Anda di halaman 1dari 35

Inherent risk , Control risk, Detection risk

Inherent Risk (Risiko Bawaan atau Risiko Melekat), 


adalah penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit
yang melampaui batas toleransi, sebelum memperhitungkan faktor efektivitas pengendalian
intern.Risiko bawaan menunjukkan faktor kerentanan laporan keuangan terhadap kekeliruan
yang material dengan asumsi tidak ada pengendalian intern

Contoh:
Bila auditor berkesimpulan bahwa akan banyak kemungkinan terjadi kekeliruan tanpa
pengendalian intern, berarti risiko bawaannya tinggi. Faktor pengendalian intern tidak
diperhitungkan dalam menetapkan inherent risk (risiko bawaan) karena dalam model risiko audit
hal itu akan diperhitungkan tersendiri sebagai risiko pengendalian.

Hubungan antara risiko bawaan (inherent risk) dengan risiko penemuan (planned detection risk)
serta rencana pengumpulan bukti adalah bahwa inherent risk sifatnya berbanding terbalik dengan
planned detection risk rendah, maka planned detection risk tinggi dan bukti yang harus
dikumpulkan pun sedikit.

Control Risk (Risiko Pengendalian),


adalah ukuran penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam
segmen audit yang melampaui batas toleransi yang tidak terdeteksi atau tercegah oleh struktur
pengendalian intern klien. Risiko pengendalian (control risk) mengandung unsur:

 Apakah struktur pengendalian intern klien cukup efektif untuk mendeteksi atau mencegah
kekeliruan.
 Keinginan auditor untuk membuat penetapan tersebut di bawah nilai maksimum (100%)
dalam rencana audit.

Misalnya: auditor menyimpulkan bahwa struktur pengendalian intern yang ada sama sekali tidak
efektif dalam mencegah atau mendeteksi kekeliruan.

Risiko Deteksi (Detection Risk),


adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu
asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh
auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak
memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian
lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut telah diperiksa 100%. 

Ketidakpastian lain semacam itu bisa timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur
audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan
secara keliru hasil audit. Ketidakpastian seperti ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang
dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai serta pelaksanaan praktek audit
yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.

Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko
pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor,
semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko
bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi
yang dapat diterima.

Jenis Jenis Risiko Audit


JENIS-JENIS RISIKO AUDIT
Dari rumusan model risiko audit ada 4 (empat) jenis risiko audit. Masing-masing jenis risiko
audit tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Planned Detection Risk (Risiko Penemuan yang Direncanakan)
Adalah risiko bahwa bukti yang dikumpulkan dalam segmen gagal menemukan kekeliruan yang
melampaui jumlah yang dapat ditolerir. Jika kekeliruan semacam itu timbul. Ada dua hal penting
yang harus diperhatikan:
a. PDR tergantung pada tiga unsur risiko lainnya dalam model. Jadi risiko penemuan yang
direncanakan hanya akan berubah jika auditor mengubah salah satu unsur lainnya.
b. PDR menentukan besarnya bukti yang akan dikumpulkan. Hubungan antara PDR dengan
bukti berbanding terbalik. Jika nilai risiko penemuan yang direncanakan diperkecil, berarti
jumlah bukti yang harus dikumpulkan auditor dalam audit lebih banyak.
2. Acceptable Audit Risk (Risiko Audit yang dapat diterima)
Adalah ukuran ketersediaan auditor untuk menerima bahwa laporan keuangn mengandung salah
saji material tanpa pengecualian telah diberikan. Risiko ini ditetapkan secara subyektif bahwa
auditor bersedia menerima laporan keuangan tidak disajikan secara wajar setelah audit selesai
dan pendapat wajar tanpa pengecualian telah diberikan. Kalau auditor menetapkan tingkat risiko
audit yang dapat diterima rendah, berarti ia ingin lebih memastikan bahwa tidak ada kekeliruan
yang material dalam laporan keuangan.
Tingkat risiko nol berarti kepastian penuh bahwa laporan keuangan tidak mengandung
kekeliruan yang materia dan tingkat risiko ini 100% berarti auditor sangat tidak yakin kalau
laporan keuangan tidak mengandung salah saji atau kekeliruan yang material.
3. Inherent Risk (Risiko Bawaan atau Risiko Melekat)
Adalah penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit
yang melampaui batas toleransi, sebelum memperhitungkan faktor efektivitas pengendalian
intern.
Risiko bawaan menunjukkan faktor kerentanan laporan keuangan terhadap kekeliruan yang
material dengan asumsi tidak ada pengendalian intern.
Bila auditor berkesimpulan bahwa akan banyak kemungkinan terjadi kekeliruan tanpa
pengendalian intern, berarti risiko bawaannya tinggi.
Faktor pengendalian intern tidak diperhitungkan dalam menetapkan inherent risk (risiko bawaan)
karena dalam model risiko audit hal itu akan diperhitungkan tersendiri sebagai risiko
pengendalian.
Hubungan antara risiko bawaan (inherent risk) dengan risiko penemuan (planned detection risk)
serta rencana pengumpulan bukti adalah bahwa inherent risk sifatnya berbanding terbalik dengan
planned detection risk rendah, maka planned detection risk tinggi dan bukti yang harus
dikumpulkan pun sedikit.
4. Control Risk (Risiko Pengendalian)
Adalah ukuran penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam
segmen audit yang melampaui batas toleransi yang tidak terdeteksi atau tercegah oleh struktur
pengendalian intern klien. Risiko pengendalian (control risk) mengandung unsur:
a. Apakah struktur pengendalian intern klien cukup efektif untuk mendeteksi atau mencegah
kekeliruan.
b. Keinginan auditor untuk membuat penetapan tersebut di bawah nilai maksimum (100%)
dalam rencana audit.
Misalnya: auditor menyimpulkan bahwa struktur pengendalian intern yang ada sama sekali tidak
efektif dalam mencegah atau mendeteksi kekeliruan.

Risiko Audit adalah istilah yang umum digunakan dalam kaitannya dengan audit atas laporan
keuangan suatu entitas.
Risiko audit diartikan sebagai tingkat ketidakpastian tertentu yang dapat diterima auditor dalam
pelaksanaan auditnya, seperti :

 Ketidakpastian validitas dan reliabilitas bukti audit.


 Ketidakpastian mengenai efektivitas pengendalian internal.

Resiko Audit (Audit Risk) adalah resiko bahwa auditor mungkin tanpa sengaja telah gagal untuk
memodifikasi pendapat secara tepat mengenai laporan keuangan yang mengandung salah saji
material.

Of less concern is the situation where the auditor states that the financial statements do not meet
the standard of fair presentation, when in fact they do.. Perhatian kurang adalah situasi di mana
auditor menyatakan bahwa laporan keuangan tidak memenuhi standar penyajian secara wajar,
padahal sebenarnya mereka lakukan.

Resiko Audit (Audit Risk) antara lain :

 Resiko Inheren (Inheren Risk)

merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan
bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material (kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu
segmen sebelum ia mempertimbangkan keefektifan dan pengendalian intern yang ada. Dengan
mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai
kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya salah saji yang material.  Jika auditor, dengan
mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan bahwa terdapat suatu kecenderungan yang
tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka auditor akan menyimpulkan bahwa tingkat
risiko inherennya tinggi.  pengendalian intern diabaikan dalam menetapkan dalam menetapkan
nilai risiko inheren karena pengendalian intern ini dipertimbangkan secara terpisah dalam model
risiko audit sebagai risiko pengendalian. Penilaian ini cenderung didasarkan atas sejumlah
diskusi yang telah dilakukan dengan pihak manajemen, pemahaman yang dimiliki akan
perusahaan, serta hasil-hasil yang diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya.

Advertisement
REPORT THIS AD

Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang
direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi
terencana serta memiliki hubungan yang searah  dengan bukti audit.

Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko inheren
yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan pula
untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan audit
pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih mendalam pada kertas kerja yang telah
selesai dibuat.

Contoh :

jika risiko inheren atas keusangan persediaan sangat tinggi, maka sangatlah masuk akal  bila
kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk melakukan sejumlah tes yang
lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan review yang lebih cermat atas
hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini.

 Resiko Pengendalian (Control Risk)

merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor untuk menilai adanya kemungkina bahwa
terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji yang masi dapat ditoleransi
atas segmen tertentu akan tidak terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang
dimiliki klien. Resiko pengendalian ini memperhatikan 2 hal berikut:

1. penilaian tentang apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah
atau mendeteksi terjadinya salah saji.

2. kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai


maksimum (100 persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya.

Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan resiko
pengendalian.

Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara resiko pengendalian dan resiko
deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara hubungan antara resiko pengendalian dan
bukti substantif merupakan hubungan yang searah.

Contoh :

jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat efektif, maka nilai resiko deteksi
terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan
akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko deteksi terencana pada saat pengendalian intern
bersifat efektif karena pengendalian intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya
salah saji dalam laporan keuangan.

Sebelum auditor  dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100 persen, auditor
harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor
melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian intern tersebut, serta
melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah
keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah
penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas
resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum

 Risiko Deteksi Terencana (Planned Detection Risk)

merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi
keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, andaikan
salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi terencana ini yaitu
sebagai berikut :

1. Risiko  ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko
deteksi terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu
dari ketiga faktor lainnya tersebut.

2. Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk
dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu sendiri.

Jika nilai risiko deteksi terencana  berkurang, maka auditor harus mengumpulkan lebih banyak
bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini.

Pengertian Risiko Audit (Audit Risk)

Risiko Audit atau Audit Risk (AR) adalah kemungkinan risiko salahsaji bersifat material
dan/atau penggelapan (fraud) yang bisa lolos dari proses audit jika auditor tidak melakukan
tugasnya secara cermat. Mengingat risiko itu maka, auditor harus melakuka pemeriksaan risiko
(risk assessment) sebelum menjalankan proses audit, tepatnya pada fase perencanaan audit (audit
planning). Tujuannya: Untuk mengukur dan memetakan risiko audit yang mungkin timbul thus
bisa menentukan dimana proses pemeriksaan dilaksanakan secara ketat dan dimana agak
longgar, dimana audit penuh (full audit) dan dimana secara acak (random audit)

Jenis-Jenis Resiko Audit


Ada 3 jenis risiko audit yang wajib diuji dan dipertimbangkan oleh seorang auditor sebelum
menjalankan proses audit, yaitu: (1) risiko inherent (inherent risk), (2) risiko pengendalian
(control risk) dan (3) risiko deteksi (detection risk).

1. Risiko Inherent – Atau ‘Inherent Risk’ (IR) adalah risiko yang mungkin timbul akibat karakter
bawaan dari suatu transaksi, entah karena: (a) kompleksitas transaksi dan klas transaksi; atau (b)
kompleksitas perhitungan; atau (c) aset yg mudah tercuri/digelapkan; atau (d) ketiadaan
informasi yang sifatnya obyektif. Sudah menjadi pemahaman publik bahwa inherent risk adalah
diluar jangkauan auditor dalam melakukan pencegahan. Bahkan, juga diluar kendali pihak
auditee sendiri. Dengan kata lain, auditor hanya bisa menemukan tetapi tidak bisa melakukan
apa-apa.

Beberapa ciri IR yg tinggi, antara lain:

 Terjadi profitabilitas dan kinerja laporan keuangan yang terus menurun;


 Terjadi kekurangan modal kerja
 Tingginya asset menganggur (tidak menghasilkan)

Contoh Pemeriksaan IR: Saat memeriksa “Pendapatan,” sebagai seorang auditor anda melihat 4
faktor penting berikut ini dalam mengukur Risiko Inherent (Inherent Risk):

 Usaha Sejenis – Pertimbangkan persaingan di lingkungan usaha sejenis yang mungkin


mempengaruhi pendapatan dan aliran kas auditee. Misalnya: faktor persaingan
(mungkinkah auditee kalah dalam persaingan sehingga revenue nya menurun?)
 Kompleksitas Pengakuan Pendapatan – Periksa metode pengakuan pendapatannya,
apakah mengandung kompleksitas yang berpotensi menjadi risiko? Contoh pengakuan
pendapatan dengan perhitungan kompleks dan berpotensi mengandung risiko bawaan
adalah “metode persentase penyelesaian” yang biasa digunakan oleh jenis usaha real
estate atau developer ATAU metode pengakuan pendapatan atas kontrak lainnya yang
lamanya melewati satu tahun buku.
 Kesulitan dalam Menakar Akurasi Perhitungan Revenue – Periksa besarnya nilai revenue
dipengaruhi oleh perhitungan yang akurasinya sulit diukur? Misal: menggunakan
“Cadangan Bad Debt” dan yang angka persentasenya menggunakan estimasi (termasuk
write off nya).
 Salah Saji Pada Audit Sebelumnya – Anda juga dapat menggunakan laporan hasil audit
priode sebelumnya sebagai tambahan bahan pertimbangan; akun-akun yang kerap
mengandung salah saji pada periode-periode sebelumnya besar kemungkinannya
mengandung risiko inherent.

2. Risiko Pengendalian – Atau ‘Control Risk’ (CR) adalah risiko yang bisa timbul akibat
kelemahan sistim pengendalian intern (SPI) auditee, entah karena desainnya yang lemah atau
pelaksanaanya yang tidak sesuai desain—thus tidak mampu mencegah potensi salahsaji bersifat
material dan/atau penggelapan (fraud). CR tidak bisa dikendalikan oleh auditor akan tetapi bisa
dikendalikan oleh auditee jika mereka mau. Karakter perusahaan ber CR tinggi, antara lain:

 Struktur Organisasi (SO), tidak jelas dengan pembagian tugas yang juga tidak jelas. Jika
ini terjadi maka bisa dipastikan CR nya tinggi;
 Lemahnya pengawasan manajemen (para manager) terhadap operasional perusahaan (ciri
ini bisa dilihat dari beberapa hal, misal: tidak ada level otorisasi transaksi yang jelas,
semua orang bisa mengakses semua data/informasi, tidak ada aktivitas supervisi, tidak
pernah ada audit fisik, tidak ada performance review, tidak ada budgeted financial
statement). Kalau ini yang terjadi maka angka persentase CR sudah pasti tinggi.
 Tidak memiliki auditor internal dan komite audit. Jika ini yang tejadi maka bisa
dipastikan angka CR juga tinggi.
 Sistim Pengendalian Internal lemah atau tidak efektif (semua aspek SPI perlu diperiksa
terlebih dahulu untuk menentukan faktor ini, perhatikan contoh dibawah.

Contoh Pemeriksaan SPI: Yang paling klasik, anda memeriksa faktor “Pemisahan Tugas” pada
departemen-departemen yang berpotensi terjadi “Asset Fraud.” Dua jenis asset dimana kerap
terjadi fraud adalah wilayah “Persediaan” dan “Kas.” Katakanlah anda sedang memeriksa
Persediaan. Di sini anda memeriksa apakah ada 2 pekerjaan terkait atau lebih dirangkap oleh satu
orang petugas? Misal:

 Pegawai Purchasing merangkap sebagai petugas yang penerima barang atau pekerjaan
gudang persediaan lainnya (ini buruk); atau Pegawai Shipping merangkap sebagai
petugas gudang yang mengurus persediaan barang jadi (ini juga buruk).
 Foreman di bagian produksi (yang biasa request persediaan untuk keperluan produksi)
diijinkan bebas keluar-masuk gudang persediaan bahan baku atau bahan penolong (ini
buruk).
 Pegawai admin yang input Receipt of Goods (ROG) memiliki kemampuan akses ke
dalam data-data accounting terkait seperti Accounts Payable (Utang)
 Pegawai admin yang input picking sheet di Shipping memiliki kemampuan akses ke
dalam data-data accounting terkait seperti Accounts Receivable (Piutang).

Selain aspek pemisahan tugas anda juga memeriksa akurasi saldo Persediaan yang disajikan pada
“Laporan Posisi Keuangan” (Neraca.) Ada 2 hal yang bisa anda lakukan di sini, yaitu:

 Menelusuri dokumen penerimaan barang ‘masuk-dan-keluar’ gudang untuk tanggal-


tanggal yang mendekati tanggal tutup buku (jika tutup buku dilakukan tanggal 31
Desember misalnya, maka periksa dokumen barang masuk-dan-keluar tanggal 30 hingga
31). Dari hasil pemeriksaan ini mungkin anda menemukan barang persediaan yang
harusnya tidak diperhitungkan sebagai penambah saldo (atau pengurang saldo) akan
tetapi diikutkan oleh aduitee, atau sebaliknya.
 Melakukan perhitungan fisik secara acak (random physical counts). Hasil penghitungan
ini kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan yang dilakukan oleh auditee,
apakah sama? Jika beda, maka uji dengan physical count terus dilakukan.
 Jika auditee menggunakan peralatan teknologi dalam mengelola persediaan misalnya
“Self-alarming antitheft tags” atau “Electronic Cash Register” (ECR), maka anda perlu
memeriksa apakah peralatan tersebut berfungsi dengan baik atau rusak atau tidak
konsisten?

3. Risiko Deteksi – Atau ‘Detection Risk’ (DR), adalah risiko yang bisa timbul akibat kegagalan
auditor dalam menedeteksi adanya salahsaji bersifat material dan/atau penggelapan (fraud). DR
ada dalam kendali auditor. Karena DR sepenuhnya ada pada kendali auditor, maka sudah pasti
mereka harus berupaya untuk menekan risiko ini hingga ke tingkatakan yang paling minimal
(tidak mungkin menghilangkan risiko ini sepenuhnya). Ada 4 faktor yang berpotensi
menghasilkan DR yang tinggi, yaitu:
 Salah Mengaplikasikan Prosedur Audit – Contoh kesalahan fatal, misalnya: anda
menggunakan rasio untuk mengukur tingkat akurasi angka saldo, dan ternyata anda
menggunakan rasio yang salah.
 Salah Menginterpretasikan Hasil Audit – Contoh (lanjutan yang tadi): mungkin sudah
menggunakan rasio yang benar, namun anda salah dalam menginterpretasikan hasil
perhitungan (misal: anda menyatakan inventory sudah disajikan dengan semestinya
padahal sebenarnya mengandung salahsaji bersifat material).
 Salah Memilih Metod Uji – Setiap saldo akun yang disajikan pada Laporan Keuangan
seharusnya diuji dengan menggunakan metode yang paling sesuai dengan nature nya
masing-masing. Anda ingin memastikan apakah suatu penjualan memang seharusnya
diakui (atau tidak diakui), maka anda mengujinya dengan melihat tanggal transaksi yang
kemudian disandingkan dengan periodisasi pelaporan (bukan dengan menguji hitungan
matematisnya)
 Pengujian CR Yang Kurang Intensive – DR juga meningkat bila pengujian terhadap DR
kurang intensif (beberapa wilayah pengendalian lemah namun lolos dari pengujian karena
anda tidak tahu wilayah tersebut ternyata lemah), sehingga ada salahsaji atau fraud yang
tidak terdeteksi selama proses pengujian anda jalankan.

Apa hubungan inherent risk, control risk, dan detection risk terhadap jumlah bukti audit, waktu audit,
tingkat materialitas dan fee audit? Hubungan materialitas terhadap risiko audit, fee audit, waktu dan
bukti audit adalah sebagai berikut: a. Jika audit mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat
materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan. b. Jika audit
mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan,
risiko audit akan menjadi meningkat c. Jika audit ingin mengurangi risiko, auditor dapat:  Menambah
tingkat materialitas, sementara itu mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan  Menambah
jumlah bukti audit yang dikumpulkan, jumlah materialitas tetap dipertahankan  Menambah sedikit
jumlah bukti audit dan tingkat materialitas secara bersamaan. d. Dengan audit fee yang lebih tinggi,
auditor akan mengaudit dengan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan audit fee yang lebih rendah oleh
karena jasa audit yang sangat mempertimbangkan waktu dan biaya. Kesimpulan yang didapat adalah
semakin tingginya audit fee yang diberikan maka semakin tinggi kualitas dari audit tersebut.

Kita sering mendengar istilah GAAP di akuntansi di mana GAAP adalah singkatan dari
Generally Accepted Accounting Principle. Di dalam auditing, ada sebuah istilah yang disebut
GAAS yang merupakan singkatan dari Generally Accepted Auditing Standard.

GAAS adalah aturan-aturan dan pedoman umum yang digunakan akuntan publik yang terdaftar
atau bersertifikat dalam mempersiapkan dan melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan klien.

Di dalam GAAS terdapat 10 standar audit yang menjadi pedoman auditor dalam melaksanakan
pemeriksaan laporan keuangan yang dikelompokkan dalam 3 standar. yaitu standar umum
(general standards), standar pekerjaan lapangan (standards of field work) dan standar pelaporan
(standards of reporting).

Standar Umum (General Standards)


1. Competence, audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis cukup sebagai auditor.

2. Independence, dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam
sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

3. Due Professional Care, dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalisnya dalam cermat dan seksama.

Standar Pekerjaan Lapangan (Standards of Field Work)

4. Adequate Planning and Proper Supervision, pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya


dan jika digunakan , asisten harus disupervisi dengan semestinya.

5. Understanding the Entity, Environment, and Internal Control, pemahaman yang memadai
atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untk merencanakan audit dan menentukan sifat,
saat, dan lingkup pengujian yang harus dilakukan.

6. Sufficient Competent Audit Evidence, bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh
melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Standar Pelaporan (Standards of Reporting)

7. Financial Statements Presented in Accordance with GAAP, laporan audit harus menyatakan
apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

8. Consistency in the Application of GAAP, laporan audit harus menunjukkkan keadaan yang
didalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
periode sebelumnya.

9. Adequacy of Informative Disclosures, pengungkapan informative dalam laporan keuangan


harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

10. Expression of Opinion, laporan audit harus memuat suatu pendapat mengenai laporan
keuangan secara menyeluruh atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat
diterima.

Salam sebuah laporan keuangan, standar audit menjadi bagian terpenting untuk mengetahui
bagaimana kondisi sebuah perusahaan. Hal ini akan menjadi sarana melakukan strategi dan juga
mengevaluasi setiap hal yang diambil dalam keputusan perusahaan tersebut.

Agar mampu mengetahui bagaimana kondisi sebuah perusahaan tersebut, tentu dibutuhkan
laporan keuangan yang disusun oleh bagian staf keuangan. Laporan tersebut berisi sebuah
rincian dan juga transaksi perusahaan dalam jangka
waktu tertentu. Tentunya laporan tersebut yang akan mempengaruhi kemajuan perusahaan. Hal
ini menjadikan salah satu alasan mengapa menggunakan proses audit bagi perusahaan sangat
penting. Untuk lebih Lanjut akan standar audit perusahaan tersebut, simak ulasannya berikut!

Contents

1 Pengertian Dari Standar Audit

2 Standar Dalam Audit

2.1 1. Competence atau Suatu Hal yang Mengharuskan Keahlian

2.2 2. Independence atau Tidak Terpengaruh

2.3 3. Due Professional Care atau Tingkat Keprofesionalan

2.4 4. Adequate Planning dan Proper Supervision

2.5 5. Pemahaman yang Memadai Atas Struktur Pengendalian Intern

2.6 6. Bukti Audit yang Kompeten

2.7 7. Financial Statements Presented in Accordance atau Sesuai Dengan Prinsip Akuntansi

2.8 8. Consistency In The Application atau Harus Konsistensi

2.9 9. Isi Laporan Harus Dipandang Memadai dan Mencakup Semua Hal

2.10 10. Expression of Opinion atau Pendapat yang Sesuai

Pengertian Dari Standar Audit

Berbicara mengenai standar audit, ini merupakan sebuah aturan yang ditetapkan agar bisa
dijadikan sebagai pedoman khusus untuk menilai dan melakukan evaluasi. Evaluasi tersebut
merupakan evaluasi mengenai laporan keuangan perusahaan tersebut.

Proses auditing ini juga bisa dianggap sebagai sebuah proses melakukan pemeriksaan dan juga
penilaian serta evaluasi mengenai hasil laporan keuangan. Proses tersebut dilakukan oleh
seseorang baik internal maupun eksternal.

Langkah melakukan penilaian terhadap laporan keuangan tersebut tentu berpegang pada standar
auditing yang ada untuk dijadikan acuannya. Acuan tersebut ditetapkan dan juga disahkan oleh
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dengan beberapa standar yang ada. Standar tersebut
meliputi standar umum, pekerjaan lapangan, dan juga pelaporan interpretasinya.
Standar Dalam Audit

Ketika hendak menjalankan sebuah audit dalam perusahaan, harus menerapkan pedoman audit
atas laporan keuangan yang ada. Standar audit tersebut terdiri dari 10 standar yang mana dirinci
dan membentuk sebuah pernyataan standar auditing (PSA). Beberapa standar ini mengharuskan
agar hasil dari audit benar-benar berimbas pada kemanfaatan untuk perusahaan. Adapun
beberapa standar tersebut diantaranya:

1. Competence atau Suatu Hal yang Mengharuskan Keahlian

Point standar audit yang pertama ini masuk dalam standar umum. Dalam melakukan sebuah
audit, tentu harus dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan juga pelatihan teknis yang
cukup. Seorang auditor diharuskan untuk bertindak sebagai seorang yang benar mahir dalam
bidang akuntansi.

Keahlian tersebut bisa dengan menempuh pendidikan formal maupun dengan pengalaman dalam
mengikuti pelatihan. Adapun bentuk pelatihan yang ada mencakup sebuah pelatihan kesadaran
untuk mengembangkan keterampilan dalam berbisnis maupun kegiatan perusahaan. Seorang
auditor diharuskan untuk mempelajari, memahami, dan menerapkan ketentuan baru yang ada
pada prinsip akuntansi dan juga standar auditing.

Baca juga: Auditor Keuangan: Pengertian, Tanggung Jawab, Jenis, Opini, dan
Prosedurnya

2. Independence atau Tidak Terpengaruh

Bagi seorang auditor, sangat penting untuk bersikap independen. Independen dalam hal ini yaitu
tidak mudah terpengaruh oleh pihak manapun. Adanya sikap intelektual dan jujur perlu
dijunjung tinggi oleh seorang auditor. Sebuah profesi akuntan publik biasanya telah mengetahui
kode etik akuntan Indonesia agar bisa mendapat sebuah kepercayaan.
Meskipun sikap independensi ini masuk dalam kategori mutu pribadi dan tidak masuk dalam hal
yang tercantum khusus dalam persepsi auditing, namun sikap ini sangat penting untuk
dipertahankan. Semakin seorang auditor memiliki sikap baik, tentu hal tersebut berimbas pada
kualitas yang ada.

Baca juga: Koreksi Fiskal: Pengertian, Penyebab, Jenis dan Tujuannya

3. Due Professional Care atau Tingkat Keprofesionalan

Maksud dari standar yang satu ini yaitu adanya sebuah sikap cermat dan seksama. Seorang
auditor harus memiliki keterampilan dan mampu mengembangkan keterampilan tersebut.

Keterampilan dalam hal cermat dan seksama tersebut untuk bisa mencerminkan seorang auditor
yang profesional. Keprofesionalan akan menunjang keyakinan dalam melakukan evaluasi dalam
laporan keuangan.

4. Adequate Planning dan Proper Supervision

Pada bagian standar audit ini termasuk dalam standar pekerjaan lapangan. Standar audit dalam
kategori ini berisi mengenai sikap dan juga pengetahuan seorang akuntan publik. Tentunya hal
ini bersangkutan dengan skill yang ada.

Maksud dari standar ini yaitu sebuah pekerjaan harus memiliki rencana yang sangat baik. Point
ini menjelaskan bahwa seorang auditor memiliki penyerahan tanggung jawab. Pada poin ini
menjelaskan tentang penyerahan tanggung jawab untuk merencanakan hal-hal yang terkait
dengan pekerjaan.

Baca juga: Sistem Ekonomi Tradisional: Pengertian, Ciri, Contoh, Kelebihan dan
Kekurangannya

5. Pemahaman yang Memadai Atas Struktur Pengendalian Intern

Standar pekerjaan lapangan yang satu ini berhubungan langkah atau strategi dalam melakukan
pekerjaan. Ilmu yang ada akan membedakan hasil dari audit yang dilakukan.

Seorang auditor tentu harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang pengendalian intern
baik itu prosedur maupun desain tentang laporan keuangan. Seperti halnya arus kas yang mampu
menjadi sarana perencanaan perusahaan dalam pengendalian aktivitasnya.

6. Bukti Audit yang Kompeten

Sebagai hasil untuk melakukan evaluasi harus ada sebuah bukti. Dari analisis laporan keuangan,
tentu akan menghasilkan suatu pendapat.
Pekerjaan oleh auditor untuk memberikan pendapat terhadap laporan keuangan tentunya
berdasarkan evaluasi bukti audit. Bukti tersebut bersifat variatif dan tentu harus benar-benar
objektif, relevan, dan tepat waktu.

Baca juga: Penyebab Inflasi dan Cara Mengatasi Inflasi untuk Bisnis yang Lebih Baik

7. Financial Statements Presented in Accordance atau Sesuai Dengan Prinsip Akuntansi

Pada poin ini sudah memasuki tahap pelaporan. Pelaporan ini menjadi hasil akhir dari rangkaian
standar audit. Maksud dari standar ini yaitu laporan audit harus menyatakan telah disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal tersebut mencakup konvensi, aturan dan
prosedur yang dibutuhkan untuk membatasi praktik dalam akuntansi yang berlaku.

Untuk standar pelaporan yang satu ini mengharuskan auditor menyajikan fakta dengan
memberikan pendapat mengenai penyusunan laporan keuangan. Hal tersebut untuk memberikan
gambaran terhadap perusahaan dalam hal finansial.

8. Consistency In The Application atau Harus Konsistensi

Hasil laporan auditor tentu harus menunjukkan, apabila ada ketidakkonsistenan penerapan
prinsip akuntansi. Adapun tujuan dari konsistensi ini yaitu untuk memberikan jaminan daya
banding terhadap laporan keuangan.
Tujuan dari konsistensi ini untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi dalam laporan
keuangan. Hal ini ditulis dalam sebuah paragraf penjelasan dalam laporan keuangan yang ada.

Download eBook Panduan dan Template Pembukuan Sederhana dengan Excel untuk
Bisnis Kecil

9. Isi Laporan Harus Dipandang Memadai dan Mencakup Semua Hal

Mengenai standar audit yang ini merupakan bentuk laporan keuangan harus sesuai dengan
prinsip akuntansi yang memadai. Baik itu dari segi susunan, bentuk, isi laporan, serta catatan atas
laporan keuangan.

Seorang auditor harus memastikan tentang beberapa hal yang diungkapkan dan berhubungan
dengan fakta-fakta saat dilaksanakan audit. Hal tersebut bisa menjadi bahan peetimbanhan
dengan pernyataan klien dan mampu merahasiakan informasi yang masuk.

10. Expression of Opinion atau Pendapat yang Sesuai

Laporan audit harus memuat secara keseluruhan dalam standar yang telah ditentukan. Hal ini
untuk menghindari kesalahan penafsiran seseorang. Bahkan standar pelaporan ini harus dikaitkan
dengan laporan keuangan yang ada.
Keterkaitan tersebut bisa dilakukan ketika akuntan memberikan izin untuk memberikan dokumen
atau laporan komunikasi tertulis. Ketika seorang akuntan menyerahkan hasil laporan yang
disusun kepada pihak lain, maka akuntan tersebut dianggap terkait.

Beberapa standar adit tersebut wajib untuk diterapkan agar memiliki perencanaan yang matang
untuk perusahaan. Laporan keuangan yang baik akan menunjukkan stabilitas dan perkembangan
perusahaan. Berbagai standar yang ada sebagai langkah dan juga pedoman yang harus diterapkan
dalam melakukan audit terhadap perusahaan.Dari ketiga pengelompokkan standar, tentu tidak
boleh terlewat satupun agar hasil audit benar-benar maksimal.

Agar laporan keuangan dalam bisnis bisa sesuai dengan standar audit, ada baiknya untuk tidak
menggunakan pembukuan manual. Selain memakan waktu, melakukan proses pembukuan
manual juga berisiko pada kesalahan pencatatan informasi keuangan Anda.

Sebagai solusinya, Anda bisa mencoba menggunakan software akuntansi online yang mudah
digunakan dan memiliki fitur yang sesuai dengan kebutuhan usaha Anda, salah satunya adalah
Accurate Online.

Accurate Online adalah software akuntansi berbasis cloud yang sudah dipercaya oleh lebih 300
ribu pengguna dari berbagai jenis bisnis dan memiliki fitur terlengkap di Indonesia.

Dengan menggunakan Accurate Online Anda bisa mendapatkan kemudahan dalam pencatatan
pengeluaran dan pemasukan, pengelolaan dan pencatatan stok, pemantauan banyak cabang dan
gudang, penghitungan aset secara keseluruhan, payroll, proses rekonsiliasi otomatis, integrasi ke
aplikasi bisnis lain, otomasi lebih dari 200 jenis laporan keuangan dan masih banyak lagi.

Standar Audit Laporan Keuangan &


Dokumen yang Dibutuhkan
Setiap perusahaan tentunya menyadari akan pentingnya mengetahui kondisi bisnis dan keuangan
perusahaan sejelas mungkin. Dengan mengetahui kondisi keuangan, perusahaan atau bisnis dapat
mengevaluasi strategi bisnis yang mereka terapkan, dan menjadikannya tolak ukur dalam
pengambilan keputusan strategis yang mampu membawa perusahaan berkembang ke arag yang
lebih baik lagi.

Untuk mengetahui kondisi keuangan, perusahaan atau bisnis biasanya menyiapkan laporan
keuangan yang disusun oleh staf keuangannya. Laporan keuangan berisi rincian dari setiap
transaksi atau aktifitas keuangan yang dilakukan oleh perusahaan dalam jangka waktu tertentu.
Isi dari laporan keuangan sangat mempengaruhi kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, laporan
keuangan harus melalui proses audit sehingga isi laporan teruji liabilitasnya.

Audit laporan keuangan ini merupakan audit yang mencakup penghimpunan dan pengevaluasian
bukti laporan. Audit laporan keuangan ini dilakukan oleh eksternal audit dan biasanya atas
permintaan klien. Standar audit dibutuhkan dalam melakukan audit laporan keuangan.. Standar
audit adalah standar/aturan/kriteria yang ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI), meliputi 3 bagian yaitu.

Table of Contents

1 Bagian dalam Standar Audit

1.1 1. Standar Umum

1.2 2. Standar Pekerjaan Lapangan

1.3 3. Standar Pelaporan

2 Dokumen yang Dibutuhkan dalam Standar Audit Keuangan

Bagian dalam Standar Audit


1. Standar Umum

Standar umum berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya sehingga bersifat
pribadi. Standar ini mencakup tiga bagian diantaranya:

a. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang mempunyai keahlian dan pelatihan
teknis yang memadai sebagai auditor.

b. Auditor harus mempertahankan mental dari segala hal yang berhubungan dengan perikatan,
independensi.

c. Auditor wajib menggunakan keahlian profesionalnya dalam melaksanakan pelaksanaan audit


dan pelaporan dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerjaan Lapangan

Standar ini terdiri dari 3 (tiga) poin diantaranya:

a. Seluruh pekerjaan audit dapat direncanakan dengan sebaik-baiknya dan apabila menggunakan
asisten maka harus disupervisi dengan semestinya.

b. Tak hanya memperhatikan standar audit saja, pemahaman yang memadai atas pengendalian
intern sangat dibutuhkan untuk merencanakan audit dan menentukan sifat

c. Bukti audit yang kompeten harus diperoleh melalui inspeksi pengamatan, permintaan
keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk dapat memberikan pernyataan
pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

3. Standar Pelaporan

Standar pelaporan terdiri dari 4 (empat) item, diantaranya:


a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum.

b. Hasil Laporan auditor harus menunjukkan kekonsistenan, apabila ada ketidakkonsistenan


penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dengan
penerapan pada periode sebelumnya.

c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali


dinyatakan lain dalam laporan auditor.

d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara
keseluruhan bahwa pernyataan yang demikian tidak bisa diberikan.

Baca juga: Hal Penting dalam Proses Audit Laporan Keuangan

Dokumen yang Dibutuhkan dalam Standar Audit Keuangan


Kelompok Catatan Keterangan
a. Buku bank dan buku kas kecil yang lengkap dan mutakhir
hingga akhir tahun.

b. Arsip tagihan/nota/kuitansi untuk semua item belanja.

c. Arsip atau buku kuitansi untuk uang yang diterima.


Catatan primer akun-akun
d. Pernyataan bank, slip penyetoran, dan buku cek.

e. Buku dan catatan gaji.

f. Buku Besar Induk, bila ada.


a. Saldo percobaan atau ringkasan semua penerimaan dan
pembayaran berdasarkan kategori anggaran.

b. Laporan rekonsiliasi bank untuk semua rekening bank pada


Ringkasan-ringkasan dan tanggal titik putus tahun fiskal.
laporan-laporan rekonsiliasi
c. Laporan rekonsiliasi kas kecil hingga tanggal titik putus
tahun fiskal.

d. Lembar catatan persediaan.


Jadwal dan daftar a. Jadwal utang (uang yang diutang oleh organisasi).

b. Jadwal piutang (uang yang diutang kepada organisasi).

c. Jadwal jatuh tempo hibah.


d. Jadwal hibah yang dijanjikan.

e. Daftar aset tetap.


a. Surat dari bank untuk mengonfirmasi saldo (akan diminta
oleh auditor sendiri).

b. Konstitusi organisasi.

Informasi lain c. Daftar anggota dewan pengurus dan staf.

d. Notulensi rapat dewan pengurus.

e. Perjanjian pendanaan dengan lembaga donor dan


persyaratan audit.

Untuk memenuhi standar audit laporan keuangan yang baik, tentunya perusahaan harus memiliki
catatan keuangan yang tertib dan baik sejak awal berjalannya bisnis. Catatan akuntansi yang baik
tidak hanya diperlukan untuk proses standar audit saja, namun juga untuk keperluan bisnis yang
lain misalnya pengajuan kredit pada bank maupun pembayaran pajak. Untuk mempermudah hal
tersebut, setiap bisnis membutuhkan proses akuntansi.

Tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi  dimaksudkan untuk memberikan


kerangka kerja guna membantu auditor mengumpulkan bukti audit  yang cukup
kompeten yang disyaratkan oleh standar pekerjaan lapangan ketiga, dan memutuskan
bukti audit yang tepat dan harus dikumpulkan bagi kelas transaksi sesuai dengan situasi
penugasan audit.
1. Keterjadian; Transaksi yang dicatat memang ada. Tujuan ini berkenaan dengan
apakah transaksi yang tercatat benar-benar terjadi.
2. Kelengkapan; Transaksi yang terjadi telah dicatat. Tujuan ini bersangkutan
dengan apakah semua transaksi yang harus dimasukkan dalam jurnal benar-
benar telah dicatatkan.
3. Keakuratan; Transaksi yang dicatat dinyatakan pada jumlah yang benar. Tujuan
ini membahas keakuratan informasi tentang transaksi akuntansu dan merupakan
salah satu bagian dari asersi keakuratan untuk kelas transaksi.
4. Posting dan pengikhtisaran; Transaksi yang dicatat dimasukkan ke dalam file
induk dan diikhtisarkan dengan benar. Tujuan ini berkaitan dengan keakuratan
transfer informasi dari transaksi yang dicatat dalam buku besar pembantu dank e
buku besar.
5. Klasifikasi; Transaksi ang dicatat dalam jurnal klien telah diklasifikasikan secara
tepat. Tujuan ini menyatakan apakah transaksi telah dimasukkan dalam akun 
yang tepat, dan merupakan padanan auditor atas asersi klasifikasi manajemen
untuk kelas transaksi.
6. Penetapan waktu; transaksi dicatat pada tanggal yang benar. Tujuan penetapan
waktu transaksi merupakan padanan auditor ata asersi cutoff manajemen.

Berikut adalah keenam tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi:

Keterjadian
Tujuan ini berkaitan dengan apakah seluruh transaksi yang telah dicatat memang benar – benar
terjadi. Tujuan ini merupakan padanan atas asersi manajemen tentang keterjadian transaksi.

Kelengkapan
Tujuan ini berkaitan dengan apakah seluruh transaksi yang harus dimasukkan dalam jurnal benar
– benar telah dicatat. Tujuan ini merupakan padanan atas asersi manajemen tentang kelengkapan
transaksi.

Keakuratan
Tujuan ini berkaitan dengan apakah seluruh transaksi telah dicatat pada jumlah yang benar.
Tujuan ini merupakan padanan atas asersi manajemen tentang keakuratan transaksi.

Pemindah – bukuan dan pengikhtisaran


Tujuan ini berkaitan dengan keakuratan pemindahan informasi dari jurnal ke buku besar dan
neraca saldo, serta keakuratan pengikhtisaran transaksi dalam laporan keuangan. Tujuan ini
merupakan padanan atas asersi manajemen tentang keakuratan transaksi.

Klasifikasi
Tujuan ini berkaitan dengan apakah seluruh transaksi telah dicatat pada akun yang tepat. Tujuan
ini merupakan padanan atas asersi manajemen tentang klasifikasi transaksi.

Penetapan waktu
Tujuan ini berkaitan dengan apakah seluruh transaksi telah dicatat dalam periode akuntansi yang
tepat. Tujuan ini merupakan padanan atas asersi manajemen tentang pisah batas transaksi.

Sesudah tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi ditentukan, tujuan audit khusus
yang berkaitan dengan transaksi untuk setiap jenis transaksi dapat dikembangkan. Setidaknya
satu tujuan audit khusus yang berkaitan dengan transaksi harus disertakan pada setiap tujuan
audit umum yang berkaitan dengan transaksi.
Bukti audit atau yang lebih sering disebut dengan (Audit Evidence) merupakan segala macam
bentuk informasi-informasi penting yang dapat digunakan oleh para auditor sebagai dasar acuan
dalam memberikan opini mereka. Bukti-bukti audit dapat berbentuk nominal atau berupa
pernyataan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertullis atau berupa ucapan lisan yang sudah di
konvensi agar menjadi bentuk pernyataan yang tertulis dan lebih relevan dengan penyajian dari
laporan keuangan.

Banyaknya jenis-jenis bukti audit yang selama ini sudah digunakan sebagai satu dasar untuk
penentuan opini dari tingkat kewajaran laporan keuangan. Keterbatasan dalam hal mengakses
terhadap bukti-bukti audit dapat juga mempengaruhi bagaimana opini dari tim auditor dalam
memberikan pernyataan dalam laporan keuangan. Semakin banyak bukti-bukti yang telah
dikumpulkan, maka akan semakin memperkuat pernyataan atas laporan keuangan yang sudah
diterbitkan.

Pengumpulan bukti-bukti audit yang sudah dilakukan sebelum terjadinya pemeriksaan lapangan,
lebih tepatnya pada saat terjadi audit plan atau semacam perencanaan audit. Pemilihan bukti-
bukti audit juga dapat mempengaruhi waktu terjadinya pemeriksaan, sehingga diharapkan pada
saat melakukan perencanaan audit, maka bukti yang akan dapat diperiksa cukup mampu dalam
memberikan berbagai informasi-informasi penting dan cukup kompeten.

Bukti bahwa sebenarnya audit juga dapat diperoleh pada saat terjadi pemeriksaan. Misalnya
bukti-bukti yang telah diperoleh saat proses pengamatan, inspeksi, pengajuan pertanyaan, dan
juga konfirmasi atas kebenaran dari saldo. Dan seandainya masih terdapat adanya sebuah
kebijakan perusahaan yang dinilai akan beresiko untuk menyebabkan terjadinya resiko
dikemudian hari, maka pihak auditor masih perlu untuk mencatatnya pada laporan manajemen
yang kemudian harus meminta bagaimana tanggapan mereka.
Audit merupakan tindakan introgative, yaitu bertujuan untuk memeriksa tingkat kewajaran dari
laporan keuangan yang telah disajikan oleh pihak manajemen serta untuk memeriksa bagaimana
kepatuhanya terhadap Prinsip-Prinsip Akuntansi yang masih berlaku. Pada kondisi tertentu pihak
Auditor berhak untuk tidak memberikan pendapat apapun.

Berikut ini praktisi software accounting akan


memberikan beberapa jenis dari bukti-bukti audit beserta dengan penjelasannya.

1. Bukti Fisik.

Merupakan suatu bukti yang sudah diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, misalnya dari hasil
pemeriksaan persediaan, pemeriksaan kas, observasi dari aktiva tetap. Bukti-bukti fisik ini
memang seharusnya diperoleh dari pemeriksaan dan perhitungan obyek yang sudah memilki
bentuk yang nyata.

2. Bukti Konfirmasi.

Adalah bukti yang sudah diperoleh dari berbagai tindakan-tindakan konfirmasi terhadap pihak
ketiga. Konfirmasi ini biasanya akan dilakukan untuk menanyakan bagaimana kebenaran dari
saldo yang telah disajikan pada laporan keuangan. Oleh karena bukti ini dianggap sebagai salah
satu bukti yang jauh lebih handal dari pada bukti-bukti yang sudah diperoleh dari perusahaan,
maka pihak yang akan menjadi sasaran dari surat konfirmasi diharapkan akan mampu dalam
memberikan pernyataan  yang sebenarnya dan dengan sejujur-jujurnya. Pihak-pihak yang telah
dikirimkan surat konfirmasi, baik dari mitra bisnis auditee misalnya suplier, konsumen dengan
nilai piutang terbesar maupun dari pihak yang independen misalnya kantor hukum.

3. Proses dokumentasi.

Suatu bukti yang sudah diperoleh dari pemeriksaan catatan transaksi keuangan. Proses seperti ini
biasanya lebih sering disebut dengan pemeriksaan kepada bukti transaksi atau lebih dikenal
dengan Vouching. Beberapa catatan akuntansi yang lebih sering diperiksa adalah bukti-bukti
transaksinya, yaitu:

• Bukti kas masuk dan kas keluar.


• Surat pesanan pembelian.
• Dokumen pengapalan/bill of leading.
• Duplikat faktur penjualan dan lain sebagainya.
4. Observasi.

Suatu tindakan yang sudah dilakukan untuk memperoleh bukti-bukti audit dengan cara
menggunakan panca indra. Misalnya memanfaatkan indera penglihatan, indera pendengaran,
sentuhan, penciuman. Bukti audit yang dapat diperokeh melalui pengamatan yaitu bukti yang
memiliki wujud, bentuk fisik. Bukti audit dari hasil observasi adalah sebagai berikut:

• Hasil pengamatan terhadap berbagai fasilitas-fasilitas yang telah disediakan oleh perusahaan.
• Barang-barang yang sudah tersimpan baik yang masih memang berfungsi maupun yang sudah
mendekati akhir dari masa ekonomisya

5. Inquiries.

Bukti-bukti yang berasal dari peryataan atau jawaban atas berbagai pertanyaan-pertanyaan dari
pihak auditor yang baik yang sudah berbentuk tulisan maupun yang berupa lisan. Bukti yang
berupa lisan dapat diperoleh melalui pertanyaan-pertanyaan dan bukti-bukti tertullis yang hanya
dapat diperoleh dari berbagai jawaban atas pertanyaan tertulis. Auditor juga bisa mendapatkan
bukti tertulis dari pertanyaan lisan dengan cara menkonversi menjadi pernyataan tertulis
kemudian memintanya tanda tangan.

6. Perhitungan.

Suatu bukti yang sudah diperoleh dari beberapa kali pengujian perhitungan kembali. Para auditor
dapat memberikan tanda-tanda pada kertas kerja bahwa saldo yang sudah diperiksa
perhitungannya telah dilakukan dengan sangat cermat dan tepat. Perhitungan kembali yang harus
dilakukan untuk memeriksa tingkat kecermatan perhitungan yang seblumnya telah dilakukan
oleh auditee.

7. Reperformance.

Bukti-bukti penting yang sudah diperoleh dari pemeriksaan prosedur kerja yang masih berlaku
dan masih bisa dijalankan oleh pihak auditee termasuk juga tentang pengendalian internalnya.
Tujuan dari dilakukan reperformance ini adalah untuk menguji sampai seberapa handal
informasi-informasi keuangan yang sudah dihasilkan. Analisis otorisasi melalui pemeriksaaan
specimen sangat perlu untuk dilakukan agar bisa mengetahui kuat dan efektifnya penerapa dalam
hal pengendalian internal perusahaan.

8. Tes analisis.

Suatu bukti yang sudah diperoleh dengan cara membandingkan dari beberapa saldo sampai
dengan membentuk sebuah rasio. Tujuan dari dilakukannya analitikal prosedur adalah untuk
menilai bagaimana tren, dengan cara membandingkan rasio dari periode yang berjalan dengan
rasio periode yang lalu. Selain itu penjelasan atas berbagai tren, baik yang menurun atau yang
sudah meningkat dapat digunakan sebagai salah satu dari bukti audit.

Jenis Bukti Audit


Mengingat jenis bukti audit bisa membantu dalam berbagai kegiatan auditing. Adapun beberapa
jenis-jenis yang termasuk kedalam bukti audit dan dinyatakan sangat penting, diantaranya :

1. Bukti Fisik

Bukti fisik merupakan bukti yang akan diperoleh oleh auditor secara langsung dengan melalui
pemeriksaan fisik di dalam proses audit itu sendiri. Misalnya, pemeriksaan fisik persediaan
secara langsung oleh auditor. Bukti ini merupakan salah satu bukti yang mungkin paling akurat
di dalam auditing. Sehingga jika anda memiliki bukti fisik. Maka tidak heran jika anda tidak
perlu khawatir apabila memiliki bukti fisik.

2. Bukti Matematis

Bukti matematis merupakan bukti yang diperoleh auditor melalui perhitungan langsung,
contohnya saja footing untuk penjumlahan vertikal dan cross footing untuk penjumlahan baik
secara horizontal ataupun sebaliknya. Bukti matematis ini mungkin perlu proses untuk
mendapatkannya. Bukti ini bersifat kuantitatif dan juga sesuai namanya yaitu matematis. Adanya
bukti ini memperjelas apakah pekerjaan klien anda teliti atau tidak dalam pembuatan jurnal.
(Baca: Manfaat Jurnal Khusus)

3. Bukti Perbandingan

Bukti perbandingan biasa disebut dengan bukti rasio, dimana bukti ini digunakan oleh auditor
untuk menghitung rasio likuiditas, profitbilitas solvabilitas, quick ratio dan hal lainnya.

ads

4. Bukti Dokumenter

Di jaman yang serba canggih seperti ini rasanya agak aneh jika tidak memiliki bukti dokumenter.
Terlepas dari kegiatan yang tidak terlalu penting layaknya auditing saja memiliki bukti
dokumenter. Apalagi mereka yang masuk ke dalam lingkup audit, selain pencatatan manual.
(Baca : Metode Pencatatan Persediaan Barang Dagang)

Dalam bukti dokumenter sendiri terbagi menjadi beberapa bagian diantarnya, bukti yang dibuat
oleh pihak luar dan dikirimkan langsung kepada tim auditor. Selain itu bukti yang sudah dibuat
pihak luar namun dikirim kepada auditor melalui kliennya. Terakir yakni bukti yang dibuat dan
disimpan oleh klien saja. Bukti yang pertama memiliki kredibilitas sangat tinggi dibanding bukti
dokumenter lainnya.

5. Catatan Akuntansi

Catatan akuntansi adalah sumber data yang bisa digunakan oleh auditor sebagai bukti audit.
Dimana, catatan ini merupakan hasil kerja yang telah dibuat oleh para akuntan. Sumber data
yang dimaksud merupakan dasar pembuatan laporan keuangan layaknya jurnal, dan sejenisnya.

Baca:
  Cara Membuat Laporan Keuangan
 Pengertian Jurnal Umum
 Pengertian Jurnal Penerimaan Kas

Karena itulah catatan akuntansi dipergunakan untuk bukti yang bisa mendukung kegiatan
auditing. Terutama karena catatan merupakan sistem yang sudah pasti dilakukan semua akuntan
dimanapun. (Baca: Pengertian Akuntansi Keuangan)

6. Bukti Pengendalian Internal

Bukti pengendalian internal adalah bukti yang paling kuat ketika melaksanakan audit. Mengapa
kuat ? karena kuat atau lemahnya pengendalian internalah seorang auditor bisa mendapatkan
banyak bukti yang bisa dikumpulkan olehnya. Contohnya, bila resiko pengendalian internal
cukup tinggi hal ni berarti resiko audit yang direncanakan harusnya rendah. Dengan judul
pengendalian cukup menjelaskan bahwa kegiatan dan bukti ini cukup sulit.

7. Bukti Surat

Bukti surat atau biasa disebut surat pernyataan tertulis merupakan surat yang telah
ditandatangani seorang individu yang bisa bertanggungjawab dan berpengetahuan mengenai
kondisi atau kejadian tertentu, dimana bukti tertulis bisa didapat dari manajemen ataupun sumber
eksternal termasuk bukti dari spesialis dan juga jurnal akuntan. (Baca: Cara Membuat Jurnal
Umum )

Bukti tertulis merupakan bukti yang sampai saat ini masih akurat dan diperhitungkan
kebutuhannya. Surat pernyataan konsultan hukum klien, ahli teknik yang berkaitan dengan
kegiatan teknik operasional organisasi klien merupakan bukti yang berasal dari pihak ketiga.
Bukti tertulis juga dibuat oleh manajemen bisa berasal dari organisasi klien tersebut.

8. Bukti Lisan atau Wawancara

Bukti lisan atau wawancara merupakan bukti selanjutnya adalah hal audit. Auditor dalam
melaksanakan tugasnya banyak sekali berhubungan dengan manusia, sehingga ia memiliki
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara lisan dan dalam bentuk wawancara. Masalah
dapat ditanyakan langsung pada pihak terkait meliputi kebijakan akuntansi, lokasi dokumen serta
adanya pelaksanaan yang tidak wajar terjadi. Hal ini akan lebih valid jika auditor tetap
melangsungkan wawancara demi mendapat jawaban dan bukti lisan. (Baca: Pengertian
Persamaan Dasar Akuntansi)

9. Bukti Konfirmasi

Bukti konfirmasi merupakan salah satu proses untuk memperoleh dan menilai suati komunikasi
langsung dari pihak ketiga atas jawaban permintaan informasi tentang unsur tertentu. Hal ini
mungkin sangat tinggi reliabilitasnya karena berisikan informasi dari pihak ketiga langsung baik
tulis maupun lisan.
Dalam konfirmasi sendiri ada yang memiliki nilai positif seperti halnya persetujuan, konfirmasi
negatif atau mereka yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap informasi yang telah
ditanyakan. Lalu terakhir adalah blank confirmation, dimana konfirmasi yang respondenya
diminta untuk memberikan informasi lain atau jawaban atas suatu hal yang sedang ditanyakan.

Sponsors Link

10. Bukti Analitik

Bukti analitik hampir serupa dengan bukti perandingan, karena bukti analitik meliputi juga
perbandingan atas pos tertentu antara laporan keuangan tahun berjalan dengan tahun yang sudah
lewat. (Baca: Fungsi Laporan Keuangan)

Dalam perusahaan terutama, tahun sebelumnyapun masih menjadi dasar dan acuan untuk
pertimbangan. Bukti ini dikumpulkan pada awal audit untuk menentukan objek pemeriksaan
yang memerlukan pemeriksaan mendalam.

11. Bukti Keterangan

Permintaan keterangan dalam sebuah prosedur audit merupakan hal yang wajar, dimana hal ini
dilakukan oleh auditor terhadap objek yang sudah dianggap memiliki informasi. Selain itu bukti
keterangan ini didasarkan pada adanya auditor yang memastikan buktinya pada para klien.

12. Bukti Penelusuran

Penelusuran dibutuhkan oleh para auditor mengingat terkadang pengumpulan bukti dilakukan
oleh auditor baik menggunakan dokumen ke catatan akuntansi ataupun sebaliknya. Bukti
penelusuran ini memudahkan para auditor dalam menemukan jenis bukti audit lain. (Baca: Jenis
Jenis Akuntansi)

13. Bukti Observasi

Bukti pengamatan merupakan salah satu bukti yang juga termasuk kedalam prosedur audit.
Dimana auditor memiliki kesempatan untuk melihat dan menyaksikan suatu kegiatan yang
berhubungan dengan pengumpulan bukti.

Sponsors Link

14. Bukti Perhitungan

Prosedur dan bukti perhitungan merupakan salah satu bukti fisik yang terpecah, yang dilakukan
dalam auditing. Auditor akan mendapatkan bukti setelah melakukan counting, tak jarang mereka
bahkan melakukannya sendiri untuk memastikan apakah hasil pekerjaan benar-benar real atau
adanya manipulasi yang tidak diinginkan.
Perhitungan ini sejenis dengan pengujian detail transaksi, hal ini berguna untuk mendapatkan
kebenaran transaksi, ketepatan otoritas transaksi akuntansi klien dan kebenaran. Jika auditor
memiliki keyakinan bahwa transaksi tersebut telah dicatat dengan tepat maka auditor dapat
meyakini bahwa saldo total buku besar tentulah benar. (Baca: 10 Pengertian Akuntansi Piutang)

15. Bukti Inspeksi

Inspeksi merupakan pemeriksaan secara rinci, terhadap sebuah dokumen dan kondisi fisik yang
memiliki kaitan serta menghasilakn bukti untuk mendukung laporan keuangan.Bukti ini
dimasukan kedalam bukti dan prosedur dalam audit. (Baca: Unsur Unsur Laporan Keuangan)

Bukti audit memiliki variasi yang cukup banyak pengaruhnya, sehingga auditor independen
dalam rangka memberikan pendapat mengenai laporan keuangan auditan. Relevansi, ketepatan
waktu serta real atau objektif merupakan bukti audit yang dibutuhkan dan juga diharapkan.
(Baca: Jenis Jenis Laporan Keuangan)

Adanya cukup banyak jenis bukti audit ini menunjukan bahwa keuangan dan laporannya
merupakan hal yang harus memiliki perhatian ekstra, agar tidak terjadi kesalahan dan berujung
pada salah paham atau berimbasnya baik klien, karyawan atau auditor itu sendiri. Agar tidak
terjadi hal yang tidak diharapkan ketika dilakukan auditing.

Kompetensi Bukti Audit

Kompetensi bukti audit ini berkaitan dengan sejauh mana bukti-bukti yang diperoleh dapat
dipercaya. Jika bukti yang didapatkan adalah sangat kompeten, maka hal ini sangat membantu
auditor untuk menentukan apakah laporan keuangan yang diperiksanya sudah disajikan dengan
wajar. Pertimbangan yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan apakah bukti audit sudah
kompeten bisa didasarkan pada:

1. Relevansi (Relevance). bukti audit yang relevan haruslah sesuai jika digunakan untuk maksud
tertentu, yang dalam ini berarti harus berhubungan dengan tujuan auditor. Jika tujuan auditor
adalah untuk menentukan keberadaan suatu persediaan, auditor bisa mendapatkan buktinya
dengan melakukan observasi langsung pada persediaan tersebut.
2. Sumber Perolehan (Sources), sumber informasi sangat berpengaruh pada kompetensi bukti
audit. Sumber informasi yang dapat mempengaruhi kompetensi bukti adalah sbb: 1) Jika sumber
informasi didapatkan dari sumber independen di luar perusahan, 2) Semakin efektif struktur
pengendalian internal perusahaan, maka semakin besar jaminan yang diberikan atas keandalan
data akuntansi dan laporan keuangan, 3) Pengetahuan auditor secara pribadi dan secara
langsung dari pemeriksaan fisik, pengamatan, penghitungan, dan inspeksi lebih meyakinkan
daripada informasi yang didapat secara tidak langsung.
3. Ketepatan Waktu (Timeliness), ketepatan waktu berhubungan dengan tanggal penggunaan bukti
audit. Kriteria ini menjadi penting khususnya untuk memverifikasi aktiva lancar, utang lancar,
dan akun surplus-defisit karena bisa mengecek apakah cut off sudah dilakukan dengan tepat.
4. Objektivitas (Objectivity), bukti audit yang objektif dipandang lebih kompeten jika dibandingkan
dengan bukti audit yang bersifat subjektif. Untuk menilai objektivitas bukti audit, diperlukan
juga penilaian atas kualifikasi personal yang memberikan bukti tersebut.
Jenis Bukti Audit

Berikut tujuh jenis bukti audit:

1. Pengujian fisik (physical examination), merupakan bukti yang diperoleh lewat pemeriksaan
secara fisik atau lewat perhitungan oleh auditor terhadap harta perusahaan. Misalnya, uang
tunai, surat berharga, barang persediaan.
2. Konfirmasi, merupakan bukti yang didapatkan lewat penegasan dari pihak ketiga sebagai
jawaban atas permintaan informasi yang berkaitan dengan asersi manajemen dan tujuan audit. 
Umumnya auditor lebih memilih konfirmasi tertulis karena mudah di-review oleh supervisor
audit dan memberikan dukungan keandalan.
3. Dokumentasi, merupakan pemeriksaan atau penyelidikan oleh auditor atas dokumen dan
catatan klien guna mendukung informasi yang telah tersaji. Dokumentasi digunakan secara luas
sebagai bukti audit karena biayanya yang relatif rendah dan pada banyak kesempatan menjadi
satu-satunya bukti audit yang tersedia dan layak.
4. Prosedur analitis, dengan cara menggunakan perbandingan dan hubungan untuk menilai apakah
saldo akun atau data lainnya tampak wajar. Misalnya, auditor melakukan perbandingan total
beban gaji dengan jumlah tenaga kerja untuk menunjukkan apakah ada pembayaran gaji yang
tidak semestinya.
5. Wawancara dengan klien, merupakan upaya untuk memperoleh informasi secara lisan ataupun
tertulis dari klien yang menjadi bukti respon atas pertanyaan dari auditor. 
6. Perhitungan ulang, merupakan pengujian atas keakuratan hasil perhitungan klien. 
7. Observasi, merupakan penggunaan alat indera untuk menilai aktivitas klien. Misalnya, auditor
melakukan kunjungan ke lokasi pabrik untuk mengamati proses produksi.

Konrath (2002) juga membagi bukti audit ke dalam 6 (enam) jenis, yakni:

1. Bukti Fisik (Physical Evidence)


2. Bukti Konfirmasi (Evidence Obtained through Confirmation)
3. Bukti Dokumen (Documentary Evidence)
4. Bukti Matematik (Mathematical Evidence)
5. Bukti Analitik (Analytical Evidence)
6. Bukti Keterangan (Hearsay or Oral Evidence)

Bukti Fisik

Menurut Konrath (2002), bukti fisik terdiri atas setiap hal yang dapat dihitung (counted),
diamati, maupun diinspeksi. Bukti fisik, melalui sifatnya yang faktual, memberikan dukungan
utama bagi tujuan audit keberadaan (existence). Bukti fisik mencakup bukti-bukti audit yang
dikategorikan oleh Arens (2012) sebagai pemeriksaan fisik (physical examination), observasi
(observation), dan reperformance.

1. Pemeriksaan Fisik

Menurut Arens (2012) pemeriksaan fisik merupakan inspeksi atau perhitungan atas tangible
assets oleh auditor. Terdapat perbedaan antara pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan dokumen.
Jika objek yang diperiksa tidak memiliki nilai bawaan (inherent value), maka bukti auditnya
disebut sebagai bukti audit dokumen, sepeti pemeriksan atas dokumen penjualan, maupun
dokumen cek yang belum diterbitkan.

Secara umum, pemeriksaan fisik bertujuan untuk memastikan kuantitas dan wujud dari aset.
Dalam beberapa kasus, pemeriksaan fisik juga menjadi metode untuk melakukan evaluasi atas
kondisi dan kualitas aset. Pemeriksaan fisik, secara langsung mengandung maksud untuk
melakukan verifikasi bahwa aset benar-benar ada (existence objective) dan juga bahwa seluruh
aset yang ada memang telah dicatat (completeness objective).

2. Observasi

Menurut Arens (2012), observasi adalah penggunaan indera untuk menilai aktivitas klien.
Sepanjang pelaksanaan audit, Meski termasuk ke dalam bukti audit, penting bagi auditor untuk
menindaklanjuti kesan awal yang diperoleh melalui observasi dengan bukti-bukti penguat.

3. Repreformance

Merupakan pengujian independen oleh auditor, atas prosedur akuntansi maupun aktivitas
pengendalian oleh klien, yang merupakan bagian dari sistem akuntansi dan pengendalian milik
klien (Arens, 2012). Reperformance jamak digunakan sebagai salah satu metode dalam
pelaksanaan tahapan audit uji pengendalian (Test of Control). Contoh dari reperformance adalah
auditor melakukan perbandingan harga pada invoice dengan daftar harga, serta auditor
melakukan kembali analisis dan klasifikasi aging atas tagihan yang dimiliki klien. Atau ketika
auditor menggunakan dummy data untuk diolah dalam sistem informasi klien (data testing)
untuk keperluan uji kecukupan pengendalian sistem informasi klien.

Bukti Konfirmasi

Arens (2012) menyebutkan bahwa konfirmasi merupakan perolehan tanggapan langsung tertulis
dari pihak ketiga yang memberikan verifikasi atas akurasi informasi yang diminta oleh auditor.
Permintaan tersebut ditujukan oleh auditor kepada klien, dan klien yang akan meminta pihak
ketiga untuk memberikan respon secara langsung kepada auditor.

Informasi yang Sering Dikonfirmasikan


Informasi Sumber
Aset
Cash in bank Bank
Marketable securities Investment custodian
Account Receivable Customer
Notes receivable Maker
Owned inventory out on consignment Consignee
Inventory held in public warehouses Public warehouse
Cash surrender value of life insurance Insurance company
Kewajiban
Accounts payable Creditor
Notes payable Lender
Advances from customer Customer
Motgages payable Mortgagor
Bonds payable Bondholder
Ekuitas Pemilik
Shares outstanding Registrar and transfer agent
Informasi Lainnya
Insurance coverage Insurance company
Contingent liabilities Bank, lender, and client’s legal counsel
Bond indenture agreements Bondholder
Collateral held by creditors Creditor

Arens, Elder, and Beasley, 2012, Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach 14th
ed

Bukti Dokumen

Bukti audit lain menurut Arens (2012) adalah bukti dokumen. Auditor melakukan pemeriksaan
atas dokumen dan catatan klien. Dokumen yang diperiksa adalah catatan yang digunakan oleh
klien untuk menyediakan informasi yang bertujuan untuk melaksanakan bisnis secara
terorganisasi. Bukti dokumen dapat berwujud kertas, elektronik, maupun bentuk lainnya.

Bukti dokumen dapat diklasifikasikan sebagai dokumen internal maupun dokumen eksternal.
Dokumen internal disiapkan dan digunakan di dalam organisasi tanpa diserahkan kepada pihak
luar organisasi. Sedangkan dokumen eksternal diserahkan oleh pihak di luar organisasi klien
yang terlibat dalam transaksi yang terdokumentasikan, dan disimpan oleh klien ataupun dapat
diperoleh sewaktu-waktu.

Determinan utama bagi kesediaan auditor untuk menerima sebuah dokumen sebagai bukti yang
memadai adalah apakah dokumen tersebut berasal dari pihak luar (eksternal) atau dari dalam
organisasi (internal). Dan ketika dokumen tersebut merupakan dokumen internal, perlu
diidentifikasi apakah dokumen tersebut dihasilkan dari proses dengan pengendalian internal yang
memadai, ataukah tidak. Namun ketika dokumen tersebut berasal dari eksternal, maka
diindikasikan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam transaksi, baik klien maupun pihak di lain
yang terlibat, telah menyetujui informasi dan kondisi yang tertera dalam dokumen. Sehingga
dokumen eksternal dianggap lebih dapat diandalkan.

Bukti Matematik

Konrath (2002) menyebut bahwa bukti matematik terdiri atas kalkulasi, rekalkulasi dan
rekonsiliasi yang dilakukan oleh auditor. Bukti matematik tergolong bukti faktual sebab auditor
melaksanakan komputasi atas data. Bukt matematik berkaitan utamanya dengan pengujian atas
alokasi dan prinsip akrual. Contoh dari alokasi dan prinsip akrual yang diuji melalui rekalkulasi
untuk memperoleh bukti matematik adalah perhitungan depresiasi, pajak, gaji, serta laba ataupun
rugi dalam pelepasan aset.
Lebih lanjut Konrath (2002) mengutip bahwa GAAS mengharuskan auditor untuk secara teliti
melakukan evaluasi apakah estimasi yang dibuat oleh manajemen sudah memadai. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan oleh auditor adalah mengembangkan ekspektasi independen
atas estimasi untuk mengkonfirmasi estimasi manajemen. Hal inilah yang dapat juga
menghasilkan bukti matematik. Seperti misalnya, auditor dapat melakukan perhitungan ulang
atas beban warranty, NRV atas persediaan, atau pembentukan cadangan.

Begitu pula dengan rekonsiliasi, sebab melibatkan sejumlah komputas, maka dapat pula
dikategorikan sebagai bukti matematik. Contohnya adalah rekonsiliasi bank, serta rekonsiliasi
pencatatan pada perusahaan dengan anak (subsidiaries).

Bukti Analitik

Mengutip AICPA Professional Standards, Konrath (2012) menyatakan bahwa prosedur bukti
analitik merupakan pengujian substantif atas informasi keuangan dengan melakukan studi dan
perbandingan atas hubungan di antara data. Prosedur analitik digunakan pada tahap perencanaan
serta penyelesaian audit. Pada tahap perencanaan, prosedur analitik digunakan untuk
mengidentifikasi area dengan risiko audit yang tinggi. Sedangkan pada tahap penyelesaian,
kembali auditor menggunakan prosedur analitik untuk melakukan evaluasi atas kewajaran saldo
dan transaksi setelah audit.

Arens (2012) mengidentifikasi setidaknya ada 4 (empat) tujuan dari prosedur analitik:

1. Memahami industri dan bisnis klien. Auditor diharuskan memperoleh pengetahuan


berkaitan dengan industri dan bisnis klien sebagai bagian dari perencanaan audit. Pada
prosedur analitik yang membandingkan antara data keuangan perusahaan dengan tahun
sebelumnya, perubahan-perubahan yang terjadi diperhatikan.
2. Menilai keberlangsungan (going concern) perusahaan. Prosedur analitik seringkali
digunakan sebagai indikator untuk menentukan apakah entitas sedang mengalami
masalah keuangan. Beberapa prosedur anaalitik dapat membantu auditor menilai
kemungkinan pailit. Contohnya adalah rasio hutang jangka panjang atas nilai bersih
perusahaan yang di atas normal, bersamaan dengan rasio laba atas total aset yang lebih
rendah dari rata-rata, mengindikasikan besarnya risiko pailit.
3. Mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji laporan keuangan. Salah saji
laporan keuangan dapat menjadi salah satu sebab bagi fluktuasi yang tidak wajar. Adanya
fluktuasi tidak wajar yang ditemui ketika melakukan komparasi data keuangan tahun ini
dengan tahun sebelumnya. Ketika fluktuasi yang tidak wajar nilainya sangat besar, maka
auditor harus menemukan sebab alasan terjadinya fluktuasi tersebut, dan memastikan
bahwa hal tersebut disebabkan adanya suatu kejadian ekonomi yang valid, alih-alih
dikarenakan salah saji akuntansi.
4. Mengurangi pengujian audit yang detail. Manakala prosedur analitik tidak
menunjukkan adanya fluktuasi yang tidak wajar, hal ini berdampak pada kecilnya
kemungkinan salah saji material. Dalam hal ini, prosedur analitik menjadi bukti
substantif yang mendukung kewajaran penyajian saldo neraca yang bersangkutan.

Bukti Keterangan
Arens (2012) menyebut bukti keterangan (hearsay evidence) dengan istilah inquiries of the
client. Merupakan perolehan informasi baik secara tertulis maupun lisan sebagai tanggapan atas
pertanyaan dari auditor. Meskipun bukti keterangan yang diperoleh tersebut dapat
dipertimbangkan, namun biasanya bukti tersebut dianggap kurang konklusif sebab berasal dari
sumber yang tidak independen dan mungkin saja bias sebab keberpihakan kepada kepentingan
klien.

Kecakapan dari Setiap Jenis Bukti Audit

Sebagaimana telaah disebutkan, bahwa Arens (2012) mensyaratkan bahwa bukti yang cakap
harus bersifat relevan dan handal (reliable). Sebagaimana disebutkan pula, kehandalan sebuah
bukti audit diukur melalui 6 karakteristik. Oleh karena relevansi setiap bukti audit bervariasi,
pada tabel berikut ini akan diidentifikasi kehandalan setiap jenis bukti audit berdasarkan 6
kriteria kehandalan bukti audit.

Kriteria Kehandalan Bukti Audit


Effectiveness
Jenis Bukti Auditor’s
Independence of Client’s Qualifications Objectivity
Audit Direct Timeliness
of Provider Internal of Provider of Evidence
Knowledge
Control
High (Auditor High (Auditor
Physical Varies Varies High Varies
does) does)
Varies –
Confirmatory High N/A Low High Varies
Usually High
External more
Documentary independent Varies Low Varies High Varies
than internal
High (Auditor High (Auditor
Mathematical Varies High High Varies
does) does)
High/Low Normally high
Varies
(auditor (auditor
Analytical Varies Low (usually Varies
does/client does/client
low)
responds) responds)
Low (Client Varies – low
Hearsay N/A Low Varies Varies
provides) to high

Dari tabel di atas dapat dilakukan analisis bahwa efektivitas pengendalian mempunyai pengaruh
yang signifikan atas kehandalan sebagian besar jenis bukti audit. Selain itu, dapat kita amati
bahwa meskipun bukti audit tersebut digunakan pada tujuan audit yang berbeda, bukti audit fisik
dan bukti audit matematik dipegaruhi kehandalannya oleh pengendalian internal entitas. Hal ini
menunjukkan bahwa dua jenis bukt audit yang berlainan sama sekali dapat memiliki kehandalan
yang setara. Meski begitu, jenis bukti audit tertentu jarang sekali mencukupi sebagai dasar atas
seluruh tujuan audit sekaligus.
Konrath (2002) menyajikan urutan tingkat keandalan jenis bukti audit dalam bentuk diagram.

Biaya dari Setiap Jenis Bukti Audit

Tabel berikut ini menunjukkan pendapat Arens (2012) berkaitan dengan biaya atas setiap jenis
bukti audit

Jenis Bukti Audit Biaya Penjelasan


Physical –  Mensyaratkan kehadiran auditor untuk perolehan bukti.
Expensive
examination Adakalanya fisik aset tersebar di berbagai lokasi.
Physical – Observasi dapat dilakukan secara bersamaan (concurrent)
Least-expensive
observation dengn prosedur audit yang lain.
Reperformance  dapat memakan biaya yang bervariasi
Physical –
Moderate bergantung pada ruang lingkup pelaksanaan
reperformance
reperformance.
Auditor harus mengikut prosedur yang teliti dalam hal
persiapan, pengiriman serta penerimaan hasil permintaan,
Confirmatory Expensive
berikut tindak lanjut apabila terdapat eksepsi maupun
ketika tidak ada respon yang diberikan.
Jika klien telah menyiapkan dokumen bagi auditor maka
Documentary Moderate pada umumnya biaya yang diperlukan rendah. Namun jika
tidak maka biaya yang ditimbulkan bisa tinggi.
Melibatkan komputasi sederhana serta dapat dilakukan
Mathematical Least-expensive
dengan bantuan software.
Analytical Moderate Waktu pengujian detail yang digunakan untuk memperoleh
bukti analitis relatif lebih redah jika dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik dan konfirmasi
Normalnya memerlukan biaya yang rendah, terkecuali bila
Hearsay Least-expensive
ada pernyataan tertulis yang diperukan.

Anda mungkin juga menyukai