Anda di halaman 1dari 13

Laporan Hasil Riset

Mata Kuliah Lembaga-Lembaga Negara Indonesia


2018

Nama Anggota Kelompok 1. Tantri Nurmalita (1706025516)


dan NPM 2. Adzhani Tharifah (1706025592)
3. Owen Hartian Situmorang (1706025844)
4. Andika Pramatama (1706026153)
5. Natarina Syahputri Sidharta (1706026166)
6. Fithriyah Salsabila (1706026185)
7. Salsabila Atthariqa Putri Izzat (1706026216)
Lembaga Negara (yang Lembaga Sensor Film
diriset)
Tempat dan Waktu Kantor Lembaga Sensor Film, Jl. Letjen Mt. Haryono No.
riset Kav. 47-48, Cikoko, Pancoran.
Kamis, 6 Desember 2018.
Nama narasumber Bapak Dody Budiatman, Wakil Ketua Lembaga Sensor Film

Dasar hukum dan


kedudukan lembaga Lembaga Sensor Film dibentuk berdasarkan UU No. 33
negara dalam Tahun 2009 tentang Perfilman. Pembentukan Lembaga
ketatanegaraan RI Sensor Film awalnya didasari dengan adanya reformasi tahun
1998 yang memunculkan adanya pergeseran paradigma film
dari rumpun politik ke rumpun budaya. Dengan adanya
globalisasi, film berubah menjadi alat penetrasi kebudayaan.
UU No. 33 Tahun 2009 mengatur lebih lanjut terkait film
sebagai sinematografi dan film sebagai pranata sosial. Film
sebagai sinematografi berarti film merupakan hasil proses
kreatif warga negara yang dilakukan dengan memadukan
keindahan, kecanggihan teknologi, serta tindakan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara
itu, film sebagai pranata sosial berarti film memiliki
kepribadian serta visi dan misi yang akan menentukan
kelayakannya di khalayak.

Tiap film pada hakikatnya akan membawa nilai atau ideologi


masing-masing yang kemudian akan disalurkan kepada para
penonton. Adapun nilai-nilai yang disalurkan tidak semuanya
bernilai positif. Dengan demikian, dibutuhkan adanya
Lembaga Sensor Film untuk mengawasi film-film yang akan
tayang di masyarakat serta melindungi masyarakat akan
pengaruh negatif dari film tersebut.

Hal demikian berkaitan dengan salah satu tujuan dari


dibentuknya Lembaga Sensor Film untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, dan
pembentukan akhlak mulia. Oleh karena itu, film dan
perfilman di Indonesia wajib dilindungi. Selain untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, film juga berkaitan dengan
unsur ketahanan di mana peranan film sangat strategis dalam
meningkatkan ketahanan nasional. Dengan mudahnya
penyaluran ideologi-ideologi melalui film, sebagaimana yang
telah dijelaskan dibutuhkan suatu lembaga untuk mengawasi
dan menghindarkan masyarakat dari ideologi-ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila dan dasar hukum yang ada.

Apabila tidak adanya suatu lembaga yang mengerem ideologi-


ideologi negatif tersebut, masyarakat dapat mudah mengakses
dan mempraktikkan ideologi tersebut terutama dengan
majunya teknologi komunikasi. Hal ini tentunya akan
merusak ketahanan negara dan menghilangkan nilai-nilai
luhur masyarakat. Adanya Lembaga Sensor Film tidak serta
merta menghilangkan dampak negatif perfilman, namun
setidaknya dapat meminimalisir keberadaan dampak negatif
tersebut.
Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 18 Tahun 2014
yang mengatur tentang Lembaga Sensor Film. PP No. 18
Tahun 2014 berfungsi sebagai pedoman ketentuan
pelaksanaan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009. Disebutkan
dalam Pasal 6 PP No. 18 Tahun 2014 bahwa Lembaga Sensor
Film memiliki tugas untuk:
a. melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum
diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak
umum; dan
b. melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar,
adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan
film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan
kepada khalayak umum.
Diatur dalam Pasal 7 PP No. 18 Tahun 2014, dalam
menjalankan tugasnya Lembaga Sensor Film memiliki fungsi
di antara lain sebagai berikut:
a. perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif
yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film;
b. penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalansurat
tanda lulus sensor;
c. penyensoran film dan iklan film yang sudah diperbaiki
oleh pemilik sesuai pedoman penyensoran;
d. pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan
untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang
dinyatakan telah lulus sensor;
e. pembatalan surat lulus sensor;
f. pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah bagi
pelanggar ketentuan UU Perfilman;
g. pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang
lulus maupun yang tidak lulus kepada Presiden melalui
Menteri secara periodik.
Adapun Lembaga Sensor Film memiliki kedudukan sebagai
lembaga nonstruktural di Indonesia. Dinyatakan sebagai
lembaga nonstruktural dikarenakan Lembaga Sensor Film
dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu
untuk menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah.
Lembaga Sensor Film dibiayai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan lembaga nonstruktural ini
bertanggung jawab kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud).
Kewenangan lembaga Telah disebutkan dalam Pasal 58 UU No. 33 Tahun 2009,
negara bahwa penyensoran terhadap film dan iklan film dilakukan
oleh sebuah lembaga yang bersifat tetap dan independen, yaitu
Lembaga Sensor Film. Dalam Pasal 60 dijelaskan bahwa
Lembaga Sensor Film melaksanakan penyensoran berdasarkan
pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu pada Pasal 6
dan Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2009 serta didasarkan pada
prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor. Apabila
suatu film mengandung tema, gambar, adegan, suara dan teks
terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria
sensor, maka film tersebut akan dikembalikan kepada pemilik
film yang disensor untuk diperbaiki. Lembaga Sensor Film
juga mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi
film kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki. Selain itu,
Lembaga Sensor Film dapat mengusulkan sanksi administratif
kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau
pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66, bahwa mengenai


Lembaga Sensor Film diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor
Film. Pasal 8 PP No. 18 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
Lembaga Sensor Film memiliki tujuh wewenang.

Pertama, Lembaga Sensor Film berwenang atas penentuan


penggolongan usia penonton. Dalam Pasal 28 PP No. 18
Tahun 2014, dijelaskan bahwa terdapat empat golongan usia
penonton film, yaitu untuk penonton semua umur, untuk
penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih, untuk penonton
usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, dan untuk penonton usia
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Berdasarkan
penggolongan ini, Lembaga Sensor Film akan menetapkan
kelayakan film dan iklan film ke dalam penggolongan usia
penonton.

Kedua, Lembaga Sensor Film berwenang untuk


mengembalikan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan
pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh
pemilik film dan iklan film. Mengenai pedoman dan kriteria
penyensoran, diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 PP No. 18
Tahun 2014.

Ketiga, Lembaga Sensor Film berwenang untuk melakukan


penyensoran ulang (re-censor) film dan iklan film yang sudah
diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman
dan kriteria penyensoran. Disebutkan dalam Pasal 24 peraturan
pemerintah ini, bahwa prosedur penyensoran dimulai dengan
pemilik film dan iklan film yang mendaftarkan film dan iklan
film ke Lembaga Sensor Film. Selanjutnya, film dan iklan film
tersebut akan diteliti dan dinilai, ditentukan kelayakannya,
serta dilabeli dengan surat tanda lulus sensor atau tidak lulus
sensor. Untuk film dan iklan film yang tidak lulus sensor, akan
dikembalikan kepada pemilik film dan iklan film untuk
diperbaiki. Apabila film dan iklan film sudah diperbaiki, maka
dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai kembali oleh
Lembaga Sensor Film, sebagaimana kewenangan LSF dalam
Pasal 8 huruf c.

Keempat, Lembaga Sensor Film memiliki wewenang atas


pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk
setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus
sensor. Dalam Pasal 27 peraturan pemerintah ini, disebutkan
bahwa surat tanda lulus sensor dikeluarkan oleh Lembaga
Sensor Film dan ditandatangani oleh Ketua Lembaga Sensor
Film.

Kelima, Lembaga Sensor Film memiliki wewenang atas


pembatalan surat tanda lulus sensor.

Keenam, Lembaga Sensor Film memiliki wewenang atas


pengusulan sanksi administratif kepada pemerintah terhadap
pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perfilman, yaitu dalam Pasal 6 dan 7 UU
Perfilman.

Ketujuh, Lembaga Sensor Film berwenang atas pelaporan


kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang
tidak lulus sensor kepada Presiden melalui Menteri secara
periodik.
Tata cara pengisian dan Tata Cara Pengisian Jabatan dan Anggota:
pemberhentian jabatan 1. Setiap 4 tahun sekali diumumkan kepada masyarakat
pimpinan dan anggota bahwa Lembaga Sensor Film akan membuka recruitment
lembaga anggota dari berbagai
negara pihak.
2. LSF beranggotakan 17 (tujuh belas) orang yang terdiri
atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan
5 (lima) orang unsur Pemerintah
3. Unsur masyarakat yang dimaksud adalah yang memiliki
kepakaran di bidang pendidikan, perfilman, kebudayaan,
hukum, teknologi informasi, pertahanan dan keamanan,
Bahasa, agama, dan kepakaran lain yang
relevan.
4. Unsur pemerintah yang dimaksud adalah terdiri atas
kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan
pemerintahan di bidang pendidikan (1 orang),
kebudayaan (1 orang), komunikasi dan informasi (1
orang), agama (1 orang) dan ekonomi kreatif (1 orang)
5. Untuk dapat diangkat sebagai anggota Lembaga Sensor
Film harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. a. Warga negara
Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga
puluh lima) tahun dan paling
tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. b. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. c. Memahami asas,tujuan, dan fungsi perfilman
d. d. Memiliki kecakapan dan wawasan dalam
ruang lingkup tugas penyensoran; dan
e. e. Dapat melaksanakan tugasnya secara penuh
waktu
6. Masyarakat dan anggota kementerian atau lembaga
urusan pemerintah mengajukan lamaran yang akan
diseleksi secara administratif oleh panitia seleksi anggota
Lembaga Sensor Film
7. Setelah seleksi administratif, dilaksanakan wawancara
calon anggota yang kemudian akan diambil 34 kandidat
calon anggota untuk diajukan ke Presiden yang juga
melalui pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat
8. Dewan Perwakilan Rakyat melakukan wawancara
kembali terhadap 34 kandidat calon anggota Lembaga
Sensor Film
9. Hasil akhir dari jumlah anggota yang lolos wawancara
adalah 17 orang yang kemudian akan dipanggil oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dilantik
menjadi Anggota

Sebelum memangku jabatannya, anggota Lembaga Sensor


mengucapkan sumpah atau janji. Pengucapan sumpah atau
janji bagi para anggota Lembaga Sensor Film dilakukan di
hadapan Menteri.

Pemberhentian Anggota :

Anggota LSF berhenti karena:


1. Berakhir masa jabatannya;
2. Mengundurkan diri dan/atau ditarik oleh
kementerian/lembaga yang mengusulkannya; atau
3. Meninggal dunia.

Selain itu anggota LSF diberhentikan karena:


1. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota LSF;
2. Dinyatakan melanggar sumpah/janji atau kode etik;
3. Menyalahgunakan wewenang sebagai anggota LSF
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap;
4. Dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5. Berhalangan tetap atau secara terus menerus selama 3
(tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; atau
6. Tidak melaksanakan tugas dan fungsinya secara
independen

Dalam hal anggota Lembaga Sensor diberhentikan bukan


karena habisnya masa jabatan, maka dapat dilakukan
penggantian antarwaktu. Masa jabatan penggantian
antarwaktu adalah sampai dengan berakhirnya masa
keanggotaan Lembaga Sensor Film yang digantikan.
Penggantian antarwaktu selama kurang dari dua tahun tidak
dihitung sebagai periode masa jabatan. Calon penggangti
antarwaktu anggota Lembaga Sensor Film harus :
1) Tercantum dalam daftar calon anggota Lembaga
Sensor Film pada saat pemilihan calon anggota
2) Berasal dari unsur yang sama
3) Memenuhi syarat calon anggota LSF; dan
4) Bersedia dicalonkan

Masa jabatan anggota Lembaga Sensor Film selama empat


tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa
jabatan. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Lembaga
Sensor Film ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Struktur lembaga negara Ketua : Dr. Ahmad Yani Basuki, M.Si


Wakil Ketua : Drs. Dody Budiatman

Komisi I
Penyensoran dan Dialog
Ketua: Drs. Imam Suhardjo HM, M.Ikom
Sekretaris: Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati, M.Pd
Komisi II
Hukum dan Advokasi
Ketua: Prof. Dr. Zaitunah Subhan
Sekretaris: C. Musiana Yudhawasthi, M.Hum

Komisi III
Evaluasi dan Hubungan Antar Lembaga
Ketua: Dr. Mukhlis PaEni
Sekretaris: Dra. Wahyu Trihartati, M.Pd

Ketua Sub Komisi I Bidang Penyensoran


M. Sudama Dipawikarta, M.Ag
Anggota :
Dra. Rita Sri Hastuti
Dra. Albina Anggit A, SH
Budhi Rahmanto, A.Md
Nurainy Hanifah, A.Md

Ketua Sub Komisi I Bidang Dialog


Arturo Gunapriatna P, M.Sn
Anggota:
Hadi Artomo, M.Sn
Ahmad Gaus AF, S.Sos
Ira Diana, S.Pd

Ketua Sub Komisi II Bidang Hukum


Drg. Rommy Fibri Hardianto
Anggota:
Suyanto, SH., MH
Albert Siahaan, SH
Wayan, S.Sos., S.IP
Zara Adriani, S.Ikom

Ketua Sub Komisi II Bidang Sosialisasi Kebijakan


Dr. Nasrullah, MA
Anggota:
Soekendro, S.Ikom
Agung Irfan Rachmadi, A.Md
Yuanita Savutri, A.Md

Ketua Sub Komisi II Bidang Pemantauan


Noor Saadah, M.Si
Anggota:
Amry, M.Sc
Priyadi Endharta, S.Kom
Agus Adi Santoso, M.Ikom
Triyani, A.Md

Ketua Sub Komisi III Bidang Perencanaan Program dan


Penganggaran
Drs. Syamsul Lussa, MA
Anggota:
Drs. Slamet Tjiptadi
Dr. Rinovian Rais, SE., MM
Ari Sapta, ST
Aini Masruroh, SE., MM

Ketua Sub Komisi III Bidang Evaluasi dan Pelaporan


Ir. Monang Sinambela, MM
Anggota:
Purwadi, SH., MM
Dr. Fetrimen, M.Pd
Eka Ramanda Nancy, A.Md

Ketua Sub Komisi III Bidang Hubungan Antar Lembaga


Dr. Dyah Chitraria Liestyati KNP
Anggota:
Dr. Agus Santoso, S.Sn., M.Sn
A. Sulkarnain, M.Hum
Dhanny Kurniawan, A.Md

Mekanisme pertanggung Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah
jawaban lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film.
lembaga negara LSF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri. Setiap tahunnya, LSF memberikan
pertangungjawabannya kepada Presiden melalui Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemantauan apresiasi
masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan,
dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut
untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada
kementerian pendidikan dan kebudayaan sebagai bahan
pengambilan kebijakan ke arah pengembangan perfilman di
Indonesia. Dalam melaksanakan pertanggungjawabannya hal ini
dijelaskan di dalam Peraturan Kementerian dan Kebudayaan
Nomor 39 Tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja lembaga
sensor film dalam rangka penyesuaian kedudukan, tugas, dan
fungsi unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, perlu melakukan penataan
organisasi dan tata kerja Sekretariat Lembaga Sensor Film.
Sekretariat Lembaga Sensor Film yang selanjutnya dalam
Peraturan Menteri ini disebut Sekretariat LSF merupakan unsur
staf yang membantu Lembaga Sensor Film yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal, Sekretariat LSF
dipimpin oleh seorang kepala. Sekretariat LSF mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan teknis dan administratif pelaksanaan
penyensoran film dan iklan film.
Dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat LSF
menyelenggarakan fungsi, diantaranya; penyusunan rencana,
program, dan anggaran Sekretariat LSF, pelaksanaan fasilitasi
proses penyensoran film dan iklan film, pemberian dukungan
pelaksanaan proses penyensoran film dan iklan film,
pelaksanaan pengoperasian, perawatan, dan perbaikan sarana
penyensoran film dan iklan film, pemantauan hasil sensor film
dan iklan film, dan pelaksanaan urusan ketatausahaan dan
kerumahtanggaan Sekretariat LSF. Dalam melaksanakan tugas
dan fungsi, Sekretariat LSF berkoordinasi dengan; Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Pusat Pengembangan Perfilman,
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan unit
organisasi terkait lainnya di dalam dan di luar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Setiap unit kerja membantu Kepala Sekretariat LSF dalam
melaksanakan tugas di bidang tugasnya masing-masing. Dalam
hal melaksanakan tugasnya pimpinan unit kerja di lingkungan
Sekretariat LSF bertanggung jawab memimpin dan
mengoordinasikan bawahannya dan memberikan bimbingan
serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Sekretariat LSF
dalam melaksanakan tugasnya; secara administratif di bina oleh
Sekretariat Jenderal, secara teknis dibina oleh Pusat
Pengembangan Perfilman dan Direktorat Jenderal Kebudayaan
serta wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kepala Pusat
Pengembangan Perfilman, dan pimpinan unit kerja terkait yang
secara fungsional mempunyai hubungan kerja dengan Sekretariat
LSF, dan setiap laporan yang diterima oleh pimpinan unit kerja
dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk
kepada bawahan.
Rincian tugas sebagai penjabaran tugas dan fungsi ditetapkan
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ini. Pada saat Peraturan Menteri Nomor 35 Tahun
2015 ini mulai berlaku, semua tugas dan fungsi tentang
pelaksanaan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Lembaga Sensor Film masih tetap dilaksanakan
sampai dengan dilakukan penyesuaian tugas dan fungsi sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Dengan kata lain, Peraturan Menteri Nomor 15 Tahun 2012
masih tetap berlaku dalam hal penyesuaian tugas dan fungsi dari
Lembaga Sensor Film. Seluruh jabatan yang ada tetap
melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan diangkat
pejabat baru berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ini.

Isu terkini terkait Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah
lembaga negara lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film.
Sensor Film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan
kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada
khalayak umum. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan
dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus
sensor. LSF bertugas melakukan penyensoran film dan iklan film
sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak
umum dan melakukan penelitian dan penilaian judul, tema,
gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan
film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada
khalayak umum. Untuk melaksanakan tugasnya, LSF
mempunyai beberapa fungsi dan wewenang. Fungsi LSF anatara
lain adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari
dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film
dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan
perfilman Indonesia, memeberikan sosialisasi secara intensif
pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film
agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu,
memberia kemudahan masyarakat dalam memilih dan
menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta
memahami pengaruh film dan iklan film, membantu pemilik film
dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap
kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang
bermutu serta memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan
iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis
hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya
dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan
pengambilan kebijakan ke arah pengembangan perfilman di
Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya banyak yang


menganggap LSF kurang tajam dalam melakukan penyensoran
dan ada juga yang menganggap bahwa LSF terlalu tajam.
Terdapat sutradara, penulis naskah, dan produser film yang
kecewa dan berkomentar bahwa LSF semakin membatasi
sutradara-sutradara untuk mengekspresikan ide dan imaginasi ke
dalam film-film mereka. Menurut salah satu sutradara alasan-
alasan yang tidak terlalu jelas ukurannya, LSF menyensor bukan
saja soal bagaimana pemain harus berpakaian, tetapi juga values
yang ingin disampaikan dalam film. Mereka berkata
memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) pembuat film
harus melewati urusan administrasi yang sangat kompleks, dari
mulai mengisi formulir permohonan penyensoran, mendapatkan
bukti pendaftaran penyensoran yang terdiri dari 3 lembar, dan
seterusnya. Jika dalam film mengandung konten yang dianggap
kurang sesuai, LSF akan memanggil pembuat film untuk
berdiskusi dan beraudiensi. Menurut salah satu pembuat film,
orang yang mengisi LSF adalah orang-orang yang perspektifnya
sangat konservatif, negosiasinya bisa sangat alot dan malah
menghilangkan adegan-adegan yang justru penting dan terkait
dengan values yang ingin mereka sampaikan dan mengakibatkan
mereka mengalami “pemotongan” adegan yang merusak nilai
atau ide yang menurutnya sangat penting. Para pembuat film
mendorong jurnalis melihat lebih dekat keberadaan LSF demi
dunia perfilman Indonesia yang lebih maju.

Menurut mereka terdapat indikator yang paling mudah dilihat


dari ketidakjelasan kerja-kerja LSF adalah laman daring yang
tidak pernah update dan difungsikan untuk memberi informasi
dan komunikasi terkait perfilman dan mekanisme penyensoran.
Apabila tidak ada upaya pengawasan dan perbaikan LSF, maka
yang terjadi adalah swasensor di kalangan sutradara atau
produser dengan membuat film yang “aman-aman” saja agar
bisa ditonton di bioskop-bioskop komersial untuk kemudian bisa
ditayangkan di TV. Sementara film-film yang berkualitas tidak
bisa dinikmati publik Indonesia secara luas karena para pembuat
film memilih membawanya ke festival-festival film internasional
di luar, bioskop-bioskop indie, atau diarahkan untuk online atau
digital.

Terdapat sebuah kasus yang terjadi pada Pasung Jiwa, negosiasi


yang sangat keras dengan penerbit besar, yang juga sama
mencetak Maryam, harus ditempuh seorang novelis karena novel
ini mengambil lakon transgender. Lalu, seminggu setelah terbit,
novel ditarik dari peredaran. Beberapa adegan yang
menyebutkan habib dan teriakan Allahu Akbar diminta untuk
diubah. Sebab, penerbit tidak mau mengambil risiko diancam
oleh kelompok atas nama agama yang intoleran,” kisahnya. Hal
ini mengakibatkan penerbit “kalah” dan harus membayar
kelompok intoleran atas nama agama yang aksi-aksinya kerap
menghalalkan kekerasan. Dari peristiwa-peristiwa serupa
berakibat pada swasensor dilakukan penerbit yang besar
sekalipun. Ia berprotes bagaimana mungkin tunduk pada sensor,
sementara selama ini karya-karya yang ia buat merupakan
bentuk perlawanan terhadap maraknya tekanan dan represi baik
dari kelompok masyarakat yang intoleran maupun aparat? Ia
memiliki komitmen dalam menyuarakan kelompok rentan
bersandarkan pada prinsip hak asasi manusia. Mereka
berpendapat Di era demokrasi yang diberkahi revolusi teknologi
dan informasi melalui internet, mestinya menjadi surga bagi
kebebasan. Bahwa sensor tidak punya tempat.

Dari kasus diatas dapat dilihat adanya sebuah issu antara mereka
yang berpendapat bahwa LSF “telalu tajam” dengan yang
berpendapat bahwa “LSF kurang tajam.

Setelah itu isu terkait mengenai Lembaga ini adalah Perlu diingat
bahwa film memiliki undang-undang sendiri, yakni Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Sebenarnya,
di dalamnya sudah diatur bagaimana tata cara penayangan film
di televisi, baik mengenai batas usia penonton maupun jam
tayangnya. Pasal 30 ayat 1, misalnya, jelas mengatakan,
"Pertunjukan film untuk golongan penonton berusia 21 tahun
atau lebih, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d,
yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul
23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat". Bunyi pasal tersebut
diulang lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014
tentang Lembaga Sensor Film.
Undang-Undang Perfilman. Pasal 30 ayat 1 mengatakan,
"Pertunjukan film dapat dilakukan melalui: (a) layar lebar; (b)
penyiaran televisi; dan (c) jaringan teknologi informatika".
Dengan demikian, baik mengenai platform maupun jam
pertunjukan sudah diantisipasi oleh Undang-Undang Perfilman.
Tinggal KPI menyesuaikan diri dengan aturan LSF ini. Namun
mungkin karena selama ini terjadi kebingungan di antara kedua
lembaga ini, keduanya sepakat membuat nota kesepahaman.
Pertama, pada 3 Desember 2007, dan kedua pada 22 Oktober
2012. Dua nota kesepahaman itu hanyalah nota "saling
pengertian" soal posisi dan aturan pada masing-masing lembaga.
LSF tetap mendasarkan diri pada UU Perfilman dan KPI
meminta agar aturannya diperhatikan. Tak ada "jalan keluar"
bagi masalah sensor ulang ini. Maka, keruwetan itu terus
berlangsung hingga kini.
Penting disadari, baik oleh LSF maupun KPI, pemotongan dan
pengaburan itu berpotensi melanggar hak cipta karya tersebut.
Film sebagai karya seni dilindungi sepenuhnya oleh UU Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Perlindungan itu tidak semata
masalah eksploitasi ekonomi, tapi juga hak moral, dengan
masalah keutuhan karya juga berada di dalamnya.
Kedua lembaga juga berpotensi melanggar Undang-Undang Hak
Asasi Manusia. Mengembangkan diri dan memperoleh manfaat
dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, serta seni
merupakan adalah bagian dari hak dasar manusia yang dijamin
undang-undang. Pembatasan hak-hak dasar ini hanya boleh
dilakukan oleh dan berdasarkan undang-undang juga.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai