Anda di halaman 1dari 9

Rumah Adat Papua

Rumah Adat Honai Asal Papua


Rumah adat Honai merupakan rumah adat yang dimiliki oleh masyarakat suku Dani
yang letaknya terletak di Lembah pegunungan provinsi Papua. Nama Honai berasal dari kata
Husn yang berarti laki-laki dan ai yang berarti rumah. sesuai dengan arti tersebut honai
berarti rumah adat yang banyak dihuni oleh laki-laki.
Suku Dani membangun Honai terinspirasi dari burung yang membuat sarang sebagai
tempat tinggal yang nyaman dan terlindung dari panas dan hujan. Bentuk Honai memang
terlihat khas dengan dinding bundar dan atap melengkung seperti setengah bola. Dalam
pembuatannya, rumah adat Papua ini sama sekali tidak menggunakan paku namun
menggunakan bahan-bahan alam seperti rotan untuk mengikatnya. Dinding Honai terbuat
dari papan dengan kedua ujung runcing seperti tombak yang disebut papan cincang.
Terdapat pula balok kayu di tengah ruangan sebagai penyangga atap Honai. Kayu buah
digunakan sebagai penutup rangka dan juga atap Honai. Ada juga atap Honai yang ditutup
dengan menggunakan alang-alang.
Sementara untuk alas tempat tidur di dalam Honai, digunakan lokop atau pinde yang
bentuknya menyerupai bambu kecil. Pembangunan rumah adat dari Papua dimulai dari
balok kayu di tengah rumah yang diberi alas batu agar tidak cepat lapuk. Kemudian mereka
akan bergotong royong membuat bagian dinding dan rangka atap honai bersama kerabat
atau masyarakat setempat. Terakhir adalah menutup atap dengan jerami dan alang-alang
yang sudah diasapi dan rumah pun bisa ditinggali. Pada bagian dalam rumah adat Papua ini
terdapat tungku untuk memasak dan juga menghangatkan diri.

Filosofi Bentuk
Rumah ini memiliki bentuk dasar lingkaran dengan kerangka kayu dan bendinding
anyaman. Memiliki atap dengan bentuk kerucut yang terbuat dari jerami. Bangunan rumah
adat ini memiliki ukuran tinggi sekitar 2,5 meter dan lebar 2,5 meter pula. Dengan
ketinggian tersebut maka bangunan rumah ini tergolong cukup rendah. Adapun filosofi dari
rendahnya bangunan tersebut adalah untuk menahan udara dingin dari luar agar tidak
sepenuhnya masuk ke dalam rumah, jika dilihat dari udara rumah ini seperti jamur yang
berjejer di sepanjang lembah.
Dalam data Litbang Perumahan dan Permukiman menyebutkan bahwa keragaman
bentuk maupun penggunaan bahan bangunan sangat dipengaruhi oleh kondisi lokus dan
ketentuan dalam setiap kelompok suku. Jadi memang benar, jika kondisi suatu tempat
sangat berpengaruh dalam setiap model bangunan.

Bentuk rumah dengan atap menutup hingga ke bawah ini ternyata memiliki filosofi
tersendiri. Ia memiliki fungsi untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak
terkena air hujan. Sekaligus dapat meredam hawa dingin agar tidak termasuk ke dalam
rumah. Rumah Honai ini tidak memerlukan jendela karena suhu di sana mencapai 10-15
derajat celcius pada waktu malam. Hanya terdapat satu pintu untuk akses keluar-masuk
dengan ventilasi kecil.

Selain itu, pada bagian tengah ruangan ini dilengkapi dengan ruangan berbentuk
lingkaran sebagai tempat menghangatkan badan. Jika ingin menghangatkan badan, maka
lingkaran api tersebut dinyalakan dengan menggunakan sedikit kayu bakar.
Apalagi dengan bangunan rumah yang berada di sekeliling lembah dan pegunungan
sehingga memiliki suhu yang sangat dingin di sekitar Puncak Jayawijaya. Ketinggian gunung
tersebut bahkan mencapai 2.500 meter di atas permukaan laut.
Adapun filosofi dari dibuatnya bangunan dengan satu pintu tanpa jendela adalah
untuk melindungi diri dari binatang buas. Sedangkan untuk bagian atap yang dibuat kerucut
adalah untuk melindungi permukaan dinding dari air hujan. Selain itu hal itu juga bertujuan
untuk mengurangi udara dingin yang masuk ke dalam rumah.
Ruangan rumah Honai termasuk bangunan yang sederhana yang terdiri dari 2 lantai.
Untuk lantai pertama digunakan sebagai tempat tidur, sedangkan lantai kedua digunakan
sebagai ruang istirahat, ruang makan serta ruang berkumpul bersama keluarga.
Seperti pada umumnya, rumah adat honai berfungsi sebagai tempat tinggal, namun
pada zaman dahulu rumah ini banyak digunakan sebagai tempat mengatur strategi atau
menyimpan alat perang. Selain itu, keunikan dari rumah honai ini hanya dikhususkan
sebagai tempat tinggal laki-laki.
Honai bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tapi juga memiliki fungsi lain.
Honai lelaki biasanya dijadikan tempat berkumpul para warga untuk berdiskusi. Honai juga
digunakan sebagai kandang babi, tempat menyimpan umbi-umbian hasil panen, serta
pengasapan mumi. Bahkan, Honai yang digunakan untuk pengasapan mumi bisa ditemukan
di Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat dua mumi paling terkenal di Lembah Baliem.
Dalam sistem sosial, fungsi rumah Honai juga dikenal sebagai tempat berkumpul
untuk membahas strategi perang.
Dalam sistem budaya, Filosofi Honai Bentuk bulat dan melingkar dari rumah honai memiliki
filosofi yang dipegang teguh oleh masyarakat Dani, yang mencerminkan nilai-nilai yang diturunkan dari
generasi ke generasi, yaitu sebagai berikut: Kesatuan dan persatuan yang paling tinggi untuk mempertahankan
dan mewariskan budaya, suku, harkat, martabat yang telah di pertahankan oleh nenek moyang dari dulu
hingga saat ini. Bermakna sehati, sepikir dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Filosofi Nilai
1. Nilai menjaga kesatuan dan persatuan
Honai memiliki atau nilai menjaga kesatuan dan persatuan sesama suku, serta
mempertahankan budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur untuk selamanya. Waktu
pembangunan Honai pun ditentukan secara spesifik dan harus diikuti, agar
pembangunannya tidak terhambat oleh cuaca ataupun ancaman bencana alam.
2. Sehati, satu pikiran, dan satu tujuan
Dengan tinggal bersama di dalam satu Honai, semua orang akan sehati, satu pikiran, dan
satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Honai dan Ebe'ai juga merupakan sarana
pendidikan. Di dalam Honai, anak laki-laki dilatih agar menjadi orang yang kuat. Sedangkan
di Ebe'ai, perempuan dewasa akan melakukan proses pendidikan bagi remaja perempuan.
3. Simbol kepribadian dan harga diri
Honai merupakan simbol kepribadian dan harga diri penduduk suku Dani di Papua yang
harus dijaga oleh keturunan atau anak cucu mereka di kemudian hari. Di tengah modernitas,
arsitektur tradisional Honai tetap dipertahankan. Material yang digunakan pun berasal dari
bahan alami yang dapat diperbaharui, mulai dari rangka kayu, dinding anyaman, hingga atap
jerami merupakan bahan yang ramah lingkungan.
Filosofi Warna

 Warna coklat adalah salah satu warna yang mengandung unsur bumi dan dominasi
warna ini akan memberi kesan hangat, nyaman dan aman. Secara psikologis warna
coklat akan memberi kesan kuat dan dapat diandalkan dan melambangkan sebuah
pondasi dan kekuatan hidup.

