ARSITEKTUR TRADISIONAL
GEOGRAFI
Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari
wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis,
dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Puncak
Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota
Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban
udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini
mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk
di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada
tahun 2006.
Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola kehidupannya,
penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu Papua pegunungan atau
pedalaman, dataran tinggi dan Papua dataran rendah dan pesisir. Pola kepercayaan agama
tradisional masyarakat Papua menyatu dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka
memiliki suatu pandangan dunia yang integral yang erat kaitannya satu sama lain antar dunia
yang material dan spiritual, yang sekuler dan sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing
berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
Ansus · Korowai
Amungme Mandobo / wambon
Asmat Mee
Ayamaru Meyakh
Bauzi Moskona
Biak Muyu
Dani Nafri
Empur Sentani
Amberbaken Souk
Engross Tobati
Fuyu Waropen
Hatam Wamesa
Iha Kamoro
SUKU DANI
Dani adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau bermukim
atau mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua,Indonesia dan mendiami keseluruhan
Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya.
Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang
dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan
alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan
kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat
menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak
mengenakan ''koteka'' (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para
wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai”
(gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku
masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan
tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah
satu diantaranya yang pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda),
tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem.
HONAI SEBAGAI RUMAH ADAT SUKU DANI
Honai, rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar,
berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang.
Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu
bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan
bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak. Rumah Honai pada umumnya terbagi
menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para
pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu
Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai
dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek
Honai ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik
itu dekat jalan besar (dan satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak
bukit, di kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.
Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya. Jarak dari
permukaan rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian yang
terletak persis di tengah. Tak ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu
sederhana namun bersahaja.
Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke dalam
Honai. Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan dihangatkan oleh asap dari
perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama.
Selama pintu masih terbuka (dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.
Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk
menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan padi. Ada
pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di
Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2 mumi paling terkenal di Lembah Baliem.
Pola Permukiman Suku Dani
Keterangan :
Bahan Pembuat
Kebiasaaan dari suku atau orang Dani dan Yali dalam membangun Honai
yaitu mereka mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu yang
lama atau bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan yang digunakan
sebagai berikut:
Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah
Honai
Kayu buah besar
Kayu batu yang paling besar
Kayu buah sedang
Jagat (mbore/pinde)
Tali
Alang-alang
Papan yang dikupas
Papan alas dll.
Atap Honai
Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk
melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai dinding ketika hujan
turun.
Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari
kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di bagian atas sehingga
membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di tingkat paling atas dan vertikal
membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar kubah. Lapisan jerami yang
tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari. Jerami
cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Karena jerami ringan dan lentur
memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu menyerap goncangan
gempa, sehingga apabila terjadi gempa sangat kecil kemungkinan rumah Honai akan
rubuh.
Lantai
terdiri dari dua lantai, yaitu lantai satu sebagai tempat bersantai dan lantai
panggung yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang berharga dan
istirahat/tidur. Lantai honai dialasi dengan rumput atau jerami yang diganti secara
berkala jika sudah rusak/kotor.
Ketinggian
Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6 meter.
Rumah Honai ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3
bangunan terpisah. Satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur).
Bangunan kedua untuk tempat makan bersama dimana biasanya mereka makan
beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk kandang ternak terutama babi. Rumah Honai
juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai dasar dan lantai satu di hubungkan
dengan tangga yang terbuat dari bambu/kayu. Biasanya pria tidur melingkar di lantai
dasar , dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya, demikian juga cara tidur
para wanita di lantai satu. Dalam peraturan adat Honai, pria dan wanita (termasuk anak-
anak) tidak boleh tidur disatu tempat secara bersamaan hukumnya tabu.
Bagaikan nama yang mampu menjadi identitas seseorang, karya arsitektur juga mampu
menjadi identitas sekelompok masyarakat. Di Indonesia, identitas nusantara salah satunya
diwujudkan dalam bentuk rumah tradisional seperti pada Rumah Tradisional Honai yang
menjadi identitas rumah tradisional Provinsi Papua. Tetapi dibalik rumah tradisional
masyarakat Papua, terdapat bentuk rumah tradisional lain yang selama ini tersembunyi,
walaupun selama ini selalu hidup dalam masyarakat Papua, yaitu rumah tradisional kaki seribu
yang berada di Pegunungan Anggi, Papua Barat.
Proses pembangunan ibeiya di Kampung Demaisi dilakukan secara gotong royong.
Kaum laki-laki baik masih berumur muda hingga tua ikut berperan dalam proses pembangunan
satu ibeiya. Proses gotong royong tanpa melihat hubungan darah (dalam keluarga), hubungan
suku, maupun hubungan satu agama. Berikut ini adalah langkah-langkah pembangunan ibeiya
berdasarkan hasil wawancara aparat Kampung Demaisi, Distrik Minyambouw: pertama
mempersiapkan material/bahan bangunan; kedua mendirikan tiang pondasi (couwa) yang
dipasang secara grid; ketiga memasang tiang (nenghim) dan (bumnew); keempat pemasangan
tiang miring pada couwa (hauwa) yang berfungsi membantu menyangga ibeiya ketika terjadi
gempa bumi; kelima pemasangan tiang keliling (yeiya); keenam pemasangan bilem pada
tingkat bawah diselang seling dengan kayu betaw tingkat pertama lalu pemasangan kayu bilem
pada tingkat kedua; ketujuh memasang tiang horisontal yang mengikat yeiya; kedelapan
pemasangan kayu tendang pada teras depan dan belakang ibeiya (besai caya dan besai pyowa),
kesembilan memasang icouw di atas tendang.
Langkah selanjutnya adalah: merangkai rangka atau kuda-kuda atap; memasang
gording (ngomma), bubungan (ipowa), usuk (itapmot), dan reng (itawa); memasang penutup
atap daun pandan (cawa); memasang rangkaian perapian; memasang para-para kayu bakar di
atas perapian; memasang rangka kayu pembentuk ruang bilik wanita; memasang kulit kayu
sebagai penutup dinding; memasang gelaga yang dilakukan dengan teknik menyisip diantara
kulit kayu dan yeiya; memasang kayu melintang horizontal pada bagian dalam; memasang
karpet atau penutup lantai bagian paling atas dari bilah bambu (ansana); memasang rangkaian
lemari dan pintu pada ibeiya; dan terakhir memasang pengaman ibeiya dari binatang buas dan
suanggi dengan pemasangan sisa dan beka.
Proses pembangunan rumah diawali dengan ritual khusus sebelum berangkat mencari
bahan bangunan di hutan. Setelah sampai di hutan (baik bahamti, nimahamti, maupun susti),
ritual doa selanjutnya juga dilakukan di sekitar area pengambilan kayu tersebut. Konsep
konservasi tanah terletak pada tahap ini.
Kayu yang akan digunakan tidak serta merta kemudian langsung ditebang tetapi akan
dilucuti dahulu daun-daun pada pohon tersebut. Kemudian pohon ditinggal selama sekitar
sebulan atau dua bulan, lalu kemudian pohon ditebang. Proses penebangan seperti ini juga
berlaku apabila mereka akan membuat kebun di hutan, dimana pohon tidak langsung ditebang
tetapi dilucuti terlebih dahulu daun dan beberapa batang kecil pada pohon.
Alasan proses ini dilakukan adalah untuk tanah dari proses erosi atau tanah longsor.
Ketika pohon terlebih dahulu dilucuti daunnya, pohon akan perlahanlahan mati layu hingga
cengkeraman akar pohon menjadi melemas pada tanah. Penebangan pohon setelah itu
diharapkan akan lebih tidak merusak tanah dibandingkan apabila pohon ditebang tanpa proses
melucuti daun sebulan dua bulan sebelumnya.
Kondisi dingin yang disebabkan oleh posisi kampung yang tinggi menyebabkan
penghuni menghindari aliran angin masuk ke dalam rumahnya. Kearifan masyarakat Kampung
Demaisi mengatasi iklim ekstrim dingin dataran tinggi tropis ini terwujud dalam desain ibeiya.
Konsekuensi menghindari pergerakan udara adalah menimbulkan peningkatan
kelembaban udara dalam rumah . Mangunwijaya (1988) mengungkapkan bahwa untuk
meminimalisir kelembaban yang bersifat merusak, kita harus selalu mengusahakan pengaliran
hawa udara yang mudah menembus rumah. Ventilasi diperoleh dengan memanfaatkan
perbedaan bagianbagian ruangan yang berbeda suhunya, dan karena itu berbeda tekanan
udaranya. Oleh sebab itu, walaupun pergerakan udara dapat membawa angin dingin,
pergerakan udara tetap dibutuhkan di dalam ibeiya agar penghuni dapat merasa lebih nyaman.
Dengan arif, masyarakat tetap mengusahakan adanya pergerakan dalam rumah. Tetapi
pergerakan udara di atur hanya berada pada garis utama rumah yaitu dari pintu depan ke pintu
belakang atau sebaliknya. Denah ruang dibagi menjadi dua area yaitu kiri dan kanan dengan
pintu depan dan belakang sebagai pembagi. Nampak pada ilustrasi gambar di bawah, denah
demikian menyebabkan aliran angin apabila masuk melalui pintu akan lurus sejajar hingga
akhirnya keluar melalui pintu lainnya. Dengan demikian, ruangan sisi kiri dan kanan rumah
tidak terkena banyak aliran angin dingin.
Masyarakat Kampung Demaisi tidak mendesain jendela di dalam ibeiya, Karena
jendela mampu menambah masuknya angina dingin dari luar rumah. Alasan tidak adanya
jendela, juga karena oleh masyarakat setempat untuk menghindari mudahnya suanggi masuk
rumah. Suanggi adalah pembunuh bayaran yang ditakuti warga, dimana suanggi bekerja
dengan menggunakan kekuatan gaib.
Terdapat celah kotak yang sangat kecil yang dapat dibuka tutup dari dalam rumah
berukuran 10 cm X 15 cm, dua buah di depan dan dua buah di belakang. Dimana fungsi kotak
kecil ini bukan untuk mengalirkan udara atau memasukkan cahaya seperti fungsi jendela pada
umumnya melainkan sebagai sarana untuk mengintip keadaan luar apakah ada bahaya atau
ancaman dari luar.
Pola Permukiman Ibeiya Hubungannya dengan Mata Angin dan Arah Angin
Arah hadap ibeiya di Kampung Demaisi tidak menghadap jalan tetapi tidak dipengaruhi
arah jalan kampung. Berbeda dengan jenis rumah tinggal lain pada kampung ini yaitu rumah
papan dan rumah tembok yang desainnya menghadap jalan kampung.
Ketika bertanya, alasan masyarakat adalah karena jalan kampung menghadap arah mata
angin utara-selatan. Di kampung demaisi, suhu udara terasa dingin sehingga masyarakat ingin
memaksimalkan sinar matahari. Sehingga, arah hadap ibeiya akan cenderung menghadap
timur-barat bukan utara-selatan.
Tetapi, karena arah timur-barat sejajar dengan arah aliran angin dari gunung ke lembah
dan sebaliknya, maka arah hadap ibeiya di Kampung Demaisi agak menyerong 20- 22⁰ dari
mata angin timur-barat untuk menghindari arah angin tetapi tetap masih mendapatkan sinar
matahari yang maksimal.
Konsep hijau pada beberapa hunian kota yang memiliki kebun sendiri di sekitar rumah
untuk konsumsi pribadi juga dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat Kampung
Demaisi. Setiap rumah di kampung ini, memiliki kebun sendiri yang fungsinya ratarata untuk
memenuhi kebutuhan pribadi, bukan untuk komersial. Letak kebun terletak di belakang atau
di samping rumah.
Desain Tahan Bencana Alam Gempa Bumi Ibeiya
Salah satu konstruksi sub struktur ibeiya terdiri dari tiang hauwa yaitu tiang miring ke
arah depan dan samping pada bagian pondasi ibeiya yang berfungsi sebagai penahan ketika
terjadi bencana alam gempa bumi. Konstruksi hauwa sudah ada dari zaman nenek moyang
masyarakat Kampung Demaisi.
Rumah tradisional rumah kaki seribu suku Arfak yang ditulis oleh Abdi (Frank, 2012:
122-123) hampir mempunyai kemiripan dengan rumah pohon/tinggi yang ditulis oleh Lukito
(2012:17). Baik rumah kaki seribu maupun rumah pohon merupakan konsep bentuke rumah
Asia Tenggara. Konsep ciri Asia Tenggara tampak dari bentuk rumah panggung dari kayu dan
segi empat, beratap ilalang atau daun kelapa/daun sagu, dan memiliki banyak tiang-tiang kayu,
sehingga disebut sebagai rumah kaki seribu. Tiang dan baloknya dirakit dan diikat
menggunakan tali rotan dan serat kulit kayu (Frank, 2012: 116).
Suku Momuna mengkeramatkan sesuatu yang dianggap tabu. Mereka percaya akan
kekuatan pohon pohon besar yang mampu membuat celaka, sakit atau gila bahkan sampai pada
kematian. Suku Momuna mengkeramatkan pohon jambu merah dalam bahasa setempat disebut
pohon “koweni”. Pohon ini kayunya berwarna merah, dan tidak boleh ditebang sembarangan
karena “pamali” (wawancara Borua Keykera dan Ony Keykera, 1 Desember 2014).
Gambar 1. Pohon Koweni (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura) Rumah Pohon Suku
Momuna Yahukimo, Jurnal Arkeologi Papua,
Fungsi Perapian
Tungku perapian berfungsi untuk memasak makanan bagi keluarga, asapnya
juga digunakan untuk mengawetkan bahan/ material bangunan (kayu dan kulit kayu)
dan juga dapat mengawetkan makanan, berupa daging hasil buruan. Suku Momuna
pada zaman dulu sebelum mengenal wadah masak seperti wajan, mereka hanya
mengenal cara bakar. Misalnya, sagu di bakar di atas api. Dewasa ini Suku Momuna
telah mengenal wadah masak seperti wajan sehingga mereka sudah membuat bubur
sagu (papeda) dengan menggunakan air yang didihkan dalam belanga.
Bentuk Perapian
Tungku perapian Suku Momuna berukuran sedang dan berbentuk segi empat.
Di atas tungku perapian terdapat tempat untuk menyimpan barang, semacam para-
para. Di tungku tersebut terdapat batu-batu yang dipakai untuk memasak, sedangkan
dasar perapian dialaskan dengan tanah.
Letak Perapian
Letak tungku perapian Suku Momuna ini biasanya berada di tengah rumah.
Namun pada perkembangannya terjadi perubahan di dalam peletakan perapian yaitu
adanya penambahan perapian di luar rumah.
Bagian Belakang (pintu belakang)
Beranda rumah, lantainya disusun dengan pelepah sagu dengan diberi jarak dan
diikat dengan tali rotan. Beranda rumah dengan luas 1,35 meter berada di depan
tangga wanita. Beranda ini disediakan difungsikan untuk tempat tidur anjing
peliharaan dan menerima tamu.
Atap penutup rumah bagian atas pada umumnya dari jenis bahan daun sagu.
Daun sagu tersebut dianyam dan dikeringkan terlebih dahulu. Rumah suku Momuna
tidak memiliki jendela sebagaimana layaknya rumah sehat. Hal ini disebabkan
adanya kepercayaan bahwa dengan adanya jendela rumah akan terasa lebih dingin.
Selain itu ada kepercayaan nenek moyang bahwa rumah dapat melindungi penghuni
dari gangguan roh halus/ suanggi yang dapat membunuh dengan perantara angin.
Oleh karena itu, rumah suku Momuna tidak dibenarkan adanya banyak celah/ lubang
yang dapat dimasuki angin. Alasan lain bahwa rumah suku momuna tidak memiliki
jendela adalah supaya terhindar dari serangan musuh/perang suku dan binatang buas.
Konsep Rumah Tradisional Suku Mumuna
Suku Momuna adalah etnis semi nomaden yang hidup dengan ketergantungan dengan
alam. Mereka tinggal di rumah-rumah yang terletak di atas pohon untuk menghindari dari
serangan binatang buas maupun dari serangan musuh dan juga perang suku. Bentuk rumah
suku Momuna berbentuk segi empat dan memiliki dua pintu, yaitu pintu depan dan pintu
belakang. Bagian dalam rumah dibedakan menjadi dua menurut gender, yaitu bagian
perempuan dan untuk laki-laki.
Konsep rumah suku Momuna secara tradisional tidak mengenal kamar-kamar, tidak
seperti pada rumah modern saat ini. Dalam rumah, hidup beberapa keluarga inti (keluarga
batih). Untuk mengetahui berapa jumlah keluarga inti yang menghuni bisa melalui jumlah
tungku yang ada di dalam rumah tersebut. Jika terdapat tiga tungku, berarti terdapat tiga
keluarga. Konsep rumah bagi suku Momuna adalah selain sebagai ruang hidup bagi keluarga
untuk beristirahat, juga sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan serta dari binatang buas.
Rumah juga sebagai benteng petahanan dari serangan musuh.
Filosofi Rumah Adat
Prinsip hidup suku Momuna tercermin dari bentuk dan model rumah adatnya. Suku ini
bermukim di tengah hutan pada rumah berbentuk rumah pohon atau rumah tinggi. Rumah suku
Momuna dibangun dengan konsep pemikiran terhindar dari berbagai masalah, yaitu terhindar
dari serangan musuh, binatang buas, dan perang suku. Prinsip lain bahwa sebuah rumah suku
Momuna dibangun dengan hanya memiliki dua buah pintu bagian depan dan bangian belakang,
dan tidak memiliki jendela. Pintu depan dan belakang sama besar, dimana pintu depan dapat
dengan jelas melihat langsung ke pintu belakang, begitu pula sebaliknya. Hal ini bermakna
tidak ada yang tersembunyi. Sewaktu-waktu ada musuh yang datang mereka juga bisa tetap
waspada. Rumah suku Momuna tidak memiliki jendela di sebabkan karena menurut pemikiran
mereka bahwa sebuah rumah harus selalu dalam keadaan tertutup, sehingga terhindar dari
serangan musuh, Bagi mereka, rumah dijadikan sebagai benteng pertahanan.
Nilai Budaya Rumah Pohon
Arsitektur rumah pohon memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Rumah bagi suku
Momuna selain sebagai ruang hidup bagi keluarga untuk bercengkrama dan beristirahat, juga
berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan serta mengindari serangan binatang
buas seperti ular dan buaya. Rumah bagi Suku Momuna juga adalah benteng pertahanan dari
serangan musuh. Kehidupan permusuhan dan balas dendam antar kelompok di hutan rimba
membuat suku Momuna terbatas secara teknologi harus mengembangkan kearifan lokal untuk
mempertahankan diri dari ancaman musuh.
Arsitektur tradisional rumah pohon merupakan salah satu kekayaan budaya yang tidak
ternilai harganya. Secara terpadu mencerminkan wujud idea, wujud sosial dan wujud material
Rumah Pohon Suku Momuna Yahukimo, kebudayaan Suku Momuna. Oleh karena itu
arsitektur tradisional merupakan aspek yang dapat memberikan ciri serta identitas bagi mereka.
Dari arsitektur tradisional rumah pohon dapat diketahui berbagai hal yang merupakan warisan
budaya dari masyarakat Suku Momuna. Seperti pengetahuan tentang kosmologi dari letak dan
arah rumah mereka. Dapat pula diperoleh pengetahuan tentang organisasi sosialnya, karena
pada rumah tradisional biasanya terdapat pembagian ruangan menurut konsepsi budaya
masyarakat (Maryeti, 2010: 1-2). Bentuk rumah tersebut dirancang, dan diwariskan turun
temurun dari generasi ke generasi.