Anda di halaman 1dari 26

ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI

ARSITEKTUR TRADISIONAL

ADJIEMAS WAHYU GILANG PERMANA


AHMAD FAISAL MAULANA
ANDI ETONG
DION ANARKY RIMAN
FAHRURRAZY ARSYAD
FARUK AYUB
INDRA PANGESTY MAMUAYA

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ARSITEKTUR


JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU 2017
ARSITEKTUR TRADISIONAL PAPUA

GEOGRAFI

Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari
wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis,
dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Puncak
Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota
Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban
udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini
mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk
di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada
tahun 2006.

Luas wilayah : 420.540 km²


Iklim : Tropis
Curah hujan : 1.800 – 3.000 mm
Suhu udara : 19-28°C
Kelembapan : 80 – 89 %
PENDUDUK ASLI PAPUA

Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya,
penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Papua pegunungan atau
pedalaman, dataran tinggi dan Papua dataran rendah dan pesisir. Pola kepercayaan agama
tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka
memiliki suatu pandangan dunia yang integral yang erat kaitannya satu sama lain antar dunia
yang material dan spiritual, yang sekuler dan sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing
berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:

 Ansus ·  Korowai
 Amungme  Mandobo / wambon
 Asmat  Mee
 Ayamaru  Meyakh
 Bauzi  Moskona
 Biak  Muyu
 Dani  Nafri
 Empur  Sentani
 Amberbaken  Souk
 Engross  Tobati
 Fuyu  Waropen
 Hatam  Wamesa
 Iha  Kamoro

SUKU DANI

Dani adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau bermukim
atau mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua,Indonesia dan mendiami keseluruhan
Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya.
Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang
dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan
alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan
kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat
menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak
mengenakan ''koteka'' (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para
wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai”
(gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku
masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan
tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah
satu diantaranya yang pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda),
tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem.
HONAI SEBAGAI RUMAH ADAT SUKU DANI

Honai, rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar,
berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang.
Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu
bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan
bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak. Rumah Honai pada umumnya terbagi
menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para
pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu
Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai
dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek
Honai ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik
itu dekat jalan besar (dan satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak
bukit, di kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.
Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya. Jarak dari
permukaan rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian yang
terletak persis di tengah. Tak ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu
sederhana namun bersahaja.
Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke dalam
Honai. Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan dihangatkan oleh asap dari
perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama.
Selama pintu masih terbuka (dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.
Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk
menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan padi. Ada
pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di
Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2 mumi paling terkenal di Lembah Baliem.
 Pola Permukiman Suku Dani

Kompleks permukiman dari suku Dani adalah Silimo. Satu kompleks


silimo terdiri dari beberapa massa bangunan dengan fungsi-fungsi khusus, dan satu
silimo dihuni oleh satu keluarga luas terbatas (extended family).

Keterangan :

1.Pintu masuk (musoholak)


2.Dapur bersama(hunila)
3.Honai perempuan(ebeai)
4.Lubang bakar
5.Honai laki-laki
6.Rumah adat (Pilamo)
7.Kandang babi(wamdabu)
 Fungsi Honai
Rumah Honai mempunyai fungsi antara lain:
a. Sebagai tempat tinggal
b.Tempat menyimpan alat-alat perang
c. Tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna
di masa depan
d.Tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam
pertempuran atau perang
e. Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni
sejak dulu

 Karakteristik Rumah Honai


a. Berbentuk bulat / melingkar
b. Ukurannya sempit ( diameter 4 – 6 m )
c. Ketinggian bangunan sekitar 3 – 7 m ( 2 lantai )
d. Tidak berjendela dan ketinggian pintu sangat rendah ( minim bukaan )

 Bahan Pembuat

Kebiasaaan dari suku atau orang Dani dan Yali dalam membangun Honai
yaitu mereka mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu yang
lama atau bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan yang digunakan
sebagai berikut:
 Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah
Honai
 Kayu buah besar
 Kayu batu yang paling besar
 Kayu buah sedang
 Jagat (mbore/pinde)
 Tali
 Alang-alang
 Papan yang dikupas
 Papan alas dll.
 Atap Honai

Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk
melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai dinding ketika hujan
turun.
Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari
kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di bagian atas sehingga
membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di tingkat paling atas dan vertikal
membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar kubah. Lapisan jerami yang
tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari. Jerami
cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Karena jerami ringan dan lentur
memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu menyerap goncangan
gempa, sehingga apabila terjadi gempa sangat kecil kemungkinan rumah Honai akan
rubuh.

 .Dinding & Bukaan


Honai mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil. Jendela-jendela
ini berfungsi memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu. Ada pula Honai yang
tidak memiliki jendela, Honai tanpa jendela pada umumnya dipergunakan untuk kaum
ibu/perempuan.
Jika Anda masuk ke dalam honai ini, maka di dalam cukup dingin dan
gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Pintunya begitu pendek
sehingga harus menunduk jika akan masuk ke rumah Honai. Di malam hari
menggunakan penerangan kayu bakar di dalam Honai dengan menggali tanah di
dalamnya sebagai tungku, selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk
menghangatkan tubuh. Jika tidur, mereka tidak menggunakan dipan atau kasur,
mereka beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya
mereka mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.

 Lantai
terdiri dari dua lantai, yaitu lantai satu sebagai tempat bersantai dan lantai
panggung yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang berharga dan
istirahat/tidur. Lantai honai dialasi dengan rumput atau jerami yang diganti secara
berkala jika sudah rusak/kotor.

 Ketinggian
Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6 meter.
Rumah Honai ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3
bangunan terpisah. Satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur).
Bangunan kedua untuk tempat makan bersama dimana biasanya mereka makan
beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk kandang ternak terutama babi. Rumah Honai
juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai dasar dan lantai satu di hubungkan
dengan tangga yang terbuat dari bambu/kayu. Biasanya pria tidur melingkar di lantai
dasar , dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya, demikian juga cara tidur
para wanita di lantai satu. Dalam peraturan adat Honai, pria dan wanita (termasuk anak-
anak) tidak boleh tidur disatu tempat secara bersamaan hukumnya tabu.

RUMAH TINGGAL SUKU ARFAK

Bagaikan nama yang mampu menjadi identitas seseorang, karya arsitektur juga mampu
menjadi identitas sekelompok masyarakat. Di Indonesia, identitas nusantara salah satunya
diwujudkan dalam bentuk rumah tradisional seperti pada Rumah Tradisional Honai yang
menjadi identitas rumah tradisional Provinsi Papua. Tetapi dibalik rumah tradisional
masyarakat Papua, terdapat bentuk rumah tradisional lain yang selama ini tersembunyi,
walaupun selama ini selalu hidup dalam masyarakat Papua, yaitu rumah tradisional kaki seribu
yang berada di Pegunungan Anggi, Papua Barat.
Proses pembangunan ibeiya di Kampung Demaisi dilakukan secara gotong royong.
Kaum laki-laki baik masih berumur muda hingga tua ikut berperan dalam proses pembangunan
satu ibeiya. Proses gotong royong tanpa melihat hubungan darah (dalam keluarga), hubungan
suku, maupun hubungan satu agama. Berikut ini adalah langkah-langkah pembangunan ibeiya
berdasarkan hasil wawancara aparat Kampung Demaisi, Distrik Minyambouw: pertama
mempersiapkan material/bahan bangunan; kedua mendirikan tiang pondasi (couwa) yang
dipasang secara grid; ketiga memasang tiang (nenghim) dan (bumnew); keempat pemasangan
tiang miring pada couwa (hauwa) yang berfungsi membantu menyangga ibeiya ketika terjadi
gempa bumi; kelima pemasangan tiang keliling (yeiya); keenam pemasangan bilem pada
tingkat bawah diselang seling dengan kayu betaw tingkat pertama lalu pemasangan kayu bilem
pada tingkat kedua; ketujuh memasang tiang horisontal yang mengikat yeiya; kedelapan
pemasangan kayu tendang pada teras depan dan belakang ibeiya (besai caya dan besai pyowa),
kesembilan memasang icouw di atas tendang.
Langkah selanjutnya adalah: merangkai rangka atau kuda-kuda atap; memasang
gording (ngomma), bubungan (ipowa), usuk (itapmot), dan reng (itawa); memasang penutup
atap daun pandan (cawa); memasang rangkaian perapian; memasang para-para kayu bakar di
atas perapian; memasang rangka kayu pembentuk ruang bilik wanita; memasang kulit kayu
sebagai penutup dinding; memasang gelaga yang dilakukan dengan teknik menyisip diantara
kulit kayu dan yeiya; memasang kayu melintang horizontal pada bagian dalam; memasang
karpet atau penutup lantai bagian paling atas dari bilah bambu (ansana); memasang rangkaian
lemari dan pintu pada ibeiya; dan terakhir memasang pengaman ibeiya dari binatang buas dan
suanggi dengan pemasangan sisa dan beka.

Konsep Konservasi Alam dalam Pembangunan Ibeiya


Dalam mengelola sumber daya alamnya, masyarakat Arfak mengklasifikasikan
kawasan ke dalam empat jenis, yaitu ampiabea (daerah lembab), nuhim (antara panas dan
dingin), reshim (daerah pasang), dan mukti (pesisir) (Laksono, 2001). Pembagian area yang
dimiliki ini berkembang dari generasi ke generasi oleh nenek moyang. Selain pembagian area
kawasan, masyarakat Arfak juga membagi area hutan. Ini dimaksudkan untuk keseimbangan
alam. Masyarakat Arfak memiliki area hutan untuk fungsi yang berbeda-beda sesuai area
hutannya. Konsep ini oleh masyarakat Arfak disebut konsep igya ser hanjop. Istilah ini muncul
dari bahasa Hatam yang berasal dari tiga kata, yaitu igya, ser, dan hanjop. Igya artinya kita
berdiri, ser artinya pele (penghalang, menjaga), dan hanjop artinya batas. Jadi arti harfiah igya
ser hanjop kurang lebih kita berdiri menjaga batas. Lebih lanjut igya ser hanjop dapat diartikan
“Mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama” (Laksono, 2001).
Konsep igya ser hanjop menurut Laksono (2001) terdiri atas beberapa konsep.
Pertama, bahamti, yaitu wilayah hutan primer yang lokasinya berada lebih tinggi dari
perkampungan penduduk. Wilayah ini secara adat tidak boleh dipakai untuk mendirikan kebun
atau rumah. Di hutan inilah, kayu diambil untuk membangun kolom rumah, kulit kayu untuk
dinding rumah, dan tali kayu untuk mengikat rumah.
Kedua, nimahamti , sama halnya dengan bahamti, wilayah ini tidak boleh dijadikan
kebun dan mendirikan rumah Karena wilayah ini sangat lembab dan dingin. Tidak semua
tanaman dapat tumbuh subur.
Susti, merupakan hutan sekunder, yaitu hutan yang sebelumnya sudah pernah dibuka
untuk membuat kebun namun sudah ditinggalkan dan sudah tumbuh pohonnya menjadi hutan
kembali. Wilayah ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu: susngoisi (bekas kebun yang
ditinggalkan selama setahun dan muncul tunas kecil) dan susmahan (bekas kebun yang sudah
ditinggalkan sekitar lima tahun dan ditumbuhi oleh pohon dengan diameter sekitar 30-40 cm).
Ketika akan mendirikan ibeiya, kayu, kulit kayu, dan daun yang digunakan diambil dari
pohon yang telah ditentukan keberadaannya di area hutan mana. Contoh, kayu arwob yang
digunakan pada ibeiya telah ditentukan pengambilannya pada area susti saja, pada area lainnya
untuk jenis pohon lainnya.

Konsep Konservasi Tanah Ibeiya

Proses pembangunan rumah diawali dengan ritual khusus sebelum berangkat mencari
bahan bangunan di hutan. Setelah sampai di hutan (baik bahamti, nimahamti, maupun susti),
ritual doa selanjutnya juga dilakukan di sekitar area pengambilan kayu tersebut. Konsep
konservasi tanah terletak pada tahap ini.
Kayu yang akan digunakan tidak serta merta kemudian langsung ditebang tetapi akan
dilucuti dahulu daun-daun pada pohon tersebut. Kemudian pohon ditinggal selama sekitar
sebulan atau dua bulan, lalu kemudian pohon ditebang. Proses penebangan seperti ini juga
berlaku apabila mereka akan membuat kebun di hutan, dimana pohon tidak langsung ditebang
tetapi dilucuti terlebih dahulu daun dan beberapa batang kecil pada pohon.
Alasan proses ini dilakukan adalah untuk tanah dari proses erosi atau tanah longsor.
Ketika pohon terlebih dahulu dilucuti daunnya, pohon akan perlahanlahan mati layu hingga
cengkeraman akar pohon menjadi melemas pada tanah. Penebangan pohon setelah itu
diharapkan akan lebih tidak merusak tanah dibandingkan apabila pohon ditebang tanpa proses
melucuti daun sebulan dua bulan sebelumnya.

Kearifan Lokal Masyarakat Arfak dalam Desain Ibeiya


Menurut Johnson (1996), kearifan local adalah sekumpulan pengetahuan yang
diciptakan oleh generasi ke generasi dalam sekelompok masyarakat yang menyatu dengan
alam. Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan yang berkembang dalam suatu masyarakat
secara turun temurun dan dengan bijaksana menjadi norma dan nilai bijak dalam masyarakat
yang menyatu dengan alam.
Masyarakat Kampung Demaisi, berdasarkan riset yang dilakukan peneliti, diketahui
juga memiliki kearifan lokal. Masayarakat Arfak telah memiliki pengetahuan lokal tentang
kondisi ekologis wilayah Pegunungan Arfak yang merupakan pegunungan tropis serta
memiliki kearifan lokal dalam mengelola kawasan hutan dan berbagai sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya. Beberapa kearifan lokal tersebut diantaranya seperti yang diuraikan
pada gambar 4 (a).
Kondisi iklim yang dingin membuat masyarakat Kampung Demaisi tidak tinggal diam
tetapi menciptakan perapian (atremti) di dalam rumah. Letak perapian berada pada sisi kiri dan
kanan rumah, terletak di samping ruang tidur laki-laki (nghimma) dan ruang tidur wanita
(nghimma). Di atas atremti terdapat para-para untuk menaruh persediaan kayu bakar. Uniknya
ketika beristirahat di ruang nghimma, posisi tidur adalah sisi kaki menghadap langsung dengan
atremti. Cara tidur demikian untuk menghangatkan kaki masyarakat Kampung Demaisi ketika
tidur. (Gambar 4 [b]).
Desain ibeiya yang memiliki letak perapian di sisi kiri dan kanan rumah menyebabkan
adanya pola aliran asap seperti yang tampak di gambar atas. Karena adanya asap, masyarakat
membuat jarak antara dinding dan atap rumah sekitar 10-25 cm agar asap dapat keluar.
Konstruksi ibeiya yang memiliki banyak pori-pori juga membantu keluarnya asap (Gambar 4
[c]).
Udara akan mengalir dari bagian bertekanan tinggi (dingin) ke bagian yang bertekanan
rendah (panas). Hal ini berlaku untuk arah horisontal maupun vertikal. Dalam arah vertikal,
kecenderungan hawa panas mengalir dari bagian yang rendah ke bagian yang lebih tinggi
(Mangunwijaya, 1988). Teori ini didukung oleh Frick, dkk (2008) yang menyatakan bahwa
ventilasi vertikal terjadi karena daya alami yang dinamai stack effect. Daya ini terjadi akibat
perbedaan suhu udara. Udara dengan suhu lebih tinggi mempunyai berat yang lebih ringan
sehingga akan bergerak ke atas dan tempat yang ditinggalkan akan diisi oleh udara dengan
suhu lebih rendah.
Oleh Frick, dkk (2008), sistem ventilasi vertikal yang baik membutuhkan lubang keluar
di bagian atas ruang dan lubang udara masuk di bagian bawah. Pergerakan angin ini juga sama
dengan pergerakan asap yang terjadi di dalam ibeiya. Ketika api menyala, asap dari api
bergerak ke atas karena dorongan dari angin dingin di bawah untuk naik ke atas. Arifnya, oleh
masyarakat di dalam rumah ibeiya terdapat dua lubang di sisi bawah dan atas sehingga asap
dapat bergerak (ditunjukkan dalam ilustrasi gambar 9) seperti dalam teori yang diungkapkan.
Tetapi, asap yang timbul di dalam ibeiya ketika api perapian menyala, tidak membuat
nyaman orang yang sedang berdiri di ruang tengah. Apabila menilik kembali pada kehidupan
sehari-hari masyarakat, di dalam rumah jarang sekali ada aktivitas dalam posisi berdiri di
dalam rumah. Tidur, bercengkerama dengan anggota keluarga, maupun memasak semua
dilakukan dalam keadaan duduk. Asap api ini aman apabila penghuni dalam keadaan duduk.
Apabila penghuni dalam keadaan berdiri, asap akan mengenai mata dan hidung yang apabila
dihirup dalam waktu yang lama dan rutin dapat menyebabkan gangguan pernapasan.
Walaupun memiliki perapian dalam desain ibeiya dengan material dominan berjenis
kayu tidak membuat ibeiya mudah terkena bencana kebakaran. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan, masyarakat mengungkapkan belum terjadi kasus kebakaran ibeiya di dalam
kampung. Adapun pada perapian ibeiya, terdapat lapisan khusus yang didesain oleh nenek
moyang Suku Arfak secara turun temurun (Gambar 4 [d]).

Rumah Ibeiya dan Sirkulasi Udara Alami

Kondisi dingin yang disebabkan oleh posisi kampung yang tinggi menyebabkan
penghuni menghindari aliran angin masuk ke dalam rumahnya. Kearifan masyarakat Kampung
Demaisi mengatasi iklim ekstrim dingin dataran tinggi tropis ini terwujud dalam desain ibeiya.
Konsekuensi menghindari pergerakan udara adalah menimbulkan peningkatan
kelembaban udara dalam rumah . Mangunwijaya (1988) mengungkapkan bahwa untuk
meminimalisir kelembaban yang bersifat merusak, kita harus selalu mengusahakan pengaliran
hawa udara yang mudah menembus rumah. Ventilasi diperoleh dengan memanfaatkan
perbedaan bagianbagian ruangan yang berbeda suhunya, dan karena itu berbeda tekanan
udaranya. Oleh sebab itu, walaupun pergerakan udara dapat membawa angin dingin,
pergerakan udara tetap dibutuhkan di dalam ibeiya agar penghuni dapat merasa lebih nyaman.
Dengan arif, masyarakat tetap mengusahakan adanya pergerakan dalam rumah. Tetapi
pergerakan udara di atur hanya berada pada garis utama rumah yaitu dari pintu depan ke pintu
belakang atau sebaliknya. Denah ruang dibagi menjadi dua area yaitu kiri dan kanan dengan
pintu depan dan belakang sebagai pembagi. Nampak pada ilustrasi gambar di bawah, denah
demikian menyebabkan aliran angin apabila masuk melalui pintu akan lurus sejajar hingga
akhirnya keluar melalui pintu lainnya. Dengan demikian, ruangan sisi kiri dan kanan rumah
tidak terkena banyak aliran angin dingin.
Masyarakat Kampung Demaisi tidak mendesain jendela di dalam ibeiya, Karena
jendela mampu menambah masuknya angina dingin dari luar rumah. Alasan tidak adanya
jendela, juga karena oleh masyarakat setempat untuk menghindari mudahnya suanggi masuk
rumah. Suanggi adalah pembunuh bayaran yang ditakuti warga, dimana suanggi bekerja
dengan menggunakan kekuatan gaib.
Terdapat celah kotak yang sangat kecil yang dapat dibuka tutup dari dalam rumah
berukuran 10 cm X 15 cm, dua buah di depan dan dua buah di belakang. Dimana fungsi kotak
kecil ini bukan untuk mengalirkan udara atau memasukkan cahaya seperti fungsi jendela pada
umumnya melainkan sebagai sarana untuk mengintip keadaan luar apakah ada bahaya atau
ancaman dari luar.

Pemilihan Bahan Bangunan dalam Mengisolasi Panas


Bahan bangunan yang dominan dalam penyusun ibeiya adalah kayu. Giancoli (1998)
dalam percobaannya menemukan formula aliran kalor ΔQ per selang waktu Δt dipengaruhi
oleh nilai k (konduktivitas termal), perbedaan suhu diantara kedua material, luas permukaan
material, dan jarak antara kedua ujung benda/ material.
Nilai k berbeda-beda untuk setiap material atau bahan bangunan. Untuk kasus ibeiya
yang didominasi jenis materi kayu dinilai sangat baik dalam mengisolasi panas. Konduktivitas
kayu hanya 1/10 dari konduktivitas
batu bata, dimana besar konduktivitas termal kayu adalah 0.08-0.16 J/s.m.C0
sedangkan konduktivitas termal batu bata adalah 0.84 J/s.m.C0 (Giancoli, 1998). Melihat
formula di atas, maka aliran perpindahan kalor per waktu sebanding atau berbanding lurus
dengan konduktivitas termalnya apabila variabel formula lain dianggap konstan.
Dengan demikian, aliran perpindahan kalor pada kayu hanya sekitar sepersepuluh dari
aliran perpindahan kalor rumah jenis tembok per detik. Desain ibeiya yang dominan
menggunakan kayu dinilai tepat dalam mengatasi iklim dingin pegunungan tinggi.

Pola Permukiman Ibeiya Hubungannya dengan Mata Angin dan Arah Angin

Arah hadap ibeiya di Kampung Demaisi tidak menghadap jalan tetapi tidak dipengaruhi
arah jalan kampung. Berbeda dengan jenis rumah tinggal lain pada kampung ini yaitu rumah
papan dan rumah tembok yang desainnya menghadap jalan kampung.
Ketika bertanya, alasan masyarakat adalah karena jalan kampung menghadap arah mata
angin utara-selatan. Di kampung demaisi, suhu udara terasa dingin sehingga masyarakat ingin
memaksimalkan sinar matahari. Sehingga, arah hadap ibeiya akan cenderung menghadap
timur-barat bukan utara-selatan.
Tetapi, karena arah timur-barat sejajar dengan arah aliran angin dari gunung ke lembah
dan sebaliknya, maka arah hadap ibeiya di Kampung Demaisi agak menyerong 20- 22⁰ dari
mata angin timur-barat untuk menghindari arah angin tetapi tetap masih mendapatkan sinar
matahari yang maksimal.

Ibeiya berkonsep permakultur

Konsep hijau pada beberapa hunian kota yang memiliki kebun sendiri di sekitar rumah
untuk konsumsi pribadi juga dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat Kampung
Demaisi. Setiap rumah di kampung ini, memiliki kebun sendiri yang fungsinya ratarata untuk
memenuhi kebutuhan pribadi, bukan untuk komersial. Letak kebun terletak di belakang atau
di samping rumah.
Desain Tahan Bencana Alam Gempa Bumi Ibeiya

Salah satu konstruksi sub struktur ibeiya terdiri dari tiang hauwa yaitu tiang miring ke
arah depan dan samping pada bagian pondasi ibeiya yang berfungsi sebagai penahan ketika
terjadi bencana alam gempa bumi. Konstruksi hauwa sudah ada dari zaman nenek moyang
masyarakat Kampung Demaisi.

RUMAH ADAT SUKU MOMUNA KAB. YAHUKIMO PAPUA


Pola pemukiman komunitas suku di Papua cukup variasi. Suku-suku yang bermukim
di pesisir umumnya membangun rumah panggung berjejer di pinggir pantai. Demikian halnya
suku yang bermukim di pinggir sungai juga membanun pemukiman linear. Sementara suku-
suku yang bermukim di hutan-hutan dan hulu-hulu sungai membangun rumah terpencar-
pencar dalam kawasan wilayah ulayat mereka. Sedangkan suku-suku di wilayah dataran tinggi
Papua membangun kawasan pemukiman mereka dengan pola terpusat dalam bentuk
kampungkampung dengan jumlah jiwa yang besarnya mencapai ribuan orang (Lukito, 2012 :
17).
Di Indoneisa, pemukiman suku atau komunitas lokal masih dapat disaksikan di banyak
pulau, gunung dan pedalaman terpencil. Bagi kita, banyak hal-hal dari suku-suku yang unik
dan baik untuk dipelajari. Dalam konteks kebudayaan, setiap suku memiliki kearifan terhadap
lingkungan dan kemanusiaan. Suku adalah kelompok manusia yang berbicara dalam bahasa
memiliki kebudayaan yang sama, serta tinggal di daerah tertentu (Haviland,1995). Setiap suku
memiliki konsep khas yang memperlihatkan kekayaan dan keragaman budaya Indonesia.
Berbeda dengan zaman prasejarah, ruang pemukiman masyarakat suku sudah semakin
jelas dan permanen. Pembedaan ruang bukan hanya dari aspek profan dan sakral, melainkan
juga gender, manusia, dan binatang dan seterusnya. Suku-suku juga menerapkan konsep ruang
dengan makna yang subtantif (Riyanto dan Mahmud, 2006: 281-282).
Menurut (Soejono, 1993), rumah merupakan satu budaya materi yang diyakini muncul
seiring dengan perubahan pola mata pencaharian manusia prasejarah. Perubahan pola mata
pencaharian dari berburu dan mengumpulkan makanan manuju kegiatan bercocok tanam
sederhana membawa perubahan besar terhadap keseluruhan aspek kehidupan manusia. Pada
masa bercocok tanam dan kehidupan menetap inilah manusia mulai memikirkan cara-cara
untuk melindungi diri dari cuaca tidak bersahabat dan juga serangan binatang buas. Hal inilah
yang menjadi awal manusia membuat rumah.
Dalam kehidupan menetap, suku Momuna memiliki dua bentuk arsitektur tradisional:
(1) rumah persalinan; (2) rumah pohon atau rumah tinggi. Menurut adat-istiadat suku Momuna,
seorang Rumah Pohon Suku Momuna Yahukimo ibu yang akan melahirkan, maka dibuat
rumah khusus untuk persalinan, disebut rumah tanah. Di dalam rumah tanah akan dipasangkan
dua kayu yang pada bagian tengahnya diberi celah. Dua kayu yang pada bagian tengahnya
diberi celah berfungsi untuk duduk atau berbaring. Dibawahnya kayu tempat berbaring dan
duduk diletakkan rumput, sehingga apabila ibu hendak melahirkan, maka bayi yang baru lahir
akan tergeletak di atas rumput-rumput tersebut (wawancara dengan Cavin Keyke, Desember
2014.
Suku Momuna adalah suku-suku yang hidup di hutan-hutan dan membangun rumah
terpencarpencar di dusun-dusun wilayah ulayat mereka. Suku Momuna merupakan salah satu
suku yang hidup di dataran rendah Kabupaten Yahukimo.
PEMBUATAN RUMAH POHON/RUMAH TINGGI
Bentuk rumah setiap suku-suku yang ada di dunia, khususnya suku Momuna dapat
mewakili pengetahuan manusia mengenai teknologi, sistem ekonomi, iklim, material dan
organisasi sosial suatu masyarakat. Bentuk rumah yang masih menyimpan arsitektur
tradisional sebagai bukti adanya budaya kompleks suatu kelompok manusia, maka aspek-
aspek lain dalam kehidupan manusia dapat pula diungkap (Rapoport, 1969 : 40).
Rumah pohon/rumah tinggi suku Momuna, merupakan rumah ekstented family atau
rumah keluarga luas, karena masih memiliki satu garis keturunan. Rumah pohon/rumah tinggi
akan dibuat apabilah rumah yang ditempati sebelumnya sudah tidak lagi cukup untuk
menampung anggota keluarga sehingga harus dibuatkan yang baru. Dalam membangun rumah
pohon tidak ada lokasi yang khusus, biasanya orang Momuna membangun di dalam hutan
supaya terhindar dari serangan musuh atau perang suku. Dalam pembuatan rumah pohon atau
rumah tinggi, anggota keluarga dan kerabat terdekat semua terlibat, dimulai dengan
menentukan lokasi tempat mencari pohon yang kuat dan terbaik untuk dijadikan tiang
penyanga bangunan. Kemudian mereka mulai membangun rumah, dengan mengambil kayu di
sekitar hutan tempat mereka tinggal.
Suku Momuna adalah komunitas asli yang hidup pada dataran rendah Kabupaten
Yahukimo. Suku Momuna menempati rumah pohon berbentuk tertutup. Rumah memiliki dua
pintu, di baian depan dan belakang. Rumah pohon tanpa jendela maupun ventilasi udara.
Rumah pohon atau rumah tinggi dibangun dengan konstruksi panggung yang seluruhnya
terbuat dari bahan kayu dan daun kelapa. Rumah pohon atau rumah tinggi memiliki satu
penyangga, yaitu sebuah pohon, yang disebut dengan pohon jambu hutan. Saat ini rumah
pohon atau rumah tinggi yang menjadi ciri khas masyarakat suku Momuna, di Kabupaten
Yahukimo semakin berkurang dan hanya ditemui di Kampung Kribun.
Tradisi membangun rumah bagi suku Momuna sudah menjadi warisan leluhur yang
telah berlangsung lama dan telah mangakar. Dalam rentang 90 Jurnal Arkeologi Papua,
menarik untuk melihat bagaimana keadaan dan konsep rumah tradisional suku Momuna, baik
dahulu maupun sekarang. Bagian mana dari konsep tersebut yang mengalami perubahan dalam
wujud rumah tradisional suku Momuna dan apa yang tetap berlanjut dari konsep rumah
tradisional suku Momuna.
Kondisi geografis wilayah suku Momuna berupa hutan-hutan dataran rendah. Dengan
kondisi alam tersebut, masyarakat suku Momuna harus dapat menyesuaikan diri, termasuk
dalam mendesain bangunan tempat tinggal mereka. Rumah pohon atau rumah tinggi bagi suku
Momuna merupakan bagian dari sebuah rencana untuk dapat terlindung dari berbagai
ancaman. Konstruksi itulah dipakai menghindar dari serangan hewan buas, musuh dan perang
suku serta roh halus. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengkaji rumah tradisional rumah
pohon suku Momuna yang dapat di uraikan sebagai berikut:
Bentuk Rumah Adat
Suku Momuna menghuni rumah pohon atau rumah tinggi. Rumah pohon Suku
Momuna memiliki kemiripan dengan berbagai tipe arsitektur rumah panggung di Papua.
Rumah panggung merupakan salah satu ciri dari arsitektur yang sangat umum ditemukan pada
rumah tradisional di wilayah Indonesia, baik di dataran tinggi maupun pesisir. Meskipun suku-
suku sama-sama tinggal di rumah panggung, akan tetapi latar belakang penghuninya berbeda
dalam cara hidup berbeda dan bentang wilayah pemukimannya. Tentunya ada faktor khusus
yang menjadikan kesamaan arsitektur (Wiradnyana, 2009 : 55).

Rumah tradisional rumah kaki seribu suku Arfak yang ditulis oleh Abdi (Frank, 2012:
122-123) hampir mempunyai kemiripan dengan rumah pohon/tinggi yang ditulis oleh Lukito
(2012:17). Baik rumah kaki seribu maupun rumah pohon merupakan konsep bentuke rumah
Asia Tenggara. Konsep ciri Asia Tenggara tampak dari bentuk rumah panggung dari kayu dan
segi empat, beratap ilalang atau daun kelapa/daun sagu, dan memiliki banyak tiang-tiang kayu,
sehingga disebut sebagai rumah kaki seribu. Tiang dan baloknya dirakit dan diikat
menggunakan tali rotan dan serat kulit kayu (Frank, 2012: 116).
Suku Momuna mengkeramatkan sesuatu yang dianggap tabu. Mereka percaya akan
kekuatan pohon pohon besar yang mampu membuat celaka, sakit atau gila bahkan sampai pada
kematian. Suku Momuna mengkeramatkan pohon jambu merah dalam bahasa setempat disebut
pohon “koweni”. Pohon ini kayunya berwarna merah, dan tidak boleh ditebang sembarangan
karena “pamali” (wawancara Borua Keykera dan Ony Keykera, 1 Desember 2014).

Gambar 1. Pohon Koweni (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura) Rumah Pohon Suku
Momuna Yahukimo, Jurnal Arkeologi Papua,

Bagian-bagian Rumah Suku Momuna


 Bagian depan (pintu depan)
Pada jaman dulu pintu untuk laki-laki berada di depan dan pintu perempuan
berada di belakang. Dengan berkembangnya waktu, pintu laki-laki berada di belakang,
dan pintu perempuan berada di depan. Pintu depan dan pintu belakang memiliki tinggi
dan lebar yang sama, yaitu: tinggi pintu 1,20 meter dan lebar 60 cm. Pintu dibuat
dengan rangka sederhana dan ringan dipasang tanpa engsel.
Pada bagian pintu masuk (depan) dan keluar (belakang) terdapat tangga untuk
turun. Mereka juga membuat tangga khusus untuk jalan binatang piaraan/anjing.
Tangga turun bagian depan, pada jaman dulu digunakan untuk menerima tamu,
mengadakan pertemuan dengan kerabat atau keluarga lain. Saat ini, tangga depan
digunakan untuk tempat tidur hewan peliharaan mereka, yaitu anjing. Rumah pohon
memiliki 28 tiang penyangga, terdiri dari 14 tiang samping kiri, dan 14 tiang samping
kanan. Rumah memiliki lebar 4,90 meter, panjang 5,95 meter. Tangga depan,
terdapat 5 tiang penyangga yang terdiri dari 3 tiang penyangga di bagian depan, dan
2 tiang penyangga di bagian tengah.

Gambar 3. Tangga depan khusus wanita dan anak-anak (dokumentasi Balai


Arkeologi Jayapura)
 Bagian Tengah (ruang Perapian)
Bagian perapian (hearth) sebagai salah satu tipe tempat primitif (Frank, 2012).
Heart pada beberapa kultur masyarakat juga mempunyai arti sebagai jantung sebuah
rumah, fokus dari komunitas, sumber kehangatan, untuk memasak. Bentuk arsitektur
pertama adalah bentuk perlindungan terhadap heart guna mempertahankan perapian.
Seorang ahli bernama Cowan (2013, dalam Dewi, 2005: 95) mengungkapkan
bahwa api seringkali digunakan sebagai fokus yang dinamis di dalam rumah tinggal.
Api juga memegang peranan yang penting dalam membuat ruang untuk berinteraksi
antar manusia. Ruang antara manusia yang berkumpul dan pusat diletakannya api
telah menjadi sebuah manivestasi primordial dari peradaban dan sebuah bentuk
primordial dari ruang arsitektur. Tungku perapian suku Momuna berdasarkan pada
keluarga inti. Apabila di dalam sebuah rumah terdapat tiga buah tungku perapian
berarti ada terdapat tiga keluarga inti.

 Fungsi Perapian
Tungku perapian berfungsi untuk memasak makanan bagi keluarga, asapnya
juga digunakan untuk mengawetkan bahan/ material bangunan (kayu dan kulit kayu)
dan juga dapat mengawetkan makanan, berupa daging hasil buruan. Suku Momuna
pada zaman dulu sebelum mengenal wadah masak seperti wajan, mereka hanya
mengenal cara bakar. Misalnya, sagu di bakar di atas api. Dewasa ini Suku Momuna
telah mengenal wadah masak seperti wajan sehingga mereka sudah membuat bubur
sagu (papeda) dengan menggunakan air yang didihkan dalam belanga.
 Bentuk Perapian
Tungku perapian Suku Momuna berukuran sedang dan berbentuk segi empat.
Di atas tungku perapian terdapat tempat untuk menyimpan barang, semacam para-
para. Di tungku tersebut terdapat batu-batu yang dipakai untuk memasak, sedangkan
dasar perapian dialaskan dengan tanah.
 Letak Perapian
Letak tungku perapian Suku Momuna ini biasanya berada di tengah rumah.
Namun pada perkembangannya terjadi perubahan di dalam peletakan perapian yaitu
adanya penambahan perapian di luar rumah.
 Bagian Belakang (pintu belakang)

Pada bagian belakang rumah, terdapat ruangan kecil tempat menyimpan


perlengkapan kerja kaum laki-laki, berupa peralatan berburu dan alat-alat penting
lainnya seperti perlengkapan perang dan lainnya. Pada tangga belakang (tangga laki-
laki) terdapat lima tiang penyangga, terdiri dari tiga tiang bagian depan dan dua tiang
bagian tengah.
Rumah tradisional suku Momuna yang konstruksi dalamnya tidak bersekat.
Bagian depan pada umumnya merupakan ruangan perempuan dan anak-anak,
sedangkan bagian belakang ruang lakilaki. Batas ruang perempuan dan ruang laki-
laki hanya ditandai dengan adanya tungku api. Bentuk rumah tidak bersekat
memberikan keadaan luas, sehingga satu rumah dapat dihuni oleh 2-4 kepala inti dan
difungsikan sebagai tempat beristirahat anggota keluarga.
Setelah mengalami perkembangan waktu, kegiatan sanitasi dan memasak sudah
dilakukan di bagian luar rumah. Suku Momuna melakukan aktivitas memasak di
bawah kolong rumah panggung. Biasanya kegiatan mandi, Rumah Pohon Suku
Momuna Yahukimo, cuci, kakus (MCK) dilakukan langsung di sungai atau sumber
air terdekat. Meskipun rumah mereka tidak memiliki ventilasi udara serta jendela
yang terkesan kurang memenuhi syarat kesehatan, namun itulah peradaban yang
sebagian masih dijumpai di daerah pegunungan dan sebagian daerah dataran rendah
di Papua.
Lantai bangunan di dukung oleh tiang dan balok kayu yang saling mengikat
satu sama lain dan tanpa menggunakan paku. Lantai rumah, terbuat dari kayu buah
dengan celah-celah yang agak lebar dan diikat dengan tali rotan.

Gambar 6. Pohon penyangga rumah/ pohon jambu hutan (dokumentasi Balai


Arkeologi Jayapura)
 Bagian Luar Rumah
Dinding rumah terbuat dari kulit kayu. Untuk memperkuat dindingnya,
diberikan kayu buah dan diikat dengan tali rotan. Tinggi rumah dari permukaan tanah
4,50 meter, panjang rumah 8,60 meter, lebar rumah 4,90 meter. Pada bagian tengah
bawah rumah tedapat sebuah pohon penyangga yaitu pohon jambu hutan. Selain itu
rumah ditambah pula tiga tiang penyangga yang terdiri dua tiang di bagian depan,
dan sebuah tiang di bagian belakang.

Beranda rumah, lantainya disusun dengan pelepah sagu dengan diberi jarak dan
diikat dengan tali rotan. Beranda rumah dengan luas 1,35 meter berada di depan
tangga wanita. Beranda ini disediakan difungsikan untuk tempat tidur anjing
peliharaan dan menerima tamu.
Atap penutup rumah bagian atas pada umumnya dari jenis bahan daun sagu.
Daun sagu tersebut dianyam dan dikeringkan terlebih dahulu. Rumah suku Momuna
tidak memiliki jendela sebagaimana layaknya rumah sehat. Hal ini disebabkan
adanya kepercayaan bahwa dengan adanya jendela rumah akan terasa lebih dingin.
Selain itu ada kepercayaan nenek moyang bahwa rumah dapat melindungi penghuni
dari gangguan roh halus/ suanggi yang dapat membunuh dengan perantara angin.
Oleh karena itu, rumah suku Momuna tidak dibenarkan adanya banyak celah/ lubang
yang dapat dimasuki angin. Alasan lain bahwa rumah suku momuna tidak memiliki
jendela adalah supaya terhindar dari serangan musuh/perang suku dan binatang buas.
Konsep Rumah Tradisional Suku Mumuna
Suku Momuna adalah etnis semi nomaden yang hidup dengan ketergantungan dengan
alam. Mereka tinggal di rumah-rumah yang terletak di atas pohon untuk menghindari dari
serangan binatang buas maupun dari serangan musuh dan juga perang suku. Bentuk rumah
suku Momuna berbentuk segi empat dan memiliki dua pintu, yaitu pintu depan dan pintu
belakang. Bagian dalam rumah dibedakan menjadi dua menurut gender, yaitu bagian
perempuan dan untuk laki-laki.
Konsep rumah suku Momuna secara tradisional tidak mengenal kamar-kamar, tidak
seperti pada rumah modern saat ini. Dalam rumah, hidup beberapa keluarga inti (keluarga
batih). Untuk mengetahui berapa jumlah keluarga inti yang menghuni bisa melalui jumlah
tungku yang ada di dalam rumah tersebut. Jika terdapat tiga tungku, berarti terdapat tiga
keluarga. Konsep rumah bagi suku Momuna adalah selain sebagai ruang hidup bagi keluarga
untuk beristirahat, juga sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan serta dari binatang buas.
Rumah juga sebagai benteng petahanan dari serangan musuh.
Filosofi Rumah Adat
Prinsip hidup suku Momuna tercermin dari bentuk dan model rumah adatnya. Suku ini
bermukim di tengah hutan pada rumah berbentuk rumah pohon atau rumah tinggi. Rumah suku
Momuna dibangun dengan konsep pemikiran terhindar dari berbagai masalah, yaitu terhindar
dari serangan musuh, binatang buas, dan perang suku. Prinsip lain bahwa sebuah rumah suku
Momuna dibangun dengan hanya memiliki dua buah pintu bagian depan dan bangian belakang,
dan tidak memiliki jendela. Pintu depan dan belakang sama besar, dimana pintu depan dapat
dengan jelas melihat langsung ke pintu belakang, begitu pula sebaliknya. Hal ini bermakna
tidak ada yang tersembunyi. Sewaktu-waktu ada musuh yang datang mereka juga bisa tetap
waspada. Rumah suku Momuna tidak memiliki jendela di sebabkan karena menurut pemikiran
mereka bahwa sebuah rumah harus selalu dalam keadaan tertutup, sehingga terhindar dari
serangan musuh, Bagi mereka, rumah dijadikan sebagai benteng pertahanan.
Nilai Budaya Rumah Pohon
Arsitektur rumah pohon memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Rumah bagi suku
Momuna selain sebagai ruang hidup bagi keluarga untuk bercengkrama dan beristirahat, juga
berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan serta mengindari serangan binatang
buas seperti ular dan buaya. Rumah bagi Suku Momuna juga adalah benteng pertahanan dari
serangan musuh. Kehidupan permusuhan dan balas dendam antar kelompok di hutan rimba
membuat suku Momuna terbatas secara teknologi harus mengembangkan kearifan lokal untuk
mempertahankan diri dari ancaman musuh.
Arsitektur tradisional rumah pohon merupakan salah satu kekayaan budaya yang tidak
ternilai harganya. Secara terpadu mencerminkan wujud idea, wujud sosial dan wujud material
Rumah Pohon Suku Momuna Yahukimo, kebudayaan Suku Momuna. Oleh karena itu
arsitektur tradisional merupakan aspek yang dapat memberikan ciri serta identitas bagi mereka.
Dari arsitektur tradisional rumah pohon dapat diketahui berbagai hal yang merupakan warisan
budaya dari masyarakat Suku Momuna. Seperti pengetahuan tentang kosmologi dari letak dan
arah rumah mereka. Dapat pula diperoleh pengetahuan tentang organisasi sosialnya, karena
pada rumah tradisional biasanya terdapat pembagian ruangan menurut konsepsi budaya
masyarakat (Maryeti, 2010: 1-2). Bentuk rumah tersebut dirancang, dan diwariskan turun
temurun dari generasi ke generasi.

Anda mungkin juga menyukai