Anda di halaman 1dari 13

Al-Jarh wa at-Ta’dil

Makalah ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Studi Hadits

Dosen Pengampu : Dr. Fahmi Alkautsar Fakhruddin

Disusun Oleh :

Wahid Budi Setiawan (19720060)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu pilar sumber hukum yang dimiliki oleh
umat Islam. Hadits yang merupakan dari Nabu Muhammad SAW yang
didalamnya terdapat budi pekerti, tindakan, prilaku yang agung, serta suri
tauladan bagi seluruh umat manusia.1 Namun dibalik hadits-hadits beliau yang
mulia, dalam proses penyampaian nya ke umatnya melaui proses yang panjang,
salah satunya yang menjadi masalah didalamnya ialah perawi nya yang ternyata
memiliki beberapa kompilasi. Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya
dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para
periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi mukharrijul hadis
tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk
mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam
periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang di tulis oleh
ulama ahli kritik para periwayat hadits.
Semua keritik yang ditujukan kepada perawi hadits mencakup hal baik
dan buruk terkait perawi dapat dilalukan dengan Al-Jarh dan At-Ta’dil. Maka
dari itu, pemakalah pada kesempatan ini akan membahas lebih dalam terkait Al-
Jarh dan At-Ta’dil,
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud al-Jarh wa Ta’dil?
2. Bagaimana Sejarah al-Jarh wa Ta’dil?
3. Bagaimana tingkatan dalam al-Jarh wa Ta’dil?
4. Bagaimana Teknik dalam men-Jarh dan men-Ta’dil sebuah hadits?
5. Apakah syarat seseorang untuk men-Jarh dan men-Ta’dil sebuah hadits?
6. Bagaimana karya-karya Ulama terkait Jarh wa Ta’dil ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian al-Jarh wa Ta’dil
2. Untuk mengetahui sejarah al-Jarh wa Ta’dil
3. Untuk mengetahui Tingkatan dalam al-Jarh wa Ta’dil

1
Rachman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Al-Ma’rif; bandung, 1974). hal 20.
4. Untuk mengetahui Teknik dalam men-Jarh dan men-Ta’dil sebuah hadits
5. Untuk mengetahui syarat seseorang untuk men-Jarh dan men-Ta’dil sebuah
hadits.
6. Untuk mengetahui karya-karya Ulama terkait Jarh wa Ta’dil.
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Al-Jarh dan At-Ta’dil


1. Al-Jarh
Kata al-Jarh merupakan mashdar dari jaraha-yajrahu, yang bermakna
jika badan terluka maka mengalir darah dari luka tersebut2. Dan menurut
beberapa tabi’in “aku mememecahkan hadits-hadits ini, kemudian aku
keluarkan setiap yang rusak dan sedikit kebenarannya”3. Disamping itu juga

Jarh dapat berarti menolak seperti dalam contoh “ ‫الش اهد‬ ‫ ”ج رح احلاكم‬yang
berarti haki itu menolak saksi.4 Jadi dapat disimpulkan bahwa makna melukai
dapat diartikan sebagai luka fisik seperti kulit yang berdarah atau luka nonfisik
seperti cacat moral, cacat mental, idiot dan lain-lain.

Menurut istilah dapat dikatakan bahwa Jarh merupakan sifat pada


seorang perawi yang dapat menjatuhkan keadalahannya, dan merusak hafalan
dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau
melemahkannya hingga kemudian ditolak.5 Jadi dapat disimpulkan bahwa al-
Jarh merupakan menampakkan sifat perawi yang merusak sifat keadilannya,
sehingga riwayat perawi tersebut gugur dan dipandang lemah.

2. At-Ta’dil
Al-‘Adlu bermakna apa yang lurus dalam jiwa, lawan kata dari durhaka.
Sedangkan menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang
merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya
dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits6
At-Ta’dil menurut istilah merupakan sebuah gelar yang diberikan
kepada seorang perawi berdasarkan sifat keadilan dan tingginya tingkat hafalan
2
M Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989), hal 109.
3
Abi Manshur Muhammad Tahzibuh Lughah, jilid 4 (Darul Mishriyah, Azhar) hal 141.
4
Djalil Afif, “Al-Jarh wa Ta’dil” Jurnal Al-Qalam, no 52, November, 1995, Hal 24.
5
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2005) hal. 78
6
Ibid, hal 78.
yang ada pada dirinya sehingga periwayatannya diterima dan dijadikan alasan
(hujjah)7. Al-Ta’dil berarti menilai adil seorang periwayat hadist dengan sifat-
sifat tertentu yang membersihkan diri nya dari kecacatan berdasarkan sifat
yang tampak dari luar. Apa yang dimaksud dengan adil di sini tentu bukan adil
dalam konteks hukum dan kriminal seperti yang ada dalam literatur bahasa
Indonesia sekarang ini, tetapi lebih merupakan penggambaran atas kualitas
moral, spiritual, dan relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah dhabit
sendiri merupakan gambaran atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-
benar prima.8
3. Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat
menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu.9 ilmu Jarh wa Ta’dil berarti
ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak
riwayat mereka. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu
hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits
yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya. ilmu Jarh wa Ta’dil
berarti ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau
ditolak riwayat mereka.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu
Jarh wa Ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits
yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadis yang
berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya. ilmu Jarh wa Ta’dil berarti
ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak
riwayat mereka. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu
hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits
yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.10
7
Abdul al-lathif, al-Jarh wa al-Ta’dil, (cairo: Maktabat dar al-Turath, 2005), hal 22.
8
Ali Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil‟ UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Volume 2, No. 2,
Desember 2017, hal. 290.
9
Mudasir, “Ilmu Hadits”, (Bandung: Pustaka Setia), 1999, h.51
10
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, penilaian kredibilitas para perawi dan
pengimplementasiannya, (Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), hal 19.
B. Sejarah Al-Jarh dan At-Ta’dil
Perkembangan ilmu Jarh wa Ta’dil sejalan dengan perkembangan
periwayatan hadits itu sendiri, karena tidak bisa dihindari salah satu cara untuk
mengetahui periwayatan yang shahih harus mengetahui terlebih dahulu siapa
perawinya, sebuah pengertahuan yang memungkinkan para ahlul ilmi untuk mampu
menilai kejujuran dan kebohongan para perawi sehingga para ulama bisa
membedakan mana riwayat yang maqbul dan mana yang mardud, oleh karena itu
mereka selalu bertanya tentang kredibilats dan kualitas diri si periwayat. Dan
mengikuti mereka dalam berbagai situasi alamiyah mereka dan mengenali seluruh
kondisi mereka dan mengkajinya/menganalisisnya dengan pembahasan yang
cermat.
Ilmu ini tumbuh berbarengan dengan proses periwayatan hadits itu
sendiri, meskipun secara embrio bisa ditemukan bentuknya pada masa shahabat.
Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khathab dikhabarkan meminta persaksian dari
orang lain (Shahabah yang lain) terhadap berita yang disampaikan oleh seseorang
perawi. Kadangkala kedua Khalifah mengecek sendiri kebenaran berita itu
langsung pada Nabi sendiri. Sementara Khalifah Ustman menunda kebenaran berita
itu sampai diketemukan adanya bukti dan qorinah yang cukup signifikan bagi
kebenaran berita tersebut. Berbeda halnya dengan Khalifah Ali r.a Beliau meminta
sumpah kepada penyampai berita tersebut untuk menguji kebenaran suatu informasi
yang berkembang. Inilah beberapa preseden awal yang ditinggalkan oleh Khalifah
Rasyidun menyangkut awal mula kemunculan Jarh wa Ta’dil. Meskipun demikian
secara umum dapat disimpulkan bahwa seluruh periwayat pada masa Sahabat dapat
dikategorikan sebagai perawi yang Adil, walau ada beberapa pendapat yang
meragukan keadilan semua sahabat tanpa terkecuali.11

C. Tingkatan Jarh dan Ta’dil


1. Tingkatan Ta’dil
Dalam Ta’dil terdapat beberapa tingkatan bagi rawi seperti

11
Abdus Salam Arief, Keadilan Sahabat Dalam Periwayatan Hadis, Yudian W Asmin (Editor) Kajian
tentang al Qur’an dan al Hadis, (Yogyakarta: Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, 1994) Hal 107.
a. Martabat pertama adalah martabat tertinggi, (kullu shahabat ‘udul) yaitu
sahabat Nabi SAW.
b. Martabat kedua adalah martabat ta’dil tertinggi menurut penilaian ulama
dalam tazkiyah atau seleksinya, yaitu lafadz-lafadz ta’dil yang
menunjukkan ketinggian mereka atau menggunakan bentuk af’al al-
tafdhil, seperti: Autsaq an-Nas, Atsbat an-Nas, Adhbath an-Nas, Ilahi al-
Muntaha fi al-Tatsabbut. Demikian juga kata-kata La A’rifu lahu
Nazhirun fi al-dunya, la Ahada Atsbata Minhu, Man Mitslu Fulan, atau
Fulanun LaYus’alu Anhu.
c. Martabat ketiga adalah lafadz-lafadz ta’dil yang diulang-ulang, baik
pengulangan maknawi seperti: Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun,
Tsiqatun Tsabtun, dan Tsiqatun Mutqinun maupun pengulangan lafdzi,
seperti: Tsiqatun Tsiqat, Tsabatun Tsabatun.
d. Martabat keempat adalah lafadz ta’dil tunggal seperti: Tsiqatun, Tsabtun,
Mutqinun, Ka’annahu Mushhafun, Hujjatun, Imamun, dan ‘Adlun
Dhabithun. Julukan Hujjatun lebih kuat daripada Tsiqatun.
e. Martabat kelima adalah lafadz laisa bihi ba’sun, la ba’sa bih, Shaduq,
Ma’munun, Khiyar al-Khalqi, Ma a’lamu bihi ba’sun atau mahailuhu ash-
Shidqu.
f. Martabat keenam adalah lafadz-lafadz yang mengesankan dekat kepada
jarh. Martabat ini adalah martabat ta’dil terendah, seperti Laisa bi ba’id
min al-shawab, Syaikhun, Yurwa hadisuhu, Yu’tabaru bih, Syaikhun
Wasath, Ruwiya ‘anhu, Shalih al-hadis, Yuktabu hadisuhu, Muqarib al-
Hadis, Ma aqraba hadisuhu, Shaduq insyaAllah.12

2. Tingkatan Jarh
Bagi perawi, ada beberapa tingkatan Jarh sebagai berikut:

a. Martabat pertama, menunjuk keterlaluan rawi dalam cacatnya. Hal ini


digambarkan dalam shigat al-tafdhil atau ungkapan lain yang menunjukkan

12
Nuruddin ‘Itr. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Terj. Mujiyo. Ulumul Hadis (Bandung. 2014), 102-
103.
arti sejenis, seperti: audha’ al-Nas, akdzabu al-Nas, Ilaihi al-muntaha fi al-
wadh’i.
b. Martabat kedua, menunjuk sangat dalam kecacatannya. Hal ini biasanya
digambarkan dalam shigat mubalaghah, seperti: Kadzdzabun, Dajjalun.
c. Martabat ketiga, menunjuk pada tuduhan dusta dan lain sebagainya, seperti
lafadz: Fulan Muttaham bi al-kadzibi, Fulan fihi al-nadzar, Fulan sakitun,
Fulan dzahib al-hadis, Fulan matruk al-hadis.
d. Martabat keempat, menunjuk pada sangat dalam cacatnya atau lemahnya.
Seperti lafadz: Mutharrahu al-hadis (orang yang dilempar hadisnya), Fulan
dha’ifun, Fulan mardud al-hadis.
e. Martabat keempat, menunjuk pada lemah dan kacaunya hafalan rawi, seperti
lafadz: Fulan la yuhtajju bihi (orang yang hadisnya tidak bisa dijadikan
hujjah), Fulan munkar al-hadis, Fulan mudhtarib al-hadis (orang yang
kacau hadisnya), Fulan wahun (orang yang banyak menduga-duga).
f. Martabat keenam, menunjukkan kelemahan rawi dengan sifat yang
berdekatan dengan adil, seperti lafadz: Dhu’ifa hadisuhu (orang yang di
dha’ifkan hadisnya), Fulan maqalun fihi (orang yang diperbincangkan),
Fulan fihi khalaf (orang yang disingkirkan), Fulan layyinun (orang yang
lunak), Fulan laisa bi al-hujjah, Fulan laisa bi al-qawi.13

D. Teknik Melakukan Jarh dan Ta’dil


Karena yang akan menjadi objek adalah salah satu sumber hukum dalam
Islam, maka untuk melakukan Jarh dan Ta’dil diperlukan ketentuan yang tepat
hingga tercapai hasil yang sesuai dan ketentuan tersebut adalah:
1. Bersikap jujur dan proporsional yaitu mengemukakan keadaan perawi sesuai
apa adanya.
2. Cermat dan korek dalam melakukan peneleitian. Seperti membedakan antara
lemahnya suatu hadits dikarenakan lemanya agama perawi dan lemahnya
hadits karena perawi tidak kuat hafalannya.

13
Maman Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), hal 152
3. Menjaga etika dan kesopanan dalam melakukan jarh dan Ta’dil seperti
mengungkapkan kelemahannya dengan etika dan santun, contoh “Perawi tidak

teguh dalam berbicara” (‫اللسان‬ ‫)مل يكن مستقيم‬.


4. Bersifat Global dalam men-ta’dil dan terperinci dalam mentarjih. Jika perawi
pribadi yang Tsiqah atau adil, karena shalat nya yang sempurna, puasa dan
tidak menyakiti orang lain. Maka cukup mengatakan “sifulan Tsiqah atau
adil”.dan untuk men-tarjih harusnya terperinci seperti “sifulan itu tidak bisa
diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu atau
tidak dhobith, atau pendusta atau fasiq dan lain sebagainya.14

E. Sebab-Sebab yang menjadikan perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil


Ada sebab yang menjadikan aib perawi itu ada banyak, tetapi semuanya
dirangkum dan digambarkan dalam lima macam saja yaitu bid’ah, mukhalafah,
ghalath, jahalah al hal, da’ wa al-Inqitha.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara’. Orang yang
disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan
adakalanya orang yang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir adalah
golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang
mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syariat.
2. Mukha/afat ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqoh. Mukhalafat
ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-Hal yaitu berarti keadaan latar belakang atau kita sebut identitas
perawi tidak dikenal atau tidak jelas, maka haditsnya tidak dapat diterima.
5. Da’ wa Inqitha’ berarti ada beberapa sanadnya yang terputus ketika perawi
men-tahdis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.15

F. Syarat Pen-Jarh dan Pen-Ta’dil

14
M Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalatuhu, hal 267.
15
Hasbi, Ash-Shiddiqie, Pengantar Ilmu Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) Hal 124.
Perihal jarh wa ta’dil merupakan perkerjaan yang tidak sembarang orang
dapat melakukannya, karena hal ini terkait nama baik serta kehormatan para perawi
yang menjadi objek penelitiannya, yang dimana akan ditentukan, apakah diterima
atau tidaknya suatu hadits. Maka dari itu untuk melakukan jarh wa ta’dil seseorang
haruslah16:
1. ‘Alim
2. Bertakwa
3. Wara’
4. Jujur
5. Imam Muhaddisin
6. Tidak pernah mendapatkan Jarh
7. Tidak fanatik
8. Mengetahui segala hal terkait jarh wa ta’dil

G. Kitab-Kitab dan Ulama’ Hadits ahli Jarh wa Ta’dil

Secara umum Kitab Jarh wa Ta’dil ada ada 4 yaitu :


1. Kitab At-Tarikh Al-Khabir
Kitab ini adalah karya Imam Al Bukhari (194-256 H) yang memuat 12.305
periwayat hadist. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan
memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya.
2. Kitab Jarh Wa At Ta’dil
Kitab ini adalah karya Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar Razi (240-327 H)
merupakan kitab Jarh Wa Ta’dil dari ulama mutaqaddimin yang isinya banyak
memuat 18.050 periwayat hadis. Dalam kitab ini, biografi periwayatan hadist
ditulis
3. Kitab As-Siqat
Kitab ini karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H
) yang disusun berdasarkan tabaqah (tingkatan) sesuai dengan huruf Hijaiah
dalam tabaqah ia disajikan tiga juz, juz pertama untuk tabaqah sahabat, juz
kedua untuk tabaqah tabi’in, dan juz ketiga untuk tabaqah tabi’ut tabi’in.

16
Abi al Hasan Bin Muhammad al Faqih, Mandhumat Fi Qawaid Jarh Wa Ta’dil , (Dar al Balansiya, ),
hal 26.
4. Tarikh Asma’ As-Siqat Min Man ‘Anhu Al’ilm
Kitab ini disusun oleh Umar bin Hamad bin Syahin (wafat tahun 385 H),
berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat
dan nama bapaknya, serta pendapat para ahli jarh wa at ta’dil tentang
periwayatan itu. Kadang-kadang juga disebut sebagai guru dan muridnya.
BAB III

A. Kesimpulan
Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan Ilmu yang membahas tentang hal-hal yang
terkait perawi dalam aspek diterima atau ditolaknya riwayat mereka. Jarh wa
Ta’dil bergunak untuk menetapkan apakah periwayatan dari perawi dapat
diterima atau ditolak dengan melihat kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalah
ilmu jarh wa ta’dil.
Seorang perawi dapat terpuji ataupun tertolak setelah melihat status yang
didapatkan setelah dilakuka Tarjih wa Ta’dil terhadapnya. Untuk men-tarjih dan
men-ta’dil, seseorang tidak semerta-merta melakukannya. Tetapi dia juga harus
melengkapi syarat-syarat untuk melakukan Jarh wa Ta’dil terhadap seorang
perawi karena itu menyangkut harga diri dan martabat seorang perawi.
Daftar Pustaka

Abdul Mawjud Muhammad. Abdullatif. 2003. Ilmu Jarh wa Ta’dil. penilaian kredibilitas para
perawi dan pengimplementasiannya. Bandung: Gema Media Pusakatama.

al Faqih . Abi al Hasan Bin Muhammad. Mandhumat Fi Qawaid Jarh Wa Ta’dil. Dar al
Balansiya.

Al-Khatib. M Ajaj. 1989. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalatuhu. Beirut: Darul Fikr.

al-lathif. Abdul. al-Jarh wa al-Ta’dil. 2005. cairo: Maktabat dar al-Turath..

Al-Qaththan. Manna. 2005. Pengantar Studi lmu Hadits. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.

Arief . Abdus Salam. 1994. Keadilan Sahabat Dalam Periwayatan Hadis, Yudian W Asmin
(Editor) Kajian tentang al Qur’an dan al Hadis. Yogyakarta: Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga.

Ash-Shiddiqie. Hasbie. 1968. Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang.

Maman Abdurrahman. Elan Sumarna. 2011. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Manshur. Muhammad. Tahzibuh Lughah, jilid 4. Darul Mishriyah, Azhar.

Mudasir. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Nuruddin. Itr. 2014. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Terj. Mujiyo. Ulumul Hadis. Bandung.

Rachman. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadi. Al-Ma’rif; bandung.

Afif. Djalil “Al-Jarh wa Ta’dil” Jurnal Al-Qalam, no 52, November, 1995.

Imron. Ali. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
Volume 2, No. 2, Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai