Lembaga Negara Indonesia
Lembaga Negara Indonesia
Pemberhentian Anggota :
Komisi I
Penyensoran dan Dialog
Ketua: Drs. Imam Suhardjo HM, M.Ikom
Sekretaris: Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati, M.Pd
Komisi II
Hukum dan Advokasi
Ketua: Prof. Dr. Zaitunah Subhan
Sekretaris: C. Musiana Yudhawasthi, M.Hum
Komisi III
Evaluasi dan Hubungan Antar Lembaga
Ketua: Dr. Mukhlis PaEni
Sekretaris: Dra. Wahyu Trihartati, M.Pd
Mekanisme pertanggung Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah
jawaban lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film.
lembaga negara LSF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri. Setiap tahunnya, LSF memberikan
pertangungjawabannya kepada Presiden melalui Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemantauan apresiasi
masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan,
dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut
untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada
kementerian pendidikan dan kebudayaan sebagai bahan
pengambilan kebijakan ke arah pengembangan perfilman di
Indonesia. Dalam melaksanakan pertanggungjawabannya hal ini
dijelaskan di dalam Peraturan Kementerian dan Kebudayaan
Nomor 39 Tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja lembaga
sensor film dalam rangka penyesuaian kedudukan, tugas, dan
fungsi unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, perlu melakukan penataan
organisasi dan tata kerja Sekretariat Lembaga Sensor Film.
Sekretariat Lembaga Sensor Film yang selanjutnya dalam
Peraturan Menteri ini disebut Sekretariat LSF merupakan unsur
staf yang membantu Lembaga Sensor Film yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal, Sekretariat LSF
dipimpin oleh seorang kepala. Sekretariat LSF mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan teknis dan administratif pelaksanaan
penyensoran film dan iklan film.
Dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat LSF
menyelenggarakan fungsi, diantaranya; penyusunan rencana,
program, dan anggaran Sekretariat LSF, pelaksanaan fasilitasi
proses penyensoran film dan iklan film, pemberian dukungan
pelaksanaan proses penyensoran film dan iklan film,
pelaksanaan pengoperasian, perawatan, dan perbaikan sarana
penyensoran film dan iklan film, pemantauan hasil sensor film
dan iklan film, dan pelaksanaan urusan ketatausahaan dan
kerumahtanggaan Sekretariat LSF. Dalam melaksanakan tugas
dan fungsi, Sekretariat LSF berkoordinasi dengan; Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Pusat Pengembangan Perfilman,
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan unit
organisasi terkait lainnya di dalam dan di luar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Setiap unit kerja membantu Kepala Sekretariat LSF dalam
melaksanakan tugas di bidang tugasnya masing-masing. Dalam
hal melaksanakan tugasnya pimpinan unit kerja di lingkungan
Sekretariat LSF bertanggung jawab memimpin dan
mengoordinasikan bawahannya dan memberikan bimbingan
serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Sekretariat LSF
dalam melaksanakan tugasnya; secara administratif di bina oleh
Sekretariat Jenderal, secara teknis dibina oleh Pusat
Pengembangan Perfilman dan Direktorat Jenderal Kebudayaan
serta wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kepala Pusat
Pengembangan Perfilman, dan pimpinan unit kerja terkait yang
secara fungsional mempunyai hubungan kerja dengan Sekretariat
LSF, dan setiap laporan yang diterima oleh pimpinan unit kerja
dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk
kepada bawahan.
Rincian tugas sebagai penjabaran tugas dan fungsi ditetapkan
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ini. Pada saat Peraturan Menteri Nomor 35 Tahun
2015 ini mulai berlaku, semua tugas dan fungsi tentang
pelaksanaan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Lembaga Sensor Film masih tetap dilaksanakan
sampai dengan dilakukan penyesuaian tugas dan fungsi sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Dengan kata lain, Peraturan Menteri Nomor 15 Tahun 2012
masih tetap berlaku dalam hal penyesuaian tugas dan fungsi dari
Lembaga Sensor Film. Seluruh jabatan yang ada tetap
melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan diangkat
pejabat baru berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ini.
Isu terkini terkait Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah
lembaga negara lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film.
Sensor Film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan
kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada
khalayak umum. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan
dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus
sensor. LSF bertugas melakukan penyensoran film dan iklan film
sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak
umum dan melakukan penelitian dan penilaian judul, tema,
gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan
film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada
khalayak umum. Untuk melaksanakan tugasnya, LSF
mempunyai beberapa fungsi dan wewenang. Fungsi LSF anatara
lain adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari
dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film
dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan
perfilman Indonesia, memeberikan sosialisasi secara intensif
pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film
agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu,
memberia kemudahan masyarakat dalam memilih dan
menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta
memahami pengaruh film dan iklan film, membantu pemilik film
dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap
kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang
bermutu serta memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan
iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis
hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya
dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan
pengambilan kebijakan ke arah pengembangan perfilman di
Indonesia.
Dari kasus diatas dapat dilihat adanya sebuah issu antara mereka
yang berpendapat bahwa LSF “telalu tajam” dengan yang
berpendapat bahwa “LSF kurang tajam.
Setelah itu isu terkait mengenai Lembaga ini adalah Perlu diingat
bahwa film memiliki undang-undang sendiri, yakni Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Sebenarnya,
di dalamnya sudah diatur bagaimana tata cara penayangan film
di televisi, baik mengenai batas usia penonton maupun jam
tayangnya. Pasal 30 ayat 1, misalnya, jelas mengatakan,
"Pertunjukan film untuk golongan penonton berusia 21 tahun
atau lebih, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d,
yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul
23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat". Bunyi pasal tersebut
diulang lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014
tentang Lembaga Sensor Film.
Undang-Undang Perfilman. Pasal 30 ayat 1 mengatakan,
"Pertunjukan film dapat dilakukan melalui: (a) layar lebar; (b)
penyiaran televisi; dan (c) jaringan teknologi informatika".
Dengan demikian, baik mengenai platform maupun jam
pertunjukan sudah diantisipasi oleh Undang-Undang Perfilman.
Tinggal KPI menyesuaikan diri dengan aturan LSF ini. Namun
mungkin karena selama ini terjadi kebingungan di antara kedua
lembaga ini, keduanya sepakat membuat nota kesepahaman.
Pertama, pada 3 Desember 2007, dan kedua pada 22 Oktober
2012. Dua nota kesepahaman itu hanyalah nota "saling
pengertian" soal posisi dan aturan pada masing-masing lembaga.
LSF tetap mendasarkan diri pada UU Perfilman dan KPI
meminta agar aturannya diperhatikan. Tak ada "jalan keluar"
bagi masalah sensor ulang ini. Maka, keruwetan itu terus
berlangsung hingga kini.
Penting disadari, baik oleh LSF maupun KPI, pemotongan dan
pengaburan itu berpotensi melanggar hak cipta karya tersebut.
Film sebagai karya seni dilindungi sepenuhnya oleh UU Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Perlindungan itu tidak semata
masalah eksploitasi ekonomi, tapi juga hak moral, dengan
masalah keutuhan karya juga berada di dalamnya.
Kedua lembaga juga berpotensi melanggar Undang-Undang Hak
Asasi Manusia. Mengembangkan diri dan memperoleh manfaat
dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, serta seni
merupakan adalah bagian dari hak dasar manusia yang dijamin
undang-undang. Pembatasan hak-hak dasar ini hanya boleh
dilakukan oleh dan berdasarkan undang-undang juga.
Lampiran