Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK REFERAT

ILMU PENYAKIT SARAF SEPTEMBER 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

MALARIA SEREBRAL

PENYUSUN :

Shendyca Zilma Nurzafani, S.Ked


K1A1 14 108

PEMBIMBING :

dr. Karman, Sp.S., M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Shendyca Zilma Nurzafani, S.Ked
NIM : K1A1 14 108
Judul referat : Malaria Serebral

Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada


Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2020

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Karman, Sp.S., M.Kes

2
MALARIA SEREBRAL
Shendyca Zilma Nurzafani, Karman

A. PENDAHULUAN
Malaria serebral (MS) merupakan komplikasi dari infeksi malaria yang

prevalensinya mencapai 2 %, terutama pada penderita dengan kekebalan

rendah, wanita hamil dan anak-anak pada daerah hiperendemik.Penyakit ini

salah satu bentuk malaria malignan dengan angka kematian tinggi. Angka ini di

Indonesia mencapai 21,5 – 30,5 %. Pada anak-anak menyebabkan 80 %

kematian.1

Plasmodium falciparum merupakan penyebab utama malaria serebral,

tetapi pada beberapa kasus dapat disebabkan Plasmodium vivak atau campuran

keduanya. Menurut WHO malaria merupakan penyebab utama masalah

kesehatan yang penting. Di beberapa negara malaria menyebabkan tingginya

angka kesakitan dan kematian. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat,

Canada, Eropa, Amerika Selatan dan Tengah, Afrika, India dan Asia Tenggara.

Negara-negara tersebut mempunyai iklim Tropis dan Subtropik.1

Sebagai gejala utama MS adalah penurunan kesadaran secara mendadak

yang mempunyai derajat ringan sampai berat. Gejala lain adalah kejang, nyeri

kepala, mual sampai muntah, hemiplegi, afasia, dan gejala neurologis yang

lain, disertai gejala-gejala malaria tropika umumnya. Pengobatan pada malaria

serebral meliputi terapi spesifik, terapi suportif dan perawatan umum.1

3
B. DEFINISI
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang memenuhi 3

kriteria, yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap >

30 menit setelah kejang (GCS < 11, Blantyre coma scale < 3) disertai adanya

P. falciparum yang ditunjukkan dengan hapusan darah dan penyebab lain dari

akut ensefalopati telah disingkirkan.2

Deteksi dini kasus yang terinfeksi dan pelaksanaan pengobatan efektif

harus dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang terkait

dengan penyakit malaria.3

Malaria serebral merupakan patologi terparah yang disebabkan oleh

parasit malaria Plasmodium falciparum. Berbeda dengan virus dan bakteri,

parasit malaria tidak menyusup dan menginfeksi parenkim otak. Sebaliknya,

pecahnya sawar darah-otak yang terjadi dan dapat menyebabkan perdarahan

yang mengakibatkan perubahan neurologis.4

C. EPIDEMIOLOGI

Malaria adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di

daerah endemik, dengan 300 sampai 500 juta kasus dan 1 sampai 1,5 juta

kematian tahunan.4–5,11 Malaria merupakan penyebab kematian pertama,

yang berasal dari parasit di seluruh dunia. P. falciparum bertanggung jawab

atas 80% kasus kematian yang dirawat di daerah endemis dan komplikasi

neurologis ditemukan pada 50% anak yang dirawat di rumah sakit. 5

Pada 2013, insiden malaria diperkirakan sekitar 198 juta kasus di

seluruh dunia dan sekitar 575.000 kasus malaria serebral dilaporkan, dengan

4
populasi anak Afrika menjadi yang paling terpengaruh, dengan kematian 25-

30%. 12.000 kasus dianggap diimpor dari Eropa ke Malaria, Prancis menjadi

negara dengan jumlah terbesar, sekitar 5.000 kasus per tahun.5

Dalam salah satu studi retrospektif yang dilakukan di pusat perawatan

intensif Prancis, di mana 400 kasus impor malaria berat diterima, kematian

diamati 10 %. Malaria impor memiliki perkiraan kematian 10-15%. Malaria

serebral terjadi pada 2,4% wisatawan dengan malaria ke P. falciparum.5

D. ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah parasit plasmodium, suatu parasit yang

termasuk dalam dalam filum apicomplexa. Seperti halnya parasit toksoplasma.

Sekitar 100 spesies plasmodium telah diidentifikasi tetapi hanya ada lima

spesies yang dilaporkan menginfeksi manusia, yaitu:6

1. Plasmodium falciparum.

2. Plasmodium vivax.

3. Plasmodium ovale.

4. Plasmodium malariae.

5. Plasmodium knowlesi.

Jenis plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.

falciparum dan P. vivax. Plasmodium falciparum adalah penyebab utama

malaria berat, termasuk malaria serebral. Namun demikian, akhir-akhir ini di

Indonesia mulai banyak dilaporkan kasus-kasus malaria berat akibat P. vivax.

Selain itu, Plasmodium knowlesi yang awalnya dianggap hanya menginfeksi

5
primata tetapi kemudian pada tahun 2004 dilaporkan psudah menginfeksi

manusia.6

E. PATOGENESIS

Patogenesis malaria yang akan kita bahas adalah patogenesis malaria

tropika atau yang juga disebut malaria falsiparum (sesuai nama spesies

plasmodium yang menyebabkannya). Penyakit malaria tipe ini yang banyak

menyebabkan timbulnya malaria berat, termasuk malaria serebral. Patogenesis

malaria tropika dipengaruhi oleh parasit dan pejamu. Faktor parasit yang

mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan

virulensi parasit. Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah

tempat tinggal, genetik, umur, status nutrisi, dan status imunologi.6

1. Sekuestrasi Parasit di Dalam Darah

Hipotesis yang paling banyak diterima untuk menjelaskan

patogenesis malaria serebral adalah teori mekanik. Menurut teori ini

terdapat beberapa fenomena penting dalam rangkaian patogenesis malaria

berat.

a. Sitoadherensi

Sitoadherensi adalah peristiwa melekatnya parasit dalam eritrosit

stadium matur pada permukaan endotel vaskular. Permukaan eritrosit

yang terinfeksi parasit akan membentuk knob (dikenal dengan peristiwa

knobbing). Pada permukaan knob terdapat molekul-molekul adhesif yang

secara kolektif disebut P. falciparum erythrocyte membrane protein-1

6
(PfEMP-1). Molekul-molekul adhesif ini akan melekat dengan

molekulmolekul adhesif yang berada di permukaan endotel pembuluh

darah kapiler seperti cluster of differentiation 36 (CD36), trombospondin,

intercellular-adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion

molecule-1 (VCAM-1), endothel leucocyte adhesion molecule-1

(ELAM-1), asam hialuronat, dan kondroitin sulfat A.2 Kita perlu

memahami tentang kompleks molekul adhesif PfEMP-1. Kompleks ini

merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen

yang berada di permukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR.

Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar.

Luasnya variasi antigenik ini membawa konsekuensi sulitnya P.

falciparum lolos dari penghancuran sistem imun dan sulitnya

mengembangkan vaksin dan obat untuk parasit ini.

b. Sekuestrasi

Eritrosit yang bersirkulasi hingga ke tingkat kapilar seharusnya

masuk ke vena dan terus beredar dalam sirkulasi darah. Namun

demikian, sitoadherensi menyebabkan eritrosit tidak beredar kembali dan

tertinggal di pembuluh kapilar. Sekuestrasi menurunkan perfusi jaringan

otak dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran melalui hipoksia.

Penurunan perfusi jaringan otak juga menyebabkan peningkatan aliran

darah otak sebagai respons adaptif terhadap penurunan perfusi

jaringan.2,4 Fenomena sekuestrasi hanya terjadi pada eritrosit terinfeksi

P. falciparum. Hal inilah yang paling bertanggung jawab terhadap

7
timbulnya malaria berat termasuk malaria serebral. Sekuestrasi terjadi

pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh.

Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak. Selanjutnya hepar dan ginjal, paru

jantung, usus, dan kulit.

c. Roseting

Selain melakukan sitoadherensi, parasit dalam eritrosit stadium

matur dapat juga membentuk kelompok dengan eritosit-eritrosit lain yang

tidak terinfeksi plasmodium. Fenomena ini disebut pembentukan

roset/roseting. Roseting berperan penting dalam virulensi parasit dan

ditemukan juga pada infeksi plasmodium yang lain.2 Pada fenomena

roseting, satu eritrosit terinfeksi akan diselubungi 10 atau lebih eritrosit

yang tidak terinfeksi. Pembentukan roset ini menyebabkan obstruksi atau

perlambatan sirkulasi darah setempat (dalam jaringan) sehingga

mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri dapat

dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1

(Pf.HRP1). Selain roseting, kita juga mengenal istilah lain dalam

patogenesis malaria tropika yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah perlekatan

dua atau lebih eritrosit yang sudah terinfeksi parasit.

2. Sitokin dan Kemokin

Selain hipotesis mekanik, kita juga mengenal hipotesis sitokin dan

kemokin. Kedua teori ini dapat saling melengkapi. Sitokin dan kemokin

memiliki peran yang rumit dalam patogenesis malaria serebral. Efek

inflamasi dan eksitotoksisitas kelompok ini menjadi dasar teori

8
sitokin/toksin dalam malaria serebral. Sitokin-sitokin penting yang

diproduksi pada infeksi malaria tropika adalah tumor necrosis factor α

(TNF-α), interleukin 1 (Il-1), interleukin-3 (Il-3), interleukin 6 (Il-6),

leukotrien, dan interferon γ (IFN-γ). Salah satu kemokin yang penting

adalah regulated on activation normal T cell expressed and secreted

(RANTES). Produksi sitokin berkorelasi dengan parasitemia dan roseting.

Semakin tinggi parasitemia dan roseting semakin tinggi kadar sitokin

proinflamasi yang diproduksi.4-6 Sebenarnya, selain efek merusak, sitokin

dan kemokin juga memiliki efek protektif.

Dengan demikian, keseimbangan antara mediator-mediator inflamasi

ini penting dalam pengendalian parasit. Peran oksida nitrat (nitric oxide =

NO), yang dalam lingkup pembicaraan ini disebut sebagai endothelial-

derived relaxing factor (EDRF), masih kontroversial. Pada patogenesis

malaria serebral, NO berperan dalam imunitas pejamu, mempertahankan

status vaskular, proses neurotransmisi, dan menjadi efektor TNF. Sitokin-

sitokin proinflamasi meningkatkan aktivitas cytokine inducible nitric oxide

synthase (iNOS, NOS2), suatu enzim yang berperan dalam sintesis NO

dalam sitosol yang aktivitasnya dipengaruhi oleh sitokin, di sel-sel endotel

pembuluh darah otak. Hal ini menyebabkan peningkatan sintesis NO. NO

dapat melintas sawar darah otak dan masuk ke jaringan otak. Seperti yang

telah disebutkan sebelumnya, NO dapat mengganggu proses neurotransmisi.

Diduga, hal tersebut yang bertanggung jawab terhadap koma reversibel

yang terjadi. Meskipun begitu, beberapa penelitian yang meneliti hal ini

9
belum memberikan hasil yang konklusif.5,6 Zat toksin yang penting dalam

patogenesis malaria serebral adalah sejenis glikolipid bernama

glycosylphosphatidylinositols (GPI). GPI berasal dari parasit. Glikolipid ini

akan berikatan dengan reseptornya (CD14). Pengikatan GPI dengan CD14

mengaktifkan makrofag dan sel-sel imun lain untuk menghasilkan TNF-α.

3. Cedera Endotel, Apoptosis, Disfungsi Sawar Darah Otak, dan

Hipertensi Intrakranial

Sitodherensi selain menyebabkan sekuestrasi, juga akan

menyebabkan EP berkontak dengan sel endotel. Kontak ini akan memicu

cedera/disfungsi endotel lalu mengaktivasi endotel. Aktivasi endotel ini

memulai suatu kaskade peristiwa yang salah satunya akan berujung pada

apoptosis sel pejamu dengan diawali oleh apoptosis sel-sel endotel sendiri.

Selain interaksi dengan endotel, EP juga berinteraksi dengan platelet.

Interaksi ini memperparah cedera endotel melalui efek sitotoksik

langsung.5,6 Setelah di endotel, apoptosis selanjutnya terjadi pada neuron

dan sel glia oleh berbagai mekanisme. Neuron dan sel glia akan terpapar

langsung dengan sitokin-sitokin proinflamasi. Hal ini dimungkinkan karena

reaksi inflamasi juga menyebabkan gangguan sawar darah otak. Selain itu,

seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keadaan iskemia yang

disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena eksitotoksisitas.

Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang

memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi

reseptorreseptor patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena

10
adanya produk reaksi inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat

eksitotoksik. Mikroglia dan neuron juga mensekresikan NO pada keadaan

iskemia yang turut memicu apotosis.5,6 Anak-anak memiliki akson saraf

yang lebih rentan terhadap keadaan ini. Jadi, akson pada anak akan lebih

cepat rusak pada keadaan iskemia dan inflamasi daripada akson orang

dewasa. Hal tersebut mungkin menjelaskan secara sebagian tentang lebih

tingginya kejadian bangkitan maupun sekuele neurologis pada pasien anak

daripada orang dewasa.5,6 Gangguan sawar darah otak yang telah

disebutkan tadi terjadi karena reaksi inflamasi yang merenggangkan taut

kedap pada sawar darah otak. Perenggangan ini terutama terjadi pada pasien

anak. Gangguan ini terjadi di daerah yang mengalami sitoadherensi.

Meskipun belum begitu jelas, namun paparan sitokin-sitokin dari plasma ke

jaringan otak akan menyebabkan inflamasi jaringan otak yang diikuti edema

otak dan penurunan perfusi otak. Hal ini juga menyebabkan iskemia yang

akan direspons dengan peningkatan aliran darah otak. Edema dan

peningkatan aliran darah otak menyebabkan hipertensi intrakranial.5-7

Hipertensi intrakranial makin memperberat penurunan perfusi otak sehingga

mengganggu penghantaran nutrisi dan oksigen. Hal ini turut memperparah

cedera iskemik global. Selanjutnya hipertensi intrakranial juga mampu

menyebabkan herniasi dan kompresi batang otak yang berakibat fatal.6

F. MANIFESTASI KLINIS

11
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai

membahayakan jiwa. Gejala klasik malaria berupa demam tinggi, menggigil

dan keringat banyak. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi

lain, seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan

infeksi saluran nafas. Adanya trombositopenia sering didiagnosis dengan

leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila terdapat demam disertai

dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan dengan diagnosis hepatitis dan

leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis

sebagai infeksi otak atau bahkan stroke. Mengingat bervariasinya manifestasi

klinis malaria maka anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria

pada setiap penderita dengan demam harus dilakukan.7

G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat

dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau

pegalpegal. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat berkunjung ke

daerah endemik malaria, riwayat tinggal di daerah endemik malaria; riwayat

sakit malaria/riwayat demam, riwayat minum obat malaria satu bulan

terakhir dan riwayat mendapat transfusi darah.8

2. Pemeriksaan Fisik

Demam (>37,5 ºC aksila), Konjungtiva atau telapak tangan pucat,

pembesaran limpa (splenomegali), Pembesaran hati (hepatomegali).8

12
Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam

tinggi, konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin

berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever ), kejang dan sangat lemah

(prostration).8

3. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan

pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui

cara berikut.8

a. Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku)

untuk diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan

membuat sediaan darah tebal dan tipis. Pemeriksaan sediaan darah (SD)

tebal dan tipis di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:

Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif), spesies dan stadium

Plasmodium serta kepadatan parasit:

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT),

mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,

dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan

pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil

yang tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis. Hal yang penting

yang perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih

dahulu membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam

kemasan RDT untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang

13
digunakan oleh Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat

mengidentifikasi P. falcifarum dan non P. Falcifarum.

c. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing

DNA, pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia.

Pemeriksaan ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan

rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk

identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau di

bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan

PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria karena dapat

membedakan antara parasit impor atau indigenous.

d. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang

yang perlu dilakukan adalah: pengukuran hemoglobin dan hematokrit,

penghitungan jumlah leukosit dan trombosit, kimia darah lain (gula

darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,

albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas

darah); dan urinalisis.

H. DIFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Infeksi otak

Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala yang progresif,

hilangnya kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya.

Pada penderita dapat dilakukan analisa cairan otak dan imaging otak.

2. Stroke (gangguan serebrovaskuler)

14
Hilangnya atau terjadi gangguan kesadaran, gejala neurologik

lateralisasi (hemiparese atau hemiplegia), tanpa panas dan ada penyakit

yang mendasari (hipertensi, diabetes mellitus, dan lain-lain).

3. Tifoid ensefalopati

Gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran dan

tandatanda demam tifoid lainnya (khas adalah adanya gejala abdominal,

seperti nyeri perut dan diare). Didukung pemeriksaan penunjang sesuai

demam tifoid.

4. Hepatitis A

Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak

bisa makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit

kuning, dan urin seperti air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat > 5 kali

tanpa gejala klinis atau meningkat > 3 kali dengan gejala klinis.

5. Leptospirosis berat/penyakit Weil

Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat

pekerjaan yang menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih

selokan, sampah, dan lain lain), leukositosis, gagal ginjal. Insidens penyakit

ini meningkat biasanya setelah banjir.

6. Glomerulonefritis akut

Gejala gagal ginjal akut dengan hasil pemeriksaan darah terhadap

malaria negatif.

7. Sepsis

15
Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran,

gangguan sirkulasi, leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil

biakan mikrobiologi.

8. Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome

Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai syok atau

tanpa syok dengan keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati,

manifestasi perdarahan (epistaksis, gusi, petekie, purpura, hematom,

hemetemesis dan melena), sering muntah, penurunan jumlah trombosit dan

peningkatan hemoglobin dan hematokrit, uji serologi positif (antigen dan

antibodi). 8

I. TATA LAKSANA

Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit (RS)

atau puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga kurang memadai,

misalnya jika dibutuhkan fasilitas dialisis, maka penderita harus dirujuk ke RS

dengan fasilitas yang lebih lengkap. Prognosis malaria berat tergantung

kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.9

1. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik non Perawatan

Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien

malaria berat harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap.

Sebelum dirujuk berikan artesunat intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb)

2. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik Perawatan atau Rumah Sakit

16
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia

dapat diberikan kina drip. Kemasan dan cara pemberian artesunat Artesunat

parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam

artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%.

Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat.

Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml

sehingga didapat konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan secara

bolus perlahan-lahan. Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb

intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4

mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu minum

obat.

Gambar 1. Algoritma penanganan malaria berat dan malaria serebral9

17
Penatalaksanaan malaria serebral mirip dengan penatalaksanaan malaria

berat lainnya. Kebanyakan malaria berat melibatkan beberapa organ. Yang

menjadi fokus kali ini adalah pasien malaria serebral yang mengalami

penurunan kesadaran, inflamasi di otak, dan mungkin mengalami tekanan

tinggi intrakranial. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

yaitu :6

1. Deteksi dini dan pengobatan komplikasi berat lainnya seperti

bangkitan/kejang, syok, cedera ginjal, pneumonia, gangguan elektrolit,

gangguan asam-basa, gangguan oksigenasi jaringan, koagulasi intravaskular

diseminata, dll.

2. Waspadai infeksi iatrogenik, terutama pada pasien dengan pemasangan

kateter intravena, pipa endotrakeal, atau kateter saluran kemih, dan

waspadai juga kemungkinan terjadinya pneumonia aspirasi.

3. Pengawasan terhadap tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial dan ancaman

herniasi otak. Upaya deteksi tekanan tinggi intrakranial dilakukan dengan

pemeriksaan neurologis berkala (pemantauan skala koma Glasgow atau

skala evaluasi tingkat kesadaran lain, pemeriksaan pupil, funduskopi, dan

mencari paresis nervi occulares, dll) maupun pencitraan otak pada pasien

dengan klinis penurunan kesadaran, kejang, dan atau nyeri kepala.

4. Pungsi lumbal dan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding

kelainan otak primer.

18
J. KOMPLIKASI

Orang dewasa jarang (<3% kasus) menderita gejala sisa neurologis,

tetapi 15% dari anak-anak yang selamat dari malaria serebral terutama mereka

dengan hipoglikemia, anemia berat, kejang berulang, dan koma yang dalam

mengalami komplikasi. Komplikasi ini dapat berupa:10

1. Hemiplegia

2. Cerebral palsy

3. Kebutaan kortikal

4. Ketulian

5. Gangguan kognisi dan pembelajaran (semua dengan durasi yang bervariasi)

6. Defisit bahasa yang persisten pada sekitar 10% anak

7. Meningkatnya kejadian epilepsi

K. PENCEGAHAN

Manajemen pencegahan terdiri dari:7

1. Pengetahuan tentang transmisi malaria di daerah kunjungan, pengetahuan

tentang infeksi malaria, menghindari dari gigitan nyamuk.

2. Pemilihan obat kemoprofilaksis tergantung dari pola resistensi daerah

kunjungan, usia pelancong, lamakunjungan,kehamilan, kondisi penyakit

tertentu penderita, toleransi obat dan faktor ekonomi.

3. Obat kemoprofilaksis yang dapat dipakai sebagai obat pencegahan ialah

Atovaquone-proguanil (Malarone), Doksisiklin, Klorokuin dan Meflokuin.

Obat yang ideal ialah atovaquoneproguanil karena berefek pada parasit yang

19
beredar di darah dan hati. Oleh karena itu, obat ini dapat dihentikan 1

minggu setelah selesai perjalanan, sedangkan obat yang lain harus

diteruskan sampai 4 minggu selesai perjalanan. Atovaquone-proguanil dapat

dimulai 1-2 hari sebelum perjalanan sedangkan Meflokuin harus dimulai 23

minggu sebelum perjalanan.

Selama rawatan pasien telah diberikan edukasi mengenai transmisi

malaria di daerah kunjungan, pengetahuan tentang infeksi malaria,

menghindari dari gigitan nyamuk dan pemilihan obat kemoprofilaksis bila

berkunjung ke daerah endemis.7

L. PROGNOSIS

Prognosis malaria serebral tergantung pada kecepatan dan ketepatan

diagnosis dan penanganan yang tepat. Pada koma dalam, tandatanda herniasi,

kejang berulang, hipoglikemia berulang dan hiperparasitemia berisiko

kematian tinggi. Prognosis juga tergantung dari jumlah dan berat kegagalan

fungsi organ. Pada cairan serebrospinal, bila kadar laktat > 6 mmol/l

mempunyai prognosis fatal. Hasil CT scan edema otak difus dihubungkan

dengan prognosis yang jelek.2

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahayu. 2011. Malaria Serebral. Jurnal Universitas Muhammadiyah

Malang 7(15): 1-5

2. Husna, M., Prasetyo, S.H. 2016. Aspek Biomolekuler dan Update Terapi

Malaria Serebral. Jurnal MNJ 2(2): 79-88

3. Geleta, G., Ketema, T.2016. Severe Malaria Associated with P. falciparum

and P. vivax among Children in Pawe Hospital, Northwest Ethiopia.

Hindawi: 3-7

4. Renin, L., Howland, S.W., Claser, C., Gruner, A.C., Suwanarus, R., Teo,

T.H, dkk. 2012. Cerebral Malaria. Landes Bioscience 3(2): 193-201

5. Valentina, M. 2018. Cerebral Malaria. Journal of Neurology and Stroke 8

(4): 216-221

6. Mawuntu, A.H.P. 2018. Malaria Serebral. Jurnal Sinaps 1(3): 1-21

7. Siregar, M.L. 2015. Malaria Berat dengan Berbagai Komplikasi. Jurnal

Kedokteran Syiah Kuala 13(3): 149-156

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2013. Pedoman Tata Laksana

Malaria. Jakarta

9. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus

Malaria. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta

10. Kumar, N. 2011. Textbook of Neurology. PHI. New Delhi

21

Anda mungkin juga menyukai