NIM : 1813061017 No : 14 Prodi : Ilmu Komunikasi Hindu Semester : VII
DILEMA PENYENSORAN TAYANGAN TELEVISI
DI INDONESIA Televisi merupakan salah satu media hiburan yang banyak diminati oleh masyarakat dan termasuk mudah untuk diakses oleh publik. Di Indonesia sendiri terdapat banyak stasiun televisi dengan tayangan-tayangan yang memiliki ciri khasnya masing-masing, ada tayangan-tayangan stasiun televisi yang didominasi oleh tayangan yang bersifat edukatif, ada tayangan-tayangan yang hanya menampilkan berita, hingga ada stasiun televisi yang memiliki ciri khas tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron atau FTV (Film Televisi). Sebagai media hiburan yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat, maka tidak heran tayangan-tayangan di televisi memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat, terutamanya para konsumen televisi. Masyarakat yang menikmati tayangan televisi dapat dengan mudah terpengaruh oleh apa yang disaksikan di layar kaca, terutamanya bagi anak-anak yang memang memiliki daya imajinasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengatur tayangan-tayangan tersebut agar sesuai dengan Standar Program Siaran, dibentuklah Komisi Penyeiaran Indonesia (KPI). Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Namun saat ini banyak dilema yang terjadi dalam penyensoran tayangan-tayangan televisi secara berlebihan, seperti contohnya beberapa waktu lalu sempat banyak dibicarakan penyensoran sebuah adegan memerah susu sapi, penyensoran tayangan yang menampilkan payudara sebuah patung, hingga penyensoran berlebihan terhadap film-film kartun di tayang di televisi tanah air. Masyarakat banyak yang menyalahkan KPI terhadap penyensoran tayangan secara berlebihan ini, namun hampir semua masyarakat tersebut tidak mengetahui pihak mana yang sebenarnya memiliki wewenang dalam penyensoran tayangan di televisi. Banyak pihak menduga sensor dalam tayangan televisi dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku regulator penyiaran di Indonesia. Namun, KPI melalui siaran pers yang dilansir dari website resmi KPI membantah memerintahkan tindakan sensor itu. KPI menjelaskan tanggung jawabnya hanya menetapkan standar siaran dan menjatuhkan sanksi bagi pihak yang melanggar standar tersebut. Sebagai pedoman standar siaran, KPI mengeluarkan peraturan Nomor 1/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS). P3 SPS diantaranya memuat standar program siaran, pelarangan dan pembatasan siaran yang mengandung unsur seksual, kekerasan, NAPZA, perjudian, dan hal mistik. Dalam pasal 18 misalnya, KPI mencantumkan sepuluh adegan seksual yang dilarang. Stasiun televisi wajib menjamin siarannya tidak mengandung adegan tersebut, apabila terbukti melanggar akan mendapatkan sanksi administratif berupa denda hingga penghentian sementara program siaran. Sementara itu aktivitas sensor siaran berada di luar tanggung jawab KPI. KPI menjelaskan dalam siaran film dan sinematografi yang ditayangkan secara terbatas di bioskop, sensor menjadi tanggung jawab Lembaga Sensor Film (LSF). Sementara itu aktivitas sensor siaran televisi merupakan tanggung jawab internal stasiun televisi. Aktivitas sensor, menurut KPI, merupakan keputusan internal masing-masing stasiun televisi yang dilakukan oleh divisi quality control. Sama halnya dengan sebuah produk, divisi ini melakukan aktivitas sensor sebagai upaya memastikan kualitas siaran agar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Mempertegas pernyataan KPI, pihak televisi berdalih pemburaman atau sensor dilakukan guna mencegah isi siaran mendapat teguran dari KPI. Proses sensor dilakukan dengan memerhatikan standar P3 SPS. Sayangnya aturan P3 SPS hanya memuat standar siaran, akan tetapi teknis pelaksanaan sensor dan penjelasan lebih detail tidak dijelaskan. Akibatnya terdapat kerancuan dan perbedaan pandangan diantara KPI dan tim quality control atau tim quality control di stasiun televisi yang berbeda. Perbedaan perspektif tim quality control antar stasiun televisi dapat menyebabkan kualitas sensor tiap stasiun televisi berbeda. Misalnya pada televisi A darah di sensor, sementara pada stasiun televisi B tidak disensor sama sekali. Hal ini terjadi karena tim quality control di stasiun televisi A dan B menafsirkan unsur kekerasan secara berbeda. Selain itu perbedaan perspektif juga dapat menyebabkan tim quality control melakukan sensor tanpa memperhatikan konteks tayangan. Misalnya pada pasal 18 mengenai adegan seksual yang dilarang, poin h melarang “Eksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu seperti: paha, bokong, payudara, secara close up dan/atau medium shot.” . Idealnya sensor ini diberlakukan pada adegan yang memiliki konteks seksual, akan tetapi beberapa stasiun televisi justru mengartikan pasal ini secara harfiah tanpa memerhatikan konteks adegan. Alhasil penontonpun mendapati sensor pada tubuh atlet renang, adegan memerah sapi, hingga sensor pada beberapa tokoh kartun, seperti Sandy Si Tupai dalam kartun Spongebob Squarepants. Fenomena ini merupakan bentuk keparnoan pihak televisi akan sanksi-sanksi yang diberikan pihak KPI terhadap pelanggaran standar siar yang sudah ditetapkan. Hal ini menjadi akar masalah dilema penyensoran siaran televisi di Indonesia, sebab pihak stasiun televisi merasa terus diawasi dan akhirnya melakukan sensor secara berlebihan tanpa melihat konteks dalam konten, sebagai upaya “cari aman” dari teguran dan sanksi dari KPI. Selain itu sensor berlebihan yang tidak tepat sasaran juga dapat melahirkan stigma negatif. Misalnya sensor pada atlet renang, justru mengalihkan hal substantif dan dapat menimbulkan stigma seksual pada pakaian renang dan atlet terkait. Begitupula sensor pada bagian tubuh hewan menimbulkan kesan irasional dan aneh. Selain sensor yang berlebihan, sensor secara umum juga masih menuai pro dan kontra baik dari kalangan pengusaha televisi, penonton, hingga produsen acara televisi. Pihak pro berargumen pelarangan dan pembatasan siaran yang mengandung unsur seksual, kekerasan, NAPZA, perjudian, dan hal mistik, secara substansi dapat dibenarkan sebab menyangkut moral dan norma. Tidak dapat dipungkiri bahwa, televisi merupakan media publik yang dapat diakses masyarakat berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Upaya perlindungan anak-anak dan masyarakat secara umum dari konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma, menjadi salah satu alasan yang disuarakan sebagian penonton dan masyarakat. Sementara itu pihak kontra berargumen adanya sensor membatasi kreativitas dan menghilangkan estetika dari sebuah tayangan. Kalangan seniman dan produsen acara merasa kehadiran sensor menghilangkan estetika dari karya yang telah dibuat. Sementara pengusaha televisi mempertanyakan kejelasan standar norma yang digunakan, sebab kerancuan standar yang digunakan dapat menjadi celah multitafsir yang berakibat pembekuan siaran televisi. Sebagian kalangan masyarakat juga merasa kehadiran sensor justru mengundang rasa penasaran akan hal yang dianggap negatif. Adapula yang beranggapan sensor tidak relevan, karena siaran televisi sudah memiliki aturan jam tayang sesuai jenis penontonnya. Pandangan masyarakat awam terhadap penyensoran tayangan televisi tentunya harus diluruskan, karena sebenarnya yang berwenang melakukan penyensoran terhadap tayangan televisi adalah divisi quality control dari masing-masing stasiun televisi. Penyensoran tayangan televisi yang berlebihan ini disebabkan oleh ketakutan pihak stasiun televisi terhadap sanksi yang dikenakan apabila melanggar Standar Program Siaran. Terlepas dari berbagai pro dan kontra, kehadiran sensor hanya mengurangi konten yang dianggap negatif secara ekspilisit. Orang tua tetap memilki kewajiban memberikan narasi yang tepat agar anak tidak terjerumus dalam rasa penasaran dan mampu memahami konteks sebuah tayangan. Sedangkan orang dewasa tentu harus lebih bijak memahami konteks dan substasnsi sebuah tayangan pada televisi.