Pakaian Adat Papua

Papua memiliki keragaman budaya yang tercermin melalui adatnya. Keunikan


pakaian adat Papua dapat diamati dari segi karakteristik maupun filosofinya.

Pakaian adat Papua memiliki orisinalitas tersendiri karena belum terpengaruh


dengan budaya luar. Jadi, baju adat tersebut menggambarkan ciri khas asli dari masyarakat
Papua.

Baju adat khas Papua juga mengisyaratkan bahwa masyarakatnya dapat hidup
menyatu dengan alam. Oleh karena itu, tidak heran jika baju adat Papua dianggap unik, baik
oleh bangsa Indonesia maupun internasional.
Bagi masyarakat asli papua, menengenakan pakaian adat warisan nenek moyang
merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Mengenakan pakaian adat dinilai sebagai wujud
penghormatan mereka kepada nenek moyang.

Aksesoris Pakaian Adat Papua. Selain mengenakan pakaian yang menyatu dengan
alam, aksesoris yang digunakan orang-orang Papua juga tak kalah unik. Salah satu aksesoris
yang kerap dikenakan oleh orang-orang Papua ialah hiasan kepala. Hiasan tersebut terbuat
dari rambut ijuk, bulu burung kasuari, ayaman daun sagu, manik-manik dari kerang, ataupun
gigi anjing yang dikalungkan. Konon, aksesoris tersebut tidak bisa dilepaskan dari baju adat
asli Papua.

1. Koteka

Koteka merupakan bagian dari pakaian adat Papua yang berfungsi untuk menutupi
kemaluan penduduk pria asli Papua, sementara bagian tubuh lainnya dibiarkan terbuka
sehingga nyaris telanjang. Koteka, secara harfiah memiliki makna sebagai pakaian. Koteka
juga disebut dengan horim atau bobbe.

Koteka terbuat dari bahan kulit labu air yang telah dihilangkan biji dan buahnya. Labu air
yang dipilih harus yang sudah tua karena labu yang tua jika dikeringkan mempunyai tekstur
yang keras dan awet. Labu tua tersebut ditanam di dalam pasir atau tanah kemudian
dibakar agar lebih mudah untuk mengeluarkan biji dan buahnya. Setelah berhasil
dikeluarkan biji dan buahnya, labu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di atas
perapian. Bentuknya panjang seperti selongsong dan ujungnya meruncing seperti kerucut
atau lebih mirip batang buah wortel. Di bagian ujung koteka diberi bulu ayam hutan atau
bulu burung.

Koteka dipakaikan ke bagian vital pria. Agar tidak mudah lepas, di kiri dan kanannya
terdapat tali agar koteka dapat melilitkan tali tersebut ke bagian pinggang penggunanya.
Bagi laki-laki yang masih perjaka, koteka dipakai dengan posisi tegak lurus ke atas.
Sementara bagi laki-laki yang memakai koteka dengan posisi ke atas dan miring ke kanan,
melambangkan kejantanan dan memiliki status sosial yang tinggi ataupun kebangsawanan.

Anggapan umum yang beredar mengatakan bahwa ukuran, baik panjang dan besar, koteka
melambangkan status pemakainya. Namun pada kenyataannya bukanlah demikian. Ukuran
koteka dipilih berdasarkan aktivitas apa yang sedang dilakukan. Koteka pendek digunakan
saat mereka bekerja dan aktivitas sehari-hari seperti bercocok tanam, berburu, dan
beternak. Sedangkan untuk acara-acara adat, mereka menggunakan koteka yang berukuran
panjang.

Koteka yang dipakai oleh suku satu bisa berbeda dengan koteka yang dipakai oleh suku lain.
Misalnya koteka yang digunakan suku Yali, mereka lebih menyukai bentuk labu yang
panjang. Sementara itu ada suku lain, sebut saja suku Triom biasanya memakai koteka yang
berbentuk dua labu.

Pada tahun 1950, penduduk pribumi Papua mendapatkan kunjungan sosialisasi penggunaan
celana pendek. Kampanye ini bertujuan untuk mengganti peran koteka agar dapat menutupi
bagian vital pria lebih menyeluruh.

Kampanye tersebut memerlukan perjuangan yang panjang dan tidak mudah. Penduduk
yang ada di Lembah Baliem contohnya, Suku Dhani, terkadang menggunakan celana
pendek, namun di saat yang lain mempertahankan koteka.

Secara perlahan penggunaan koteka dibatasi, terlebih penggunaan di tempat-tempat umum


yang dapat dilihat oleh banyak orang misalnya di sekolah, di terminal, di kantor, dan lain-
lain. Beberapa waktu lalu, viral berita dilarangnya penggunaan koteka di ruang sidang
pengadilan. Keberadaan koteka di zaman ini lebih sering diperjualbelikan untuk
cinderamata. Penggunaan koteka masih banyak dijumpai di wilayah pegunungan, seperti
Wamena. Jika ada wisatawan yang berfoto dengan penduduk yang menggunakan koteka,
biasanya perlu membayar beberapa puluh ribu sesuai kesepakatan.

Pembatasan koteka ini dimulai tahun 1964 sejak dimulainya kampanye antikoteka.
Kemudian pada tahun 1971, diadakan distribusi pakaian dan celana untuk penduduk di
sana. Sayangnya distribusi tersebut tidak dibarengi dengan pemberian sabun cuci baju,
sehingga baju dan celana yang sudah dipakai menjadi kotor dan tidak pernah dicuci.
Akibatnya, banyak penduduk Papua yang terkena penyakit kulit.

2. Baju Kurung
Baju kurung merupakan pakaian adat Papua yang digunakan oleh para wanita
sebagai atasan. Bahan dari baju kurung adalah kain beludru. Baju kurung mendapatkan
pengaruh dari budaya luar Papua dan banyak dipakai oleh perempuan di Manokwari. Anda
akan menemukan wanita Papua di Papua bagian Barat juga banyak yang mengenakan baju
ini untuk acara adat.

Wanita yang mengenakan baju kurung ini memadupadankan penampilannya dengan rok
rumbai. Tidak jarang para wanita menggunakan aksesoris tambahan saat mengenakan baju
kurung ini. Hiasan rumbai bulu yang melingkar di pinggang, lengan, dan tepi leher.
Kombinasi baju kurung, rok rumbai, dan hiasan rumbai bulu biasanya ditambahkan
beberapa perlengkapan lain agar tampak lebih serasi. Adanya gelang dan kalung yang
terbuat dari biji-bijian yang keras dan penutup kepala yang terbuat dari bulu burung.

3. Rok Rumbai

Rok rumbai merupakan bawahan yang menutupi bagian tubuh bawah wanita Papua.
Biasanya rumbai digunakan secara berpasangan dengan baju kurung. Rok rumbai terbuat
dari bahan daun sagu yang telah dikeringkan kemudian dirajut dengan rapi hingga
membentuk sebuah rok.

Rok rumbai biasanya digunakan oleh penduduk di wilayah pegunungan tengah atau dekat
pesisir pantai. Beberapa kelompok yang masih menggunakan rok rumbai ini adalah Yapen,
Sentani, Enjros, Nafri, Biak Numfor, dan Tobati.

Meski pada umumnya rok digunakan oleh wanita, namun beberapa pria di Papua juga
mengenakan rok berumbai-rumbai ini pada saat diadakan acara adat. Meski tidak begitu
banyak, Grameds tidak perlu terkejut sewaktu melihat saat berkunjung ke Papua.
Cara penggunaan rok rumbai untuk wanita dan pria berbeda. Jika seorang pria mengenakan
rok rumbai, maka dia tidak mengenakan baju kurung seperti wanita. Jika seorang pria
mengenakan koteka, biasanya wanita mengenakan rok rumbai tanpa baju kurung. Bagian
tubuh atas mereka disamarkan oleh tato bermotif flora dan fauna yang tintanya terbuat dari
bahan alami.

4. Pakaian Sali

Pakaian Sali adalah pakaian yang hanya digunakan oleh para gadis atau wanita yang masih
lajang. Baju Sali digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Baju adat ini tercipta dari kulit pohon pilihan atau daun sagu kering. Kulit pohon yang
digunakan harus berwarna coklat agar dapat menampakkan corak yang menarik dan enak
dipandang.
5. Pakaian Yokal

Dalam filosofi di wilayah Papua, wanita yang telah menikah juga mengenakan pakaian
khusus. Selain berfungsi untuk menutup tubuh wanita bagian atas, pakaian ini hanya boleh
digunakan oleh wanita yang sudah menikah.
Bahan pembuatan baju Yokal yakni berupa kulit pohon berwarna kemerahan atau coklat
tanah. Cara pembuatannya yakni dengan dianyam, lalu dililitkan pada tubuh wanita.
Pakaian adat yang telah disebutkan di atas tentu sudah tidak asing lagi di ingatan kita.
Hingga kini, masyarakat Papua masih terus melestarikan pakaian adat tersebut sebagai
warisan nenek moyang dan kekayaan budayanya.
aksesoris pendamping yang dapat menambah nilai eksotis pakaian ini, yaitu:

1. Gigi Anjing dan Taring Babi


Aksesoris satu ini sangat unik yang terbuat dari gigi anjing dan taring babi. Keunikan
tersebut terdapat dari taring babi yang digunakan diantara lubang hidung pemakanya.
Sedangkan gigi anjing hanya sebagai hiasan pelengkap pada kalung.

2. Tas Noken
Tas noken merupakan sebuah tas tradisional khas Papua yang dibawa menggunakan kepala.
Tas ini terbuat dari serat kulit kayu yang digunakan sebagai tempat untuk membawa
berbagai macam barang.
Tas noken memiliki banyak jenis yang dibedakan dari ukuran dan fungsinya. Tas berukuran
besar biasa dipakai oleh para mama yang bekerja sebagai petani untuk mengangkat
berbagai hasil alam yang cukup berat, kayu bakar, berbagai barang belanjaan dan keperluan
lainya.
Sedangkan untuk tas noken berukuran kecil, biasa digunakan para siswa-siswi pelajar untuk
membawa peralatan sekolah seperti buku dan alat tulis lainya.
Tas noken memiliki arti dan makna sebagai simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan
kesuburan bagi masyaraka Papua. Selain itu terdapat aturan khusus yang cukup menarik,
yaitu pembuatan tas noken hanya dapat dibuat oleh orang papua saja, khususnya para
mama-mama di Papua.
Tas noken diputuskan menjadi salah satu warisan budaya oleh UNESCO pada 4 Desember
2012 di Prancis.
Oleh karena itu para wanita di Papua sejak kecil sudah diajarkan untuk membuat tas noken
sebagai lambang kedewasaan wanita Papua.
3. Hiasan Rumbai pada Kepala
Hiasan satu ini berbentuk menyerupai mahkota yang terbuat dari jerami atau daun sagu
kering. Selain itu terdapat bulu burung kasuari berwarna putih dan bulu kelinci sebagai
hiasan pada topi ini. Topi ini dibuat unik dan berbeda, karena hanya dapat digunakan oleh
kepala suku setempat.
4. Gambar pada tubuh
Sebagian besar pakaian adat Papua tidak memiliki bagian atasan, oleh karena itu sebagai
penggantinya merkea menggunakan gambar pada tubuh mereka. Gambar tersebut umunya
memiliki warna:

Merah, warna merah terbuat dari bahan pasta liat.


Sedangkan warna putih, terbuat dari bahan dasar kulit kerang yang dihaluskan.

Anda mungkin juga menyukai