurannya.