Anda di halaman 1dari 331

SENSOR FILM BERGENRE AGAMA

(Studi Fenomenologi pada Lembaga Sensor Film (LSF)


Republik Indonesia)

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Sosial (M.Sos)
pada Program Magister (S2) Prodi Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI)
Program PascaSarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Oleh:
NURHAYATI NUFUS
NIM. 2180100050

PROGRAM MAGISTER (S2)


PRODI KOMUNIKASI & PENYIARAN ISLAM (KPI)
PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
1441 H / 2020
2

LEMBAR PERSETUJUAN

SENSOR FILM BERGENRE AGAMA


Studi Fenomenologi pada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia

Oleh:
Nurhayati Nufus
NIM: 2180100050

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi,MA. Dr. Moch. Fakhruroji, M.Ag.


NIP. 196106191988031002 NIP 1977092822005011003

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister (S2)


Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI)

Dr. H. Zaenal Mukarom, M.Si.


NIP. 197003111995031004

2
ABSTRAK

Nurhayati Nufus, 2020: Sensosr Film Bergenre Agama. (Studi Fenomenologi


pada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia). Sensor Film adalah
penelitian, penilaian dan ketentuan kelayakan film dan iklan film untuk
mempertunjukan kepada khalayak umum. Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman pada Pasal 1 angka 9. Lembaga Sensor
Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas menetapkan status edar film-film
Indonsia. Sebuah film hanya dapat diedarkan jika dinyatakan lulus sensor oleh
Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor juga mempunyai hak yang sama terhadap
reklame-reklame film, misalnya foster film. Selain tanda lulus sensor, Lembaga
Sensor juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.
Sensor Film di Indonesia lahir sejak zaman Hindia Belanda dengan perkembangan
perbioskopan sejak tahun 1916. Kebijakan penerapan kegiatan sensor film dalam
masa pemerintahan Hindia Belanda diawali dengan penerapan Ordonisasi Film
tahun 1916.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan
penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film dari Lembaga Sensor Film
(LSF) dalam menyeleksi menilai tayangan atau adegan yang disensor agar
diketahui bahwa film tersebut bergenre agama. Menurut Peraturan Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan
Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia penonton, dan Penarikan Film dan Iklan
Film dari Peredaran Kegunaan Penelitian. Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Teori untuk
menganalisis prosesnya yaitu teknik eksplikasi data teknik ini mencakup
pemahaman data sebagai suatu keseluruhan serta menyusun deskripsi fenomena.
Metode penelitian ini menggunakan fenomenologi dengan jenis penelitian.
kualitatif. Karena permasalahan yang diteliti merupakan berfokus pada penemuan
fakta. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian data dianalisis dengan prosedur
analisis fenomenologi, menyusun deskripsi fenomenologi, mengidentifikasi,
eksplikasi, dan sintesis dari penjelasan sensor film.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: 1) Surat tanda lulus sensor yang
telah dikeluarkan oleh lembaga sensor film, merupakan suatu legalitas terhadap
suatu film yang akan di pertunjukkan melalui bioskop, televisi dan jaringan
informatika. Sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 57 a 1 Undang-Undang No.
33 tahun 2009 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2014
tentang Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga
yang bertugas menetapkan status edar film-film di Indonesia. Sebuah film hanya
dapat diedarkan jika dinyatakan “lulus sensor” oleh Lembaga Sensor Film. 2)
proses sensor produk film dan iklan film yang berlaku di LSF dalam proses ini LSF
mengacu pada ketentuan perundang-undangan dengan prinsip mengutamakan
dialog. Setelah proses sensor film/iklan film dilaksanakan akan keluar keputusan
berupa LULUS SENSOR, REVISI, atau TIDAK LULUS SENSOR.

3
ABSTRACK

Nurhayati Nufus, 2020: Film Sensosr Religion genre. (Phenomenology Study


at the Film Censorship Institute (LSF) of the Republic of Indonesia). Film
Censorship is a research, assessment and eligibility provisions for films and film
advertisements to show to the general public. This is reinforced in Law Number 33
of 2009 concerning film in Article 1 point 9. The Film Censorship Institute (LSF) is
an institution that is tasked with determining the distribution status of Indonesian
films. A film can only be released if it is declared to have passed censorship by the
Film Censorship Institute. The Censorship Institute also has the same rights to film
billboards, for example a film foster. In addition to the censorship mark, the
Censorship Institute also determines the age classification of the audience for the
film concerned. Film censorship in Indonesia was born since the Dutch East Indies
era with the development of cinemas since 1916. The policy of implementing film
censorship activities during the Dutch East Indies government began with the
implementation of the Film Ordinance in 1916.
The purpose of this research is to find out what the research, assessment, and
determining the feasibility of films from the Film Censorship Institute (LSF)
consider in selecting the censored shows or scenes so that it is known that the film
is a religious genre. According to the Education and Culture Regulation of the
Republic of Indonesia Number 14 of 2019 concerning Guidelines and Criteria for
Censorship, Age Classification of audiences, and Withdrawal of Films and Film
Ads from the Circulation of Research Use. According to the Government
Regulation of the Republic of Indonesia Number 18 of 2014 concerning Film
Censorship Institutions. According to the Law of the Republic of Indonesia
Number 33 of 2009 concerning Film. The theory for analyzing the process, namely
the data application technique, includes understanding the data as a whole and
compiling a description of the phenomenon.
This research method uses phenomenology with this type of research. qualitative.
Because the problem under study is focused on finding facts. This research data
collection using several techniques, namely observation, interviews, and
documentation. Then the data were analyzed using phenomenological analysis
procedures, compiling a phenomenological description, identifying, explaining, and
synthesizing the explanation of the film sensor.
The results of this study indicate that: 1) The rcensorship cercificate issued by the
film censorship institution is a legality for a film that will be shown through
cinemas, television and informatics networks. As stipulated in the provisions of
article 57 a 1 of low no. 33 of 2009 concerning film and Government Regulation
No. 18 of 2014 concerning the Film Censorship Institute) The Film Censorship
Institute (LSF) is an institution in charge of determining the distribution status of
films in Indonesia. A film can only be released if it is declared "passed censorship"
by the Film Censorship Institute. 2) the process of censorship of film products and
film advertisements that apply at LSF. In this process, LSF refers to statutory
provisions with the principle of prioritizing dialogue. After the film censorship /
film advertisement process is implemented, a decision will be issued in the form of
SENSOR PASS, REVISION, or SENSOR NOT PASS.

4
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:


1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister, baik di Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung maupun perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan,rumusan, dan hasil penelitian saya
sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali atas arahan dan bimbingan dari
dosen pembimbing dan masukan tim penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat ataupun pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila ada dikemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia terkena sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku diperguruan negeri ini.

Bandung, 16 Desember
2020
Yang membuat pernyataan,

NURHAYATI NUFUS
NIM 2180100050

5
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji


dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin, rahmat serta hidayah-Nya,
penulisan tesis ini dengan judul: “Sensor Film Bergenre Agama (Studi
Fenomenologi pada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia)”.
Penulisan tesis ini dimaksudkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sosial (M.Sos) Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Penulis menyadari tesis ini
masih belum mendekati kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya membangun sebagai bahan masukan
yang bermanfaat demi perbaikan dan peningkatan diri dalam bidang ilmu
pengetahuan.
Upaya menyelesaikan tesis ini, penulis telah menerima banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. H. Zaenal Mukarom, M.Si., Ketua Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Prof. Dr. H. Asep Saepul Muhtadi, M.A., Pembimbing I, Dr.
Moch. Fakhruroji, M.Ag., Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan
berharga dalam mengarahkan dan memberikan motivasi.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu Dosen dan
Karyawan UIN Sunan Gunung Djati yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
sarana prasarana selama penulis menempuh pendidikan. Ucapkan terima kasih juga
penulis haturkan kepada sahabat di Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
Kritik dan saran demi perbaikan tesis ini sangat diharapkan dan sangat
diterima dengan kelapangan dada. Semoga hasil penelitian yang dilakukan kiranya
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Bandung, 16 Desember 2020
Penulis,

NURHAYATI NUFUS
NIM 2180100050

6
RIWAYAT HIDUP

Nurhayati Nufus, penulis lahir di Tangerang pada tanggal 15


Oktober 1992. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Saepudin Juhri dan Ibu Eka
Marlina, yang beralamat di Kp. Saradan RT/RW 007/002
No. 041 Desa. SumurBandung Kec. Jayanti Kab. Tangerang
Provinsi. Banten.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SDN Cikande 1


Tangerang, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Al-Hasanah Tangerang.
Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Cahaya Fadilah Jakarta Barat.
Kemudian melanjutkan pendidikan perguruan tinggi pada Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Isalm (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana
Hasanudin Banten. Yang sekarang berubah nama menjadi UIN Banten. Setelah
lulus strata satu (S1) melanjutkan studi di Program Magister (S2) Pascasarjana UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Program studi yang diambil yaitu Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI) tahun masuk 2018 samapi sekarang.

7
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...............................................................................i


ABSTRAK ..............................................................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................vi
DAFTAR ISpI .........................................................................................................vii
DAFTAR SKEMA GAMBAR ...............................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitiian.................................................................................1
1.2 Fokus Penelitian.................................................................................................5
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................................5
1.4 Landasan Pemikiran...........................................................................................7
BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG OBJEK PENELITIAN
2.1 Film....................................................................................................................16
2.1.1 Pengertian Film.........................................................................................16
2.1.2 Jenis-jenis Film.........................................................................................18
2.1.3 Unsur-unsur Film......................................................................................24
2.1.4 Fungsi Film...............................................................................................25
2.1.5 Sejarah Film..............................................................................................27
2.2 Lembaga Sensor Film (LSF...............................................................................29
2.2.1 Pengertian Lembaga Sensor Film.............................................................29
2.2.2 Genre Film di Lembaga Sensor Film........................................................30
2.2.3 Film Bergenre Agama...............................................................................31
2.3 Penelitian Terdahulu..........................................................................................35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian........................................................................................39
3.2 Pendekatan Penelitian.......................................................................................40

8
3.3 Metode Penelitian.............................................................................................41
3.4 Jenis Penelitian.................................................................................................41
3.5 Sumber Data Penelitian....................................................................................42
3.6 Informan dan Subjek Penelitian........................................................................44
3.7 Teknik Pengumpulan Data...............................................................................44
3.8 Analisis Data.....................................................................................................49
3.9 Lokasi/Objek Penelitian danWaktu Penelitian.................................................50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Lembaga Sensor Film Republik Indonesia ............................................52
4.1.1 Sejarah Pembentukan Lembaga Sensor Film Republik Indonesia..........52
4.1.2 Visi dan Misi Lembaga Sensor Film Republik Indonesia.......................115
4.1.3 Struktural Lembaga Sensor Film Republik Indonesia............................116
4.1.4 Logo Lembaga Sensor Film Republik Indonesiaq..................................118
4.1.5 Lokasi Kantor Lembaga Sensor Film Republik Indonesia.....................118
4.2 Analisis LSF dalam Menyeleksi Film Bergenre Agama...................................118
4.2.1. Proses Penyensoran Film........................................................................118
4.2.2.Pertimbangan penilaian, penentuan kelayakan film dari Lembaga
Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi, menilai tayangan atau adegan
yang disensor film bergenre Agama Menurut: ......................................133
4.2.2.1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Pedoman dan
kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan
Penarikan Film dari Peredaran....................................................133
4.2.2.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2014 Tentang Lembaga Sensor Film...........................................144
4.2.2.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009
tentang Perfilman........................................................................162
4.2.3. Sensor Mandiri........................................................................................192
4.2.5. Surat Tanda Lulus Sensor (STLS...........................................................197
4.3. perfilman...........................................................................................................201
4.3.1. Sensor film..............................................................................................204

9
4.3.2. Pertunjukan Perfilman............................................................................206
4.3.3. Pelanggaran Diperfilman........................................................................209
4.3.4.Sanksi Terhadap Film Tidak Sesuai dengan Surat Tanda Lulus Sensor. 212
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan........................................................................................................218
5.2 Saran..................................................................................................................219
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................220

10
DAFTAR SKEMA GAMBAR

Gambar 1. Proses Penyensoran................................................................................131


Gambar 2. Flowchart Prosedur Permohonan Penyensoran Film dan Iklan Film....132

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian


Lampiran 2. Pedoman Wawancara
Lampiran 3. Surat Keputusan (SK)

11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia pada prinsipnya

memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan

iklan film. Persoalan yang kian hari kian menghangat ketidak pahaman

masyarakat akan sikap Lembaga Sensor Film yang menjadi Garda Budaya

Bangsa. Lembaga Sensor Film merupakan satu-satunya instuisi yang berhak

menentukan kelayakan suatu film sebelum di edarkan atau dipertunjukan

kepada masyarakat. Hal ini disebutkan dalam pasal 57 dan 59 Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman.

(STLS) Surat Tanda Lulus Sensor tanda bahwa film dan iklan film yang

sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran maka diberikanlah STLS.

Sebaliknya jika tidak sesuai, maka akan dikembalikan pada pemilik film untuk

diperbaiki dan dilakukan sensor ulang. Namun yang terjadi sekarang ini adalah

banyak sekali film yang beredar dan dipertunjukan kepada masyarakat tanpa

melalui proses penyensoran dan memeroleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

Permasalahan baru yang timbul adalah pemilik film mempertunjukkan

film tanpa melakukan potongan atau revisi yang telah direkomendasikan oleh

Lembaga Sensor Film (LSF). Film yang diedarkan atau dipertunjukkan kepada

pemilik film tanpa Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), maka dapat dikenakan

sanksi administratif. Sanksi adminstratif tersebut dikeluarkan oleh Menteri yang

12
membidangi urusan kebudayaan dalam hal ini Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan setelah mendapat usul dari Lembaga Sensor Film (LSF). Terkait

sanksi administratif tersebut berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2009 tentang perfilman akan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia. Namun, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2009 tentang Perfilman hingga kini, Peraturan Pemerintah tersebut belum juga

terbit. Hal ini menjadi kendala dalam penegakan hukum pemberian sanksi

administratif.

Sensor film di Indonesia lahir sejak zaman Hindia Belanda dengan

perkembangan perbioskopan sejak tahun 1916. Kebijakan penerapan kegiatan

sensor film dalam masa pemerintahan Hindia Belanda diawali dengan

penerapan Ordonasi Film tahun 1916 (film Ordonantie 1916). Kini dalam kurun

waktu satu abad tersebut Lembaga Sensor Film telah beberapa kali berganti

nama yakni Panitia Pengawas Film (PPF) tahun 1950-1966, Kemudian menjadi

Badan Sensor Film (BSF) pada tahun 1966-1992, kemudian berubah kembali

menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) hingga sekarang.

Tak lepaas dari sejarah bangsa Indonesia, dari penjajahan Hindia Belanda

lahirlah sensor film. Diawali penetapan Ordonansi Film tahun 1916. Kemudian

ordonansi mengalami beberapa perubahan. Sensor film di mulai daari negara

yang pertama memproduksi seni film yaitu di Amerika Serikat. Dimana

pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu menetapkan sensor sebagai kontrol

dan bentuk kekhawatiran pemerintah terhadap dampak yang ditimbulkan kepada

masyarakat melalui pertunjukan film.

13
Sensor film adalah penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film dan

iklan film untuk dipertunjukan kepada khalayak umum hal ini diperkuat dalam

Undang-Undang Nomo 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada pasal 1 angka 9.

Kmudian Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas

menetapkan status edar film-film Indonesia. Sebuah film hanya dapat diedakan

jika dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film

juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalanya

foster film. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor juga menetapkan

penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.

Dalam perkembangan Lembaga Sensor Film mempunyai peranan yang

sangat penting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dampak

dan pengaruh dari suatu film baik positif maupun negatif sehingga sensor

menjadi media untuk mengendalikan dan mengawasi efek dari film dan iklan

film. Peranan yang harus Lembaga Sensor Film jalankan adalah pertama,

Lembaga Sensor Film Sebagai Garda Budaya Bangsa, diamanati tugas

memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan

iklan film. Kedua, Lembaga Sensor Film sebagai mercusur dalam dunia

perfilman, berperan serta sebagai penerang dan pendorong untuk semakin

berkembang dan produktifitasnya film nasional yang lebih baik dan berdaya

saing. Ketiga, Lembaga Sensor Film sebagai mitra masyarakat perfilman

senantiasa membangun dialog yang kontruktif dengan pemilik film dan iklan

film dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Tentunya, arah dialog

itu adalah menuju pada terwujudnya suasana saling memahami dan

14
terbangunnya persamaan persepsi. Keempat, Lembaga Sensor Film diamanati

untuk menjadi pendamping dan pendorong masyarakat dalam membangun

budaya sensor mandiri. Dalam hal ini haruslah dipahami bahwa kesadaran dan

kemampuan masyarakat untuk memilah dan memilih film yang tepat sesuai

klasifikasi umur dan kriterianya, merupakan bagian penting dalam

mengeliminasi dampak negatif film dan iklan film ditengah-tengah masyarakat.

Lembaga Sensor Film mempunyai 31 berbagai macam genre film

antaranya film bergenre Agama di poin 12. Sebagaimana disebutkan pasal 4

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman. Fungsi film sebagai

Budaya, Pendidikan, Hiburan, Informasi, Pendorong Karya Kreatif, dan

Ekonomi. Film bergenre Agama menjadi fungsi pendidikan bagi para penonton

film karena didalam film bergenre agama terdapat nilai-nilai religi keislaman

yang kuat membangun kembali nalar beragama upaya membangun pola

beragama yang mencerahkan umat manusia bukan hanya menjadi tontonan

melainkan menjadi tuntunan.

Berdasarkan banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam perfilman,

maka peneliti ingin membahas tentang film bergenre agama secara mendalam

maka dikemas dengan judul “SENSOR FILM BERGENRE AGAMA” (Studi

Fenomenologi pada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia)

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka fokus penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut:

15
1. Apa yang menjadi pertimbangan penelitian, penilaian dan penentuan

kelayakan film dari Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi/ menilai

tayangan atau adegan yang disensor agar diketahui bahwa film tersebut

bergenre Agama. Menurut Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria

Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan

Film dari Peredaran?

2. Apa yang menjadi pertimbangan penelitian, penilaian dan penentuan

kelayakan film dari Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi/ menilai

tayangan atau adegan yang disensor agar diketahui bahwa film tersebut

bergenre Agama. Menurut Peratuuran Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film?

3. Apa yang menjadi pertimbangan penelitian, penilaian dan penentuan

kelayakan film dari Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi/ menilai

tayangan atau adegan yang disensor agar diketahui bahwa film tersebut

bergenre Agama. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2009 tentang Perfilman?

1.1 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan penelitian,

penilaian dan penentuan kelayakan film dari Lembaga Sensor Film

(LSF) dalam menyeleksi/ menilai tayangan atau adegan yang disensor

agar diketahui bahwa film tersebut bergenre Agama. Menurut

16
Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran,

Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan Film

dari PeredaranKegunaan Penelitian.

2) Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan penelitian,

penilaian dan penentuan kelayakan film dari Lembaga Sensor Film

(LSF) dalam menyeleksi/ menilai tayangan atau adegan yang disensor

agar diketahui bahwa film tersebut bergenre Agama. Menurut

Peratuuran Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014

tentang Lembaga Sensor Film.

3) Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan penelitian,

penilaian dan penentuan kelayakan film dari Lembaga Sensor Film

(LSF) dalam menyeleksi/ menilai tayangan atau adegan yang disensor

agar diketahui bahwa film tersebut bergenre Agama. Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman

a. Teoretis

Hasil penelitian diharapkan berguna bagi pengembangan teori

komunikasi mengenai sensor film. Memberikan kontribusi penelitian

terhadap sensor film dalam meyeleksi film bergenre agama dan menambah

ilmu pegetahuan terhadap program Magister pada Prodi Komunikasi dan

Penyiaran Islam.

17
b. Praktis

Agar dapat dijadikan contoh bagi penelitian-penelitian selanjutnya

serta memberikan kontribusi informasi positif mengenai keberadaan

Lembaga Sensor Film dalam melindungi masyarakat dari dampak negatif

film sebelum di tayangkan atau sebelum dinyatakan lulus sensor

perfilman.

1.1 Landasan Pemikiran

Sebagai landasan untuk memecahkan masalah yang telah dikemukakan,

peneliti mengemukakan kerangka berfikir yang berupa konsep sensor film.

Berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 44/SK/M/1968 Tugas


Badan Sensor Film adalah menyensor semua film dari segala jenis, ukuran
yang akan di pertunjukan di Indonesia dan juga film yang akan dieksport
ke luar negeri serta melakukan penyelidikan mengenai film dan
hubungannya dengan masyarakat dan bangsa. Dalam pengujian, penelitian
penyensoran film berdasarkan cerita berdasar dengan tema, visualisasi dan
dialog yang mengandung unsur-unsur keagamaan, sosial politik,
kebudayaan, kesusilaan dan keamanan. Dalam melaksanakan Tugasnya
Badan Sensor Film berpegang pada ideologi Negara Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Tap MPRS Nomor. XXVII Tahun 1966, Garis
kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini pedoman dasar yang digariskan
oleh Menteri Penerangan dan Tata Kerja yang ditetapkan Menteri
Penerangan.1

Badan sensor film telah menyelaraskan pelaksanaan tugasnya dengan

perkembangan teknologi, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri

Penerangan Nomor 189A/Kep/Menpen/1979, yang membagi tugas anggota

badan sensor film menjadi empat kelompok yaitu menyensor film

nasional/Indonesia, penyensor film Eropa-Amerika, penyensor film Asia-

Mandarin dan non Mandarin dan penyensor kaset video. 2 Peraturan Pemerintah

1.
Lembaga Sensor Film, hal 141
2.
Lembaga Sensor Film , hal 147

18
tersebut dikeluarkan pada tanggal 3 Maret 1994, bersamaan dengan

perkembangan Badan Sensor Film berubah menjadi Lembaga Sensor Film

(LSF) bersamaan dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994

tentang Lembaga Sensor Film.

Dapat di lihat dari perkembangannya di tanah air sensor memiliki peranan


yang sangat strategis dan penting. Masyarakat mempunyai penilaian
bahwa pentingnya pengendalian terhadap suatu film mengingat dampak
yang di timbulkan,meskipun banyak sekali tuntutan yang
mengatasnamakan kebebasan dalam berekspresi, dan sensor dianggap
sebagai pemasung kreatifitas dan lain sebagainnya. Dengan alasan
tersebut munculah gugatan kepada Lembaga Sensor Film kepada
Mahkamah Konstitusi.Gugatan tersebut tidak di kabulkan sehingga
Lembaga Sensor Film masih tetap keberadaannya.Lembaga Sensor Film
sebagai penyaring suatu tayangan yang akan di tayangkan kepada
masyarakat,untuk itulah diperlukan suatu ijin kelayakan suatu film yang
akan dipertunjukkan ke masayarakat.3

Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan lembaga yang melakukan

penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk

dipertunjukkan kepada khalayak umum.4

Sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33

tahun 2009 tentang Perfilman, fungsi dari Lembaga Sensor Film untuk

melaksanakan tugasnya di sebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor

18 Tahun 2014tentang Lembaga Sensor Film, mempunyai fungsi sebagai

berikut :

a. Perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul


dari peredaran dan pertunjukkan film dan iklan film yang tidak sesuai
dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia.
b. Penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus
sensor.
c. Secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan
iklan film agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu.
3.
Lembaga Sensor Film di Indonesia 1916-2011, , hal 45, 65
4.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, Pasal 6.

19
d. Pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati
pertunjukkan film dan iklan film yang bermutu serta memahami
pengaruh film dan iklan film.
e. Pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi
yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan
menikmati film yang bermut dan
f. Pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film yang
diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut
untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas
penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada menteri sebagai
bahan pengambilan kebijakan kearah pengembangan perfilman di
Indonesia.5
            
Penyensoran dilakukan dengan prinsip memberikan perlindungan kepada

masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.Persoalan yang kian hari

kian menghangat adalah ketidak pahaman masyarakat akan sikap Lembaga

Sensor Film yang menjadi Garda Budaya Bangsa. 6Lembaga Sensor Film

merupakan satu-satunya institusi yang berhak menentukan kelayakan suatu film

sebelum diedarkan atau dipertunjukkan kepada masyarakat. Hal ini

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 57 dan 59 Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2009 tentang Perfilman. Film dan iklan film yang sesuai dengan

pedoman dan kriteria penyensoran diberikan Surat Tanda Lulus Sensor

(STLS).Sebaliknya, jika tidak sesuai, maka akan dikembalikan kepada pemilik

film untuk diperbaiki dan dilakukan sensor ulang. Namun, yang terjadi sekarang

ini adalah banyak sekali film yang beredar dan dipertunjukkan kepada

masyarakat tanpa melalui proses penyensoran dan memperoleh Surat Tanda

Lulus Sensor (STLS). Lembaga Sensor Film (LSF) tidak lagi memotong film

yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran, tetapi pemilik

5 .
Lembaga Sensor Film, Pasal 7
6.
Lembaga Sensor Film, Paradigma Baru Lembaga Sensor Film Sebagai Garda Budaya
Bangsa,Jakarta: Sekretariat Lembaga Sensor Film, 2005, hal 7

20
filmlah yang memotongataumerevisi sendiri film yang telah disensorkan,

kemudian mereka tayangkan, sehingga terjadilah pelanggaran.

Permasalahan baru yang timbul adalah pemilik film mempertunjukkan

film tanpa melakukan potongan atau revisi yang telah direkomendasikan oleh

Lembaga Sensor Film (LSF). Film yang diedarkan atau dipertunjukkan kepada

pemilik film tanpa Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), maka dapat dikenakan

sanksi administratif. Sanksi adminstratif tersebut dikeluarkan oleh Menteri yang

membidangi urusan kebudayaan dalam hal ini Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan setelah mendapat usul dari Lembaga Sensor Film (LSF). Terkait

sanksi administratif tersebut berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2009 tentang perfilman akan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia. Namun, sejak terbitnya Undang-UndangNomor 33 Tahun

2009 tentang Perfilman hingga kini, Peraturan Pemerintah tersebut belum juga

terbit. Hal ini menjadi kendala dalam penegakan hukum pemberian sanksi

administratif.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman,

perbuatan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman,

perbuatan tersebut hanya dapatdikenakan sanksi administratif.Tentunya dalam

Hal ini berlaku menggunakan asas Lex posterior derogat legi priori adalah asas

penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru

mengesampingkan hukum yang lama. Hal ini menjadi lemahnya penegakan

21
hukum karena Peraturan Pemerintah yang mengatur sanksi administratif

tersebut belum diterbitkan hingga sekarang.

Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang

Perfilman, bahwa:

“Pertunjukkan film dapat dilakukan melalui layar lebar, penyiaran televisi,

dan jaringan teknologi informatika”7

Disisi lain Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman, bahwa:

“Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan

wajib memperoleh surat tanda lulus sensor”.8

Dari kedua pasal tersebut, bermakna bahwa film yang dipertunjukkan

melalui media layar lebar, televisi, dan jaringan teknologi informatika wajib

memperoleh surat tanda lulus sensor (STLS). Surat tanda lulus sensor

merupakan bukti bahwa film tersebut layak untuk dipertunjukkan kepada

masyarakat.

Untuk mengetahui hubungan Lembaga Sensor Film dengan Penyiaran

perlu di perhatikan Pasal 39 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program

Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disebutkan bahwa :

1. Lembaga penyiaran sebelum menyiarkan program siaran film


dan/atau iklan wajib terlebih dahulu memperoleh surat tanda lulus
sensor dari lembaga yang berwenang.
2. Lembaga penyiaran televisi wajib melakukan sensor internal atas
seluruhmateri siaran dan tunduk pada klasifikasi program siaran
yang ditetapkandalam peraturan ini”.9

7.
UU No. 33 tahun 2009, Pasal 30 a. 1.
8.
Pasal 57 a. 1
9.
Komisi Penyiaran Indonesia, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS), Pasal 39

22
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF)

dibentuk berdasar pada Undang-Undang yang berbeda. KPI dibentuk berdasar

amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan

LSF adalah amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman,

kemudian timbul perbedaan dalam sistem penilaian sensor.

Filmyang akan dipertunjukkan melalui media televisi mempunyai dua

aturan berbeda yang mengikat. Menurut Undang-Undang Nomor33 Tahun

2009tentang Perfilman, film yang telah memperoleh STLS layak untuk

dipertunjukkan termasuk melalui media televisi. Sedangkan menurut Pedoman

Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), walaupun sudah mendapatkan Surat Tanda

Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film, film tersebut harus disensor

lagi oleh Lembaga Penyiaran dengan mengikuti klasifikasi program siaran

sesuai P3SPS. Perbedaan antara pedoman dan kriteria penyensoran dari

Lembaga Sensor Film dengan P3SPS yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran

Indonesia menjadi permasalahan baru bagi dunia perfilman, khususnya film

yang dipertunjukan melalui media televisi.

Dunia tanpa batas dan pengalaman baru yang dihasilkan dari loncatan
teknologi, informasi komunikasi itu bukan tidak mungkin malah
menjelma menjadi semacam pengaruh dalam bentuk baru.Munculnya
aktivitas sensor film sendiri sebenarnya belakangan. Karena pada awal
film di buat kemudian ditayangkan tidak menghadapi masalah karena
jumlah dan penyajiannya masih sederhana. Dalam perkembangan
selanjutnya produksi film meningkat banyak, tema dan genre film
semakin beragam, penyajian gambar adegan dan dialog semakin luas
mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, usia penonton semakin
bervariasi, mulailah penonton mengeluh karena isi cerita, adegan gambar
dan dialog yang cenderung mempunyai dampak negativeterhadap

23
masyarakat. Untuk mencegah berkembangnya dampak negatif itu maka
diberlakukan kegiatan sensor film.10

Film merupakan media komunikasi masyarakat yang membawa pesan

yangberisi gagasan penting kepada masyarakat dengan dampak pengaruh yang

luar biasa, film juga dapat berfungsi ekonomis sehingga memacu industri kreatif

sehingga dapat memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan

prinsip persaingan bisnis yang sehat. Dengan demikian film juga merambah

terhadap kehidupan masyarakat tidak hanya sebagai hiburan semata, melainkan

sebagai seni industri kreatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Sedangkan yang dimaksud “Film adalah karya seni budaya yang

merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan

kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan”.11

Pasal 6 Undang-Undang Nomor33 Tahun 2009 tentang Perfilman, bahwa:

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman
dilarang mengandung isi yang:
a. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. Menonjolkan pornografi;
c. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku,
antar-ras dan/atau antargolongan;
d. Menistakan, melecehkan dan/atau menodai nilai-nilai agama;
e. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
dan/atau
f. Merendahkan harkat dan martabat manusia.12

Pada saat sekarang, film sudah masuk bukan hanya di bioskop dan

videotron, tetapi sudah akrab di setiap rumah dan individu melalui media

10.
Lembaga Sensor Film, Sejarah Lembaga Sensor Film di Indonesia 1916-2011, Jakarta: hal 17.
11.
Lembaga Sensor Film, Pasal 1 angka 1.
12.
Lembaga Sensor Film. Pasal 6.

24
televisi, bahkan telepon genggam. Oleh karena itu, film yang dipertunjukkan

kepada khalayak masyarakat tersebut tidak boleh mengandung isi sebagaimana

dilarang dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman tersebut.Dampak besar dari film mempengaruhi pembentukan,

perkembangan karakter masyarakat dari berbagai golongan usia. Perlunya

campur tangan pemerintah dalam pengendalian pengaruh film,sehingga dapat

mengurangi dampak negatif film. Salah satunya dalam bentuk regulasi

perfilman yaitu sensor.

Pasal 57 Undang-Undang Tahun 2009 Nomor 33 tentang perfilman

menyebutkan.

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau


dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan
setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:
a. Penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks
terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan
kepada khalayak umum
b. Penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau
dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
c. Penentuan penggolongan usia penonton film.
3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan
prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak
negatif film dan iklan film.13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA TENTANG OBJEK PENELITIAN

2.1 Film

2.1.1 Pengertian Film

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada Pasal 1

angka 9 menjelaskan bahwa:


13 .
Lembaga Sensor Film. Pasal 57

25
Sensor film adalah penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film dan

iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.14

Kemudian dalam sumber lain juga menerangkan bahwa Lembaga Sensor

Film bahwa:

Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas


menetapkan status edar film-film di Indonesia. Sebuah film hanya
dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh Lembaga Sensor
Film. Lembaga Sensor Film juga mempunyai hak yang sama terhadap
reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor,
lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton
bagi film yang bersangkutan.15

Secara etimologis, film berarti moving image, atau gambar bergerak.

Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan

dari hasil perkembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.16

Definisi Film menurut UU 8/1992, adalah:

“Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam pada pita selulloid, pita vidio, viringan vidio, dan/atau bahan hasil
penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui
proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa
suara, yang dapat dipertunjukan atau ditayangkan dengan proyeksi
mekanik, atau lainnya”.17

Menurut UU Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman Nasional dijelaskan

bahwa film merupakan:

“Karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi
massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukan”.18

14.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, , Pasal 1 angka 9.
15.
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Sensor_Film, diakses februari 24, 2020
16
Marcel Danesi, Belajar Memahami Semiotika, hlm.132.
17
Undang Undang Perfilman No.8 Tahun 1992 Pasal 1 Bab 1. Pustaka Yustisia
18
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 3009 tentang Perfilman, pasal 1
ayat (1)

26
Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan film adalah

karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-

dengar yang dibuat berdasarkan atas sinematografi dengan direkam pada fita

seluloid, pita vidio, piringan vidio atau bahan hasil penomuan teknologi lainnya

dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik,

atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan atau

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya.19

Menurut kamus besar Indonesia.Film selapus tipis yang dibuat dari seluloid

untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop), lakon

(cerita) gambar hidup.20Menurut kamus Inggris- Indonesia, An English-

Indonesia Dictionary, movie (gambar hidup, bioskop), cinema (gedung

bioskop).21Film adalah sebuah media komunikasi audio visual yang

menampilkan rekaan realitas atau rekaan suatu realitas.

2.1.1 Jenis-jenis Film

Genre atau jenis film ada bermacam-macam. Sebenarnya, tak ada maksud

lain dari pemisahan tersebut. Namun secara tidak langsung, kehadiran film-

film dengan karakter tertentulah yang akhirnya memunculkan pengelompokan

tersebut. Berikut beberapa genre film:22

a) Action Laga

19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), hlm.569
20
Kamus Besar Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka
Jakarta, 2001
21
kamus Inggris- Indonesia, An English- Indonesia Dictionary, John M. Echols dan Hasan
Shadily, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
22
Widagdo M. Bayu, Bikin film Indie Itu Mudah, Andi Offset, Yogyakarta. Hlm 26-27

27
Film yang bertema laga dan mengetenghkan perjuangan hidup

biasanya dibumbui dengan keahlian setiap tokoh untuk bertahan dalam

pertarungan hingga akhir cerita, kunci sukses dari genre film tersebut adalah

kepiawaian sutradara untuk menyajikan aksi pertarungan secara apik dan

detail, seolah penonton ikut merasakan ketegangan yang terjadi.

b) Comedi Humor

Comedy Humor adalah jenis film yang mengandalkan kelucuan

sebagai faktor penyajian utama. Genre jenis tersebut tergolong paling

disukai dan bisa merambah usia segmentasi penonton. Namun, ada kesulitan

dalam menyajikannya. Jika kurang waspada, komedi yang ditawarkan bisa

terjebak dalam humor yang slapstick, yakni terkesan memaksa penonton

untuk menertawakan kelucuan yang dibuat-buat. Salah satu kunci suksesnya

adalah meminta tokh humoris yang sudah dikenal masyarakat untuk

memerankan suatu tokoh dalam film, layaknya saat menghibur penonton.

c) Roman Drama

Genre yang populer dikalangan masyarakat penonton film. Faktor

perasaan dan realitas kehidupan nyata ditawarkan dengan senjata simpati

dan empati penonton terhadap tokoh yang diceritakan. Kunci utama

kesuksesan film bergenre roman drama adalah dengan mengangkat tema

klasik tentang permasalahan manusia yang tak pernah puas mendapatkan

jawaban. Mungkin masalah cinta remaja, perselisihan antara menantu dan

orang tua, atau juga perjalanan manusia untuk mencapai cita-citanya, dan

sebagainya.

28
d) Mistery Horor

Sebuah genre khusus dunia perfilman. Dikatakan genre khusus

karena meskipun cakupannya sempit dan berkisar pada hal yang itu-itu saja,

tetapi genre itu cukup mendapatkan perhaian dari para penonton. Hal

tersebut disebabkan keingintahuan manusia pada sebuah dunia yang

membuat mereka selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi

di dunia lain tersebut. Kunci suksesnya terletak pada cara mengemas dan

menyajikan visualisasi hantu dan kontruksi dramatik skenario. Selain itu,

alur cerita juga harus masuk akal sehingga tidak ada ganjalan dan sanggahan

penonton sesudah pemutaran film.

Perkembangan dunia film saat ini memunculkan genre film sebagai

hasil dari kolaborasi beberapa diantaranya, misalnya komedi laga, horor

komedi, drama komedi, drama laga, horor laga, roman laga, dan

semacamny.

Dilihat dari jenisnya, adapula film dibedakan menjadi empat jenis, yaitu

film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun.23

1. Film Cerita

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang

lazizm dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar

dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat

menjadi topik film bisa berupa secara fiktif atau berdasarkan kisah nyata

yang dimodifikasikan.

23
Elvinora Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2004). Hlm. 148

29
Film cerita terbagi menjadi dua yaitu film cerita pendek dan panjang:24

1) Film cerita Pendek (Short Film)

Durasi film cerita pendek biasanya dibawah 60 menit. Jenis film ini

banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau

orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat

film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang

menghususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil

produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.

2) Film Cerita Panjang (Feature Length Films)

Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100

menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok

ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih

120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit.

2. Film Berita

Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang

benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita maka film yang disajikan kepada

publik harus mengandung nilai berita. Kriteria berita itu harus penting dan

menarik.

3. Film Dokumenter

Film dokumenter (dectumentary film) adalah sebutan yang diberikan

untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang

perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tigapuluh enam

24
Effendy Heru, MariMembuat Film Panduang Menjadi Produser, (Depok: Pustaka
Kompiden, 2001). Hlm. 13

30
tahun kemudian, kata “dokumenter” kembali digunakan oleh pemuat film

dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya

Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif

mempresentasikan realitas.25 Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari

berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan samapai saat ini. Film

dokumenter menyajikan realitas melalui berbagai cara dan dibuat untuk

berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tidak pernah

lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan dan propaganda bagi

orang atau kelompok tertentu.

Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata

mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film

dokumenter misalnya dokudrama. Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita

demi tujuan-tujuan estetis, agar ambar dan cerita menjadi lebih menarik.

Sekalipun demikian jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat

dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap jadi

pakem pegangan.

Kini dokumenter menjadi sebuah trend tersendiri dalam perfilman

dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal

ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film

dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup

memuaskan. Ini bisa terlihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita

saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan

Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap


25
Susan Hayward, key Concepts in Cinema Studies, (1996), h. 72

31
menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program

dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi

televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai pestival

film di dalam dan luar negeri. Sampai napas penghabisan di tahun 1992,

Pestifal Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film

dokumenter.

Di Indonesia, produksi film dokumenter untuk televisi dipolopori

oleh stasiun televisi pertama kita Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Beragam film dokumenter tentang kebudayaan, flora dan fauna Indonesia

telah banyak dihasilkan TVRI. Memasuki era televisi swasta tahun 1990,

pembuatan film dokumenter untuk televisi tidak lagi dimonopoli TVRI.

Semua televisi swasta menayangkan program film dokumenter, baik

produksi sendiri maupun pembelinya dari sejmlah rumah produksi. Salah

satu gaya film dokumenter yang banyak dikenal orang salah satunya karena

ditayangkan oleh lima stasiun televisi swasta dan TVRI adalah Anak Seribu

Pulau.26 Dokudrama ini ternyata disukai oleh banyak kalangan sehingga

sekitar enam tahun kemudian program yang hampir sama dengan judul

Pustaka Anak Nusantara (Yayasan SET, 2001) diproduksi untuk konsumsi

televisi. Dokudrama juga mengilhami para pembuat film di hollywood.

Beberapa film terkenal juga mengambil gaya dokudrama seperti JFK,

Melcom X dan Schindler’s List.

Film dikumenter didefinisikan oleh Robert Claherty sebagai karya

ciptaan mengenai kenyataan, (creative treatment of actuality). Berbeda


26
Milies Production, 1995.

32
dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film

dokumenter merupakan hasil interprestasi pribadi (pembuatnya) mengenai

kenyataan tersebut.

4. Film Kartun

Film kartun dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sekalipun tujuan

utamanya menghibur, film kartun bisa juga mengandung unsur pendidikan.

2.1.2 Unsur-Unsur Film

Film dipakai sebagai alat komunikasi massa atau populernya

sebagai alat untuk bercerita.27 Film memiliki beberapa unsur yang tidak

dimiliki oleh media massa yang lain, salah satunya adalah unsur

instrinsik film. Yaitu unsur pembangun yang berasal dari dalam film itu

sendiri. Berikut ini adalah beberapa unsur-unsur instrinsik sebagai ciri

khas dan membedakannya dari media massa yang lain:

1. Skenario

Skenario adalah rencana untuk penokohan fim berupa naskah.

Skenario berisi synopsis, Deskripsi Treatment (Deskripsi Pesan),

rencana shot, dan dialog.28 Di dalam skenario semua informasi

tentang suara (audio) dan gambar (visual) yang akan ditampilkan

dalam sebuah film dikemas dalam bentuk siap pakai untuk produksi.

Ruang waktu, dan aksi dibungkus dalam skenario.29

27
Usmar Ismail, Mengupas Film, (Jakarta: Ichtiar, 1965). Hlm. 14.
28
Heru Efendi, Mari Membuat Film: panduan Menjadi Produser, (Jakarta: confide, 2002).
Hlm. 15.
29
Usmar Ismail, Mengupas Film. Hlm.15

33
2. Synopsis

Synopsis adalah ringkasan cerita pada sebuah film yaitu

menggambarkan secara singkat alur film dan menjelaskan isi film

keseluruhan.

34
35

3. Plot

Plot sering disebut juga sebagai alur atau jalan cerita. Plot

merupakan jalan cerita pada sebuah skenario. Plot hanya terdapat

dalam film cerita.30

4. Penokohan

Penokohan adalah tokoh pada film cerita selalu menampilkan

protagonist (tokoh utama), antagonis (lawan protagonist), tokoh

pembantu dan figuran.31

5. Karakteristik

Karakteristik pada sebuah film cerita merupakan gambaran umum

karakter yang dimiliki oleh para tokoh dalam film tersebut.

6. Scene

Scene bisa disebut dengan adegan, scene adalah aktivitas terkecil

dalam film yang merupakan rangkaian shot dalam satu ruang dan

waktu serta memiliki gagasan.

7. Shot

Shot adalah bidikan kamera terhadap sebuah objek dalam

penggarapan film.

2.1.3 Fungsi Film

Pada mulanya film hanyalah penyaluran bakat atau alat hiburan

bagi oranng-orang tertentu, namun dalam perkembangannya fungsi

film semakin bertambah luas diantanyanya sebagai berikut:32


30
Usmar Ismail, Mengupas Film, hlm., hlm. 17.
31
Usmar Ismail, Mengupas Film, hlm., hlm. 21.
32
Asrul Sani, Cara Menghayati Sebuah Film, (Jakarta: Yayasan Citra, 1984), hlm.3.
36

1. Film Sebagai Media Hiburan

Nilai hiburan dalam sebuah film sangat penting. Hiburan adalah

salah satu dari kebutuhan psikis yang sangat diperlukan. Dan film

merupakan media yang murah dan praktis untuk dinikmati sebagai

hiburan. Jika sebuah film tidak mengikat perhatian kita dari awal

hingga akhir, film tersebut terancam gagal.

Nilai hiburan sangat relatif, karena tergantung dari selera penonton.

Memang nilai hiburan ada kalanya dianggap rendah, dan

adakalanya dianggap menghibur. Diharapkan dengan menonton

film, pikirannya menjadi segar dan timbul semangat baru.

2. Film Sebagai Media Transformasi Kebudayaan

Kebudayaan berarti hasil budi dan daya atau hasil pemikiran

manusia dan jelaslah film adalah salah satu hasil dari pemikiran

manusia. Transformasi kebudayaan berarti pemindahan dan

penyerahan kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya.

Pengaruh film akan sangat terasa sekali jika kita tidak mampu

bersikap kritis terhadap penayangan film, misalnya peniruan dari

bagian-bagian film yang kita tonton berupa gaya rambut, cara

berpakaian dan lain sebagainya. Sekaligus juga bisa mengetahui

kebudayaan bangsa lain dengan melihat produk-produk film buatan

luar nnegeri.

3. Film Sebagai Media Pendidikan


37

Nilai pendidikan sebuah film lebih kepada pesan-pesan yang ingin

disampaikan. Setiap film umumnya mengandung nilai pendidikan,

hanya perbedaan satu dengan yang lainnya adalah pada kedalam

pesan yang ingin disampaikan. Media film mampu membentuk

karakter manusia karena dalam film sarat dengan pesan-pesan atau

propaganda yang disusun dan dibuat secara hampir mirip dengan

kenyataan sehingga penontonnya mampu melihat penonjolan

karakter tokoh dalam film yang bersifat jahat maupun baik sehingga

penonton mampu menginternalisasikan dalam dirinya nilai yang

harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan.33 Sebagaii salah satu

media informasi maka film secara otomatis akan membawa

dampak, baik itu positif maupun negatif.34

2.1.4 Sejarah Film

Sejarah film tidak bisa lepas dari sejarah fotografer dan sejarah

fotografer tidak bisa lepas dari peralatan pendukungnya, seperti

kamrera. Kamera pertama ditemukan oleh seorang ilmuan Muslim,

Ibnu Haitnam. Ide dasar sebuah film terfikir secara tidak sengaja. Pada

tahun 1878 ketika beberapa orang pria Amerika berkumpul dari

perbincangan ringan menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa keempat

kuda berbeda pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda

berlari?” pertanyaan itu terjawab ketika Eadweard Muybridge membuat

16 frame gambar kuda sedang berlari. Dan terbuktilah bahwa dimana


33
Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2004). Hlm.10-13.
34
Arief S. Sadiman, Media Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),. Hlm.6.
38

kaki kuda tidak menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang

konsepnya hampir sama dengan konsep film kartun. Gambar gerak

kuda tersebut menjadi gerak pertama di di dunia. Setelah penemuan

gambar bergerak Muybridge pertama kalinya inovasi kamera mulai

berkembang yang mampu merekam gambar dan gerak pada tahun 1888,

sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak dinamis.

Maka dimulailah era baru sinematografi yang ditandai dengan

diciptakannya jenis film dokumenter singkat oleh Lumiere Bersaudara.

Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di

Boullevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers

Leaving the Lumiere’s Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang

kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya sinematografi. Film

inaudibel yang hanya berdurasi beberapa detik menggambarkan

bagaimana pekerja pabrik meninggalkan bagaimana pekerja pabrik

meninggalkan tempat kerja mereka di saat waktu pulang.35

Pada awal lahirnya film, memang tampak belum ada tujuan dan

alur cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh

oleh ranah industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur

yang jelas. Meskipun era baru dunia film, gambarnya masih tidak

berwarna yaitu hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio.

Ketika itu, saat orang-orang tengah menyaksikan pemutaran sebuah

film. Akan ada pemain musik yang mengiringi secara langsung gambar

gerak yang ditampilkan di layar sebagai efek suara.


35
LaRose,et.al.medianow.Boston, USA.2009
39

Perkemangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga

pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya akan efek,

dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan.

2.2 Lembaga Sensor Film (LSF)

2.2.1 Pengertian Lembaga Sensor Film

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada Pasal 1

angka 9 menjelaskan bahwa:

Sensor film adalah penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film

dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.36

Kemudian dalam sumber lain juga menerangkan bahwa Lembaga Sensor

Film bahwa:

Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas


menetapkan status edar film-film di Indonesia. Sebuah film hanya
dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh Lembaga Sensor
Film. Lembaga Sensor Film juga mempunyai hak yang sama terhadap
reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor,
lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton
bagi film yang bersangkutan.37

Tak lepas dari sejarah bangsa Indonesia, dari penjajahan Hindia Belanda

lahirlah sensor film. Diawali penetapan Ordonansi Film tahun 1916.

Kemudian ordonansi mengalami beberapa perubahan. Sensor film di mulai

dari negara yang pertama memproduksi seni film yaitu di Amerika Serikat 38.

Dimana pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu menetapkan sensor

sebagai kontrol dan bentuk kekhawatiran pemerintah terhadap dampak yang di

timbulkan kepada masyarakat melalui pertunjukan film.


36.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, Pasal 1 angka 9.
37.
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Sensor_Film, diakses februari 24, 2020
38.
Lembaga Sensor Film, Sejarah,. Hlm. 22.
40

Kehadiran lembaga sensor film (LSF) ditanggapi beragam oleh insan

perfilman disisi lain, lembaga itu dinilai sebagai “penyelamat” masyarakat

agar tidak lagi diracuni oleh tontonan yang negatif tetapi disisi lain, ada pula

yang menganggap lembaga itu membungkam kebebasan berbicara membuat

film dan menghambat kreativitas dalam membuat karya seni.Disisi lain,

keberadaan LSF sendiri dianggap membendung kreativitas para sineas dalam

memproduksi sebuah film. Namun, apabila suatu film tidak melewati pintu

sensor, dikawatirkan anak-anak bisa teracuni oleh tontonan yang selayaknya

menjadi konsumsi orang dewasa.39 Sensor itu sendiri adalah bertujuan untuk

menjaga moralitas yang selama ini cenderung jauh dari budaya ketimuran.

Moral anak bangsa sekarang telah dititik nadir.

2.2.2 Genre Film di Lembaga Sensor Film

Adapun genre/ jenis film di lembaga sensor film, meliputi:40

1. Kuis
2. Drama
3. Action
4. Politik
5. Perang
6. Silat
7. Westeren
8. Crime
9. Adventure
10. Social
11. Sejarah
12. Agama
13. Horor
14. Khayal/fiksi
15. Anak-anak
16. Kartun/animasi
17. Music/musical
18. Pendidikan
39
Ilham Prisgunanto, Praktek Ilmu Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari, 2004
40
Arsif Lembaga Sensor Film, hasil wawanca 1 Juni 2020
41

19. Dokumenter
20. Informasi
21. Iklan
22. Humor
23. Talk show
24. Infotaiment
25. Variety Show
26. Komedi
27. Thriller
28. Iklan film
29. Biografi
30. Olah raga
31. Misteri
32. Lain-lain.

2.2.3 Film Bergenre Agama

Istialah genre berasal dari bahasa perancis yang bermakna jenis, bentuk

atau tipe.41 Dalam mengklasifikasi jenis film atau program dikatagorikan

dalam genre tertentu jika mempunyai seperangkat karakteristik seperti tipikal

cerita dalam bentuk visual yang mirip dengan film lainnya. Dengan kode

konvesi ini sebuah film akan dikenali orang, apa sebuah film termasuk genre

horor, komedi, musik, drama, dan sebagainya.42 Dalam film genre dapat

didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki

karakter atau pola sama (khas) sperti setting, isi dan subyek, ikon, mood, serta

karakter. Fungsi utama genre adalah untuk memudahkan klasifikasi sebuah

film. Genre juga dapat berfungsi sebagai antisipasi penonton terhadap film

yang akan ditonton. Gambaran umum sebuah film yang ditonton terdiri atas:

elemen pokok, narasi, pelaku cerita, permasalahan dan konflik, tujuan, jenis-

jenis pemain.43 Secara subtansioal pembentukan genre film dapat dibedakan


41
Branston & stafford. (2003:59)
42
O’shaugnessy dan Stadler (2005:113)
43
Himawan Pratista. Memahami Film, (Cet1: Yogyakarta, Homeriam Pustaka, 2008).
Hlm. 43-44
42

kedalam dua hal. pertama, genre mengidentifikasikan secara khusus bentuk

cerita sebuah film. Kedua, genre sebagai produk interaksi penonton dan

studio.44

Dalam konteks film Agama, istilah genre film para praktisi dan analisis

film memberikan istilah yang berbeda-beda sesuai dengan indikator yang

diberikan. Menyebut film religi sebagai genre hagiopik (hagiopic). Yakni film-

film yang menceritakan tentang kehidupan, atau bagian dari kehidupan seorang

yang diakui sebagai pahlawan agama (orang suci), makhluk surgawi berbicara

kepada manusia, dan peristiwa-peristiwa yang dikendalikan oleh Tuhan, yang

tinggal disuatu tempat melampaui awan.45 Dwyer membagi dua macam genre

film Agama, yaitu film mitologis dan film ketakwaan.46 Pembagian genre ini

dilakukan berdasarkan pada analisisnya dari karakteristik-karakteristik tertentu

pada film-film India. Mitologis merupakan film yang menggambarkan

kehidupan para dewa dan pahlawan-pahlawan dari khazanah besar dari

mitplogi hindu yang ditemukan pada epek Sansekerta seperti Mahabarata dan

Ramayana.47 Sedangkan film ketakwaan dalam film religius karena film ini

mennggambarkan kehidupan orang-orang suci yang mendarmabaktikan

kehidupannya untuk agama.48 Dalam Islam, tradisi mitologi, ikonografi dan

hagiografi tidak ada. Dalam Islam tidak dikenal adanya karakter-karakter

ilahiyah yang turun kebumi atau menyerupai perilaku manusia untuk

memperlihatkan ketaatan terhadap agama. Diving being atau makhluk ilahiyah

44
Thomas Schatz (1981:16)
45
Pamela Grace. The religiouns film. (2009:13-14)
46
Rachel Dwyer. Filming Gods, (2006)
47
Rachel Dwyer. Filming Gods, (2006). Hlm. 16
48
Rachel Dwyer. Filming Gods, (2006). Hlm. 63
43

dipercaya ada, tetapi tidak pernah digambarkan guna mempertegas keimanan

dengan cara seperti yang digambarkan dalam film-film mitologis dalam tradisi

India.49

Sejalan dengan itu, mengkonseptualisasikan genre film religi meski tidak

menyatakan secara eksplisit genre film religi dengan cara mengidentifikasi

keberadaan unsur-unsur agama yang masuk dalam film, seperti gagasan-

gagasan agama atau pesan moral yang bersumber dari kitab suci, ritual atau

aktivitas keagamaan, serta komunitas agama.50 Bahkan Wright melihat

beberapa film menyandarkan sepenuhnya pada agama dalam mengembangkan

narasi, karakter serta menampilka secara implisit ideologi dan tema-tema

agama, seperti life style, keramahtamahan, pengorbanan dan sebagainya. Salah

satu genre dalam film religi/ agama adalah kritis rekonstruktif. Istilah ini terkait

dengan tema dan ide yang disampaikan dalam film. Kata kritis karena film

religi bergenre ini mengangkat tema-tema kritik sosial yang terjadi

disekitarnya. Sedangkan istilah rekonstruktif bermakna membangun kembali

atau menyusun kembali nalar beragama yang terdistrosi dalam upaya

membangun pola beragama yang mencerahkan umat manusia.

Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, terletak pada

kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-

nilai itu menjadi bahan dasarnya.51 Karena itu, film bergenre agama di

indonesia cenderung dapat dimaknai sebagai representasi suatu budaya agama

49
Erik Susono(2011)
50
Melanie J Wright. Religion and film. (2007:2-6)
51
Alex Sobur. Semiotika komunikasi, (Cet 3: Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006).
Hlm.177
44

yang dihadirkan melalui teknologi visualsasi simbol-simbol yang signifikan

dengan realitas sosial. Realitas sosial budaya teridentifikasi melalui simbol,

bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol.52 Komunikasi terjadi dengan

perantara tanda-tanda (sign), basis seluruh komunikasi adalah tanda-tanda.53

Dari sudut pandang itu, relatif mendukung eksistensi simbolis yang tersaji

dalam film bergenre agama. Dimana unsur-unsur simbolis (tanda) agama suatu

film, narasi-bahasa, karakter penokohan, busana yang digunakan, dan lainnya

mencerminkan nilai-nilai keagamaan.

Di Indonesia, hasil penelitian54 pada lima sinetron TV menyimpulkan tiga

hal tentang karakteristik film agama. Pertama, film agama menggunaka

simbol-simbol Islam seperti judul film menggunakan idiom Islam, Rahasia

Ilahi, Takdir Ilahi, dan Pintu Hidayah, serta tokohnya menggunakan atribut

Islam. Kedua, cerita film diambil dari buku-buku Islam, sebagaian bahkan

diambilkan dari hadist. Ketiga, sinetron atau film Islam menampilkan kiai.

Sedangkan dalam penelitiannya55 tentang film Ayat-ayat cinta menyimpulkan

bahwa film agama dapat diamati berdasarkan pada lokasi, setting, ikonografi,

sumber cerita film, meskipun tema dan narasiya mengikuti genre film roman

atau cinta. Dalam penelitiannya56 mengidentifikasi film agama dilihat dari

wacana sosialnya sebuah film disebut film Islam jika masyarakat secara umum

berpendapat bahwa film itu adalah sebuah film Islam, tidak peduli apa agama

52
Alex Sobur.Semiotika komunikasi, (Cet 3: Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006). Hlm.
178
53
Dalam Kata Pengantar H.Santoso (Guru Besar Pascasarjana Unpad, Bandung)
54
Nazaruddin (2007:16-22)
55
Lukman(2009)
56
Nuril (2009)
45

produsernya, sutradara, penulis naskah dan aktor dan tidak peduli apa kontent

Islam apa yang dibawanya.

Secara implisit karakteristik film agama menjelaskan bahwa sebuah film

dimasukan dalam genre tertentu tergantung pada beberapa karakteristik, yakni

jenis perwatakan, seting, ikonografi, narasi, tema dan gaya (Style). 57Hal

penting dari karakteristik genre film agama adalah melihat karakter pemain

yang ada dalam film. Dapat didefinisikan bahwa film religi/ agama adalah jenis

film yang mereprsentasikan gagasan-gagasan agama, ritual, tokoh & komunitas

agama, serta pengembangan narasi, karakter, ikonografi, dan tema-tema yang

berhubungan dengan agama.

2.4 Penelitian Terdahulu

Kajian pustaka yang dilakukan pada penelitian ini, bertujuan untuk

mendapatkan hasil penelitian yang baik. Kajian pustaka ini diambil dari hasil-

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Pembahasan mengenai Sensor Film Bergenre Agama belum banyak dibahas

sebagai karya lmiah secara mendalam, khususnya pada Prodi Komunikasi dan

Penyiaran Islam. Maka peneliti tertarik untuk penelitian berjudul “SENSOR

FILM BERGENRE AGAMA” (Studi Fenomenologi pada Lembaga Sensor

Film (LSF) Republik Indonesia). Tujuan peneliti untuk mengetahui apa yang

menjadi pertimbangan dari Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi/

menilai tayangan atau adegan yang disensor agar diketahui bahwa film

tersebut bergenre Agama.

57
Lecey Lecey (2000:136)
46

Penelitian terdahulu dimaksudkan untuk menghindari duplikasi penelitian

yang akan dilakukan. Adapun beberapa sumber literasi yang menurut peneliti

mempunyai relevansi rujukan yang terkait dalam kajian penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Achmad Fadli, dengan judul

PERANAN LEMBAGA SENOR FILM TERHADAP PERFILMAN

INDONESIA: UPAYA DAKWAH MELALUI SENSOR. Tujuan

penelitian Untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif

perfilman. Metodoogi yang digunakan kualitatif. Hasil penelitian yang

digunakan adalah metode dakwah yaitu upaya dakwah melalui sensor.

Relevansi Penelitian ini dapat menjadi referensi para peneliti lain

mengenai LSF.

2. Kajian penelitian yang dilakukan oleh Laila Mahariana, dengan judul

PERANAN LEMBAGA SENSOR FILM (LSF) DALAM

MENEGAKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN. Tujuan penelitian

upaya untuk melindungikonsumen film Indonesia yang diperankan oleh

lembaga sensor film ditijau dari ketentuan hukum. Metodologi yang

digunakan Yuridis Normative. Hasil penelitian Bahwa film sebagai

produk representasi budaya diindugi oleh peraturan perundang-

undangan. Relevansi Penelitian ini dapat menjadi referensi para

penelitian lain dalam menegakan perlindungan konsumen di Indonesia.

3. Relevansi kajian penelitian yang dilakukan oleh Puspita Sani

Madiastuti. Dengan judul PERAN LEMBAGA SENSOR FILM


47

DALAM MENYELEKSI FILM KONTROVERSIAL. Tujuan

penelitian untuk melindungi film kontroversi sebelum diedarkan lulus

sensor. Metode penelitian yang digunakan studi kasus. Hasil penelitian

peran lembaga sensor film sebagai gerbang utama film-film sebelum

ditayangkan baik di bioskop maupun televise. Relevansi Penelitian ini

dapat menjadi referensi para peneliti lain mengenai LSF dalam

menyeleksi film kontroversial.

4. Penelitian yang dilakukan Dewi Mulyani. Judul penelitian

KEWENANGAN LEMBAGA SENSOR FILM DALAM

MELAKSANAKAN SELEKSI NENAYANGAN DIKAITKAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002

TENTANG HAK CIPTA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN. Tujuan penelitian untuk

mengetahui pelaksanaan sensor film oleh lembaga sensor film, apakah

sudah sejalan dengan perlindungan hak-hak pencipta dalam kaitannya

dengan undang-undang. Metode penelitian yang digunakan yuridis

empiris. Hasil penelitian Lembaga sensor film menyagkut sensor

ideologis berkaitan dengan tema atau ide cerita film. Relevansi

penelitian ini dapat menjadi referensi para peneliti lain mengenai LSF

dalam kaitannya dengan undang-undang.

5. Isbach Muhamad Shofi f melakukan penelitian dengan judul PERAN

LEMBAGA SENSOR FILM DALAM MENENTUKAN

KELAYAKAN FILM DI INDONESIA PADA TAHUN 2011


48

(PERSPEKTIF DAKWAH). dengan tujuan penelitian Untuk

menganalisa terhadap peran LSF dalam perspektif dakwah. metode

yang digunakan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa

Lembaga Sensor film memiliki 3 peran yaitu sebagai lembaga

penyensor, peran sosialisasi terhadap kegiatan dan usaha perfilman,

serta kordinasi dengan berbagai pihak di bidang perfilman. Relevansi

penelitian ini dapat menjadi referensi para peneliti lain mengenai LSF

karena tugas dan fungsi LSF dapat dikatakan sebagai salah satu

gatekeepers yaitu “palang pintu” yang dimiliki oleh Indonesia.


49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Penelitian tentang Peranan Sensor Film Bergenre Agama. Peneliti

mengunakan paradigma kritis. Penggunaan paradigma kritis ini dimaksudkan

untuk menggali dan memahami pembahasan mengenai informasi dari suatu

lembaga yaitu Lembaga Sensor Film.

Karakteristik paradigma kritis adalah mendefinisikan penomena sosial

sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap thereal

structure dibalik ilusi, yang dinamakan dunia materi, dengan tujuan

membantu membentuk suatu kesadaran soaial agar memperbaiki dan

merubah kondisi kehidupan manusia.58

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa

ada kekuatan laten dalam masyarakat untuk mengontrol proses komunikasi

masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya realitas dibalik

kontrol komunikasi masyarakat. Dalam hal ini Lembaga Sensor Film yang

menjadi kontrol dalam penyensoran film.

Paradigma kritis adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan

implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Peneliti

menggunakan paradigma kritis dengan alasan hal-hal sebagai berikut:

pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial


58
Program Magister (S2) Komunikasi dan Peyiaran Islam. 2018. Panduan Penulisan
Tesis.. Bandunng: UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hlm. 12
50

interpretif. Kedua, paradigma ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam

usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi.

Ketiga, paradigma kritis secara sadar berupaya untuk menggabungkan teori

dan tindakan praksis.

3.2 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan deskriftif

kualitatif, pendekatan deskriftif adalah penelitian yang menggambarkan atau

melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana adanya.59

Deskriftif kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang

memanfaatkan data kualitatif dan di jabarkan secara deskriptif digunakan

untuk menganalisis kejadian, fenomena, atau keadaan secara sosial.

Deskriptif kualitatif menampilkan hasil data apa adanya tanpa proses

manipulasi atau perlakuan lain. Tujuannya untuk menyajikan gambaran

lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan

klasifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial.

Menurut Nazir dalam bukunya Metode Penelitian, deskriptif adalah suatu

metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu subjek, suatu set

kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun kelas peristiwa pada masa sekarang.

Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah menghasilkan gambaran akurat

tentang sebuah kelompok. Kelompok yang dijadikan penelitian adalah

Lembaga Sensor Film (LSF). Metode pendekatan ini juga menjelaskan


59
Nawawi dan Martini (1996:73)
51

seperangkat tahapan atau proses, serta untuk menyimpan informasi bersifat

kontraduktif mengenai subjek penelitian.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan

dengan sebaik-baiknya (hati-hati, kritis dalam mencari fakta, prinsi-prinsip)

untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.60

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu metode pada penelitian

kualitatif. Metode fenomenologi berfokus pada penemuan fakta terhadap suatu

fenomena sosial. Fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang

mengizinkan peneliti menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan

subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses pnelitian eksploratori.61

3.4 Jenis Penelitian

Jenis peneliti gunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian.62 Penggunaan pendekatan kualitatif Penelitian ini bermaksud untuk

mengungkap data dan informasi terhadap Sensor Film Bergenre Agama

Dalam penelitian tesis ini, menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian


kualitatif adalah penelitian yang berlandasan pada filsafat postpositivisme
dimana kebenaran sesuai dengan hakekat objek, digunakan untuk meneliti

60
Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah: pendekatan kualitatif dan kuantitatif,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 2
61
Alase (2017)
62
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rodsakarya, 1997).
Hlm. 2
52

pada kondisi objek alamiyah, di mana peneliti sebagai instrumen kunci


dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi.63

Penelitian kualitatif memiliki lima macam karakter yaitu:

1. Mempunyai setting yang alamiah, artinya penelitian dilakukan dalam

situasi yang wajar dan realitas dari feomena yang nyata, setting alamiah

merupakan sumber data, peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen

penelitian.

2. Data yang dikumpulkan dalam bentuk kalimat, gambar dan lainnya yang

berisi deskripsi, transkip, interview, catatan dikancah penelitian dan lain-

lain.

3. Peneliti-peneliti kualitatif lebih mementingkan proses dari pada hasil,

karena penelitian ini menggunakan pernyataan bagaimana sehingga

jawabannya adalah proses sesuatu diteliti. Analisis yang digunakan adalah

analisis induktif. Analisis ii dilakukan secara bottom-up.

4. Penelitian kualitatif mementingkan makna, ini berarti peneliti berusaha

memahami makna fenomena yang sedang diteliti.

Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap data dan informasi

terhadap Sensor Film Bergenre Agama

3.5 Sumber Data Penelitian

63
Sugiyono,227:15
53

Data merupakan bahan penting dalam penelitian. Data dan kualitas data

merupakan pokok penting dalam penelitian karena menentukan kualitas hasil

dari penelitian. Menurut Kerlinger data adalah hasil penelitian, baik yang

diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan proses pemahaman.64 Sumber

data yang lainya adalah bahan-bahan pustaka, seperti dokumen, arsip, koran,

majalah, dan sebagainya.65

Data untuk suatu penelitian dapat dikumpulkan dari berbagai sumber.

Sumber data dapat dibedakan menadi sumber data primer (primary data) dan

sumber data sekunder (secondary data).66 Sumber data yang menjadi rujukan

dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder.

Menurut Prasetya Irawan, data primer adalah yang diambil langsung,

tanpa perantara dari sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data yang

diambil secara tidak langsung dari sumbernya.67

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari Lembaga Sensor Film (LSF).

Melalui wawancara, observasi dan tanya jawab secara langsung atau tatap

muka dengan informan. Peneiti mendatangi lokasi penelitian dan bertemu

langsung dengan informan, dan informasi berlanjut via media elektronik.

Kemudian melakukan tanya jawab untuk memperoleh informasi terkait

proses penyensoran film bergenre agama.

64
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian; Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial
Hmaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010). Hlm.141
65
Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama Pendidikan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT:
Raja Grafido Persada, 2002). Hlm. 63.
66
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009),
hlm.289.
67
Prasetya Irawan, Metodologi Penelitian Administrasi, Edisi 1, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2007), hlm. 5.4 dan 5.5
54

2. Data Sekunder yaitu data dari sumber-sumber yang mendukung data

primer, seperti dari buku-buku, jurnal, artikel, internet dan webset LSF.

3.6 Informan dan Subjek Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, informan tidak disebut sebagai subjek

penelitian, karena sumber data menyangkut orang mempunyai kedudukan

yang sama antara yang diteliti dan peneliti. Dalam penelitian ini melibatkan

orang yang berperan. Adalah Dr. Nasrullah yang menjabat sebagai Ketua

Komisi I Lembaga Sensor Film Republik Indonesia dan Staf Sekretariat

Lembaga Sensor Film Republik Indonesia yaitu Bapak Ambi Darwis, yang

menjadi Narasumber dalam penelitian ini.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi

terstruktur. Ada hal-hal yang disampaikan kepada subjek penelitian sebelum

dilakukan proses wawancara, yaitu: pertama, tujuan dan kepentingan

penelitian. Kedua, kerahasiaan. Ketiga, prosedur penelitian. Keempat,

persiapan untuk memulai wawancara.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran

yang dipandang ilmiah dalam suatu penelitian terhadap hasil yang diperoleh

secara keseluruhan.
55

Data yang dipakai adalah data primer dan sekunder yaitu data yang

diperoleh dengan observasi, wawancara dan dokumentasi langsung dengan

narasumber. Karena itu dalam penelitian ini penulis mengambil tehnik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan

hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia

kenyataan yang diperoleh melalui observasi, data itu dikumpulkan Dan

sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga

benda-benda yang sangat kecil proton dan elektron maupun yang

sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas.68

Teknik obsevasi yang peneliti gunakan bersifat mengamati secara

langsung yang memungkinkan melihat dan mengamati sendiri,

kemudian mencatat prilaku dan kejadian sebagaimana kejadian yang

terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Peneliti mengadakan penelitian

langsung ke Lembaga Sensor Film (LSF) beralamat di JL. MT.

Haryono Kavling 47-48 Jakarta Selatan.

Dalam hal ini, peneliti melakukan pengumpulan data menyatakan

terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan

penelitian. Jadi mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai

akhir tentang aktivitas peneliti.

Menurut penulis manfaat observasi adalah sebagai berikut:

68
Sugiono, Metode Penelitian dan R dan D, ( Bandung: Alfabeta, 2012 ), hlm.226.
56

a. Mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial,

jadi akan dapat pandangan yang menyeluruh.

b. Dapat memperoleh pengalaman langsung.

c. Dapat memperoleh gambaran yang komprehensip

Intinya adalah sebuah proses pengamatan atau pemantauan akan

suatu objek atau masalah yang dari situ akan diambil laporan dan

kesimpulan. Dan observasi merupakan sebuah proses yang dilakukan

untuk mengetahui sesuatu secara langsung dan mendalam suatu hal

atau objek yang tidak disadari oleh banyak orang.

Tujuan observasi adalah menggambarkan segala sesuatu yang

berhubungan dengan objek penelitian, mengambil kesimpulan yang

disusun menjadi sebuah laporan yang relevan dan dapat bermanfaat

sebagai sebuah bahan pembelajaran atau studi.

2. Wawancara

Teknik pengumpulan data dengan wawancara merupakan salah

satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Teknik

wawancara dilakukan secara mendalam. Dengan wawancara

mendalam dapat lebih bebas tanpa terikat dalam mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada informan. Wawancara mendalam

dilakukan terhadap sejumlah informan dengan tujuan mendapatkan

data.

Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna


57

dalam suatu topik tertentu.69Wawancara digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan

untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juaga apa

bila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih

mendalam.

Peneliti mengadakan wawancara mendalam dengan anggota

Lembaga Sensor Film yaitu dengan Bapak Ambi Darwis selaku Staf

Sekretariat LSF RI mengenai Lembaga Sensor Film dalam Menyelaksi

Film Bergenre Agama, guna mendapatkan informasi yang lengkap dan

aktual.

Langkah-langkah wawancara:70

1. Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan

2. Menyiapkan poko-poko masalah yang akan menjadi bahan

pembicaraan

3. Mengawali atau membuka alur wawancara

4. Melangsungkan alur wawancara

5. Mengkonfirmasikan ihtisar hasil wawancara dan mengakhirinya

6. Menuliskan hasil wawancara kedalam catatan lapangan

7. Mengidentipikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah

diperoleh

Wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap

survey. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang


69
Sugiono, Metode Penelitian dan R dan D, ( Bandung: Alfabeta, 2012 ), hlm.231.
70
Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatip, Dasar dan Aplikasinya, ( Malang:YA3,1990),
hlm.237.
58

hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada

responden. Data semacam itu merupakan tulang punggung suatu

penelitian survey. Wawancara juga merupakan metode pengumpulan

data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara

sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian tanya jawab

sepihak berarti bahwa pengumpulan data yang aktif bertanya,

sementara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau

tanggapan. Dari definisi itu, kita juga dapat mengetahui bahwa tanya

jawab dilakukan secara sistematis, telah terencana, dan mengacu pada

tujuan penelitian yang dilakukan.

Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk

tanya jawab dengan tatap muka, wawancara suatu proses pengumpulan

data untuk suatu penelitian. Beberapa hal dapat membedakan

wawancara dengan percakapan sehari-hari adalah antara lain:

1. Pewawancara dan responden biasanya belum saling kenal

mengenal sebelumnya.

2. Pewawancara selalu bertanya.

3. Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban,

tetapi harus selalu bersifat netral.

4. Pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat

sebelumnya.

Dokumen wawancara dalam penelitian ini dilakukan wawancara

dengan pertanyaan open-ended sehingga responded dapat memberikan


59

informasi yang tidak terbatas dan mendalam dari berbagai perspektif.

Semua wawancara di buat transkrip dan di simpan dalam file teks.

Wawancara ini dilakukan untuk mewawancarai informan guna

memperoleh data dan informasi mengenai masalah yang diteliti.

3. Dokummentasi

Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data yang tidak

diperoleh dari hasil wawancara, dengan cara mengumpulkan data

dengan mendokumentasikan foto-foto, seperti halnya foto kegiatan

LSF, Ruang Penyensoran LSF, Gedung LSF, para Pendiri LSF. Dll.

Metode ini digunakan

Dalam artian umum dokumentasi merupakan sebuah pencarian,

dan penyediaan dokumen. Dalam hal ini termasuk kegunaan dan arsip

perpustakaan dan kepustakaan.71 Penelitian ini penulis memerlukan

berbagai dokumen tentang data LSF dalam menyeleksi film bergenre

Agama sebagai sumber penelitian.

3.8 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik eksplikasi

data. Teknik ini merupakan teknik analisis data yang mencakup beberapa

langkah, yaaitu memperoleh pemahaman data sebagai suatu keseluruhan serta

71
http://id.wikipedia.org/wiki/dokumentasi,26Juni2014 (diakses pada 22 Februari 2020)
60

menyusun deskripsi fenomena, mengidentifikasi, eksplikasi, dan sintsesis dari

penjelasan sensor film.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama memasuki lapangan, dan setelah selesai dari

lapangan. Analisis data telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan

masalah, sebelum terjun kelapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan

hasil penelitian.72

Aktivitas dalam analisis data kualitatif harus dilakukan secara terus

menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Analisis data dalam

penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data dalam periode tertentu.

Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban

yang di wawancarai.73 Analisis data adalah proses mencari dan menyusun

serta sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara. Analisis data

merupakan bagian penting dalam suatu proses penelitian. Hal ini karena

dengan analisis data tersebut dapat mengandung makna yang berguna dalam

menjelaskan atau memecahkan masalah penelitian.74

3.9 Lokasi/Objek Penelitian dan Waktu Penelitian

1. Lokasi dan Objek penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Sensor Film (LSF) yang

berlokasi di Jl. Letjen Mt. Haryono No. Kav 47-48, RT.3/ RW.3, Cikokol,
72
Nasution dalam Sugiono (2008:236)
73
Miles dan Huberman, Dalam Sugiono (2008:237)
74
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000). Hlm. 95
61

Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

(12770)

Objek penelitiannya adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dalam

menyeleksi atau menyensor film bergenre agama.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai Januari 2020 sampai dengan Desember 2020.

Kegitan:

1. Persiapan Penelitian

a. Penyusunan dan Pengajuan judul proposal : Januari – Februari

b. Pengajuan Proposal : Februari – Mei

c. Perizinzan Penelitian : Juni – Juli

2. Pelaksanaan

a. Pengumpulan Data : Juli – Oktober

b. Analisis Data : Juli – Oktober

3. Penyusunan Laporan : November - Desember


62

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Lembaga Sensor Film Republik Indonesia

4.1.1 Sejarah Sensor Film di Indonesia

1. Sensor Masa Kolonial Belanda

Keberadaan wilayah Nusantara dipersilangan antara negara-negara

Barat dan Timur, Selatan dan Utara telah menjadi “titik temu”

hubungan antarbangsa. Diawali dengan hubungan bangsa-bangsa

tetangga di benua Asia kemudian diusul oleh kedatangan bangsa

Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis, dari Barat. Pertemuan

antarbangsa itu telah meninggalkan jejek dalam berbagai aspek

kehidupan yang masih dapat ditelusuri sejarahnya.

Kehadiran belanda sebagai bangsa penjajah paling lama (sekitar

350 tahun) memerintah di wilayah Nusantara diantara bangsa-bangsa

Barat seperti tersebut di atas, telah meninggalkan pengaruh dan

berbagai hasil kebijakan di bidang kebudayaan, pengaruh itu ada

yang masuk secara alami tetapi tidak sedikit yang dengan tekanan

terhadap segala unsur budaya bangsa. Sia-sia pengaruh hingga kini

masih ada, baik terhadap tinggalan berupa benda budaya maupun

budaya yang bersifat non fisik atau tak benda.

Salah satu tinggalan di bidang seni, khususnya di bidang seni

rekam, adalah film dan sensor film. Kehadiran film ke wilayah


63

Nusantara merupakan satu bentuk seni baru bagi masyarakat dan

telah memberikan pengaruh baik positif maupun negative bagi

perkembangan masyarakat dan kebudayaan bangsa. Masuknya film

ke bumi Nusantara melahirkan satu kegiatan baru yang disebut

sensor. Dari balik kegiatan sensor tidak hanya diketahui tujuan

sensor sebagai bnetuk perlindungan masyarakat terhadap tampak

negative dari film, tetapi juga kandungan unsur politisi dalam arti

sebagai strategi menjaga kestabilan dalam melakukan praktek politik

penjajahan.

1.1 Kondisi Kebudayaan pada zaman kolonial

Sebelum Indonesia merdeka system penataan masyarakat

diatur dalam system kerajaan. Waktu itu kesenian kita masih

merupakan bagian dari sosok-budaya “feudal aristokratik” maka

kesenian merupakan juga bagian dari dialektika budaya waktu

itu. System kekuasaan yang absoulut dari masyarakat-masyarakat

kerajaan dengan soso-budaya “feudal aristokratik” melahirkan

sustu sintensa budaya “adi-luhung”, “indah dan yang luhur”,

yang sangat keras berorientasi kepada system nillai “halus-

kasar”, yang sudah barang tentu ditentukan oleh system

kekuasaan absolut kerajaan.75 Setelah bangsa Indonesia merdeka

dan menjadi bangsa berdaulat, lahir pula sintesa baru. Lahir suatu

budaya Indonesia yang menurut Pasal 32 UUD 1945 dan

penjelasannya sebagai kebudayaan nasional Indonesia atau


75
Edy Sedyawati, Nunus Supardi dan Saini KM./Editor, Kongres Kesenian, 1995 2004:hal.2-4
64

kebudayaan bangsa maka “kebudayaan bangsa” dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 32 dengan sangat jelas “kebudayaan

bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha

budi daya rakyat Indonesia”. Lahir suatu kebudayaan yang

plural, beranekaragaman.

Ada beberapa pendapat mengenai kondisi kebudayaan pada

masa colonial Belanda. Denys Lombard menilai perubahan

budaya di pulau Jawa. Menurut Denys Lombard perubahan yang

terjdi di pulau Jawa tidak hanya pengaruh datang dari Eropa,

tetapi juga dari India, Islam, dan China. Indonesia dan Jawa

khususnya selama dua ribu tahun sejarahnya, telah menjadi

sebuah persilangan budaya, dari peradaban-peradaban dunia, dan

dari pertemuan yang penting diterima, diolah, dikembangkan,

dan diperbaharui.76

Sementara itu, menurut DA. Peransi dalam tulisan berjudul

Retradisionalisasi dalam kebudayaan, perubahan mengenai

perkembangan kebudayaan di wilayah Nusantara sudah dimulai

sejak orang-orang Barat mendarat di Indonesia. Untuk

memperkuat pendapatnya, Peransi mengutip kesimpulan

konferensi pelajar Indonesia di Hennef tahun 1955, kaum

intelektual muda seperti: Chaerul Saleh, Wiranto Sukito, Frans

Seda, Doddy Tisnaamidjaja, Chareun Caroeboka, Moltojo

Djojomartono dll. Menegenai kehadiran bangsa Barat (Belanda)


76
Denys Lombard/Jilid I, Nusa Jawa: Silang Budaya I, Gramedia Jakarta 2000: hal.74-85
65

ke bumi Nusantara konferensi menyimpulkan bahwa “ketika

berat memesuki negeri kita dalam bentuk VOC dan kemudahan

Cultuurstelsel serta mengadakan eksploritasi kekayaan bumi

Indonesia, penetrasi Budaya ini mengguncangkan dan

merombak kebudayaan tradisional kita”.77 Sementara itu, Ki

Hadjar Dewantoro sebagai intelektual telah menghakimi

kecenderungan “kaum borjulis” pribumi yang memuja

kepakaran Barat dan kefasihan dalam penguasaan tata budaya

Belanda. Dia mencela parvenu (orang kaya baru) jawa tertentu

“yang selalu ingin pamer dan menonjolkan materi, namun tidak

mampu menghargai bentuk pendidikan yang tidak menyertai

bahasa Beelanda”.78

1.2 Sensor Film dan Kesadaran Berbangsa

Film adalah karya seni dengan demikian film adalah bagian

dari kebudayaan. Dalam masa penjajahan Belanda antara

kebudayaan dan kesadaran bangsa memiliki hubungan yang erat.

Secara sederhana kesadaran berbangsa dapat disamakan dengan

kesadaran anti penjajahan. Semanagat anti penjajah itu sudah

timbul sejak kaum pedagang Barat dalam kenyataan di samping

telah mengeruk kekayaan alam dengan kedok berdagang juga

telah melakukan penindasan terhadap produk asli. Perlawanan

dari kaumbumi yang dilakukan dalam bentuk kelompok-

77
Majalah Prisma No.6, 1985: hal.11
78
Frances Gouda, Dutch Culture Overseas, PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2007, hal.177.
66

kelompok selalu dapat dipatahkan oleh pihak penjajah. Setelah

kaum muda bumiputra mendapatkan pengetahuan baru yang

didapat melalui pendidikan, bacaan dan berbagai sumber

informasi antara lain melalui film, tumbuhlah kesadaran untuk

menyatatukan segala potensi yang ada untuuk bersama-sama

melawan penjajahan organisasi.

Kesadaran berbangsa dimulai dengan berdirinya

perkumpulan Boedi Oetomo (BO) tanggal 20 Mei 1908. Hari

bersejarah itu sering disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional

Indonesia. Dalam melakukan penggalangann lahirnya kesadaran

untuk “menjadi satu bangsa”, pendiri BO menggunakan

pendekatan budaya sebagai stategi. Menurut Soebaryo

Mangunwidodo, dalam memulai langkah penggalangan itu Dr.

Radjiman menggunakan filsafat dan budaya sebagai media yang

paling halus untuk berkomunikasi dan mengekspresikan pikiran-

pikirannya, melalui ceramah dan tulisan-tulisannya.

Dengan menyebarkan isu tentang “kejayaan jawa” dan

dengan ‘menjabarkan akar filsafat dan system nilai budaya

jawa’ rasa nasionalime jawa makin meningkat. Untuk mengubah

pola pikir masyarakat Jawa sebagai bangsa terjajah agar bangkit

percaya diri, dalam kongres BO tahun 1908 Radjiman

mengatakan bahwa “orang jawa tidak mungkin menjadi orang

Belanda”. Kata-kata itu diulang kembali ketika bertemu dengan


67

khlayak Belanda yang tergabung dalam Indisch Genootschup.

Disamping itu Radjiman juga menegaskan: “jika pribumi

dipisahkan sepenuhnya dan secara paksa dari masa lalunya

yang akan terbentuk adalah manusia tanpa akar, tak terbekas,

tersesat diantara dua peradaban”.79 Demikian pula Soekarno

secara terus menerus mendengung-dengungkan konsep

“kepribadian nasional”, “identitas nasional”, dan bedikari

dibidang kebudayaan’, dengan maksud melanjutkan dan

mewujudkan cita-cita yang telah diletakkan oleh BO.80

Selain itu, Denys Lombard dengan mengutip pendapat A.

Nagazumi81 mencoba menggambarkan latar belakang kelahiran

BO sebagai peristiwa kesadaran budaya. Dibagian lain ia

menyebutkan bahwa di dalam kebudayaan Jawa saat itu telah

muncul sikap anti pada budaya Barat dengan menyebutkan:

“kejawaan merupakan titik temu reaksi-reaksi anti Barat”.82

Yang menarik, upaya menumbuhkan kesadaran berbangsa

melalui kebudayaan itu justru mendapatkan dukungan dari

beberapa cendikiawan Belanda. A. Muhlenfeld misalnya, dalam

prasarannya pada Kongres Kebudayaan 1918 menyatakan

pendirinya tentang pentingnya pengajaran dan pengkajian

79
Denys Lombard/Jilid I, Nusa Jawa: Silang Budaya I, Gramedia Jakarta 2000: hal.236
80
Denys Lombard/Jilid I, 2000: hal.239
81
Ia adalah penulis buku berjudul ‘The Dawn of Indonesia Nationalism, The Early Years of the
Budi Utomo, 1908-1918’. Buku ini diterbitkan oleh Institute of Developing Economics, Pap. No.
10 Tokyo, 1972
82
Denys Lombard/Jilid I, 2000: hal.327
68

kebudayaan bangsa Indonesia dalam membangun bangsa. Secara

jelas A.Muhlenfeld menyatakan sebagai berikut: “untuk

membangkitkan kesadaran terhadap kebudayaan sendiri itu

keseluruh wilayah, maka pengajaran dan pengkajian sejarah

bangsa merupakan sarana yang terbaik, terkuat dan terpenting.

Untuk sebuah ‘natie’ atau bangsa, juga untuk perorangan atau

individu, tuntutan pertama adalah mengenal dirinya sendiri

sehingga mereka memiliki perangai, watak (karakter), dan

mendapatkan kembali rasa percaya diri kembali setelahh

kehilangan selama berabad-abad”.83 Pandangan lain disampaikan

oleh Mr. Samuel Koperberg sebagai Sekretaris Java-Institut.

Dalam salah satu suratnya yang ditunjukan kepada Sutan Sjahrir

menyatakan pandangannya tentang hubungan budaya Timur dan

Barat. Koperberg menyatakan bahwa: “mengenai nilai hasil

pekerjaan itu orang dapat berselisih pendapat, namun saya tetap

yakin bahwa diantara kebudayaan Indonesia lama dana lam

pikiran orang Barat perlu ada kompromi”.84 Pandangan seperti

inni sejalan dengan yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara,

“bahkan lebih ekstrim lagi, karena tidak hanya perlu kompromi

tetapi malahan harus berani mengoper kebudayaan asing,

asalkan dapat memperkaya, yaknni yang dapat menambah atau

83
Nunu Supardi, Kongres Kebudayaan 1918-2003, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2007.
84
Jaap Erkelens, Java Instituut Dalam Foto, Jakarta Perwakilan KITLV di Indonesia, 2001:
hal.13
69

memperkembangkan kebudayaan kita yang asli”.85 Demikian

pula halnya dengan pikiran cendikiawan yang berkebangsaan

Belanda, tekanan hidup yang dialami rakyat jajahan harus

diakhiri. Menurut pendapat J. Huuizinga yang dikutip oleh

Darsiti Soeratman, kondisi masyarakat dalam tekanan seperti itu

justru akan mendorong makin menguatnya keinginan orang

untuk memperoleh suatu kehidupan yang indah. Ada 3 jalan

untuk mencapai tujuan itu: (1) melarikan diri dari kenyataan; (2)

dengan sadar bekerja untuk memperbaiki keadaan, sehingga

ketakutan hidup diganti dengan keberanian dan harapan baru; (3)

lewat impian.86

Masa Kolonial Belanda Perkembangan film tak lepas dari

rentetan catatan sejarah nasional, yang berawal dari kedatangan

berbagai bangsa guna melakukan kegiatan perdagangan

termasuk kedatangan bangsa barat. Wilayah nusantara yang

terletak pada kondisi teritorial strategis dimana terletak diantara

garis khatulistiwa, memiliki tanah subur dan kaya sumber daya

alam yang melimpah. Hal tersebut membuat bangsa lain

berdatangan. Permulaan kedatangan bangsa-bangsa yang di

mulai dari bangsa tetangga, kemudian bangsa dari berbagai

bangsa di benua Asia, Timur tengah, kemudian berbagai bangsa

dari berbagai benua termasuk dari bangsa barat benua Eropa.

85
Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan II, Taman Siswa Yogyakarta, 1957, hal.35
86
Darsiti Soeratman, 2000: hal.vii-ix
70

Kedatangan bangsa-bangsa tersebut perlahan turut juga

mempengaruhi kehidupan budaya dan berbagai aspek kehidupan

masyarakat pribumi yang dapat terlacak dalam berbagai catatan

sejarah.

Munculah ketertariakan berbagai bangsa terutama bangsa

barat untuk menguasai wilayah nusantara yang subur dan kaya

sehingga terjadilah persaingan diantara bangsa aggressor dalam

berbagai bidang dengan tujuan ekspansi kepada wilayah

nusantara. Bangsa Eropa diantaranya Portugis, Perancis,

Spanyol, Inggris, Belanda berlomba untuk menguasai nusantara

dan bangsa Belanda tercatat menjajah nusantara dalam kurun

waktu 350 tahun.87

Sistem kerajaan merupakan sistem pemerintahan yang

dianut masyarakat sebelum para penjajah menduduki wilayah

nusantara. Masa penjajahan meninggalkan berbagai warisan dan

pengaruh terutama pada kebudayaan. Wilayah nusantara sebagai

wilayah jajahan dilakukan dengan bentuk penekanan dan

penindasan kepada masyarakat pribumi. Dimana masyarakat

pribumi diperbodoh, pemberangusan budaya asli dan lain

sebagainnya, hanya segelintir pribumi yang diperbolehkan

mengenyam pendidikan dengan, penggolongan status social.

Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda memberlakukan

penggolongan atau garis warna sosial pada masyarakat wilayah


87.
Lembaga Sensor Film, Sejarah. Hal 45.
71

jajahannya. Berdasarkan golongan sosial tersebut, orang-orang

Eropa terutama bangsa Hindia-Belanda menempatkan diri

sebagai ras tertinggi, kedua, orang-orang indo (keturunan

pribumi dan eropa), ketiga orang-orang timur asing (China) serta

keturunan dan terakhir orang pribumi (Indonesia). Dengan

demikian golongan pribumi di tempatkan pada golongan

terendah namun masih ada perbedaan golongan lagi pada

masyarakat pribumi, yaitu dilihat dari aspek, keturunan,

pekerjaan dan aspek pendidikan.

Berkembangnya teknologi dan kemajuan jaman yang

memacu sumber daya manusia kepada tingkatan persaingan

untuk menopang berbagai kebutuhan hidup. Persaingan ekonomi

dan budaya tak luput terjadi, persaingan tersebut mulai tertuang

pada industri perfilman. Pada masa Penjajahan Hindia Belanda,

Gambar idoep adalah istilah film pada saat itu. Pada bulan

Desember Tahun 1900 gambar idoep dengan bangga

diperkenalkan kepada masyarakat Batavia (sebutan Jakarta pada

masa kolonial). Antusias masyarakat terhadap suatu tontonan

terutama film sangat besar, sehingga melirik para pemodal untuk

mendirikan suatu usaha dalam bentuk tempat pertunjukan berupa

bioskop. Dimana muncul bioskop-bioskop pada saaat itu,

munculnya bioskop sangat pesat.88

88.
LSF, hal. 60
72

Akibatnya banyak anak-anak kecil yang ikut nonton

bersama dengan orang tuanya. Perkembangan teknologi mulai

masuk kepada masyarakat pribumi melalui geliat perkembangan

perfilman yang berdampak pada menyusupnya budaya luar,

dengan berbagai pencitraan penampilan gambar dan dialog yang

semakin luas, mencakup semua aspek kehidupan manusia dan

bervariasinya usia penonton. Munculah berbagai keluh kesah

mengenai isi, cerita, adegan, gambar dan dialog dari film yang

cenderung memberi dampak negatif.

Perkembangan tersebut menimbulkan kekhawatiran

pemerintahan Hindia-Belanda, sehingga pada tahun 1916

dikeluarkan peraturan bernama ordonasi. Ordonasi film yang

ditetapkan di Batavia sebagai pusat pemerintahan kolonial, dan

memasukan Ordonasi pada lembaran Negara atau Staatblad.

Yaitu Staatblad van Nederlandsch Indie Nomor 276 tanggal 18

Maret 1916, yang di tandatangani oleh Gubernur Jenderal

Idenburg.89 Sebagai akibat pertunjukan film untuk itu pentingnya

diadakan kegiatan pemeriksaan, pengawasan, guna membatasi,

memberantas tindakan asusila, kejahatan, serta memotong film

yang tidak sesuai dengan arah kebijakan politik penjajah.

Dengan dasar ordonasi tersebut pemerintah membentuk

suatu Komisi Penilaian Film (KPF). Kegiatan sensor sendiri

muncul akibat produktiitas film meningkat banyak dengan


89.
LSF, hal. 67
73

beragam tema, cerita, genre. Ordonasi Nomor 276 Tahun 1916

yang dijadikan sebagai landasan hukum terbentuknya Komisi

Penilaian Film, pada masa kolonial Hindia-Belanda mengalami 7

kali perubahan dan penyempurnaan yaitu:

1. Ordonansi film Tahun 1919 (Film Ordonantie 1919)

Staatblad van nederlandsch indie Nomor 377 tentang

pembentukan sub komisi di daerah.

2. Ordonasi film Tahun 1920 (Film Ordonantie1920)

staatblad van nederlandsch indie Nomor 356tentang

penghapusan sub-sub komisi Pengawasan film di 4 daerah

utama Batavia, Semarang, Surabaya, Medan.

3. Ordonansi Film Tahun 1922 (Film Ordonantie 1922)

staatblad van nederlandsch indie Nomor 668 tentang

kewajiban pembayaran penilaian film.

4. Film Ordonantie 1925, staatblad van nederlandsch indie

Nomor 477 tentang Komisi Penilaian Film di Batavia

merupakan satu-satunya komisi penilaian film di di Hindia-

Belanda. Menetapkan anggaran belanja tahun 1925 bagi

Komisi Penilaian Film.

5. Ordonansi Film Tahun 1926 (film Ordonantie 1926)

Staatblad van Nedeerlandsch Indie Nomor 478 tentang

tambahan anggaran untuk biaya listrik, barang cetakan, dan


74

lain-lain. Melengkapi Film Ordonantie Nomor 477 Tahun

1925.

6. Ordonansi Film Tahun 1930 (Film Ordonantie 1930)

Staatblad van Nederlandsch Indie Nomor 447 tentang Hak

Pemilik Film Mendapatkan Keterangan (antara lain alasan

kenapa filmnya dilarang beredar) dan Staatblad van

Nederlaandsch Indie Nomor 448 tentang Penyempurnaan

Film Ordonantie 1925 yang dimuat di staatblad Van

Nederlandsch Indie Nomor 477.

7. Ordonasi Film Tahun 1940 (Film Ordonantie 1940)

Staatblad Van Nederlandsch Indie Nomor 507 tentang

Komisi Film (film comissie).90

Perubahan dari landasan undang-undang tersebut

merupakan efek dari maraknya pertunjukan film sehingga

menimbulkan pemikiran dan kekhawatiran para pejabat

pemerintahan kolonial terhadap negara jajahan. Pemikiran

pejabat pemerintah kolonial adalah film dapat menumbuhkan

pemikiran kritis dari masyarakat yang terjajah dan tertindas,

sehingga memberontak dan melawan kepada pemerintah. Juga

menimbulkan dampak politik dengan datangnya film-film impor

yang masuk dan memberikan informasi mengenai situasi dunia

luar.

2. Sensor Film Masa Kolonial Jepang Tahun 1942-1945


90.
LSF. Hal. 66
75

Jepang menjajah Indonesia memang relative singkat, hanya

selama 3,5 tahun atau seperseratus masa penjajahan colonial

Belanda. Tetapi penjajahan yang singkat itu mempunyai posisi dan

peran yang amat bersejarah bagi sejarah kemerdekaan Indonesia.

Meskipun akhirnya jepang harus kalah dan menyerah melawan

Sekutu, tetapi Jepang tidak rela demikian saja mengembalikan

wilayah Hindia Belanda kepada Belanda yang telah dikalahkan. Pada

titik akhir, Jepang sampai pada keputusan membantu mencarikan

peluang Indonesia menjadi bangsa dan negara merdeka.

2.1. Film dan sensor film

Selaku Ketua Keimin Bunka Shidosho, Soitji Oja selain

memberikan penjelasan tentang film, juga menjelaskan

kebijakan lain yang berkaitan dengan film, yaitu tentang sensor.

Dijelaskan bahwa semua naskah dan hasil rekaman dalam

pembuatan film harus disensor oleh Sindenbu atau Badan

Propaganda ter;ebih dahulu. Dalam rangka mendapatkan

dukungan seluruh rakyat Indonesia, seluruh film yang

dipertunjukan harus sesuai dengan strategi Pemerintah Jepang.

Langkah yang dilakukan adalah melarang film-film Amerika

dan Inggris dipertunjukan kepada umum. Film-film yang boleh

berada hanyalah film-film yang memotivasi kepercayaan dan

dukungan terhadap misi Pemerintah Militer Jepang.


76

Sensor pada masa itu dilaksanakan langsung oleh pihak

militer. Keberadaan Komisi Pemeriksa Film dan Film

Ordonanntie 1940 yang dibentuk oleh Belanda jelas tidak

diindahkan lagi. Lembaga-lembaga yang dibentuk, dimaksudkan

agar Gunseikanbu dapat benar-benar mengendalikan

propaganda serta penyensoran seluruh berita yang berasal dari

luar maupun yang disiarkan oleh lembaga siaran dalam negeri.

Untuk itu dikeluarkan ketentuan bahwa seluruh gelombang pada

pesawat penerima radio disegel kecuali gelombang suara resmi

yang dikuasai penuh oleh Hoso Kanri Kyoko atau Jawatan

Radio milik Pemerintah Pendidikan Militer Jepang.91

Demikian pula halnya dengan bidang perfilman,

mendapatkan pengawasan yang ketat dibawah Sendenbu.

Kebijakan yang diterapkan adalah sebagai berikut. Pertama,

seluruh film yang ada haruslah merupakan strategi pemerintah

pendudukan untuk mendapatkan hati dan sokongan dari rakyat

Indonesia. Karena itulah jenis-jenis film keluaran Hollywood

sesuai dengan kebijaksanaan Sendenbu tidak boleh beredar.

Mereka menyatakan tema film buatan Hollywood adalah buruk

dan menyesatkan. Yang diizinkan beredar hanyalah film-film

Hollywood yang menggambarkan kejahatan bangsa barat dan

yang menggambarkan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia.

91
Dr. Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, SM Ardan “Film Indonesia” bag.1: 1900-1950,
Jakarta, Dewan Film Nasional, 1993.
77

Selebihnya adalah film-film yang menggambarkan kehebatan

militer Jepang dalam perang dan film tentang budaya dan moral

khas bangsa jepang. Semua film berbau Jepang, mulai dari

kehidupan sosial, budaya, sampai pemerintah militer.92

Kedua, sehubungan dengan peraturan untuk menjaga

keterlibatan seluruh negeri, semua percakapan ditelepon hanya

dibolehkan dalam bahasa Jepang dan Indonesia. Percakapan

dalalam bahasa Inggris dan Belanda dilarang. Ketiga, demi

mendukung kebijaksanaan pemerintah, film-film yang dibuat

haruslah sesuai dengan kemauan pemerintah. Keempat, seluruh

film yang diputar haruslah menggambarkan: (a) hubungan

persahabatan antara Jepang dengan masyarakat di Asia; (b)

menggambarkan semangat nasionalisme; (c) memperlihatkan

kehebatan tentara Jepang; (d) menekankan nilai-nilai budaya

serta moralitas Jepang, yaitu: berani berkorbann, mencintai

tanah air, hormat kepada saudara tua, menjaga persahabatan,

bersikap ramah, serta rajin dan setia; dan (e) menggambarkan

peningkatan produktivitas kekayaan alam demi kesiapan

menghadapi perang Pasifik..

Di bidang produksi film, Jepang menutup semua

perusahaan film yang ada termasuk perusahaan milik Cina yang

waktu itu snagat produktif, Java Industrial Film (JIF) dan

92
Arifin Suryo Nugroho dan Ipong Jazimah, Detik-detik Proklamasi, Penerbit Narasi, 2011,
hal.5
78

TANS’S Film.peralatan-peralatan film yang ada diambil dann

digunakan pihak Jepang untuk pembuatan film berita dan

penerangan. Kegiatan pembuatan film mulai beralih dari swasta

Cina ke pengusaha Jepang. Studio yang didirikan diberi nama

Jawa Eiga Kosha (1942) yang kemudian sejak 1943 berganti

nama menjadi Nippon Eiga Sha.93 Di masa jepang sensor sangat

ketat terhadap setiap berita termasuk sensor terhadap film.

Untuk mengisi materi film yang akan diputar di gedung

bioskop setelah film Amerika dan Inggris di larang Jepang

mendirikan perusahaan film. Bulan September 1942 berdiri

perusahaan film bernama Jawa Eigh Kosha, yang kemudian

cikal bakal lahirnya PFN di masa kini, kemudian pada bulan

April 1943 berubah nama menjadi Nippon Eiga Sha. Perusahaan

ini gencar memproduksi film-fillm propaganda. Dikantor ini

pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari

dan membuat sebuah film. Para sineas yang termasuk

didalamnya antara lain: Mohammad Jamin,Chaeroel Sholeh,

R.M Soertarto, Khaerudin, Armijin Pane, Usmar Ismail, Comel

Simandjoentak.

Selain memutar film, setiap bioskop di Hindia Belanda

diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek

berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah

93
Mukhlis PaEni, Dr. (Ed), Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media,
2009, hal. 115-116
79

Pendudukan Jepang. Kebijakan seperti itu menjadi titik awal

pelarangan bagi film impor dari Amerika dan Inggris. Kebijakan

lain yang ditetapkan adalah melarang bioskop beroprasi pada

waktu maghrib dan isya. Tujuan dibalik larangan ini adalah

untuk menarik hati kaum muslimin terhadap Jepang. Selain itu

gedung Bioskop sepeti Deca Park (I lapangan Gambir) dan

Capitol yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit

putih, oleh Jepang dibuat terbuka untuk pribumi.

Dengan diberlakukannya kebijakan seperti ini, jumlah

bioskop pada masa pendudukan Jepang mengalami masa

dilematis. Karena terbatasnya film yang diputar, jumlah bioskop

semakin hari semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300

gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di

Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.

Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harka

satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang

diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung

unsur hiburan. Tetapi dalam sebuah artikel Soitji Oja dengan

nada optimis menulis: “Perjalanan kalangan film di Jawa

mempunyai pengharapan yang penuh dimasa yang akan datang.

Jika membicarakan lapangan nontonan, sejak bulan April tahun

lalu (1942) ia telah menunjukan pembangunan kembali yang

menakjubkan kita,. Tidak ada tempat-tempat lain sepeti pulau


80

Jawa ini yang mudah sekali yang mudah mengumpulkan

penonton, karena dalam tempat sekecil itu berdiam 50 juta

rakyat yang gemar sungguh menonton”.94

Pada awal-awal pendudukan, kehadiran bangsa Jepang

memang dirasakan menyenangkan karena Jepang menerapkan

diri sebagai “saudara tua” bangsa Indonesia. Kaum intelektual

Indonesia mendapat posisi jabatan menggantikan orang-orang

Belanda. Bahsa Belanda dan bahasa Inggris “diharamkan”

diganti dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang. Seniman-

seniman Indonesia berkreasi lewat sastra dan sandiwara.

Produksi film dimonopoli oleh Nippon Eighasa yang membuat

film film pendek propaganda dengan judul seperti Amat haiho

dan Di Desa. Karena film film itu dibuat dan diedarkan oleh

Jepang, maka praktek sensor sudah melekat dan bersifat internal

dilingkungan Nippon Eigasha sendiri.

Karena film dijadikan alat propaganda, maka tidak ada lagi

fungsi dan kerja badan sensor film waktu itu. Seluruh kegiatan

sensor dari sejak penerbitan koran, majalah, penyiaran radio,

pertunjukan sandiwara, pembuatan film dan peredaran

filmtermasuk pertunjukan sandiwara, pembuatan film dan

peredaran film termasuk pertunjukan film di bioskop sudah

secara teliti dilakukan pengawasan yang melakat dari sejak

awal, yaitu semuanya harus dalam bahasa Jepang atau


94
Majalah Djawa Baroe tanggal 1 Mei 1943
81

Indonesia. Tujuannya hanya satu, yaitu motto “Berdasarkan

pada semangat ketimuran sesuai pada jaman baru”.

Menyimpang dari tujuan itu, apapun alasannya mendapat

hukuman yang setara antek-antek Inggris dan Amerika. Padahal

pada waktu itu ada motto lain yang cukup terkenal, yaitu Inggris

kita Linggis, Amerika Kita Setriika, Cukup menyeraman!!

Menurut M. Sarief Arief dibalik keberadaan film-film

propaganda itu, penonton disuguhi fenomena baru, yang tadinya

sarat dengan kitch95 (istilah bahasa Belanda yang menyatakan

tiruan; ketidak-aslian dalam seni dan gaya) dan film merupakan

salah satu kegiatan bidang industri dan memanjakan penonton

dengan hal-hal yang membawa mereka ke alam khayal atau

mimpi. Di masa pendudukan Jepang film berubah menjadi alat

propaganda yang seyogyanya dapat menumbuhkan pemikiran

kritisch di benak penontonnya. Kenapa? Karena isi film

propaganda itu tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari di

mana masyarakat hidup dalam kesulitan yang sangat serius,

berpakaian seadanya, kekurangan makan dsb. Disebabkan oleh

seluruh kemampuan ekonomi hanya ditunjukan untuk

kepentingan militer Jepan dalam menyongsong perang Pasifik

sebagai wujud kebaktian rakyat Indonesia kepada kaisar Jepang.

95
M.Sarief Arief, Politik Film di Hindia Belanda, Komunitas Bambu, Depok Jawa Barat, 2009
hal 93
82

Dengan konsep, kebijakan dan strategi pemerintah militer

Jepang terhadap tanah jajahan Indonesia seperti digambarkan

diatas, selain dampak negative yang ditimbulkan, ada pula

dampak positif yang ditinggalkan. Keberadaan Sendenbu,

Keimin Bunka Shidosho dan juga organisasi Poetra telah banyak

berperan dalam menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri

sebagai bangsa. Berkat tempaan system pemerintah Jepang.

Lahirlah seniman dan budayawan besar dan kemudian berperan

besar dalam masa-masa perjuangan revolusi mempertahankan

kemerdekaan antara 1945-1950, seperti Chairil Anwar, Asrul

Sani, Trisno Soemardjo, Umar Ismail, Affandi, Soedjojono,

Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Armijn Pane,

Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak, dll.

Pecahnya perang pasifik menyebabkan kekalahan pihak

sekutu atas Kekaisaran Jepang yang sedang melakukan berbagai

ekspansi, terhadap wilayah Asia Timur yang dominan di kuasai

bangsa penjajah Eropa. Akhirnya pemerintahan Hindia Belanda

menyerahkan kekuasaan atas wilayah Indonesia kepada Jepang

tanggal 7 Maret 1942 di Kalijati Jawa Barat.

Masuknya tentara Jepang ke wilayah Indonesia

mendapatkan sambutan yang baik, karena masyarakat pribumi

beranggapan bahwa Jepang membebaskan dari penjajahan

Hindia Belanda. Antusias masyarakat pribumi atas kedatangan


83

tentara Jepang dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan

kekaisaran Jepang yang baru. untuk mendapatkan simpati rakyat

Indonesia.

Berbagai kebijakan pemerintah Jepang di terapkan yang

seolah Jepang hadir sebagai saudara tua dari Bangsa Indonesia

dengan menerapkan berbagai semboyan antara lain, “Jepang

Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang pemimpin

Asia” atau lebih dikenal dengan semboyan “3A”. Selain itu juga

memperbolehkan pengibaran bendera merah putih bersama

dengan bendera Jepang, membebaskan tahanan politik para

tokoh pemimpin Indonesia, melarang menggunakan bahasa

Belanda dan mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia

disamping bahasa Jepang dalam percakapan resmi.

Cita-cita besar pemerintahan Jepang adalah menjadikan

wilayah Asia Timur dibawah kekuasaan Kekaisaan Jepang

dengan slogan Asia Timur Raya. Propaganda pemerintah Jepang

sebenarnya merupakan bingkai dari kekejaman yang dilakukan

pemerintahan Jepang terhadap wilayah jajahan. Kekejaman

pemerintahan Jepang salah satunnya menerapkan sistem

Romusha atau sistem kerja paksa, dimana para pekerja

diberlakukan dengan tidak manusiawi. Jepang menerapkan

sistem pemerintahan militer dan melakukan pembagian wilayah

bekas jajahan Hindia-Belanda menjadi dua bagian yaitu wilayah


84

Jawa dan Sumatera di bawah kekuasaan Pemerintahan Militer

Angkatan Darat atau Rikugun dan wilayah Kalimantan

Kalimantan dan Indonesia Timur di bawah pemerintah Milter

Angkatan Laut atau Kaigun, tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah

Pendudukan Milter Angkatan Darat atau Gunseikenbu Jepang

mengumumkan pembentukan 7 departemen yaitu:

1. Soomubu, departemen yang mengurus Urusan umum.

2. Sangyobu, departemen yang mengurus Urusan

Perekonomian.

3. Zaimubu, departemen yang mengurus Urusan Keuangan.

4. Shidobu, departemen yang mengurus Urusan Kehakiman.

5. Keimubu, departemen yang mengurus Urusan Kepolisian.

6. Kotsubu, departemen yang mengurus Urusan Lalu Lintas.

8. Sendenbu, departemen yang mengurus Urusan Propaganda.

Masa kedudukan Jepang, film commise yang dibentuk

Hindia-Belanda dibubarkan, diubah menjadi Dinas Propaganda.

Langkah tersebut guna melancarakan program pemerintah

Jepang, untuk menjaga ke stabilan kekuasaan wilayah jajahan

yang masih dalam ancaman pihak sekutu. Pemerintah Jepang

melakukan kerjasama dengan pihak pribumi dalam berbagai

bidang, salah satunya kerjasama dalam bidang kebudayaan.

Kerjasama ini berdampak positif bagi perkembangan

kebudayaan masyarakat pribumi, di tandai dengan terbentuknya


85

lembaga Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan,

sebagai langkah menghilangkan pengaruh budaya barat, dengan

mengkampanyekan budaya Asia Timur.

Pemerintah Jepang melakukan sensor terhadap berbagai

film, baik naskah atau hasil rekaman dalam pembuatan film

melalui Sendenbu atau badan propaganda. Kegiatan sensor

dilaksanakan langsung oleh pihak militer melancarkan

propagandanya setelah pelarangan film dari Amerika dan

Inggris maka pemerintah Jepang mendirikan sebuah perusahaan

film, bernama Jawa eigha Kosha pada bulan September 1942

yang kemudian menjadi cikal bakal Perusahaan Film Nasional

(PFN) dimasa kini dan kemudian berubah menjadi Nipon Eigha

Sha, perusahaan ini gencar memproduksi film propaganda.

Dengan pemberlakuan pelarangan pemutaran film yang

berasal dari Amerika dan Inggris tersebut maka pertumbuhan

bioskop-bioskop mengalami kemerosotan untuk ini pemerintah

Jepang menerapkan beberapa kebijakan antara lain:

1. Seluruh film haruslah merupakan strategi pemerintah

pendudukan untuk mendapatkan hatidan sokongan dari

rakyat Indonesia.

2. Sehubungan dengan peraturan untuk menjaga ketertiban

seluruh negeri, semua percakapn telepon hanya dibolehkan


86

dalam Bahasa Jepang dan Indonesia, percakapan

menggunakan Bahasa Inggris dan Belanda dilarang.

3. Demi mendukung kebijaksanaan pemerintah, film-film

yang dibuat haruslah sesuai dengan kemauan pemerintah.

4. Seluruh film yang diputar haruslah menggambarkan

a. Menggambarkan persahabatan antara masyarakat

Jepang dengan masyarakat di Asia.

b. Menggambarkan semangat nasionalisme.

c. Memperlihatkan kehebatan tentara Jepang.

d. Menekankan nilai-nilai budayaserta moralitas Jepang,

yaitu: berani berkorban, mencintai tanah air, hormat

kepada saudara tua, menjaga persahabatan, bersikap

ramah, serta rajin dan setia.

e. Menggambarkan tentang peningkatan produktivitas

kekayaan alam demi kesiapan menghadapi perang

pasifik.

Pemerintah Jepang melakukan sensor dengan sangat ketat,

baik mengenai berita maupun film. Seluruh bioskop di wajibkan

memutar slide atau menyelipkan film pendek mengenai

informasi atau penerangan propaganda pemerintah Jepang.

Kegiatan sensor pada pemerintahan Jepang tidak hanya terjadi

pada film saja melainkan semua dari media masa seperti koran,

majalah, penyiaran radio, pertunjukan sandiwara, drama.


87

Pemerintah Jepang beranggapan penggunaan film sebagai alat

propaganda sangat tepat.

Semua pesan mengenai propaganda termuat didalamnya

sedangkan nilai yang bertentangan dengan propaganda

pemerintah di potong habis. Jepang menduduki wilayah

Indaonesia memang dalam kurun waktu sebentar dari pada masa

pendudukan Hindia-Belanda hingga berabad-abad lamanya,

penindasan, penekanan dan kekejaman yang dilakukan melebihi

batas kemanusiaan. Melakukan kerja Paksa Romusha dan

memaksa kaum perempuan untuk menjadi budak seks tentara

Jepang Jugun ianfu, memaksa rakyat agar turut berperang

melawan sekutu dan masih banyak perlakuan Jepang terhadap

masyarakat Indonesia sebagai bangsa jajahan. Pemikiran kritik

ini dapat tumbuh bila penonton menyadari bahwa film-film

propaganda yang dibuat oleh pemerintahan militer Jepang ini

sebenarnya memberikan kemampuan untuk menyadari apa yang

realitas dengan apa yang ada dalam tayangan film.

3. Sensor Film Masa Peralihan (1945-1950)

Periode 1945-1950 ditandai sebagai era perjuangan kemerdekaan.

Dalam era perjuangan ini, republic Indonesia yang diproklamasikan

tanggal 17 Agustus 1945 dan semua berpusat di Batavia (Jakarta),

kemudian karena situasi pergolakan politik militer akhirnya “hijrah”


88

ke Yogyakarta. Sementara itu, di berbagai kawasan tanah air lainnya,

muncul negara-negara boneka Belanda, seperti Negara Pasundan di

Jawa Timur, Negara Sumatra Timur di Sumatra, Negara Indonesia

Timur di kawasan Timur Indonesia dan lainnya yang tergabung

dalam BFO. Republik Indonesia “terisolasi” di Yogyakarta. Namun

tetap eksis sebagai negara yang berdaulat. Bagaimana keadaan

perfilman dan perbioskopan pada saat itu?

1. Di Daerah Republik

Dalam masa perjuangan yang dikuasai Pemerintah

Republik Indonesia, film dianggap unsur penting sebagai alat

perjuangan. Dalam cabinet parementer pertama yang dibentuk oleh

Pemerintah Indonesia, terdapat dua bidang dalam susunan cabinet

yang dijabat oleh satu menteri (Amir Sjariefuddin), yaitu

Kementrian Keamanan Rakyat dan Departemen Penerangan.96

Adapun Departemen Penerangan bertugas mengekspresikan

propaganda yang membangkitkan semangat kebangsaan melalui

slogan media penerangan dan penyuluhan rakyat, sedang

Kementrian Keamanan Rakyat memberikan pelatihan tehnis dan

fisik kepada pemuda yang ingin turut mempertahankan

kemerdekaan dalam bentuk latihan kemiliteran.

Betapa pentingnya film menurut pandangan para pemimpin

bangsa adalah kenyataan pada tanggal 10 September 1946

96
M. Sarief Arief , Permasalahan Sensor dan Pertanggungjawaban Etika Produksi hal 99
(Jakarta:BP2N,1997).
89

Pemerintah menetapkan berdirinya Komisi Pemeriksaan Film

(semacam badan sensor film) yang anggotanya terdiri dari: Ali

Sastroamidjojo (ex officio Wakil Menteri); Ki Hajar Dewantara;

Mr. Soebagio; RM Soetarto; Usmar Ismail; Soemardjo; Anjar

Asmara; Djajeng Asmara; dan Rooseno.97

Sebulan setelah Komisi Pemeriksaan Film Pusat terbentuk,

Sri Sultan Hamengku Buwono DC mengumumkan:

5. Membentuk Badan Sensor

6. Kewajiban Badan Sensor ialah:

a. Menyensor segala macam penerbitan, siaran, percetakan,

poster, plakat, semboyan, potret, klise, sandiwara, surat

dengan perantara pos dan kawat, pembicaraan-pembicaraan

dengan perantaraan telpon;

b. Tindakan ini bukan akan melemahkan pada kebebasan

rakyat, melainkan menjaga agar segala sesuatu itu jangan

samapai:

- Menimbulkan salah paham

- Menimbulkan kekacauan

- Menimbulkan provokasi, sebaliknya juga jangan

melembekkan perjuangan bangsa Indonesia untuk

menuntut pengakuan kemerdekaan

97
Haris Jauhari, edt. Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di indonesiahal. 47 Rifa Sri Hastuti
Berjuang di Garis Belakang, 1942-1949 (Jakarta, Gramedia-DFN,1992).
90

- Segala sesuatu itu berdasarkan nasionalisis dan

bertujuan membantu berdirinya Republik Indonesia.

7. Susunan Badan Sensor

a. Ketua

Ali Sastroamidjojo (ex officio mewakili Menteri

Penerangan)

b. Anggota

- Wk. Kesultanan

- Wk. Pakualaman

- Wk. KNIDaerah Yogyakarta

- Wk. Kepolisian RI Daerah Yogyakarta

- Wk. Kantor Polisi Kota

- Wk. BKR

- Wk. BPU

- Wk. Wartawan (Pers)

- Wk. Beritawan (Radio)

- Wk. Kantor pos, telpon, telegrap

- Wk. POSI (Pengusaha Oesaha Sandiwara Indonesia)

- Wk. Peredaran Film Indonesia

- Wk. Kantor Telpon

- Wk. Kantor Telegrap

8. Hal-hal yang disensor harus dibikin rangkap dua

9. Maklumat ini berlaku sejak diumumkan


91

Keterangan:

Badan Sensor berkantor di Gedung Nasional

Urgensi pembentukan Badan Sensor gaya Yogyakarta bersifat

umum dan lebih menitik-beratkan masalah keamanan dan

ketertiban secara umum. Sedang tujuan berdirinya Komisi

Pemeriksa Film karena pemerintah film sebagai alat politik yang

harus dipelihara dengan baik agar jangan bertentanngan dengan

paham rakyat (catatan: mungkin yang dimaksud adalah selera atau

citarasa rakyat), maka komisi pemeriksaan film ini berusaha agar

film yang dipertontonkan itu harus bersifat mendidik, di samping

menghibur.

Bagaimana klasifikasi menghibur maupun nilai-nilai yang

mendidik itu tidak jelas dirumuskan, karena ketika itu pemerintah

RI sedang dihadapkan pada 3 masalah besar.

1. Berupaya dengan keras menjalin hubungan diplomatic yang

baik dengan negara-negara yang sudah menjadi anggota PBB

dalam rangka mengupayakan dukungan politik dari forum

internasional.

2. Masuknya tentara NICA membonceng Pasukan Sekutu ke

wilayah RI.

3. Upaya menangkis serangan fisik dari/kekuatan militer

(NICA), juga menghadapi ketidak-puasan dari dalam tubuh

diri sendiri, yaitu ulah dari beberapa pemimpin yang kemudian


92

berkembang menjadi gerakan separatis. Misalnya Penculikan

Syahril, Pemberontakan PKI Muso, dan sebagainya.

Hal lain yang menyebabkan lunaknya sikap Panitia Pemeriksa

Film adalah pasca Perjanjian Linggarjati mengalami perubahan

besar-besaran. Antara lain ditetapkan Garis Imaginer Van Mook

sebagai garis batas kekuasaan NICA dan negara-negara

bonekanya republic Indonesia. Penetapan ini membuat

pengelompokan daerah potensial sumber daya alam dan sumber

ddaya manusia berada di tangan NICA, lewat negara-negara

boneka bentukannya. Sebaliknya daerah yang dikuasai oleh

Republik merupakan urat nadi perhubungan yang bias

menghambat dan menghalangi transportasi dan komunikasi antar

daerah yang dikuasai oleh NICA. Kebutuhan untuk saling

menenggang rasa terasa sekali menentukan keamanan dan

kelangsungan pasokan kebutuhan yang saling berbeda tetapi

sama-sama pentingnya bagi kedua belah pihak. Padahal kedua

belah pihak sedang bersaing ketat untuk merebut simpati dan

kepercayaan masyarakat umum.

2. Anomali di Dua Daerah Pemerintahan

Waktu itu ada satu kenyataan yang muncul, yaitu pameo

“Barang siapa yang berhasil merebut hati rakyat, dialah yang

menguasai pikiran rakyat.” Sedang kondisi objektif masa itu masa

itu rakyat dihadapkan pada dua pilihan yang serba sulit.


93

1. Kembali menerima kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda

yang pada masa yang lalu membuktikan kemampuannya

memakmurkan rakyat meskipun menindas hati nuraninya

dimana para pewaris bumi Pertiwi ini justru dianggap sebagai

masyarakat kelas III

2. Berpihak kepada kemerdekaan Indonesia yang mengangkat

martabat dan harga diri bangsa, tetapi dalam kenyataannya

justru membawa banyak kesengsaraan. Susah hidup, dan

sewaktu-waktu terancam tuduhan sebagai republikeun yang

bias membawanya ke ruang tahanan militer yang terkenal tidak

berprikemanusiaan.

Kedua belah pihak memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing ysng cukup serius. Dan kedua belah pihak harus

mampu merebut hati rakyat melalui cara yang profound lagi

soepel. Kedua belah pihak akhirnya menemukan sasaran yang

sama, yakni melalui diplomasi ‘bioskop’ dan ‘uang’. Bagaimna

itu?

1. Diwilayah kekuasaan Republik tidak dilarang untuk memutar

film impor, dan pihak bioskop boleh melakukan pembayaran

sewa film in natura (Dalam bentuk barang). Dengan demikian

kebutuhan pokok di wilayah NICA seperti beras, sayur-mayur

masih tetap dapat pasokan secara terbatas tetapi pasti.


94

2. Sebaliknya di wilayah kekuasaan NICA dan negara-negara

bonekanya, orang boleh membeli karcis bioskop dengan uang

ORI (Orang Republik Indonesia), bahkan pihak NICA seolah-

olah menutup mata terhadap kenyataan pengumpulan dana

perjuangan secara presentasi dari penjualan karcis bioskop

yang penyetorannya dititipkan melalui kurir yang mengirim

film-film ke daerah Republik.

Kompromi semacam itu sebetulnya mustahil, tetapi nyata. Dan

yang paling aneh, kendatipun tidak ada bukti kesepakatan secara

utentik, tetapi kedua belah pihak pemerintah Republik Indonesia

maupun NICA dan negara-negara bonekanya, sama-sama

mengendurkan kriteria penyensoran demi mencapai tujuan yang

lebih besar. Namun demikian, masih tetap ada batasan yang secara

prinsip dipertahankan oleh kedua belah pihak, yaitu:

1. Di wilayah Republik Indonesia Panitia Pemeriksa Film

menghindari betul pengaruh buruk film terhadap penontonnya

(khusus menyangkut moral dan tata nilai)

2. Di wilayah NICA Film Commissie semata-mata menghindari

segala macam adegan yang dapat membakar semangat rakyat

untuk melawan dengan kekerasan

Ringkasannya, meskipun dalam keadaan yang terseok-seok,

kedua lembaga sensor di dua wilayah kekuasaan RI maupun NICA

dan negara-negara bonekanya tetap menjalankan tugas


95

penyensoran secara bertanggungjawab di satu sisi, dan

melonggarkan bagian-bagian yang tidak dianggap prinsip di sisi

lain. Dalam sikap yang melekat itu, baik Panitia Pemeriksa Film

maupun Film Commissie sama-sama harus menjaga kepentingan

pemerintahan masing-masing.

Kenapa Ordonansi Film 1940 Penting di era 1945-1950? Film

ordonantie No. 507 Tahun 1940 yang ditandatangani oleh

Gubernur Jenderal AWL Tjarda van Starkenborg pada tanggal 25

Oktober 1940 menjadi penting bukan saja karena dialah Gubernur

Jenderal terakhir sebab pada tahun 1942 kekuasaan Pemwrintah

Kolonial Jatuh ke tangan Pemerintah Militer Jepangg, tetapi

Ordonansi Film tahun 1940 itulah yang menjadi cikal bakal

Peraturan Perfilman yang dilakukan Pemerintah Federal bentukan

NICA seperti Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur,

Negara Pasundan, Kalimantan Barat dan lain-lain. Ordonansi Film

tahun 1940 juga dijadikan dasar Peraturan Perfilman Republik

Indonesia Serikat (RIS) tahun 1951, bahkan Penetapan Presiden RI

Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman.

Yang menarik seputar implementasi penyensoran di daerah

Republik dan di daerah yang diduduki Belanda, walaupun

berpegangan kepada Ordonansi Film 1940, Panitia Pemeriksa Film

di wilayah Republik lebih menekankan kepada aspek moral dan

tata nilai.di wilayah yang diduduki Belanda dengan negara-negara


96

bonekannya Film Commissie sangat menghindari film film yang

mengundang semangat rakyat melawan dengan kekerasan. Di

wilayah Republik tidak dilarang memutar film impor. Pihak

bioskop boleh melakukan pembayaran sewa film in natura (dalam

bentuk barang). Dampaknya kebutuhan pokok di wilayah

pendudukan Belanda mendapat pasokan beras, sayur-sayuran dari

film. Sebalinya diwilayah pendudukan, penonton boleh membeli

karcis bioskop yang penyetorannya dititipkan melalui kurir yang

mengirim film film ke wilayah Republik. “kompromi” ini

sebetulnya mustahil tetapi nyata. Kendati tidak ada bukti

“kesepakatan” tetapi kedua belah pihak yang berkuasa sama sama

mengendurkan criteria dan pedoman penyensoran demi mencapai

tujuanyang lebih besar.

4. Sensor Film Masa Panitia Pengawas Film (1950-1966)

Sensor film beralih dari urusan departemen dalam negeri ke

departemen pendidikn, pengajaran dan kebudayaan.

Dari Depdagri ke Dep. PP&K

Apabila pada zaman Kolonial Hindia-Belanda urusan perfilman

berada dilingkungan Kementrian dalam Negeri. Pada awal peralihan

dari Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan

Republik Indonesia, urusan perfilman termasuk penyensoran film

berada dilingkungan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan (PP & K).


97

Siring terbitnya undang-undang No. 23 Tahun 1951 pada tanggal

28 November 1951 peralihan urusan pengawasan film dari

Kementrian Dalam Negeri ke Kementrian PP&K, karena titik berat

urusan itu oleh pemerintah Indonesia diletakan pada hubungannya

dengan soal pendidikan masyarakat seperti isi surat Menteri PP&K

Prof. Bahder Djohan No. 23026 tanggal 15 Juli 1952 yang ditunjuk

kepada Ketua dan para anggota Panitia Pengawas Film yang antara

lain berisi:

“Makin lama makin terasa bahwa untuk kepentingan negara

pada umumnya dan masyarakat sensiri pada khususnya

perlu dan harus pemerintah mengadakan usaha-usaha guna

membimbing dan menyalurkan pertunjukan-pertunjukan

film, sehingga macam hiburan rakyat itu sungguh-sungguh

mendatangkan faedah yang sebaik-baiknya”

Menyusul kemudian Surat Keputusan Menteri PP&K Prof. Bahder

Djhoan No.40439/ tanggal 3 November 1952 yang menginstruksikan

kepada Panitia Pengawas Film untuk menambah ketentuan Film

Ordonantie 1940 dengan melarang isi film:

1. Bersifat menganjurkan perang;

2. Mendatangkan pengaruh buruk bagi kesusilaan dan nilai

prajurit;

3. Melanggar codex pewira (asas kesatriaan);

4. Memperlihatkan usaha untuk merobohkan pemerintah sendiri;


98

5. Memperlihatkan bahwa sesuatu tujuan dan maksud baik

maupun buruk dapat dicapai dengan memakai kekerasan yang

menggunakan senjata secara berlebihan dan berulang-ulang.

Menteri PP&K Prof. Bahder Djohan segera pula me-reshuffle

susunan anggota Panitia Pengawas Film dengan menempatkan

banyak eksponen pendidikan, kebudayaan, agama dan wanita dalam

susunan Panitia Pengawas Film. Bahkan Ketua Panitia Pengawas

ditunjuk seorang wanita, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso.

Prof. Bahder Djhoan film juga memasukkan unsur minoritas dalam

Panitia Pengawas Film yaitu wakil dari keturunan Arb, Cina dan

Belanda. Susunan Panitia Pengawas Film yang anggotanya sebanyak

30 (tiga puluh) orang, terdiri dari perwakilan antara lain:

1. Kementrian dalam negeri 1 orang

2. Kementrian Luar Negeri 1 orang

3. Kementtrian Sosial 1 orang

4. Kementrian Penerangan 1 orang

5. Kementrian Pertahanan 2 orang

6. Kementrian PP & K 4 orang

7. Kejaksaan Agung 1 orang

8. Jawatan Kepolisian 1 orang

9. Pemda DKI Jakarta 1 orang

10. Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional 2 orang

11. Golongan Minoritas 3 orang


99

12. Golongan Wanita 3 orang

13. Golongan Agama 3 orang

14. Yang ditunjuk Menteri 3 orang

Jumlah Anggota PPF 30 orang

Adapun syarat-syarat keanggotaan Panitia Pengawas Film

1. Mempunyai perasaan tanggungjawab yang besar terhadap

pendapat dan tindakan sensiri;

2. Mempunyai pandangan yang luas dalam arti kata objektif,

logis, teliti, dan “zakelyk”;

3. Cukup mempunyai pengetahuan umum tentang keadaan di

dalam maupun di luar negeri;

4. Cukup paham bahasa Inggris untuk dapat mengikuti tulisan-

tulisan dan percakapan (dialog) dalam film. Lebih utama apabila

ada pengertian juga tentang bahasa Prancis dan Jerman.

5. Cukup kesempatan/waktu untuk mengunjungi pemeriksaan

pada siang maupun petang hari.

Badan Sensor Film di Tengah Badai dan Goncang Politik.

Semenjak tahun 1951 Mr. Maria Ulfah Santoso seorang figur

Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipercaya oleh Presiden Soekarno

menjadi Ketua Badan Sensor Film yang pada waktu itu bernama

Panitia Pengawas Film. Maria Ulfah juga punya jabatan stategis

yaitu Sekretaris Perdana Menteri RI.


100

Pada tahun 1955 Pemilu Pertama diselenggarakan yang

hasilnya memerosotkan PSI dan melonjaknya Partai Komunis

Indonesia (PKI). Tentu saja hal ini mempengaruhi kedudukan Maria

Ulfah sebagai Ketua Panitia Pengawas Film atau BSF dan sebagai

Sekretaris Perdana Menteri, walaupun pada tahun 1961 Lembaga

Kebudayaan Rakyat (LEKRA) mantel PKI berhasil “menggoyang

dan menurunkan “figure sosialis” ini dari jabatan Ketua Badan

Sensor Film dan digantikan oleh Ny. Utami Suryadharma, istri

Panglima Angkatan Udara RI yang pro LEKRA. Refleksi gonjang

ganjing politik inni pasca pemilu 1955 yang berlanjut dengan

peristiwa PRRI PERMESTA, Dekrit Presiden RI dan Politik

NASAKOM “menimpa” pula dunia perfilman termasuk Badan

Sensor Film. Nasakomisasi BSF sayangnya tidak berimbang antar

nasionalis, agamawan dan komunis. Agamawan yang duduk sebagai

anggota BSF bukan figure radikal-revolusionar dan kebanyakan

diantaranya perempuan, seperti Ny. Arudji Kartawinata yang

mewakili PSII, Ny. Tuty Harahap mewakili Parkindo, Ny. Hasbullah

mewakili NU. Di lain pihak figur-figur radikal revolusioner dari

Nasionalis seperti Sitor Situmorang “bermitra” dengan figure-figur

LEKRA dan ormas-ormas mantel PKI lainnya sepeti Yubaar Ayub,

Buyung Saleh, Henk Ngantung (LEKRA), Fransisca Suprijo

(Gerwani), Anwar Nasution (Pemuda rakyat) “mendominasi”

putusan putusan yang dibuat oleh BSF.


101

Angota-anggota BSF yang tidak sepaham dengan mereka

dicap “manikebuist” yang dianggap antek antek imperialis Amerika.

Mungkin karena jasa jasa beliau kepada Republik semenjak

perjuangan kemerdekaan Pemerintah masih mempertahankan Ny.

Maria Ulfah Santoso sebagai Ketua BSF walaupun terjungkal juga

pada tahun 1961 oleh goyangan Lekra mantel PKI, LKN mantel PNI,

Lesbi Mantel Partindo. Nasakomisasi di BSF seperti yang

diharapkan Presiden Sukarno tidak terwujud. Apalagi setelah Ny.

Utami Suryadharma menjadi Ketua BSF. Beliau juga menjadi Ketua

Panitia Aksi Penggayangan Film Imperialis Amerika Serikat

(PAPFIAS) Pada zaman BSF dipimpin Utami Suryadharma selain

mempersulit lulusannya film Amerika, juga film-film nasional

sendiri. Film PAGAR KAWAT BERDURI karya Asrul Sani yang

diangkat dari novel Trisno Juwono setelah melalui proses panjang di

BSF baru pada akhirnya diluluskan setelah ditonton oleh Presiden

Soekarno sendiri.

Film Anak Perawan Di Sarang Penyamun yang diangkat dari

novel Sutan Takdir Alisyahbana oleh Usmar Ismail pada mulanya

hamper terjangkal di BSF oleh anggota-anggota LEKRA, LKN dan

LESBI karena Sultan Tkdir Alisyahbana antek PKI yang dianggap

“penghianat” bangsa karena hengkang ke Malaysia. Begitu juga film

Asrul Sanio dan Usmar Ismail yang bertema agama Tauhid

mendapat kesulitan di BSF.


102

Maria Ulfah Santoso

Lahir : Serang, 18 Agustus 1911

Wafat : Jakarta, 15 April 1988

Nasakomisasi Sensor Film dan Dominasi Lekra/ PKI

Politik kekuasaan Presiden Soekarno pertengahan tahun enam

puluhan terkenal dengan akronim NASAKOM yaitu mempersatukan

kekuatan agama, nasional dan komunis. Hal ini tercermin dalam

komposisi nasional yang dia bentuk dan beruntut kacang sampai ke

instutusi sensor film.


103

Diangkatnya anggota Badan Sensor Film (BSF) seperti

buyung Saleh, Basuki Resabowo bersama Sitor Situmeang dan Henk

Ngantung dedengkot Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan

Fransisca Suprijo (GERWANI), Anwar Nasution (Pemuda Rakyat

yang semuanya berafilisasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) serta

Ny. Arudji Kartawinata (PSII), Ny. Tuti Harahap (PARKINDO), Ny.

B. Kwari (Katholik), Ny. Hasbullah (NU), D. Sousissa (Protestan)

yang semuanya tokoh-tokoh agama, serta Suwardi (Pemuda

Demokrat), Trisno Sumardji (BMKN), Sitor Situmorang (LKN) yang

nasionalis mereflesikan NASKOM merambah pulake institusi sensor

film.

Beralihnya pimpinan BSF dari Ny. Maria Ulfah Santoso ke

Ny. Utami Suryadharma pada tahun 1961 tidak terlepas dari

“pergulatan” politik di BSF. Siapapun tahu bahwa maria Ulfa

Santoso adalah seorang eksponen Partai Sosialis Indonesia (PSI)

yang oleh orang-orang Lekra/PKI harus disingkirkan.

Merosotnya hasil pemilu 1955 bagi MASYUMI dan PSI

merupakan kemenangan bagi PKI berakibat mulai tersingkirnya

orang-orang Masyumidan PSI dan institusi pemerintah termasuk di

Badan Sensor Film. Kubu LEKRA (mantel PKI), LKN (mantel

PNI/ASU) dan LESRI (mantel PARTINDO) dengan eksponen-

eksponennya seperti Buyung Saleh, Henk Ngantuk, Basuki

Resabowo, Situr Situmorang yang “offensife revolutioner”


104

berhadapan dengan figure-figur BSF yang relative “tenggang rasa

akomodatif”, dan perempuan seperti Ny. Kartini Kartaradjasa, Ny.

Arudji Kartawinata, Ny. Hasbullah, Ny. Tuti Harahap dll.

Apalagi setelah Ketua BSF dijabat oleh Ny. Utami

Suryadharma yang ingin menjabat sebagai Ketua Panitia Aksi

Penggayangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS).

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 “memberi ingin” kepada kubu

“offensive revolutioner” untuk melaksanakan gagasan

“menghantam” kubu bersebrangan dengan amanat Nasakomisasi

Soekarno seolah-olah tidak terlaksana di dunia perfilman karena

poros komunis dan nasionalis yang perkasa dengan sengaja

MANIPOL.

Ny. Utami Suryadharma yang mengetahui BSF memegang

peranan penting untuk mempersulit lulusnya film-film yang dibuat

oleh musuh politik mereka. Seperti halnya pada film Pager Kawat

Berduri karya Asrul Sani yang diangkat dari novel Trisno Juwono

yang setelah melalui proses panjang di BSF dan akhirnya diluluskan,

setelah beberapa hari diadakan pertunjukan perdana.

Serangan-serangan terhadap tokoh-tokoh perfilman Usmar

Ismail dan Djamaluddin Malik (NU) yang dituduh antek CIA kaki

tangan AMPAI dan manikebuis mewarnai dunia perfilman dewasa

itu. Semenjak Ny. Utami Suryadharma menjadi Ketua BSF, sosok ini

menjadi pusat segala kegiatan LEKRA di bidang perfilman.


105

Anggota-anggota BSF yang dari NU dan PSII kalah dominan

menghadapi orang-orang LEKRA/PKI dan PNI-ASU sehingga

nasakomisasi yang diinginkan Soekarno sulit terwujud di dunia

perfilman Indonesia dan di BSF.

Apalagi ketika Festival Film Asia Afrika diselenggarakan di

Jakarta yang didominasi oleh tokoh-tokoh LEKRA/PKI seperti

Bachtiar Siagian, H.R. Bandaharo, Yubaar Ayub dan tokoh-tokoh

LKN/PNI seperti Amin Jusuf, Bagin, Sitor Sitomorang berhasil

menyingkirkan tokoh-tokoh NU di bidang perfilman seperti Usmar

Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani.

Usaha-usaha Ruslan Abdul Ghani yang waktu itu menjadi

Menteri penerangan untuk mengawal keharmonisan NASAKOM di

khasanah perfilman Indonesia sesuai harapan Soekarno digilas oleh

dominasi PKI dan PNI-ASU yang menerapkan motto “politik adalah

panglima”. LEKRA/PKI membentuk sebuah institusi yang mereka

sebut Panitia Aksi Pemboikatan Film Imperialis Amerika Serikat

(PAPFIAS) dan merangkul Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

dan Lembaga Seminar Budayawan Indonesia (LESBI) serta mantel-

mantel PKI seperti SOBSI, GERWANI dan Pemuda Rakyat.

Pada tanggal 31 Oktober 1964 PAFIAS menyelenggarakan

musyawarah besar/mubes dipimpin oleh Ny. Utami Suryadharma

yang masih menjabat Ketua BSF. Dalam pidato pembukaan mubes,

Ny. Utami Suryadharma menyatakan “perjuangan PAPFIAS adalah


106

melawan imperialis AS yang memperluas daerah operasi armada ke-

7 di Samudera Indonesia, termasuk operasi dibidang perfilman. Kita

harus menggayang antek-antek imperialis di bidang budaya,

menggayang Manikebuis dan menegakan NASAKOM di bidang

perfilman. Mubes menghasilkan Presiden PAPFIAS yang terdiri

antara lain Ny. Utami Suryadharma, Yubaar Ayub, Sitor Situmorang,

Bachtiar Siagian.

Pada tanggal 14 Maret 1963, surat kabar PARTINDO

“Bintang Timur” mengankat artikel berjudul “Kita Minta Perhatian

Serius Bung Karno Terhadap Film Pager Kawat Berduri” dalam

artikel tersebut diantaranya berbunyi:

“Hasil kerja Asrul Sani mempertegas watak tanggapannya

terhadap revolusi Indonesia. Betapa jelas prinsip

“humanism-universal” nya Asrul Sani yang pada akhirnya

meletakan tokohKoenen (tokoh tentara Belanda) ini paling

atas dan menjadikannya seorang “pahlawan

kemanusiaan” karena pada akhir cerita Konen bunuh diri

sebab kegagalan usahanya. Dengan prinsipp “hmanisme-

universal” nya Asrul Sani mengebiri patriotism dan

heroism perjuangan-perjuangan revolusi”

Koran sore berhaluan kiri “Warta Bhakti” melancarkan

serangan terhadap karya Asrul Sani. Diantara artikelnya berbunyi:


107

“Dalam film Pagar Kawat Berduri adalah antek imperialis

dan kolonialis harus dinilai kendati supaya tidak terlanjur

banyak yang merasa terhina”

Namun setelah ditonton dan dinilai oleh Presiden Soekarno

sendiri, pada tanggal 5 April 1963, film Kawat Berduri boleh beredar

tanpa perubahan (resensor) namun kelompok Offensive-Revolutioner

ini tidak pernah mundur. Ketika PERFINE dengan produser Usmar

Ismail meluncurkan film Anak Perawan di Sarang Penyamun” yang

diangkat dari novel Sastrawan Pujangga Baru, Sutan Takdir

Alisyahbana, kembali serangan dilakukan terhadap Umar Ismail.

Sutan Takdir, yang anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) dijadikan

alasan oleh PKI bahwa film tersebut membelok dari garis revolusi.

Harian Warta Bhakti berkomentar:

“Justru pada saat kita sedang berkonfrontasi terhadap

proyek neokolonialisme Malaysia seperti sekarang ini, kita

tidak bisa mentolerir orang-orang seperti Takdir

(maksudnya Sutan Takdir Alisyahbana) yang jelas sudah

berada di pihak “sana” untuk menghianati perjuangan

bangsanya. Oleh karena itu sejalan dengan garis perjuangan

bangsa Indonesia, kita harus berani menerangi musuh-

musuh revolusi seperti Takdir yang kini berdiri

bertentangan dengan perjuangan kita. Alternative tidak ada,


108

selain menghapuskan namanya dari credit title dan

merubah sama sekali judulnya”.

Menghindari pelarangan filmnya oleh BSF akhirnya Usmar

Ismail “terpaksa” setuju menghapus nama Sutan Ali Syahbana dalam

film Anak Perawan di Sarang Penyamun meskipun judulnya tidak

berubah. Keputusan Usmar itu menjadi makanan empuk bagi musuh-

musuh politiknya seperti yang ditulis oleh koran berhaluan kiri

Warta Bhakti.

“Inilah baru kejadian yang sangat menarik buat kita, bahwa

suatu hasil sastra hendak diregutkan dari karya

pengarangnya. Atau dengan kita dari “lawan dengan lawan,

uang soal lain”. Dan dengan berbuat demikian Usmar sudah

merasa beramal kepada revolusi”

Film tersebut, yang antara lain dibintangi oleh Bambang Hermanto,

akhirnya dilarang untuk diedarkan, sedihnya pula film tersebut juga

tidak bisa beredar setelah Gestapu, lantaran salah seorang pemainnya

Bambang Hermanto, seorang PKI yang dikenal pernah aktif dalam

kegiatan PAPFIAS.

Amerika Serikat Versus Sensor Film di Indonesia

Pengaruh film Hollywood terhadap ordonansi film

Ketika film mempertunjukan pertama kalinya kepada politik

di Batavia (Jakarta) pada tahun 1900 sampai tahun 1916, para

penonton hanya terdiri dari kalangan elit, yaitu orang orang Eropa,
109

pengusaha Cina, inlander (pribumi) yang berduit, para priyai dan

ningrat.

Menjelang tahun 1916 arus penonton film mulai meluas

sampai ke lapisan masyarakat mayoritas. Hal ini terjadi disebabkan

jumlah film semakin banyak dan harga tiket masuk gedung bioskop

yang relative semakin “murah”. Apabila pada tahun 1990 tarif tket

masuk kelas satu seharga dua gulden, kelas dua seharga satu gulden

dan kelas tiga seharga lima puluh sen, maka pada tahun 1916 turun

menjadi rata-rata separuhnya.

Film-film yang dipertontonkan sebagian besar adalah produksi

Hollywood, yang mempertontonkan nilai-nilai negative orang kulit

putih, seperti adegan mabok-mabokan, seks diluar nikahh, hokum

gantung pada pengadilan, tembak menembak antar mandit dll.

Semua itu mencerminkan citra buruk orang kulit putih dimasa

penonton pribumi.

Pemerintah Hindia Belanda mencemaskan hal isi seiring

dimulainya era kebangkitan nasional tahun 1908. Karena itulah salah

satu penyebab Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi

Bioskop tahun 1916 yang melahirkan Komisi Film yang menyensor

setiap film sebelum diputar di gedung bioskop. Namun ordonansi ini

belum menyurutkan daya Tarik film-film Amerika bagi penonton-

penonton pribumi. Film-film Holywood seperti The Great Train

Robbery, yang menampilkan adegan kekerasan dan seks beraliran


110

genre merupakan film-film yang mendominasi khazanah perfilman

di Indonesia.

Ordonansi film 1916 lewat Komisi Senior Film seakan akan

tidak mampu menghadapi tekanan Konsul Amerika Serikat di

Batavia. Karena Konsulat Amerika Serikat tidak ada di kota Medan,

Surabaya dan semarang sedangkan Komisi Sensor Film ada di ketiga

kota tersebut yang selalu dengan ketat “menggergaji” film-film

keluaran Amerika, maka konsul Amerika Serikat di Batavia tentu

saja berusaha agar Komisi Film di Medan, Semarang dan Surabaya

dibubarkan. Usaha konsulat Amerika di Batavia ini baru berhasil pda

tanggal 1 Januari 1926 bersam adengan terbitnya Ordonansi Film

tahun 1925.

Komisi film yang diamanatkan Ordonansi Film 1916 bersifat

regional (desentralisasi) mulai tahun 1926 berobah menjadi bersifat

sentralisasi. Pengaruh Konsulat Amerika Serikat terhadap

“kebijakan” tata edar dan penyensoran film terlihat ketika para

importir film dan para pengusaha bioskop “mendekati” Konsul

Amerika di Batavia demi kepentingan bisnis mereka.

Pada hakekatnya para importir fil dan pengusaha bioskop ini

“tidak senang” film-film mereka “dikerjain” oleh Komisi Film.

Misalnya pada film Madam Dummary yang dikenal penuh

“suspence” dengan menampilkan adegan hokum gantung menjadi

tidak “tegang” lagi karena adegan itu digunting sensor Komisi Film.
111

Adanya pemotongan film oleh Komisi Film dan adanya sanksi

hokum terhadap pelanggaran terhadap keputusan Komisi Film

merupakan salah satu cara Pemerintah Hindia Belanda untuk

menghambat arus film-film Amerika yang beraliran genre. Cara ini

dilakukan oleh Pemerintah Kolonial karena system kuota sulit

dilakukan. Kesulitan membatasi arus film Hollywood disebabkan

beberapa hal.

Pertama adalah dominannya film produksi Amerika di Hindia

Belanda. Kedua, belum adanya negara pilihan lain yang dapat

mengimbangi film produksi Hollywood. Ketiga, dalam skala

perfilman internasional pada waktu itu hanya Amerika Serikat yang

memegang kendali dunia perfilman sejagad. Pabrik-pabrik produksi

film, pemain-pemain film yang mampu memerankan adegan saja

menurut kemauan scenario dan luasnya jaringan komunikasi yang

memberikan perkembangan film-film produksi mereka sertta

kuatnya modal yang ditanam di bidang perfilman, semuanya

ditangan Amerika Serikat. (M. Syarif Alif : Politik Film di Hindia

Belanda. Universal News, 1 Agustus 1924)

Konsul Amerika Versus Komisi Sensor Film

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar film film

“bermasalah” yang beredar (rata-rata 12%) adalah produksi

Hollywood. Karenanya kinerja Komisi Sensor Film yang dianggap

semena-mena memotong film tidak disenangi oleh Konsultan


112

Amerika Serikat di Batavia, para importir film dan penggusaha

bioskop. Para importir film Amerika bergabung dalam suatu ikatan

yang bernama Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI)

yang merupakan perwakilan Motion Picture Exsport Association

(MPEAI) yang berdomisili di New York, terdiri dari 10 pengusaha

film Amerika. Yaitu:

Allied Artists, Columbia Picture, Metro Goldwyn Mayer,

Paramount Picture, Republic Picture, RKO Radio Picture, 20TH

Century Fox, United Artists, Universal International, Wamer

Brothers.

Dampak pertemuan 24 Maret 1924

Pada tanggal 24 Maret 1924 para importir film dan pengusaha

bioskop mengadakan pertemuan di Batavia. Konsultan Amerikat di

Batavia berperan dalam pertemuan ini. Tujuannya untuk bersama-

sama mengkritisi kinerja Komisi Sensor Film. Lewat Konsul

Amerika mereka “menekan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda

dengan 10 usulan untuk “memperbaiki” kinerja Komisi Sensor Film

sesuai keinginan mereka, antara lain:

1. Menurunkan biaya sensor film dari 10 gulden menjadi 5

gulden dan 3 gulden bagi film yang tidak lulus sensor.

2. Pajak impor yang dibayar tidak dikembalikan bagi film-film

yang dinyatakan tidak lulus sensor.


113

3. Waktu Komisi Sensor Film menyensor sebuah film

maksimum 14 hari.

4. Sebuah Komisi Sensor Film menetapkan sebuah film tidak

lulus sensor wajib diadakan perundingann dengan importir

film.

5. Setiap copy film harus diperiksa secara bersama-sama oleh

anggota komisi.

6. Harus dicari cara baru dalam memeriksa ulang sebuah film

yang hilang surat izinnya.

7. Anggota komisi harus bekerja penuh waktu (fulltime) dan

bergaji tetap. Penyensoran harus dilakukan di sebuah gedung

yang disediakan. Film yang akan di sensor wajib

diasuransikan.

8. Sebuah dewan di bentuk yang dapat mengajukan permintaan

naik banding atas keputusan Komisi Sensor Film.

9. Dewan yang dibentuk terdiri dari 5 orang anggota yang

mewakili importir film, pemilik bioskop, advokat dan 2 orang

yang ditunjuk bukan pegawai Pemerintah.

10. Anggota dewan tidak digaji tetap kecuali honorarium setiap

diadakan siding.

Ke 10 usul yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal lewat

Konsul Amerika Serikat di Batavia ditentang oleh Anggota Wakil

Rakyat (volksraad) dr. schumetzer terutama mengenai hak naik


114

banding pemilik film atas putusan Komisi Sensor Film karena

dianggap melemahkan wibawa Komisi Sensor Film.

Pendapat dr.. schumetzer didukung sepenuhnya oleh Van Der

Vrient yang pada waktu itu menjadi Ketua Komisi Sensor Film

(Universal News, 1 Mei 1924). Namun anggota Volksraad yang

lain yakni Piet de Qoeljoe membela pihak pengusul dan mengecam

cara kerja ketua dan 11 orang anggota Komisi Sensor Film lala itu

yang dinilainya sangat otoriter dan subyektif dalam menilai sebuah

film sehingga dinggap merugikan pemilik film.

“Intervensi” Amerika Serikat terhadap Sensor Film di Era

kemerdekaan

“Intervensi” Amerika Serikat terhadap Komisi Sensor Film di

zaman penjajahan, berlanjut pada zaman kemerdekaan. Tidak

kurang Wakil Presiden Motion Picture Association of Amerika,

Jhon C. McCarthy pada tanggal 10 Oktober 1952 menulis surat

kepada Presiden Sukarno yang mempermasalahkan kinerja Panitia

Pengawas Film yang ketika itu dipimpin oleh Mrs. Maria Ulfah

Santoso yang dituduhnya tidak simpatik terhadap film-film

produksi Amerika Serikat. Diantara isi surat McCarthy:

“The member companies of this association (MPAA),

reprecenting by par the grater part of this production

industry in United States, have become increasingly

concerned at what they tern the severity of the Indonesian


115

Concorship of Motion Pictures. They have asked me to

intercede at highest possible official level with a request for

a more sympathentic cencorship of our motion pictures.

They have pointed out the growing number of adverse

cencorship decicions affecting film not onli is frustrating to

their efforts to meet all reasonable cencorship demands,

but is injuring the foreighn prestige of the quality of

Amerikan Production”

Tentu saja “Intervesal” MPAA terhadap kinerja Badan Sensor

Film yang waktu itu masih bernomenklatur Panitia Pengawas Film,

tidak dapat diterima oleh Mr. Maria Ulfah Santoso selaku Ketua

Panitia Pengawas Film pada tanggal 31 Oktober 1952 menyurati

Direktur Kabinet Presiden. Diantara isi surat Mrs. Maria Ulfah

Santoso menyatakan:

“Panitia Pengawas Filmm (PPF) selalu mengambil

putusan berdasarkan politik bebas Negara Republik

Indonesia dengan tidak melupakan keadaan keadaan dalam

negeri. Panitia Pengawas Film tidak melihat dari Negara

mana Film-film itu datang. Pendek kata PPF tidak

mendatangkan diskriminasi dalam melakukan

kewajibannya.

Ketegasan Mrs. Maria Ulfah Santoso selaku Ketua PPF adalah

pencerminan kondisi Panitia Pengawas Film dewasa itu yang tidak


116

dipengaruhi oleh “intervensi” dari manapun datangnya termasuk

dari negara adikuasa Amerika Serikat.

5. Sensor Film Masa Badan Sensor Film (1966-1992)

Sensor Film di Zaman Orde Baru

Setelah dunia film dan perfilman Indonesia terimbas gonjang-

ganjing politik pada tahun-tahun 1960 sampai tahun 1965, maka

pada awal tumbangnya kekuasaan Presiden Suekarno beralih ke

Presiden Suharto maka diharapkan munculnya fajar baru dalam

dunia perfilman.

Masyarakat mengharapkan agar fungsi dan peran film

dikembalikan kepada khitahnya sebagai produk budaya dan bukan

sebagai produk politik kekuasaan. Pemerintah baru yang

menggantikan Orde Lama berusaha mencari format-format baru

guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada dunia perfilman.

Kebijakan pertama dari Pemerintah adalah diterbitkannya Surat

Keputusan Menteri Penerangan B.M. Diah lewat surat Keputusan

No. 71 tahun 1967 yang mewajibkan semua importir film membeli

saham produksi film nasional seharga Rp.250.000,. untuk setiap film

yang diimport dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1968.

Menyusul kemudian S.K.No.34 tahun 1968 yang memeutuskan

lahirnya Dewan Produksi Perfilman Nasional (DPEN) yang terdiri

dari insan-insan perfilman dan unsur Pemerintah. Namun

permasalahan ternyata belum terpecahkan, sebab film film impor


117

yang masuk ke Indonesia masih sarat dengan adegan seks, kekerasan

yang tidak sesuai dengan norma-norma yang dijunjung tinggi di

Indonesia. Ambil contoh film Maracaibo dan film The Love

Rebellion yang penuh adegan seks dan sadisme.

Kenapa film-film impor itu dibiarkan masuk ke tanah air, tentunya

sangat terkait dengan “hasrat” membangkitkan pertumbuhan film

Indonesia yang dibiayayi oleh kewajiban membeli saham film

nasional yang Rp. 250.000 setiap film impor dimasukkan. Membuka

keran impor lebar ini berdampak negative bagi penonton-penonton

Indonesia karena dijejeli dengan yang tidak sesuai dengan nilai nilai

luhur bangsa Indonesia.

Badan sensor film yang diharapkan sebagai benteng terakhir yang

“bekerja keras” membabat adegan-adegan sadis dan seronok

tersebut. untuk “membantu meringankan” tugas Badan Sensor Film

dalam tahun 1965, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dimana

Direktorat Perfilman Departemen Penerangan diberi tugas

melakukan “pra-sensor”, yaitu “menyaring” terlebih dahulu

menyaring film-film yang akan masuk dan menolak diimpor film-

film yang tema isinya bertentanngan dengan politik Pemerintah.

Film yang bertema seks tidak direkomendasikan oleh Direktorat

Perfilman untuk disensor oleh Badan Sensor Film. Kebijakan ini

menimbulkan protes disana sini yang pada gilirannya mempersulit


118

kerja Badan Sensor Film. Gonjang ganjing ini berakhir setelah

terbitnya Undang-Undang Perfilman No.8 tahun 1992.

Wajah Film Indonesia 1965-1992

Kalua kita teliti kegiatan penyensoran film nasional dalam

kurun1965-1992 tidak begitu banyak adegan-adegan yang digunting

BSF ketimbang film impor, judul-judul film pun pada umumnya

“baik-baik” saja seperti pada tahun 1965 ada 13 film yang diproduksi

dengan judul antara lain: Karma, Langkah Dipersimpangan, Darah

Nelayan, Buruh Pelabuhan, Segenggam Tanah Perbatasan, Dibalik

Cahaya Gemerlapan, Cinta Di Ujung Tahun, dll.

Begitu pula tahun-tahun berikut. Judul film mulai aneh-aneh sejak

tahun 1976 seperti: Ciuman Beracun, Ganasnya Nafsu, Gadis

Panggilan, Inem Pelayan Seksi, Liku-liku Panasnya Cinta, Ranjang

Siang Ranjang Malam, Tragedi Tante Seks, dll. Tahun 1977 film

berjudul Akkibat Pergaulan Bebas heboh dimasyarakat dan media.

Namun ada juga film-film yang menarik seperti Al Kautsar, Badai

Pasti Berlalu, Panggilan Ka’bah, dll.

Dari aspek kuantitatif, banyaknya film-film Indonesia yang

diproduksi cukup menggembirakan, sekalipun dari aspek kualitatif

perbandingan antara film “baik” dengan film “murahan” sangat

jomplang.

Judul-judul film sudah membawa misi “catch eyes”, dibuat

sedemikian rupa sehingga menarik mata orang ketika melihat poster


119

atau balihonya yang dipajang di depan bioskop eyes catcher ini

berlangsung hingga saat ini, sehingga masyarakat terjebak dengan

judul dan bereaksi ke LSF seperti film Menculik Miyabi, Buruan

Cium Gue, Maaf Saya Menghamili Istri Anda, Mas Suka Mas Ukin

Aja, dll.

Badan Sensor Film (Periode 1966-1992)

Berdasarkan Kepmenpen No. 44/SK/M/1968 Tugas Badan Sensor

Film adalah menyensor semua film dari segala jenis dan ukuran yang

akan di pertunjukan di Indonesia dan juga film yang akan diekspor

ke luar Indonesia serta melakukan penyelidikan-penyelidikan tentang

segala sesuatu mengenai film dalamm hubungannya dengan

masyarakat dan bangsa.

Dalam menguji, meneliti/menyensor film berdasarkan criteria

penyensoran dengan dasar: tema, visualisasi dan dialog yang

mengandung unsur-unsur keagamaan, sosial politik, kebudayaan,

kesusilaan, dan keamanan.

Berdasarkan Kepmenpen No. 25/SK/M/1971, Bab II, Pasal 4,

Tugas Badan Sensor Film ialah memeriksa dan menilai semua film

dari segala jenis dan ukuran beserta reklamenya yang hendak

dipertunjukkan di Indonesia atau yang hendak diekspor ke luar

Indonesia. Dalam melaksanakan tugas, BSF berpegang pada :

Ideologi Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPRS

No. XXVII Tahun 1966, Garis Kebijaksanaan Pemerintah dalam hal


120

ini Pedoman Dasar yang digariskan oleh Menteri Penerangan dan

Tata Kerja yang ditetapkan oleh Menteri Penerangan.

Dalam pelaksanaan tugas penyensoran reklame film tersebut, BSF

mengeluarkan Surat No. 788/BSF/71, tanggal 3 Agustus 1971, yang

ditunjukan kepada importir/ pemilik film, meminta agar

menyerahkan alat-alat reklame film yang disensor sesuadah tanggal 1

Agustus 1971 kepada Badan Sensor Film guna pemeriksaan. Untuk

pemeriksaan poster, slide, banners, baliho cukup diserahkan gambar

rencananya (design) berukuran maksimum 18x24 Cm. reklame-

reklame yang disetujui oleh Badan Sensor Film akan dibubuhi cap

Badan Sensor Film.

Berdasarkan Kepmenpen No. 58/B/Kep/Menpen/1973

tanggal 27 Juni 1973, Badan Sensor Film ditetapkan sebagai Badan

Penyensoran Pemerintah atas film yang diedarkan/dipertunjukan


121

kepada umum di wilayah Indonesia maupun yang akan diekspor.

Untuk itu Badan Sensor Film mengusahakan agar film sesuai dengan

falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar

Haluan Negara, ketentuan perundang-undangan yang ada,

kebijaksanaan pemerintah, tata nilai kepribadian bangsa dan

kepentingan nasional.

Dalam pelaksanaan penyensoran film, BSF berpedoman

pada: unsur, tema, keagamaan, sosial budaya, politik, ketertiban

umum, yang ng dalam menerapkannya tidak secara kaku, melainkan

berdasarkan pertimbangan pikiran sehat dan dewasa dengan melihat

kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat selama masih

dalam rangka pembinaan keamanan serta ketertiban yang stabil, dan

dinamis.

Sejalan dengan perkembangan dunia perfilman di Indonesia

berdasarkan Kepmenpen No. 120/Kep/Menpen/1989 tanggal 19 Juli

1989, fungsi BSF dikembangkan menjadi pelindung masyarakat dari

pengaruh buruk yang diakibatkan oleh peredaran dan pertunjukan

serta penyiaran film dan rekaman video beserta seluruh sarana

publikasi dan promosinya. BSF juga menjadi unsur pemandu tata

nilai dan budaya bangsa di bidang perfilman dan pervidioan serta

sebagai mata rantai system pembinaan perfilman dan pervidioan oleh

BSF.
122

Berdasarkan Keppres No. 13 Tahun 1983 tentang

Pembinaan Perekaman Vidio, ditetapkan bahwa video impor

sebelum digunakan, diedarkan, dan disiarkan dinyatakan lulus sensor

oleh BSF.

Berdasarkan Kepmenpren No. 194/Kep/Menpen/1984,

tugas dan fungsi Badan Sensor Film adalah melakukkan penyensoran

film, iklan film atau rekaman video yang akan diedarkan dana tau

dipertunjukkan kepada khalayak umum di Wilayah Republik

Indonesia maupun yang akan diekspor, sesuai dengan falsafah negara

Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan

Negara, ketentuan perundang-undangan yang ada, kebijaksanaan

pemerintah, tata nilai kepribadian bangsa, dan kepentingan nasional

pada umumnya.

Keputusan Direktur Jenderal RTF No.

05/Kep/Dirjen/RTF/1984, menetapkan bahwa setiap rekaman video,

baik berasal dari impor maupun produksi dalam negeri, harus

disensor terlebih dahulu oleh BSF, penyensoran tersebut dilakukan

terhadap gambar,suara dana tau teks.

BSF telah melakukan pembakaran potongan-potongan film

dan kaset video illegal. Di daerah hal tersebut dilakukan oleh Kantor

Wilayah Departemen Penerangan bekerja sama dengan instansi

terkait/unsur Badan Pembina Perfilman Daerah (Bapfida).


123

Pelaksanaan pembakaran film dan rekaman video di tingkat

pusat dikoordinasikan dengan kejaksaan agung RI, Departemen

Penerangan RI, Mabes Kepolisian RI, Polda Metro Jaya, Pemda DKI

Jakarta, dan Kodam V Jaya.

Selama tahun 1973 samapai dengan 1994 telah

dilaksanakan delapan kali pembakaran film dan rekaman video, yaitu

pada tanggal 20 Maret 1984. Di Ancol dilakukan pembakaran

fotongan-fotongan film sepanjang 2.753 km, rekaman kaset video

dari kepolisian sebanyak 53 judul dan sebanyak 213 judul reklame

kaset video dari kejaksaan Agung RI. Pada tanggal 11 November

1988 dilakukan pembakaran film sepanjang 837.436.545 km dan

rekaman video sebanyak 68 judul di Diktat Dinas Kebakaran DKI,

Ciracas. Pada tanggal 25 November 1991, dilakukan pembakaran

film sepanjang 84.231 km dan rekaman video sebanyak 4.127 judul

di Diklat Dinas Kebakaran DKI, Ciracas. Pembakaran ini dihadiri

oleh Menteri Kordinator Politik dan Kementrian, Jasa Agung RI,

Menteri Penerangan dan Kapolri. Pada tanggal 29 September 1994,

dilakukan pembakaran film sepanjang 216.382 km dan rekaman

video sebnyak 243 judul di Diklat Dinas Kebakaran DKI, Ciracas.

Pemerintah, dan

Anggota BSF terdiri atas wakil-wakil intstansi pemerintah,

dan golongan-golongan yang mencerminkan potensi nasional

berporoskan Nasakom termasuk potensi perfilman.


124

Dalam surat keputusan ini telah ditentukan penggolongan

batas usia yaitu film untuk semua umur, 13 tahun ke atas, 17 tahuun

ke atas. Pelaksanaan penyensoran film dilaksanakan oleh kelompok

penyensor yang disebut Panitia Kecil yang terdiri atas lima orang

anggota Penilaian ulang dilakukan oleh siding lengkap (pleno) yang

minimum dihadiri 2/3 jumlah anggota. Penilaia ulang ini diadakan

apabila: panitia kecil tidak mampu mengambil keputusan; Ketua

menganggap perlu; film yang telah ditolak diajukan lagi oleh

pemiliknya.

Berdasarkan Kepmenpen No. 44/SK/M/1968, tanggal 14

Juli 1968 Badan Sensor Film berkedudukan di Jakarta dan bersifat

nasional, beranggotakan tidak lebih dari 25 orang, terdiri atas

seorang ketua, seorang wakil ketua dan 23 orang anggota, dengan

masa jabatan tiga tahun. Seorang sekretaris bukan anggota

menyelenggarakan administrasi badan dengan 24 orang karyawan

dan seorang sekretaris pengganti bukan anggota mengurusi

penyensoran yang diangkat oleh Ketua Badan Sensor Film.

Tata kerja pelaksanaan penyensoran (kriteria penyensoran)

ditetapkan oleh Badan Sensor Film. Kriteria penyensoran ditetapkan

melalui Dewan Pleno Badan Sensor Film pada tanggal 16 September

1968. Pada dasarnya penilaian film dilihat dari segi keagamaan,

sosial politik, sosial budaya, kesusilaan, dan keamanan.


125

Badan Sensor Film dalam menjalankan tugas berdasarkan

peertimbangannya pada pikiran sehat/dewasa dan pandangan

terhadap masyarakat dengan mengutamakan sense of reality dan

sense of proportion.

Dalam keadaan luar biasa, atas dasar pertimbangan bersama

dan ketertiban umum, Jaksa Agung dapat melarang peredaran di

sebagaian atau seluruh Wilayah Negara Indonesia setelah

berkonsultasi dengan Badan Sensor Film. Badan Sensor Film dalam

menyensor film berlandasakan suatu pedoman yang ditentukan

sendiri dan disahkan oleh Menteri Penerangan dengan

memperhatikan ideology negara serta kebijaksanaan pemerintah.

Anggota Badan Sensor Film setiap waktu berhak menghadiri

pemutaran/pertunjukan film di seluruh Wilayah Indonesia tanpa

dipungut biaya.

Berdasarkan Kepmenpen No. 25/Kep/Menpen/1971,

tanggal 22-2-1971, Badan Sensor Film merupakan lembaga tunggal

dibidang penyensoran film, berkedudukan di Ibu Kota Negara RI

(Jakarta), dan bersifat nasional. Badan Sensor Film terdiri atas

seorang ketua dan wakil ketua, 15 orang anggota, dan Sekretariat

Badan Sensor Film dengan masa jabatan anggota BSF dua tahun.

BSF dilengkapi dengan sebuah Badan Penasehat dan

Sebuah Dewan Arbitrase. Ketua BSF menuntut keperluan dapat

mengundang ahli bidang khusus untuk diminta nasihatnya tentang


126

film-film tertentu. Sekretaris sebagai kepala kantor dibantu oleh 24

orang karyawan.

Penyensoran film dilakukan berdasarkan pada ideology

Negara Pancasila, UUD 1945, Tap. MPRS No. XXVII tahun 1966,

dan kebijaksanaan pemerintah.

Anggota Badan Penasehat diangkat oleh Menteri

Penerangan atas usul pimpinan Departemen-departemen dan

golongan-golongan yang bersangkutan. Badan Penasehat bertugas

menampung hasrat masyarakat dan memberi nasihat terhadap film

yang akan diedarkan.

Anggota Dewan Arbitrase diangkat oleh Menteri

Penerangan berfungsi menilai film yang telah ditolak oleh Badan

Sensor Film jika film tersebut memungkinkan untuk diperiksa

kembali.

Sejak tahun 1965 sampai dengan tahun 1973 Pimpinan

Badan Sensor Film disebut Ketua Badan Sensor Film. Berdasarkan

Kepmenpen No. 58/B/Kep/Menpen/1973 tanggal 2 Juli 1973, Badan

Sensor Film mengalami perubahan susunan pimpinan, antara lain:

Ketua Ex Officio dijabat oleh Direktur Jenderal RTF.

Badan Sensor Film dipimpin oleh Ketua Pelaksana dan

wakil Ketua Pelaksana merangkap anggota.

Jumlah Badan Sensor Film berjumlah 20 orang, dengan

masa jabatan tiga tahun dan dapat dipilih kembali.


127

Ketua/Wakil Ketua Pelaksanaan dibantu oleh seorang

Sekretaris yang diangkat diantara anggota tersebut.

Untuk melaksanakan tugas penyensoran, Ketua Pelaksana

dibantu oleh seorang Sekretaris yang diangkat dari para anggota

BSF. Administrasi dilaksanakan oleh sebuah Sekretariat, dipimpin

oleh sekretaris dengan dibantu oleh 28 orang karyawan.

Pada tahun 1984 sebutan pimpinan diganti kembali dengan

sebutan Ketua Pelaksana Harian. Perkembangan teknologi telah

memungkinkan perekaman gambar, tullisan maupun suara diatas pita

magnetic yang disebut video tape dan piringan video yang disebut

video disc dengan segala bentuk dan jenisnya, dapat disiarkan/

dipertunjukan melalui pesawat televisi/pesawat monitor. Pada

hakikatnya video tape dan video disch merupakan media massa yang

tidak ada bedanya dengan film, sehingga dapat membawa dampak/

pengaruh positif maupun negative terhadap pandangan hidup serta

perilaku masyarakat suatu bangsa.

Pengawasan atas dampak perkembangan teknologi di

bidang perfilman menjadi tugas dan tanggungjawab Departemen

Penerangan. Hal ini diperkuat oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal

2,3,4,5, dan Pasal 7 Keputusan Presiden No.13 tahun 1983 tentang

Pembinaan Perekaman Vidio.

Pasal 2 dalam Keputusan Presisen ini menyatakan:


128

Kebijaksanaan pembinaan perekaman video dilakukan dan

dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh Menteri Penerangan.

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini

meliputi kegiatan pengimporan, pengeksporan, perizinan, dan

pengawasan.

Badan Sensor Film telah menyelelaraskan pelaksanaan

tugasnya dengan perkembangan teknologi tersebut. Hal ini tersirat

dalam Kepmenpen No. 189A/Kep/Menpen/1979/ dibagi menjadi

empat kelompok:

Kelompok penyensoran film nasional/Indonesia, yang dianggotai

oleh anggota wakil Departemen Penerangan RI.

Kelompok Penyensor Film- Eropa Amerika, yang diketuai oleh

anggota wakil Departemen Penerangan RI.

Kelompok penyensor film Asia-Mandarin dan Non-Mandarin, yang

diketuai oleh anggota wakil Bakin.

Kelompok penyensor rekaman kaset video, yang diketuai oleh

anggota wakil Kejaksaan Agung.

Cara pengelompokan ini berlaku sampai tanggal 22

Desember 1989. Badan Sensor Film berjumlah 45 orang termasuk

Ketua/Wakil Ketua Pelaksana dan Sekretaris, dengan masa jabatan

dua tahun dan dapat diangkat kembali.

BSF terdiri atas: Ketua merangkap anggota dijabat oleh

Direktur Jenderal RTF; Wakil Ketua I merangkap anggota dijabat


129

oleh Direktur Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan; Wakil Ketua II merangkap anggota dijabat oleh wakil

dari Departemen Penerangan RI; Ketua Pelaksanaan Harian;

Sekretaris; Empat orang Ketua Kelompok; dan Kepala Sekretariat

BSF dibantu oleh 65 orang karyawan.

Film dan rekaman video sebagai media citra bergerak,

merupakan media komunikasi masa dengan pandang (audio visual),

mempunyai potensi yang dapat membawa pengaruhh positif maupun

negatif terhadap pandangan hidup serta kebudayaan suatu bangsa.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah memandang perlu

meninjau kembali surat-surat keputusan Menteri Penerangan No.

03A/Kep/Menpen/1977 tentang pengesahan Prinsip Umum,

Pedoman dan Tata Kerja Badan Sensor Film, serta No.

194/Kep/Menpen/1984 tentang Badan Sensor Fil. Kemudian

diterbitkan Kepmenpen No. 120/Kep/Menpen/1989, tanggal 19 Juli

1989 dengan dua lampirannya masing-masing tentang Pedoman

Penyensoran dan Tata Kerja Badan Sensor Film.

Kepmenpen No. 120/Kep/Menpen/1989 menerangkan

bahwa:

Penyensoran adalah pemeriksaan dan penelitian atas film dan

rekaman video beserta seluruh sarana publikasinya.

Film ialah media komunikasi massa dengar pandang yang

dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan bahan baku celluloid


130

dalam berbagai ukuran yang melalui proses kimiawi dengan atau

tanpa suara dan dapat dibayangkan dengan system projeksi mekanik.

Badan Sensor Film ialah lembaga pemerintahan yang

melaksanakan penyensoran berada dilingkungan Departemen

Penerangan dalam hal ini Ditjen Radio Televisi dan Film, bersifat

nasional dan berkedudukan di Ibu Kota Negara RI.

Badan Sensor Film bertindak sebagai pelindung masyarakat

dari kemungkinan pengaruh buruk yang diakibatkan

pertunjukan/penyiaran film.

Badan Sensor Film menjadi pemandu tata nilai dan budaya

bangsa di perfilman dan pervidioan.

Badan Sensor Film berkedudukan sebagai mata rantai

dalam system pembinaan perfilman.

Badan Sensor film dapat menarik kembali film dari

peredaran bila ternyata melanggar ketentuan penyensoran atau

dipandang merugikan kepentingan nasional.

Susunan kepemimpinan Badan Sensor Film adalah:

Ketua merangkap anggota : Dirjen RTF

Wakil Ketua I merangkap anggota : Dirjen Kebudayaan

Depdikbud

Wakil Ketua II merangkap anggota : Departemen Penerangan

Ketua Pelaksana Harian : Departemen Penerangan

Wakil Ketua Pelaksana Harian : Departemen Kebudayaan


131

dan Penerangan

Sekretaris merangkap anggota : Departemen Penerangan

Jumlah anggota 45 orang terdiri atas berbagai unsur

termasuk Pimpinan Badan Sensor Film, dengan masa jabatan dua

tahun dan dapat diangkat kembali. Kepada secretariat dibantu olehh

70 orang karyawan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Perfilman No.8

tahun 1992, pada tanggal 30 Maret 1992, yang dimuat dalam

Lembaran Negara No. 32, telah dikeluarkan tiga buah Peraturan

Pemerintah, yaitu PP No.6 tahun 1994, tentang Penyelenggaraan

Usaha Perfilman, PP. No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor

Film dan PP No. 8 tahun 1994 tentang Badan Pertimbangan

Perfilman Nasional. Ketiga Peraturan Pemerintah tersebut

dikeluarkan pada tanggal 3 Maret 1994.

Lembaga Sensor Film yang dibentuk berdasarkan PP No. 7

Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film yang dilengkapi dengan

Kepmenpen No. 216/Kep/Menpen/1994, pada garis besarnya tidak

ada perbedaan dengan Badan Sensor Film, antara lain perihal tugas,

fungsi dan wewenang, keanggotaan, tata cara mekanisme kerja serta

sriteria penyensoran.

Lembaga Sensor Film merupakan salah satu mata rantai

dalam system pembinaan perfilman di Indonesia, antara lain ialah:


132

Mengenai organisasi dan keanggotaan ditetapkan bahwa

anggota Lembaga Sensor Film diangkkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Menteri Penerangan untuk masa tugas tiga tahun

dan dapat diangkat kembali untuk periode berikutnya.

Susunan keanggotaan Lembaga Sensor terdiri atas Ketua

merangkap Anggota, wakil ketua merangkap anggota, sekretaris

bukan anggota dan anggota.

Alat kelengkapan Lembaga Sensor Film terdiri atas Sidang

Pleno, Pelaksanaan Harian, Komisi-komisi, Kelompok Penyensor,

dan Sekretariat.

Pelaksanaan Harian Lembaga Sensor Film meliputi ketua

dan wakil ketua, sekretaris (bukan anggota), anggota (dua ketua, dan

dua wakil ketua komisi- A dan B), para Sekretaris komisi, anggota

(dari anggota LSF yang tertua atau yang termuda).

Dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang Badan

Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang tertuang dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1994, BP2N mempunyai

wewenang menerima dan memberikan keputusan atas keberatan

yang diajukan oleh perusahaan pembuat film atau pemilik film

Indonesia yang filmnya ditolak oleh Lembaga Sensor Film.98

6. Sensor Film Masa Lembaga Sensor Film- sampai 2011

98
Disadar dari buku Radio, Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka,
Departemen Penerangan RI, 1995.
133

Ketentuan Umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1992

dinyatakan empat pengertian pokok yang menjadi rujukan semua

peraturan dan ketentuan di bidang perfilman. Keempat pengertian

pokok itu adalah:

1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang mmerupakan

media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita

seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil

penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan

ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses

lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan

dan/atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik,

elektronik, dan/atau lainnya. Penjelasan Angka 1 yang

termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-

dengar (audio-visual) dalam undang-undang ini ialah:

a. yang dibuat dengan baahan baku pita seluloid melalui

proses kimiawi, yang lazim disebut film;

b. yang dibuat dengan bahan vita video atau piringan video

melaluiproses elektronik, yang lazim disebut rekaman

video;

c. yang dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui proses

lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi,


134

dikelompokkan sebagai media komunikasi massa pandang-

dengar;

d. film seluloid adalah film yang dibuat dengan bahan baku

pita seluloid melalui proses kimiawi dan dipertunjukan

kepada khalayak dengan system proyeksi mekanik;

e. rekaman video adalah film yang dibuat dengan bahan pita

video atau piringan video (laser disc/video disc), dan/atau

bahan hasil penemuan teknologi lainnya, melalui proses

elektronik dan ditayangkan kepada khalayak dengan system

elektronik.

2. Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan

pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan

pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film. Penjelasan

Angka 2

f. Pengedaran film adalah kegiatan penyebarluasan film

seluloid dan rekaman video kepada konsumen;

g. Pertunjukan film adalah pemutaran film seluloid, yang

dilakukan melalui proyeknor mekanik dalam gedung

bioskop atau tempat yang diperuntukan bagi pertunjukan

film atau tempat umum lainnya;

h. Penayangan film adalah pemutaran film seluloid dan

rekaman video, yang dilakukan melalui proyektor


135

elektronik dari stasiun pemncar penyiaran dan/atau

perangkat lainnya.

3. Jasa teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau

peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta

usaha pembuatan reklame film. Penjelasan Angka 3

i. Pembuatan film adalah kegiatan membuat film, baik dalam

bentuk film cerita, film non cerita maupun film iklan.

j. Reklame film adalah sarana publikasi dan promosi film

seluloid dalam rekaman video, baik yang berbentuk trailer,

iklan, poster, stillphoto, slide, klise, banner, pamphlet,

brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi

dan promosi lainnya.

4. Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan

reklame film untuk mendapatkan dapat atau tidaknya sebuah

film dipertunjukan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik

secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau

suara tertentu.

Memasuki Era Teknologi Informasi

Satu-satunya yang tidak berubah di bumi ini adalah perubahan itu

sendiri. Begitu juga teknologi dibidang film turut berubah seiring

dengan perkembangan zaman. Film yang sebelumnya hanya dapat

direkam pada pita seluloid melalui kamera mekanik, kini sudah dapat

direkam dengan sangat efektif dan efisien melalui kamera digital


136

pada pita video, bahkan untuk home us sudah dapat direkam pada

video disc. Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah akibat

perubahan yang memdadak tanpa persiapan matang dalam situasi

politik Indonesia 1998-2001, tak terekam lagi masyarakat Indonesia

terjebak pada suasana euphoria. Pada masa yang cukup singkat itu

lebih tumbuh secara berlebihan keinginan untuk hidup bebas tanpa

tanggung jawab. Akibatnya dunia film pun terkontaminasi dengan

semangat itu, lalu produksi film setahap demi setahap berani

menampilkan adegan yang sebetulnya kurang patut. Sampai pada

suatu waktu dimana titik kuluminasi sudah mencapai puncaknya,

masyarakat Indonesia terkejut dan menyadari bahwa banyak

perubahan perlu dilakukan untuk memperbaiki dunia film kita,

khusunya yang berkaitan dengan aspek etika dan moral dalam

membuat dan mempertunjukkan atau menayangkan film untuk

umum. Ada perubahan yang lebih mendasar lagi, kalua dahulu orang

harus datang ke bioskop untuk menonton film, kini film itu yang

mendatangi penonton dimana pun dia berada hanya sekadar dengan

setahun ringan pada remote control pesawat teve. Menghadapi

kenyataan itu, maka visi, misi dan fungsi LSF mau tidak mau harus

diperbaharui untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi

informasi yang begitu pesat kemajuannya.

Informasi Lengkap Tentang Lembaga Sensor Film


137

Tugas penyensoran tidak hanya sekedar memotong atau menghapus

apa-apa yang tidak patut ditonton oleh masyarakat, khususnya

remaja dan anak-anak, tetapi sekaligus membimbing dan mengajak

masyarakat untuk dapat mengembangkan sikap kritis dalam menapis

atau lebih tepat lagi dalam melakukan self censorship. Untuk itu,

melalui situs ini, LSF merasa perlu memberikan informasi selengkap

mungkin tentang Lembaga Sensor Film dalam empat kelompok

informasi sebagai berikut:

1. Payung Hukum Lembaga Sensor Film;

2. Visi dan Misi seta Fungsi, Tugas dan Wewenang Lembaga

Sensor Film;

3. Pedoman dan Kriteria Penyensoran;

4. Organisasi dan Keanggotaan Lembaga Sensor Film.

Tugas pertama LSF adalah secara rutin melakukan penyensoran

dengan hasil:

- Melakukan dengan atau tanpa potongan untuk semua umur,

remaja, dan dewasa untuk menonton bioskop;

- Meluluskan dengan atau tanpa potongan untuk semua umur,

remaja, dan dewasa untuk menonton televise;

- Tidak meluluskan dengan catatan revisi, khusus untuk film

Indonesia;

- Tidak meluluskan secara utuh;


138

- Meluluskan tanpa potongan untuk film keperluan festival film

dengan kategori “Terbatas”

Tugas kedua LSF adalah secara terus menerus wajib menadakan

pemantauan melalui konsultasi dengan pimpinan Majelis Ulama

Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI),

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindudharma

Indonesia, Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) , dan

tokoh-tokoh agama lainnya, serta mengadakan kunjungan kerja ke

daerah dan mengadakan temu wicara dengan berbagai organisasi

sosial kemasyarakatan, LSM dan lain-lain untuk memperoleh

masukan yang berharga.

Tugas ketiga LSF adalah secara periodic menginformasikan kepada

masyarakat mengenai perkembangan tata nilai dan apresiasi

masyarakat terhadap hasil kerja LSF untuk menjadi bahan kajian

serta rumusan tata kerja dan kriteria penyensoran sesuai dengan

perkembangan zaman.

Tugas berikutnya adalah LSF melakukan kegiatan lain yang

dianggap perlu dan bermanfaat bagi perkembanngan perfilman

Indonesia. Itulah inti permasalahan yang dihadapi oleh LSF – yang

pada dasarnya bukan suatu persoalan sederhana yang bediri sendiri –

dan mustahil untuk dapat diselesaikan sendiri oleh LSF, tetapi

merupakan suatu ‘pekerjaan rumah’ bangsa Indonesia yang hanya

dapat diselesaikan secara bertahap dan bersama-sama dengan semua


139

pihak yang merasa terikat. Payung Hukum Lembaga Sensor Film

perangak produk hokum yang menjadi landasan

keberadaan/eksistensi dan kebijakan umumm serta kebijaksanaan

taknik Lembaga Sensor Film (LSF) adalah Undang-Undang No. 8

Tahun 1992 tentang Perfilman, Peraturan Pemerintah Nomor 7

Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor, Peraturan Mentri Kebudayaan

dan Pariwisata PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja

Lembaga Sensor dan Tata Laksana Penyensoran , dan Surat

Keputuusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor

KM.46/OT.001/MKP/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Sekretariat Lembaga Sensor Film. Dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1992 tentang Perfilaman, bab-bab yang menjadi paying

hokum Lembaga Sensor Film adalah Bab II tentang Dasar, Arah dan

Tujuan Penyelenggaraan Perfilman, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,

serta Bab V tentang Sensor Film, yaitu Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34

yang selengkapnya berbunyi: Pasal 2 Penyelenggaraan Perfilaman di

Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945. Pasal 3 sesuai dengan dasar penyelenggaraan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Perfilman Indonesia

diarahkan kepada:

a. Pelestarian dan pengembangan budaya bangsa;

b. Pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta meningkatkan

harkat dan martabat manusia;


140

c. Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;

d. Meningkatkan kecerdasan bangsa;

e. Mengembangkan potensi kreatif di bidang perfilman;

f. Keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan

jenis usaha perfilman;

g. Terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;

h. Penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan

kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam

keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri.

Penjelasan Pasal 3 Arah Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan

wawasan agar perfilman Indonesia dapat tumbuh dan berkembang

secara optimal sesuai dengan fungsinya. Dengan arah tersebut,

perfilman Indonesia dibina dan dikembangkan sehingga terhindar

dari ciri-ciri yang merendahkan nilai budaya, menggangu upaya

pembangunan watak dan kepribadian, memecah kesatuan dan

persatuan bangsa, mengandung unsur pertentangan antara suku,

agama, ras da nasal-usul, ataupun menimbulkan gangguan terhadap

ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya. Dengan arah itu pula,

sebaiknya diupayakan agar potensi nasional di bidang perfilman

dapat berkembang dan maju dalam kerangka keserasian dan

keseimbanngan usaha antar unsur perfilman pada umumnya. Pasal 4


141

perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara dan

mengembangkan budaya bangsa dengan tujuan menunjang

terwujudnya tujuan pembanguunan nasional. Penjelasan pasal 4 Film

sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang penting

bagi pengembangan budaya bangsa; untuk itu, perlu terus dipelihara,

dibina, dan dikembangkan sehingga mampu menjadi salah satu

sarana penunjang pembangunan nasional. Pasal 32 Film

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 23 ayat (1) hanya dapat

dipertunjukan dan/atau ditayangkan untuk masyarakat apabila: a.

telah lulus sensor: b. tidak di pungut bayaran. Penjelasan Pasal 32

untuk dapat dipertunjukan dan/atau ditayangkan bagi masyarakat

Indonesia, di perlukan izin dari departemen yang membimbing

pembinaan perfilman. Apabila pertunjukan dan/atau penayangan di

luar lingkungan perwakilan asing, diperlukan izin keramaian dan

pertunjukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Untuk kejelasan Pasal 32, berikut kutipan Pasal 23

ayat (1): film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan

diplomatic atau badan-badan internasional yang diakui Pemerintah

hanya diperuntukan bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan

dan tidak dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum,

kecuali atas dasar izin.

Pasal 33
142

1. Untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan

perfilman sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan Pasal 4,

setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor,

dipertunjukkan, dan/atau ditayanngkan wajib disensor.

Penjelasan Ayat (1) film dan reklame film yang wajib

disensor dalam ketentuan ini termasuk yang akan

ditayangkan oleh stasiun penyiaran televise. Pengertian

reklame film mencakup film iklan yang mempublikasikan/

mempromosikan barang dan jasa kepada khalayak. Tujuan

sensor film adalah untuk melindungi dari masyarakat dari

kemungkinan dampak negative pertunjukkan dan/atau

penayangan film serta reklame film yang ternyata tidak

sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

2. Penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film:

a. Diluluskan sepenuhnya;

b. Dipotong bagian gambar tertentu;

c. Ditiadakan suara tertentu;

d. Ditolaknya seluruh film,

Untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau

ditayangkan. Penjelasan Ayat (2) Cukup jelas.


143

3. Sensor film dilakukan, baik terhadap film dan reklame film

yang dihasilkan oleh perusahaan pembuatan film maupun

terhadap film impor. Penjelasan Ayat (3) Penyensoran

terhadap film dan reklame film, baik produksi nasional

(termasuk yang akan diekspor) maupun film impor,

diperlakukan dengan pedoman dan kriteria penyensoran

yang sama.

4. Fillm dan reklame film yang telah lulus sensor diberi tanda

lulus sensor oleh lembaga sensor film. Penjelasan Ayat (4)

Tanda Lulus Sensor, baik untuk film produksi nasional

maupun film impor, diberikan dengan cara dan bentuk yang

sama yang akan diatur oleh lembaga sensor film.

5. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga

menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang

bersangkutan. Penjelasan Ayat (5) Penggolongan usia

penonton bagi suatu film dimaksudkan untuk melindungi

masyarakat dari dampak negative dalam rangka pembinaan

keluarga.

6. Film, reklame film, atau potongannya yang ditolak oleh

lembaga sensor film dilarang diedsrksn, diekspor,

dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan, kecuali untuk

kepentingan penelitian dan/atau penegakan hokum.

Penjelasan Ayat (6) Film impor yang ditolak diumumkan di


144

kantor lembaga sensor film. Film nasional yang ditolak di

umumkan. Sebelum film itu ditolak, lembaga sensor film

memberikan kesempatan untuk memperbaiki film tersebut

dan kemudian dapat dijukan kembali untuk disensor.

7. Terhadap film yang ditolak oleh lembaga sensor film,

perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan

keberatan atau pembelaan kepada badan yang berfungsi

memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman.

Penjelasan Ayat (7) pengajuan keberatan atau pembelaan

terhadap film atau reklame film yang ditolak oleh lembaga

sensor film hanya berlaku bagi perusahaan pembuatan film

nasional.

Pasal 34

1. Penyensoran film dan reklame film sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33 dilakukan oleh lembaga sensor film.

Penjelasan ayat (1) Kata sebuah dalam ketentuan ini

diartikan bahwa lembaga sensor merupakan lembaga tunggal

(satu-satunya) yang sifatnya nasional.

2. Penyelenggaraan sensor film dan reklame film dilakukan

berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran. Penjelasan

ayat (2) Pedoman dan kriteria tersebut dimaksudkan selain

untuk obyektivitas penilaian juga agar lembaga sensor

mempunyai pegangan dalam melaksanakan tugasnya.


145

3. Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, dan

fungsi lembaga sensor film, serta pedoman dan kriteria

penyensoran diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah. Penjelasan ayat (3) Lembaga sensor film yang

dibentuk oleh Pemerintah bersifat nonstructural. Susunan

keanggotaannya terdiri dari wakil Pemerintah dan Wakil

masyarakat.

Visi dan Misi serrta Fungsi, Tugas dan Wewenang LSF

Visi LSF adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang

memiliki daya saring informasi untuk mempertahankan tata nilai dan

budaya bangsa. Misi LSF adalah untuk:

1. Melindungi masyarakat dari dampak negative yang

mungkin ditimbulkan oleh peredaran, pertunjukkan

dan/atau penayangan film dan reklame film;

2. Secara arif turut mempersiapkan masyarakat memasuki

era perubahan dengan tetap menghargai nilai moral dan

kultural bangsa; dan

3. Menjembatani keanekaragaman budaya, sehingga tercipta

persepsi yang sama demi kesatuan dan persatuan bangsa.

Fungsi, Tugas dan Wewenang LSF diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film

Bab II: Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6, yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 4
146

1. LSF mempunyai fungsi sebagai berikut

a. Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak

negative yang timbul dalam peredaran, pertunjukan

dan/atau penayangan film dan reklame film yang

tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman

Indonesia;

b. Memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam

bidang perfilman di Indonesia;

c. Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan

reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan

tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pengambilan

kebijaksanaan kea rah pengembangan perfilman di

Indonesia.

2. Fungsi LSF sebagaimna dimaksud dalam ayat (1),

merupakan salah satu mata rantai dalam system

pembinaan perfilman di Indonesia.

3. Penyensoran film dan reklame film dilakukan

berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran.

Pasal 5

1. Untuk melaksanakan fungsi sebagaimna dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), LSF mempunyai tugas:


147

a. Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame

film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan,

dan/atau ditayangkan kepada umum;

b. Meneliti, tema, gambar, adegan suara dan teks

terjemahan dari suatu film dan reklame film yang

akan diedarkan, diekspor, diprtunjukkan dan/atau

ditayangkan.

2. Dalam melaksanakan tugas sebagai mana dimaksud

dalam ayat (1), LSF bertanggungjawab kepada Menteri.

Pasal 6

LSF mempunyai wewenang:

a. Meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film

untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum;

b. Memotong atau menghapus bagian gambar, adegan suara

dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film

yang tidak llayak untuk dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum;

c. Menolak suatu film dan reklame film secara utuh untuk

diedarkan, diekspor, dipertuunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum;

d. Memberikan surat lullus sensor untuk setiap kopi film,

trailer serta film iklan, dan tanda lulus sensor yang


148

dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan telah

lulus sensor;

e. Membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu

film dan reklame film yang ditarik dari peredaran

berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (1) Undang-undang

No 8 Tahun 1992;

a. Pemerintah dapat menarik suatu film apabila

dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau

penayangan ternyata menimbulkan gangguan

terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman,

atau keselarasan hidup masyarakat. Penjelasan

ayat (1) Maksud ketentuan ini adalah untuk

memeungkinkan Pemerintah dapat menarik

suatu film dari peredaran, pertunjukan, dan/atau

penayangan terhadap film yang telah lulus

sensor apabila film yang bersangkutan ternyata

menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban,

ketentraman, atau keselarasan hidup masyarakat.

b. Produser atau pemilik film yang terkena

tindakan sebagaimna dimaksud dalam ayat (1),

dapat melakukan pembelaan melalui saluran

hokum. Penjelasan Ayat (2) Ayat ini

dimaksudkan untuk memberikan kesempatan


149

kepada produser atau pemilik film yang merasa

dirugikan untuk membela haknya dengan

mengajukan gugatan terhadap Pemerintah

melalui peradilan. Pasal 33 Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 1994 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perfilman Apabila film

yang diedarkan ternyata menimbulkan gangguan

terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman,

atau keselarasan hidup masyarakat. Film

tersebut dapat ditarik dari peredaran oleh

Menteri, setelah mendengar pertimbangan dan

saran tertulis dari badan yang berfungsi

memberikan pertimbangan dalam masalah

perfilman. Pasal 42 ayat (2) Surat Keputusan

Menteri Penerangan RI No. 215 Tahun 1994

tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyelengga-

raan Usaha Perfilman Apabila film seloloid atau

rekaman video yang dieedarkan ternyata

menimbulkan gangguan terhadap keamanan,

ketertiban, ketentraman atau keselarasan hidup

masyarakat di seluruh atau di sebagaian suatu

wilayah edar, Kepala Kantor Wilayah di

Departemen Penerangan setempat mengusulkan


150

kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang

bersangkutan untuk melarang pengedaran dan

pertunjukan film seluloid atau pengedaran

rekaman video tersebut diseluruh atau

disebagaian wilayah edar yang bersangkutan.

Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992

f. Memberikan surat tidak lulus sensor untuk setiap kopi

film, trailer, serta film iklan, dan tanda tidak lullus sensor

yang dibubarkan pada reklame film, yang dinyatakan

tidak lulus sensor;

g. Menetapkan penggolongan usia penonton;

h. Penyimpanan dana tau memusnahkan potongan film hasil

penyensoran dan film serta rekaman video impor yang

sudah habis masa hak edarnya;

i. Mengumumkan film impor yang ditolak.

Pedoman dan kriteria penyensoran

Pedoman dan kriteria penyensoran diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994, Bab IV: Pasal 17, Pasal 18, Pasal

19, dan Pasal 20, yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 17

1. Penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi

masyarakat dari kemungkinan dampak negative yang timbul

dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan


151

reklame film yang tidak sesuai dengan dasar. Arah dan tujuan

perfilman Indonesia.

2. Penyensoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dimaksudkan untuk mencegah agar film dan reklame film tidak

mendorong khalayak umum:

a. Bersimpati terhadap ideology yang bertentangan dengan

Pancasila dan Undang-Undang 1945;

b. Melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang

bersifat amoral;

c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan

ketertiban umum dan perbuatan-perbuatan melawan hokum

lainnya; atau

d. Bersimpati terhadap sikap-sikap anti-Tuhan dan antiagama,

serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang

dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama.

3. Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penyensoran

dimaksudkan pula sebagai sarana pemeliharaan tata nilai dan

budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan

kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui film dan

reklame film dapat masuk pengaruh-pengaruh budaya dan nilai-

nilai negative.

4. Penyensoran sebagai mata rantai pembinaan diarahkan guna

menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri dikalangan


152

insan perfilman dalam berkarya dan berkreasi sebagai

perwujudan tanggung jawab terhadap masyarakat.

Pasal 18

1. Penyensoran dilakukan dengan memeriksa dan meneliti segi-

segi:

a. Keagamaan;

b. Ideology dan Politik;

c. Sosial Budaya;

d. Ketertiban umum.

2. Unsur-unsur yang dinilai dari segi keagamaan, adalah:

a. Yang memberikan kesan anti-Tuhan dan antiagama dalam

segala bentuk dan manifestasinya;

b. Yang dapat merusak kerukunan hidup antar umat beragama

di Indonesia; atau

c. Yang mengandung penghinaan terhadap salah satu agama

yang di akui di Indonesia.

3. Unsur-unsur yang dinilai dari segi Ideologi dan Politik, adalah:

a. Yang mengandung propaganda ideology dan Undang-

Undang dan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. Yang mengandung ajaran dan/atau pujaan atau kebenaran

komunisme, Marxisme/Leninisme, Maoisme, kolonialisme,

Imperialisme, dan fasisme;


153

c. Yang dapat mengarahkan simpati penonton terhadap hal-hal

tersebut pada butir b di atas;

d. Yang dapat merangsang timbulnya ketegangan sosial politik;

atau

e. Yang dapat melemahkan Ketahanan Nasional dan/atau

merugikan kepentingan nasional.

4. Unsur-unsur yang dinilai dari segi Sosial Budaya, adalah:

a. Yang dapat merusak, membahayakan, dan tidak sesuai

dengan norma-norma kesopanan umum di Indonesia;

b. Yang mengandunng ejekan dan/atau ang dapat menimbulkan

tanggapan keliru terhadap adat istiadat yang berlaku di

Indonesia;

c. Yang dapat merugikan dan merusak akhlak dan budi pekerti

masyarakat dan budi pekerti masyarakat;

d. Yang memberikan gambaran keliru tentang perkembangan

sosial budaya di Indonesia; atau

e. Yang dapat mengarahkan simpati penonton terhadap

perbuatan amoral dan jahat serta pelaku-pelakunya.

5. Unsur-unsur yang dinilai dari segi Ketertiban Umum, adalah:

a. Ang mempertontonkan adegan-adegan kejahatan yang

mengandung;

b. Yang memperlihatkan kekejaman dan kekerasan secara

berlebih-lebihan;
154

c. Yang menitik beratkan cerita dan/atau adegan pada

permasalahan seks semata-mata;

d. Yang dapat mendorong sentiment kesukuan, keagamaan, asal

keturunan dan antar golongan (SARA);

e. Yang menggambarkan dan membenarkan penyalahgunaan

dan/atau kenikmatan narkotika dan obat-obat terlarang

lainnya; atau

f. Yang mengandung hasutan melakukan perbuatan-perbuatan

yang elanggar hukum.

Pasal 19

1. Film dan reklame film yang secara tematis ditolak secara utuh,

adalah:

a. Yang cerita dan penyajiannya menonjolka suatu paham atau

ideology politik yang menjurus kepada adu domba yang

diperkirakan dapat mengganggu stabilitas nasional;

b. Yang cerita dan penyajiannya menonjolkan adegan-adegan

seks lebih dari 50%;

c. Yang cerita dan penyajiannya menonjolkan aegan-adegan

kritik sosial yang mendiskreditkan sesuatu golongan atau

pribadi lebih dari 50%

d. Yang cerita dan penyajiannya menonjolkan adegan-adegan

kekerasan, kekejaman, dan kejahatan lebih dari 50%,


155

sehingga mengesankan kebaikan dapat dikalahkan oleh

kejahatan; atau

e. Yang cerita dan penyajiannya menonjolkan adegan-adegan

yang bersifat anti-Tuhan dan mendiskreditkan salah satu

agama yang diakui di Indonesia.

2. Bagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu

film dan reklame film dari segi Ideologi dan Politik, adalah:

a. Setiap adegan dan penggambaran yang merugikan upaya

pemantapan dan pelestarian nilai-nilai Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945;

b. Setiap adegan dan penggambaran yang membenarkan ajaran

komunisme, Marxisme/Leninisme, Maoisme; atau

c. Setiap gambar atau lambang yang dapat memberikan asosiasi

atas pemujaan kebenaran komnuisme, Marxisme/Leninisme

dan Maoisme.

3. Bagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu

film dan reklame film dari segi Sosial Budaya, adalah:

a. Adegan seorang priaatau wanita dalam keadaan atau

mengesankan telanjang bulat, baik dilihat dari depan,

samping, atau dari belakang;

b. Close up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dengan

menutup maupun maupun tanpa penutup;


156

c. Adegan ciuman yang merangsang, baik oleh pasangan yang

berlainan jenis maupun sesama jenis, yang dilakukan dengan

penuh birahi;

d. Adegan, gerakan atau suara persenggamaan atau yang

memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia

maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimnapun, secara

terang-terangan atau terselubung;

e. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo atau oral seks;

f. Adegan melahirkan, baik manusia maupun hewan, yang

dapat menimbulkan birahi;

g. Menampilkan alat-alat kontasepsi yang tidak sesuai dengan

fungsi yang seharusnya atau tidak pada tempatnya; atau

h. Adegan-adegan yang dapat menimbulkan kesan tidak etis.

4. Bagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu

film dan reklame film dinilai dari segi Ketertiban Umum, adalah:

a. Pelaksanaan hukuman mati dengan cara apapun yang

digambarkan secara rinci, sehingga menimbulkan kesan

penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan;

b. Penampilan tindakan kekerasan dan kekejaman dan/atau

akibatnya, sehingga menimbulkan kesan sadism; atau

c. Menggambarkan kebobrokan mengenai pribadi seseorang

yang masih hidup atau yang sudah meninggal, sesuatu


157

golongan dan/atau lingkungan di dalam masyarakat secara

berlebih-lebihan.

Pasal 20

Pedoman Penyensoran dan Kriteria Penyensoran sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, dilaksanakan oleh para

anggota LSF dengan penuh rasa tanggung jawab dan memperhatikan

sifat kontekstual sebuah film. Kemajuan teknologi serta

perkembangan tata nilai di dalam masyarakat. Organisasi dan

Keanggotaan Lembaga Sensor Film Masalah keanggotaan Lembaga

Sensor Film diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun

1994 tentang Lembaga Sensor Film, Bab II Pasal 9, Pasal 10, Pasal

11, Pasal 13 dan Pasal 14, yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 9

1. LSF beranggotakan paling banyak 45 (empat puluh lima) orang,

terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan wakil-wakil masyarakat.

2. Anggota LSF diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul

Menteri untuk masa tugas 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat

kembali untuk periode berikutnya.

Pasal 10

1. Susunan organisasi LSF terdiri dari:

a. Ketua merangkap Anggota;

b. Wakil Ketua merangkap Anggota;

c. Sekretaris bukan Anggota;


158

d. Anggota.

2. Ketua dan Wakil Ketua dipilih oleh seluruh anggota diantara

anggota yang tidak menduduki jabatan di pemerintahan.

Pasal 11

Syarat-syarat untuk menjadi anggota LSF:

a. Warga negara Indonesia yang yang telah berusia 25 (dua puluh

lima) tahun;

b. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

c. Mmahami sepenuhnya dasar, arah dan tujuan perfilman

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1992 tentang Perfilman;

d. Memiliki kecakapan dan pengalaman dalam ruang lingkup tugas

unsur yang diwakilinya, serta mempunyai wawasan di bidang

perfilman;

e. Dapat mmelaksanakan tugasnya dengan penuh rasa

tanggungjawab; dan

f. Tidak merangkap sebagai anggota Badan Pertimbangan

Perfilman Nasional.

Pasal 13

Keanggotaan LSF berakhir karena:

a. Selesai masa tugas keanggotaannya;

b. Mengundurkan diri dan/atau ditarik oleh instansi atau organisasi

yang mengusulkannya;
159

c. Alasan kesehatan yang tidak memungkinkannya menjalankan

tugas;

d. Melanggar sumpah atau janji jabatan; atau

e. Meninggal dunia.

Pasal 14

1. Untuk melancarkan pelaksanaan tugas LSF, Menteri

memperbantukan sebuah unit kerja yang berfungsi sebagai

Sekretariatan

2. Unit kerja sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh

seorang kepala unit kerja

3. Kepala unit kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

melaksanakan tugas dan fungsi sebagai Sekretaris LSF.

Undang-Undang Perfilman Nomor 8 tahun 1992 adalah

Produk Pemerintah Orde Baru yang tidak memuaskan sebagian

masyarakat perfilman, karena LSF masih eksis memotong adegan

film sedangkan mereka menghendaki LSF hanya mengklasifikasi

usia penonton.
160

7. Sensor Film Masa Depan.

Tantangan Sensor Film Masa Depan

Teknologi mutakhir dan kebudayaan.

Seperti apakah kebudayaan masa depan? Pertanyaan ini

jadi mengerucut setelah melesatnya perkembangnya teknologi-

budaya dalam industri perfilman. Produk-produk film Hollywood

sudah meninggalkan penceritaan yang diangkat dari kisah-kisah

kemanusiaan punya akar budaya dalam realitas keseharian yang

selama ini menjadi kiblat penganut konvensionalisme, dengan

menyuguhkan penceritaan dari kisah yang hanya terjadi dalam dunia

dan budaya tanpa bentuk dari sisi peralatan dan infrastuktur.

Semenak awal tahun 2011 Lembaga Sensor Film mulai

kedodoran karena “dipaksa” meninggalkan “serang”nya di gedung

film untuk melakukan penyensoran film-film tiga dan empat dimensi

di gedung bioskop E-Cinema Blitz Megaplek tempat film itu akan

diputar. LSF “dipaksa” menerima realitas oleh pemilik film. Dengan


161

meninggalkan sifat kerahasiaan, penyensor film. Pasalnya, LSF

belum memiliki perangkat pemutar film film dalam kemasan 3-4

dimensi yang digitalik.

Dilain pihak film-film jenis tersebut sudah mulai merambah

ke gedung bioskop Megaplex kelas satu. Di banyak negara-negara,

dewasa inni bioskop sudah meninggalkan era sinematografi menuju

videografi dan terakhir elektronik-cinema dengan format digital-

cinema. Produser-produser Amerika Serikat yang sudah

meninggalkan “budaya berbentuk”, seperti Fox, Columbia dan

Disneang punya nilai tambah, y telah sepenuhnya memproduksi

film-film mereka kedalam kemasan catridge, yaitu rekaman video

hasil alih rekam film seluloid 35 mm yang dipertunjukkan kepada

umum di gedung bioskop dan biaya distribusi yang mahal disbanding

catridge HMDI 1080 (High Definition Multi Media Interface) yang

punya nilai tambah, yaitu bebas dari kemungkinan bajakan, karena

mempergunakan system password seperti kunci kamar hotel (electric

key) yang deprogram masa berlakunya.

Sampai dengan akhir tahun 2011, LSF masih

mempergunakan perangkan sensor konvensional sehingga apabila

LSF disuguhkan film digital-vidio-disc unntuk disensor, maka

terpaksa kelompok penyensor di datangkan ke gedung bioskop.

Suatu mekanisme kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lain

lagi kalua berbicara tentang pemotongan (penghapusan) adegan


162

yang melanggar pedoman criteria penyensoran, karena contents

digital video disc tidak serta merta bisa dihapus. Karena yang bisa

menghapusnya hanyalah produsennya.

Untuk itu importir film harus mengirimkan informasi ke

produsernya di Fox atau Columbia untuk menghapus adegan adegan

yang diamankan oleh LSF. Kalau di Amerika Serikat pada tahun

2020 seluruh bioskop sudah beralih ke system HDMI 1080, tentunya

akan disusun oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia yang

memasok film film Hollywood menyongsong perubahan dan

kemajuan teknologi itu persiapannya sudah harus di mulai dari

sekarang.

Pengalaman LSF ketika menyensor film Conan The

Barbarian bulan September 2011, LSF mengalami dilemma terkait

menentukan kelulusan. Pasalnya catridge-digital, isinya tidak dapat

dipotong padahal ada adegan yang mesti harus dihapus sesuai

kriteria sensor. LSF “terpaksa” meluluskannya dengan klasifikasi 21

tahun keatas, padahal untuk film yang sama dengan kemasan

seluloid 35 mm ditetapkan Dewasa dengan potongan. Menjadi

dilemma bagi LSF karena Peraturan Pemerintah mengenai LSF

sebagai aplikasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 belum terbit

dan LSF masih berpedoman kepada PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang

LSF yang mengklasifikasi penonton dalam kategori Semua Umur,

Remaja dan Dewasa.


163

Pesatnya teknologi perfilman bagaikan derat ukur

sedangkan regulasi berjalan bagaikan derat hitung. Lain lagi masa

depan teknologi perfilman yang dikaitkan dengan distribusi yang

memanfaatkan satelit. Film oleh pemilik diorbitkan ke dirgantara

(up-link) dan turunan (down-link) kestasiun bumi dalam suatu

negara (di Indonesia SKSD Palapa) dan langsung disalurkan ke

gedung bioskop. Lagi-lagi lembaga sensor film dihadapkan dengan

dilema.

Dipihak lain sudah diprediksi 15 tahun ke depan pada tahun

2025 jumlah shopping mall akan mencapai 600 buah dengan

perkiraan lebih kurang 20 mall di setiap provinsi dan di setiap mall

diperkirakan terdapat sepuluh layar bioskop. Diprediksi pula bahwa

orang lebih senang menonton film di bioskop ketimbang menonton

home-theater.

Kenapa? Film di mall adalah film terbaru melalui satelit,

dikemas dalam pormat digital 3-4 dimensi, suasana bioskop makin

menyenangkkan karena privacy semakin terjamin.

Shopping-mall adalah sarana komunikasi yang efektif, yang

telah menjadi program setiap keluarga. Lantas bagaimana “nasib”

lembaga sensor kedepan? Yang jelas dari tahun ketahunprinsip

budaya swa-sensor adalah suatu keniscayaan bagi setiap keluarga,

bahkan bagi setiap manusia Indonesia.


164

Namun budaya swasensor bukan sesuatu yang datang

secara tiba-tiba, karena itu LSF menghadapi dua hal yang secara

bersamaan harus ditangani. Pertama LSF harus terlibat aktif dalam

program program untuk mencerdaskan manusia Indonesia agar

mampu ber swasensor. Hal ini bukan soal gampang karena

menyangkut masalah pendidikan dan kedua mengaadopsi teknologi

mutakhir dalam arti melakukan kontra teknologi dengan memiliki

perangkat teknologi ynag dapat menyensor semua bentuk tayangan

melalui alat apapun yang masuk ke cakrawala nusantara. Hal ini

lebih mudah karena hanya menyangkut dan dan kebijakan.

Berbicara tentang sejarah sensor film tentu tidak dapat dilepaskan

kaitannya dengan pengertian, tujuan dan unsur-unsur lain yang ada

hubungannya dengan aktivitas sensor itu sendiri. Unsur-unsur yang

dimaksud: pertama tentu saja adalah film sebagai materi yang disensor,

dan kedua adalah importir film. Ketiga, penonton film dan keempat

pemilik gedung bioskop tempat pemutaran film. Kelima kritikus film,

dan keenam adalah pemerintah sebagai penentu kebijakan. Masing-

masing unsur memiliki aktivitas dan peran yang berbeda tetapi ada

saling ketergantungan. Oleh karena itu ketika bicara tentang sejarah

sensor film tidak mungkin pembahasan tidak akan bersentuhan dengan

berbagai unsur-unsur itu.

Dalam kaitan dengan insan film, di dalamnya terlibat banyak

bidang profesi, yaitu mulai dari penulis scenario, sutradara, actor, aktris,
165

juru kamera, penata lampu, penata suara, penata rias, kru dll, ditambah

dengan prosedur sebagai pemilik modal yang membiayai pembuatan

film. Masing-masing memiliki keinginan, selera dan konsep kreatif

yang beranekaragam. Film sebagai karya seni adalah hasil kerja

kolektif, memiliki jenis (genre) yang bermacam-macam dalam hal tema

cerita, bentuk penyajian gambar (visual), suara atau dialog (audio) yang

kesemuanya itu menjadi bagian yang mendapatkan perhatian ketika

film disensor. Sementara itu, impotir adalah perusahaan yang

mendatangkan film dari luar negeri untuk diputar di wilayah Indonesia.

Aktivitas impor film sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah,

baik dalam hal impor film itu sendiri maupun kebijakan tentang ketat

atau longgarnya syarat-syarat sensor.

Selanjutnya, dalam hal unsur penonton film sangat terkait dengan

produksi film, pemilik gedung bioskop, importir film, dan kebijakan

pemerintah tentang sensor. Penonton film terdiri atas berbagai macam

usia (anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua), jenis kelamin, suku,

bangsa, budaya dan agama yang masing-masing memerlukan perhatian

yang berbeda.

Kegiatan sensor mulai dilaksanakan sejak zaman Roma kuno, yaitu

sejak 443 SM. Kata ini digunakan dalam pengertian “sensus” yaitu

pencatatan misalnya jumlah penduduk. Tetapi dalam perkembangan

selanjutnya bergeser pencatatan tentang moral seorang warga negara

yang telah dicatat.99


99
Frank Caso, Issue Global: Censorship, New York, 2008, hal. 3-4
166

4.1.2 Visi dan Misi serta Tujuan Strategis Lembaga Sensor Film

Republik Indonesia

Visi LSF adalah Terwujudnya Budaya Sensor Mandiri pada

Masyarakat.

Misi LSF adalah:

1. Meningkatkan kemampuan Literasi Media Film di Kalangan

Masyarakat

2. Meningkatkan kemampuan Memangku Kepentingan dalam

Menerapkam Kriteria Penyensoran.

Tujuan Strategis LSF adalah untuk mencapai visi dan misi tersebut,

Lembaga Sensor Film menetapkan tujuan strategis sebagai berikut:

1. Meningkatkan kemampuan literasi media film dikalangan anak,

remaja, dan dewasa;

2. Meningkatkan kemampuan pelaku usaha dan pelaku kegiatan

perfilman dalam menerapkan kriteria penyensoran;

3. Meningkatkan partisipasi pelaku usaha dan pelaku kegiatan

perfilman dalam implementasi budaya sensor mandiri;

4. Meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memilih

tontonan sesuai usia; dan

5. Dan meningkatkan system tata kelola LSF, yang transparan dan

akuntabel.

4.1.3 Struktural Organisasi Lembaga Sensor Film Republik Indonesia

Periode 2020-2024
167

Ketua : Rommy Fibri Hardianto, M.I.Kom.

Wakil Ketua : Ervan Ismail, M.Si

Komisi I

Penyensoran, Dialog, Komunikasi, dan Data

Ketua : Dr. Nasrullah

Sekretaris : Hafidhah

Ketua Subkomisi Penyensoran : Tri Widiastuti Setyaningsih, M.Sn

Ketua Subkomisi Dialog : Noorca M Massarddi

Ketua Subkomisi Media Baru : Andi Muslim, M.Si

Ketua Subkomisi, Data, : Rita Sri Hastuti

Pelaporan dan Publikasi

Ketua Subkomisi Apresiasi dan : Joseph Samuel Krishna AA

Promosi

Anggota Komisi:

1. Ira Diana

2. Suhartini

3. A. Sullkarnaen

4. Zara Adriani

5. Luvi Harmayanti Harahap

6. Ayu Lestari

7. Azizul Hakim Muhamad

8. Tanto Wardoyo

9. Arinda Purbasari Adinaputri


168

10. Rudiyanto

11. Waroqatul Lukman Taim

12. Fazin Hisabi

13. Nurrohman Efendi

14. Irfan Ashori

15. Proyadi Endarta

16. Lianto Luseno

Komisi II

Bidang Pemantauan Hukum dan Advokasi

Ketua : Dr. Ahmad Yani Basuki, M.Si

Sekretaris : Rosery Rosdy Putri, M.Hum

Ketua Subkomisi Pemantauan dan Evaluasi : Dr. Fatrimen, M.Pd

Ketua Subkomisi Hukum dan Advokasi : Saptari Novita Sari

Anggota Komisi:

1. Agung Irfan Rachmadi

2. Triyani

3. Nandyto Widyanto

4. Hendri Wijaya

5. Aniqa Fathia

6. Paramita Ida Sapitri

7. Aini Masruroh

8. Carla Helsi Andina

Komisi III
169

Bidang Sosialisasi, Kemitraan, Penelitian dan Pengkkajian

Ketua : Dr. Naswardi, M.M.M.E

Sekretaris : Mukayat Al-Amin, M.Sosio

Ketua Subkomisi Kemitraan dan Sosialisasi : Arturo Gunapraitna P,

M.Sn

Ketua Subkomisi Penelitian dan Pengkajian : Kuat Prihatin

Anggota Komisi:

1. Ari Sapta

2. Desi Kristina Purba

3. Febri Kristina Siahaan

4. Hendri Susanto

5. Juan Malchus Shanco

6. Nur Ubaidillah

7. Nurainy Hanifah

8. Sela Mahesa Raksamala

9. Waluyo Jati

10. Winda Chairunisyah Suyani

4.1.4 Logo Lembaga Sensor Film Republik Indonesia


170

4.1.5 Lokasi Kantor Lembaga Sensor Film Republik Indonesia

 Jl. M.T. Haryono Kavling 47-48, Jakarta Selatan 12770

 (021) 7902971-79191129

 secretariat@lsf.go.id

 www.lsf.go.id

4.2 Analisis LSF dalam Menyeleksi Film Bergenre Agama

4.2.1. Proses Penyensoran Film

Proses sensor produk film dan iklan film yang berlaku di LSF.

Dalam proses ini LSF mengacu pada ketentuan yang telah digariskan

peraturan perundang-undangan dengan prinsip mengutamakan dialog

apabila terjadi ketidaksepahaman terhadap hasil sensor.

Setelah proses sensor film/iklan film dilaksanakan akan keluar

keputusan berupa LULUS SENSOR, REVISI atau TIDAK LULUS

SENSOR. Ada kemungkinan sebuah film dipertimbangkan untuk

direvisi. Jika saran revisi ditindaklanjuti langsung oleh pelaku

perfilman, film akan mendapatkan kriteria lulus sensor. Namun, pelaku

perfilman dapat juga mengajukan dialog sebelum direvisi untuk


171

mencapai sustu kesepahaman. Saran revisi yang tidak ditindaklanjuti

otomatis akan menjadi film tidak lulus sensor.

Pada masa lalu, bagian film atau iklan film yang dianggap tidak

patut akan langsung “digunting” oleh lembaga sensor agar dapat

ditayangkan. Pintu dialog tidak dibuka dan dialog hanya berlangsung

satu arah. Secara kekinian, hal tersebut tidak dilakukan lagi. Masyarakat

perfilmanlah yang diminta merevisi sendiri film atau iklan filmnya serta

mengajukannya kembali.

Memanfaatkan mekanisme dialog dengan mengajukan

permohonan dialog secara tertulis langsung kepada Ketua LSF. Ketua

LSF akan merumuskannya kepada Komisi I yang menangani

Penyensoran dan Dialog.

Dalam proses ini LSF zaman now membuka pintu dialog ketika

pelaku perfilman hendak menyampaikan argumentasi-argumentasi

perihal film atau iklan film yang dibuatnya, termasuk mendapatkan

masukan dari LSF.

Setelah mekanisme dialog maka akan dilakukan sensor ulang

dengan ketentuan maksimal dilakukan sebanyak 2 kali. Dari hasil revisi

dan dialog. LSF akan memutuskan lulus dan tidak lulusnya film atau

iklan film.

Keputusan lulus sensor akan diterbitkan dalam Surat Tanda Lulus

Sensor atau STLS dan keputusan tidak lulus sensor akan diterbitkan
172

dalam Surat Tanda Tidak Lulus Sensor (STTLS) yang ditandatangani

oleh ketua LSF.

Ciri Film Bergenre Agama:

1. Visual, visualnya menggunakan busana-busana yang dipahami oleh

masyarakat sebagai busana muslim/muslimah yang menutup aurat

tentunya penggunaan cara visual dengan penggunaan pakaian

dipastikan ada jilbab, peci-peci, da symbol-simbol agama seperti

masjid, sajadah, kitab suci, itu boleh dibilang film tersebut

bernuansa/bergenre agama;

2. Dialog, dialog berisi syarat pesan-pesan moral kebaikan meskipun

dialognya bersifat pesan-pesan kebaikan seperti nasihat, wasiat, atau

pesan-pesan moral lainnya;

3. Monolog, monolonya adalah menggambarkan isi perasaan pikiran

tentang kebaikan tentang kebaikan. Nah ada tuh film berbicara

sendiri penggambaran dari hati, pikiran, kata-katanya yang bijak,

pokoknya penuh kebaikan disebut film bergenre Agama.

4. Adegan, adegan tersirat karena saling menghormati antara lawan

bicara adegan selalu memvisualkan kebaikan contoh merespok

keburukan dengan kebaikan jadi ketika Dia dipukul tidak membalas

memukul itu adegannya, ketika dihina tidak membalas menghina

dari segi verbalnya, intinya film bergenre Agama kuat nuansa pesan

moral dan kebaikan. Jangan salah paham genre Agama bukan pada
173

satu Agama saja misalnya ada kegiatan “talks show” disalah satu

stasiun televise milik Agama tertentu, Agama Budha misalnya Dia

pasti mengisi program-program Tv nya dengan dialog-dialog

dengan syarat kebaikan kalaupun stasiun itu menayangkan drama

pasti dramanya mengisi pesan-pesan moral tidak ada istilahnya

bukan murni untuk komersil atau untuk mencari keuntungan dari

suatu film tapi Dia ingin fokusnya untuk bagaimna film itu punya

kesan moral untuk mendakwahkan Agamanya.100

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyensoran Film Bergenre

Agama di LSF

Factor pendukung:

1. Aspek administrasi lengkap surat permohonan dari pemilik;

2. Membayar tarif sensor;

3. Ada berita acara sensor;

4. Ada CD materi sensor;

5. Ada kelompok penyensor;

6. Ada operator;

7. Ada alat sensor seperti DVD Player;

8. Menyertakan pemutaran film aplikasi esies;

Factor penghambat:

1. Tidak lengkap persyaratan administrasi;

2. Materi sensor rusak/ DVD rusak

100
Hasil Wawancara dengan Dr. Nasrullah Ketua Komisi I pada 11-09-2020 pukul 10.30
berdurasi 00.04.16 di kantor LSF Jakarta
174

3. Mati lampu (tidak bisa diputar)

Film bergenre Agama dipastikan lulus bila tidak mengandung:

1. Kekerasan;

2. Fornografi;

3. Penjatuhan Harkat Martabat dan Diskriminasi;

4. Pelanggaran Hukum;

5. Perjudian/Narkoba;

6. Pelecehan Agama.

Proses Penyensoran Bergenre Agama:

1. Mendaftar;

2. Membayar;

3. Sensor di studio;

4. Penggolongan usia;

5. Bila lulus diberikan surat tanda lulus;

6. Bila direvisi dikembalikan pada pemiliknya;

7. Bila ditolak dikembalikan pada pemiliknya.101

Judul Film Bergenre Agama Islam yang sudah dilulus sensorkan

oleh LSF adalah:

1. Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 (2016)

Film islami yang pertama adalah film religi yang berjudul

Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. film ini sebenarnya adalah

sekuel dari film yang sebelumnya berjudul yang sama yang

101
Hasil wawancara dengan Dr. Nasrullah Ketua Komisi I pada 11-09-2020 pukul 10.11
berdurasi 00.20.07 di kantor LSF
175

menceritakan tentang pasangan suami istri yang hijrah ke Amerika

Serikat. Untuk setting ceritanya sendiri, masih berhubungan

dengan cerita tragedi WTC beberapa tahun yang silam. Film ini

selain mengambil setting tempat di Amerika Serikat, juga

memiliki cerita yang bagus dan penuh hikmah. Film ini juga

dibintangi oleh berbagai artis ternama yang sering mengisi film

layar lebar seperti : Abimana, Rianti Cartwright, Acha Septriasa

dan yang lainnya.

2. Hijab (2015)

Film selanjutnya adalah film islami yang berjudul Hijab

yang telah dirilis tahun 2015 silam. Film yang satu ini diperankan

oleh beberapa artis ternama Indonesia seperti Carissa Putri,

Natasha Rizki, Zaskia Adya Mecca dan Tika Bravani yang tentu

saja menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmat film

Indonesia khususnya film dengan genre religi. Untuk film ini

sendiri mengisahkan tentang 4 orang sahabat yang membangun

sebuah bisnis di dunia fashion. Akan tetapi hal tersebut justru

membuat salah seorang dari 4 sahabat itu yang tidak ikut serta

dalam bisnis fashion yang mereka jalani.


176

3. Ada Surga di rumahmu (2015)

Nah untuk film yang satu ini, bisa dibilang film islami yang

amat kaya hikmah dan pelajaran. Film yang diadaptasi dari sebuah

buku best seller dengan judul yang sama karya Ustad Alhabya ini

menceritakan tentang seorang pemuda yang sedang berada di

persimpangan perjalanan hidupnya. Ia berada dalam dua buah hal

yang sebenarnya keduanya amat bagus namun agak saling bertolak

belakang yakni saat ia berada dalam posisi harus mengabdikan

dirinya pada pondok pesantren tempat dimana dirinya menimba

ilmu atau malah mengejar mpiannya sebagai seorang artis. Hal

yang mendasar yang merupakan hikmah dari film ini adalah kalian

diajarkan untuk tidak perlu jauh – jauh mencari sebuah surga

hingga ke ujung dunia. Karena surga milikmu sudah ada di

rumahmu sendiri.
177

4. Ayat-ayat Cinta – 2013

nah kalau film yang satu ini, pasti sudah kalian kenal

kualitas dan juga aktor dan aktris yang memainkan film ini. Film

yang satu ini bisa dibilang film islami terbaik yang pernah ada dan

juga paling fenomenal diantara film – film yang lainnya. Karen

film ini sejak pertama kali kemunculannya, telah mampu mencuri

perharian penonton di Indonesia. Film ini juga sebenarnya

merupakan sebuah film adaptasi novel yang memiliki judul sama

yakni “Ayat Ayat Cinta” karangan Habiburrahman El Shirazy

yang mengangkat tema yang memang mungkin agak sedikit tabu

yakni tentang polygami. Film yang sarat makan dan pelajaran ini

tentu saja amat bagus untuk ditonton karena akan memberikan

banyak pelajaran berharga.

5. Sang Kiai (2013)

Kalau film yang satu ini juga merupakan film bertemakan

islami yang amat kental dengan pelajaran berharga. Selain

bertemakan islami, film ini juga bertemakan perjuangan dan

kepahlawanan. Sesuai dengan isi dari film ini yang menceritakan

tentang perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim,

dan para santrinya dalam menghadapi pasukan Jepang dan sekutu.

Adalah satu aktor yang ikut berperan dalam film ini adalah Adipati

Dolken. Kalau kamu tahu Aktor yang satu ini, kalian pasti tahu

juga, kalau aktor ini biasa berperan dalam film drama. Namun
178

dalam film ini, image dirinya sebagai seorang pemeran film drama

hilang. Film ini juga sebelumnya pernah masuk dalam seleksi film

oscar ke 86 untuk kategori film Best Foreign Language.

6. Sang Pencerah (2010 )

Masih dengan tema perjuangan dengan unsur islami yang

kental, film yang satu ini tentu saja pernah kalian dengan judulnya.

Film yang sarat makna dan pelajaran hidup ini menceritakan

tentang kehidupan salah seorang tokoh islam Indonesia yang juga

merupakan pahlawan nasional Indonesia yakni K.H Ahmad

Dahlan. Alur cerita dari film ini sendiri menceritakan tentang

bagaimana pergerakan nasional Indonesia dan bagaimana

berdirinyta sebuah organisasi islam indonesia yang bernama

Muhamadiyah. Film Sang Pencerah ini dibuat oleh Hanung

Bramanto dan dianggap merupakan sebuah film yang memicu

munculnya film – film dengan tema sejarah pahlawan nasional

Indonesia lainnya.

7. Berkalung Sorban (2009)

Film ini mungkin bisa dibilang sebagai film yang sudah

lama, namun memiliki cerita yang amat bagus dan memiliki

hikmah dan pelajaran yang luar biasa khususnya utnuk kaum

wanita. Film religi islami yang satu ini merupakan salah satu film

religi indonesia yang terbaik yang pernah dibuat. Dengan latar

belakang cerita dunia dan kehidupan di pondok pesantren, film ini


179

mengisahkan tentang kehidupan wanita dan bagaimana kehidupan

wanita yang terlalu banyak dibatasi. Meskipun dikatakan sebagai

sebua film yang kontroversial, film yang diperankan oleh Revalina

S. Temat ini sukses membawakan perannya dengan baik .

8. Negeri 5 Menara (2012)

Film selanjutnya berjudul Negeri 5 menara yang dirilis

pada tahun 2012 silam. Film yang digarap oleh Affandi Abdul

Rachman ini diadaptasi dari sebuah novel best seller dengan judul

yang sama karya A.Fuadi. Film ini menceritakan tentang

kehidupan 6 remaja muslim di pondok pesantren yang berasal dari

latar belakang yang berbeda. Namun mereka disatukan dalam

sebuah mimpi yang sama yakni mimpi untuk menaklukan dunia.

Film ini sendiri lebih mengajarkan kita tentang bagamana kita bisa

mencapai sebuah mimpi dengan dasar satu keyakinan yang bisa

diraih. Film ini sendiri memiliki setting tempat yang banyak, mulai

dari Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo Jawa Timur,

Sumatra Barat, Bandung, hingga London.

9. Hafalan Shalat Delisa (2011)

Masih ingat tentang bencana tsunami yang menimpa Aceh?

film yang mengambil tema tentang hal itu. Film yang dirilis tahun

2011 yang lalu ini, menceritakan tentang seorang anak yang

bernama Delisa yang aman dirinya harus menghafalkan doa dan

juga gerakan sholat untuk mendapatkan nilai yang bagus


180

disekolahnya dan tentu saja demi mendapat hadiah dari ibunya.

Namun semua hal tersebut harus pupus setelah bencana tsunami

menimpa Delisa beserta keluarganya. Setelah hal tersebut, Delisan

akhirnya harus berpisah dengan keluarganya. Film ini diproduksi

oleh Star Vision dan merupakan film yangcukup booming di

bioskop tahun 2011 silam.

10. 99 Cahaya di langit Eropa (2013)

Film yang selanjutnya berjudul 99 cahaya di langit Eropa

yang dirilis pada tahun 2013 silam. Film yang dibintangi oleh Aca

Septriasa ini menceritakan tentang bagaimana sejarah dan napak

tilas dari sebuah peninggalan agama islam di Eropa. Film ini

mengajarkan tentang bagaimana dakwah islam tidak harus melalui

jalur kekerasan, melainkan melalui ilmu pengetahuan. Film ini

juga menggambarkan bagaimana kehidupan sepasang suami istri

yang beragama islam dan tinggal di sebuah wilayah yang

mayoritas non muslim. Film ini juga merupakan sebuah adaptasi

dari sebuah novel karya Hanum, Rais dan Rangga Almahendra.

11. Ketika Cinta Bertasbih (2009)

Film yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih ini pertama kali

dirilis di tahun 2009 silam. Film yang menceritakan tentang

perjalanan hidup seorang tokoh bernama Azza (Kholid Asadil

Alam). Film ini sendiri merupakan sebuah film yang diadaptasi

dari cerita novel dengan judul yang sama karya habiburahman El


181

Shirazy. Film yang satu ini bisa dibilang merupakan film yang

menyedot banyak pihak mulai dari proses casting hingga

berjalannya pembuatan film. Untuk casting film ini sendiri

dilakukan tidak main-main, untuk tokoh pemeran utama dari film

ini sendiri dilakukan sebuah casting terbuka untuk mendapatkan

pemerannya. Tidak jauh dari itu, film ini juga memiliki setting

yang membuat mereka melakukan perjalanan ke luar negeri hingga

ke Mesir. Jadi jangan heran, jika film yang satu ini menjadi salah

satu film terbaik yang mampu menyedot penonton lebih dari 3,1

juta penonton.

12. Ayat-Ayat Adinda (2015)

Film ini menceritakan tentang seorang gadis yang memiliki

suara merdu, namun tak lantas membuat dirinya (Tissa Biani)

mudah menjadi anggota tim qasidah sekolahnya. Faisal (Surya

Saputra) yanda adalah Adinda melarangnya. Faisal dengan tegas

meminta Adinda untuk fokus sekolah. Selama ini keluarga Adinda

tak pernah menetap lama di satu tempat. Mereka sering berpindah-

pindah dan dikucilkan di manapun mereka tinggal. Perlahan

Adinda mulai paham, hal itu diakibatkan kerena keluarganya

dianggap sesat. Walau Adinda sendiri tak mengerti apa itu sesat.

13. Haji Backpacker (2014)

Film ini mengisahkan tetang kehidupan Mada (Abimana

Aryasatya) yang dibesarkan dilingkungan muslim taat. Hatinya


182

hancur ketika pernikahannya dengan Sophia (Dewi Sandra)

dibatalkan. Ia tak sanggup menanggung malu di hadapan penghulu

dan para tamu undangan, setelah mengetahui Sophia kabur

menjelang acara ijab kabul. kareana hal tersebut, Mada akhirnya

memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Ia

berkelana ke negeri orang tanpa ada tujuan jelas. Sejak saat itu

pula, ia berhenti menjalankan salat. Bahkan, ketika mendengar

ayahnya meninggal dunia di tanah suci Mekkah saat menunaikan

ibadah haji, ia menolak ajakan sang kakak untuk melakukan salat

ghaib.

Rasa Marah pada Allah membuatnya berubah 180 derajat.

Dia bersenang-senang meninggalkan Allah. Perjalanan sebagai

backpacker keliling berbagai negara hingga sampai ke Arab

mengubah hatinya. Sepanjang perjalanan kasih Allah menaungi

hatinya hingga sanggup berhaji.

14. Mencari Hilal (2015)

Film yang satu ini dirilis pada tahun 2015 silam yang mana

menggambarkan tentang perjalanan seorang ayah dan anak yang

berbeda pendapat. Mereka selalu bertengkar astu sama lainnya

tentang masalah tradisi, agama, hingga bagaimana pola pirkirnya

masing-masing. Film garapan Ismael Basbeth ini memiliki banyak

sekali pesan di dalamnya, lewat film ini juga akan bisa melihat

dengan jelas bagaimana pola pikir seseorang yang berbeda dan


183

bagaimana sebuah peran agama dalam kehidupan sosial dengan

berbagai isu terbaru yang hadir saat ini.

15. 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)

Film Religi selanjutnya yang berjudul 3 Hati Dua Dunia,

Satu Cinta ini dirilis pada tahun 2010 silam yang mengajarkan

banyak hal, terutama masalah cinta dan agama. Masalah seperti ini

biasanya kerap kali terjadi dalam kehidupan kita saat ini, dimana

kisah cinta yang terjadi antara dua insan manusia yang memiliki

perbedaan keyakinan. Film yang dibintangi Reza Rahardian, Laura

Basuki dan Arumi Bachsin ini mungkin bisa jadi inspirasi dan

siapa tahu lewat film ini bisa menemukan solusi dari permasalahan

yang saat ini sedang dihadapi.

16. Cinta Suci Zahrana (2012)

Film islami yangberjudul Cinta Suci Zahrana ini pertama

kali dirilis pada tahun 2012 silam dan termasuk film yang amat

sukses di kalanya. Menceritakan tentang wanita muda yang amat

sukses baik di duni pendidikan maupun karir yang membuatnya

menjadi wanita dengan kemampuan luar biasa. Bahkan saking

hebatnya, Zahrana juga diundan ke Cina oleh salah satu perguruan

tinggi yang populer di cina untuk menyampaikan sebuah orasi

ilmiah yang ia miliki. Namun meskipun dengan berbagai macam

kesuksesan yang ia miliki baik dalam pendidikan maupun karir,

satu hal yang belum lengkap darinya adalah seorang pasangan.


184

17. Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016)

Film kita selanjutnya berjudul Jilbab Traveler: Love Sparks

in Korea yang merupakan film yang diangkat dari sebuah novel

semi biografi Asma Nadia. Menceritakan tentang Rania Samudra

(Bunga Citra Lestari), 24 tahun, seorang penulis yang gemar

traveling. Ia dijuluki sebagai Jilbab Traveler oleh para

pembacanya. Suatu ketika saat ayahnya sedang sakit, Rania

memutuskan untuk pulang, namu sang ayah meminta Rani untuk

pergi ke baluran, tempat dimaan ayah dan ibunya bertemu.Disana

Rani bertemu dengan seorang fotografer asal korea yang bernama

Hyun Geun (Morgan Oey) bersama sahabatnya Alvin (Ringgo

Agus). Saat disana, mereka meminta Rani untuk memandunya

menuju kawah ijen namun saat berada disana Rania menjadi

kehilangan momen terpenting dalam hidupnya bersama sang ayah.

Karena menyesal, Rania berhenti untuk keliling dunia, samapai

datangnya surat undangan untuk pergi ke Korea. Kisah cinta islami

dalam film ini penuh makna dan bisa dikatakan sebaga salah satu

film ilami terbaik.

18. Assalamualaikum Beijing (2014)

Film ini pertama kali dirilis di tahun 2014 yang lalu dan

merupakan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel kayra

Asma Nadia. Film ini menceritakan tentang perjuangan cinta yang

amat rumit dan tentunya kita bisa mengambil banyak hikmah dan
185

juga pelajaran berarga dai film yang satu ini. Selain alur cerita

yang bagus dan menawan, dalam film ini kita juga akan disuguhi

dengan berbagai pemandangan indah yang ada di China.

19. Di bawah lindungan Ka’bah (2011)

Film lslami terbaik yang selanjutnya ini dirilis pada tahun

2011 silam. Film ini sendiri merupakan adaptasi dari sebuah novel

karya Buya Hamka yang telah lama diterbitkan, yakni pada tahun

1978 silam. Film ini menceritakan tentang kish cinta antara dua

insan manusia dari dua buah latar belakang keluarga yang berbeda.

Hamid dan juga Zainab sebenarnya saling mencintai, namun

karena hamid berasal dari keluarga miskin sedangkan Zainab

berasal dari keluarga kaya, membuat hubungan mereka ini menjadi

agak susah. Sampi sebuah kejadian membuat Hamid harus

berkelana hingga ke mekkah.

20. Surga Yang tak Dirindukan (2015)

Film terakhir kita berjudul Surga Yang tak Dirindukan

yang merupakan film yang telah dirilis pada tahun 2015 yang lalu

dan mengisahkan tentang sebuah rumah tangga ideal antara Pras

dan Ariani. Bersama anak perempuannya yang bernama Nadia,

membuat keluarga ini menjadi keluarga yang bahagia. Ditambah

lagi Pras adalah pria baik hati dan juga setia dan Ariani adalah ibu

dan istri yang baik serta mencintai keluarganya. Mereka hidup

damain dan tentram hingga suat saat Pras menyelamtkan seorang


186

wanita yang bernama Meirose yang mengalami koma akibat

kecelakaan.

Demikianlah 20 judul film bergenre Agama yang sudah dilulus

sensorkan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dan sudah mendapat Surat

Tanda Lulus Sensor (STLS).

Contoh skema gambar proses penyensoran:

KLASIFIKASI
LULUS STTLS
SU, 13+,17+,21+

TIDAK LULUS STTLS

FILM DAN PROSES SENSOR :


IKLAN FILM AU + AP + EP
TIDAK BERKEBERATAN DIREVISI

REVISI
SEPAHAM

BERKEBERATAN DIALAOG

AU ACUAN
UTAMA

AP ACUAN
PENDUKUNG

EP ELEMEN
PENILAIAN
187
188

4.2.2.Pertimbangan penelitian, penilaian dan penentuan kelayakan film

dari Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyeleksi/ menilai

tayangan atau adegan yang disensor agar diketahui bahwa film

tersebut bergenre Agama. Menurut:

4.2.2.1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Pedoman dan

kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan

Penarikan Film dari Peredaran

PERATURAN

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 2019

TENTANG

PEDOMAN DAN KRITERIA PENYENSORAN,

PENGGOLONGAN USIA PENONTON, DAN PENARIKAN

FILM DAN IKLAN FILM DARI PEREDARAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

10. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan

film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada khalayak umum.


189

11. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan

media komunikasi massa yang dibuat berdasarkankaidah

sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan.

12. Iklan Film adalah bentuk publikkasi dan promosi Film.

13. Surat Tanda Lulus Sensor yang selanjutnya disingkat STLS adalah

surat yang diterbitkan oleh Lembaga Sensor Film bagi setiap Film

dan Iklan Film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukan.

14. Kriteria Penyensoran adalah ukuran dan/atau standar yang berisi

batasan-batasan, larangan, kewajiban, dan pengaturan yang

berkaitan dengan Film dan Iklan Film.

15. Pertunjukan Film adalah pemutaran dan/atau penayangan yang

dipertunjukkan kepada umum melalui berbagai media.

16. Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah

lembaga yang melakukan penyensoran setiap Film dan Iklan Film.

17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan dibidang

kebudayaan.

Pasal 2

(1) Film dan Iklan Film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukan

wajib memperoleh STLS.

(2) STLS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah

dilakukan penyensoran yang meliputi:

c. Penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks

terjemahan suatu Film yang akan diedarkan dan/atau


190

dipertunjukkan kepada khalayak umum;

d. Penentuan kelayakan Film dan Iklan Film dan Iklan Film untuk

diedarkan dan/atau dipertunjukan kepada khalayak umum; dan

e. Penentuan penggolongan usia penonton.

(3) Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dengan prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari

pengaruh negatif Film dan Iklan Film.

Pasal 3

(1) Film dan Iklan Film yang disensor merupakan hasil akhir produksi

Film dan Iklan Film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan

kepda khalayak umum.

(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

(3) Film cerita sebagaimana dimakdud pada ayat (2) huruf a

merupakan film yang mengandung cerita.

(4) Film noncerita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

merupakan film yang berisi penyampaian informasi.

(5) Iklan Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Poster;

b. Stillphoto;

c. Slide

d. Klise

e. Thriller;

f. Banner;
191

g. Pamflet;

h. Brosur;

i. Baliho;

j. Spanduk;

k. Folder;

l. Plakat; dan

m. Sarana publikasi dan promosi lainnya.

BAB II

PEDOMAN DAN KRITERIA PENYENSORAN

Bagian Kesatu

Pedoman Penyensoran

Pasal 4

Penyensoran dilakukan dengan meneliti dan menilai Film dan Iklan

Film dengan berpedoman kepada asas, tujuan, dan fungsi perfilman

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang perfilman.

Pasal 5

Dalam melakukan penelitian dan penilaian, penentuan kelayakan,

penentuan penggolongan usia terhadap Film dan Iklan Film, kelompok

penyensor wajib memperhatikan:

a. Acuan utama; dan

b. Acuan pendukung

Pasal 6

Acuan utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a terdiri atas:


192

a. Konteks yang merupakan keterkaitan Film dan Iklan Film dengan

kesatuan narasi, latar, ekspresi adegan dan dialog, kejelasan tujuan,

relevansi, serta kerumitan;

b. Tema yang merupakan gagasan dan pikiran utama yang terkandung

dalam Film dan Iklan Film; dan

c. Nuansa dan dampak yang merupakan berbagai variasi atas

kombinasi audio visual yang dapat menimbulkan persepsi dan

akibat terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku penonton.

Pasal 7

Acuan pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b terdiri

atas:

a. Judul yang merupakan miniature isi bahasa ringkas, padat,

menarik, relevan, dan atraktif;

b. Adegan visual yang merupakan visualisasi perilaku yang berkaitan

dengan latar dimana cerita dimainkan;

c. Dialog atau monolog yang merupakan percakapan antar

pemaindan/atau percakapan secara solo, baik secara verbal maupun

dan/atau penggunaan menggunakan symbol komunikasi nonverbal;

dan

d. Teks terjemahan untuk Film nonbahasa Indonesia yang merupakan

terjemahan secara tertulis (subtitle) atas percakapan dan semua

bentuk simbil komunikasi nonverbal yang mengandung makna.

Bagian Kedua
193

Kriteria Penyensoran

Pasal 8

Penyensoran meliputi isi Film dan Iklan Film dari segi:

a. Kekerasan, pe rjudian, narkotika, psikotropika dan zat adiktif

lainnya;

b. Pornografi;

c. Suku, ras, kelompok, dan/atau golongan;

d. Agama;

e. Hukum;

f. Harkat dan martabat manusia; dan

g. Usia penonton Film.

Pasal 9

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung kekerasan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a apabila menampilkan:

a. Adegan tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, penusukan,

penyembelihan, mutilasi, pembacokan secara kasar dan ganas,

dan/atau adegan lain yang sejenis;

b. Manusia atau hewan yang bagian tubuh berdarah-darah, terpotong-

potong, kondisi yang mengenaskan akibat dari adegan kekerasan,

dan/atau adegan lain yang sejenis;

c. Adegan bunuh diri secara vulgar dalam sudut pengambilan gambar

jarak dekat; dan/atau


194

d. Kekerasan berlebihan terhadap hewan dalam sudut pengambilan

gambar jarak dekat, baik yang dilakukan oleh manusia maupun

oleh sesame hewan.

Pasal 10

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung perjudian

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a apabila menampilkan

adegan pelaksanaan berjudi berulang-ulang dan teknik berjudi secara

berlebihan.

Pasal 11

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung penyalahgunaan

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud

dalam pasal 8 huruf a apabila menampilkan adegan menggunakan

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, secara detail, vulgar, dan

mudah ditiru dari sudut pengambilan gambar jarak dekat.

Pasal 12

Film atau iklan film diaktegorikan mengandung pornografi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b apabila keseluruhan isi

Film dengan sengaja bertujuan untuk menampilkan adegan eksploitasi

seksual dengan:

a. Visual telanjang, setengah tubuh bagi perempuan atau seluruh

tubuh baik bagi perempuan atau laki-laki yang diperlihatkan dari

depan, dari samping, dan/atau dari belakang;


195

b. Visual, dialog, dan/atau monolog yang menggambarkan aktivitas

bersenggamaan secara vulgar dan perilaku seks yang menyimpang

atau tidak wajar;

c. Ciuman bibir yang menjurus pada pornografi;

d. Sudut penggambilan gambar jarak dekat bagian tubuh tertentu

yang membangkitkan syahwat;

e. Gerakan tubuh dan/atau tarian erotic;

f. Visual aborsi;

g. Visual perkosaan;

h. Dialog atau monolog cabul;

i. Lirik lagu yang bernuansa seks dan cabul; dan/atau

j. Penggunaan alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan fungsi

sebenarnya.

Pasal 13

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung persoalan

diskriminasi terkait suku, ras, kelompok, atau golongan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 8 huruf c apabila keseluruhan isi Film dengan

sengaja bertujuan untuk mendeskripsikan suku, ras, kelompok, atau

golongan tertentu dengan menampilkan:

a. Materi ang melecehkan dan/atau merendahkan suku, ras,

kelompok, atau golongan termasuk merendahkan laki-laki,

perempuan, anak, dan penyandang disabilitas;


196

b. Materi yang dapat menimbulkan pertentangan atau keberagaman

norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh suku, ras,

golongan, atau kelompok tertentu; dan/atau

c. Materi yang dapat menimbulkan salah tafsir antarsuku, antarras,

antargolongan, dan antarkelompok.

Pasal 14

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung persoalan agama

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf d apabila keseluruhan isi

Film dengan sengaja bertujuan untuk merusak kerukunan hidup

beragama, memperolok-olok kesucian gama atau symbol agama,

dan/atau meremehkan kesucian agama atau symbol agama.

Pasal 15

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung persoalan hokum

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf e apabila keseluruhan isi

Film dengan sengaja bertujuan untuk melanggar Pancasila, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka

Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang negara,

dan/atau peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Film atau Iklan Film dikategorikan mengandung persoalan harkat dan

martabat manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf f

apabiila menampilkan adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang


197

melanggar hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

BAB III

PENGGOLONGAN USIA PENONTON

Pasal 17

Film dan Iklan Film ang telah disensor disertai pencantuman kode

penggolongan usia penonton berupa:

a. SU untuk penonton semua umur;

b. R13 untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

c. D17 untuk penonton usia 27 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan

d. D21 untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 18

(1) Film dan Iklan Film dengan kode SU sebagaimana dimaksud

dengan pasal 17 huruf a, merupakan Film dan Iklan Film yang

khusus dibuat dan ditunjukan untuk semua umur dengan

menekankan pada anak-anak ang mengandung nilai budi pekerti,

hiburan sehat, apresiasi, estetika, dan/atau mendorong rasa ingin

tahu mengenai lingkungan.

(2) Film dan Iklan Film mengandung kode SU berisi judul, tema,

gambar, adegan, terjemahan yang tidak merugikan perkembangan

kesehatan fisik dan jiwa anak-anak.

(3) Film dan Iklan Film dengan kode SU dipertunjukkan pada:

a. Layar lebar;
198

b. Penyiaran televis;

c. Jaringan teknologi informatika; dan/atau

d. Media pertunjukan public lainnya

Pasal 19

(1) Film dan Iklan Film dengan kode R13 sebagaimana dimaksud

dengan pasal 17 huruf b, merupakan Film dan Iklan Film yang

khusus dibuat dan ditunjukan untuk remaja yang mengandung nilai

pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai sosial budaya, budi pekerti,

hiburan, apresiasi, estetika, kreatifitas, dan menumbuhkan rasa

ingin tahu yang positif tentang lingkuran sekitar.

(2) Film dan Iklan Film dengan kode R13 berisi judul, tema, gambar,

adegan, suara, dan teks terjemahan yang sesuai dengan usia

peralihan dari anak-anak ke remaja.

(3) Film dan Iklan Film dengan kode R13 dipertunjukan pada:

a. Layar lebar;

b. Penyiiaran televisi;

c. Jaringan teknologi informatika; dan/atau

d. Media pertunjukan public lainnya.

Pasal 20

(1) Film dan Iklan Film dengan kode D17 sebagaimana dimaksud

dalam pasal 17 huruf c, merupakan Film dan Iklan Film yang

khusus dibuat dan ditunjukan untuk dewasa berusia 17 (tujuh

belas) tahun ke atas yang mengandung nilai pendidikan dan ilmu


199

pengetahuan, nilai sosial budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi

estetik, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap

lingkungan sekitar.

(2) Film dan Iklan Film dengan kode D17 berisi judul, tema, gambar,

adegan, suara, dan teks terjemahan yang sesuai dengan usia

peralihan dari remaja ke dewasa.

(3) Film dan Iklan Film dengan kode D17 dipertunjukan pada:

a. Layar lebar;

b. Penyiaran televise; dan/atau

c. Jaringan teknologi informatika.

Pasal 21

(1) Film dan Iklan Film dengan kode D21 sebagaimana dimaksud

dalam pasal 17 huruf d, merupakan Film dan Iklan Film yang

khusus dibuat dan ditunjukan untuk dewasa berusia 21 (dua puluh

satu) tahun ke atas yang mengandung nilai sosial budaya, budi

pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan menimbulkan rasa

tanggungjawab terhadap dunia.

(2) Film dan Iklan Film dengan kode D21 berisi judul, tema, gambar,

adegab, suara, dan teks terjemahan yang sesuai dengan usia

dewasa.

(3) Film dan Iklan Film dengan kode D21 dipertunjukan pada:

a. Layar lebar; dan


200

b. Penyiaran televise diatas pukul 23.00 sampai dengan 03.00

waktu setempat.

(4) Pertunjukan Film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh

satu) tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan

di lapangan terbuka atau di gedung pertunjukan nonbioskop

kecuali untuk kegiatan apresiasi Film atau pertunjukkan Film untuk

tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 22

Penempatan kode golongan usia penonton sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 pada media pertunjukan ditentukan sebagai berikut:

a. Pencantuman kode golongan usia penonton pada layar lebar

ditentukan pada telop Film dan semua jenis Iklan Film;

b. Pencantuman kode golongan usia pada penyiaran televise

diletakkan pada posisi atas layar sepanjang pertunjukan Film dan

Iklan Film; dan

c. Pencantuman kode golongan usia penonton pada jaringan

teknologi informatika atau media pertunjukan public lainnya

diletakkan pada telop Film dan semua jenis Iklan Film.

BAB IV

MEKANISME PENYENSORAN

Pasal 23

(1) film dan Iklan Film yang akan disensor wajib didaftarkan ke

Sekretariat LSF secara daring dan/atau luring.


201

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

pemilik atau pemegang hak cipta Film atau Iklan Film.

(3) Pemilik atau pemegang hak cipta Film atau Iklan Film

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang akan mengajukan

penyensoran wajib memenuhi persyartan sebagai berikut:

a. Mengisi formulir pendaftaran;

b. Manyampaikan materi dan sinopsis Film bagi Film dan Iklan

Film sesuai dengan judul dan isi cerita yang tercantum dalam

surat Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film;

c. Membayar biaya sensor sesuai dengan ketentuan; dan

d. Melampirkan surat Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film bagi

pelaku usaha pembuatan Film atau surat rekomendasi impor

Film bagi usaha impor Film.

Pasal 24

(1) Film iklan yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukan wajib

untuk disensor?

(2) Film iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Film

yang bertujuan sebagai alat promoosi dan penjualan atas produk

atau jasa tertentu.

(3) Film iklan yang diedarkan dan/atau dipertunjukan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Alat kesehatan dan pembekalan kesehatan rumah tangga

melampirkan izin edar dari kementrian yang menangani urusan


202

pemerintah dibidang kesehatan;

b. Praktek pengobatan tradisional harus melampirkan surat izin

beriklan dari kementrian yang menangani urusan pemerintahan

dibidang kesehatan;

c. Pangan olahan dan kosmetik harus melampirkan surat izin edar

dari bahan yang menyelenggarakan fungsi pengawasan obat

dan makanan;

d. Pangan olahan yang mengklaim dapat menurunkan risiko

penyakit dan/atau mengandung tambahan komponen tertentu

harus dilengkapi surat persetujuan beriklan dari bahan yang

menyelenggarakan fungsi pengawasan obat dan makanan;

e. Obat tradisional dan suplemen kesehatan harus dilampiri surat

persetujuan beriklan dari badan yang menyelenggarakan fungsi

pengawasan obat dan makanan; dan

f. Obat yang akan diiklankan harus dilampiri nomor izin edar dan

persetujuan iklan dari badan yang menyelenggarakan fungsi

pengawasan obat dan makanan, kecuali iklan yang hanya

menyantumkan nama obat dan nama industri farmasi hanya

melampirkan nomor izin edar.

Pasal 25

(1) Hasil penyensoran Film dan Iklan Film berupa:

a. Lulus sensor; dan

b. Tidak lulus sensor.


203

(2) Lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu

Film dan Iklan Film yang sesuai dengan Kriteria Penyensoran

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.

(3) Tidak lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

yaitu Film dan Iklan Film yang tidak sesuai dengan Kriteria

Penyensoran sebagaimna dimaksud dalam pasal 8.

(4) Film dan Iklan Film yang dinyatakan tidak lulus sensor

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembalikan kepada

pemilik Film dan Iklan Film untuk diperbaiki.

(5) Perbaikan Film dan Iklan Film sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) dapat diajukan paling banyak 3 (tiga) kali.

(6) LSF membuka ruang dialog dengan pemilik Film dan Iklan

Film terkait dengan Film dan Iklan Film yang diperbaiki

sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 26

(1) Dalam hal Film dan Iklan Film dinyatakan lulus sensor

sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) huruf a, LSF

menerbitkan STLS.

(2) Dalam hal Film dan Iklan Film dinyatakan tidak lulus sensor

sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) huruf b, LSF

menerbitkan surat tanda tidak lulus sensor.

(3) Iklan Film berupa baliho, sepanduk, plakat banner, pamphlet,

folder, dan selanjutnya yang dinyatakan lulus sensor, LSF


204

memberikan stempel tanda lulus sensor.

Pasal 27

(1) Pelaku pertunjukan Film wajib menampilkan telop bagi setiap

Film yang telah lulus sensor ketika dipertunjukkan.

(2) Bagi pelaku usaha penjualan dan penyewaan Film wajib

membuat telop dan mencantumkan penggolongan usia

penonton pada materi publikasi dan sampul kemasan.

BAB V

PENARIKAN FILM DAN IKLAN FILM DARI PEREDARAN

Pasal 28

(1) Masyarakat dapat melaoprkan Film dan Iklan Film yang sudah

lulus sensor yang menimbulkan gangguan terhadap keamanan,

ketertiban, ketentraman, atau keselarasan hidup masyarakat.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

secara daring dan/atau luring kepada LSF.

Pasal 29

(1) Film dan Iklan Film yang sudah lulus sensor dapat ditarik dari

peredaran oleh Menteri berdasarkan pertimbangan LSF apabila

menimbulkan gangguan terhadap, keamanan, ketertiban,

keamanan, atau keselarasan hidup masyarakat.

(2) Pertimbangan adanya gangguan terhadap kemanan, ketertiban,

ketentraman, atau keselarasan hidup masyarakat diputuskan

dalam rapat pleno anggota LSF.


205

(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

berdasarkan masukan dari para pemangku kepentingan, pihak

yang berwenang, dan/atau tenaga ahli di bidangnya.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara

Republik Indonesia.102

4.2.2.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

2014 Tentang Lembaga Sensor Film

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2014

TENTANG

LEMBAGA SENSOR FILM

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
102
Effendy Muhadjir. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ditetapkan di
Jakarta 22 April 2019
206

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Film adalah karya seni buaya yang merupakan pranata

sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa

suara dan dapat dipertunjukan.

2. Sensor film adalah penelitiian, penilaian, dan penentuuan

kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan

kepada khalayak umum.

3. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

4. Lembaga sensor film yang selanjutnya disingkat LSF

adalah lembaga yang melakukan penyensoran setiap film

dan iklan film.

5. Pertunjukan film adalah pemutaran dan/atau penayangan

film yang diperuntukkan kepada umum melalui berbagai

media.

6. Kode etik adalah norma yang memuat standar moral dan

perilaku anggota LSF dan tenaga sensor.

7. Tenaga sensor adalah seseorang yang memiliki

kompetensi dibidang penyensoran.

8. Menteri adalah menteri yang melindungi urusan

kebudayaan.

Pasal 2
207

(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

(2) Film sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berbentuk film

cerita atau film noncerita.

(3) Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk

poster, sthillphoto, slide, klise, traller, banner, pamphlet,

brosur, baliho, spanduk, folder, plakat, dan sarana publikasi

dan promosi lainnya.

(4) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup film

iklan.
208

BAB II

PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, DAN KEANGGOTAAN

Bagian Kesatu

Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan

Pasal 3

(1) Pemerintah membentuk LSF untuk melakukan penyensoran

film dan iklan film

(2) LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga

yang bersifat tetap dan independen yang berkedudukan di

Ibukota Negara Republik Indonesia

(3) LSF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden

melalui Menteri

Pasal 4

(1) LSF dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi

(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh LSF

Bagian Kedua

Susunan Organisani

Pasal 5

(1) Susunan organisasi LSF terdiri atas:

f. Ketua merangkap anggota;

g. Wakil ketua merangkap anggota;

h. Sekretaris bukan anggota


209

(2) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d

merupakan pimpinan secretariat LSF.

(3) Ketuua dan wakil ketua dipilih oleh dan dari anggota LSF.

Bagian Ketiga

Tugas, Fungsi, dan Wewenang

Pasal 6

LSF mempunyai tugas:

a. Melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan

dan/atau dipertunjukan kepada khalayak umum; dan

b. Melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar,

adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film

yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak

umum.

Pasal 7

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6,

LSF mempunyai fungsi:

a. Pertimbangan terhadap masyarakat dari dampak negative yang

timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film yang

tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman

Indonesia;

b. Penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda

lulus sensor;
210

c. Sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada

pemilik film dan iklan film agar dapat menghasilkan film dan

iklan film yang bermutu;

d. Pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan

menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta

memahami pengaruh film dan iklan film;

e. Pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi

informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar

dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan

f. Pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film

yang diedarkan, dipertunjukan dan menganalisis hasil

pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya

dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan

pengambilan kebijakan kearah pengembangan perfilman di

Indonesia.

Pasal 8

LSF mempunyai wewenang:

a. Penentuan penggolongan usia penonton;

b. Pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan

pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh

pemilik film dan iklan film;


211

c. Penyensoran ulangb (re-censor) film dan iklan film yang sudah

diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman dan

kriteria penyensoran;

d. Pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk

setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus

sensor;

e. Pembatalan surat tanda lulus sensor;

f. Pengusulan sanksi administrative kepada pemerintah terhadap

pelaku kegitan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Perfilman; dan

g. Pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus

dan yang tidak lulus sensor kepada presiden melalui Menteri

secara periodik.

Pasal 9

Dalam melaksanakan tugas LSF dibantu oleh secretariat LSF dan

Tenga Sensor.

Pasal 10

(1) LSF dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

pasal 6 berpedoman pada tata kerja dan tata laksana.

(2) Ketentuan mengenai tata kerja tata laksana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan LSF


212

Bagian Keempat

Keanggotaan

Pasal 11

(1) LSF beranggotakan 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas 12

(dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) unsur orang

pemerintah.

(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memiiki kepakaran di bidang:

a. Pendidikan;

b. Perfilman;

c. Kebudayaan;

d. Hukum;

e. Teknologi informasi;

f. Pertahanan dan keamanan;

g. Bahasa;

h. Agama; dan/atau

i. Kepakaran lain yang relevan.

(3) Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri

atas kementrian/lembaga yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang:

a. Pendidikan 1 (satu) orang;

b. Kebudayaan 1 (satu) orang;

c. Komunikasi dan informasi 1 (satu) orang;


213

d. Agama 1 (satu) orang;

e. Ekonomi kreatif 1 (satu) orang

Untuk dapat diangkat sebagai anggota LSF harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. Warga Negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35

(tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh)

tahun;

b. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memahami asas, tujuan, dan funsi perfilman;

d. Memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas

penyensoran; dan

e. Dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Pasal 12

(1) Masa jabatan anggota LSF selama 4 (empat) tahun dan dapat

diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(2) Pengangkatan dan pemberhentian anggota LSF ditetapkan

dengan Keputusan Presiden.

Pasal 13

Calon anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi anggota LSF.


214

Pasal 14

(1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 berasal

dari pemangku kepentingan perfilman yang dibentuk dan

ditetapkan oleh Menteri.

(2) Pemangku kepentingan perfilman sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas:

a. Pemerintah dan pemerintah daerah

b. Pelaku kegiatan perfilman;

c. Pelaku usaha perfilman; dan

d. Masyarakat.

(3) Panitia seleksi beranggotakan paling sedikit 5 (lima) orang dan

berjumlah gasal.

(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota LSF bekerja

secara jujur, terbuka, dan objektif.

(5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13

bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 15

(1) Menteri mengajukan 2 (dua) kali jumlah calon anggota LSF

kepada presiden.

(2) Presiden mengangkat 17 (tujuh belas) anggota LSF setelah

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.


215

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota LSF mengucapkan

sumpah atau janji.

(2) Pengucapan sumpah atau janji bagi para anggota LSF

dilakukan dihadapan Menteri.

Pasal 17

(1) Angota LSF berhenti karena:

a. Berakhir masa jabatannya;

b. Mengundurkan diri dan/atau ditarik oleh

kementrian/lembaga yang mengusulkannya; atau

c. Meninggal dunia.

(2) Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggota LSF

diberikan karena:

a. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota LSF;

b. Dinyatakan melanggar sumpah/janji atau kode etik;

c. Menyalahgunakan wewenang sebagai anggota LSF

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki

kekuatan hokum tetap;

d. Berhalangan tetap atau secara terus menerus selama 3 (tiga)

bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; atau

e. Tidak melaksanakan tugas dan fungsinya secara

independen sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal

7.
216

Pasal 18

Menteri mengusulkan pemberhentian anggota LSF sebagaimana

dimaksud dalam pasal 15 kepada Presiden.

Pasal 19

(1) Dalam hal anggota LSF berhenti dan diberhentikan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf

c, dan ayat (2) dapat dilakukan penggantian antarwaktu.

(2) Masa jabatan penggantian antarwaktu adalah sampai dengan

berakhirnya masa keanggotaan LSF yang digantikan.

(3) Penggantian antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

selama kurang dari 2 (dua) tahun tidak dihitung sebagai periode

masa jabatan.

Pasal 20

(1) Calon pengganti antarwaktu anggota LSF harus:

a. Tercantum dalam daftar calon anggota LSF pada saat

pemilihan calon anggota LSF.

b. Berasal dari unsur yang sama;

c. Memenuhi syarat calon anggota LSF; dan

d. Bersedia dicalonkan.

(2) Dalam hal calon pengganti antar waktu dari unsur yang sama

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak terpenuhi,

menteri mengusulkan kepada Presiden calon pengganti


217

antarwaktu tanpa melalui proses seleksi sebagaimana diatur

dalam pasal 14 dan pasal 15.

Bagian Kelima

Kode Etik dan Komite Etik

Pasal 21

(1) LSF menyusun Kode Etik yang berisi norma yang wajib

dipatuhi oleh setiap anggota LSF dan Tenaga Sensor selama

menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan,

citra, dan kredibilitas LSF.

(2) Ketentuan mengenai Kode Etik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan LSF.

Pasal 22

(1) Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Menteri

dapat membentuk komite etik yang bersifat ad hoc.

(2) Anggota komite etik berjumlah paling sedikit 9 (sembilan)

orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang

etika penyensoran serta merupakan tokoh-tokoh masyarakat.

BAB III

PEDOMAN DAN KRITERIA PENYENSORAN

Bagian Kesatu

Umum
218

Pasal 23

(1) LSF melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan

kriteria penyensoran film..

(2) LSF melibatkan tenaga ahli dan wakil organisasi

kemasyarakatan untuk memberi masukan terhadap film yang

disensor.

(3) Dalam melaksananakan penyensoran film sebagai mana

dimaksud pada ayat (1) LSF dapat mengenakan tariff

penyensoran.

Pasal 24

(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukan kepada khalayak umum wajib disensor terlebih

dahulu oleh LSF.

(2) Prosedur penyensoran dilakukan sebagai berikut:

a. Pemilik film dan iklan film mendaftarkan film dan iklan

film ke LSF;

b. Film dan iklan film diteliti dan dinilai serta ditentukan

kelayakannya oleh LSF dan dilabeli dengan surat tanda

lulus sensor atau tidak lulus sensor.

c. Film dan iklan film yang tidak lulus sensor dikembalikan

kepada pemilik film dan iklan film untuk diperbaiki; dan

d. Film dan iklan film sudah diperbaiki oleh pemilik film dan

iklan film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai


219

kembali oleh LSF.

(3) Proses penyensoran film dan iklan film dilaksanakan oleh

kelompok penyensor yang terdiri atas:

a. Anggota LSF; dan

b. Tenaga Sensor.

(4) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat diantara kelompok

penyensor atau suatu film dan iklan film diteruskan ke sidang

pleno untuk mendapatkan keputusan.

(5) Setiap film dan iklan film yang telah dinyatakan lulussensor

diterbitkan surat tanda lulus sensor.

Pasal 25

(1) Penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip

dialogis dengan pemilik film dan iklan film yang disensor.

(2) Selain hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyensoran

dimaksudkan pula sebagai sasaran pemeliharaan tata nilai dan

buda bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan

kepribadian bangsa Indoonesia.

(3) Penyensoran sebagaimna mata rantai pembinaan diarahkan

guna menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri

dikalangan insan perfilman dalam berkarya dan berkreasi

sebagai perwujudan tanggung jawab, harkat, dan martabat

bangsa.

Pasal 26
220

(1) Penyensoran Film dan Iklan Film dilakukan berdasarkan

prinsip dialogis dengan pemilik Film dan Iklan Film yang

disensor.

(2) Selain hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyensoran

dimaksudkan pula sebagai sarana pemeliharaan tata nilai dan

budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai

dengan kepribadian bangsa Indonesia.

(3) Penyensoran sebagai mata rantai pembinaan diarahkan guna

menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri dari

kalangan insan perfilman dalam berkarya dan berkreasi sebagai

perwujudan tanggung jawab, harkat, dan martabat bangsa.

Pasal 26

Pelaksanaan penyensoran oleh LSF dilakukan dengan penuh rasa

tanggung jawab dan memperhatikan sifat kontekstual sebuah film,

kemajuan teknologi serta perkembangan tata nilai di dalam

masyarakat.

Pasal 27

(1) Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam pasal 24

ayat (5) dikeluarkan oleh LSF dan ditandatangani oleh ketua

LSF.

(2) Dalam hal ketua LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berhalangan, baik berhalangan tetap maupun berhalanggan


221

tidak tetap, surat tanda lulus sensor ditandatangani oleh Wakil

Ketua LSF.

Pasal 28

(1) Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan

kedalam usia penonton film sebagai berikut:

a. Untuk penonton semua umur;

b. Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

c. Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan

d. Untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

(2) LSF menetapkan kelayakan film dan iklan film ke dalam

penggolongan usia penonton sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

Bagian Kedua

Pedoman Penyensoran

Pasal 29

(1) Penyensoran dilakukan dengan meneliti dan menilai film dan

iklan film berpedoman kepada asas, tujuan, dan fungsi

perfilman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tentang Perfilman.

(2) Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi isi

film dan iklan film terdiri dari:

a. Kekerasan, perjudian, dan narkoba;

b. Pornografi;
222

c. Suku, ras, kelompok, dan/atau golongan;

d. Agama;

e. Hukum;

f. Harkat dan martabat manusia; dan

g. Usia penonton film

Bagian Ketiga

Kriteria Penyensoran

Pasal 30

(1) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 atau (2) huruf

a meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat

mendorog penonton bersimpati pada pelaku yang melakukan

kekerasan sadis terhadap manusia dan hewan.

(2) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

perjudian sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (2) huruf

a meliputi adegan pelaksanaan berjudi berulang-ulang dan

teknik berjudi secara berlebihan.

(3) Kriteria penyensoran isi film dan iklan film dari segi narkotika

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a

meliputi adegan teknik penggunaan narkotika, psikotropika dan

zat adiktif lainnya secara vulgar dan mudah ditiru.

(4) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)


223

huruf b meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang

menampilkan nafsu seks secara vulgar dan berlebihan.

(5) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

suku, ras, kelompok, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c meliputi adegan visual, dialog,

dan/atau monolog yang dapat mengadu domba antar komunitas

politik atau komunitas sosial, dan dapat menampilkan kesan

mendeskreditkan dan/atau merendahkan suku, ras, kelompok

dan/atau golongan.

(6) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf d

meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat

merusak kerukunan hidup beragama, yang memperolok-olok

dan/atau meremehkan kesucian agama atau symbol agama.

(7) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

harkat dan martabat manusia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 29 ayat (2) huruf e meliputi adegan visual, dialog,

dan/atau monolog yang dapat mendorong penonton melakukan

tindakan melawan hukum dan/atau anarkis terhadap Pancasila,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan/atau lambang negara.


224

(8) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi

harkat dan martabat manusia sebagaimana dimaksud dalam

pasal 29 ayat (2) huruf f meliputi adegan visual, monolog

dan/atau monolog yang melanggar hak asasi manusia.terhadap

isi film dan iklan film

(9) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film yang

dikaitkan dengan usia penonton sebagaimana dimaksud dalam

pasal 28 meliputi adegan visual dan dialog, dan/atau monolog

yang layak atau tidak layak dipertontonkan.

Pasal 31

Ketentuuan lebih lanjut mengenai pedoman dan kriteria

penyensoran sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan pasal 30

diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Penggolongan Usia

Pasal 32

Film dan iklan film yang telah disensor disertai pencantuman

penggolongan usia penonton yang meliputi:

a. Untuk penonton semua umur;

b. Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

c. Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan

d. Untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 33
225

Film dan iklan film digolongkan untuk penonton semua umur

apabila memenuhhi kriteria:

a. Dibuat dan ditunjukan untuk penonton semua umur dengan

penekanan pada anak-anak;

b. Berisi tema, judul, adegan visual, serta dialog dan/atau

monolog sesuai usia dan tidak merugikan perkembangan dan

kesehatan fisik dan jiwa anak-anak;

c. Mengandung unsur pendidikan, budaya, budi pekerti, hiburan

sehat, apresiasi estetika dan/atau mendorong rasa ingin tahu

mengenai lingkungan;

d. Tidak mempertontonkan adegan kekerasan, baik fisik maupun

dialog dan/atau monolog, yang mengakibatkan mudah

ditiru/diikuti oleh anak-anak;

e. Tidak mempertontonkan adegan yang memperlihatkan perilaku

atau situasi membahayangkan yang mudah ditiru/diikuti oleh

anak-anak;

f. Tidak mengandung adegan visual dan/atau dialog dan/atau

monolog yang dapat mendooorong anak meniru perilaku seks,

bersikap tidak sopan kepada orang tua dan/atau guru, memaki

orang lain dan/atau menggunakan kata-kata kasar serta adegan

anti sosial seperti tamak, licik, dan/atau dusta.

g. Tidak mengandung muatan yang membuat anak-anak percaya

kepada klenik atau ilmu gaib/ perdukunan, spiritual magis,


226

mistis, dan tahayul yang bertentangan dengan norma agama;

h. Tidak mengandung adegan visual horor dan sadis; dan/atau

i. Tidak menampilkan adegan visual, dialog, dan/atau monolog

yang dapat menggangu perkembangan jiwa anak seperti

perselingkuhan, bunuh diri, perjudian, penggunaan narkotika

dan zat adiktif lainnya.

Pasal 34

Film dan iklan film digolongkan untuk menonton usia 13 (tiga

belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

a. Mengandung nilai pendidikan, budi pekerti, apresiasi, estetika

kreatifitas, dan pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif;

b. Berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/atau monolog

yang sesuai dengan penonton berusia peralihan dari anak-anak

ke remaja; dan/atau

c. Tidak menampilkan adegan yang peka untuk ditiru oleh usia

peralihan dari anak-anak keremaja seperti adegan berbahaya

serta adegan pergaulan bebas antar manusia yang berlainan

jenis maupun sesame jenis.

Pasal 35

Film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 17 (tujuh

belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

a. Mengandung nilai pendidikan, budaya, budi pekerti, apresiasi,

estetika, dan/atau pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif;


227

b. Berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/atau monolog

yang sesuai dengan penonton berusia 17 (tujuh belas) tahun

keatas;

c. Berkaitan dengan seksualitas yang disajikan secara proposional

dan edukatif;

d. Berkaitan dengan kekerasan yang disajikan secara proposional;

dan/atau

e. Tidak menampilkan adegan sadisme.

Pasal 36

Film dan iklan film digolongkan untuk menonton usia 21 (dua

puluh satu) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

a. Judul, tema, adegan visual, dan/atau dialog dan/atau monolog

yang ditunjukan untuk orang dewasa;

b. Tema dan permasalahan keluarga;

c. Adegan visual dan dialog tentang seks serta kekerasan dan

sadism tidak berlebihan;

d. Penayangan ditelevisi setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul

03.00 waktu setempat; dan/atau

e. Pertunjukan hanya digedung bioskop, kecuali untuk kegiatan

apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan pendidikan

dan/atau penelitian.

Pasal 37
228

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggolongan usia

sebagaimana dimaksud Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 diatur

dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Penerikan Peredaran Film dan Iklan Film

Pasal 38

(1) Film dan iklan film yang sudah lulus sensor dapat ditarik dari

peredaran oleh Menteri berdasarkan pertimbangan LSF apabila

menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban,

ketentraman atau keselarasan hidup masyarakat.

(2) Ketentuan mengenai penarikan film dan iklan film dari

peredaran diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IV

SEKRETARIATAN LEMBAGA SENSOR FILM

Pasal 39

(1) Secretariat LSF dipimpin oleh Sekretarias LSF.

(2) Sekretariat LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal

dari pegawai negeri sipil.

(3) Secretariat LSF mempunyai tugas memberikan dukungan

administrative dan teknis kepada LSF.

(4) Secretariat LSF secara administrative bertanggungjawab

kepada Menteri.
229

(5) Sekretaris LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat

dan diberhentikan oleh Menteri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja

secretariat LSF ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan

persetujuan tertulis dari Menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara

dan informasi birokrasi.

Pasal 40

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39

ayat (1), Sekretariat LSF mempunyai fungsi:

a. Penyusunan dan pelaksanaan bahan rumusan kebijakan di

bidang penyensoran.

b. Penyusunsan rencana dan program

c. Pengelolaan urusan sumber daya; dan

d. Pengelolaan urusan umum.

BAB V

TENAGA SENSOR

Pasal 41

(1) Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, LSF dibantu oleh

Tenaga Sensor yang memiliki tugas penyensoran:n,

ditayangkan,

a. Melaksanakan penelitian, penilaian, dan analisa terhadap

suatu film dan iklan film untuk dipertunjukkan,


230

ditayangkan, dan/atau diedarkan kepada khalayak umum;

b. Memantau hasil penyensoran yang dipertunjuk,

ditayangkan, dan/atau diedarkan kepada khalyak umum

melalui layar lebar, televise, dan jaringan teknologi

informatika;

c. Melaporkan hasil penelitian, penilaian, dan penentuan

kelayakan LSF.

(2) Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal

dari pegawai negeri sipil dan/atau bukan pegawai negeri sipil.

(3) Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas:

a. Tenaga Sensor yang berkedudukan di pusat; dan

b. Tenaga Sensor yang berkedudukan di ibukota provinsi.

(4) Tenaga Sensor yang berkedudukan di Pusat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a berjumlah paling banyak 45

(empat puluh lima) orang.

(5) Tenaga Sensor yang berkedudukan di ibukota provinsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berjumlah paling

banyak 15 (lima belas) orang.

Pasal 42
231

(1) Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 harus

memenuhi syarat:

a. Warga negara Republik Indonesia;

b. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;

d. Memiliki kompetensi di bidang penyensoran sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu;

f. Memiliki pemahaman tentang budaya daerah dan kearifan

local; dan

g. Mampu melakukan penilaian terhadap isi film.

(2) Tenaga Sensor dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

oleh Menteri.

(4) Tenaga Sensor yang terpilih diangkat oleh Menteri.

Pasal 43

(1) Tenaga Sensor sebelum melakukan tugas, wajib mengucapkan

sumpah atau janji.

(2) Pengambilan sumpah atau janji bagi para Tenaga Sensor film

dilakukan oleh Ketua LSF.

BAB VI
232

PENDANAAN

Pasal 44

(1) LSF dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

(2) Selain dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara,

LSF dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja

daerah.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, anggota LSF yang

diangkat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 19455

tentang Lembaga Sensor Film tetap menjalankan tugas dan

fungsinya sampai dengan pengambilan sumpah atau janji para

anggota LSF berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 46

Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 7

Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 12) dinyatakan masih tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belumm diganti dengan

peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


233

Pasal 47

Semua peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini harus

ditetapkan paling lambat 1(satu) tahun sejak Peraturan

Pemerintahan ini diundangkan.

Pasal 48

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 12)

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 49

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.103

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2014

TENTANG LEMBAGA SENSOR

103
Bambang Yudhoyono Susilo. Presiden Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta 11 Maret
2014.
234

1. UMUM

Kesadaran manusia akan kebutuhan hiburan memberi

peluang besar pada industri perfilman untuk mengembangkan

usahanya dalam melayani masyarakat. Perkembangan industri

perfilman menjadi salah satu aspek signifikan dalam pergerakan

roda perekonomian negara. Pada beberapa negara industri justru

menjadi salah satu ujung tombak perekonomian negarannya.

Indonesia memiliki kondisi yang berbeda dengan negara-

negara yang menjadi pelaku utama industri perfilman global.

Kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan asfek produksi

film nasional menjadikan negara ini lebih banyak mengakses

komoditi film dari luar/mengimpor film. Hal ini tentu saja

sangat berpengaruh pada perkembangan dan pembangunan

industri perfilman nasional. Pengaruh yang dibawa oleh film

dari luar tidak hanya berupa pengaruh dalam makna system dan

teknis semata, namun juga pengaruh dalam makna ideologis.

Bentuk ideologis itu bisa berupa nilai dan norma yang berbeda

dengan ketentuan hukum di Indonesia. Perbedaan ini baik secara

langsung mauoun tak langsung akan berimbas pada

dekonstruksi dan perubahan nilai norma yang belum tentu

bermakna positif bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Film sbagai sebuah komuditas informasi hiburan tidak

dapat dipisahkan dari nilai-nilai, norma, dan budaya yang


235

dibawanya. Perkembanggan perfilman sedikit banyak tentu saja

akan mempengaruhi pola dan gaya hidup masyarakat yang

mengaksesnya. Hadirnya nilai dan norma baru ini merupakan

aspek-aspek yang mempunyai potensi membentuk budaya baru

atau merubah budaya yang sudah ada. Beberapa aspek tersebut

mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma luhur yang sudah

ada di Indonesia dan telah terwariskan dari generasi ke generasi.

Nilai yang dibawa dalam film tidak selalu berasal dari

ideology barat, tidak selalu berasal dari impor saja. Nilai dan

norma yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia juga sangat

mungkin sangat mungkin berasal dari film produksi dalam

negeri. Kondisi ini tentu harus mendapatkan perhatian serius

dari Pemerintah dan masyarakat. Sebuah upaya untuk

menciptakan filter budaya bangsa dari rongrongan budaya luar

dan dalam yang bersifat deskrutif dan sudah selayaknya menjadi

prioritas dalam konteks pembangunan perfilman nasional.

Penyensoran dilakukan dengan prinsip dialog dengan

pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman,

pelaku usaha perfilaman, perwakilan diplomatika atau badan

internasional yang diakui Pemerintah. Film yang mengandung

tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang sesuai

dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada

pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan


236

kriteria sensor. Selain masyarakat wajib dilindungi dari

pengaruh negatif film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk

berperan serta dalam perfilman, baik sescara perseorangan

maupun secara kelompok.

Lembaga Sensor Film (LSF) pada dasarnya diperlukan

untuk melindungi masyarakat dari beberapa persoalan di atas.

LSF harus dapat melakukan fungsinya sebagai sensor yang

profosional.

Film sebagai sebuah kesatuan narasi audio-visual tidak bisa

dipilah menjadi bagian kecil yang terpisah. Film memiliki

kesatuan makna yang hanya bisa diidentifikasi dalam sebuah

urutan narasi dari awal sampai pada akhir. Hal inilah yang

menjadikan tugas LSF lebih bersifat terurai dan jelas.

Penghilangan sebuah adegan yang subtansial akan

menghilangkan makna film itu sensiri. Masalah ketidakjelasan

ini akan mengundang persepsi yang beragam dan multitafsir atas

kandungan isi film dan iklan film di inndonesia. Untuk maksud

tersebut dibentuk Peraturan Pemerintah yang memberikan

landasan hokum dan kapasitas hukum.

Penyensoran film dilakukan oleh sumber daya manusia

yang memiliki kompotensi dan keahlian dalam penelitian,

penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk

dipertunjukkan kepada khalayak umum.


237

Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai Pembentukan,

Kedudukan, Keanggotaan, Lembaga Sensor Film, Pedoman dan

Kriteria Penyensoran Film dan Iklan Film, Sekretariat Lembaga

Sensor Film, Tenaga Sensor, serta Pendanaan.

4.2.2.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009

tentang Perfilman

UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2009

TENTANG

PERFILMAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

a. film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata

sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara

dan dapat dipertunjukkan.

b. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan

film.
238

c. Buda bangsa adalah seluruh system nilai, gagasan, norma,

tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh

wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

d. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang

langsung berhubungan dengan film dan bersifat

nonkomersil.

e. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang

langsung berhubungan dengan film dan bersifat

nonkomersi.

f. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah

yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang

perfilman.

g. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

h. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi

dan kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam

pembuatan film.

i. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan

kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada

khalayak umum.

j. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah

Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana


239

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

k. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota,

dan perangkat daerah sebagaimana unsur penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

l. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan

kebuayaan.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI

Bagian Kesatu

Asas

Pasal 2

Perfilman berasaskan:

a. ketuhanan Yang Maha Esa;

b. kemanusiaa;

c. bhineka tunggal ika;

d. keadilan;

e. manfaat;

f. kepastian hukum;

g. kebersamaan

h. kemitraan; dan

i. kebajikan.
240

Bagian Kedua

Tujuan

Pasal 3

Perfilman bertujuan:

a. terbinanya akhlak mulia;

b. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;

c. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;

d. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;

e. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;

f. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;

g. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan

h. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan

berkelanjutan.

Bagian Ketiga

Fungsi

Pasal 4

Prfilman mempunyai fungsi:

a. budaya;

b. pendidikan;

c. hiburan;

d. informasi;

e. pendorong karya kreatif; dan

f. ekonomi.
241

BAB III

KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 5

Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan

kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan enunjang

tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya

bangsa.

Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha

perfilman dilarang mengandung isi yang:

a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan

perjudian serta menyalahgunakan narkotika, psikotropika,

dan zat adiktif lainnya;

b. menonjolkan pornografi;

c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok,

antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;

d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilainilai agama;

e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan

hokum; dan/atau

f. merendahkan harkat martabat manusia.


242

Pasal 7

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha

perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton

film yang meliputi film:

a. untuk penonton semua umur;

b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan

d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 8

(1) kegiatan perfilman meliputi:

a. pembuatan film;

b. jasa teknik film;

c. pengedaran film;

d. pertunjukan film;

e. apresiasi film; dan

f. pengarsipan film.

(2) usaha perfilman meliputi:

a. pembentukan film;

b. jasa teknik film;

c. pengedaran film;

d. pertunjukan film;

e. penjualan film dan/atau penyewaan film;

f. pengarsipan film;
243

g. ekspor film; dan

h. impor film.

(3) kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam

peraturan Menteri.

Pasal 9

(1) pelaku kegiatan perfilman meliputi:

a. pelaku kegiatan pembuatan film;

b. pelaku kegiatan jasa teknik film;

c. pelaku kegiatan pengedran film;

d. pelaku kegiatan pertunjukan film;

e. pelaku kegiatan apresiasi film; dan

f. pelaku kegiatan pengarsipan film.

(2) pelaku usaha perfilman meliputi:

a. pelaku usaha pembuatan film;

b. pelaku usaha jasa teknik film;

c. pelaku usaha pengedaran film;

d. pelaku usaha pertunjukan film;

e. pelaku usaha penjualan dan/atau penyewaan film;

f. pelaku usaha pengarsipan film;

g. pelaku usaha ekspor film; dan

h. pelaku usaha impor film.


244

Pasal 10

(1) pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman

sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib mengutamakan

film Indonesia, kecuali pelaku usaha impor film.

(2) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan

penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib mengutamakan film

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wajib

mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri

secara optimal sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 11

(1) Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal

9 ayat (2) dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat

mengakibatkan terjadinya integrase vertical, baik langsung

maupun tidak langsung.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi pelaku usaha pembuatan film yang melakukan

pengedaran film dan ekspor film untuk film produksi

sendiri.
245

Pasal 12

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaiman dimaksud dalam

pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya

dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film

atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam

pertunjukkannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang

mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha

tindak sehat.

Pasal 13

Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam pasal 9

ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g atau

huruf h dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk

menghalangi pelaku usaha perfilman lain member atau

menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 14

(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan

kepada Menteri tanpa dipungut biaya dan diproses dalam

jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib


246

memiliki izin usaha, kecuali usaha penjualan film dan/atau

penyewaan film oleh pelaku usaha perseorangan.

(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan

oleh Menteri untuk setiap jenis usaha:

a. Usaha pengedaran film;

b. Usaha ekspor film; dan/atau

c. Usaha impor film.

(4) Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap

jenis usaha:

a. Usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau

b. Usaha pertunjukan film.

(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b

tidak termasuk izin usaha pertunjukan film yang dilakukan

melalui penyiaran televise atau jaringan teknologi

informatika.

(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)

diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu

paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha

pertunjukan film yang dilakukan melaului penyiaran televise

atau jaringan teknologi informatika diberikan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.


247

(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha

perfilman yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi

vertical baik secara langsung maupun tidak llangsung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara

pendaftaran usaha dan permohonan izin usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),

ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 15

Kerja sama antarpelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan

perjanjian tertulis.

Bagian Kedua

Pembuatan Film

Pasal 16

(1) Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan

pembuatan film atau pelaku usaha pembuatan film.

(2) Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaiman dimaksud pada

ayat (1) meliputi perseorangan, orgnisasi, Pemerintah dan

pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakam adan usaha yang berbadan hukum

indonesia
248

Pasal 17

(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film

sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3) darus

didhului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan

film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita,

dan rencana pembuuatan film.

(2) Pemberitahuan sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka

waktu paling lama (tiga) hari kerja.

(3) Menteri wajib:

a. Melindungi pembuatan film yang telah dicatat

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada

kesamaan judul da nisi cerita.

b. Mengemukakan secara berkala kepada public data judul-

judul film yang tercatat.

(4) Pelaku usaha pembuatan film yang telah dicatat sebagaimna

dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film

yang dicatat paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal

pencatatan pembuatan film.

(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan

sebagaimna dimaksud ayat (4), pemberitahuannya

dinyatakan batal.
249

Pasal 18

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog,

digital, atau teknologi tertentu dan direkam pada:

a. Pita seluloid;

b. Pita video;

c. Cakram optic; atau

d. Bahan lainnya.

(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat

melalui proses kimia, elektronik, atau proses lainnya.

Pasal 19

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk film cerita

atau film non cerita.

(2) Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

termasuk berita dan materi siaran langsung yang disiarkan

oleh lembaga penyiaran televise.

Pasal 20

(1) Pembuatan film wajib mengutamakan insane perfilman

Indonesia secara optimal.

(2) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. Menulis scenario film;

b. Sutradara film;

c. Artis film;
250

d. Juru kamera film;

e. Penata cahaya film;

f. Penata suara film;

g. Penyunting suara film;

h. Penata laku film;

i. Penata musik film;

j. Penata artistik film;

k. Penyunting gambar film;

l. Perancang animasi;

(3) Insan perfilman selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

(4) Innsan Perfilman sebagaimna dimaksud pada ayat (2) dan

ayat (3) mendapat:

a. Perlindungan hukum;

b. Perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang

berisiko;

c. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja: dan

d. Jaminan sosial.

(5) Perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak

dibawah umur harus memenuhi hakhak anak dan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Perlindungan hokum sebagaimna dimaksud pada ayat (4)

dan ayat (5) dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup


251

hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Dalam pembuatan film dapat dilakukan pembuatan iklan

film.

(2) Iklan film sebagaimana dimkasud pada ayat (1) wajib sesuai

denga nisi film.

Pasal 22

(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi

di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.

(2) Pembuatan film yang menggunakan insane perfilman asing

dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu

paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

Bagian Ketiga

Jasa Teknik Film

Pasal 23

(1) Jasa teknik film meliputi:

a. Studio pengambilan gambar film;

b. Sarana pengambilan gambar film;

c. Laboraturium pengolahan film;

d. Sarana penyuntingan film;


252

e. Sarana pengisian suara film;

f. Sarana pemberitahuan teks film; dan

g. Sarana pencetakan dan/atau penggandaan film.

(2) Jasa teknik film selain sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

(1) Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan jasa

teknik film atau pelaku usaha jasa teknik film.

(2) Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, pemerintah,

dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku jasa teknik film sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Bagian Keempat

Pengedaran Film

Pasal 25

(1) Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan pengedaran

film atau pelaku usaha pengedaran film.

(2) Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, pemerintah,

dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.


253

Pasal 26

(1) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimna dimaksud pada

pasal 25 ayat (3) wajib memberikan hak dan perlakuan yang

adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk

memperoleh film.

(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha

pertunjukan film sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

meliputi hak dan perlakuan untuk mendapatkan kopi-jadi

film berdasarkan criteria urutan prioritas secara jelas yang

diberlakukan sama oleh pelaku usaha pengedaran film

terhadap pelaku usaha pertunjukan film.

Pasal 27

(1) Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikanhak dan

perlakuan yang adil terhadp pelaku usaha pengedaran film

untuk mempertunjukan film.

(2) Hak perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran

film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan

perlakuan untuk mendappatkan kesempatan jam pertunjukan

berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas yang

diberlakukan sama oleh pelaku usaha pertunjukan film

terhadap pelaku usaha pengedaran film.


254

Pasal 28

(1) Menteri menetapkan tata edar film untuk menjamin

perlakuan yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26

dan Pasal 27.

(2) Tata edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Ketentuan tentang pokok-pokok hak dan kewajiban para

pihak yang harus diatur di dalam perjanjian kerjasama

antara para pihak;

b. Pengawasan ketentuan atas perjanjian kerjasama; dan

c. Sanksi atas pelanggaran kerjasama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimna

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Bagian Kelima

Pertunjukan Film

Pasal 29

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan

pertunjukan film atau pelaku usaha pertunjukan film.

(2) Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi,

pemmerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum


255

Indonesia.

Pasal 30

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan melaui:

a. Layar lebar;

b. Penyiaran televise; dan

c. Jaringan teknologi informatika.

(2) Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a meliputi pertunjukan film:

a. Di bioskop;

b. Di gedung pertunjukan nonbioskop; dan

c. Dilapangan terbuka.

(3) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan dengan system proyeksi atau nonproyeksi

terhadap semua hasil pembuatan film sebagaimana

dimaksud dalam pasal 18.

(4) Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 31

(1) Pertunukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua

puluh satu) tahun atau lebih sebagaiman dimaksud dalam

pasal 7 huruf d yang melalui penyiaran televise hanya dapat

dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00 waktu

setempat.
256

(2) Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua

puluh satu) tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang

dilakukan dilapangan terbuka atau digedung pertunjukan

nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film atau pertunjukan

film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 32

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam

pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia

sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam

petunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan

berturut-turut.

Pasal 33

(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan

film dibioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat

(2) huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara

berkala jumlah penonton setiap judul film yang

dipertunjukan.

(2) Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara

berkala jumlah penonton setiap judul film yang

dipertunjukan di bioskop.
257

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33

diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Penjualan Film dan Penyewaan Film

Pasal 35

(1) Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat dilakukan

oleh pelaku usaha penjualan film dan/atau pelaku usaha

penyewaan film berbentuk badan usaha Indonesia atau

perseorangan warga negara Indonesia.

(2) Penjualan film dan/atau penyewaan film sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan.

Bagian Ketujuh

Apresiasi Film

Pasal 36

(1) Apresiasi film dilakukan oleh pelaku kegiatan apresiasi film.

(2) Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) melalui perseorangan, organisasi, pemerintah dan

pemerintah daerah.
258

Pasal 37

(1) Apresiasi film sebagaimana dimaksud dalam pasal 36

meliputi:

a. Festival film;

b. Seminar, diskusi, dan lokakarya; dan

c. Kritik dan resensi film.

(2) Apresiasi film sebagaimna dimaksud pada ayat (1) wajib

mendapat dukungan Pemerintah dan/atau Pemerintah

daerah.

Bagian Kdelapan

Pengarsipan Film

Pasal 38

(1) Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan

pengarsipan film atau pelaku usaha pengarsipan film.

(2) Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, pemerintah,

dan emerintah daerah.

(3) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

membentuk pusat pengarsipan film Indonesia.

(4) Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan badan usaha Indonesia atau

perseorangan warga Negara Indonesia.


259

(5) Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

mendapat dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah

daerah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 39

(1) Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-

jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat

pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip

paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir

film dipertunjukkan.

(2) Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela

menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap film yang

dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk

disimpan sebagai arsip.

(3) Pusat pengarsipan film Indonesia harus aktif melakukan

perolehan kopi-jadi film documenter yang memiliki nilai

sejarah dan budaya bangsa.

(4) Penyimpanan arsip film sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundang.
260

Bagian Kesembilan

Ekspor Film dan Impor Film

Pasal 40

(1) Ekspor film dilakukan oleh pelaku usaha ekspor film.

(2) Impor film dilakukan oleh pelaku usaha impor film.

(3) Pelaku usaha ekspor film dan pelaku usaha impor film

sebagaimna dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-

masing merupakan badan usaha berbentuk badan hokum

inndonesia

Pasal 41

(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang

bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral,

kesusilaan, dan budaya bangsa.

(2) Pemerintah wajib membatasi film impor dengan menjaga

proposisi antara film impor dan film Indonesia guuna

mencegah dominasi budaya asing.

Pasal 42

(1) Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatic atau

badan internasional yang diakui pemerintah untuk

kepentingan sendiri.

(2) Film yang diimpor sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat dipertunjukan kepada khalayak umum dengan

pemberitahuan kepada Menteri.


261

Pasal 43

Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film

impor kedalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk

kepentingan pendidikan dan/atau penelitian

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film

sebagaimnan dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan

Pasal 43 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 45

Masyarakat berhak:

a. Memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha

perfilman;

b. Memilih dan menikmati film yang bermutu;

c. Menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha

perfilman;

d. Memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan

film; dan

e. Mengembangkan perfilman.
262

Pasal 46

Mayarakat berkewajiban:

a. Membantu terciptanya suasana aman, damai, tertib, bersih

dan berperilaku santun dalam pembuatan film dan

pertunjukan film;

b. Membantu terpeliharanya sarana dan prasarana perfilman;

dan

c. Mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia penonton

film.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Insan Perfilman

Pasal 47

Setiap insan perfilman berhak:

a. Berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;

b. Mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja;

c. Mendapatkan jaminan sosial;

d. Pendapatkan perlindungan hukum;

e. Menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha

perfilman;

f. Membentuk organisasi profesi yang memiliki kode etik;

g. Mendapatkan asuransi dalam kegiatan perfilman yang

berisiko;
263

h. Menerima pendapatan yang sesuai dengan standar

kompetensi; dan

i. Mendapatkan honorium dan/atau royalty sesuai dengan

perjanjian.

Pasal 48

Setiap insan perfilman berkewajiban:

a. Memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;

b. Melaksanakan pekerjaan secara professional;

c. Melakukan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, dan

d. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral,

kesusilaan, dan budaya bangsa.

Bagian Ketiga

Hak dan Kewajiban Pelaku Pelaku Kegiatan Perfilman

dan Pelaku Usaha Perfilman

Pasal 49

Setiap pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman

berhak:

a. Berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;

b. Mendapatkan kesempatan yang sama untuk menumbuhkan

dan mengembangkan kegiatan perfilman dan usaha

perfilman.;

c. Mendapatkan perlindungan hukum;


264

d. Membentuk organisasi dan/atau asosiasi kegiatan atau usaha

yang memiliki kode etik; dan

e. Mendapatkan dukungan dan fasilitas dari Pemerintah dan

pemerintah daerah.

Pasal 50

(1) Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:

a. Memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman;

dan

b. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral,

kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan

perfilman.

(2) Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:

a. Memiliki kompetensi dan sertifikat usaha dalam bidang

perfilman;

b. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral,

kesusilaan, dan budaya bangsa dalam usaha perfilman;

dan

c. Membuat dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra

kerja yang dibuat secara tertulis.

BAB V

KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG

PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH


265

Pasal 51

Pemerintah berkewajiban:

a. Mempasilitasi perkembangan dan kemajuan perfilman;

b. Memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi perfilman;

c. Memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan

pengarsipan film; dan

d. Memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan

ketersediaan film Indonesia sebagaimna dimaksud dalam

Pasal 32.

Pasal 52

Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan

mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk

perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari badan

perfilman Indonesia.

Pasal 53

Pemerintah berwenang memberikan keringanan pajak dan bea

masuk tertentu untuk perfilman.

Pasal 54

Pemerintah daerah berkewajiban:

a. Memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;

b. Memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan

film;
266

c. Memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan

ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 32; dan

d. Memfasilitasi film documenter tentang warisan budaya

bangsa di daerahnya.

Pasal 55

(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas:

a. Melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman

nasional;

b. Menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana

perfilman daerah; dan

c. Menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan

dan kemajuan perfilman.

(2) Dalam menetapkan kewajiban dan rencana perfilman daerah

sebagaimna dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah

daerah mengacu pada kebijakan dana rencana induk

perfilman nasional.

Pasal 56

Pemerintah daerah berwenang untuk memberikan keringanan

pajak daerah dan retribusi daerah tertentu untuk perfilman.

Pasal 57

(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.


267

(2) Surat tanda lulus sensor sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:

a. Penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara,

dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan

dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;

b. Penentuan kelayakan film dan iklan film untuk

diedarkan dana tau dipertunjukkan kepada khalayak

umum; dan

c. Penentuan penggolongan usia penonton film.

(3) Penyensoran sebagaimna dimaksud pada ayat (2) dilakukan

dengan prinsip memberikan perlindungan kepada

masyarakat dari pengaruh negative film dan iklan film.

Pasal 58

(1) Untuk melaksanakan penyensoran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) dibentuk lembaga

sensor film yang bersifat tetap dan independen.

(2) Lembaga sensor film sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

(3) Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden

melalui Menteri.

(4) Lembaga sensor film dapat membentuk perwakilan di

ibukota provinsi.
268

Pasal 59

Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57

ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film.

Pasal 60

(1) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58

ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman

dan criteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

(2) Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran

berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang

disensor.

(3) Lembaga sensor film mengembalikan film yang

mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemah

yang sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimna

dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik

film yang disensor untuk diperbaiki.

(4) Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak

sesuai denga nisi film sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk

diperbaiki.

(5) Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi

administratif kepada pemerintah hadap pelaku kegiatan


269

perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Pasal 61

(1) Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia

penonton film dan kriteria sensor film.

(2) Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat

memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta

memahami pengaruh film dan iklan film.

(3) Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif

pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat

menghasilkan film yang bermutu.

Pasal 62

Lembaga sensor film dibantu oleh:

a. Secretariat; dan

b. Tenaga sensor yang memiliki kompetensi di bidang

penyensoran.

Pasal 63

(1) Menteri mengajukan kepada Presiden calon anggota

lembaga film yang telah lulus melalui seleksi.

(2) Seleksi sebagaimna dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

panitia seleksi yang dibentuk yang ditetapkan oleh Menteri.

(3) Panitia seleksi sebagaimna dimaksud pada ayat (2) berasal

dari pemangku kepenntingan perfilman.


270

(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota lembaga sensor

film bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.

(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus

memenuhi syarat-syarat:

a. Warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah

35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh

puluh) tahun;

b. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;

d. Memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup

tugas penyensoran; dan

e. Dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Pasal 64

(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas)

orang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan

5 (lima) orang unsur pemerintah.

(2) Anggota lembaga sensor film memegang jaabatan selama 4

(empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali

masa jabatann.

(3) Anggota lembaga sensor film diangkat oleh Presiden setelah

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyar.


271

(4) Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan

Presiden.

Pasal 65

(1) Lembaga sensor film dibiayayi dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara dan dapat didukung oleh pendapatan

dan belanja daerah.

(2) Lembaga sensor film dapat menerima dana dari tarif yang

dikenakan terhadap film yang disensor.

(3) Pengelolaan dana sebagaimna dimaksud pada ayat (2) wajib

diaudit oleh akuntan public dan diumumkan kepada

masyarakat.

(4) Dana sebagaimna dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk

penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan,

keanggotaan, pedoman dan kriteria, serta tenaga sensor dan

secretariat lembaga sensor film sebagaimna dimaksud dalam

Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 67

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam menyelenggarakan

perfilman
272

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilakukan dalam bentuk:

a. Apresiasi dan promosi film;

b. Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan

perfilman;

c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

perfilman;

d. Pengarsipan film;

e. Kine klub;

f. Museum pefilman;

g. Memberikan penghargaan;

h. Penelitian dan pengembangan;

i. Memberikan masukan perfilman; dan/atau

j. Mempromosikan Indonesia sebagai local pembuatan

film luar negeri.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilakukan secara peseorangan atau kelompok.

Pasal 68

(1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam

perfilman sebagaimna dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)

huruf a, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j dibentuk badan

perfilman Indoneia.
273

(2) Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimna

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat

difasilitasi oleh Pemerintah.

(3) Badan perfilman Indonesia merupaka lembaga swasta dan

bersifat mandiri.

(4) Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu kota negara

Republik Indonesia.

(5) Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh Presiden.

Pasal 69

Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

68 bertugas untuk:

a. Menyelenggarakan festival film di dalam negeri;

b. Mengikuti festival film diluar negeri;

c. Menyelenggarakan pecan film diluar negeri;

d. Mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film

asing;

e. Memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;

f. Melakukan penelitian dan pengembangan perfilman;

g. Memberikan penghargaan; dan

h. Memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang

bermutu tinggi.
274

Pasal 70

(1) Sumber pembiayaan badan sebagaimna dimaksud dalam

Pasal 68 berasal dari:

a. Pemangku kepentingan; dan

b. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan

belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan non-anggaran

pendapatan dan belanja daerah wajib diaudit oleh akuntan

public dan diumumkan kepada masyarakat.

BAB VIII

PENGHARGAAN

Pasal 71

(1) Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional dan/atau

tingkat internasional, wajib diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberikan

oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.


275

Pasal 72

(1) Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku

usaha perfilman yang berprestasi dan/atau berjasa dalam

memajukan perfilman diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberikan

oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

(3) Penghargaan sebagaimna dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) dapat berbentuk tanda kehormatan, pemberian beasiswa,

asuaransi, pekerjaan, atau bentuk penghargaan lain yang

bermanfaat bagi penerima penghargaan.

(4) Pemberihan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX

PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI

Pasal 73

Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan dan/atau

memfasilitasi pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan

kompetensi insan perfilman.

Pasal 74

(1) Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi

(2) Standar kompetensi sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.


276

(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi,

lembaga sertifikasi profesi, dam/atau perguruan tinggi.

(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimna dimaksud pada ayat (2)

dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

BAB X

PENDANAAN

Pasal 75

Pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara

Pemerintah, pemerintah daerah, pelaku kegiatan perfilman,

pelaku usaha perfilman, dan masyarakat.

Pasal 76

Pengelolaan dana perfilman dilakukan berrdasarkan prinsip

keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas public.

Pasal 77

Sumber pendanaan untuk perfilman dapat diperoleh dari:

a. Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara serta pemerintah daerah melalui anggaran

pendapatan dan belanja daerah;

b. Masyarakat melalui berbagai kegiatan;

c. Kerja sama yang saling menguntungkan;

d. Bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan/atau


277

e. Sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 78

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimna sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal

17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1)

dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal

33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57 ayat (1)

dikenai sanksi administratif.

Pasal 79

(1) Sanksi administrative sebagaimna dimaksud dalam Pasal 78

dapat berupa:

a. Teguran tertulis;

b. Denda administratif;

c. Penutupan sementara; dan/atau

d. Pembuatan atau pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif dan besaran denda administratif diatur dalam

Peraturan Pemerintah.
278

BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual,

menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum,

film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga

isinya melanggar ketentuan sebagaimna dimaksud dalam Pasal 6

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

denda paling banyak Rp. 10.000.000.000.00 (sepuluh miliar

rupiah).

Pasal 81

(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu

pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau

impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam

pertunjukannya yang mengakibatkan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) bulan atau denda paling banyak Rp.

100.000.000.000.00 (seratus miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk

menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau

menerima pasokan film yang mengakibatkan praktek


279

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimna

dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.

100.000.000.000.00 (seratus miliar rupiah).

(3) Penanganan perkara terhadap ketentuan sebagaimna

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 82

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimna dimaksud dalam Pasal

80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi,

ancama, pidana denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidananya.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimna dimaksud dalam Pasal

80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama koprasi,

pidana dijatuhkan kepada:

a. Korporasi; dan/atau

b. Pengurus korporasi.

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

korprosasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pindana; dan/atau

b. Pencabutan izin usaha.


280

Pasal 83

Tindak pindana dianggap sebagai tindak pidana korprasi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan oleh:

a. Pengurus yang memiliki kedudukan berwenang mengambil

keputusan atas nama korporasi;

b. Orang yang mewakili korporasi untuk melakukan

pembuatan hukum;

c. Orang yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan

korporasi tersebut.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 84

Pada saat Undangan-Undang ini berlaku anggota lembaga

sensor film yang telah ada berdasarkan Undangan-Undangan

Nomor 8 Tahun 1992 tentang perfilman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tetap

menjalankan tugas dan fungsinya sampai ditetapkan anggota

lembaga sensor film sesuai dengan Undang-Undang ini.


281

Pasal 85

Pada saat Undang-Undang ini berlaku:

a. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memenuhi ketentuan

sebagaimna dimaksud dalam Pasal 32 paling lama (dua)

tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

b. Pelaku usaha pembuatan film wajib memenuhi ketentuan

sebagaimna dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) paling lama 2

(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

c. Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi

sebagaimna dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) paling lama 5

(lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 86

Lembaga sensor film sebagaimna dimaksud dalam Pasal 58 ayat

(1) harus sudah terbentuk paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)

bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 87

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan

peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun


282

1992 tentang perfilman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3473) dinyatakan masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan

peraturan yang baru berdasrkan Undang-Undang ini.

b. Badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dan peraturan

pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya

sampai dibentuk atau diubahnya badan tersebut oleh

Pemerintah.

Pasal 88

Peraturan pelaksanaan UNDANG-Undang ini harus ditetapkan

dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-

Undang ini diundangkan.

Pasal 89

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan

dinyatkan tidak berlaku.


283

Pasal 90

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.104

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2009

TENTANG PERFILMAN

6. UMUM

Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah

diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan,

antara lain dalam bidang perfilman. Sejalan dengan pergeserannya

posisi film dari rumpunan politik ke rumpunan kebudayaan serta

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lahirlah gagasan

tentang perlunya paradigm baru.

Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan

kaidah sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu

bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara

yang dilakukan memadukan keindahan, kecanggihan teknologi,

serta system nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam

104
Bambang Yudhoyono susilo. Presiden Republik Indonesia, Disahkan di Jakarta 8 Oktober
2009
284

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian film

tidak bebas nilai karena memiliki seuntai gagasan vital dan pesan

yang dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang yang

terorganisasi. Itulah sebabbya, film merupakan pranata sosial

(social institutution) yang memiliki kepribadian, visi dan misi

yang akan menentukan mutu dan kelayakannya. Hal itu sangat

dipengaruhi oleh kompetensi dan dedikasi orang-orang yang

bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan sumber daya

lainnya.

Film sebagai karya budaya yang dapat dipertunnjukkan

dengan atau tanpa suara yang bermakna bahwa film merupakan

media komunikasi massa yang memebawa pesan yang berisi

gagasan vital kepada public (khalayak) dengann daya pengaruh

yang besar. Itulah sebabnya film mempunyai fungsi pensisikan,

hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Film juga dapat

berfungsi ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan

masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang

sehat. Dengan demikian film menyentuh berbagai segi kehidupan

manusia dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Berbagai hal yang berhubungan dengan film dinamakan

perfilman yang mencakup kegiatan yang bersifat nonkomersilal

dan usaha yang bersifat komersial. Yang bersifat nonkomersial


285

dilaksanakan oleh pelaku kegiatan dan yang bersifat komersial

dilakukan oleh pelaku usaha.

Semua itu melibatkan insan perfilman, pemerintahan,

pemerintahan daerah, dan masyarakat yang memiliki fungsi dan

peranan masing-masing yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Film dibuat di dalam negeri dan dapat diimpor dari luar negeri

dengan segala pengaruhnya. Film yang dibuat didalam negeri dan

film impor dari luar negeri yang beredar dan dipertunjukkan di

Indonesia ditunjukan untuk terbinanya akhlak mulia, terwujudnya

kecerdasan kehidupan bangsa, meningkatkan harkat dan martabat

bangsa, berkembnagnya dan lestarinya nilai budaya, meningkatnya

kesejahteraan masyarakat, an berkembangnya film berbasis budaya

bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Film Indonesia yang

diekspor terutama dimaksudkan agar budaya bangsa Indonesia

dikenal oleh dunia internasional. Itulah sebabnya film sebelum

beredar dan dipertunjukan di Indonesia wajib disensor dan

memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh

lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk

melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya

dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika,

psikotoropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi,


286

penistaan, pelecehan, dan/atau penodaan nilai-nilai agama atau

karena pengaruh negatif budaya asing.

Penyensoran dilaksananakan dengan prinsip dialog dengan

pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku

usaha perfilman, perwakilan diplomatic atau badan internasional

yang diakui pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar,

adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan

pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film

untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor.

Selain masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negative

film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta

dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun kelompok.

Peran serta masyarakat dilembagakan dalam badan perfilman

Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat dan dapat difasilitasi

oleh pemerintah. Badan tersebut mempunyai fungsi terutama

peningkatan apresiasi dan promosi perfilman.

Mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan

pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan

perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang

dalam memajukan dan perlindungan perfilman Indonesia. Presiden


287

dapat melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada Menteri yang

membidangi urusan kebudayaan.

4.2.3. Sensor Mandiri

Film berperan strategis dalam mengukuhkan ketahanan budaya dan

jati diri bangsa sehingga efek sebuah film perlu mendapat perhatian dari

semua masyarakat perfilman, termasuk juga masyarakat penonton. Pada

era digital kini jutaan orang dapat mengakses film melalui perangkat

canggih secara konvergen, seperti TV pintar, ponsel pintar, bahkan TV

berbasis Android. Penyebaran dan pertunjukan film menjadi sangat

cepat segaligus massif, nyaris tanpa terkendali.

LSF memikul tugas dan tanggung jawab melindungi masyarakat

penonton dari dampak negatif yang ditimbulkan film maupun iklan

film. Namun, LSF lebih berdaya melakukannya dengan dukungan dari

masyarakat perfilman dengan mengaktifkan apa yang disebut sensor

mandiri.105

LSF memahami bahwa untuk aktifnya sensor mandiri sangat

memerlukan kesadaran diri yang tinggi dari masyarakat perfilman. Di

sisi lain, LSF sebagai lembaga independen di bidang perfilman

mengusung amanat meningkatkan daya literasi film sebagai masyarakat

perfilman dan masyarakat penonton. Karena itu, budaya sensor mandiri

yang teristal di dalam diri setiap masyarakat perfilman dapat

105
Yani Basuki Ahmad, Saatnya Sensor Mandiri, Pengantar, Jakarta, 2018
288

mengoptimalkan fungsi film sebagai media hiburan, media informasi,

sekaligus media pendidikan yang mencerdasakan.

Selain itu, juga untuk meningkatkan daya literasi film bagi

masyarakat perfilman dan masyarakat penonton, terutama orangtua agar

secara bertanggung jawab serta bijak memutuskan apa yang antas untuk

ditonton oleh anak-anak.

Esensi sensor mandiri adalah demi melindungi penonton anak-anak

dan orang dewasa yang rentan dari konten-konten film yang tidak

sesuai atau berbahaya. Apa itu sensor mandiri? Perilaku secara sadar

dalam memilah dan memilih film yang akan diproduksi,

dipertunjukkan, dan/atau ditonton. Kebebasan berkreasi di negara

Indonesia mewujud menjadi kebebasan yang bertanggung jawab sesuai

dengan nilai-nilai yang kita anut, terutama demi mengusungamanat

perfilman nasional, yaitu membina akhlak mulia, mencerdaskan

kehidupan bangsa, mengembangkan potensi diri bangsa, memajukan

masyarakat, memajukan perekonomian, sekaligus menjadi wahana

promosi budaya Indonesia di kancah Internasional.

LSF melalui Reformasi Perfilman Nasional dengan dikeluarkan

UU NOMOR 33 Tahun 2009 tentanng Perfilman sebagai pengganti UU

Nomor 8 Tahun 1992, mendudukan masyarakat perfilman sebagai

mitra. Sensor film yang diatur kemudian di dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film RI mengalami

pergeseran paradigm. Istilah “gunting sensor” mulai ditinggalkan ketika


289

sensor film lebih menekankan kepada dialog antara LSF dan

masyarakat perfilman.

Walaupun demikian, LSF juga menghadapi dua sisi mata uang

pandangan. Di satu sisi, masyarakat menuntut LSF bersikap represif

terhadap produksi atau persebaran film-film yang menimbulkan

kegaduhan dan ketidaknyamanan di dalam masyarakat. Di sisi lain, LSF

juga diminta untuk menghormati kebebasan berekspresi para

masyarakat perfilman. Banyak dalih yang dikemukakan sehingga satu

hal yang terus termotivasi adalah membudayakan sensor mandiri untuk

mempraktikkan pembuatan film dan pertunjukan film sesuai dengan

klasifikasi usia penonton.

Ada alarm peringatan yang sangat berguna bagi para pembuat film

dan penonton film. Alarm ituu bernama “sensor mandiri” ia bersifat

esensial karena dapat memfilter sekaligus mencegah dampak negative

yang menimbulkan film sebagai buah dari proses kreatif yang

bertanggung jawab.

Istilah zaman old “gunting sensor” memang sudah tidak berlaku

lagi. Sebagai gantinya yang perlu didengungkan pada zaman now

adalah aktivasi alarm sensor mandiri. Sensor mandiri merepresentasikan

tanggung jawab, empati, kepekaan, dan penghhormatan yang dilakukan

secara sadar tanpa tekanan.

Lebih jauh tentang sensor mandiri. Momentum film yang berperan

dan berdampak memajukan bangsa, itulah yang ingin diwujudkan


290

bersama. Harus ada keselarasan visi dan misi antara masyarakat

perfilman dan LSF sebagai lembaga independen yang turut serta

membina perfilman nasional. Dari sisi masyarakat perfilman, sensor

mandiri dapat dilakukan dalam proses bisnis produksi film.

Ada 3 kesadaran yang harus dibangun dalam sensor mandiri.

- kesadran terhadap hal-hal yang perlu diwaspadai di dalam film

- kesadaran terhadap hal-hal yang sensitif di dalam film

- kesadaran terhadap target penonton dan klasifikasi usia.

Aktivasi sensor mandiri dalam film dan iklan film. Mengapa perlu

sensor mandiri? Menghindarkan masuknya konten-konten sensitif yang

tidak patut ditonton sesuai dengan klasifikasi usia penonton. Untuk itu,

masyarakat perlu mengetahui dan memahami acuan yang digunakan di

dalam sensor mandiri yaitu acuan utama dan acuan pendukunng.

Keterlibatan masyarakt perfilman dalam mengaktifkan sensor

mandiri snagat penting dan bermakna. Alarm sensor mandiri perlu aktif

untuk konten-konten yang merupakan elemen penilaian berikut ini.

Elemen Penilaian meliputi:

1. agama

2. suku, ras, kelompok, dan/atau golongan

3. hukum

4. harkat dan martabat manusia

5. kekerasan, perjudian, dan narkotika

6. pornografi
291

7. usia penonton film

mengukur sentivitas dampak film. Ada dua acuan sensor film yang

digunakan untuk mengukur sensitivitas film terhadap dampak atau

reaksi yang mungkin terjadi pada penonton. Acuan itu adalah acuan

utama dan acuan pendukung. Berikut ini komponen dari acuan utama

dan acuan pendukung.

Acuan Utama : konteks, tema, tone (nuansa dan dampak).

Acuan Pendukung : judul, adegan, dialog/monolog, teks terjemahan

genre.

Tektis sensor mandiri. Coba cermati alur sensor mandiri dengan

kata kunci berikut inni: Acuan Utama, Acuan Pendukung, dan Elemen

Penilaian. Seperti yang yang telah disampaikan sebelumnya bahwa

proses sensor film dengan paradigm baru LSF menekankan prinsip

dialogis. Artinya, jika terjadi ketidaksamaan persepsi terkait klasifikasi

usia penonton, LSF akan berdialog dengan pembuat film untuk

menentukan titik temu. Selain itu, jika tidak ada bagian-bagian yang

dianggap kurang patut di dalam film berdasarkan klasifikasi usis

penonton, penggolongan usia penonton film, film akan dikembalikan

untuk diperbaiki oleh pemilik film sesuai dengan revisi yang

dianjurkan. LSF tidak berkompromi terhadap 1 detik pun adegan atau

konten film/iklan film yang tidak sesuai dengan kriteria penyensoran

harus direvisi.
292

Saatnya sensor mandiri. Daalam proses bisnis pembuatan film,

selayaknya sensor mandiri sudah dilakukan pada tahap perencanaan.

Artinya, pembuatan film sudah dapat membayangkan untuk klasifikasi

penonton mana filmnya akan diproduksi sehingga pertimbangan

konten-konten yang pantas pun akan melatari pembuatan film. Disisi

lain, impor film-film asing juga dapat melakukan mekanisme sensor

mandiri terhadap film-film yang akan dipertunjukkan untuk masyarakat

Indonesia. Acuan utama, acuan pendukung, serta elemen penilaian

merupakan hal-hal yang perlu menjadi perhatian.

1. Sensor Mandiri dalam Produksi

Selayaknya pembuat film sudah dapat membayangkan untuk

klasifikasi penonton mana filmnya akan diproduksi. Dalam proses

produksi film, sensor mandiri diaktifkan untuk menimbang konten

film sesuai dengan peruntukan dan klasifikasi usia dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sensor Mandiri dalam Impor Filmfilm-film produksi luar negeri

yang masuk ke inndonesia sangatlah memerlukan sensor mandiri

terkait dengan konten film dan peruntukannya sensuai dengan

klasifikasi usia. Importir film harus mempertimbangkan kelayakan

konten untuk dipertunjukkan di Indonesia dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta juga norma-

norma yang berlaku pada masyarakat Indonesia. Hal ini terkait


293

penetrasi budaya yang kurang patut atau bertentangan dengan

nilai-nilai yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.

a. Sensor Mandiri dalam Akuisisi Film

Ekshibitor dalam hal ini penanggung jawab bioskop, gedung

pertunjukan, atau televise juga dapat melakukan sensor mandiri

pada saat mengakuisisi film sebelum mamilih lokasi dan waktu

pertunjukan. Hal utama adalah memastikan bahwa film telah

memiliki bukti lulus sensor (telop) berikut klasifikasi usianya

dari LSF dalam bentuk Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

Optimasi peran masyarakat perfilman. Aktifnya kesadaran sensor

mandiri dapat berdampak pada ketahanan budaya bangsa ditengah

zaman yang menyajikan data dan informasi yang tak terbendung kini.

Aktivasi sensor mandiri dapat membentuk kekuatan yang slaing

mendukung satu sama lain.

LSF mendukung optimasi peran masyarakat perfilman untuk

meningkatkan ekonomi industri kreatif perfilman di satu sisi dan

meningkatkan ketahanan budaya bangsa di sisi lain dengan terus

menggali potensi-potensi kreatif, terutama menyongsong kiprah

Generasi Milenial dalam perfilman nasional.

Minim revisi dan tanpa revisi. Keuntungan sensor andiri yang

paling niscaya adalah lahirnya film atau iklan film yang minim revisi,

bahkan tanpa revisi. Hal ini menunjukkan tingkat daya literasi film

yang tinggi pada masyarakat perfilman.


294

Hitungan revisi dalam durasi film atau iklan film adalah detik. Jadi,

walaipun ada adegan hanya 1 detik yang tida patut, film itu harus tetap

revisi. Karena itu, diperlukan kecermatan masyarakat perfilman untuk

mengontrol adegan demi adegan. Film yang minim revisi, bahkan tanpa

revisi dapat dikatagorikan suatu prestasi.

4.2.4. Surat Tanda Lulus Sensor (STLS)


295

(SEMUA UMUR)

(13 TAHUN KEATAS)


296
297

(17 TAHUN KEATAS)


298

(21 TAHUN KEATAS)


299

4.3. Perfilman

Azas-azas perfilman di Indonesia diatu dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, menganut beberapa azas sebagai

berikut:

Pasal 2, perfilman berasaskan:

a. Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Kemanusiaa.

c. Bhinneka tunggal ika.

d. Keadilan.

e. Manfaat.

f. Kepastian hukum.

g. Kebersamaan.

h. Kemitraan dan

i. Kebajikan.106

Untuk jelasnya azas-azas tersebut akan dijelaskan sebagai berikut

dibawah ini:

1. Azas Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya adalah bahwa perfilman

harus menempatkan Tuhan sebagai yang maha suci, maha agung, dan

maha pencipta.

2. Azas Kemanusiaan, adalah suatu azas yang menjelaskan bahwa perfilman

harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk

Indonesia.
106.
UU No. 33 tahun 2009, Pasal 2.
300

3. Azas Bhinneka Tunggal Ika, adalah suatu azas yang menjelaskan bahwa

perfilman diselenggarakan dengan memperhatikan dan menghormati

keanekaragaman sosial budaya yang hidup diseluruh wilayah negara

Indonesia.

4. Asas Keadilan, adalah suatu azas yang menjelaskan juga bahwa adanya

kesamaan kesempatan dan perlakuan dalam penyelenggaraan perfilman

bagi setiap warga negara Indonesia.

5. Azas manfaat, adalah suatu azas yang menerapkan bahwa perfilman

membawa maslahat ataumanfaaf bagi masyarakat, bangsa dan negara

Indonesia.

6. Azas Kepastian Hukum, adalah suatu azas juga menjelaskan bahwa

perfilman harus diselenggarakan sesuai dengan hukum dan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku dalam negara Indonesia.

7. Azas kebersamaan, adalah suatu azas yang menjelaskan bahwa perfilman

diselenggarakan dengan semangat maju bersama antara pemerintah dan

masyarakat.

8. Azas kemitraan, adalah suatu azas yang juga menjelaskan bahwa

perfilman diselenggarakan berdasarkan kerja sama yang saling

menguntungkan, menguatkan dan saling mendukung satu sama lainnya.

9. Azas kebajikan, adalah suatu azas yang menjelaskan juga bahwa

perfilman harus mendatangkan kebaikan, keselamatan dan

keberuntungan, bai bagi pemerintan dan masyarakat.

Tujuan Perfilman.
301

Dalam perkembangannya film sebagai alat untuk menyampaikan suatu

pesan, himbauan atau hiburan oleh pembuat atau produser film. Definisi film

sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009

tentang Perfilman Pasal 1 angka 1, sudah jelas bagi kita bahwa film adalah

karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi

masa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara

dan dapat dipertunjukkan. Sesuai dengan maksud dar pasal 1 ayat 1 tersebut

yang bahwa tujuan perfilman dapat dilihat Pasal 3 nya menjelaskan sebagai

berikut:

Pasal 3

Perfilman bertujuan:

a. Terbinanya akhlak mulia.

b. Terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa.

c. Terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa.

d. Meningkatnya harkat dan martabat bangsa.

e. Berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa.

f. Dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional.

g. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan

h. Berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan

berkelanjutan.107

Dengan demikian dapat dijelaskan bawa tujuan dari perfilman adalan

terbinanya akhlak, kecerdasan, adanya persatuan dan kesatuan,

meningkatkan harkat, melestarikan budaya yang berkelanjutan dan tidak


107.
LSF, Pasal 3.
302

kalah penting juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan

demikian dapat diharapkan masyarakat menilai film dan memperoleh

manfaat, serta pelajaran setelah menonton film, dan film itu sendiri akan

menjadi media untuk penyampaian pesan dan tujuan yang mengangkat

harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Fungsi Perfilman,

Film merupakan media komunikasi yang menghubungkan

berbagai gagasan cerita dan memberikan pengetahuan dan wawasan yang

luas, karena terkandung nilai-nilai keberagaman didalamnya seperti

pendidikan atau informasi dan sebagai seni hiburan. Film juga

menggambarkan berbagai karakter, cerminan harkat, martabat budaya

bangsa. Sekaligus memberikan fungsi dan manfaat yang luas bagi

kehidupan masyarakat baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial

dan budaya.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Pasal 4

menyebutkan perfilman mempunyai fungsi sebagai berikut yaitu:

a. Budaya.

b. Pendidikan.

c. Hiburan.

d. Informasi.

e. Pendorong karya kreatif.

f. Ekonomi.108
108.
LSF, Pasal 4.
303

Film tidak hanya menjadi media hiburan saja, tetapi lebih kepada nilai

serta tanggung jawab moral, untuk mengangkat nilai kepribadian Bangsa

yang berjati diri dan berbudaya. Diutamakan dalam film adalah bisa dijadikan

alat atau media informasi, pendidikan, penuangan gagasan atau ide bagi

masyarakat yang kreatif. Seiring dengan perkembanganya di Indonesia, nilai-

nilai yang tekandung dalam film yang ditonton ikut mempengaruhi pola

kehidupan dimasyarakat.

Film dan budaya saling mempengaruhi, berdampak pada budaya yang

berada dalam masyarakat semakin tergerus dan melebur dengan

pengaruh sebuah film. Maka diperlukan penguatan budaya lewat film

yang menggambarkan budaya bangsa yang berjatidiri. Film lebih hebat

dari buku, kalau membaca novel misalnya, 100 pembaca mempunyai

100 imajinasi tentang yang ia baca. Tapi Film, tidak. Ada 100 penonton

punya satu pendapat tentang gambar yang ia lihat.109

4.3.1. Sensor film

Suatu film yang akan di pertunjukan baik melalui bioskop

maupun melalui media televisi tentunya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Harus melalui seleksi untuk

menilai, apakah film yang akan ditayangkan tersebut layak atau tidak

untuk di pertunjukan kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 33

109 .
H.M. Johan Tjasmadi, 60 Tahun Mengawal Bioskop dan Film Indonesia, Jakarta: PWI, 2015,
hal. 40
304

Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 57, 58, 59, 60, 61 menyebutkan

bahwa:

Pasal 57

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat 1

diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:

a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks

terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukkan kepada khalayak umum;

b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau

dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan

c. penentuan penggolongan usia penonton film.

3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan

prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh

negatif film dan iklan film.

Pasal 58

1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57

ayat 2 dan 3 dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan

independen.

2. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat 1

berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.


305

3. Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden melalui

Menteri.

4. Lembaga sensor film dapat membentuk perwakilan di ibukota

provinsi.

Pasal 59

Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 1

diterbitkan oleh lembaga sensor film.

Pasal 60

1. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)

melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor

film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dan Pasal 7.

2. Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip

dialog dengan pemilik film yang disensor.

3. Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema,

gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan

pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat 1

kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

4. Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai

dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat

2 kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.

5. Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada

Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha


306

perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dan Pasal 7.

Pasal 61

1. Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton

film dan kriteria sensor film.

2. Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan

menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh

film dan iklan film.

3. Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan

kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang

bermutu.110

Sesuai dengan tugas dan wewenang dari lembaga sensor film

adalah untuk menyeleksi film yang akan di tayangkan. Lembaga sensor

film juga mempunyai kewenangan penuh untuk menilai program acara

layak atau tidaknya suatu film dan termasuk mengklasifikasikan suatu

tayangan untuk usia pemirsa. Lembaga sensor film menerbitkan surat

tanda lulus sensor (STLS) bila tayangan tersebut dinyatakan lulus,

setelah tayangan tersebut melalui proses penyensoran. Sebuah film

tidak bisa di tayangkan baik melalui bioskop maupun media televisi

apabila film tersebut belum mendapat surat tanda lulus sensor film

(STLS). Dengan kata lain bahwa lembaga sensor film di anggap

sebagai pengadilan terakhir dalam proses pembuatan film, supaya film

yang dibuat tersebut bisa ditayangkan.


110.
LSF, Pasal 57, 58, 59, 60
307

4.3.2. Pertunjukan Perfilman

1. Pertunjukan Menurut Tempatnya.

Pertunjukan film menurut tempatnya, dapat dilihat

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2009 tentang Perfilman, Pasal 30 yang menjelaskan sebagai berikut:

Pasal 30

1. Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:

a. Layar lebar;

b. Penyiaran televisi; dan

2. Jaringan teknologi informatika. Pertunjukan film melalui layar

lebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi

pertunjukan film:

a. Di bioskop;

b. Di gedung pertunjukan nonbioskop; dan

c. Dilapangan terbuka.

3. Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan dengan sistem proyeksi atau nonproyeksi terhadap

semua hasil pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal

18.

4. Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) ditetapkan oleh Menteri111.

111.
UU No. 33 tahun 2009, Pasal 30
308

Bioskop (Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani βιος, bios (yang

artinya hidup) dan σκοπος (yang artinya "melihat") adalah tempat

untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar.

Gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor.112

Pertunjukan melalui layar lebar umumnya dilakukan pada

bioskop dengan jumlah penonton yang banyak. Layar lebar tak hanya

di pertunjukan melalui bioskop saja, namun banyak yang menggelar

pertunjukan pada ruang terbuka seperti halnya layar tancap, atau lebih

terkenal dengan istilah misbar. Adapun mengenai kaitan antara

pemilik gedung bioskop dengan lembaga sensor film mempunyai

hubungan khusus sejak lama.

Penyiaran adalah pendistribusian muatan audio atau vide

o kepada pemirsa melalui berbagai medium komunikasi massa,

dengan menggunakan spektrum elektromagnetik (gelombang

radio) dalam suatu model. Penyiaran merupakan suatu kegiatan

penyelenggaraan siaran, yang berupa rangkaian mata acara dalam

bentuk audio, suara atau visual gambar yang ditransmisikan dalam

bentuk sinyal suara atau gambar, baik melalui udara maupun

melalui kabel dan atau serat optik yang dapat diterima oleh

pesawat penerima di rumah-rumah.113

Teknologi Informasi , atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan

istilah Information technology (IT) adalah istilah umum untuk

112.
https://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop, diakses februari 24, 2020
113.
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyiaran, diakses februari 24, 2020.
309

teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat,

mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan/atau menyebarkan

informasi. Teknologi Informasi menyatukan komputasi dan

komunikasi berkecepatan tinggi untuk data, suara, dan video.

Contoh dari Teknologi Informasi bukan hanya berupa komputer

pribadi, tetapi juga telepon, TV, peralatan rumah tangga elektronik,

dan peranti genggam modern (misalnya ponsel).114

2. Pertunjukan Menurut Usia Penonton.

Pasal 7

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha

perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film

yang meliputi film:

a. Untuk penonton semua umur.

b. Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih.

c. Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih.

d. Untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih .

Suatu film yang akan di pertunjukan baik melalui bioskop

maupun melalui media televisi tentunya harus melalui seleksi untuk

menilai apakah film tersebut layak atau tidak untuk di pertunjukan atau

dilihat dari usia dari para penonton film tersebut. Undang-Undang

Nomor 33 Tahun2009 tentang Perfilman Pasal 31, 32, 33 dan 34

menyebutkan bahwa:

Pasal 31
114.
https://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_informasi, diakses februari 24, 2020.
310

1. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d yang

melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00

sampai pukul 03.00 waktu setempat.

2. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan di

lapangan terbuka atau di gedung pertunjukan nonbioskop kecuali

kegiatan apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan

pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 32

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29

ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya

60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang

dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.

Pasal 33

1. Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di

bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a

wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah

penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.

2. Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala

jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan di bioskop.

Pasal 34
311

Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 diatur

dalam Peraturan Menteri.115

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam

pertunjukan film, juga dibedakan untuk usia dari penonton film

tersebut, karena hal ini sangat menentukan atas film yang akan

ditayangkan. Kerana tidak semua film bisa ditonton oleh semua

orang. Hal ini tergantung dari materi atau isi serta muatan gambar dari

film yang akan ditayangkan tersebut. Sebab hal ini sangat berkaitan

atau berhubungan nantinya dengan masalah moral, agama, etika,

budaya dalam segala kehidupan bermasyarat serta sangat

mempengaruhi dari para penonton itu sendiri. Hal ini sangat

tergantung pada film yang mereka tonton. Dari hal tersebut sangat

jelas bahwa lembaga sensor film sangat perperan sekali atas film yang

akan ditayangkan.

4.3.3. Pelanggaran Diperfilman

Dalam pelaksanaan perfilman di Indonesia terutama

dalam hal penayangan film yang telah dibuat, kadang-kadang tidak

berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama

dalam peraturan perundang-undangan perfilman. Kadang-kadang

ada para pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku

untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Dalam hal ini


115.
UU. Nomor 33 Tahun 2009, Pasal 31, 32, 33, 34.
312

pemerintah juga tinggal diam, dan tidak tanggung-tanggung juga

dikenakan sanksi, antara lain sanksi tersebut adalah berupa sanksi

administratif dan sanksi pidana.

1. Sanksi Administratif.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2099 tentang Perfilman,

Pasal 79 menyebutkan bahwa:

1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,

dapat berupa:

a. Teguran tertulis.

b. Denda administrative.

c. Penutupan sementara. dan/atau

d. Pembubaran atau pencabutan izin.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif dan besaran denda administratif diatur dalam

Peraturan Pemerintah.116

Permasalahan baru yang timbul adalah pemilik film

mempertunjukkan film tanpa melakukan potongan atau revisi yang

telah direkomendasikan oleh lembaga sensor film. Film yang

diedarkan atau dipertunjukkan kepada pemilik film tanpa surat

tanda lulus sensor (STLS), maka dapat dikenakan sanksi

administratif. Sanksi adminstratif tersebut dikeluarkan oleh

kementerian yang membidangi urusan kebudayaan, dalam hal ini

116.
LSF, Pasal 79.
313

Kementeri Pendidikan dan Kebudayaan setelah mendapat usul dari

Lembaga sensor film.

Terkait sanksi administratif tersebut berdasarkan amanat

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal

79 ayat 2 akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia. Namun, sejak terbitnya undang-undang Perfilman tahun

2009 tentang Perfilman hingga kini, Peraturan Pemerintah

mengenai sanksi administratif tersebut belum juga terbit. Hal ini

menjadi kendala dalam penegakan hukum pemberian sanksi

administratif dalam bidang perfilman di Indonesia.

2. Sanksi Pidana

Tentang sanksi pidana dalam bidang perfilman juga dapat

dilihat pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman, Pasal 80 sampai pasal 83, dimana dalam pasal-pasal

tersebut menjelaskan bahwa:

-Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual,

menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film

tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


314

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

-Pasal 81

1. Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku

usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film

tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya

yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda

paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

2. Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk

menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau

menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah).

3. Penanganan perkara terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

-Pasal 82
315

1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80

dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, ancaman

pidana denda ditambah1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80

dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pidana

dijatuhkan kepada:

a. Korporasi; dan/atau

b. Pengurus korporasi.

3. Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi

dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,

dan/atau

b. Pencabutan pencabutan izin usaha.

-Pasal 83

Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh:

a. Pengurus yang memiliki kedudukan berwenang mengambil

keputusan atas nama korporasi;

b. Orang yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan

hukum; dan/atau

c. Orang yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan

korporasi tersebut.117
117.
LSF. Pasal 80, 81, 82, 83.
316

Dengan ketentuan pasal-pasal tersebut jelaslah bahwa para

pihak yang tidak mengikuti aturan dalam melakukan penayangan

filmnya, selain mendapat sanksi administrative juga mendapat sanksi

pidana. Disini jelaslah bahwa sanksi pidana yang diberikanlah

adalah dalam bentuk sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda

bahkan juga dapat dikenakan sanksi atas perampasan keuntungan

yang telah diperoleh dari tindak pidana dan atau pencabutan-

pencabutan izin usaha. Sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan

oleh pihak pelaku usaha pembuatan film atau terhadap impor film

tertentu.

4.3.4. Sanksi Terhadap Film Tidak Sesuai dengan Surat Tanda Lulus

Sensor

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman,

mengatur tentang sanksi yang diberikan kepada film apabila tidak

sesuai dengan surat tanda lulus sensor. Yaitu terdapat dua sanksi, yaitu

sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 78 menjelaskan bahwa

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 10 ayat 1 dan 2, Pasal 11 ayat 1, Pasal 14 ayat 1 dan 2,

Pasal 15, Pasal 17 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, Pasal 21 ayat 2, Pasal 22 ayat
317

1 dan 2, Pasal 26 ayat 1, Pasal 27 ayat 1, Pasal 31, Pasal 33 ayat 1,

Pasal 39 ayat 1, Pasal 43, dan Pasal 57 ayat 1 dikenai sanksi

administratif, baik dalam bentuk teguran maupun dalam bentuk

pencabutan izin dan lain sebagainya, sesuai dengan pelanggaran yang

dilakukan dalam proses penayanga film di media televise sebagaimana

diatur dalam peraturanperundang-undangan yang berlaku khusus aturan

dalam perfilman di Indonesia.

Untuk jelasnya hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal tersebut

diatas adalah:

-Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha

perfilman dilarang mengandung isi yang:

a. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian

serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya.

b. Menonjolkan pornografi.

c. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar suku,

antar-ras, dan/atau antargolongan.

d. Menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilainilai agama.

e. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum.

f. Merendahkan harkat dan martabat manusia .

-Pasal 7
318

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha

perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang

meliputi film:

a. Untuk penonton semua umur.

b. Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih.

c. Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih.

d. Untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih .

-Pasal 10 ayat 1 dan 2

1. Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan film Indonesia,

kecuali pelaku usaha impor film.

2. Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber

daya dalam negeri secara optimal .

-Pasal 11 ayat 1

1. Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat

2 dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat

mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun

tidak langsung .

-Pasal 14 ayat 1 dan 2

1. Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2

huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan kepada menteri


319

tanpa dipungut biaya dan diproses dalam jangka waktu paling lama

5 (lima) hari kerja.

2. Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2

huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin

usaha, kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh

pelaku usaha perseorangan.

-Pasal 15

Kerja sama antar pelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan

perjanjian tertulis.

-Pasal 17 ayat 1

1. Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat 3 harus didahului dengan

menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri

dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.

-Pasal 20 ayat 1

1. Pembuatan film wajib mengutamakan insan perfilman Indonesia

secara optimal.

-Pasal 21 ayat 2

2. Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai

dengan isi film

-Pasal 22 ayat 1 dan 2

1. Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di

Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.


320

2. Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing

dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan .

-Pasal 26 ayat 1

1. Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada Pasal

25 ayat (3) wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil

terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk memperoleh film .

-Pasal 27 ayat 1

1. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan

perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film

untuk mempertunjukkan film .

-Pasal 31

1. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh

satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

huruf d yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan

dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat.

2. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh

satu) tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang

dilakukan di lapangan terbuka atau di gedung pertunjukan

nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film atau pertunjukan

film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

-Pasal 33 ayat 1

1. Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan

film di bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 2


321

huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala

jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan .

-Pasal 39 ayat 1

1. Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-jadi

film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat

pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip

paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film

dipertunjukkan .

-Pasal 43

Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor

ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan

pendidikan dan/atau penelitian

-Pasal 57 ayat 1

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau

dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor .

Dengan demikian jelaslah bahwa pada dasarnya

menjelaskan bahwa film yang menjadi unsur pokok kegiatan

perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang

mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian

serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya, menonjolkan pornografi, memprovokasi terjadinya

pertentangan antar kelompok, antar suku, antar ras dan/atau antar

golongan, menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai


322

agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan

hukum dan/atau dan atau merendahkan harkat dan martabat

manusia.

Disamping itu film yang menjadi unsur pokok kegiatan

perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan

usia penonton film yang meliputi film untuk penonton semua umur,

untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih, untuk

penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih dan atau untuk

penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Dimana

pertunjukkan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh

satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d

yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul

23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat, pertunjukkan film untuk

golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih,

kepada khalayak umum dilarang dilakukan di lapangan terbuka atau

di gedung pertunjukkan nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film

atau pertunjukkan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film

impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk

kepentingan pendidikan dan/atau penelitian dan setiap film dan

iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib

memperoleh surat tanda lulus sensor. Apabila didalam konten


323

sebuah film terkandung unsur sebagaimana disebutkan dalam pasal

6 tersebut, maka dapat diberikan sanksi administratif.

Demikian juga film dan iklan film yang tidak melakukan

revisi sesuai dengan perintah dari lembaga sensor film maka dapat

dikenakan sanksi administratif. Kemudian mengenai Pelanggaran

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

yaitu. Setiap penayangan Film maupun iklan film wajib

mencantumkan kriteria usia baik untuk semua umur, 13+ tiga belas

tahun atau lebih, 17+ tujuh belas tahun atau lebih dan 21+ duapuluh

satu tahun atau lebih, dari klasifikasi hasil penyensoran melalui

Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Apabila pencantuman kriteria

usia tersebut tidak dilaksanakan atau tidak sesuai, maka hal tersebut

juga dapat dikenakan sanksi administratif.

Pelanggaran Pasal 31 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2009 tentang Perfilman yaitu Penayangan batas Usia 21+ dua puluh

satu tahun ke atas harus sesuai dengan jam penayangan 23.00-03.00

waktu setempat. Artinya apabila suatu film atau iklan film yang

telah di kategorikan usia 21+ namun tidak ditayangkan pada jam

23.00-03.00 maka hal tersebut dapat dikenakan sanksi administratif.

Begitu juga halnya dengan ketentuan Pasal 43 Undang-

Undang Perfilman memperbolehkan sulih suara terhadap film dan

iklan film untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Sulih suara

terhadap film dan iklan film di luar kepentingan pendidikan dan


324

penelitian tidak mendapatkan surat tanda lulus sensor.Pelanggaran

terhadap hal ini juga dapat di berikan sanksi administratif.

Terkait sanksi administratif tersebut berdasarkan amanat

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 akan diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Namun, sejak terbitnya

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman hingga

kini, Peraturan Pemerintah tersebut belum juga terbit. Hal ini

menjadi kendala dalam penegakan hukum pemberian sanksi

administratif.

Adapun sanksi lain yang dapat dikenakan adalah bentuk

sanksi pidana terkait dengan surat tanda lulus sensor dijelaskan

dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman. Secara jelas menjelaskan bahwa setiap orang yang

dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau

mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor

padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah. Dengan ini terhadap

film yang mengandung isi sebagaimana larangan tersebut tidak akan

mendapatkan surat tanda lulus sensor terhadap perbuatan

mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan

kepada khalayak umum.


325

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan hal-

hal sebagai berikut:

1. Surat tanda lulus sensor yang telah dikeluarkan oleh lembaga sensor film,

merupakan suatu legalitas terhadap suatu film yang akan di pertunjukkan

melalui bioskop, televisi dan jaringan informatika. Sebagaimana diatur dala

ketentuan pasal 57 a1 Undang-Undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman

dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.

2. Proses sensor produk film dan iklan film yang berlaku di LSF. Dalam proses

ini LSF mengacu pada ketentuan yang telah digariskan peraturan perundang-

undangan dengan prinsip mengutamakan dialog apabila terjadi

ketidaksepahaman terhadap hasil sensor.


326

Setelah proses sensor film/iklan film dilaksanakan akan keluar keputusan

berupa LULUS SENSOR, REVISI atau TIDAK LULUS SENSOR. Ada

kemungkinan sebuah film dipertimbangkan untuk direvisi. Jika saran revisi

ditindaklanjuti langsung oleh pelaku perfilman, film akan mendapatkan

kriteria lulus sensor. Namun, pelaku perfilman dapat juga mengajukan

dialog sebelum direvisi untuk mencapai sustu kesepahaman. Saran revisi

yang tidak ditindaklanjuti otomatis akan menjadi film tidak lulus sensor.

Pada masa lalu, bagian film atau iklan film yang dianggap tidak patut

akan langsung “digunting” oleh lembaga sensor agar dapat ditayangkan.

Pintu dialog tidak dibuka dan dialog hanya berlangsung satu arah. Secara

kekinian, hal tersebut tidak dilakukan lagi. Masyarakat perfilmanlah yang

diminta merevisi sendiri film atau iklan filmnya serta mengajukannya

kembali. Memanfaatkan mekanisme dialog dengan mengajukan permohonan

dialog secara tertulis langsung kepada Ketua LSF. Ketua LSF akan

merumuskannya kepada Komisi I yang menangani Penyensoran dan Dialog.

Dalam proses ini LSF zaman now membuka pintu dialog ketika pelaku

perfilman hendak menyampaikan argumentasi-argumentasi perihal film atau

iklan film yang dibuatnya, termasuk mendapatkan masukan dari LSF.

setelah mekanisme dialog maka akan dilakukan sensor ulang dengan

ketentuan maksimal dilakukan sebanyak 2 kali. Dari hasil revisi dan dialog.

LSF akan memutuskan lulus dan tidak lulusnya film atau iklan film.

Keputusan lulus sensor akan diterbitkan dalam Surat Tanda Lulus Sensor
327

atau STLS dan keputusan tidak lulus sensor akan diterbitkan dalam Surat

Tanda Tidak Lulus Sensor (STTLS) yang ditandatangani oleh ketua LSF.

3. Begitu juga halnya dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perfilman

memperbolehkan sulih suara terhadap film dan iklan film untuk kepentingan

pendidikan dan penelitian. Sulih suara terhadap film dan iklan film di luar

kepentingan pendidikan dan penelitian tidak mendapatkan surat tanda lulus

sensor.Pelanggaran terhadap hal ini juga dapat di berikan sanksi

administratif.

Terkait sanksi administratif tersebut berdasarkan amanat Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2009 akan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia. Namun, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2009 tentang Perfilman hingga kini, Peraturan Pemerintah tersebut

belum juga terbit. Hal ini menjadi kendala dalam penegakan hukum

pemberian sanksi administratif.

Adapun sanksi lain yang dapat dikenakan adalah bentuk sanksi

pidana terkait dengan surat tanda lulus sensor dijelaskan dalam Pasal 80

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Secara jelas

menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan,

menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film

tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar

ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah. Dengan ini terhadap film yang


328

mengandung isi sebagaimana larangan tersebut tidak akan mendapatkan

surat tanda lulus sensor terhadap perbuatan mengedarkan, menjual,

menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum

B. Saran

1. Perlunya percepatan penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga

Sensor Film mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran

denda administratif, untuk mengoptimalisasikan penegakan hukum terhadap

pelanggaran administrasi dalam bidang perfilman di Indonesia.

2. Masyarakat harus sadar betul untuk menjalankan Sensor Mandiri upaya

untuk memilah dan memilih suatu tontonan.

3. Penulis hanya menginginkan Lembaga Sensor Film selalu eksis, maju,

berkembang di bidang penyensoran film dan menjadi suatu lembaga yang

menjadi aspirasi bagi kalangan masyarakat upaya perlindungan bagi

penonton yang gemar menonton film.


329

DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur. Semiotika komunikasi, Cet 3: Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006

Arief S. Sadiman, Media Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

Arsif Lembaga Sensor Film, hasil wawanca 2020

Asrul Sani, Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta: Yayasan Citra, 1984

Branston & stafford. 2003

Dalam Kata Pengantar H.Santoso Guru Besar Pascasarjana Unpad, Bandung

Nazaruddin, 2007

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1990

Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan,

Jakarta: Kencana, 2004

Dewi Sadiah, Metode Penelitian Dakwah: pendekatan kualitatif dan kuantitatif,

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015

Effendy Heru, Mari Membuat Film Panduang Menjadi Produser, Depok: Pustaka

Kompiden, 2001

Elvinora Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2004

Erik Susono, 2011

Heru Efendi, Mari Membuat Film: panduan Menjadi Produser, Jakarta: confide,

2002

Himawan Pratista. Memahami Film, Cet 1: Yogyakarta, Homeriam Pustaka, 2008


330

https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Sensor_Film, 2020

http://Id.wikipedia.org/wiki/dokumentasi,26 2014

Ilham Prisgunanto, Praktek Ilmu Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari,

2004

Kamus Besar Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai

Pustaka Jakarta, 2001

kamus Inggris- Indonesia, An English- Indonesia Dictionary, John M. Echols dan

Hasan Shadily, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Komisi Penyiaran Indonesia, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program

Siaran (P3SPS), Pasal 39

LaRose,et.al.medianow.Boston, USA.2009

Lecey Lecey, 2000

Lembaga Sensor Film, Sejarah Lembaga Sensor Film di Indonesia, Jakarta, 1916-

2011

Lembaga Sensor Film, Paradigma Baru Lembaga Sensor Film Sebagai Garda

Budaya Bangsa,Jakarta: Sekretariat Lembaga Sensor Film, 2005

Lembaga Sensor Film di Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014

tentang Lembaga Sensor Film, Pasal 6. 1916-2011

Lukman, 2009.

Marcel Danesi, Belajar Memahami Semiotika,

Melanie J Wright. Religion and film. 2007

Miles dan Huberman (1984). Analisis data kualitatif miles dan huberman-

kompasiana.com.. Dari https://www.kompasiana.com. 2020


331

Nuril, 2009

Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian; Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial

Hmaniora Pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010

O’shaugnessy dan Stadler. 2005

Pamela Grace. The religiouns film. 2009

Prasetya Irawan, Metodologi Penelitian Administrasi, Edisi 1, (Jakarta:

Universitas Terbuka, 2007

Rachel Dwyer. Filming Gods, (2006)

Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatip, Dasar dan Aplikasinya, Malang:YA3,1990

Susan Hayward, key Concepts in Cinema Studies, 1996

Thomas Schatz, 1981

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 4

Undang Undang Perfilman No.8 Tahun 1992 Pasal 1 Bab 1. Pustaka Yustisia

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman,

pasal 1 ayat (1)

Usmar Ismail, Mengupas Film, Jakarta: Ichtiar, 1965

Widagdo M. Bayu, Bikin film Indie Itu Mudah, Andi Offset, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai