Anda di halaman 1dari 80

16 POKOK MANHAJ

MAJELIS TARJIH & TAJDID


MUHAMMADIYAH
Pertemuan I (Pokok I-IV)
Al-Madinah Al-Munawwarah, 14 Nov 2019
PCIM Arab Saudi

Oleh: Nur Fajri Romadhon


SEJAK KAPAN DIRUMUSKAN?
Keenam belas pokok manhaj Majelis Tarjih (dan Tajdid) Muhammadiyah ini
merupakan rumusan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah 1985-1990

Sesuai hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 pada tanggal 7-11 Desember


1985 di Solo

Majelis Tarjih (dan Tajdid) saat itu diketuai Prof. KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A.
(w. 1994) yang di periode selanjutnya menjadi Ketua Umum PP
Muhammadiyah 1990-1995
SEJARAH RUMUSAN MANHAJ TARJIH
1912: Muhammadiyah berdiri, ketarjihan langsung ditangani Hoofdbestuur
1927: Majelis Tarjih sejak kali pertama berdiri tahun 1927 (Hasil Kongres
Muhammadiyah ke-16 tahun 1927 di Pekalongan) dengan ketua pertama KH.
Mas Mansyur (w. 1946)
1940: Masalah ke-21 dari Kitab Masail Syatta [HPT (I/302-303)] tentang
Ushul Fiqh, hasil beberapa Muktamar Khususi Tarjih 1940
1955: Kitab Al-Masail Al-Khams [HPT (I/277-280)], hasil Muktamar Khususi
Majelis Tarjih di Yogyakarta
1986: Rumusan 16 Pokok Manhaj Majelis Tarjih (Amanat Muktamar
Muhammadiyah ke-41 tahun 1985 di Solo)
POKOK-POKOK INI DAPAT DIRUJUK DI:
1. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi
Hlm. 12-14
Prof. Dr. Asjmuni Abdurrahman
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002

2. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah


Hlm. 161-163
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil
Logos Publishing House, Jakarta: 1995
POKOK PERTAMA
Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al
Sunnah al Shohihah.
Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak
terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia.
Dengan perkataan lain, majelis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk
qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung.
POKOK KEDUA

Dalam memutuskan sesuatu keputusan,


dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan
sistem ijtihad jama’i.
Dengan demikian pendapat perorangan
dari anggota majelis, tidak dipandang kuat.
POKOK KETIGA
Tidak mengikatkan diri kepada suatu
madzhab.
Akan tetapi pendapat-pendapat madzhab
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan hukum, sepanjang sesuai dengan
jiwa Al Qur’an dan al–Sunnah, atau dasar-
dasar lain yang dipandang kuat.
POKOK KEEMPAT
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa
hanya majelis Tarjih yang paling benar.
Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang
dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil.
Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat
diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat.
Dengan demikian, majelis Tarjih dimungkinkan mengubah
keputusan yang pernah ditetapkan.
PENJELASAN PER POKOK
POKOK PERTAMA
POKOK PERTAMA
Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al
Sunnah al Shohihah.
Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak
terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia.
Dengan perkataan lain, majelis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk
qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung.
“DI DALAM BERISTIDLAL, DASAR UTAMANYA
ADALAH AL QUR’AN DAN AL SUNNAH AL
SHOHIHAH. …”
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
‫سو َل َوأُو ِلي أاْل َ أم ِر ِم أن ُك أم فَ ِإ أن‬ َّ ‫َّللا َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ َّ ‫ين آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬ َ ‫َياأَيُّ َها الَّ ِذ‬
‫اَّلل َوا أل َي أو ِم‬
ِ َّ ‫ون ِب‬َ ُ‫سو ِل ِإ أن ُك أنت ُ أم ت ُ أؤ ِمن‬ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫ش أي ٍء فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬ َ ‫از أعت ُ أم فِي‬ َ َ‫تَن‬
ً ‫س ُن تَأ أ ِو‬
‫يل‬ َ ‫أاْل ِخ ِر َذ ِل َك َخ أي ٌر َوأ َ أح‬
[QS. An-Nisa: 59]

Mujahid (w. 104 H) menafsirkan:


‫فردّوه إلى كتاب هللا وسنة رسوله‬
[Tafsir Ath-Thabari (VIII/504) cet. Muassasah Ar-Risalah, Beirut: 2000]
AL-QURAN DAN AS-SUNNAH POKOK
KESELAMATAN BERAGAMA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
َ َ ‫ت ِفي ُك أم َما ِإ ِن ا أعت‬
‫ص أمت ُ أم ِب ِه‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ُ ‫اس ِإ ِنّي قَ أد ت َ َر أك‬
‫علَ أي ِه‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫سنَّةَ نَ ِب ِيّ ِه‬
ُ ‫َّللا َو‬
ِ َّ ‫اب‬ َ َ ‫فَلَ أن ت َ ِضلُّوا أَبَ ًدا ِكت‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬
[HR. Al-Hakim no. 318, cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 1990]
DALIL LAIN SEBENARNYA BERSUMBER DARI AL-
QURAN DAN AS-SUNNAH
Al-Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H)
mengatakan:
‫وأما القياس فإنما أخذناه استدالال بالكتاب‬
‫والسنة‬
[Ar-Risalah hlm. 217, cet. Maktabah Al-Halabi, Kairo: 1940]
‫‪DALAM KITAB MASAIL KHAMS DIPUTUSKAN:‬‬
‫"الدين (أي الدين اإلسالمي) الذي جاء به‬
‫محمد صلى هللا عليه وسلم هو ما أنزله هللا‬
‫في القرءان وما جاءت به السنة الصحيحة‬
‫‪"...‬‬
‫])‪[HPT (I/278‬‬
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AS-SUNNAH
ASH-SHAHIHAH?
Muhammadiyah memfatwakan:
“Sunnah Shahihah tidaklah identik dengan Hadits shahih
dalam pengertian ilmu Hadits. Dengan Sunnah Shahihah
dimaksudkan Sunnah Maqbulah (Hadits-hadits yang
dapat diterima) walaupun tidak sampai pada tingkat
shahih. Hadits-hadits yang banyak jalur sanadnya
sehingga saling menguatkan dan karena itu menjadi
Hadits hasan li ghairih.” [Tanya Jawab Agama (IV/9)]
DIPERTEGAS HAL TERSEBUT DENGAN MENGGANTI
ISTILAH “SHAHIHAH”MENJADI “MAQBULAH
“Sumber ajaran Islam
adalah Alquran dan As-
Sunnah Al-Maqbulah.”
[Keputusan Munas Tarjih XXV tahun
2000 di Jakarta hlm. 6]
‫‪HAL INI MERUPAKAN RINCIAN ATAS PUTUSAN‬‬
‫‪KITAB AL-MASAIL AL-KHAMS:‬‬
‫"إن األصل في التشريع اإلسالمي‬
‫على اإلطالق هو القرءان الكريم‬
‫والحديث الشريف"‬
‫])‪[HPT (I/280‬‬
BAGAIMANA DENGAN HADIS DHA’IF?
Muhammadiyah memfatwakan:
“Hadits dha’if tidak dapat dijadikan
hujjah baik dalam masalah hukum,
termasuk ibadah, maupun dalam
masalah menerangkan keutamaan
amal dan akhlak.”
[TJA (IV/9), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2015]
DALAM MASALAH KE-21 KITAB MASAIL SYATTA
POIN KE-7 DIPUTUSKAN:
‫األحاديث الضعيفة بعضد بعضها بعضا ال يحتج بها إال مع كثرة طرقها‬
‫وفيها قرينة تدل على ثبوت أصلها ولم تعارض القرءان والحديث‬
‫الصحيح‬
“Hadits-hadits dla’if yang menguatkan satu sama
lainnya tak dapat dibuat hujjah, kecuali apabila banyak
jalannya, dan terdapat padanya qarinah yang
menunjukkan keterangan asalnya, dan tak bertentangan
dengan Al-Quran dan hadits shahih.” [HPT (I/303)]
DI ANTARA ULAMA YANG BERPENDAPAT
DEMIKIAN:
1. Yahya bin Ma’in (w. 233 H) [lihat: ‘Uyunul Atsar (I/65), karya Ibnu
Sayyidinnas, cet Darul Qalam Beirut: 1993]
2. Al-Bukhari (w. 256 H) [lihat: Qawa’idut Tahdits hlm. 113, karya Al-
Qasimi, cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 2001]
3. Muslim (w. 261 H) [ibid]
4. Ibnu Hazm (w. 456 H) [lihat: Al-Fashl (II/69), cet. Darul Khaniji,
Kairo: 1321 H]
5. Ibnul ‘Arabi (w. 543 H) [Tadribur Rawi (I/351), karya As-Suyuthi, cet.
Maktabah Al-Kautsar, Riyadh: 1415 H]
DI ANTARA ULAMA YANG BERPENDAPAT
DEMIKIAN:
6. Abu Syamah (w. 665 H) [lihat: Al-Ba’its, cet. Darul Huda, Kairo: 1978]
7. Ibnu Daqiqil ‘Id (w. 702 H) [lihat: Ihkamul Ahkam (I/200), cet. Dar ‘Alamul
Kutub, Beirut: 1987]
8. Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) [lihat: Majmu’atul Fatawa (I/251), cet. Majma’Al-
Malik Fahd, Madinah: 1995]
9. Ibnul Mulaqqin (w. 804 H) [lihat: Al-Muqni’ (I/104), cet. Dar Fawaz, Ihsa’:
1413 H]
10. Hasan Al-‘Aththar (w. 1250 H) [lihat: Al-Hasyiyah ‘ala Al-Badr Ath-Thali’
(I/232), cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 1999]
CONTOH PENDALILAN DENGAN HADIS HASAN
Muhammadiyah memfatwakan:

“Memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah


memang dianjurkan dalam agama. Hadits Nabi antara
lain riwayat ibnu Majjah dari Abi Hurairah juga riwayat
Abu Dawud dan Ibnu Majah (menurut penilaian Ibnu
Shalah Hadits itu hasan), menyebutkan bahwa “Semua
perkara yang tidak dimulai dengan Basmallah akan
putus.”
[TJA (IV/30)]
CONTOH MENOLAK HADIS PALSU
“Khubhul Wathan Minal Iman” Bukan Hadits
Tanya: Dalam suatu majalah disebutkan suatu Hadits yang artinya “Bukan dari golongan kami orang yang
berperang semata-mata atas dasar kebangsaan, dan bukan golongan kami yang matinya karena fanatik
kebangsaannya.” (HR. Abu Dawud). Ada hadits lagi yang artinya: “Cinta tanah air itu sebagian dari iman.”
Pertanyaannya, kedua Hadits tadi bertentangan. Bagaimana penjelasannya dan bagaimana pula nilai keduanya?
(Mujibur Rahman, Kalipepe Rt. 02 Rw. 92 Kec. Yosowilangun Kab. Lumajang Jatim).
Jawab: Hadits yang pertama yang anda tanyakan adalah benar riwayat Abu Daud dari Jubair bin Muth’im,
nilainya hasan. Maksud ilmi Hadits tersebut bahwa perang yang dimaksud dengan jihad fi sabilillah adalah perang
yang menegakkan kebenaran, agar kalimat Allah dapat ditegakkan. Jadi orang yang melakukannya haruslah
berniat semata- mata karena Allah memerintahkan untuk menegakkan kebenaran. Itu perang yang dibenarkan
oleh Nabi kita. Selanjutnya kematian yang semata-mata didasarkan karena fanatik kebangsaan padahal bangsa
itu berbuat aniaya atau tidak benar, bukanlah kematian yang dipandang syahid.
Adapun Hadits yang berbunyi: “Hubbul wathan dan seterusnya”, adalah Hadits maudlu’ artinya Hadits palsu, tidak
shahih. Memang dalam pengertian yang baik mempertahankan tanah air karena kebenaran adalah benar. Dalam
Hadits riwayat At Tirmidzy dan lainnya dengan nilai shahih orang mati karena mempertahankan hartanya adalah
termasuk syahid, maksudnya syahid akhirat, yakni mendapat pahala sebagaimana orang yung mati syahid.
Termasuk juga dalam riwayat itu orang yang mati karena mempertahankan tanah air yang akan dirampas
sebagaimana dalam perang kemerdekaan kita di masa yang lampau.
[TJA (IV/24)]
CONTOH PENDALILAN DENGAN HADIS HASAN
LIGHAIRIHI
Takbiraat Zawaaid saat salat ‘Idain
Rasulullah Saw. Bersabda:
ٌ ‫ َو َخ أم‬،‫س أب ٌع ِفي أاْلُولَى‬
‫ َوا أل ِق َرا َءةُ َب أع َدهُ َما ِك ألتَي ِأه َما‬،‫س ِفي أاْل ِخ َر ِة‬ َ ‫ير ِفي ا أل ِف أط ِر‬
ُ ‫الت َّ أك ِب‬
[HR. Abu Dawud no. 1151]

Di dalam sanadnya ada Abdullah bin ‘Abdirrahman Ath-Thaifi


Ibnu Hajar Al-’Asqalani menilainya: “Shaduuqun yukhthi’u wa yahim.” [At-Tadzhib]
Adz-Dzhahabi menilainya dengan menukil: ”Abu Hatim berkata: Laisa biqawiyy.” [At-Tahdzib]
Tetapi hadis ini memiliki 17 thariq yang saling menguatkan.
Muhammadiyah menilainya hasan lighairihi.

Berbeda dengan MTT PWM Jawa Barat yang memutuskan tahun 1973 bahwa takbir saat salat ‘Id sama seperti salat biasa, sekali.
“IJTIHAD DAN ISTINBATH ATAS DASAR ILLAH TERHADAP
HAL-HAL YANG TIDAK TERDAPAT DALAM NASH , DAPAT
DILAKUKAN. SEPANJANG TIDAK MENYANGKUT BIDANG
TA’ABBUDI, DAN MEMANG HAL YANG DIAJARKAN
DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA.
DENGAN PERKATAAN LAIN, MAJELIS TARJIH MENERIMA
IJITIHAD , TERMASUK QIYAS, SEBAGAI CARA DALAM
MENETAPKAN HUKUM YANG TIDAK ADA NASHNYA
SECARA LANGSUNG.”
‫‪PETIKAN POKOK MANHAJ TARJIH DI ATAS‬‬
‫‪MEMPERJELAS PUTUSAN KITAB MASAIL KHAMS‬‬
‫‪BERIKUT BAHWA IBADAH MAHDHAH ADALAH YANG‬‬
‫‪TA’ABBUDI:‬‬
‫ومتى استدعت الظروف عند مواجهة أمور وقعت‪ ،‬ودعت الحاجة إلى‬
‫العمل بها‪ ،‬وليست هي من أمور العبادات المحضة‪ ،‬ولم يرد في حكمها‬
‫نص صريح من القرءان والسنة الصحيحة‪ ،‬فالوصول إلى معرفة حكمها‬
‫عن طريق االجتهاد واالستنباط من النصوص الواردة على أساس تساوي‬
‫العلل كما جرى عليه العمل عند علماء السلف والخلف‬
‫])‪[HPT (I/280‬‬
PARA ULAMA SENDIRI SEDIKIT BERBEDA DALAM
PENGGUNAAN ISTILAH “IBADAH MAHDHAH”
As-Sarakhsi (w. 483) menyatakan:
‫بخلف بناء الرباط والمسجد فالعمل هناك ليس بعبادة محضة بدليل أنه يصح من‬
‫الكافر‬
[Al-Mabsuth (IV/158), cet. Darul Ma’rifah, Beirut: 1993]

Ibnu Rusyd Al-Hafid (w. 595 H) menyatakan:


‫ وإنما يقصد بها القربة فقط‬،‫ غير معقولة المعنى‬:‫عبادة محضة أعني‬
[Bidayatul Mujtahid (I/15), cet. Darul Hadits, Kairo: 2004]
PARA ULAMA SENDIRI SEDIKIT BERBEDA DALAM
PENGGUNAAN ISTILAH “IBADAH MAHDHAH”
An-Nawawi Ad-Dimasyqi (w. 676 H) menyatakan:
‫وأما قول المصنف وْلنه عبادة محضة فاحتراز من العدة والكتابة‬
‫وقضاء الدين ونحوها‬
[Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (VII/355), cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 2011]

Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620 H) menyatakan:


‫ كتجديد الوضوء‬،‫ فافتقر إلى النية‬،‫ويفتقر الغسل إلى النية؛ ْلنه عبادة محضة‬
[Al-Mughni (II/257), cet. Maktabatul Qahirah, Kairo: 1968]
TIDAK DIBERLAKUKAN QIYAS DALAM IBADAH
MAHDHAH YANG TA’ABBUDI
Al-Qarafi (w. 684 H) tegaskan:
‫ومع التعبد ال يصح القياس‬
[Al-Furuq (II/115), cet. Dar ‘Alamil Kutub, Beirut: tanpa tahun]

Beliau juga katakan:


‫كل أمر تعبدي معناه أن فيه معنى لم نعلمه ال أنه ليس فيه معنى‬
[Al-Furuq (II/141)]
‫‪HANYA SAJA, PADA DASARNYA DAN DOMINANNYA,‬‬
‫‪IBADAH MAHDHAH SIFATNYA TA’ABBUDI‬‬

‫‪Asy-Syathibi (w. 790 H) menegaskan:‬‬


‫فقد علمنا من مقصد الشارع التفرقة بين العبادات‬
‫والعادات‪ ،‬وأنه غلب في باب العبادات جهة التعبد‪،‬‬
‫وفي باب العادات جهة االلتفات إلى المعاني‪ ،‬والعكس‬
‫في البابين قليل‬
‫]‪[Al-Muwafaqat (III/138), cet. Dar Ibni ‘Affan, Kairo: 1997‬‬
CONTOH DALAM PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (1):
“Shalat merupakan masalah ta’abbudiah yang secara tegas kita diperintahkan oleh
Nabi saw supaya mengikuti cara-cara yang diajarkan.” [HPT (IV/102)]

“Bid’ah ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai


‘umurut'ta’abbudiy (urusan ibadah) yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa
bid’ah adalah perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurut-tdabbudiy, tidak
ada konotasinya dengan ‘umuru ghairut'ta’abbudiy (bukan urusan ibadah). Semua
‘umurut'ta’abbudiy didasarkan kepada nash-nash yang shahih dan maqbul,
dijelaskan macam-macamnya dan cara-cara mengerjakannya. Seperti ibadah
shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.” [HPT (VI/130), cet. Suara
Muhammadiyah, Jogja: 2015]
CONTOH DALAM PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (2):
Yang dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang mengatakan sesuatu
adalah ‘umurut-ta’abbudiy dan berasal atau berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi
saw, padahal yang sebenarnya Rasulullah tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada
taqrir beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh Rasulullah saw dengan
adzab neraka. [HPT (VI/133)]

“Adapun mengenai ‘umuru ghairut-ta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw tidak pernah
mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.” [HPT
(VI/134)]

Kegiatan ini termasuk ‘umuru ghairut-ta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah
swt, karena itu boleh dilakukan. [HPT (VI/135)]
CONTOH DALAM PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (3):
“Sebetulnya soal tahlilan yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakat kita
itu termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan oleh para ‘ulama. Bagi mereka yang
melaksanakan tahlilan, mereka beranggapan ada tuntunan dari agama, disamakan
dengan doa. Mereka itu berpendapat bahwa dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki
ijtihad.” [HPT (VI/139)]

“Muhammadiyah sesuai dengan manhaj yang dipergunakan dalam menetapkan


sesuatu hukum berpendapat bahwa dalam bidang ta’abbudi (ibadah khusus atau
lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan
ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al- Qur’an atau as-Sunnah Ash-Shahihah (al-
Maqbulah). Menurut kami, doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus/sempit.”
[HPT (VI/140)]
IJTIHAD ATAU DASAR PENDAMPING
1. Ijmak (akan dibahas di Pokok ke-6)
2. Qiyas (akan dibahas kembali di Pokok ke-9)
3. Maslahat Mursalah (akan dibahas di Pokok ke-14)
4. Istihsan
5. Saddu Dzari’ah (akan dibahas di Pokok ke-8)
6. ‘Uruf
7. Fatwa Shahabat (akan dibahas di Pokok ke-15)
[Lihat: Manhaj Tarjih hlm. 12-14, karya Prof. Dr. Syamsul Anwar, makalah dalam
Rapat Kerja Tingkat Pusat MTT Muhammadiyah di Surabaya 2016]
CONTOH PENGGUNAAN ISTIHSAN (1)
Fatwa Muhammadiyah tentang bolehnya
transfusi darah dan bahwasanya ia tidak
menyebabkan hubungan kemahraman
“Keharaman perkawinan karena hubungan keluarga dalam hukum perkawinan islam
didasarkan pada nash yang jelas, demikian pula keharaman karena hubungan susuan
dinyatakan oleh nash baik Al-Quran maupun As Sunnah.
istihsan
Kebolehan melakukan transfusi darah didasarkan pada ijtihad, dengan bentuk
yang sandarannya maslahat yang tidak mengakibatkan perubahan hubungan hukum antara
donor dengan penerima darah transfusi. Sehingga antara A yang kena musibah dengan B
sebagai donornya tidak ada larangan untuk melakukan perkawinan. (…)
Tegasnya, transfusi darah tidak mengakibatkan keharaman perkawinan didasarkan
keharaman karena susuan.” [TJA (I/164), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2015]
CONTOH PENGGUNAAN ISTIHSAN (2)
Fatwa Muhammadiyah tentang wartawan
menyebarluaskan kejelekan orang lain melalui
berita
“Menyebarluaskan kejelekan orang lain memang perbuatan yang dilarang dalam agama Islam. Menurut makna
beberapa riwayat Hadits dapat kita ambil pengertian seseorang yang Muslim hendaknya suka menutup kejelekan
orang lain. (…) Anjuran menutup kejelekan orang lain demikian, tentu mengandung maksud agar orang yang
ditutup kejelekannya itu mau memperbaiki perbuatannya, sehingga menjadi lebih baik. Tetapi kalau justru dengan
menutup kejelekannya orang itu menjadi lebih jelek perbuatannya, sehingga masyarakat dirugikan, maka
kewajiban menutup kejelekan orang lain itu menjadi gugur. (…)
Jadi menampakkan kejelekan orang lain itu dibolehkan kalau dalam keadaan terpaksa, demi kemaslahatan yang
jelas dan kemaslahatan yang lebih besar. Ulama ahli hukum Islam menetapkan dasar kebolehan demikian atas
dasar ijtihad istishlahy; khususnya yang disebut Istihsan, yakni pengecualian hukum yang berlaku secara
umum. Pada prinsipnya tidak dibolehkan menampakkan kejelekan orang lain kecuali apabila terpaksa. (…).”
[TJA (IV/34-35)]
CONTOH PENGGUNAAN ‘URF (1)
Fatwa Muhammadiyah bahwa panggilan
Mama ke istri bukanlah zihar
“Memanggil istri dengan sebutan “mama” atau suami dengan sebutan “papa”, pada prinsipnya
‘urf
dibolehkan oleh syarak (agama Islam), karena (...) ucapan tersebut sudah menjadi
(kebiasaan) masyarakat Indonesia dan tidak ada konotasi/hubungan dengan hukum
zhihar.
Bahkan sebutan “mama” atau “papa” disamping sebagai ‘urf yang baik (sahih) bukan ‘urf yang
rusak (fasid), juga mengandung nilai pendidikan kepada putra-putrinya, supaya mereka menyebut
ibu atau ayahnya dengan sebutan yang baik itu, dan jangan memakai istilah atau sebutan yang
tidak baik.”
[TJA (VIII/27), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2017]
CONTOH PENGGUNAAN ‘URF (2)
Fatwa Muhammadiyah mengenai bolehnya uang
muka/down payment
“Dalam prinsip hukum Islam perpindahan hak harta kepada orang lain atas dasar kerelaan, (‘An Taradlin).
(...)
Dalam kasus seperti yang anda tanyakan, si pembeli membatalkan pembeliannya dan penjual merasa
kecewa. (...) Kalau sebelumnya tidak disebutkan dalam perjanjian kalau tidak didapatkan kesesuaian, maka
berlakulah kebiasaan dalam masyarakat yang dalam fiqh Islam di sebut ‘Urf.
(…) Jadi, uang muka Rp500.000,- yang diserahkan B kepada A, kalau A tidak rela mengembalikan, baik
sebagian atau seluruhnya memang dapat dibenarkan, sebagaimana kalau A membatalkan penjualannya juga
dapat dikenai hukum untuk membayar atau mengembalikan uang muka lebih besar dari sejumlah semula.
[TJA (III/212), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2012]
POKOK KEDUA
Dalam memutuskan sesuatu keputusan,
dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam menetapkan masalah ijtihad,
digunakan sistem ijtihad jama’i.
Dengan demikian pendapat
perorangan dari anggota majelis,
tidak dipandang kuat.
AYAT TERKAIT MUSYAWARAH
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
‫ون‬ َ ‫ص َلةَ َوأ َ أم ُر ُه أم ش‬
َ ُ‫ُورى َب أينَ ُه أم َو ِم َّما َر َز أقنَا ُه أم يُ أن ِفق‬ َّ ‫ست َ َجابُوا ِل َر ِّب ِه أم َوأَقَا ُموا ال‬ َ ‫َوالَّذ‬
‫ِين ا أ‬
[QS. Asy-Syura: 38]

Asy-Syaikh Nawawi Al-Bantani menafsirkan “wa amruhum syura bainahum”:


‫ ثم عملوا به وال يعجلون في أمورهم‬،‫أي إذا أرادوا أمرا تشاوروا فيما بينهم فيه‬
[Maraahu Labid (II/376), cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 1417 H]
HADIS TERKAIT MUSYAWARAH
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
َ َ ‫ َو َال َحا َل َم ِن ا أقت‬،‫َار‬
‫ص َد‬ ‫ َو َال نَ ِد َم َم ِن ا أ‬،‫ار‬
َ ‫ستَش‬ َ ‫ست َ َخ‬ َ ‫َما َخ‬
‫اب َم ِن ا أ‬
[HR. Ath-Thabarani dalam Al- Mu’jam Al-Kabir no. 980, cet. Al-Maktab Al-Islami,
Beirut: 1985]

Beliau juga bersabda:


ِ ‫ظه ُأر اْل َ أر‬
‫ض َخ أي ٌر لَ ُك أم ِم أن َب أط ِن َها‬ َ َ‫ُورى َب أينَ ُك أم ف‬
َ ‫ور ُك أم ش‬ ُ ‫ َوأ َ أغ ِن َيا ُؤكُ أم‬،‫ار ُك أم‬
ُ ‫ َوأ ُ ُم‬،‫س َم َحا َء ُك أم‬ َ ‫َان أ ُ َم َرا ُؤ ُك أم ِخ َي‬
َ ‫ِإذَا ك‬
[HR. At-Tirmidzi no. 2266, cet. Darul Gharbil Islami, Beirut: 1998]
BEBERAPA KASUS MUSYAWARAH NABI DAN PARA
SHAHABAT
1. Musyawarah jelang Perang Badar
2. Musyawarah sebelum Perang Uhud
3. Musyawarah terkait Perang Ahzab
4. Musyawarah Umar sebelum memasuki
Syam
POKOK KETIGA
TIDAK MENGIKATKAN DIRI KEPADA SUATU
MADZHAB.
AKAN TETAPI PENDAPAT-PENDAPAT MADZHAB
DAPAT MENJADI BAHAN PERTIMBANGAN DALAM
MENENTUKAN HUKUM, SEPANJANG SESUAI
DENGAN JIWA AL QUR’AN DAN AL–SUNNAH, ATAU
DASAR-DASAR LAIN YANG DIPANDANG KUAT.
PRINSIP TIDAK BERMADZHAB
“Prinsip tidak bermazhab ini diartikan bahwa dalam
pemikiran pentarjihan, Muhammadiyah tidak
membenarkan adanya taqlid pada seseorang atau
mazhab tertentu.
Setiap orang Muhammadiyah dalam mengamalkan Ajaran
Islam, haruslah langsung berdasar pada dalil, baik dari
al-Qur’an maupun as-Sunnah as-Sahihah.”
[HPT (III/229)]
‫‪DALIL LARANGAN TAKLID MAZHAB SERTA‬‬
‫’‪WAJIBNYA ITTIBA‬‬
‫‪Firman Allah subhanahu wa ta’ala:‬‬
‫ش أيئ ًا َو َال‬ ‫علَ أي ِه آبَا َءنَا أ َ َولَ أو ك َ‬
‫َان آبَا ُؤ ُه أم َال يَ أع ِقلُ َ‬
‫ون َ‬ ‫َّللاُ قَالُوا بَ أل نَتَّبِ ُع َما أ َ ألفَ أينَا َ‬
‫َوإِذَا قِي َل لَ ُه ُم اتَّبِعُوا َما أ َ أن َز َل َّ‬
‫َي أهتَد َ‬
‫ُون‬
‫]‪[QS. Al-Baqarah: 170‬‬

‫سأَلُوا أ َ أه َل ال ِذّ أك ِر ِإ أن ُك أنت ُ أم َال ت َ أعلَ ُم َ‬


‫ون (‪ِ )43‬با ألبَ ِيّنَا ِ‬
‫ت َو ُّ‬
‫الزبُ ِر ‪)44( ...‬‬ ‫‪ ...‬فَا أ‬
‫]‪[QS. An-Nahl: 43-44‬‬
DEFINISI MADZHAB
Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H) mendefinisikan Madzhab Syafii
sebagai:
‫ما ذهب إليه الشافعي وأصحابه من اْلحكام في المسائل‬
[Nihayatul Muhtaj (I/42), cet. Darul Fikr, Beirut: 1984]

Ibnu Hamdan (w. 695 H) menjelaskan tentang istilah “madzhab”:


‫فقول أصحابنا وغيرهم المذهب كذا قد يكون بنص اإلمام أو بإيمائه أو بتخريجهم ذلك‬
‫واستنباطهم من قوله أو تعليله‬
[Shifatul Fatwa hlm. 113, cet. Al-Maktabul Islami, Beirut: 1397 H]
DEFINISI MADZHAB MENURUT MUHAMMADIYAH

“Arti madzhab menurut istilah ahli fiqih, ialah


sesuatu aliran atau jalan yang
ditempuh dalam pengamalan
hukum yang dipercayainya.”
[TJA (I/212)]
APAKAH HPT MENDIDIK TAKLID?
“Dibentuknya Majlis Tarjih yang kemudian hasil-hasilnya
dibukukan dalam HPT, sebenarnya merupakan wahana
untuk menyatukan pemahaman agama berdasarkan
sumber aslinya yakni Al-Quran dan As Sunnah.
Jadi bukan HPT yang menjadi Sumber rujukan agama di
Muhammadiyah, tetapi Al-Quran dan As Sunnah, yang
menurut istilah disebut ITTIBA’, bukan TAQLID.”
[TJA (II/215)]
APAKAH HPT MADZHAB LAIN?
“Majlis Tarjih tidak menjadikah HPT-nya sebagai madzhab,
tetapi menjadikan HPT-nya sebagai bahan rujukan untuk
ditelaah dalam pengamalan agama sesuai dengan dalilnya.
Muhammadiyah, termasuk Majlis Tarjihnya, tidak bermadzhab
dan tidak membenarkan warganya untuk bertaqlid.
Setiap orang hendaknya dalam pengamalan agamanya
mengikuti dalilyang berasal dari Al-Quran dan As Sunnah,
dengan kata lain ITTIBA’.”
[TJA (II/213), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2015]
TAKLID YANG TIDAK DIBENARKAN
MUHAMMADIYAH:
1. Seseorang yang sudah mencapai derajat mampu
membedakan kekuatan dalil tetapi enggan melihat dalil
2. Seseorang mencukupkan diri dengan satu madzhab,
tidak keluar sama sekali darinya, dan enggan mencari
tahu dalilnya
3. Seseorang tetap berpegang teguh pada pendapat
madzhab, padahal jelas baginya bahwa itu tidak sesuai
dalil
‫‪1. SESEORANG YANG SUDAH MENCAPAI DERAJAT‬‬
‫‪MAMPU MEMBEDAKAN KEKUATAN DALIL TETAPI‬‬
‫‪ENGGAN MELIHAT DALIL‬‬
‫‪Ibnu Hazm menyatakan:‬‬
‫فاتبع ضعفاء أصحاب أبي حنيفة أبا حنيفة وأصحاب مالك مالكا‬
‫ولم يلتفتوا إلى حديث يخالف قولهما وال تفقهوا في القرآن والسنن‬
‫وال بالوا بهما إال من عصمه هللا عز وجل وثبته على ما كان عليه‬
‫السلف الصالح في األعصار الثالثة المحمودة من اتباع السنن عن‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم والتفقه في القرآن وترك التقليد‬
‫]‪[Al-Ihkam (VI/143), cet. Darul Afaq, Beirut: 1983‬‬
‫‪PARA ULAMA MADZHAB PUN SERING MENYELISIHI‬‬
‫)‪MADZHAB JIKA NAMPAK TAK SESUAI DALIL (1‬‬
‫‪Ibnu Hazm menjelaskan:‬‬

‫وأما أفاضل أصحاب أبي حنيفة ومالك فما قلدوهما فإن خلف ابن‬
‫وهب وأشهب وابن الماجشون والمغيرة وابن أبي حازم لمالك‬
‫أشهر من أن يتكلف إيراده وقد خالفه أيضا‬
‫ابن القاسم وكذلك خلف أبي يوسف وزفر ومحمد والحسن بن‬
‫زياد ْلبي حنيفة أشهر من أن يتكلف إيراده وكذلك خلف أبي ثور‬
‫والمزني للشافعي رحمه هللا‬
‫]‪[ibid.‬‬
PARA ULAMA MADZHAB PUN SERING MENYELISIHI
MADZHAB JIKA NAMPAK TAK SESUAI DALIL (2)
Ibnu Taimiyyah menyatakan:

‫ولهذا كان اْلكابر من أتباع اْلئمة اْلربعة ال‬


‫يزالون إذا ظهر لهم داللة الكتاب أو السنة‬
‫على ما يخالف قول متبوعهم اتبعوا ذلك‬
[Majmu’atul Fatawa (XX/10-11)]
2. SESEORANG MENCUKUPKAN DIRI DENGAN SATU
MADZHAB, TIDAK KELUAR SAMA SEKALI DARINYA,
DAN ENGGAN MENCARI TAHU DALILNYA
Ibnu Hazm mengatakan:
‫وإنما التقليد الذي نخالفهم فيه أخذ قول رجل ممن‬
‫دون النبي صلى هللا عليه وسلم لم يأمرنا ربنا‬
.‫باتباعه بال دليل يصحح قوله لكن فالنا قاله فقط‬
.‫فهذا هو الذي يبطل‬
[Al-Ihkam (VI/69-70(]
3. SESEORANG TETAP BERPEGANG TEGUH PADA
PENDAPAT MADZHAB, PADAHAL JELAS BAGINYA
BAHWA ITU TIDAK SESUAI DALIL
Ibnu ‘Abdilbarr (w. 463) mengatakan:

‫والتقليد أن تقول بقوله وأنت ال تعرف وجه‬


‫ أو أن يتبين‬،‫القول وال معناه وتأبى من سواه‬
‫لك خطؤه فتتبعه مهابة خالفه وأنت قد بان‬
‫لك فساد قوله وهذا محرم‬
[Jami’Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/272), cet. Dar Ibnil Jauzi, Riyadh: 1994]
APAKAH HPT MAZHAB KELIMA?
“Menganggap Himpunan Putusan Tarjih sebagai
mazhab yang ke lima jelas tidak benar.
Muhammadiyah tidak menjadikan HPTnya sebagai
mazhab maupun mazhab yang ke lima, tetapi
menjadikan HPT sebagai bahan rujukan untuk
ditelaah atau sebagai tuntunan dalam pengamalan
agama sesuai dengan dalilnya.”
[TJA (III/228)]
BOLEHKAH WARGA MUHAMMADIYAH MENGIKUTI
SELAIN HPT DAN FATWA MUHAMMADIYAH DALAM
SUATU PERKARA JIKA BELUM ADA PEMBAHASANNYA?
“Tidak ada larangan bagi orang
Muhammadiyah untuk mengamalkan
ajaran agama yang berdasarkan pada
al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah
meskipun tidak atau belum dimuat dalam
HPT.”
[TJA (VI/229)]
ITTIBA’ BUKAN BERARTI MENAFIKAN PERAN
ULAMA
“Fanatik kepada suatu madzhab itu tidak diajarkan oleh
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat
para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang
dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidak menyalahi al-
Qur’an dan as-Sunnah.
Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau
kyai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah kita
wajib meninggalkannya.”
[TJA (VI/155), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2015]
ANTARA TAKLID & ITTIBA’
“Taklid, ialah “QABUULU QAULIN BILAA HUJJATIN”
artinya “Mengikuti pendapat tanpa hujjah atau dalil”.
[TJA (II/216)]

“Ittiba’ artinya mengamalkan agama sesuai yang


ditentukan oleh dalil yakni Al-Quran dan As
Sunnah.”
[TJA (II/215)]
TAKLID DILARANG SEDANGKAN ITTIBA’
DIPERINTAHKAN
Ibnu ‘Abdilbarr menukilkan
statement Ibnu Khuwazinmindad:
‫مسوغ والتقليد ممنوع‬
ّ ‫واالتباع في الدين‬
[Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/992)]
‫‪DEFINISI TAKLID DAN BAHWASANYA MEMINTA‬‬
‫‪FATWA BUKAN TAKLID YANG DICELA:‬‬
‫‪Asy-Syaukani (w. 1250) menjelaskan:‬‬
‫هو العمل بقول الغير من غير حجة‪.‬‬
‫فيخرج العمل بقول رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‪ ،‬والعمل باإلجماع‪،‬‬
‫ورجوع العامي إلى المفتي‪ ،‬ورجوع القاضي إلى شهادة العدول‪ ،‬فإنها قد‬
‫قامت الحجة في ذلك‪.‬‬
‫(‪)...‬‬
‫وأما رجوع العامي إلى قول المفتي‪ ،‬فلإلجماع على ذلك‪.‬‬
‫]‪[Irsyadul Fuhul (II/239), cet. Darul Kitabil ‘Arabi, Beirut: 1999‬‬
DEFINISI ITTIBA’

Ibnu ‘Abdilbarr menjelaskan:


‫االتباع هو تتبع القائل على ما بان لك‬
‫من فضل قوله وصحة مذهبه‬
[Jami’Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/272)]
‫’‪TAKLID BERBEDA DENGAN ITTIBA‬‬
‫‪Ibnul Qayyim (w. 751 H) menghikayatkan:‬‬

‫وقد فرق أحمد بين التقليد واالتباع‬


‫فقال أبو داود‪ :‬سمعته يقول‪ :‬االتباع أن يتبع الرجل ما جاء عن النبي‬
‫‪ -‬صلى هللا عليه وسلم ‪ -‬وعن أصحابه‪ ،‬ثم هو من بعد في التابعين‬
‫مخير‪،‬‬
‫وقال أيضا‪ :‬ال تقلدني وال تقلد مالكا وال الثوري وال اْلوزاعي‪ ،‬وخذ‬
‫من حيث أخذوا‪.‬‬
‫‪[I’lamul Muwaqqi’in (II/139), cet: Darul Kutubil‬‬
‫]‪‘Ilmiyyah, Beirut: 1991‬‬
BEBERAPA DAMPAK NEGATIF BERAFILIASI
TERHADAP MADZHAB:
1. Munculnya fanatisme madzhab
2. Klaim tertutupnya pintu ijtihad
3. Memusuhi usaha membuka pintu ijtihad
4. Nampaknya hilah (rekayasa) fikih
5. Enggan melihat pandangan madzhab lain
[At-Tamadzhub: Dirasah Nadzhariyyah Naqdiyyah (III/1369-1432), karya Dr. Khalid Ar-Ruwaiti’, cet.
Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh: 2013]
SOLUSI MENGIKIS DAMPAK NEGATIF:
1. Memberikan perhatian lebih terhadap kitab-kitab fikih yang
menyebutkan dalil
2. Turut membaca/mendengarkan pendapat madzhab-madzhab
lain
3. Silaturahmi lintas madzhab
4. Menanamkan penghormatan terhadap madzhab lain
5. Mengingat bahwa madzhab adalah wasilah belajar fikih
[At-Tamadzhub: Dirasah Nadzhariyyah Naqdiyyah (III/1457-1466)]
POKOK KEEMPAT
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak
beranggapan bahwa hanya majelis Tarjih yang paling
benar.
Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil
yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika
keputusan diambil.
Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang
dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat.
Dengan demikian, majelis Tarjih dimungkinkan
mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
PRINSIP TOLERANSI DALAM TARJIH
MUHAMMADIYAH
“Keputusan Majelis Tarjih mulai dari
merundingkan sampai kepada
menetapkan tidak ada sifat perlawanan,
yakni menentang atau menjatuhkan segala
yang tidak dipilih oleh Tarjih itu.”
[Penerangan Tarjih tahun 1936 dalam Suara Muhammadiyah no. 6/1355 hlm. 145 dan HPT
(I/383)]
‫‪DALAM KITAB MASAIL KHAMS DISEBUTKAN:‬‬

‫"أي قرار يتخذ‪ ،‬إنما هو‬


‫ترجيح بين اآلراء المعروضة‬
‫دون إبطال أي رأي مخالف‪".‬‬
‫])‪[HPT (I/279‬‬
TIDAK SUNGKAN MERALAT IJTIHAD (1)
Amirul Mukminin ‘Umar menyurati Gubernur Abu
Musa Al-Asy’ari:
‫ ال يمنعك قضاء قضيته باْلمس راجعت فيه نفسك وهديت فيه‬...
‫ ومراجعة الحق خير من‬.‫ فإن الحق قديم‬.‫لرشدك أن تراجع الحق‬
... .‫التمادي في الباطل‬
[HR. Ad-Daraquthni no. 4471 cet. Muassasah Ar-
Risalah, Beirut: 2004]
TIDAK SUNGKAN MERALAT IJTIHAD (2)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal melihat seorang buta yang
membaca Al-Quran dekat kubur. Beliau lalu mengatakan:
“Yaa haadza, innal qiraa-ata ‘indal qabri bid’atun.”
Lalu setelah berlalu, kawan beliau, Al-Imam Muhammad bin
Qudamah, menyampaikan atsar bersanad bahwa Ibnu ‘Umar
dan shahabi lainnya mewasiatkan agar dibacakan awal dan
akhir surat Al-Baqarah di makamnya.
Lantas Al-Imam Ahmad mengatakan, “Farji’, waqul lirrajuli:
Yaqra’.”
[Ar-Ruh hlm. 10, karya Ibnul Qayyim, cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut: 1975]
TIDAK SUNGKAN MERALAT IJTIHAD (3)
Sulthanul ‘Ulama ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam suatu ketika
pernah berfatwa kepada seseorang. Kemudian
berselang waktu akhirnya beliau sadar hal tersebut
keliru.
Maka beliau segera umumkan di Kairo dan seluruh
Mesir, “Barangsiapa pernah kuberi fatwa tentang ini,
maka janganlah ia amalkan karena fatwa tersebut
salah.”
[Lihat: Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra (VIII/214), karya Ibnus Subki, cet. Dar Hajar, Kairo:
1413 H]
PRINSIP KETERBUKAAN DALAM TARJIH
MUHAMMADIYAH
“Malah kami berseru juga kepada sekalian ulama, supaya
suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih
itu. Di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat
dalilnya, diharap supaya diajukan. Syukur kalau dapat
memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang
nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya,
kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan.
Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekadar
pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu.”
[Penerangan Tarjih tahun 1936 dalam Suara Muhammadiyah no. 6/1355 hlm. 145 dan HPT
(I/383)]
CONTOH RALAT PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (1)
Putusan tentang hukum memajang gambar KH. Ahmad
Dahlan
Tahun 1929 [HPT (I/283)]:

‫وبما أن المجلس يرة أن صورة اْلستاذ العالم أحمد دحلن مؤسس الجمعية المحمدية يخاف منها‬
‫ قرر مجلس الترجيح بحرمة اتخاذها زينة‬،‫الفتنة‬
Tahun 1968 [HPT (I/316)]:

“Setelah meninjau kembali keputusan Muktamar Majelis Tarjih mengenai


masalah hukum gambar, (…) memutuskan mencabut keputusan hukum gambar
(…) pada bagian yang berbunyi “Dan oleh karena (…) gambar beliau itu
haram dipasang untuk perhiasan.”
CONTOH RALAT PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (2)
Putusan tentang hukum bunga bank
Tahun 1968 [HPT (I/283)]:

“Bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara musytabihat.
(…) Terhadap hal-hal yang masih mutasyabihat (…) dianjurkan agar kita sekalian berlaku hati-hati (…) kecuali apabila ada suatu kepentingan
masyarakat (…) yang sesuai dengan maksud-maksud daripada tujuan agama Islam pada umumnya, maka tidak ada halangan perkara
mutasyabihat tersebut kita kerjakan sekedar sesuai dengan kepentingan-kepentingan itu.”
Tahun 2006 [HPT (III/197-204), cet. Suara Muhammadiyah, Jogja: 2018 dan TJA (VIII/141-152]:

“Mengenai masalah bunga, khususnya bunga bank, perlu dikaji secara lebih mendalam dan sebagai
penyikapan sementara dicukupkan dengan fatwa Majelis Tarjih (…): “Bunga (interest)
adalah riba karena merupakan tambahan atas pokok modal yang dipinjamkan.”
CONTOH RALAT PUTUSAN/FATWA
MUHAMMADIYAH (3)
Putusan tentang hukum merokok
Tahun 1986 [TJA (I/162)]:

“Atas dasar pengamatan sementara, maka Tim mengambil kesimpulan bahwa MEROKOK ITU
MAKRUH HUKUMNYA dalam arti bahwa merokok bukanlah termasuk perbuatan yang
terpuji, kalau tidak dikatakan perbuatan yang patut dihindari.“
Tahun 2005 [Fatwa no. 30/SM/MTT/III/2005]:

“Merokok itu mubah.”


Tahun 2010 [Fatwa no. 6/SM/MTT/III/2010]:

“Merokok hukumnya adalah haram.”


‫‪ WALLAHU‬نصر من هللا وفتح قريب‬
‫‪ A’LAM‬وبشر المؤمنين‬

Anda mungkin juga menyukai