Anda di halaman 1dari 81

Judul Buku:

Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis

Penulis:
Asep Syamsul M. Romli

Hak Cipta pada Penulis. All rights reserved


Copyright © 2013 ASM. Romli, www.romeltea.com
_____________________________________________________________________

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 2


KATA PENGANTAR
Dakwah sudah pasti sebuah komunikasi, tepatnya komunikasi persuasif,
karena hakikat dakwah adalah mengajak, yakni mengajak orang lain
(komunikan, audiens) untuk mempercayai dan mengamalkan ajaran Islam.
Namun, jelas, komunikasi belum tentu mengandung pesan dakwah.

Komunikasi dakwah merupakan ”kajian baru” dalam dunia ilmu komunikasi.


Selain itu, komunikasi dakwah juga merupakan kajian ”sektarian”, yakni
bidang kajian yang khusus berkaitan dengan komunitas atau masyarakat
beragama Islam (kaum Muslimin) mengingat terminologi da’wah sendiri
hanyalah milik Islam.

Sejauh ini kita sudah punya kajian atau disiplin ilmu baru sebagai
pengembangan dari ilmu komunikasi, seperti komunikasi politik, komunikasi
budaya, komunikasi organisasi, dan komunikasi internasional. Komunikasi
dakwah muncul belakangan.

Kajian komunikasi dakwah baru muncul seiring dengan baru munculnya


kesadaran di kalangan praktisi dakwah tentang pentingnya sentuhan dan
pendalaman ilmu komunikasi untuk pengembangan dakwah sebagai ilmu
dan teknik.

Komunikasi dakwah adalah komunikasi yang berisi pesan-pesan dakwah


atau nilai-nilai ajaran Islam.

Dari sisi substansi, buku ini mengkaji komunikasi dakwah dengan


pendekatan praktis atau lebih tepatnya dalam perspektif praktisi
komunikasi, yakni bagaimana dakwah dilakukan melalui keterampilan
komunikasi, seperti retorika atau public speaking, termasuk di dalamnya
penyiaran radio dan televisi, retorika, dan tulisan.

Pembahasan komunikasi dakwah dalam buku ini menggunakan ”pendekatan


komponensial”, yaitu mengkaji komunikasi dakwah atas dasar komponen
komunikasi yang terdiri dari komunikator (da’i), komunikan (mad’u, objek
dakwah), pesan dakwah, media dakwah, dan dampak (effect), berdasarkan
formulasi Harold Lawell tentang komunikasi: Who says what to whom in
what channel and with what effect.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 3


Dalam buku ini saya juga berbagi tips tentang komunikasi efektif dan
keterampilan komunikasi, berupa teknik public speaking (retorika) –
termasuk kiat siaran dakwah di radio dan televisi-- dan keterampilan menulis
(writing skill) di media cetak dan media online (cybermedia).

Mudah-mudahan tips keterampilan komunikasi tersebut dapat turut


”membekali” para da’i atau komunikator dakwah, termasuk para khotib
Jumat, sehingga komunikasi dakwahnya menarik dan efektif.

Semoga buku kecil ini turut memberikan sumbangsih pada dua dunia
sekaligus, yakni dunia komunikasi dan dunia dakwah, juga bermanfaat bagi
pembaca dan menjadi amal saleh bagi penulis. Amin!

Bandung, Juni 2013

ASEP SYAMSUL M. ROMLI


Http://www.romeltea.com
Email: romeltea@yahoo.com
Facebook: www.facebook.com/romeltea1
Twitter: @ romeltea

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 4


DAFTAR ISI
Pengantar Penulis
Daftar Isi

Bagian 1 Pengertian Komunikasi Dakwah


Bagian 2 Prinsip Komunikasi Dakwah
Bagian 3 Komunikator: Juru Dakwah
Bagian 4 Komunikan: Objek Dakwah
Bagian 5 Pesan Dakwah

Bagian 6 Media Dakwah


Bagian 7 Efek Dakwah
Bagian 8 Komunikasi Efektif
Bagian 9 Public Speaking
Bagian 10 Khotbah Jumat

Bagian 11 Menulis di Media Cetak


Bagian 12 Menulis di Media Online

Daftar Pustaka

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 5


Bagian 1
Pengertian Komunikasi Dakwah
Komunikasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai proses penyampaian
informasi atau pesan oleh seorang komunikator kepada komunikan melalui
sarana tertentu dengan tujuan dan dampak tertentu pula.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) mengartikan komunikasi sebagai


”pengiriman dan pemerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami”

Secara etimologis (lughawy), komunikasi berakar kata Latin, ”comunicare”,


artinya "to make common" – membuat kesamaan pengertian, kesamaan
persepsi. Akar kata Latin lainnya “communis” atau “communicatus” atau
“common” dalam bahasa Inggris yang berarti “sama”, kesamaan makna
(commonness). Ada juga akar kata Latin ”communico” yang artinya
membagi. Maksudnya membagi gagasan, ide, atau pikiran.

Sebagai konsep, William R. Rivers dkk. (2003) membedakan antara


communication (tunggal, tanpa “s”) dan communications (jamak, dengan “s”).
Communication adalah proses berkomunikasi. Sedangkan communications
adalah perangkat teknis yang digunakan dalam proses komunikasi, e.g.
genderang, asap, butir batu, telegram, telepon, materi cetak, siaran, dan
film.

Penjelasan lain dikemukakan Edward Sapir. Menurutnya, communication


adalah proses primer, terdiri dari bahasa, gestur/nonverbal, peniruan
perilaku, dan pola perilaku sosial. Sedangkan communications adalah teknik-
teknik sekunder, instrumen, dan sistem yang mendukung proses
komunikasi, seperti kode morse, telegram, terompet, kertas, pulpen, alat
cetak, film, serta pemancar siara radio/TV.

Secara terminologis (ma’nawy), kita menemukan banyak definisi komunikasi.


The Oxford English Dictionary mengartikan komunikasi sebagai “The
imparting, conveying, or exchange of ideas, knowledge, information, etc. “
(Pemberian, penyampaian, atau pertukaran ide, pengetahuan, informasi,
dsb.)

Para pakar juga berbed-beda redaksional dalam mendefinisikan komunikasi,


seperti “pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan” (JL.
Aranguren), “koordinasi makna antara seseorang dengan khalayak” (Melvin L
DeFleur), dan “saling berbagi informasi, gagasan, atau sikap” (Wilbur
Schramm).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 6


Pengertian komunikasi paling populer datang dari Harold Lasswell, yakni
“Who says what in which channel to whom and with what effects”, siapa
mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa dan dengan pengaruh
apa

. Definisi Lasswell dianggap paling lengkap karena sekaligus menggambarkan


proses dan elemen komunikasi, yakni komunikator (who), pesan (what),
media atau sarana (channel), komunikan (whom), dan pengaruh atau akibat
(effect).

Berikut ini definisi komunikasi yang bisa kita temukan dalam berbagai
literatur komunikasi.

1. Proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada


pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya
(Wikipedia).
2. The imparting, conveying, or exchange of ideas, knowledge,
information, etc. – Pemberian, penyampaian, atau pertukaran ide,
pengetahuan, informasi, dsb. (The Oxford English Dictionary).
3. Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara
individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda, atau
tingkah laku (Webster’s New Collegiate Dictionary).
4. Who says what in which channel to whom and with what effects –
Siapa mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa dan
dengan pengaruh apa (Harold Lasswell).
5. Pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan (JL.
Aranguren).
6. Koordinasi makna antara seseorang dengan khalayak (Melvin L
DeFleur).
7. Saling berbagi informasi, gagasan, atau sikap (Wilbur Schramm).
8. Proses pengalihan ide dari sumber kepada suatu penerima atau
lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka
(Everett M. Rogers).
9. Proses dua orang atau lebih membentuk atau melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam
(Rogers & D. Lawrence Kincaid).
10. Bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi
satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja; tidak terbatas pada
bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam
hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi (Shannon &
Weaver)
11. Instrumen interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan
memprediksi setiap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan
diri sendiri dalam menciptakan keseimbangan dengan masyarakat
(David K. Berlo).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 7


12. Reaksi suatu organisme terhadap suatu objek atau stimuli. Apakah
itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya (Steven)
13. Suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol
sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan
makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksudkan komunikator (Raymond S. Ross).
14. Pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada penerima agar
dapat dipahami (Prof. Dr. Alo Liliweri).
15. Transmisi informasi, gagasan, emosi, ketrampilan, dan sebagainya,
dengan menggunakan simbol-simbol – kata-kata, gambar, figur,
grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang
disebut dengan komunikasi (Bernard Berelson & Gary A. Steiner).
16. Proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain
(Menurut Carl I.Hovland).
17. Proses memahami dan berbagi makna (Judy C pearson & Paul E
melson).
18. Proses makna di antara dua orang atau lebih (Stewart L. Tubbs &
Sylvia Moss)
19. Transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan (William
I. Gordon).
20. Seni untuk menyampaikan informasi, ide-ide, seseorang kepada
orang lain (M. Djenamar).
21. Proses pengoperan lambang yang berarti diantara individu-
individu (William Albig).
22. Komunikasi adalah alat dimana warga masyarakat
dapatberpartisipasi dalam demokrasi (Aristoteles).
23. Simbol/verbal/ujaran, komunikasi adalah pertukaran pikiran atau
gagasan secara verbal (Hoben).
24. Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan secara konstan
berubah sesuai dengan situasi yang berlaku (Anderson).
25. Komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman
yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah
tujuan yang diinginkan oleh keduanya (Lexicographer).
26. Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk
kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku
orang-orang lainnya (khalayak) (Hovland, Janis & Kelley).
27. Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang
semula dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi
dimiliki oleh dua orang atau lebih (Gode).
28. Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu
bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan (Ruesch).
29. Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran
seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya (Weaver).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 8


Secara fungsional, komunikasi dilakukan demi ragam kepentingan atau
tujuan, utamanya untuk:
1. Menyampaikan informasi (to inform).
2. Mendidik (to educate)
3. Mengibur (to entertaint)
4. Mempengaruhi (to influence).

Keempat fungsi itu pula yang diadopsi menjadi fungsi pers atau media
massa sebagai sarana komunikasi massa, dengan menambahkan satu fungsi
social control (pengawasan sosial).

Secara teknis, komunikasi juga beragam jenis, seperti:


1. Verbal Communication (komunikasi lisan, menggunakan bahasa).
2. Non Verbal Communication (bahasa isyarat, gesture, bahasa
tubuh/body language).
3. Direct Communication (komunikasi langsung).
4. Face to face communication (komunikasi tatap muka).
5. Indirect Communication (komunikasi tidak
langsung/menggunakan media).
6. Komunikasi lisan.
7. Komunikasi tulisan.
8. Komunikasi Intrapersonal (Intrapersonal Communication),.
9. Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication).
10. Komunikasi Kelompok (Group Communication).
11. Komunkasi Publik (Public Communication).
12. Komunikasi Massa (Mass Communication).
13. Komunikasi Politik.
14. Komunikasi Budaya.
15. Komunikasi Olahraga.
16. Komunikasi Pembangunan
17. Komunikasi Keluarga
18. Komunikasi Dakwah.

Setiap komunikasi memiliki alur dan komponen sebagai berikut:


1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
2. Encoding - Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
3. Message - Pesan
4. Media/Channel – Saluran
5. Decoding - Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
7. Feed Back - Umpan balik, respon.

The United Aristotelian Description of Communication membagi komponen-


komponen di atas menjadi sepuluh komponen, yaitu:
1. Source -- sumber atau individu yang menyampaikan pesan.
2. Encoding -- proses penyandian atau pengalihan pikiran ke
lambang lambang.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 9


3. Message -- pesan yang merupakan seperangkat lambang
lambang(verbal/kata kata atau nonverbal/gerak gambar dan
isyarat) yang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
4. Channel --m edia atau saluran(bisa berupa media cetak atau
elektronik) tempat berlalunya pesandari komuikator kepada
komunikan.
5. Noise -- gangguan yang menerpa proses komunikas sebagai akibat
diterima atau tidaknya pesan pada diri komunikan.
6. Receiver/Komunikan -- penerima pesan dari komunikator.
7. Decoding adalah proses penangkapan atau penerimaan pesan
oleh komunikan dari komunikator.
8. Receiver Response --tanggapan atau seperangkat reaksi pada
komunikan setelah diterimanya pesan.
9. Feedback --umpan balik atau tanggapan dari komunikan
kepadakomuniator.
10. Context --situasi atau lingkungan yang mencakup rasa
persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas,
situasi serius atau santai.

Pengertian Dakwah
Secara etimologis, menurut para ahli bahasa, dakwah berakar kata da’a-
yad’u-da’watan, artinya ”mengajak” atau ”menyeru”.

Secara terminologis, dakwah adalah mengajak atau menyeru manusia agar


menempuh kehidupan ini di jalan Allah Swt, berdasarkan ayat Al-Quran:

"Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah,


nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik..." (QS.
An-Nahl:125).

Setiap perkataan, pemikiran, atau perbuatan yang secara eksplisit ataupun


implisit mengajak orang ke arah kebaikan (dalam perspektif Islam),
perbuatan baik, amal saleh, atau menuju kebenaran dalam bingkai ajaran
Islam, dapat disebut dakwah.

Definisi dakwah yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:


 Usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan
manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup
manusia di dunia yang meliputi amar ma'ruf nahi munkar, dengan
berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan oleh akhlak,
dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan
perseorangan, berumah-tangga, bermasyarakat, dan bernegara.
(Muhammad Natsir, 2000).
 Upaya menyampaikan ajaran Islam kepada manusia, baik dengan
lisan maupun dengan tulisan. (Endang S. Anshari, 1991).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 10


 Upaya mengajak manusia supaya masuk ke dalam jalan Allah
secara menyeluruh (kaffah), baik dengan lisan, tulisan maupun
perbuatan sebagai ikhtiar muslim mewujudkan Islam menjadi
kenyataan kehidupan pribadi, usrah (kelompok), jama'ah dan
ummah. (Amrullah Ahmad, 1999).

Dakwah memiliki dimensi yang luas. Fuad Amsyari (1993) mengemukakan


ada empat aktivitas utama dakwah:
1. Mengingatkan orang akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
dengan lisan.
2. Mengkomunikasikan prinsip-prinsip Islam melalui karya tulisnya.
3. Memberi contoh keteladanan akan perilaku/akhlak yang baik.
4. Bertindak tegas dengan kemampuan fisik, harta, dan jiwanya
dalam menegakkan prinsip-prinsip Ilahi.

Poin 1 lebih populer dengan sebutan da’wah bil lisan, da’wah bil qaul, atau
da’wah khithobah. Poin 2 populer disebut da’wah bil qolam atau da’wah bil
kitabah. Poin 3 lebih dikenal dengan sebutan da’wah bil hal dan da’wah bil
qudwah. Poin 4 bisa disebut jihad fi sabilillah atau jihad lil i’lai kalimatillah.

1. Dakwah bil Lisan yakni dakwah yang disampaikan dalam bentuk


komunikasi lisan (verbal), seperti ceramah, pengajian, khutbah,
atau penyampaian dan ajakan kebenaran dengan kata-kata
(berbicara).
2. Dakwah bil Hal dipahami sebagai dakwah yang dilakukan melalui
aksi atau tindakan nyata, misalnya melalui program dan aktivitas
kelembagaan seperti ormas Islam, lembaga pendidikan Islam,
lembaga sosial-ekonomi (BMT dan Lembaga Amil Zakat, Infak, dan
Sedekah --LAZIS), bakti sosial, dan sebagainya.
3. Dakwah bil Qalam yakni dakwah yang disampaikan melalui tulisan
yang diterbitkan atau dipublikasikan melaui media massa, buku,
buletin, brosur, pamflet, dan sebagainya.
4. Da’wah bil Qudwah, yakni dakwah melalui keteladanan sikap atau
perilaku yang mencerminkan moralitas/akhlak Islam.

Dakwah merupakan kewajiban individual umat Islam. Itulah sebabnya Islam


disebut ”agama dakwah”. Artinya, agama yang harus disebarkan kepada
seluruh umat manusia. Hal itu antara lain diisyaratkan dalam sejumlah ayat
Al-Quran.

"Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah,


nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik..." (QS.
an-Nahl:125).

”Demi Masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali mereka


yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran
dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. Al-’Ashr:1-3).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 11


“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat” dan “Katakanlah
kebenaran itu walaupun rasanya pahit/berat” (H.R. Ibnu Hibban).

"Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran (kemaksiatan), maka


cegahlah hal itu dengan tangannya (kekuasaan); jika tidak mampu, cegahlah
dengan lisannya (ucapan); jika (masih) tidak mampu, maka cegahlah dengan
hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman" (H.R. Muslim).

“Kalian adalah sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban tugas


dakwah, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran” (QS. 3:110).

Aktivitas dakwah niscaya menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari


seorang Muslim. Kesadaran akan kewajiban beradakwah harus ada pada
diri setiap Muslim. Berdakwah sama wajibnya dengan ibadah ritual seperti
sholat, zakat, puasa, dan haji.

Menurut KHM. Isa Anshary (1984), setiap Muslim adalah da'i (jurdakwah).
Menjadi seorang Muslim, kata Anshary, otomatis menjadi jurudakwah,
menjadi mubalig, bila dan di mana saja, di segala bidang dan ruang.

"Kedudukan kuadrat yang diberikan Islam kepada pemeluknya ialah menjadi


seorang Muslim merangkap menjadi jurudakwah atau mubalig," tulisnya
seraya mengutip sabda Nabi Saw, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya
satu ayat”.

Pengertian Komunikasi Da’wah


Komunikasi dakwah dapat didefinisikan sebagai ”proses penyampaian dan
informasi Islam untuk memengaruhi komunikan (objek dakwah, mad’u) agar
mengimani, mengilmui, mengamalkan, menyebarkan, dan membela
kebenaran ajaran Islam”.

Komunikasi dakwah juga dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang


melibatkan pesan-pesan dakwah dan aktor-aktor dakwah, atau berkaitan
dengan ajaran Islam dan pengamalannya dalam berbagai aspek kehidupan.

Jika dianalogikan dengan pengertian dasar komunikasi politik, yakni


komunikasi yang berisikan pesan politik atau pembicaraan tentang politik
(Dan Nimmo, 1989), maka komunikasi dakwah dapat diartikan sebagai
”komunikasi yang berisikan pesan Islam atau pembicaraan tentang
keislaman”.

Pengertian komunikasi dakwah sebagai ”pembicaraan tentang Islam” senada


dengan pengertian ”retorika dakwah” menurut Yusuf Al-Qaradhawi (2004),
yakni ”berbicara soal ajaran Islam”.

Al-Qaradhawi menyebutkan prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 12


1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim.
2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.
3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
4. Cara hikmah a.l. berbicara kepada seseorang sesuai dengan
bahasanya, ramah, memperhatikan tingkatan pekerjaan dan
kedudukan, serta gerakan bertahap.

Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika


Islam antara lain:
1. Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material.
2. Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita.
3. Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan
istirahat dan berhibur.
4. Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu.
5. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam
berdakwah.
6. Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang
disyariatkan.

Proses komunikasi dakwah berlangsung sebagaimana proses komunikasi


pada umumnya, mulai dari komunikator (da’i) hingga feedback atau respon
komunikan (mad’u, objek dakwah).

Aktivitas dakwah dimulai dari adanya seorang komunikator (sender,


pengirim pesan, da’i). Dalam perspektif Islam, setiap Muslim adalah
komunikator dakwah karena dakwah merupakan kewajiban individual setiap
Muslim.

Komunikator dakwah memilih dan memilah ide berupa materi dakwah


(encoding) lalu diolah menjadi pesan dakwah (message).

Pesan itu disampaikan dengan sarana (media) yang tersedia untuk diterima
komunikan (receiver, penerima pesan, objek dakwah). Komunikan
menerjemahkan atau memahami simbol-simbol pesan dakwah itu
(decoding) lalu memberi umpan balik (feedback) atau meresponnya,
misalnya berupa pemahaman dan pengamalan pesan dakwah yang
diterimanya.

Dakwah: Komunikasi Persuasif

Dakwah, apa pun bentuknya, merupakan komunikasi. Jadi, dakwah selalu


merupakan bentuk komunikasi. Dakwah berarti komunikasi; namun tidak
semua komunikasi berarti dakwah.

Komponen dakwah sendiri identik dengan komponen komunikasi yang kita


kenal selama ini, seperti da’i atau juru dakwah (komunikator, sender,

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 13


source), mad’u (komunikan, receiver, penerima, objek), pesan (message,
yakni materi keislaman/nilai-nilai atau ajaran Islam), dan efek atau feedback
(dalam dakwah, efek yang diharapkan berupa iman dan amal saleh/takwa).

Dalam perspektif komunikasi, dakwah termasuk dalam kategori komunikasi


persuasif (persuasive communication), yakni komunikasi yang membujuk,
mengajak, atau merayu, semakna dengan makna dasar dakwah, yakni
mengajak atau menyeru.

Akar kata persuasif adalah persuasio (Latin), artinya membujuk, mengajak,


atau merayu. Secara istilah, ada beberapa definisi komunikasi persusif,
namun hakikatnya sama-sama merujuk pada ajakan atau bujukan.

“Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang bertujuan untuk mengubah


atau mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga
bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator”
(Wikipedia).

“Komunikasi persuasif adalah perilaku komunikasi yang bertujuan


mengubah, memodifikasi atau membentuk respon (sikap atau perilaku) dari
penerima” (R. Bostrom).

“Komunikasi persuasif sebagai perilaku komunikasi yang mempunyai tujuan


mengubah keyakinan, sikap atau perilaku individu atau kelompok lain
melalui transmisi beberapa pesan.” (K. Andeerson).

Tujuan komunikasi persuasif adalah “believe & attitude”, yakni menguatkan


keyakinan, mempengaruhi sikap, pendapat, dan perilaku seseorang. Tujuan
itu identik dengan tujuan utama dakwah, yakni menanamkan believe
(keyakinan) dan mengubah attitude (sikap/perilaku).

Dari segi proses, dakwah tiada lain adalah “komunikasi Islam”, yakni
menyampaikan pesan-pesan keislaman. Komunikator (da'i) menyampaikan
pesan ajaran Islam melalui lambang-lambang kepada komunikan (mad'u).
Mad'u menerima pesan itu, mengolahnya, lalu meresponnya. Dalam proses
itu terjadi transmisi pesan oleh da'i dan interpretasi pesan oleh mad'u (objek
dakwah).

Proses transmisi dan interpretasi tersebut tentunya mengharapkan


terjadinya dampak (effect) berupa perubahan kepercayaan, sikap dan
tingkah-laku mad'u ke arah yang lebih baik sesuai dengan standard nilai
Islami.

Tujuan dakwah utamanya adalah untuk mengubah individu dan masyarakat


ke arah kehidupan yang lebih baik. Tujuan dakwah demikian sesuai dengan
tujuan komunikasi persuasif, yakni adanya perubahan situasi orang lain atau
mengubah atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang
sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 14


Bagian 2

Prinsip Komunikasi Dakwah

Prinsip komunikasi dakwah bisa disebut pula sebagai prinsip komunikasi


Islam, yakni asar, dasar, atau kaidah dalam berkomunikasi menurut Islam,
termasuk dalam berdakwah.

Prinsip komunikasi dakwah meliputi dua hal, yakni dalam hal what to say (isi,
konten, substansi, materi, pesan) dan how to say (cara, metode).

Prinsip Isi

Dalam hal isi, komunikasi dakwah adalah pesan-pesan keislaman (ajaran


Islam) bersumberkan Al-Quran dan Al-Hadits.

Secara garis besar, ajaran Islam meliputi ajaran tentang sistem credo (tata
keimanan atau tata keyakinan), sistem ritus (tata peribadatan), dan sistem
norma (tata kidah atau tata aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan alam lain), yang
diklasifikasikan dalam ajaran tentang: akidah (iman), syariah (Islam), dan
akhlak (Ihsan).

Selain itu, pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi


dakwah juga harus mengandung:

Pertama, Basyiran wa Nadziran, kabar baik dan peringatan. Bisa disebut


sebagai ”reward and punishment”, penghargaan dan hukuman.

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan


pembawa kabar gembira (basyira) dan pemberi peringatan (nadzira). Dan
untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada
orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka adalah karunia yang
besar dari Allah”. (QS. Al-Ahzab:45-47).

Basyira atau kabar gembira adalah informasi mengenai pahala, imbalan,


berkah, manfaat, faidah, kebaikan, atau keuntungan bagi pelaku kebaikan
atau yang menjalankan ajaran Islam (perintah Allah SWT). Simbol utama
pahala bagi pelaku kebaikan itu adalah surga –sebuah tempat di alam
akhirat yang digambarkan penuh kenikmatan dan kesenangan.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 15


Informasi berupa ”reward” tersebut berfungsi sebagai dorongan,
rangsangan (stimulus), atau motivasi agar komunikan (mad’u) tergerak untuk
melaksanakannya.

Contoh kabar baik itu sebagaimana ayat berikut ini:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,


mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan
mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepada-Nya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya”. (QS. Al-Bayinah: 7-8)

Nadzira atau peringatan adalah ”kabar buruk” berupa informasi tentang


ancaman atau balasan bagi pelaku keburukan, kejahatan, atau perilaku yang
bertentangan dengan ajaran Islam –pelanggaran atas larangan Allah SWT.
Informasi berupa ”punishment” tersebut berisi pesan agar komunikan tidak
melakukan keburukan atau melanggar ajaran Islam.

Contoh kabar buruk itu antara lain:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al-Bayinah:6).

Kedua, ‘Amar Ma’ruf Nahyi Munkar, ajakan kepada kebaikan (ma’rufat) atau
menegakkan kebaikan sekaligus mencegah dan melenyapkan kemunkaran
(munkarot) atau keburukan.

Ma'rufat adalah kebaikan, yakni segala kebaikan atau sifat-sifat baik yang
sepanjang masa telah diterima sebagai baik oleh hati nurani manusia.
Munkarat sebaliknya, yaitu segala dosa dan kejahatan yang sepanjang masa
telah dikutuk oleh watak manusia sebagai jahat (Abul A’la al-Maududi,
Nizhamul Hayat fi al-Islam).

Dalam Islam, ma'rufat adalah hal-hal yang wajib, sunat, dan mubah
dilakukan. Munkarat adalah hal-hal yang haram dan makruh dilakukan.

‘Amar Ma’ruf Nahyi Munkar merupakan karakter ”umat terbaik” (khairu


ummah), yakni umat Islam, khususnya umat Islam generasi pertama –umat
Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw.

"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh


kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah" (QS. Ali Imran:110).

Cukup banyak hadits Nabi Saw tentang kewajiban ‘amar ma’ruf nahyi
munkar ini, antara lain:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 16


"Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala
seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun
pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan
maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak
mengurangi sedikit pun dosa-dosa mereka." (H.R. Muslim)

"Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia mendapat pahala


seperti orang yang mengerjakannya" (H.R. Muslim)

"Barang siapa di antara kamu sekalian melihat suatu kemunkaran, maka


hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya, kalau tidak mampu maka
dengan tegurannya, dan kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan
yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman" (H.R. Muslim)

"Bahwasanya manusia itu bila mengetahui orang berbuat zhalim kemudian


mereka tidak mengambil tindakan, maka Allah akan meratakan siksaan
kepada mereka semua" (H.R. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa'i).

"Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, kamu harus


sungguh-sungguh menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran, kalau
tidak Allah akan menurunkan siksaan kepadamu, kemudian kamu berdoa
kepadaNya, maka tidak akan dikabulkan doamu itu" (H.R. Tirmidzi).

"Jauhilah olehmu sekalian duduk di jalan-jalan." Para sahabat berkata: "Ya


Rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami (di jalan) itu
dimana kami berbincang-bincang di sana." Rasulullah menjawab: "Apabila
kamu sekalian enggan untuk tidak duduk di sana maka penuhilah hak jalan
itu." Para shahabat bertanya: "Apakah hak jalan itu ya Rasullah." Beliau
menjawab: "Yaitu memejamkan mata, membuang kotoran, menjawab salam,
serta menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran." (H.R. Bukhari dan
Muslim).*

Prinsip Cara

Dalam hal cara (how), prinsip komunikasi dakwah terkandung dalam QS. An-
Nahl:125-127.

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (bilhikmah) dan


pelajaran yang baik (mauizhah hasanah) dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik (mujadalah). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ada tiga cara dalam berdakwah menurut ayat tersebut, yakni bil-hikmah,
mau'idzatul hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 17


Pertama, Bil-hikmah dimaknai sebagai alasan, dalil (Al-Quran dan Al-Hadits),
argumentasi, atau hujjah yang dapat diterima rasio atau akal. Ada pula
ulama tafsir yang memaknainya sebagai ”ucapan yang tepat dan benar”.
Cara demikian berlaku bagi kalangan intelektual atau cendekiawan yang
berpikir kritis.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hikmah sebagai ”kebijaksanaan,


kesaktian, dan makna yang dalam”. Secara bahasa, al-hikmah berarti
ketepatan dalam ucapan dan amal. Pendapat lain menyebutkan al-hikmah
berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang
baik; pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.

Ulama asal Arab Saudi, Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz. berdasarkan
penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai
berikut:

“Petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan)


kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata
sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah Al-Qur’an, karena
sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya
di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran
dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian
yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.”

Kedua, Mau'idzatul hasanah yakni dengan ajaran, nasihat, dan didikan yang
baik-baik, lemah-lembut, dapat menyentuh akal dan hati (perasaan), dan
mudah dipahami. Cara tersebut berlaku bagi golongan awam, orang
kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam. Termasuk di
dalamnya memberikan motivasi, pujian, dan peringatan.

Ketiga, Mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, dialog,
diskusi, atau debat guna mendorong supaya berpikir secara sehat dan
menerima kebenaran (Islam) dengan cara mengemukakan argumentasi yang
lebih baik untuk mengatasi argumentasi lawan debat. Cara demikian cocok
buat golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan
tersebut. Perdebatan disampaikan dengan cara yang lembut, bukan cara
yang keras dan kasar.

Cara dakwah juga dikemukakan Nabi Muhammad Saw, seperti dalam sebuah
haditsnya:

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah


kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak sanggup (mengubah dengan
tangan), maka ubahlah dengan lisannya. Jika (dengan lisan) masih belum
sanggup juga, maka ubahlah dengan hatinya dan ini adalah selemah-
lemahnya iman." (HR.Muslim).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 18


Pertama, mengubah dengan tangan (biyadih), yakni dengan otoritas atau
kewenangan yang biasanya dimiliki seorang penguasa atau pemimpin.
Penguasa dapat mengubah kemunkaran dengan cara membentuk peraturan
atau Undang Undang yang mengikat seluruh pengikutnya.

Kedua, mengubah kemunkaran dengan lisan (bil lisan), yakni dengan ucapan,
perkataan, atau ungkapan pemikiran yang mengajak atau mempengaruhi
orang menuju kebenaran Islam. Ceramah di mimbar atau menulis di media
massa dapat masuk dalam kategori ini. Aksi-aksi demonstrasi, orasi,
pembuatan spanduk, poster, dan pamflet berisi seruan kebenaran (al-haq)
pun termasuk dalam kategori ini.

Ketiga, mengubah kemunkaran dengan hati (bil qolbi), yakni hati tidak
menyetujui kemunkaran yang ada, namun tidak memiliki kekuatan untuk
mengubahnya dengan tangan ataupun dengan lisan. Pilihan ketiga ini adalah
selemah-lemahnya iman (adh’aful iman). Artinya, jika pilihan ketiga ini pun
tidak dilakukan seorang Muslim, maka imannya harus dipertanyakan, karena
orang beriman pasti menolak terjadinya kemunkaran.

Menurut Dr. Kuntowijoyo (1997), hadits tersebut merupakan ”strategi


perubahan sosial-politik”. Pada kenyataannya, kata Kunto, selama ini
terdapat tiga macam strategi yang diterapkan oleh umat Islam yang
rujukannya hadits di atas: struktural, kultural, dan mobilitas sosial.

Tangan, lidah, dan hati masing-masing menunjuk ke struktur, kultur, dan


mobilitas sosial. Mengubah dengan tangan berarti perubahan struktural.
Mengubah dengan lidah berarti perubahan kultural. Mengubah dengan hati
berarti perubahan sosial, tanpa usaha tertentu hanya menunggu waktu.

Rumus strategi struktural ialah pemberdayaan (empowerment) masyarakat,


melalui tahapan memunculkan kesadaran kritis dan solidaritas sosial di
mana kelompok kritis bersatu dalam sebuah gerakan dan menularkan
kesadaran itu pada masyarakat. Strategi yang menonjolkan syari'ah ini
mementingkan perubahan perilaku kolektif dan struktur politik.

Strategi kultural menekankan perubahan perilaku individual dan cara


berpikir mementingkan perubahan di dalam. Strategi ini menonjolkan
hikmah di mana berlaku rumusan umum mengenai dakwah (kaifiyat dakwah
seperti tercantum dalam Q.S. An-Nahl:125). Cara yang baik berarti cara-cara
kultural, sama sekali tidak menggunakan pendekatan kekuasaan, paksaan,
dan kekerasan.

Mengenai strategi mobilitas sosial, Kunto merujuk kepada kelahiran Syarekat


Islak (SI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) karena adanya
perubahan struktur sosial kelahiran golongan terpelajar dan pedagang
sebagai kelas menengah baru di kota-kota. Sepanjang abad ke-9 mereka
melawan kolonialisme hanya "melawan dengan hati". Ketika "Islam Politik"

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 19


dikucilkan sepanjang 1970-1990, mereka juga hanya mampu "mengubah
dengan hati".

Gaya Bicara (Qaulan)

Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan


setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang
dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1)
Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5)
Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.

1. Qaulan Sadida yaitu perkataan yang benar, mengandung kebenaran


semata, alias tidak dusta, tidak bohong. Dengan demikian, komunikasi
manipulatif –komunikasi yang memanipulasi fakta, data, atau mengandung
kebohongan— dilarang.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan
Sadida --perkataan yang benar” (QS. 4:9).

Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar,


baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).

Dengan demikian, komunikasi dakwah atau komunikasi Islam harus


menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar
saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
Keharusan itu dipertegas dengan dalil lain:

“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).

“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya


kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke
surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).

Dari segi redaksi, komunikasi dakwah harus menggunakan kata-kata yang


baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.

“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS.
Al-Baqarah :83).

“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu


Asakir dari Abdullah bin Basri).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 20


Dalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata
bahasa dan mengguakan kata-kata baku yang sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).

2. Qaulan Baligha –ucapan yang lugas, efektif, dan tidak berbelit-belit. Kata-
kata yang digunakan langsung dapat dipahami dengan mudah.

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha --perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).

"Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan)


akal mereka" (HR. Muslim).

Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha
artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif,
mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan
tidak berbelit-belit atau bertele-tele.

Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan
hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.

“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas)


mereka" (H.R. Muslim).

”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann


bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4).

Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam
tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan
cendekiawan.

Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di
depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan
bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa
jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass
communication).

3. Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik, santun, dan tidak kasar. Kata
Qaulan Ma`rufan yang disebutkan dalam sejumlah ayat Al-Quran artinya
perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran
(tidak kasar), tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan, serta
pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna


akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 21


hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa --kata-kata
yang baik.” (QS An-Nissa:5)

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada
itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa --perkataan
yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).

“Qulan Ma’rufa --perkataan yang baik-- dan pemberian maaf lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).

“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah
Qaulan Ma’rufa --perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).

4. Qaulan Karima –kata-kata yang mulia dan penuh penghormatan.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah
kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima --
ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).

Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat
dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara
dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau
mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.

Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan


kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati.

Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna


mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan
menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.

5. Qaulan Layinan –ucapan yang lemah-lembut menyentuh hati.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 22


“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina --kata-
kata yang lemah-lembut...” (QS. Thaha: 44).

Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang


enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata
sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.

Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar
berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina,
hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh
dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.

Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari


kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.

6. Qaulan Maysura –ucapan yang menyenangkan dan tidak menyinggung


perasaan.

”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan
Maysura --ucapan yang mudah dan menyenangkan” (QS. Al-Isra: 28).

Qaulan Maysura bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna,


mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah
kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.

Prinsip-prinsip komunikasi dakwah di atas secara praktis dilaksanakan


sekaligus dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Beliau menerapkan cara
berbeda dalam komunikasi dakwahnya sesuai dengan objek dakwah yang
dihadapinya.

Sebagai contoh, ketika beliau didatangi seorang laki-laki. Ia berkata,”Wahai


Rasulullah, aku ingin masuk Islam. Tetapi, aku tidak bisa meninggalkan zina.”
Seketika emosi para sahabat terpancing. Mereka meminta penjelasan
tentang perbuatan dan ucapan orang tersebut. Bagi mereka, penyataan itu
hanya mengikuti nafsu.

Rasulullah bersabda” Biarkan dia!”. Lalu beliau mengajaknya berbincang-


bincang dan membuatya merasa puas. Nabi tidak mencela dan
menghinanya dengan keras di depan orang. Beliau hanya bertanya,” Relakah
kamu bila ibumu dizinai (orang lain)?”. Lelaki itu menjawab: ”Tidak!”.

Rasulullah bertanya lagi, “Relakah kamu jika putrimu dizinai?” Lelaki itu
menjawab: “Tidak”. Rasulullah bersabda, ”Relakah kamu bila bibimu dizinai?”
Lelaki itu menjawab: “Tidak”.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 23


Nabi bersabda, ”Bagaimana orang lain akan rela, padahal kamu sendiri tidak
rela dengan hal itu.” Lalu lelaki itu kemudian memiliki semangat keislaman.
Dia membayangkan sikap orang-orang ketika kerabat mereka dizinai, seperti
sikapnya ketika kerabat wanitanya dizinai. Lalu lelaki itu berkata,” Aku
bertobat kepada Alah dari perbuatan zina”.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 24


Bagian 3

Komunikator: Juru Dakwah

Komunikator adalah pelaku (subjek, fa’il, ‘amil) komunikasi. Ia bertindak


sebagai pengirim pesan (sender) dalam sebuah proses komunikasi.

Komunikator dakwah pada dasarnya adalah semua orang yang


berkomunikasi tentang keislaman atau nilai-nilai Islam, baik secara informal
–seperti obrolan dua orang teman-- maupun formal –seperti ceramah
pengajian dan khotbah Jumat.

Dalam komunikasi dakwah, komunikator adalah da’i, juru dakwah, yakni


subjek (pelaku) kegiatan dakwah. Komunikator dakwah adalah tiap individu
Muslim karena karena setiap Muslim wajib berdakwah sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas masing-masing.

Pada praktiknya, komunikator dakwah dapat berupa perorangan dan


lembaga atau organisasi –lembaga dakwah. Organisasi massa Islam (Ormas
Islam) merupakan komunikator dakwah karena lazimnya ormas Islam
bergerak di bidang dakwah Islam.

Kewajiban dakwah dapat dilaksanakan berbagai cara, sesuai dengan


kemampuan dan kesempatan masing-masing individu. Yang memiliki waktu
luang banyak bisa menjadi aktivis sebuah lembaga dakwah, ormas Islam,
atau menjadi jurudakwah (da'i).

Namun, yang tidak memiliki waktu luang bukan berarti tidak bisa menjadi
aktivis dakwah. Pasalnya, dakwah memiliki dimensi yang sangat luas, tidak
selalu berarti ceramah, khotbah, atau menjadi pengurus-anggota lembaga
dakwah.

Bahkan jika kita ”hanya” menyumbangkan dana (infak) ke sebuah lembaga


dakwah atau donatur kegiatan dakwah, pahalanya bisa dinilai sama dengan
pelaksana dakwah di lapangan. Ketika seseorang memasukkan sejumlah
uang ke dalam ”kencleng” masjid, hakikatnya ia turut memakmurkan masjid
dan berkontribusi dalam aktivitas dawah yang diadakan pengurus masjid.

Hal itu mengambil analogi dari sebuah hadits tentang perang di jalan Allah.
”Barangsiapa yang turut membantu persiapan perang, maka hakikatnya ia
turut terjun ke medan perang” (HR Muslim).

Dakwah memiliki dimensi yang luas. Menurut Fuad Amsyari (1993), ada
empat aktivitas utama dakwah:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 25


Pertama, mengingatkan orang akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
dengan lisan.

Kedua, mengkomunikasikan prinsip-prinsip Islam melalui karya tulisnya.

Ketiga, memberi contoh keteladanan akan perilaku/akhlak yang baik.

Keempat, bertindak tegas dengan kemampuan fisik, harta, dan jiwanya


dalam menegakkan prinsip-prinsip Ilahi.

Keluasan dimensi dakwah yang diurai ke dalam empat aktivitas itu


setidaknya menunjukkan, dakwah tidak identik dengan ceramah atau
khotbah, juga tidak identik dengan menjadi da’i dan aktivis-anggota sebuah
lembaga dakwah.

Tentu saja, jauh lebih baik jika kita bergabung dengan lembaga dakwah dan
menjalankan aktivitas dakwah secara berjamaah. Dengan aktif di lembaga
dakwah, selain berjamaah yang berarti jauh lebih powerful, aktivitas dakwah
kita terprogram, terjadwal, fokus, dan lebih terarah.

Lazim dikemukakan, ada tiga jenis dakwah yang berkembang saat ini, yakni
dakwah bil Lisan/bil qoul, dakwah bil qolam/bil kitabah, dan dakwah bil hal.

Dakwah bil lisan yakni dakwah yang disampaikan dalam bentuk ceramah,
pengajian, khutbah, atau penyampaian dan ajakan kebenaran dengan kata-
kata (berbicara). Orasi dalam aksi demonstrasi bisa masuk dalam kategori
ini. Ilmu yang diperlukan untuk jenis ini adalah ilmu berbicara atau ilmu
retorika/pidato (public speaking).

Dakwah bil hal dipahami sebagai dakwah yang dilakukan melalui aksi atau
tindakan nyata, misalnya melalui aktivitas kelembagaan seperti ormas Islam,
lembaga pendidikan Islami, lembaga sosial-ekonomi (BMT dan Lembaga
Amil Zakat, Infak, dan Sedekah --LAZIS), bakti sosial, dan sebagainya.

Dakwah bil qalam yakni dakwah yang disampaikan melalui tulisan yang
diterbitkan atau dipublikasikan melaui media massa, buku, buletin, brosur,
spanduk, pamflet, dan sebagainya. Keahlian yang diperlukan untuk dakwah
jenis ini adalah kemampuan menulis (ilmu jurnalistik) atau ilmu komunikasi
tulisan.

Selain ketiga hal tersebut, ada juga yang disebut dakwah bil qudwah, yakni
dakwah melalui keteladanan sikap atau perilaku.

Metode dan pilihan jenis dakwah mana pun yang kita pilih, dapat dilakukan
secara sendirian ataupun melalui kelembagaan. Namun, jika melakukannya
sendirian, maka program, arah, dan kekuatan serta pengaruhnya tidak akan
sekuat dan sebaik berjamaah –bergabung dengan lembaga dakwah.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 26


Keutamaan bergabung dengan jamaah atau lembaga dakwah (amal jama’i)
antara lain:

Pertama, aktivitas dakwah akan lebih terprogram, terjadwal, terarah, dan


fokus. Kendala atau masalah yang muncul pun akan dihadapi dan diatasi
secara bersama-sama –sebuah beban seberat apa pun akan terasa ringan
jika dihadapi secara bersama.

Kedua, bisa memilih peran, bagian, unit, atau bidang sesuai dengan
kemampuan kita (spesialisasi).

Ketiga, dapat memberikan kontribusi sekecil apa pun dalam kegiatan


dakwah, mulai dari pemikiran, ide, tenaga, hingga harta kekayaan.

Berorganisasi, masuk dalam barisan jihad dan dakwah, atau amal jama'i
wajib hukumnya bagi kaum muslimin, apalagi bagi para aktivis dakwah. Amal
jama’i adalah suatu pekerjaan oleh orang-orang yang terstruktur, satu
komando, satu perintah, dan ada spesialisasi dakwah.

Ali bin Abi Thalib pernag berkata, “Daki hidup berjamaah lebih saya cintai
daripada jernih sendiri”. Alasannya, banyak orang yang mampu untuk suci
sendiri, tetapi berapa banyak orang yang mampu bertahan dengan dinamika
amal jama’i? Masih kata Ali bin Abi Thalib: “Sebuah kebenaran yang tidak
terorganisasi akan dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi”.

Amal jama’i adalah kewajiban syar’i. “Dan berpeganglah kamu semuanya


kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-
musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya...” (QS. 3:103).

Moralitas

Meski setiap Muslim adalah da’i, namun saat ini da’i juga merupakan sebuah
“profesi”, yakni orang yang secara khusus beraktivitas dalam bidang dakwah,
khususnya dakwah dengan lisan (ceramah). Seorang da’i biasanya bergelar
ustadz, kyai, atau ulama karena penguasaan ilmu agamanya sangat luas dan
baik.

Karena tugasnya mengajak dan menyeru orang lain ke jalan Tuhan (Islam),
maka aspek moralitas da’i sangatlah penting demi efektivitas dakwahnya.

Aspek moralitas ini membentuk integritas da’i dan menentukan kepercayaan


komunikan (objek dakwah) atau publik terhadap da’i (komunikator). Dalam
konteks Islam, moralitas ini adalah akhlaqul karimah (budi pekerti yang
mulia) atau akhlaqul mahmudah (perangai terpuji).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 27


Dalam hal moralitas, standard moralitas yang lazim dijadikan acuan adalah
sifat-sifat Nabi dan Rasulullah, yakni:

 Shiddiq --benar, cinta kebenaran, selalu berkata benar dan tidak


dusta.
 Amanah –terpercaya, dapat dipercaya, tidak khianat.
 Tabligh –menyampaikan kebenaran, fakta, dan tidak
menyembunyikannya.
 Fathonah –cerdas dalam memahami masalah dan menemukan solusi,
juga piawai, mahir, pandai, atau memiliki intelektualitas memadai.

Kompetensi

Tidak semua Muslim mampu menjadi da’i dalam pengertian “da’i


profesional” karena ia membutuhkan kompetensi khusus, yakni penguasaan
materi (ilmu agama Islam) dan keahlian komunikasi –utamanya komunikasi
verbal publci speaking (ceramah, retorika, pidato).

Meskipun demikian, dalam konteks dakwah sebagai kewajiban, setiap


Muslim berkompeten menjadi da’i karena ia wajib mengajak sesama Muslim
kepada kebaikan dan menjauhi kemunkaran (‘amar ma’ruf nahyi munkar),
saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al-‘Ashr:3), dan
“sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” (Hadits).

Kompetensi da’i dibangun dengan penguasaan materi dakwah (ajaran Islam)


secara baik dan komprehensif dan penguasaa keterampilan komunikasi
sesuai dengan sarana dakwah yang digunakannya.

Sarana dakwah berupa mimbar/podium membutuhkan keahlian komunikasi


verbal (speaking skill/public speaking).

Sarana dakwah media massa cetak dan media online membutuhkan


keahlian menulis (writing skill).

Sarana dakwah radio dan televisi membutuhkan keahlian penyiaran


(broadcasting skill). Gaya berbicara di mimbar tentu berbeda dengan di
radio/televisi. Bahasa tulisan juga berbeda dengan bahasa lisan.

Efektivitas dan keberhasilan komunikasi dakwah sangat ditentukan oleh


moralitas, integritas, dan kredibilitas komunikator dakwah (da'i) dan
kepiawaiannya mengemas pesan-pesan agama yang meyakinkan objek
dakwah tentang kebenaran dan pentingnya pesan yang ia sampaikan.

Merujuk pada teori komunikasi persuasif, efektifitas komunikasi dakwah


ditentukan oleh tiga faktor, yakni kredibilitas, atraksi, dan otoritas.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 28


Kredibilitas dibangun oleh moralitas atau akhlak da’i. Objek dakwah tentu
tidak akan mau mendengarkan nasihat atau pesan-pesan kebaikan dan
kebenaran Islam dari seseorang yang diketahui ia sendiri tidak
melaksanakannya. Dengan kata lain, kredibilitas menyangkut reputasi da’i
dalam pengamalan ajaran Islam.

Kredibilitas juga dibangun oleh keterampilan berkomunikasi atau


“penguasaan panggung”. Kredibilitas da’i tidak akan muncul jika ia tidak
lancar berbicara di atas mimbar, di depan mikropon (radio), di depan
kamera (televisi), atau tulisannya tidak enak dibaca (media cetak), meskipun
dari sisi substansi ia sangat menguasai masalah (ahli agama).

Atraksi adalah daya tarik komunikator, seperti daya tarik fisik dan
keramahan, juga gaya berbicara atau gaya bahasa. Da’i humoris, sebagai
contoh, memiliki daya tarik tinggi, demikian pula da’i yang berparas tampan
atau da’iyah berparas cantik. Atraksi juga dapat disiasati dengan cara
berpakaian (wardrobe) dan teknik vokal (speaking technique).

Otoritas, kewenangan, atau kekuasaan adalah “kemampuan menimbulkan


ketundukan” atau kekuatan untuk membuat publik yakin, percaya, dan
bertindak.

Mengacu kepada “teori kekuasaan” John Frenc dan Bertam Raven (1959),
kekuasaan da’i dapat dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, dan
keahliannya dalam bidang agama serta kemampuan dalam
mengkomunikasikannya (expert power); kekuatan informasi (informational
power) yang disampaikan karena bersumberkan –misalnya—ayat Quran dan
hadits sahih; keteladanan sang da’i sehingga ia menjadi panutan atau
rujukan (referent power).

Merujuk pada teori Aristoteles, komunikator dakwah hendaknya memiliki


Ethos, Phatos, dan Logos.

Ethos terdiri dari pikiran yang baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik
(good sense, good moral character, good will).

Pathos adalah kemampuan menyentuh hati dan perasaan khalayak:


perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih-sayang. Pathos
menunjukkan imbauan emosional (emotional appeals) misalnya melalui
diksi kata-kata yang indah, menggugah, dan kalimat dan nada bicara yang
bervariasi.

Logos adalah meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang


tampak sebagai bukti kebenaran. Logos merupakan imbauan logis (logical
appeals) berdasarkan argumen dan pikiran yang mantap, dalam hal dakwah
bersumberkan dalil naqli (Al-Quran & Hadits) dan dalil aqli (pemikiran
rasional).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 29


Sebagai kesimpulan, komunikator dakwah hendaknya:

1. Memiliki moralitas, integritas, dan kompetensi.


2. Menguasai dan menyusun isi, materi, atau pesan dakwah dengan baik
sehingga mudah dimengerti.
3. Menguasai media atau sarana (channel) yang digunakan dalam
berdakwah –lisan dan tulisan; mimbar, radio, televisi, media cetak,
media online.
4. Mampu menyesuaikan gaya bicara atau gaya bahasa dengan media
yang digunakannya.
5. Bijak dalam menyampaikan pesan dakwah, dalam arti menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi objek dakwah.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 30


Bagian 4

Komunikan: Objek Dakwah

Komunikan, objek dakwah, sasaran dakwah, atau mad’u adalah orang atau
publik yang menerima pesan dakwah. Perannya adalah menerima,
menerjemahkan, memahami, dan menyikapi atau mengamalkan pesan
tersebut.

Secara umum, mad’u adalah seluruh manusia sebagai makhluk yang harus
tunduk kepada aturan Sang Pencipta (Khaliq), yakni Allah SWT. Pesan
dakwah yang disampaikan kepada mereka adalah aturan Sang Khaliq
tersebut, yakni ajaran agama Islam.

Posisi atau status manusia di muka bumi ini adalah sebagai hamba Allah
(’abid), wakil Allah di muka bumi (khalifah), dan makhluk kepercayaan atau
pengemban amanah-Nya. Pesan-pesan dakwah bertujuan menyeru manusia
untuk mampu dan mau melaksanakan tugasnya di bumi sebagai abid,
khalifah, dan pengemban amanah tersebut.

Sebagai hamba Allah, tugas manusia adalah beribadah atau mengabdi


kepada-Nya.

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia itu melainkan untuk beribadat”. (QS. Az-
Zariat:56)

“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah


dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya“. (QS. Al-Bayyinah:5).

Sebagai khalifah, manusia bertugas mengisi dan memakmurkan bumi atau


kehidupan dunia ini dengan menegakkan agama Allah (Islam).

“Ingatlah ketika Rabmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya


Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." … (QS. Al-
Baqarah:30).

“Dialah (Allah) yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di muka


bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri...” (QS. Fathir:39).

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian
dan mengerjakan amal-amal yang soleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
mengkhalifahkan mereka (menjadikan mereka berkuasa) di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,
dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 31


Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengganti (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
beribadah kepada-Ku dan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan
Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur:55).

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka putuskanlah (semua perkara) di antara manusia dengan
adil (yang dimaksud dengan ‘adil’ adalah hukum Allah ) dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad:26).

Sebagai pengemban amanah, manusia bertugas menaati semua perintah


Allah dan meninggalkan larangan-Nya.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”
(QS. Al-Ahzab:72).

Tafsir Al-Quran versi Departemen Agama menyebutkan, Allah SWT telah


menawarkan tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi, dan gunung-
gunung; dan karena ketiganya tidak mempunyai kesediaan dan persiapan
untuk menerima amanat yang berat itu maka semuanya enggan untuk
memikul amanat yang disodorkan Allah kepada mereka dan mereka
khawatir mengkhianatinya.

Lalu amanat untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu disodorkan


kepada manusia dan manusia menerimanya dengan akibat bahwa
barangsiapa yang memenuhi itu akan diberi pahala dan dimasukkan ke
dalam surga dan sebaliknya barangsiapa yang mengkhianatinya akan disiksa
dan di masukkan ke dalam api neraka.

Manusia walaupun bentuk fisiknya kecil dibandingkan dengan ketiga


makhluk lain (langit, bumi, dan gunung-gunung), berani menerima amanat
tersebut karena persiapan dan kesediaan ada padanya.

Secara umum, berdasarkan (QS. Al-Baqarah:2-5), umat manusia dibagi


dalam tiga golongan, yakni orang-orang yang beriman-bertakwa (muttaqin),
kaum yang mengaku beriman padahal tidak (munafiqin), dan orang-orang
yang mengingkari atau tidak beriman kepada Allah (kafirin). Tugas dakwah
adalah memperkuat iman dan takwa golongan pertama sekaligus
“mengatasi” dua golongan terakhir agar masuk kepada golongan pertama.

Merujuk kepada QS. Al-Fathir:30, kaum mukmin atau umat Islam terbagi ke
dalam tiga golongan, yakni golongan yang menganiaya diri sendiri (dzalimu

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 32


linafsih), kelompok “pertengahan” (muqtashid), dan mereka yang bersegera
dalam menjalankan perintah Allah (sabiqun bil khairat). Tujuan dakwah
adalah memperkuat golongan ketiga sekaligus mendorong golongan
pertama dan kedua memasuki golongan ketiga.

Golongan Dzalimu Linafsih yaitu golongan orang yang menganiaya dirinya


sendiri, kejelekannya lebih banyak dari kebaikannya. Golongan Muqtashid
yaitu golongan pertengahan, golongan orang-orang yang kebaikan dan
keburukannya seimbang. Golongan Sabiqun bil khairat bi idhnillah
yaitu golongan orang-orang yang kebaikannya jauh lebih besar, lebih banyak
daripada keburukannya. (Tafsir Al-Quran Depag).

Golongan Mad’u

Sebagai mad’u, manusia dibagi tiga golongan juga. Berdasarkan QS. An-
Nahl:125, Syaikh Muhammad Abduh (dalam M. Natsir, 1987), membagi objek
dakwah kedalam tiga golongan.

Masing-masing golongan itu harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda


sesuai dengan hadits: "Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar
(takaran kemampuan) akal mereka" (HR. Muslim).

Pertama, ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir


kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni
dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan
akan mereka.

Kedua, ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir
kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi.
Mereka ini dipanggil dengan mau'idzatul hasanah, dengan ajaran dan
didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.

Ketiga, ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan


tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni
dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat.

Objek Dakwah Media

Dalam konteks komunikasi massa –dalam hal ini komunikasi dakwah melalui
media massa, mad’u terbagi dalam empat kategori massa, yakni massa
pembaca (media cetak), netter atau user (media online), pendengar (radio),
dan pemirsa (televisi).

Masing-masing kategori massa memiliki karakteristik yang harus dipahami


dan disikapi dengan tepat oleh komunikator dakwah.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 33


Karakter massa pembaca (media cetak) antara lain pembaca judul, pembaca
lead, dan pembaca naskah ringkas. Demikian pula karakteristik netter atau
user (media online). Mereka diasumsikan sebagai massa yang terburu-buru,
ingin segera tahu, dan memiliki waktu singkat, sehingga memilih tulisan yang
paling penting, ringkas, menyangkut kehidupan keseharian mereka, dan
paling menarik.

Massa pendengar (radio) umumnya suka musik. Pendengar radio mayoritas


menyalakan radio ingin mendengarkan musik. Maka, dakwah di radio
sebaiknya diselingi musik religi (nasyid). Pendengar radio juga adalah
pribadi-pribadi sehingga dakwah di radio harus menggunakan pendekatan
pribadi, seperti gaya bicara ngobrol (conversational style), bukan gaya orasi
atau ceramah.

Televisi adalah media pandang-dengar (audio-visual). Pemirsa (televisi)


menyaksikan da’i sekaligus mendengarkan pembicaraannya. Pemirsa televisi
dinilai mempunyai karakter unik karena masing-masing mempunyai
kebutuhan yang berbeda, tersebar di mana-mana, menonton bukan karena
paksaan tetapi karena tertarik dengan suatu program tayangan.

Seorang da’i di televisi wajib memperhatikan penampilan fisik seperti ”tata


rias” dan ”tata busana” (wardrobe) agar menarik dan enak dipandang (good
looking). Gaya bicara pun tidak seperti ceramah di atas mimbar, tapi gaya
obrolan dan dialog yang melibatkan pemirsa.

Kehadiran media online (website/blog) memunculkan objek dakwah online,


yaki mereka yang ingin mengetahui, memahami, dan mendalami Islam.
Umumnya pengguna atau user media online membaca secara cepat,
”terburu-buru”, utamanya karena faktor”daya tahan mata” atau ”ketahanan
membaca” di depan layar monitor yang terbatas.

Pembaca media online umumnya melakukan “scanning” (membaca sepintas


kilas, misalnya pada judul tulisan), lalu memutuskan bagian mana dari teks
atau halaman yang mereka pindai untuk diberi perhatian dan waktu lebih
(dibaca tuntas).

Dengan demikian, artikel dakwah di di media online tersaji untuk dipindai


lebih dulu, lalu dibaca atau diabaikan. Seperti pembaca media cetak, user
media online juga lebih menyukai tulisan yang ringkas, tidak bertele-tele,
lebih menyukai judul yang ”to the point” atau langsung ke pokok informasi
(straightforward), ketimbang judul yang ”lucu” atau ”cantik”.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 34


Bagian 5

Pesan: Materi Dakwah

Secara bahasa pesan (message) adalah perintah, nasihat, permintaan,


amanat yang disampaikan lewat orang lain (KBBI). Dalam dunia komunikasi,
pesan dimaknai sebagai isi atau maksud yang akan disampaikan.

Pesan dakwah adalah isi atau materi dalam komunikasi dakwah berupa
informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa
dimengerti objek dakwah.

Pesan atau materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam (syari’at Islam). QS.
An-Nahl: 125 menyebutnya sebagai “jalan Tuhan” (sabili rabbika). Artinya,
pesan dakwah adalah informasi keislaman yang menunjukkan sekaligus
mendorong objek dakwah menuju syariat Islam.

Fondasi Islam adalah tauhid (keesaan Tuhan), yakni menjadikan Allah SWT
sebagai satu-satunya tujuan, Dzat yang harus disembah. Para ulama merinci
konsep tauhid menjadi dua bagian, yakni Tauhid Tububiyah dan Tauhid
Uluhiyah.

Tauhid Rububiyah adalah meyakini bahwa hanya Allah yang Rab (Tuhan)
yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan segala urusan. Hanya
Allah yang memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Oleh karena itu,
hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah) harus ditandai
dengan kepasrahan, ketundukan, dan ketaatan.

Tauhid Uluhiyah yakni meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Ilah (Tuhan)


yang berhak disembah (ma’bud). Hanya kepada-Nya segala pengabdian dan
permintaan ditujukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana kandungan
kalimat thayibah “Laa Ilaaha Illallaah” (Tidada Tuhan selain Allah). Siapa yang
berikrar dengan kalimat tersebut, berarti dia bersedia mematuhi kehendak
Allah dan tidak akan mengakui kekuasaan selain kekuasaan-Nya.

“Karena sesungguhnya Allah. Dialah yang hak dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain Allah itulah yang batil...” (Q.S. 22:62, 31:30).

“Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)


selain Allah...” (Q.S. 47:19).

Konsep tauhid menuntun manusia untuk tetap menempatkan Allah SWT


sebagai satu-satunya Tuhan. Kepada-Nyalah ia mengabdi. Segala hukum-Nya
ditaati. Larangan-Nya dijauhi dan perintah-Nya dijalankan. Umat manusia

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 35


seluruhnya pada hakikatnya berjiwa tauhid, karenanya ajaran Islam sesuai
dengan fitrah manusia yang berjiwa tauhi.

Lawan tauhid adalah syirik, menyekutukan Allah SWT, meyakini Tuhan lebih
dari satu, atau meyakini ada sesuatu yang setara kekuatan dan kharismanya
dengan Tuhan. Dan dosa syirik ini tidak diampuni-Nya.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik, tetapi Dia


mengampuni selain dari itu..." (Q.S. 4:48).

Tauhid akan melahirkan amal perbuatan yang tertuju semata-mata karena


Allah SWT (ikhlas). Artinya, mencari keridhaan-Nya semata. Dengan
demikian, hukum Allah SWT senantiasa menjadi acuan dalam perilakunya.
Bagi Muslim, hal ini tercermin dalam bacaan Doa Iftitah dalam shalat:
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah demi
Allah Pencipta alam semesta" (inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa
mamati lillahi rabbil 'alamin). Juga, tercermin dalam bacaan Q.S. Al-Fatihah,

“Hanya kepada-Mu (wahai Allah) kami menyembah dan hanya kepada-Mu


jua kami memohon pertolongan”.

Garis Besar Kandungan Islam

Secara garis besarnya, ajaran Islam meliputi ajaran tentang sistem credo
(tata keimanan atau tata keyakinan), sistem ritus (tata peribadatan), dan
sistem norma (tata kidah atau tata aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan alam lain),
yang diklasifikasikan dalam ajaran tentang: Akidah/Iman, Syari'at/Islam, dan
Akhlak/Ihsan (Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pustaka Bandung,
1978).

Akidah, Syariat, dan Akhlak dalam Islam merupakan satu-kesatuan yang


tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Di bidang akidah, Islam mengajarkan kepercayaan atau keimanan terhadap


enam hal berikut yang dikenal dengan sebutan Rukun Iman (Arkan al-Iman).

1. Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang menciptakan dan


mengatur seluruh alam semesta (tauhid rububiyah) dan satu-satunya
Tuhan yang berhak disembah dan dipatuhi ajaran-Nya (tauhid
uluhiyah).
2. Para Malaikat-Nya, antara lain Jibril sebagai penyampai wahyu, Mikail
sebagai penyampai rezeki, Israfil sebagai peniup sangkakala tanda
kiamat, Azroil sebagai pencabut nyawa, Munkar dan Nakir sebagai
penanya di Alam Kubur, Rakib dan Atid sebagai pencatat amal baik
dan buruk manusia, Malik sebagai penjaga neraka, dan Ridwan
sebagai penjaga surga.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 36


3. Kitab-Kitab-Nya, yakni Kitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Daud,
Taurat (Nabi Musa), Injil (Nabi Isa), dan Al-Quran (Nabi Muhammad).
4. Para Rasul-Nya sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad sebagai
pembawa agama wahyu bagi manusia.
5. Hari Akhirat, yakni alam kehidupan sesudah mati atau setelah
hancurnya alam dunia beserta isinya yang merupakan alam kekal.
6. Qodho dan Qodar (Takdir), yakni ketentuan Allah tentang segala hal
bagi manusia dan makhluk lain.

“Iman itu ialah engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta percaya kepada ketetapan Allah
(takdir), baik yang bagus maupun yang buruk” (H.R. Muslim dari Umar).

Keimanan terhadap enam hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan amal


atau tindakan nyata dan bersikap memegang teguh (istiqomah)
keimamannya itu.

“Iman itu meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan


mengamalkan dengan anggota badan” (H.R. Muslim).

“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah kemudian pegang teguh (istiqamah)


keimanan itu”

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata 'Tuhan kami ialah Allah',


kemudian mereka tetap lurus (istiqamah) dalam keimanannya, niscaya turun
kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa
janganlah kalian takut dan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang
telah dijanjikan Allah kepada kalian!" (Q.S. Fushilat:30).

Di bidang syari'at, Islam mengajarkan tatacara beribadah yang meliputi


hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan dengan
sesama manusia (hablum minannas).

Yang pertama dikenal pula dengan sebutan ibadah mahdhah, yakni ibadah
shalat, zakat, puasa, dan haji; sedangkan yang kedua dikenal dengan sebutan
ibadah ghair mahdhah dan mu'amalah, meliputi ajaran tentang aspek
kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, keluarga, dan aspek kehidupan
duniawi lainnya.

Ibadah mahdhoh disebut pula lima fondasi Islam (Rukun Islam, Arkanul
Islam), yakni ikrar syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan kelima hal
itulah keislaman seseorang dibangun.

“Islam itu dibangun oleh lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan
Ramadhan, dan beribadah haji” (H.R. Bukhori dan Muslim),

Ibadah ghair mahdhoh atau mu’amalah meliputi dua hal:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 37


1. Al-Qanunul Khas (Hukum Perdata) meliputi mu’amalah hukum niaga,
munakahat (hukum nikah), waratsah (pewarisan), dll.
2. Al-Qanunul ‘Am (Hukum Publik) meliputi jinayah (hukum pidana),
khilafah (hukum negara), jihad (hukum perang dan damai), dan
sebagainya. Di dalam hukum publik ini juga termasuk konsep-konsep
sosial, ekonomi, budaya, dan politik Islam.

Di bidang akhlak, Islam mengajarkan pedoman sikap mental atau budi-


pekerti dalam bergaul atau berhubungan dengan Allah SWT sebagai Tuhan,
dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Bahkan, bidang
akhlak ini menjadi sasaran inti misi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh
Nabi Muhammad dalam sebuah haditsnya, "Sesungguhnya aku diutus (Allah
SWT) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".

Akhlak adalah penentu baik-buruk perilaku seseorang. “Penentu” itu adalah


ada atau tiadanya kesadaran dalam diri seseorang tentang pengawasan dari
Allah atas segala perilakunya. Sebagaimana disebutkan dalam Nabi Saw
ketika mendefinisikan ihsan:

“(Ihsan adalah) kamu berbakti kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya.


Jika kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwa Allah melihatmu” (H.R.
Bukhori dan Muslim).

Akhlak dalam Islam meliputi:

1. Akhlak terhadap diri sendiri, yakni bagaimana kita memperlakukan


diri sendiri dalam menjalani hidup ini.
2. Akhlak terhadap Allah, yakni bagaimana seharusnya kita bersikap
terhadap Alllah SWT.
3. Akhlak terhadap sesama manusia, yakni tata cara bergaul dengan
sesama manusia.
4. Akhlak terhadap alam semesta, yakni bagaimana seharusnya kita
memperlakukan flora dan fauna, termasuk sikap kita terhadap
makhluk-makhluk gaib (jin, setan, dan malaikat).

Sistematika Pesan

Secara garis besar, pesan dakwah adalah menyeru manusia untuk


melaksanakan ajaran Islam, menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya. Pada praktiknya, pesan itu disampaikan secara sistematis berdasarkan
kebutuhan objek dakwah.

Mengacu pada metode penyajian pesan Al-Quran, M. Quraish Shihab dalam


Membumikan Al-Qur’an (1998) menyebutkan, Al-Qur’an menempuh
beberapa metode yang bisa juga dilakukan komunikator dakwah, yaitu:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 38


1. Mengemukakan kisah, seperti kisah nabi-nabi.
2. Nasihat dan panutan, yakni menggunakan kalimat-kalimat yang
menyentuh hati dibarengi dengan contoh teladan.
3. Pembiasaan menyangkut segi-segi pasif (meninggalkan sesuatu)
ataupun aktif (melaksanakan sesuatu).

Mengacu kepada “pola pesan persuasif” (pattern for persuasive messages)


Alan H. Monroe (1930), sebuah urutan atau sistematika yang bermuara
pada tindakan (action) sebagaimana tujuan komunikasi persuasif dan
komunikasi dakwah, pesan dakwah hendaknya disusun dengan pola sebagai
berikut:

a. Attention(Intro) –mampu menarik perhatian dan minat objek dakwah,


misalnya dalam hal tema dakwah disesuaikan dengan isu aktual yang tengah
menjadi agenda pembicaraan public (public agenda).

b. Need/Problem –disesuaikan dengan kebutuhan objek dakwah, misalnya


menyangkut masalah yang tengah mereka hadapi.

c. Satisfaction/Solution –memberikan kepuasan berupa alternatif solusi


dalam perspektif Islam atas masalah yang dihadapi komunikan.

d. Visualization –menciptakan “gambar” dalam pemikiran objek dakwah


tentang apa yang akan terjadi jika melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
misalnya pahala dan adzab, kabar baik dan peringatan (basyira wa nadzira).

e. Action –komunikasi berhasil jika komunikan mampu memahami pesan


dan melakukan tindakan sesuai dengan pesan yang mereka terima.
Misalnya, kabar pahala membuat objek dakwah rajin beribadah dan kabar
soal adzab (hukuman Allah) membuat mereka meninggalkan larangan
Allah.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 39


Bagian 6

Media: Saluran Komunikasi Dakwah

Media atau medium berarti “perantara”, yaitu alat atau sarana yang
digunakan komunikator dakwah untuk menyampaikan pesannya kepada
komunikan. Dalam definisi komunikasi Harold D. Laswell, media disebut
“saluran” (channel) untuk memudahkan penyampaian pesan.

Media komunikasi terdiri atas lambang-lambang (simbol-simbol) kata,


gambar, tindakan atau perilaku, dan berbagai teknik serta media yang
digunakan untuk berkomunikasi.

Yang tergolong media komunikasi adalah sarana yang memudahkan proses


komunikasi seperti masjid, balai pertemuan, meeting room, majelis taklim,
email, telefon, serta media massa.

Media yang biasanya digunakan sebagai saluran untuk pesan vokal misalnya
telefon, interkom, pengeras suara, radio, dan sebagainya. Media yang
berfungsi sebagai saluran tertulis misalnya surat, internet (email, facebook,
twitter, website), memo, suratkabar, majalah dinding, buletin, buku, majalah,
dan sebagainya.

Media komunikasi juga terbagi kedalam media tradisional dan media


modern. Media tradisonal di antaranya folklor (dongeng/cerita rakyat),
mitos, legenda, peribahasa, pemeo, pepatah, puisi, nyanyian, teater, dan alat
bunyi-bunyian seperti kentongan dan bedug.

Melalui saluran media-media tersebut biasanya terjadi “penyampaian pesan”


berupa pewarisan nilai budaya dan nasihat dari para leluhur kepada
generasi berikutnya atau para orang tua kepada kaum muda.

Media modern adalah alat komunikasi berteknologi, seperti telefon, internet,


radio, televisi, koran, dan sebagainya.

Media Dakwah

Media komunikasi dakwah paling populer adalah majelis taklim, acara


pengajian, dan khotbah Jumat. Di ketiga media itu seorang komunikator
dakwah lazimnya berkomunikasi dakwah secara lisan (ceramah, pidato).

Komunikasi dakwah lisan bisa dikatakan sebagai komunikasi dakwah


pertama dan berusia paling tua. Para nabi dan utusan Allah menggunakan
komunikasi lisan ketika menyampaikan dakwahnya.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 40


Karenanya, wajar jika aktivitas dakwah yang paling populer pun adalah
komunikasi lisan, berupa ceramah/pidato seperti di majelis taklim atau
pengajian. Da’i atau juru dakwah sebagai komunikator dakwah pun identik
dengan orang yang mahir berbicara di depan umum (public speaking)
tentang masalah keislaman.

Konsep dan strategi komunikasi lisan juga sudah menjadi ”ilmu” tersendiri
yang disebut retorika, yakni “seni atau keterampilan berbicara” untuk
menyampaikan pesan secara efektif. Retorika disebut pula “seni berpidato”,
“keterampilan berbicara di depan umum” (public speaking), bahkan “seni
bersilat lidah”. Ungkapan “itu hanya retorika” dipahami sebagai “kata-kata
tak bermakna” –biasanya untuk berkelit, beralibi, dan menutupi sebuah
realitas.

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, komunikasi dakwah juga


memanfaatkan media modern seperti telefon dan internet (website, email,
skype, facebook, twitter). Sebagaimana komunikasi pada umumnya,
komunikasi dakwah melaui media modern atau media komunikasi
berteknologi tinggi memiliki keunggulan utama soal efisiensi dan efektivitas
penyebaran pesan.

Media modern dapat menghematan biaya, tenaga, pemikiran, dan waktu.


Melalui SMS, email, blog, website, mailing list, atau status facebook/twitter
misalnya, seorang bisa melaksanakan kewajiban dakwahnya hanya dengan
mengutip terjemahan ayat Al-Quran, hadits, nasihat ulama, atau merangkai
kata mutiara Islami.

Seseorang yang “tidak berani” ceramah layaknya da’i, melalui media modern
bisa pula berperan layaknya penceramah dengan menyebarkan pesan-
poesan dakwah dan sampai kepada orang banyak, bahkan audiensnya bisa
lebih banyak dari jamaah sebuah pengajian.

Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni (2001) seperti dikutip Enjang AS dalam


Panduan Juru Dakwah (KPI UIN Bandung, 2008) mengistilahkan media
dakwah sebagai washilah.

Ia menyebutkan sejumlah washilah dakwah, di antaranya media yang


bersifat fitrah (wasail fitriyah), seperti ceramah monolog, mengajar, ceramah
umum, dan khotbah; media yang bersifat ilmiah (wasail fanniah), seperti
washilah yadawiyah (karya tulis), washilah bashariah (karya lukis), dan
washilah sam’iyah (kreasi suara) berupa pengeras suara, kaset, telepon dan
lain-lain

Lainnya adalah washilah samiyah-bashariyah (media audio-visual), seperti


radio, televisi, film, dan lain-lain dan washilah al-Mutanawiyah seperti
teater, drama, dan lain-lain.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 41


Disebutkan pula media yang berifat praktis (tabiqiyah), seperti
memakmurkan masjid, mendirikan organisasi, mendirikan sekolah, rumah
sakit, menyelenggarakan seminar, dan mendirikan sistem pemerintahan
Islam.

Pandangan lain dikemukakan Muhammad Said Mubarak yang menyebutkan


dua berbentuk washilah dalam dakwah. Pertama, maknawiyah, yaitu usaha
keras mencari materi yang baik serta waktu dan tempat yang tepat guna
kegiatan dakwah. Kedua, madiyah, yaitu berupa, masjid, aula, pusat dakwah
Islam, pengeras suara dan berbagai peralatan modern lainnya.

Media Massa

Media massa (mass media) adalah saluran, sarana, atau alat yang digunakan
dalam proses komunikasi massa (mass communication), yakni komunikasi
yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication).
Komunikasi massa biasa dimaknai sebagai “berkomunikasi melalui media”
(communicate with media).

Secara umum, media massa dipahami sebagai “media yang menjangkau


sejumlah besar publik melalui radio, telebisi, film, majalah, suratkabar, dan
wesbsite”. (Mass media are those media reaching large numbers of the
public via radio, television, movies, magazines, newspapers and the World
Wide Web).

Media massa paling populer adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan
film sebagai “The Big Five of Mass Media” (Lima Besar Media Massa) sebelum
kehadiran media internet atau media online (cybermedia).

Secara garis besar media massa dibagi tiga kelompok:

Pertama, kelompok media cetak (printed media), yakni media yang dicetak
dalam lembaran kertas. Dari segi format dan ukuran kertas, media cetak
meliputi koran/suratkabar, tabloid, majalah, buku, “surat berita” (newsletter),
buletin, dan buku.

Kedua, media elektronik (electronic media), yakni media yang


menyebarluaskan informasi melalui suara (audio), gambar (visual) , atau
suara dan gambar (audio-visual) dengan menggunakan teknologi elektro,
yakni radio, televisi, dan film/video.

Ketiga, media online (online media, cybermedia), yakni media yang dapat
kita temukan di internet, seperti website, email, skype, termasuk situs
jejaring sosial seperti facebook dan twitter, serta radio dan televisi online.

Isi media massa lazimnya adalah karya jurnalistik berupa berita, opini, dan
feature. Berita adalah laporan peristiwa. Opini adalah tulisan berisi

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 42


pendapat atau analisis tentang suatu peristiwa atau masalah. Feature
merupakan paduan berita dan opini dengan gaya bahasa sastra dan
mengedepankan aspek hiburan.

Media cetak berisikan tulisan tercetak. Komunikator dakwah menyampaikan


pesan melalui tulisan, seperti berita, artikel, dan feature (naskah jurnalistik).
Media elektronik adalah media audio-visual, media dengar-pandang,
didengarkan dan dilihat. Komunikator dakwah menyampaikan pesannya
secara lisan sebagaimana penyiar radio dan presenter televisi.

Bahkan, media komunikasi dakwah dapat berupa gabungan ketiga jenis


media di atas yang dikenal dengan “multimedia” (multimedia
communication) –pesan dakwah disampaikan dalam bentuk tulisan, suara
(audio), gambar/video (visual) sekaligus.

Komunikasi dakwah melaui media massa membutuhkan ilmu atau keahlian


komunikasi massa (mass communication skill), meliputi keahlian menulis
(writing skill) untuk media cetak dan online, teknik siaran di radio
(announcing skill), dan teknik siaran di televisi (presenting skill). Ketiga jenis
keterampilan komunikasi itu akan dibahas pada bab tersendiri.

Media massa memudahkan proses komunikasi dakwah terutama dalam hal


akselerasi pengiriman pesan, perluasan jangkauan pesan, dan pengulangan
pesan.

Melalui email, facebook, twitter, atau wesbite (blog), seorang komunikator


dakwah dapat kapan saja dan di mana saja secara langsung menyampaikan
pesan dakwahnya secara cepat. Puluhan hingga jutaan orang pembaca,
pendengar, pemirsa, user/visitor, facebooker, dan follower twitternya dapat
menjadi penerima pesan dakwah secara serentak dan serempak.

Karakteristik

Secara umum, keunggulan dakwah melalui media massa terangkum dalam


karakteristik dan keunggulan komunikasi massa dan media massa.

Per definisi, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada


sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media
cetak atau elektronik (communication with mass media) sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

Karakteristik komunikasi massa adalah komunikator melembaga


(institutionalized communicator), komunikator tidak individual tetapi secara
tim (collective communicator) sesuai dengan kebijakan lembaga media;
pesannya bersifat umum sehingga bisa diterima publik yang heterogen;
menimbulkan keserempakan (simultaneous) dan keserentakan
(instantaneos) penerimaan oleh massa; komunikan atau penerimanya

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 43


bersifat heterogen; dan berlangsung satu arah (one way traffic
communication).

Karakteristik tersebut berimplikasi pada komunikator dakwah di media


massa. Misalnya, ia tidak bisa ”bebas” memilih tema dan gaya, tapi harus
mengacu kepada kebijakan, ketentuan, dan prosedur yang berlaku sesuai
dengan visi-misi pemilik media.

Sebagai ”komunikator melembaga”, seorang da’i di sebuah radio atau televisi


tidak semata-mata tampil sebagai pribadi, tapi juga merepresentasikan visi-
misi pemilik atau jajaran manajemen media tersebut. Pesan dakwah juga
harus bersifat umum karena objek dakwah memikiki ragam latar belakang
usia, pendidikan, profesi, dan kepentingan.

Sebuah media bisa dikatakan media massa jika memenuhi karakteristik


sebagai berikut:

1. Publisitas, yakni disebarluaskan kepada publik, khalayak, atau orang


banyak.

2. Universalitas, pesannya bersifat umum, tentang segala aspek


kehidupan dan semua peristiwa di berbagai tempat, juga menyangkut
kepentingan umum karena sasaran dan pendengarnya orang banyak
(masyarakat umum).

3. Periodisitas, tetap atau berkala, misalnya harian atau mingguan, atau


siaran sekian jam per hari.

4. Kontinuitas, berkesinambungan atau terus-menerus sesuai dengan


priode mengudara atau jadwal terbit.

5. Aktualitas, berisi hal-hal baru, seperti informasi atau laporan


peristiwa terbaru, tips baru, dan sebagainya. Aktualitas juga berarti
kecepatan penyampaian informasi kepada publik.

Dari sisi fungsi, media massa memiliki fungsi yang sejalan dengan fungsi
komunikasi massa sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut:

Harold D. Laswell: informasi (to inform), mendidik (to educate), dan


menghibur (to entertain).

Wright: pengawasan (Surveillance) – terhadap ragam peristiwa yang


dijalankan melalui proses peliputan dan pemberitaan dengan berbagai
dampaknya –tahu, panik, terancam, gelisah, apatis, dsb.; menghubungkan
(correlation) – mobilisasi massa untuk berpikir dan bersikap atas suatu
peristiwa atau masalah; transmisi kultural (cultural transmission) –
pewarisan budaya, sosialisasi; dan hiburan (entertainment).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 44


De Vito: menghibur, meyakinkan, menginformasikan, menganugerahkan
status – menunjukkan kepentingan orang-orang tertentu, membius – massa
bisa menerima apa saja yang disajikan media; dan menciptakan rasa
kebersatuan –proses identifikasi.

Tidak semua komunikator dakwah mampu memanfaatkan media massa


sebagai sarana dakwah. Kualifikasi pemanfaatan media massa sebagai
sarana komunikasi dakwah, antara lain ketersediaan dan akses terhadap
media itu sendiri (availability) dan kemampuan dalam menggunakan atau
mengisinya (credibility).*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 45


Bagian 7

Efek: Perubahan

Komunikasi dakwah dikatakan berhasil jika pesan dakwah tersampaikan dan


diterima dengan baik sehingga komunikan (objek dakwah) berpikir dan
berperilaku seperti dimaksudkan komunikator.

Komunikasi dakwah dikatakan berdampak jika fungsi komunikasinya


terlaksana dengan baik, yakni tersampaikannya informasi ajaran Islam (to
inform), mendidik objek dakwah dengan nilai-nilai Islam (to educate), serta
mendorong keimanan, pengamalan, dan kesiapan membela ajaran Islam (to
influence).

Dampak komunikasi dakwah dalam perspektif komunikasi terkait dengan


sikap komunikan yang dipengaruhi yang terdiri dari tiga komponen:

1. Kogintif (pengetahuan). Mad’u harus sampai pada tingkat tahu dan


paham tentang pesan dakwah yang disampaikan.

2. Afektif (kesukaan). Tidak sekadar tahu dan paham, mad’u juga


menyukai pesan dakwah yang diketahi atau diterimanya.

3. Konatif (perilaku). Setelah tahu dan suka, mad’u mengamalkannya.

Banyak faktor yang menentukan berdampak-tidaknya sebuah komunikasi


dakwah, antara lain kredibilitas sumber (credibility), dalam hal ini kredibilitas
da’i yang dipengaruhi sejumlah faktor seperti pengetahuan atau
pemahaman tentang agama, latar belakang pendidikan, dan perilaku
(akhlak) serta rasionalitas dan ketepatan pesan dakwah yang disampaikan.

Secara umum, dampak komunikasi dakwah adalah terjadinya perubahan


dari tidak beriman menjadi mukmin, non-Muslim menjadi Muslim,
pengingkaran menjadi kepatuhan, kemaksiatan menjadi kebaikan,
kemunkaran jadi kebaikan, pelaku maksiat menjadi rajin beribadah,
ringkasnya dari kehidupan tidak Islami menjadi Islami.

Dampak tersebut terkait dengan tujuan dakwah. Para ulama merumuskan


tujuan dakwah secara berbeda-beda, namun intinya sama, yakni
terwujudnya individu, kelompok, atau masyakarat yang menjadikan Islam
sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya, sebagaimana ayat
”serulah manusia ke jalan Tuhanmu” (QS. An-Nahl:125).

Salah satu konsep tujuan dakwah dikemukakan oleh M. Natsir sebagaimana


disebutkan dalam buku M. Nastir, Dakwah dan Pemikirannya (1998), yaitu:

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 46


1. Memanggil kita agar menjadikan syariat Islam sebagai rujukan dalam
mengatasi berbagai masalah hidup, baik persoalan hidup perorangan
atau persoalan berumah tangga, berjamaah- bermasyarakat,
berbangsa-bersuku bangsa, bernegara,berantarnegara. Selain itu,
memanggil manusia agar menjalanini hidup sebagai hamba Allah
SWT.
2. Memanggil kita kepada fungsi hidup sebagai hamba Allah yakni
sebagai syuhada’ala an-nas (saksi atas manusia), menjadi pelopor
(kebaikan), dan pengawas bagi umat manusia.
3. Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni
menyembah Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat Pencipta

Rumusan-rumusan tersebut dipertegas M. Natsir dalam bukunya Fiqhud


Da’wah (1989) yang menyebutkan intisari risalah Rasulullah SAW yaitu
petunjuk bagaimana manusia menjaga nilai dan martabat kemanusiaanya
itu agar jangan sampai turun dan agar bakat dan potensinya dapat
berkembang dan kualitasnya mencapai tingkat yang lebih tinggi.

Sebagai rujukan dampak dakwah adalah terciptanya masyarakat Islami


sebagai keberhasilan dakwah Nabi Muhammad Saw. Dalam catatan sejarah
Islam, masyarakat Islami itu terwujud di kota Madinah --Darul Islam pertama
di muka bumi saat itu-- yang kemudian berkembang ke wilayah-wilayah
sekitarnya.

Karakter masyarakat Islami pada masa Nabi Saw ini, antara lain dilukiskan
dalam al-Quran, yaitu keras/tegas terhadap orang kafir, kasih-mengasihi
sesama Muslim, dan taat beribadah mengharap ridha Allah; selalu bertobat,
beribadah, menegakkan amar ma'ruf nahyi munkar dan memelihara hukum-
hukum Allah; beriman dan sebagian menjadi penolong bagi sebagian yang
lain (QS. Al-Fath:29, At-Taubah:71, 112).

Munawir Sjadzali dalam Islam dan Tata Negara (1990) ”merekam”


eksistensinya masyarakat Islami di Madinah itu tercipta berkat fondasi kuat
yang dibangun Nabi Saw.

Batu-batu dasarnya diletakkan oleh Piagam Madinah (Dustur Madinah)


sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk:

1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi


merupakan satu komunitas.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara
anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain,
didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik; (b) saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) membela mereka
yang teraniaya; (d) saling menasihati; dan (e) menghormati kebebasan
beragama

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 47


Piagam Madinah, yang banyak dianggap oleh pakar politik sebagai
"konstitusi negara Islam yang pertama" ini, selain menjadi bukti otentik
sejarah bahwa Islam agama perdamaian dan penuh toleransi, juga
merupakan teladan Nabi Saw bagaimana umat Islam harus menata
kehidupan masyarakat atau melakoni hidup bermasyarakat.

Piagam Madinah mengandung prinsip sosial Islam antara lain:

Pertama, semua makhluk manusia adalah sama (asas persamaan, Q.S.


49:13). Sama-sama sebagai makhluk dan hamba Allah. Perbedaan ras, suku,
dan kebangsaan hanyalah sebagai pertanda dan identitas internasional.

Kedua, semua manusia adalah satu ukhuwah atau saudara (asas


persaudaraan, Q.S. 49:10). Prinsip ini berimplikasi terjadinya toleransi, saling
hormat, tolong-menolong, bekerjasama, dan menghindari sikap
bermusuhan.

Ketiga, keadilan sosial dan kejujuran harus ditegakkan (asas keadilan, Q.S.
5:8).

Dengan Piagam Madinah, Nabi Saw berupaya membangun tata kehidupan


masyarakat Islam, yaitu tata masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.

Sifat-sifat umum dari suatu kehidupan masyarakat Islam, menurut Abul A'la
al-Maududi, antara lain:

a. persahabatan dan permusuhan seseorang haruslah untuk keridhaan


Tuhan semata;

b. bekerjasama dalam kebaikan dan takwa dan tidak bekerjasama dalam


perbuatan dosa dan permusuhan;

c. umat Islam, sebagai khairu ummah, melaksanakan amar makruf nahyi


munkar;

d. seluruh anggota masyarakat hidup sebagai saudara satu sama lain; tidak
saling berpikiran jahat, saling cemburu, saling benci, dan saling tantang
tanpa perlu;

e. tidak ada orang yang membantu sebuah perbuatan aniaya;

f. satu sama lain saling mencintai bagaikan mencintai diri sendiri.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 48


Bagian 8

Komunikasi Efektif

Komunikasi efektif adalah komunikasi yang berhasil mencapai tujuan,


mengesankan, dan mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change)
pada komunikan.

Secara etimologis, kata efektif (effective) sering diartikan dengan mencapai


hasil yang diinginkan (producing desired result), dan menyenangkan (having
a pleasing effect).

Sedikitnya ada lima sasaran pokok dalam proses komunikasi. Jika kelima hal
ini tercapai, sebuah komunikasi dapat dikatakan efektif.

1. Membuat pendengar mendengarkan apa yang kita katakan (atau


melihat apa yang kita tunjukkan kepada mereka).
2. Membuat pendengar memahami apa yang mereka dengar atau lihat.
3. Membuat pendengar menyetujui apa yang telah mereka dengar (atau
tidak menyetujui apa yang kita katakan, tetapi dengan pemahaman
yang benar).
4. Membuat pendengar mengambil tindakan yang sesuai dengan
maksud kita dan maksud kita bisa mereka terima.
5. Memperoleh umpan balik dari pendengar.

Prijosaksono dkk. dalam buku Make Yourself A Leader (2000) menyebutkan


lima indikator atau Lima Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable
Laes of Effective Communication) yang diringkas menjadi REACH:

1. Respect – rasa hormat; menghargai komunikan/objek.


2. Empathy -- menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang
dihadapi oleh orang lain.
3. Audible -- dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik.
4. Clarity -- kejelasan pesan, tidak menimbulkan multiinterpretasi.
5. Humble -- rendah hati, mau menghargai, mendengar, menerima
kritik, tidak sombong.

Aspek komunikasi efektif juga meliputi lima hal:

1. Kejelasan (Clarity) --pesan yang disampaikan.


2. Ketepatan (Accuracy) --kebenaran informasi.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 49


3. Konteks (Context) –gaya bicara dan pesan disampaikan dalam situas
yang tepat.
4. Alur (Flow) –urutan pesan atau sistematika penyampaian.
5. Budaya (Culture) –sesuai dengan bahasa, gaya bicara, dan norma-
etika yang berlaku.

Secara tekniks, untuk mencapai komunikasi efektif, secara verbal komunikasi


“memainkan” teknik vokal:

1. Speed/tempo --kecepatan bicara; variatif, jangan terlalu cepat jangan


pula terlalu lambat.
2. Volume --tinggi-rendah nada bicara, disesuaikan dengan karakter dan
jumlah audiens.
3. Aksentuasi –penekanan (stressing) pada kata-kata tertentu.
4. Artikulasi –kejelasan kata demi kata yang diucapkan.
5. Projection --memproyeksikan (mengarahkan) suara sampai ke bagian
paling belakang ruangan tanpa harus berteriak.
6. Pronounciation (Pelafalan) –pelafalan kata demi kata secara jelas dan
benar.
7. Repetition (pengulangan) --untuk mengulangi kata-kata penting
dengan irama yang berbeda.
8. Hindari gumaman (Intruding Sound) terlalu sering.
9. Ringkas, namun jelas. Jangan bertele-tele.

Secara non-verbal komunikasi dapat dibangun dengan gesture atau gerakan


tubuh, cara berpakaian sesuaikan dengan acara atau suasana, dan raut
wajah.

Hasil survei Mechribian & Ferris menunjukkan, dalam komunikasi verbal,


keberhasilan menyampaikan informasi:

 55% ditentukan oleh bahasa tubuh (body language), postur, isyarat,


dan dan kontak mata.
 38 % ditentukan oleh nada suara.
 7 % saja ditentukan oleh kata-kata.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 50


Sejumlah faktor menentukan komunikasi efektif, antara lain:

1. Kepercayaan komunikan terhadap komunikator.


2. Kejelasan pesan yang disampaikan.
3. Keterampilan komunikasi komunikator .
4. Daya tarik pesan.
5. Kesesuaian isi pesan dengan kebutuhan komunikan.
6. Kemampuan komunikan dalam menafsirkan pesan (decoding).
7. Setting komunikasi kondusif atau nyaman dan menyenangkan.

Strategi komunikasi efektif antara lain:

1. Menguasai pesan/materi.
2. Mengenali karakter komunikan/audiens.
3. Kontak Mata (Eye Contact)
4. Ekspresi Wajah.
5. Postur/Gerak Tubuh
6. Busana yang sesuai dengan suasana.*

http://www.on-spot-communication.co.za

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 51


Bagian 9

Keterampilan Komunikasi: Public Speaking

Komunikator dakwah lisan (verbal) -- ceramah atau pidato-- harus


membekali diri dengan keterampilan berbicara di depan umum (public
speaking), termasuk berbicara di radio dan televisi.

Public Speaking (PS) secara harfiyah artinya berbicara di depan umum,


utamanya ceramah atau pidato. Secara ”teori”, PS meliputi persiapan,
penyampaian, dan penutup.

Persiapan: Mental, Fisik, dan Materi

Persiapan adalah salah satu kuncu sukses PS. Tanpa persiapan, sebuah PS
tidak akan berlangsung maksimal dengan dampak minimal, bahkan mungkin
gagal. Persiapan meliputi persiapan mental, fisik, dan materi pembicaraan.

Persiapan mental di antaranya:

1. Menguasai materi atau tema pembicaraan (know your material).


Penguasaan atau pemahaman materi menentukan rasa percara diri
pembicara. Tidak ada alasan untuk tidak percaya diri kalau pembicara
menguasai materi.

2. Mengenali dan memahami karakter audiens (know your adience)


sehingga gaya bicara dan bahasa yang digunakan sesuai dengan
”kadar intelektualitas” dan budaya mereka.

3. Kenali pula apa harapan dan kebutuhan audiens sehingga tema yang
dibicarakan sesuai dengan kondisi psikologis dan intelektual mereka.

4. Rileks! Jika pembivara merasa gugup (nervous), misalnya karana


penampilan pertama atau kurang percaya diri, dengan menarik nafas
panjang/dalam; menggerakan badan; berdiri tegak layaknya tentara
berbaris dengan bahu dan dada yang tegap, lalu tersenyumlah!

Persiapan fisik di antaranya:

1. Pastikan kondisi badan dan suara fit, segar, dan normal. Kondisi fisik
akan berpengaruh pada daya pikir dan konsentrasi selama berbicara.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 52


2. Kenakan pakaian yang serasi dengan susana acara.

3. Jangan memakan keju, mentega, atau minum susu, soda, teh, kopi,
sekurang-kurangnya sejam sebelum tampil. Semua jenis minuman itu
akan berpengaruh pada kondisi mulut dan tenggorokan yang harus
”bebas gangguan” –seperti lendir atau dahak—selama berbicara.

4. Lakukan relaksasi, misalnya dengan menabat tangan sendiri agar


darah mengalir. Hal itu juga akan membuat gerakan tangan
pembicara lebih alami saat berbicara.

5. Jaga agar mulut dan tenggorokan tetap basah. Siapkan selalu air
mineral. Jangan ragu meminumnya saat tenggorokan terasa kering.

Persiapan materi di antaranya:

1. Membaca literatur dan mencari sumber data sebanyak mungkin


terkait tema pembicaraan. Makin banyak pengetahuan dan wawasan,
pembicara pun akan kian percaya diri.

2. Susun pointer, outline, atau poin-poin yang akan disampaikan. Hal itu
agar pembicaraan berlangsung sistematis dan fokus.

Ada empat pilihan dalam penguasaan materi:

1. Membaca naskah (Reading from complete text)

2. Menggunakan catatan (Using notes) berupa garis besar materi


(outline) –ini cara terbaik.

3. Menggunakan hapalan (memory) –pilihan terburuk karena


komunikasi dengan audience berkurang, terutama soal kontak mata.

4. Menggunakan alat bantu visual sebagai catatan (Using Visual Aids as


Notes), seperti layar infocus.

Teknik Penyampaian

Pada tataran teknis, Public Speaking terdiri dari pembukaan, penyampaian


pesan, dan penutupan.

Pembukaan (introduction) merupakan bagian paling penting dalam sebuah


pidato. Setiap pembicara pastinya ingin berhasil menarik perhatian hadirin
sejak awal.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 53


Pada tahap pembukaan, perhatikan hal-hal berikut:

1. Start Low and Slow. Awali pembicaraan dengan nada rendah dan
pelan.

2. Don’t apologize. Pembicara tidak boleh mengemukakan kekurangan


diri, misalnya menyatakan ketidaksiapan atau tidak menguasai
masalah. Hal itu akan membuat hilang kredibilitas di mata audiens.

Teknik membuka atau mengawali pembicaraan antara lain, setelah


basmalah dan salam dalam konteks komunikasi dakwah (ceramah agama),
antara lain:

1. Langsung menyebut pokok persoalan yang akan dibicarakan;

2. Mengajukan pertanyaan provokatif, yakni pertanyaan yang tidak


membutuhkan jawaban audiens. Misalnya, pernahkah kita berpikir
bahwa kita akan masuk neraka? Apakah shalat kita selama ini sah dan
diterima Allah SWT?

3. Menyatakan kutipan —ayat Al-Quran, Hadits, kisah, teori, ungkapan,


peristiwa, atau pepatah.

4. Memulai dengan kisah dramatis atau mengandung ”human touch”


(menyentuh emosi), misalnya yang menyedihkan atau mengharukan.

5. Memulai dengan cerita lucu (tell a joke).

6. Mengemukakan kisah ringkas (tell a story) yang nyata terjadi ataupun


fiktif.

Pada tahap penyampaian (message delivery), dalam PS ada beberapa teknik


yang dapat digunakan, antara lain:

1. Deduktif – gagasan utama ke perincian; “teori” ke empiris. Misalnya,


mengemukakan ayat Quran lalu dikaitkan dengan realitas sehari-hari
di masyarakat.

2. Induktif – kasus ke kesimpulan; empiris ke “teori”. Kebalikan dari


deduktif, yakni menyampaiakn kasus/realitas dulu, lalu dikaitkan
dengan sebuah ayat atau hadits.

3. Kronologis – Urutan peristiwa. Misalnya, memaparkan sebuah proses


ibadah, menuturkan kisah, atau langkah-langkah menjadi orang yang
baik dalam perspektif Islam.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 54


Hal-hal yang harus diperhatikan selama penyampaian antara lain:

1. Audible –bisa didengar semua hadirin. Bicaralah agak keras agar


cukup terdengar.

2. Clarity — kejelasan. Ucapkan setiap kata dengan jelas agar tidak


muncul salah paham atau salah persepsi.

3. Menggunakan “kata berona” (colorfull word), kata-kata indah, puitis,


yang melukiskan sikap, perasaan, atau keadaan. Misalnya, kata
“terisak-isak” lebih berona daripada kata “menangis”; kata “matanya
berbinar-binar” lebih indah ketimbang “bergembira”.

4. Gunakan Kalimat aktif (action words) karena ia lebih dinamis dari


kalimat pasif. Misalnya, “Allah SWT akan membalas semua kebaikan”,
bukan “Semua kebaikan akan dibalas oleh Allah SWT.”

Penutup Pembicaraan

Pembicara yang buruk adalah pembicara yang tidak tahu bagaimana


mengakhiri pembicaraan. Akibatnya, ia terus berbicara, berulang-ulang, dan
menjadikan pidatonya berlangsung lama.

Oleh karena itu, seornag pembicara yang baik akan langsung menutup
pembicaraanya jika materi pembicaraan sudah disampaikan atau waktu
sudah habis, misalnya dengan:

1. Mengucapkan terima kasih.

2. Mohon maaf jika ada hal yang tidak berkenan di hati audiens.

3. Mengucapkan salam.

Teknik penutup sebuah pembicaraan antara lain:

1. Menyimpulkan seluruh materi pembicaraan.

2. Menyatakan kembali pesan utama dengan kalimat yang berbeda agar


menarik.

3. Mendorong audience untuk bertindak (Appeal for Action), yakni


mengajak hadirin melakukan sesuatu.

4. Mengemukakan kutipan sajak, ayat, pribahasa, atau ucapan ahli, dan


memuji audiens yang antusias dan kritis mendengarkan pembicaraa.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 55


Elemen Public Speaking

Seorang pembicara harus memperhatikan unsur-unsur public


speaking yang meliputi teknik vokal, eye contact, gesture, dan humor agar
pembicaraannya menarik dan efektif.

Teknik Vokal

Teknik vokal antara lain menyangkut:

1. Intonasi (intonation) –nada suara, irama bicara, atau alunan nada


dalam melafalkan kata-kata.

2. Aksentuasi (accentuation) atau logat, dialek. Lakukan stressing pada


kata-kata tertentu yang dianggap penting.

3. Kecepatan (speed). Jangan bicara terlalu cepat.

4. Artikulasi (articulation), yaitu kejelasan pengucapan kata-kata;


pelafalan kata (pronounciation).

5. Infleksi (inflection) – lagu kalimat, perubahan nada suara; hindari


pengucapan yang sama bagi setiap kata. Infleksi naik (go up)
menunjukkan adanya lanjutan, menurun (go down) tunjukkan akhir
kalimat.

Kontak Mata

Eye Contact (kontak mata) berfungsi membangun hubungan dengan audiens


(making a connection) sekaligus memantau keadaan/sikap mereka saat
pembicaraan berlangsung. Kontak mata juga “membangun kepercayaan”
antara pembicara dengan pendengar.

Kontak mata dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Pandanglah hadirin secara keseluruhan. Hadirin tidak akan


memperhatikan pembicara yang tidak memperhatikan mereka.

2. Pandangan mata jangan tertuju pada satu sudut atau sekelompok


pendengar. Putarlah pandangan sehingga semua pendengar
merasakan bahwa mereka tengah diajak bicara.

3. Jika hadirin tampak tidak bisa mendengar suara kita, keraskan suara
atau minta volume microfon ditambah.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 56


4. Jika kita lihat mereka tampak jenuh, gunakan humor atau tingkatkan
vokal secara variatif.

5. Jika kita lihat mereka bingung, ulangi dan/atau rephrase apa yang
haru saja kita katakan.

Gesture

Gesture adalah gerakan anggota tubuh guna turut memberikan penekanan


pada kata atau kalimat tertentu. Gesture minimal sekaligus paling penting
adalah senyum (smile).

Gerakan tubuh meliputi ekspresi wajah, gerakan tangan, lengan, bahu, mulut
atau bibir, gerakan hidung, kepala, badan, kaki.

Setiap gerakan mengandung tiga bagian:

1. Pendekatan (The Approach) – Tubuh siap untuk bergerak;

2. Gerakan (The Stroke) – gerakan tubuh itu sendiri;

3. Kembali (The Return) – kembali ke posisi semula atau keadaan


normal.

Teknik gesture antara lain:

1. Alami, spontan, wajar, tidak dibuat-buat.

2. Penuh, tidak sepotong-sepotong, tidak ragu.

3. Sesuai dengan kata-kata.

4. Gunakan untuk penekanan pada poin penting,

5. Tidak berlebihan. Less is more!

6. Variatif, jangan monoton. Misalnya terus-menerus mengepalkan jari


tangan di atas.

7. Jangan melakukan gerakan yang tidak bermakna atau tidak


mendukung pembicaraan seperti: memegang kerah baju,
mempermainkan mike, meremas-remas jari, dan menggaruk-garuk
kepala.

8. Makin besar jumlah hadirin, kian besar dan lambat gerakan tubuh
yang kita lakukan. Jika kita berbicara di depan hadirin dalam jumlah

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 57


kecil, atau di videoconferencing, atau di televisi, lakukan gerakan
tubuh alakadarnya (smaller gestures).

Humor

Humor adalah bumbu dalam public speaking dan selalu berhasil membuat
sebuah pembicaraan menjadi menarik. Namun, sebagaimana bumbu yang
berlebihan membuat makanan malah jadi tidak enak, humor pun harus
proporsional, tidak berlebihan, dan “timing”-nya pas.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam humor antara lain:

1. Gunakan humor selama alami, secukupnya, dan jangan malah


menjadikan diri pembicara seorang pelawak (Don’t try to be a stand
up comedian!).

2. Hentikan pembicaraan sejenak, jeda (pause), sekadar memberikan


kesempatan kepada hadirin untuk tertawa.

Teknik humor antara lain:

1. Exaggeration –melebihkan sesuatu secara tidak proporsional.


Misalnya, ungkapan “hujan lokal” bagi pembicara yang
“menyemburkan” air liur.

2. Parodi –meniru gaya suatu karya serius (lagu, pepatah, puisi) dengan
penambahan agar lucu, misalnya mengubah lirik lagu dengan kata-
kata baru bernada humor;

3. Teknik belokan mendadak –membawa audiens untuk meyakini bawa


kita akan berbicara normal, namun tiba-tiba kita mengatakan
sebaliknya atau tidak disangka-sangka pada akhir pembicaraan.
Contoh: Saya mencintai seorang wanita, namun kami tidak bisa
menikah karena keluarganya merasa keberatan. Saya tidak bisa apa-
apa, karena keluarganya yang tidak setuju itu adalah suami dan anak-
anaknya!; TV (baca: tivi) yang dibuat di Bandung dan bermerk “Parisj
van Java” yaitu tipikir-pikir tidak ada.

Kunci Sukses Public Speaking: Ringkas dan Fokus!

Para ahli komunikasi dan pakar public speaking bersepakat, kunci sukses
utama pembicara adalah ringkas dan fokus.

Pada akhir musim semi tahun 2005, trainer public speaking, Elliot Essman,
menulis buku You Have A Voice: Key Rules For Public Speaking Success.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 58


Pengalamannya selama 25 tahun ia saring dan disarikan dalam “Tiga Aturan
Dasar Public Speaking ala Elliot” (Elliot’s Three Basic Rules of Public
Speaking).

Berikut ini Aturan Dasar Public Speaking tersebut sebagaimana


dipublikasikan situs buildingyourself.com:

1. Less is more. Bicaralah singkat saja. Jangan berusaha menyampaikan


banyak hal dalam pembicaran Anda.
2. Some things work and some things don’t. Beberapa hal berjalan
baik dan beberapa hal tidak. Anda hanya dapat pelajari apa yang
mampu memikat hadirin. Pilih tema atau materi yang ”pas” buat
hadirin.
3. You only have one enemy. Audiens hanya tahu apa yang Anda
katakan kepada mereka. Mereka tidak bisa melihat ke dalam otak
Anda. Kebiasaan Anda mengkritik diri sendiri membuat Anda
sendirilah yang menjadi musuh utama Anda.
4. Kejelasan. Kejelasan (Clarity) adalah tugas nomor satu seorang
pembicara (job number one for a speaker). Untuk mencapai kejelasan,
hal utama dilakukan adalah bicara singkat, tidak berlama-lama atau
berpanjang lebar.
5. Focus. Fokuslah pada apa yang hendak atau harus disampaikan.
Jangan bernafsu menyampaikan ”semua hal” dalam satu kesempatan
berbicara. Berbicara membutuhkan fokus. Pemburu yang mengejar
dua kelinci, biasanya gagal menangkap satu pun. Pembicara yang baik
fokus pada poin-poin penting, mengulangi poin penting, dan
menggunakan materi yang relevan untuk mendukung poin-poin
penting.
6. Ringkas. Pembicaraan pendek lebih disukai dan efektif ketimbang
pembicaraan panjang yang cenderung melenceng, meluas, dan tidak
fokus. Pembicaraan panjang cenderung membingungkan audiens.
Terlalu banyak yang harus mereka serap.
7. Materi. Siapkan dan pilih tema atau materi yang menarik dan
dibutuhkan audiens. ”Raba”-lah kebutuhan informasi mereka atau
yang mereka ingin dengar dari pembicaraan Anda. Anda harus
memilih dan memilah materi apa yang penting, tidak penting, juga
yang tidak Anda kuasai. Anda juga harus mengedit sendiri dan
menyusun isi pembicaraan Anda.
8. Audiens. Hadirin itu teman Anda. Anda hanya memiliki satu musuh,
yakni Anda sendirilah musuh itu. Sekutu atau kawan terbesar Anda
sebagai pembicara adalah audiens Anda. Mereka adalah pasukan
Anda, teman Anda, bukan musuh Anda. Mereka ingin Anda berhasil!

Posisi Tangan

Saat public speaking, di mana kita “menyimpan” kedua tangan? Jika tangan
kanan memegang mike, tangan kiri memegang kertas “contekan” materi
pidato, kita aman.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 59


Demikian juga jika kita berbicara di atas mimbar/podium, tangan kita bisa
diletakkan di atas atau di sampingnya untuk permulaan. Namun, jika tangan
kita “nganggur”, bagaimana kita memosisikan atau menempatkannya?

Para pakar dan trainer public speaking mengingatkan kita untuk


menghindari posisi tangan yang “tidak efektif”, “tidak perlu”, bahkan “sia-sia”,
seperti:

1. Hands in the pockets. Memasukkan tangan ke saku celana.Crossed


arms. Menyilangkan tangan/lengan.
2. Hands on the hips. Bertolak pinggang.
3. The arm clutch. Menggengam lengan/bersedekap.
4. The fig leaf. Menggenggam/memegang telapak tangan di depan area
selangkangan.
5. Parade Rest. Menggengam tangan dan meletakkannya di belakang
badan (posisi “istirahat di tempat”).

Lalu, di mana dong posisi tangan saat tidak digerakkan? Arms at your side!
Posisikan kedua tangan di samping tubuh.

Jangan lupa, selalu hindari gerakan tubuh/tangan yang tidak bermakna,


seperti:

1. Memegang kerah baju

2. Mempermainkan mike

3. Meremas-remas jari

4. Menggaruk-garuk kepala

5. Memegang daun telinga

6. Menggigit jari tangan

7. Mempermainkan benda kecil di tangan.

Public Speaking di Radio

Berbicara di ruang siaran radio membutuhkan skill tersendiri. Kita tidak bisa
melihat pendengar, demikian pula sebaliknya.

“Pendengarmu tak tahu wajahmu… Pendengarmu tak tahu rumahmu…


Suaramu pengenalmu,” demikian kata Bimbo dalam syair lagu “Balada
Seorang Penyiar”.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 60


Itulah sebabnya, radio disebut “Theatre of Mind”. Kita dan pendengar hanya
bisa saling membayangkan sosok masing-masing.

Pembicara di radio, utamanya penyiar (announcer), memang unik: berbicara


kepada audience yang tidak terlihat (invisible audience); tidak berbicara
kepada siapa pun –yakni tidak ada lawan bicara secara fisik hadir di depan
mata, namun pada saat yang sama ia berbicara kepada setiap orang,
mungkin ribuan pendengar.

Oleh karena itu, berbicara di radio atau ketika siaran, lakukanlah dan miliki
hal-hal berikut:

1. Visualize!

Mau tidak mau, visualisasi (membayangkan pendengar) harus dilakukan


ketika siaran. Kita harus mementuk “mental image” tentang pendengar.
Caranya: “Bayangkan, kita sedang berbicara, ngobrol, dengan seorang
pendengar yang sedang duduk di depan kita!

2. Gaya Ngobrol.

Radio bukan podium. Radio pun sifatnya personal. Pendengar adalah orang
per orang, bahkan harus dibayangkan hanya sendiri. Membayangkan adanya
seorang pendengar di depan kita, akan membantu kita berkomunikasi
secara alamiah, gaya ngobrol (conversational way)”. “Bicara kepada satu
orang” adalah prinsip dasar siaran radio atau berbicara di radio.

3. Smile!

“Senyumlah! Meskipun kita tidak bisa melihat orangnya (yang jadi teman
bicara)”. Kehangatan pembicaraan dapat dibangun dengan senyum. Senyim
ketika berbicara (siaran) di radio, senilai dengan kontak mata (eye contact).

Karena karakter khasnya yang personal, maka seorang komunikator dakwah


(da’i, penceramah) di radio sebaiknya menggunakan pola ”komunikasi
antarpribadi” (personal communication) berupa dialog dengan penyiar atau
pendengar, bukan gaya ceramah di podium.

Karena keterbatasan waktu (durasi), sebaiknya seorang penceramah di radio


juga:

1. Menentukan tema dan fokus pada tema tersebut, kecuali saat dialog
interaktif yang bisa membuka ruang bagi pendengar untuk bertanya
apa saja.
2. Membaca salam dan ”iftitah” (hamdalah dan shalawat) yang ringkas.
3. Menyapa penyiar pendamping dan pendengar.
4. Dapat membawa kitab, buku-buku, atau referensi yang sekiranya
diperlukan untuk mengantisipasi masalah yang ditanyakan penyiar

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 61


atau pendengar. Jangan ragu dan malu karena pendengar tidak
mengetahuinya.
5. Gunakan kata-kata atau kalimat ringkas, jelas, dan lugas karena
pembicaraan akan bergantian dengan penyiaran iklan, jingle, dan
mungkin juga lagu sebagai selingan. (Radio identik dengan musik).
6. Jika menggunakan naskah atau siaran bergaya “baca naskah” (script
reading), susunlah naskah tersebut dengan menggunakan bahasa
tutur dan kata-kata yang biasa diucapkan sehari-hari (spoken words),
yakni misalnya % = persen, Rp = rupiah, 16.00 = jam empat sore. Hal
itu agar penyampaian terdengar tidak seperti sedang membaca
naskah (spoken reading).
7. Kondisi fisik harus fit karena mempengaruhi konsentrasi dan kualitas
suara. Pembicara di radio harus ”audible” atau enak didengarkan.

Public Speaking di Televisi

Teknik dan gaya berbicara (ceramah) di televisi hampir sama dengan di


radio. Yang membedakannya antara lain:

1. Di televisi sosok pembicara tampak di layar kaca, terlihat oleh


pemirsa, sesuai dengan karakter televisi sebagai “media pandang-
dengar” (audio-visual).

2. Harus tampak “good looking” (enak dipandang). Karenanya, gunakan


busana yang bagus (wardrobe) dan tata rias (biasanya dipersiapkan
oleh pihak televisi).

3. Gunakan small getures, yakni gerakan tubuh sekecil dan sesedikit


mungkin karena keterbatasan “blocking” kamera dan fokusnya.

4. Di televisi pembicara harus “berbicara” kepada kamera karena lewat


kamera itulah ia ”menatap” dan berkomunikasi dengan penonton di
rumah.

5. Materi ceramah harus benar-benar dikuasai karena jika ”membawa


contekan” (naskah) akan menurunkan kredibilitas.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 62


Bagian 10

Public Speaking: Khotbah Jumat

Jamaah Shalat Jumat seringkali dibuat “jengkel” oleh khotbah yang lama,
panjang-lebar lagi tak fokus. Akibatnya, alih-alih menerima “wasiat takwa”
dan pesan Islam yang disampaikan khotib, jamaah malah “menggerutu” di
lubuk hati terdalamnya”, bahkan sebagian “oknum” jamah itu malah lelap
tertidur –minimal diserang kantuk-- saat khotbah berlangsung.

Tidak sedikit khotib Jumat memang suka berlama-lama menyampaikan


khotbahnya. Kita sering mendengar jamaah yang “bergunjing” selepas sholat
atau sekadar “bisik-bisik” kepada temannya soal lamanya khotbah tersebut.

Dalam perspektif komunukasi dakwah, para “oknum” khotib itu kemungklin


lupa atau khilaf setidaknya akan dua hal:

1. Pesan Rasulullah Saw: Khotbah Jumat Ringkas Saja!

Rasulullah Saw memerintahkan para khotib untuk menyampaikan khotbah


secara singkat dan memperlama sholat.

Dari Abul Yaqdlan ‘Ammar bin Yasir r.a. berkata: “Saya mendengar
Rasulullah Saw bersabda:

”Sesungguhnya lamanya shalat seseorang dan singkatnya khotbah itu adalah


membuktikan mahirnya agama seseorang, oleh karena itu perpanjanglah
shalat dan persingkatlah khotbah” (HR. Muslim).

“Nabi Saw tidak memanjangkan nasihatnya pada hari Jumat. Beliau hanya
memberikan amanah-amanah yang singkat dan ringkas” (HR. Abu Dawud).

Khotbah yang berpanjang-panjang, apalagi datar, monoton, dan tidak


memberi pencerahan, membuat jamaah bosan dan mengantuk. Pesan
dakwah yang disampaikan pun tidak bisa dicernah dengan baik, bahkan bisa
jadi “lewat” begitu saja di telinga jamaah Jumat.

2. Teknik Public Speaking: Be Brief!

Sama dengan pesan Rasulullah Saw, dalam perspektif komunikasi,


khususnya teknik public speaking, pembicaraan panjang –apalagi monoton
dan tidak fokus, sangat tidak efektif, sulit dipahami, dan tidak disukai
audiens.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 63


Akibatnya, komunikasi pun bisa gagal; pesan tidak sampai kepada khalayak.
Jadinya, khotbah berlama-lama bisa mubazir, percuma, karena jamaah tidak
menyerap materi yang disampaikan.

Para ahli public speaking mengingatkan, “One of the worst mistakes you can
make as a public speaker is talking too long.” Kesalahan terburuk public
speaker (pembicara) adalah berbicara terlalu lama.

“Be Brief in Public Speaking,” ujar Stephen D. Boyd, Ph.D. “Berabad lalu,
pembicara hebat sering berbicara dua jam atau lebih. Tapi kini audiens lebih
suka pembicaraan singkat, to the point, dan mudah dimengerti. Karenanya,
berbicaralah dalam kalimat pendek, frase pendek, dan kata-kata pendek
pula.”

Pembicaraan pendek, juga tulisan pendek, lebih disukai dan lebih mudah
dipahami, ketimbang pembicaraan dan tulisan panjang yang bertele-tele.

Seorang pembicara, penceramah, termasuk khotib, memang sering


“terlena”, lupa waktu, dan memperpanjang pembicarannya karena merasa
belum menyampaikan semuanya.

Salah satu ”penyakit” pembicara adalah ingin menyampaikan banyak hal,


bahkan semua hal, dalam satu tema pembicaraan. Akibatnya, pembicaraan
menjadi lama dan panjang-lebar, bahkan mungkin juga ”ngelantur” (tidak
fokus). Karenanya, khotib atau pembicara dituntut mampu fokus dan
mengendalikan diri (self-control).

Khotib Jumat memang tidak bisa diprotes. Selama khotib menyampaikan


khotbah, jamaah tidak boleh interupsi atau berbicara. Meskipun berbicara
dengan tujuan agar orang lain diam, sabda Nabi SaW dalam haditsnya, bisa
lagha, ibadah Jumat menjadi sia-sia.

”Apabila engkau berkata kepada temanmu di hari Jum‘at, ‘Diamlah’, padahal


imam sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia
(laghâ). (HR Bukhari)

“Siapa mengatakan, ‘Diamlah,’ berarti ia telah berbicara, dan siapa yang


berbicara maka sesungguhnya tidak ada shalat Jum‘at baginya.” (HR Ahmad).

Apakah itu artinya khotib menjadi ”untouchable”? Benar, jamaah tidak bisa
protes kecuali –lazim terjadi di banyak masjid—“oknum” jamaah tiba-tiba
mengatakan “Aaminnn...!” jika khotib dirasa terlalu lama menyampaikan
khotbah. Khotib memiliki kekuasaan ”absolut” di atas mimbar Jumat.

Lamanya khotbah hanyalah satu dari tiga keluhan utama jamaah Jumat.
Keluhan lainnya adalah soal:

1. Tema –tidak menarik, tidak aktual, dan tidak fokus.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 64


2. Gaya bicara –monoton, datar, ”terlalu lembut”.

Teknik-teknik Public Speaking –sebagaimana dibahas pada Bagian 9 buku ini-


- memberi resep kepada khotib tentang teknik komunikasi efektif, misalnya
konsep ”Brevity, Clarity, and Impact” (Ringkas, Jelas, dan Berdampak), juga
tentang persiapan tema, fokus, dan ”atraktif” dalam penyampaian pesan.

Dalam hal teknik vokal, sebagai salah satu elemen Public Speaking, kita
mengenal intonasi (nada bicara), aksentuasi (penekanan pada kata-kata
tertentu yang dianggap penting), speed, artikulasi (kejelasan pelafalan kata
atau pronounciation), dan infleksi –lagu kalimat. Selain itu, ada elemen Eye
Contact (sapuan pandangan ke seluruh audience), dan Gesture (gerakan
tubuh).

Gaya Khotbah Jumat Nabi Muhammad Saw

Teknik public speaking dalam khotbah Jumat sudah dicontohkan Rasulullah


Saw, baik dari segi tema, durasi, maupun gaya.

Di berbagai literatur kita bisa menemukan adab atau tata cara khotbah
Jumat Rasulullah Saw dan nasihat para ulama sebagai berikut.

1. Lantang, Suara ”Keras”.

Dalam aspek kelejasan (clarity), khotib disunahkan mengeraskan suaranya


atau bersuara lantang saat khotbah agar jelas terdengar oleh jamaah.

“Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Kebiasaan Rasulullah Saw jika
berkhotbah, kedua matanya memerah, suaranya lantang, bagaikan
seseorang yang sedang marah. Seolah-olah beliau komandan pasukan yang
memperingatkan tentara dengan mengatakan “Musuh akan menyerang
kamu pada waktu pagi”, “Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore”
(HR. Muslim).

2. Ringkas, Tidak Lama.

Para khotib disunahkan memendekkan khotbahnya atau tidak berlama-


lama, berpanjang-panjang, apalagi bertele-tele yang menyebabkan bahasan
(tema, materi khotbah) melebar ke mana-mana alias tidak fokus.

Rasulullah Saw bahkan ”menyindir” khotib yang berlama-lama dalam


khotbah sebagai orang yang ”tidak paham agama”.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 65


Diriwayatkan dari Amar bin Yasir r.a., dia mendengar Rasulullah SAW
bersabda:

“Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khotbah seseorang, adalah


pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat
dan pendekkanlah khotbah!” (HR. Ahmad dan Muslim).

“Nabi Saw tidak memanjangkan nasihatnya pada hari Jumat. Beliau hanya
memberikan amanah-amanah yang singkat dan ringkas” (HR. Abu Dawud).

“Sesungguhnya Nabi Saw tidak pernah memanjangkan khotbahnya pada hari


Jumat. Sesungguhnya khotbah itu hanya berisikan kalimat-kalimat yang
pendek.” (HR Abu Daud dari Jabir)

Imam Abu Hanifah berkata:

”Sepantasnya seorang imam berkhotbah dengan khotbah yang sebentar


(ringkas). Imam membuka khotbahnya dengan hamdallah, memuji-Nya
berulang-ulang, membaca syahadat, bershalawat atas Nabi Saw, memberi
nasihat, mengingatkan, membaca surat (Al-Qur’an). Lalu duduk dengan
duduk sebentar, lalu bangkit, lalu berkhotbah lagi: membaca hamdallah,
memuji-Nya berulang-ulang, bershalawat atas Nabi Saw, dan mendo’akan
mukminin dan mukminat.”

Imam Syafi’i berkata: ”Aku menyukai imam berkhotbah dengan (membaca)


hamdallah, shalawat atas Rasul-Nya, nasihat, bacaan (ayat Al-Qur’an), dan
tidak lebih dari itu.” (Al-Umm).

Tema Khotbah: Masalah Aktual

Inti pesan dakwah dalam khotbah Jumat adalah nasihat atau wasiat takwa,
yakni mengajak jamaah untuk bertakwa kepada Allah SWT. Itu pula yang
dilakukan Rasulullah Saw.

“Rasulullah Saw biasa berkhotbah dengan berdiri dan duduk di antara dua
khotbah, membaca beberapa ayat, dan memberi nasihat kepada jamaah”
(HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi).

Dari segi tema, materi khotbah sebaiknya masalah aktual dan/atau masalah
Islam dan kaum Muslimin kekinian. Arahnya tetap, khotib memberikan
nasihat menyikapi masalah tersebut secara Islami sebagai manifestasi
ketakwaan.

Dengan kata lain, aktualitas merupakan daya tarik utama jamaah.


Karenanya, khotib hendaknya mengaitkan materi khotbahnya dengan
realitas atau masalah aktual di kalangan kaum Muslimin, tidak dengan tema

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 66


yang ”itu-itu saja” yang dapat membuat jamaah jenuh, mengantuk, atau
bahkan tertidur.

Ulama Yordania kelahiran Palestina, Syaikh Masyhur Hasan Salman, berkata:

”Sebagian orang yang mulia telah berkata: khotbah yang paling tepat adalah
yang sesuai dengan zaman, tempat, dan keadaan. Ketika ‘Idul Fithri, khothib
menjelaskan hukum-hukum zakat fithrah. Di daerah yang penduduknya
berselisih, menjelaskan persatuan. Atau orang-orang malas menuntut ilmu,
khothib mendorong mereka menuntut ilmu.

Orang tua-orang tua membiarkan pendidikan anak-anak, khothib


mendorong mereka untuk itu, dan lain-lain yang sesuai dengan keadaan
orang banyak, selaras dengan pendapat (kebutuhan) mereka, dan sesuai
tabi’at mereka.

Seseorang hendaklah berkhotbah sesuai dengan tempat dan keadaannya,


memperhatikan keadaan manusia, memperhatikan perbuatan mereka, dan
kejadian-kejadian setiap pekan (isu aktual). Lalu, ketika naik mimbar,
melarang mereka dari (kemungkaran) dan mengingatkan mereka terhadap
kejadian-kejadian itu. Semoga mereka mendapatkan petunjuk kepada jalan
yang lurus.”

Kondisi Jamaah

Khotbah Jumat merupakan kesempatan amat baik untuk memberikan


nasihat kepada jamaah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt.
Pasalnya, ibadah Jumat biasanya dihadiri oleh jamaah dalam jumlah yang
banyak, bahkan banyak masjid yang tidak mampu menampung jamaah.

Dari segi latar belakang, jamaah Jumat di sebuah masjid –terutama masjid di
kota-kota besar- umumnya heterogen. Mereka berasal dari berbagai
kalangan, tua-muda, kaya-miskin, berpendidikan tinggi ataupun rendah,
berpangkat ataupun orang biasa, dan seterusnya.

Selain itu, jamaah berada keadaan suci secara jasmani (berwudhu) dan rohani (niat
beribadah shalat Jumat). Kondisi demikian idealnya membuat pesan dakwah dalam
khotbah Jumat dapat masuk atau diterima dengan baik (efektif).

Dengan demikian, khotib Jumat sebagai komunikator dakwah dapat menyampaikan


pesan dakwah dengan sebaik-baiknya, selain memenuhi rukun kotbah, seperti
mengucapkan salam, hamdalah, syahadatain, shalawat atas Nabi Saw,
menyampaikan wasiat takwa, membaca ayat-ayat Al-Quran dan berdoa.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 67


Bagian 11

Keterampilan Komunikasi: Menulis

Dibandingkan komunikasi lisan (speaking), komunikasi dakwah melalui


tulisan (writing) masih minim. Banyak ulama, penceramah, atau da’i lebih
”asyik” dengan dakwah lisannya. Padahal, kata Ali bin Abi Thalib, tulisan
adalah tamannya para ulama. Rasulullah Saw juga mengingatkan umatnya:
”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.

Dampak tulisan lebih kuat dari lisan. Daya tahan dakwah tulisan juga lebih
kuat dari dakwah lisan. Demikian pula dari segi audiens (jamaah). Objek
dakwah tulisan lebih banyak ketimbang dakwah lisan di mimbar pengajian
atau majelis-majelis taklim.

Dakwah tulisan juga lebih luas dari sisi geografis. Sebuah tulisan bisa
menjangkau luar pulau dan negara alias ”go international”.

Sebuah tulisan atau karya tulis dapat berpengaruh sangat luas dan membuat
penulisnya sangat populer. Salman Rushdie begitu mendunia namanya
karena tulisannya, buku Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan), yang dianggap
melecehkan Islam. Pemerintah Iran bahkan memvonis hukuman mati
baginya.

Tulisan atau goresan pena seorang penulis dapat menjadi pelopor suatu
pemikiran, keyakinan, ide, cita-cita, bahkan revolusi (KHM Isa Anshary,
1984:33-41). Revolusi Prancis bergerak di bawah cahaya pikiran dan cetusan
pandangan yang dirintis J.J. Rousseau dan Montesquieu. Revolusi Amerika
dibimbing “Declaration of Independent” (Fatwa Kemerdekaan) yang hingga
kini dijadikan pedoman besar bangsa Amerika.

Revolusi Rusia dan perjuangan kaum Komunis di seluruh dunia sampai kini
dipimpin oleh Manifesto Kumunis (Communistish Manifest) karya Kalr Marx
dan Engels. Nazi Jerman bergerak di bawah petunjuk buku Mein Kamf karya
Adolf Hitler. Revolusi Tiongkok berpedoman pada San Min Chu I karangan
Sun Yat Sen.

Revolusi Indonesia didahului pemikiran-pemikiran revolusioner tertulis dari


Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir, Syahrir, dan Tan Malaka. Kebangkitan
dunia Islam, gerakan reformasi dan modernisasi dalam dunia Islam,
terutama bersumber pada buah pena atau tulisan Ibnu Taimiyah,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Syaikh Rasyid Ridha, Amir Syakib
Arsalan, dan Abdurrahman Al-Kawakiby. Pembinaan negara Islam Pakistan
didahului buku-buku Mohammad Iqbal.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 68


Tulisan atau pena seorang penulis cukup berbicara satu kali, melekat terus
dalam hati dan menjadi buah tutur setiap hari. Para jududa’wah pelu lebih
memperhatikan kepentingan tulisan di berbagai media da’wah, menjadikan
media massa sebagai alat perjuangan da’wah.

Keterampilan Menulis: Mengatasi Hambatan

Untuk melakukan komunikasi dakwah secara tulisan (da’wah bil kitabah)


atau dakwah dengan pena (da’wah bil qolam), seorang da’i harus memiliki
keterampilan menulis (writing skill).

Langkah awal untuk menuju terampil menulis adalah mengatasi ”hambatan


menulis”, yakni kondisi yang menyebabkan seseorang tidak (bisa) menulis.
Dalam bahasa Inggris, hambatan menulis disebut Writer”s Block, Obstacle to
Writing, dan Writing Anxiety.

”Malas” dan ”tidak menguasai topik” biasanya berada di urutan teratas daftar
hambatan menulis. Tidak sempat (kendala waktu), bingung memulai, takut
jelek, dan ”suka tidak fokus” adalah hambatan menulis lainnya.

Hambatan ”malas” dapat diatasi dengan memotivasi diri atau ”dipaksa”.


Motivasi diri bisa dengan mengingat dan “menikmati” risiko menulis, seperti
”populeritas”, ada ”berkah” honor tulisan atau royalti, sehat (karena menulis
itu menyehatkan jiwa-raga), dan “self branding” atau “self promotion”
(meningkatkan citra diri).

Hambatan lain adalah ”tidak punya ide”. Itu persepsi yang salah karena ide
ada di mana-mana. Jika tidak tahu harus menulis apa, solusinya antara lain
dengan ”Iqra’”, membaca, yakni dengan menermati peristiwa aktual,
mengkritisinya, menanggapinya, dan tuliskan opini kita tentang peristiwa
atau isu tersebut.

Soal waktu, semua orang memiliki waktu 24 jam per hari. Jadi, masalahnya
hanya soal ”manajemen waktu”, yakni meluangkannya untuk menulis. Orang
yang termotivasi untuk menulis akan meluangkan waktu untuk menulis,
sesempit apa pun waktu yang teralokasikan itu.

Tidak menguasai topik adalah hambatan berikutnya. Kiranya, itu bukan lagi
hambatan karena ada begitu banyak literatur, buku-buku, bahkan ”data
online” di internet tinggal sekali klik.

Susah memulai adalah hambatan lainnya. Salah satu teknik mengatasinya


adalah simpan tema secara tertulis (tidak disimpan dalam ingatan), lalu
menuliskan judul sementara, membuat outline atau garis besar tulisan, dan
melakukan ”nulis bebas” (Free Writing).

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 69


Free Writing adalah menyusun naskah awal atau naskah kasar (composing
rough/first draft). Tekniknya, menuliskan saja apa yang ada di pikiran, yang
ingin disampaikan, dan mengabaikan dulu akurasi ejaan, kata, kalimat, dan
data. Yang penting, tuliskan! Setelah itu, tulis ulang, revisi, dan edit –perbaiki
kata, ejaan, kalimat, dan sistematika tulisan berdasarkan outline yang sudah
disusun sebelumnya.

“Bingung dari mana mulainya” juga termasuk hambatan menulis. Banyak


penulis pemula mengalaminya. Salah satu solusinya, awali tulisan itu dengan
menuliskan kata yang menjadi tema atau objek kajian. Misalnya, tema
tentang “Bandung Kota Agamis” bisa diawali dengan “Bandung adalah
kota….” atau ”Kota Agamis adalah....”.

Tulisan tentang keislaman lebih mudah lagi, yaitu awali dengan ta’rif
(definisi), kutipan ayat Quran atau hadits, dilanjutkan dengan ”penafsiran”
atau komentar penulis tentang definisi atau ayat/hadits tadi.

Hambatan lain, ”takut tulisan jelek”. Tidak ada tulisan jelek selama ide dan isi
tulisannya orisinil hasil pemikiran penulis. Tulisan jelek hanyalah hasil
plagiarisme (plagiat, mencontek karya tulis orang lain).

Jika menulis untuk dimuat di suratkabar, jangan khawatir, di media massa


selalu ada editor yang bertugas menyeleksi dan memperbaiki (mengedit)
naskah sebelum dimuat. Jadi, urusan bagus-tidaknya sebuah tulisan
sebenarnya bukan urusan penulis, tapi itu urusan editor yang tugas
utamanya menyeleksi dan memperbagus tulisan.

Jenis Tulisan

Secara umum, tulisan dibagi ke dalam dua bagian, yakni tulisan fiksi dan
nonfiksi.

Tulisan fiksi yaitu tulisan berbasis khayalan atau imajinasi, bukan fakta atau
data nyata. Umumnya tulisan ini merupakan karya sastra, seperti cerita
pendek, novel, puisi, dan drama.

Tulisan nonfiksi yaitu tulisan yang berbasis fakta dan data, seperti berita,
artikel, feature, essay, dan resensi. Tulisan nonfiksi disebut pula ”karya
jurnalistik” atau naskah jurnalistik yang biasa dimuat di media massa.

Naskah jurnalistik sendiri dibagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu berita
(news) –laporan peristiwa aktual, opini atau pandangan (views) –tulisan
berisi pendapat penulis tentang suatu masalah atau peristiwa, dan karangan
khas (feature) –paduan berita, opini, dengan tema ”ringan” dan menghibur,
serta menggunakan gaya bahasa sastra.

Jenis tulisan yang paling populer adalah artikel dan kolom.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 70


Artikel adalah tulisan berisi pendapat penulisnya tentang suatu masalah
atau peristiwa. Biasanya, penulis melengkapi tulisan dengan teori atau data
sebagai penguat argumentasi. Dalam artikel keislaman, teori atau data itu
berupa dalil atau nash Quran, hadits, perkataan sahabat, dan ulama.

Kolom adalah tulisan berisi pendapat penulis yang ahli di bidangnya. Kolom
agama diisi oleh ahli agama (ulama, ustadz, da’i).

Panjang-pendek naskah tulisan sifatnya relatif, bergantung pada space


(ruang) yang tersedia di media cetak. Namun, untuk tulisan di status
Facebook dibatasi 240 karakter/huruf dan di Twitter hanya 140 karakter.

Karena keterbatasan ruang itu, maka sangat penting bagi penulis untuk
menguasai ”bahasa jurnalistik” (langguage of mass media), yakni bahasa
yang biasa digunakan wartawan dalam menulis berita di media, berciri khas
singkat, padat, jelas, danlugas berdasarkan prinsip ”hemat kata” (economy of
words).

Namun, sebaiknya tulisan artikel ataupun kolom itu ringkas saja, antara
4.000-5.000 karakter (huruf) atau 700-800 kata. Pasalnya, tulisan pendek
lebih mudah dipahami dan menarik ketimbang tulisan panjang. Jika banyak
hal yang harus dijelaskan, bisa dituliskan secar bersambung atau dibagi
dalam beberapa tulisan.

Tahapan Menulis

Secara ringkas, tahapan menulis itu sebagai berikut:

1. Ide/Tema.

2. Referensi.

3. Outlining.

4. Free writing

5. Editing.

Biasanya sebuah ide, tema, atau topik muncul terinspirasi sebuah peristiwa
atau isu aktual yang berkembang di masyarakat atau yang diekspos media
massa. Tema tulisan juga bisa tentang aktivitas sehari-hari dan merkenalkan
ilmu atau temuan baru.

Setelah ide didapat dan disimpan (dituliskan), sebaiknya tidak langsung


menulis, namun kembangkan dulu dengan pendalaman tema melalui riset,

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 71


observasi, atau membaca referensi (studi literatur). Kumpulkan data, bahan,
sekaligus “mengintip” tulisan yang setema. Jika sudah ada yang menulisnya,
cari angle (sudut pandang) berbeda.

Lanjutkan dengan outlining, membuat outline atau garis besar tulisan,


milsanya untuk poin-poin penting untuk bagian pembuka tulisan,
pembahasan, dan penutup.

Free writing adalah menyusun naskah awal atau naskah kasar (composing
rough/first draft). Pada tahap ini, tuliskan saja apa yang ada di pikiran, yang
ingin disampaikan, dan abaikan dulu akurasi ejaan, kata, kalimat, bahkan
data. Yang penting, tuliskan dulu yang ingin disampaikan!

Setelah itu, memasuk tahap akhir yakni editing sekaligus tulis ulang
(rewriting). Penulis yang baik adalah juga penulis ulang yang baik (a good
writer is also good rewriter), revisi, sesuaikan dengan outline. Edit dan
koreksi kata, ejaan, kalimat, dan sistematika tulisan berdasarkan outline
yang sudah disusun sebelumnya.

Semua penulis, baik pemula maupun profesional, melewati tahapan


tersebut ketika menulis. Mungkin saja tahap 2,3, dan 4 dilewati secara tidak
sadar jika penulis sudah terbiasa sehingga ia menulis ”langsung jadi”.
Bahkan, tahap editing pun dilewatinya karena langsung menyerahkan
kepada editor.

Sistematika

Urutan bahasan masalah dalam sebuah tulisan secara umum bisa


menggunakan salah satu pola berikut ini:

1. Kronologis –satuan waktu –jam, hari, bulan, atau tahun. Biasanya


cerita sebuah peristiwa atau kisah.
2. Proses –tahapan berurutan seperti tutorial atau panduan praktis.
3. Deduksi –umum ke khusus, teori ke empiri, rumus ke penerapan, dalil
ke fakta. Mengemukakan teori/dalil lalu dikaitkan dengan fakta-
empiris atau peristiwa dan isu aktual.
4. Induksi –kebalikan dari deduksi.
5. Reportase –menceritakan peristiwa seperti laporan observasi atau
eksperimen ilmiah.

Prinsip Menulis

Tidak ada teori baku tentang menulis. Teori sekaligus teknik dan panduan
menulis hanya satu, yaitu menulis.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 72


Menulis itu ibarat naik sepeda. Tidak ada teori dan teknik khusus yang bisa
menjadikan seseorang mahir naik sepeda, kecuali latihan dan “kebiasaan”.

Menulis juga ibarat berenang. Sesering apa pun Anda membaca buku-buku
atau menyimak ceramah tentang teknik berenang, Anda tidak akan bisa
menjadi perenang jika tidak “nyebur” langsung di kolam renang dan berlatih.

Banyak sekali ungkapan tentang menulis, misalnya ”writing comes more


easily if you have something to say” (Sholem Asch) –menulis terasa lebih
mudah jika Anda punya sesuatu untuk dikatakan. Menulis itu mudah selama
kita mempunyai pengetahuan, wawasan, atau ilmu yang bisa disebarkan
atau dibagikan kepada pembaca.

Komunikasi adalah tujuan utama menulis. Lewat tulisan itulah seorang


penulis menyampaikan ide, informasi, kesan, atau pesan dakwah.

Kejelasan adalah kunci tulisan yang baik. Untuk mencapainya antara lain
gunakan bahasa sederhana, mudah dimengerti, bahasa orang awam, bukan
bahasa akademis, birokratis, dan teknis yang hanya dipahami kalangan
tertentu.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 73


Bagian 12

Tips Menulis di Media Online

Media online (cybermedia) adalah media atau saluran komunikasi berbasis


telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori
media online adalah portal, website (situs web, termasuk blog), radio online,
TV online, dan email.

Keunggulan media online dibandingkan ”media konvensional”, sebagaimana


dikemukakan Asep Syamsul M. Romli dalam Jurnalistik Online: Penduan
Mengelola Media Online (Nuansa, 2012), antara lain:

1. Kapasitas luas --halaman web bisa menampung naskah sangat


panjang dan banyak.
2. Pemuatan dan editing naskah bisa kapan saja dan di mana saja.
3. Jadwal terbit bisa kapan saja bisa, setiap saat.
4. Cepat, begitu di-upload langsung bisa diakses semua orang.
5. Menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses internet.
6. Aktual, berisi info aktual karena kemudahan dan kecepatan
penyajian.
7. Update, pembaruan informasi terus dan dapat dilakukan kapan
saja.
8. Interaktif, dua arah, dan ”egaliter” dengan adanya fasilitas kolom
komentar, chat room, polling, dsb.
9. Terdokumentasi, informasi tersimpan di ”bank data” (arsip) dan
dapat ditemukan melalui ”link”, ”artikel terkait”, dan fasilitas ”cari”
(search).

10. Terhubung dengan sumber lain (hyperlink) yang berkaitan dengan


informasi tersaji.

Kehadiran media online memunculkan ”generasi baru” jurnalistik, yakni


jurnalisme online (online journalism) –disebut juga cyber journalism.

Per definisi, jurnalisme online merupakan proses penyampaian informasi


dengan menggunakan media internet (website). Kamus bebas Wikipedia
mendefinisikan jurnalisme online sebagai ”pelaporan fakta yang diproduksi
dan disebarkan melalui internet” (reporting of facts produced and
distributed via the Internet).

Karakter jurnalisme online –sebagaimana tergambar dalam karakter media


online— antara lain kecepatan penyajian, real time --langsung dipublikasikan

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 74


pada saat kejadian sedang berlangsung, interaktif, dan diperkaya dengan
link atau tautan kepada informasi terkait.

Keunggulan jurnalisme online secara detail dikemukakan James C. Foust


dalam bukunya, Online Journalism: Principles and Practices of News for The
Web (2005):

1. Audience Control --audiens lebih leluasa dalam memilih berita.


2. Nonlienarity --tiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri atau
tidak berurutan.
3. Storage and retrieval --berita tersimpan dan diakses kembali dengan
mudah.
4. Unlimited Space –memungkinkan jumlah berita jauh lebih lengkap
ketimbang media lainnya.
5. Immediacy --cepat dan langsung.
6. Multimedia Capability –bisa menyertakan teks, suara, gambar, video
dan komponen lainnya di dalam berita.
7. Interactivity --memungkinkan adanya peningkatan partisipasi
pembaca.

Gaya Penulisan

Umumnya orang ingin membaca berita-berita di internet secara cepat.


Selain ”daya tahan mata” di depan layar monitor terbatas, juga kemungkinan
mereka terburu-buru karena mahalnya biaya koneksi (pulsa internet). Oleh
karena itu, gaya bahasa jurnalisme online hendaknya: ringkas, padat, atu to
the point, dan menarik.

Perhatian utama pembaca biasanya pada judul dan lead. Keduanya harus
dibuat semenarik mungkin sehingga ”eye catching” (menarik perhatian dan
minat baca).

Umumnya, lead adalah alinea pertama dari artikel berita tersebut, walau
tidak mesti demikian –bisa dibuat tersendiri misalnya menampilkan isi berita
paling menarik sebagai ”eye cacther”.

Bahkan, ada pendapat, jurnalisme online adalah ”jurnalisme judul” karena


perilaku pembaca yang umumnya ”headline reader” atau ”lead reader” –
perilaku yang juga berlaku bagi pembaca koran.

Body atau tubuh berita biasanya diformat dalam bentuk singkat dan padat
karena informasi terus mengalir dan berubah sewaktu-waktu. Namun,
kelengkapan informasi tetap terjaga karena antara berita yang satu dengan
berita yang lain bisa dikaitkan (linkage) hanya dengan satu klik.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 75


Pendekatan ”Piramida Terbalik” lebih intens digunakan dalam penulisan
berita online, yaitu benar-benar mengedepankan yang paling penting dan
mendesak diketahui pembaca.

Bahasa Jurnalistik (language of mass media) juga kian penting berperan


mengingat karakter bahasa jurnalistik yang lugas, ringkas, sederhana, dan
mudah dipahami.

Para ahli dari Stanford University dan The Poynter Institute pernah
melakukan penelitian tentang perilaku pembaca situs berita. Hasilnya tidak
jauh berbeda dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Jakob Nielsen yang
menyimpulkan: perilaku pembaca media internet (user) adalah seperti
berikut:

1. Pertama kali melihat teks (78%), bukan foto atau grafik. Secara umum,
user pertama kali tertarik pada judul, ringkasan tulisan, atau caption.
2. Tidak membaca kata per kata, tetapi lebih banyak memindai (scan)
(79%, hanya 16% yang membaca kata per kata) tampilan situs,
terutama kata-kata yang di-highlight, jenis huruf berbeda, penyajian
dengan butir-butir (numerik/bullet/numbering).
3. Lebih menyukai judul yang tepat pada sasaran (straightforward)
dibandingkan judul yang lucu atau cantik.
4. Membaca ringkasan atau tulisan pendek karena membaca di layar
monitor komputer 25% lebih lambat dibandingkan membaca media
cetak.
5. Tidak berlama-lama di satu situs. User tidak sabaran, memiliki
wewenang penuh untuk pindah atau tetap di satu situs.
6. Kunjungan selama 10 menit sudah termasuk lama.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pedoman dasar penulisan di


website antara lain:

1. Buatlah judul yang sederhana (simple) dan tepat sasaran


(straightforward).
2. Buat tulisan yang membantu pembaca agar dapat memindai
(scannable), misalnya dengan subjudul, highlight kata-kata penting
dengan warna yang berbeda, cetak tebal, jenis huruf, ukuran huruf,
hypertext/hyperlink.
3. Buatlah tulisan pendek/ringkas. Jumlah kata paling banyak 50% dari
media cetak. Satu alinea idealnya hanya terdiri dari 65 karakter.
4. Jika perlu, uraian panjang dipecah-pecah menjadi beberapa judul,
sambungkan melalui multiple hyperlink.
5. Pembaca tidak suka tulisan panjang dan harus men-scroll jauh ke
bawah.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 76


6. Gunakan tabel atau poin/angka urut ke bawah. Pembaca lebih mudah
dan lebih nyaman membaca uraian berurut ke bawah daripada
membaca alinea yang panjang.
7. Gunakan alinea/paragraf pendek dan jarak antar-alinea.
8. Terapkan prinsip Piramida Terbalik -- yang penting di atas, uraian
selanjutnya.
9. Gunakan bahasa sederhana dan ”informal”.

“T Model” dalam 800 Kata

Menurut Jonathan Dube dalam “A Dozen Online Writing Tips”


(CyberJournalist.net), menulis untuk Web seharusnya merupakan
persilangan antara naskah siaran dan tulisan untuk media cetak –lebih ketat
dan tajam dari media cetak, tetapi lebih rinci dibandingkan naskah siaran.
Tulis dalam kalimat aktif, bukan pasif.

Naskah siaran yang baik menggunakan kalimat-kalimat pendek, lugas,


kalimat sederhana, dan satu gagasan per kalimat, serta menghindari kalimat
panjang.

Menggunakan konsep penulisan demikian dalam menulis secara online,


membuat tulisan lebih mudah dipahami dan lebih mengundang perhatian
pembaca.

Gaya bertutur (conversational styles) juga disenangi pembaca Web. Khalayak


online lebih menerima gaya penulisan yang tidak konvensional.

Pada saat yang sama, jangan lupa bahwa aturan tradisional penulisan juga
berlaku di media online.

Tulisan yang kacau, tidak menarik, berbelit-belit, ceroboh, banyak salah


ketik, tidak akan dimaafkan. Pembaca tidak akan meneruskan bacaannya
dan tidak akan kembali ke Web Anda. Tidak seperti pembaca koran lokal,
pembaca online memiliki banyak pilihan dan dengan mudah pindah ke situs
lain.

Ketika menulis untuk media online, hal sangat mendasar adalah


menyampaikan kepada pembaca secara cepat inti cerita dan mengapa
mereka harus meneruskan bacaan.

Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan struktur cerita “Model T”.
Dalam model ini, teras cerita (story’s lead) –garis horizontal dalam huruf T–
merangkum cerita dan, idealnya, mengatakan mengapa cerita itu penting.

Lead tidak perlu mencantumkan ending atau akhir cerita, tapi hanya
memberikan alasan untuk terus membaca.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 77


Lalu, sisa cerita –garis vertikal dari huruf T– dapat membentuk struktut apa
saja: penulis dapat bercerita secara naratif; menyajikan anekdot dan diikuti
dengan sisa cerita; melompat dari satu ide ke ide yang lain; atau hanya
meneruskan cerita dengan model ”piramida terbalik”.

Kebanyakan cerita online terlalu panjang/lama untuk audiens Web, dan


beberapa pembaca menyelesaikannya.

Menurut Roy Peter Clark, cerita apa pun dapat diceritakan dalam 800 kata —
pedoman yang baik untuk tulisan online.

Tapi jadikan itu sebagai pedoman, bukan aturan. Pembaca akan setia
meneruskan bacaannya, meski tulisannya panjang, jika ada alasan menarik
untuk itu dan jika isi tulisan itu terus memikat perhatian mereka.

Membuat pembaca men-scroll ke bawah sisa tulisan, umumnya lebih disukai


daripada harus meng-klik halaman baru. User berita online melakukan
scroll.

Studi yang dilakukan “The Poynter” menunjukkan, sekitar 75 persen teks


artikel dibaca secara online –jauh lebih besar ketimbang di-print. Lagi pula,
jika naskah itu mereka print dulu baru dibaca, mereka kehilangan
kesempatan untuk proaktif berkomentar atau mengklik link artikel terkait.

Informal dan Interaktif

Informal dan interaktif adalah ciri khas tulisan di website atau media online.
“Penulis online dapat berkomunikasi dengan pembaca mereka dalam bentuk
yang lebih variatif dari tulisan tradisional,” kata Robert Niles dalam
artikelnya, ”How to write for the Web”, di situs The Online Journalism Review
(ojr.org).

”Blog, wiki, dan forum diskusi online merobohkan penghalang antara penulis
dan pembaca, menciptakan lingkungan menulis lebih informal dan
interaktif,” tegasnya.

Tulisan di website, kata Niles lagi, menggunakan kalimat aktif dan bergaya
percakapan (active and conversational style), utamanya di blog dan forum
diskusi online (discussion board).

”Gaya tulisan demikian akan membuat pembaca Anda merasa nyaman


membaca kata-kata Anda,”kata Niles. ”Seperti yang mereka rasakan ketika
berbicara dengan seorang teman dekat.”

Nile memberi resep buat para blogger. Katanya, tuliskan di blog Anda yang
Anda ketahui, termasuk pengalaman. “Bila Anda tidak tahu sesuatu, jangan
takut mengakuinya. “Blogger hebat memandang posting mereka ebagai

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 78


komentar pertama dalam sebuah percakapan, bukan kata akhir sebuah topik
pembicaraan.”

Secara umum, berikut ini resep Niles tentang cara menulis yang baik di
website:

1. Short –ringkas, the shorter the better.


2. Active voice –gunakan kalimat aktif.
3. Strong verbs –pilih kata kerja yang kuat.
4. Contextual hyperlinking –lengkapi dengan tautan informasi terkait;
memungkinkan pembaca memperkaya pengetahuan dan informasi
pendukung.
5. Use formatting –gunakan variasi tampilan huru atau kalimat (), misalnya
dengan menggunakan daftar (list), header tebal, dan kutipan
(blockquotes).
6. Easy to read – mudah dibaca; jangan ada blok teks/alinea yang lebih dari
lima baris. “No block of text more than five lines on the screen.”

Uraian di atas membawa kita pada kesimpulan, tulisan di media online harus
ringkas, padat, dan jelas.

Online Writing Style: Gaya Penulisan Online

Dari sisi tampilan naskah (teks), tulisan di media online hendaknya mudah
dipindai (scannable) dan ramah pengguna (user friendly) dengan
memperhatikan hal-hal berkut ini:

1. Short Paragraph. Gunakan alinea dan kalimat pendek. Maksimal lima


baris per alinea.
2. No Indent. Tidak ada tekuk ke dalam sebagaimana media cetak.
3. White Space. Ada jarak antar-alinea.
4. Align Left. Gunakan rata kiri sebagai standar penulisan di website
menurut World Wide Web Consortium (W3C)
5. Highlights. Jika perlu gunakan heading, subjudul, list, tebal, miring,
kutipan (quoted) pada kata atau kalimat tertentu.*

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 79


Tentang Penulis
Asep Syamsul M. Romli –akrab disapa Kang Romel—
adalah blogger, praktisi dan konsultan media, serta
trainer komunikasi praktis.

Tinggal di Kota Bandung, Jawa Barat, Kang Romel


menekuni dunia komunikasi praktis sebagai
wartawan, penyiar, public speaker, penulis, dan
blogger.

Mendirikan sekaligus mengetuai Balai Jurnalistik ICMI


Jabar (BATIC) sejak 2001, Kang Romel juga menjadi
dosen luar biasa alias “tenaga pengajar honorer” di Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN SGD Bandung sejak 2003, Stikom Bandung (2000-2007), Universitas
Kebangsaan Bandung (2008-2010), dan Universitas Al-Ghifari Bandung (2009-2011).

Pengalaman media -- Wartawan Mingguan Hikmah (Grup Pikiran Rakyat) Bandung


(1993-2000), Sabili (2000), Tabloid MQ (Pemred, 2003), Majalah Kandidat Jakarta
(Managing Editor, 2003-2004), Eramuslim (redaktur ahli/konsultan jurnalistik, 2001-
2006), Tabloid Alhikmah (Pendiri/Pemred, 2006-2008), dan Radio Antassalam
Bandung (Program Director, 2004-2007), Pemimpin Redaksi Majalah Bina Da’wah
DDII Jabar (Pemred 2005-2011), dan penyiar Radio Shinta 97,2 FM Bandung (2008-
sekarang), juga mengelola sejumlah media online.

Buku-buku lain yang sudah ditulisnya antara lain Jurnalistik Praktis untuk Pemula
(Rosdakarya Bandung 1999), Demonologi Islam (Gema Insani Jakarta 2000),
Panduan Menjadi Penulis (Baticpress Bandung 2002), Jurnalistik Dakwah
(Rosdakarya Bandung 2003), Jurnalistik Terapan (Baticpress Bandung 2004),
Broadcast Journalism (Nuansa Bandung 2005), Amerika, Terorisme, dan
Islamophobia (Nuansa Bandung 2005).

Kang Romel juga menulis buku Lincah Menulis Pandai Bicara: Teknik Menulis dan
Public Speaking (Nuansa Bandung 2005), Kiat Memandu Acara: Teknik MC dan
Moderator (Nuansa Bandung 2006), Kembalikan Nasyid pada Khitahnya (Nuansa
Bandung 2007), Broadcast for Teen (Nuansa Bandung 2007), Kamus Jurnalistik
(Simbiosa Bandung 2008), Bahasa Media: Panduan Praktis Bahasa Jurnalistik
(Baticpress Bandung 2009), Dasar-Dasar Siaran Radio: Basic Announcing (Nuansa
Bandung 2009), dan Islamic Broadcasting (KPI UIN SGD Bandung 2009).

 Personal Website: www.romeltea.com & www.romelteamedia.com


 Email: romeltea@yahoo.com
 Twitter: @romeltea

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 80


Daftar Pustaka

Arifin. 1994. Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi. Bumi Aksara, Jakarta.
Amrullah Achmad. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta,
Yogyakarta.
Asep Syamsul M. Romli. 2005. Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan
Kepanulisan, Batic Presss, Bandung.
_________________.2003. Lincah Menulis Pandai Bicara. Nuansa Cendekia, Bandung.
_________________. 2005. Broadcast Journalism: Panduan Menjadi Penyiar, Reporter,
dan Scriptwriter. Nuansa Cendekia, Bandung.
Dan Nimmo, 1982. Komunikasi Politik, Rosdakarya, Bandung.
Daud Rasyid. 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi, Gema Insani Press, Jakarta
Deddy Mulyana. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi, Rosdakarya Bandung.
___________, 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Denis McQuail. 1987. Mass Communication Theory (Teori Komunikasi Massa),
Erlangga, Jakarta.
Endang Saifuddin Anshari. 1987. Kuliah Al-Islam, Pustaka Bandung.
Ensiklopedi Islam. 1993. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Ibrahim Abu Abbah. 1997. Hak dan Batil dalam Pertentangan, Gema Insasi Press,
Jakarta.
Munawir Sjadzali. 1990. Islam dan Tata Negara, UI-Press, Jakarta
Onong Effendy, 1994. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosdakarya.
M. Natsir. 1983. Fiqhud Dakwah: Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, Media
Dakwah, Jakarta.
Rusjdi Hamka & Rafiq (ed.). 1989. Islam dan Era Informasi, Pustaka Panjimas,
Jakarta.
Thahir Luth. 1999. Muhammad Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Gema Insani
Press, Jakarta.
William R. Rivers at.al. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media,
Jakarta.
Yusuf Al-Qaradhawi. 2004. Retorika Islam, Khalifa, Jakarta.

Komunikasi Dakwah – Pendekatan Praktis | ASM. Romli, www.romeltea.com 81

Anda mungkin juga menyukai