Anda di halaman 1dari 4

TV PEDULI ANAK AGENDA MENDESAK

(Jum`at,16 Maret 2012)


Source : Dra. Mazdalifah, Msi
Tanggal 20 Juli 2008 merupakan Hari Tanpa TV. Pada hari tersebut seluruh keluarga Indonesia
diharapkan mematikan Tv sehari penuh, dan mengisinya dengan kegiatan lain yang lebih
bermanfaat. Munculnya gerakan Hari Tanpa TV memunculkan pertanyaan cukup menggelitik:
Apakah menonton TV membahayakan anak-anak kita? Sehingga keluarga Indonesia harus
istirahat sejenak dari riuh rendahnya tayangan TV. Pertanyaan ini menjadi amat penting
mengingat potensi penonton anak di Indonesia luar biasa besar jumlahnya, serta mutu tayangan
TV Indonesia yang masih memprihatinkan.
Tulisan ini lahir dalam rangka memperingati Hari Anak Indonesia yang jatuh pada 23 Juli 2008.
Selayaknya kita harus peduli pada nasib Anak Indonesia pada saat ini. Detengah arus globalisasi
yang begitu kuat menerjang, Anak Indonesia dikepung informasi dari berbagai media, khususnya
media TV. Tentu saja berbagai informasi ini tidak seluruhnya aman bagi anak-anak kita. Secara
jujur harus diakui, lebih banyak informasi (tanayangan-tayangan) yang tidak mendidik menerpa
mereka daripada informasi yang mendidik. Artinya TV belum berpihak kepada anak-anak!
Fenomena tayangan tidak mendidik di berbagai stasiun TV telah lama ada. Dan anehnya, banyak
orangtua dan keluarga di Indonesia tidak menyadari hal ini. Kita menyaksikan banyak orangtua
dan keluarga amat menikmati berbagai acara, bahkan menjadi penonton setia TV. Sebut saja
acara lomba menyanyi di sebuah stasiun TV dengan durasi 6 jam, mereka ikuti sampai tuntas.

KARAKTERISTIK PENONTON ANAK


Sebuah data tahun 2005: ada lebih kurang 70 juta penonton anak-anak di Indonesia. Dan alokasi
menonton TV secara umum lebih banyak daripada kegiatan lain. Bagi sebahagian anak-anak, TV
adalah hiburan gratis. Boleh jadi hampir sepanjang hari diisi dengan menonton TV (Kompas, 23
Juli 2005).
Data ini menunjukkan kepada kita bahwa ada jumlah yang luar biasa banyaknya dari penonton
anak-anak. Pada umumnya mereka adalah penonton setia, dalam istilah komunikasi mereka
termasuk dalam kategori Hard Viewer (penonton berat), yang menghabiskan waktu menonton
televisi 4 jam dalam satu hari. Bagi para pemasang iklan, jumlah ini boleh jadi amat fantastis,
mengingat dalam beberapa detik sebuah iklan dapat menjangkau berpuluh juta orang. Ada
potensi pasar yang sangat menggiurkan, sehingga tak heran pemasang iklan akan rela
mengeluarkan dana besar untuk menciptakan iklan komersial.
Selain jumlah yang amat besar, penonton anak memiliki karakteristik tersendiri, di antaranya
adalah : Anak-anak mengalami kesulitasn untuk membedakan mana hal-hal penting yang harus
disisakan (positif) dan mana yang mesti disisihkan (negatif), anak-anak memiliki sifat peniru
(imitasi) yang paling ulung, anak-anak dalah makhluk polos yang siap diisi oleh apa saja, ia
cenderung akan menyerap semua yang dilihat di sekitarnya termasuk dari media TV.
Karakteristik ini akan menjadi catatan bagi orang tua, pengelola stasiun TV, serta pemerintah,
agar memberi perhatian khusus terhadap mereka. Tanpa perhatian khusus dan penanganan
khusus, penonton anak kelak akan tumbuh dan berkembang menjadi makhluk dewasa yang
cenderung memiliki segudang masalah.

TAYANGAN TV HARI INI


Berbicara mengenai tayangan TV Indonesia saat ini, tentu saja akan menimbulkan berbagai
komentar, baik positif maupun negatif. Tetapi, jika kita dengan tepat mengukur komposisinya,
jujur diakui bahwa komposisi tayangan tidak mendidik lebih mendominasi daripada ayangan
mendidik. Tayangan tidak mendidik adalah tayangan yang memiliki muatan unsur kekerasan,
mistik, kemewahanyang berlebihan, unsur seks dan sensualitas. Sementara itu tayangan
mendidik adalah tayangan yang didalamnya mengandung undur informasi dan pengetahuan yang
bermanfaat.
Beberapa waktu lalu pihak KPI Pusat (Komisi Penyiaran Indonesia) memberikan peringatan
terhadap sepuluh tayangan yang dianggap tidak mendidik. Jika diamati lebih lanjut, tayangan
tayangan tersebut pada umumnya banyak ditonton oleh anak-anak dan keluarga Indonesia,
seperti tayangan Ekstravaganza dan Si Entong. Meskipun tayangan Ekstravaganza bernuansa
komedi, KPI menilai banyak unsur kekerasan dan pelecehan yang tidak mendidik. Demikian
pula tayangan si Entong yang notabene adalah tayangan anak-anak, ternyata banyak memuat
unsur tidak mendidik di dalamnya. Kata-kata kasar yang melecehkan seringkali muncul dan
dianggap dapat membahayakan anak-anak.
Kita harus mengakui bahwa masih banyak lagi tayangan sejenis, contohnya: tayangan berita:
Buser, Sergap, Patroli. Secara umum tayangan ini menggambarkan kinerja kepolisian dalam
menangani tindak kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian,
penculikan dan sebagainya. Namun dalam tayangan ini seringkali unsur kekerasan muncul,
misalnya: gambar korban tergeletak berdarah-darah, dalam kondisi utuh dan bisa pula dalam
keadaan terpotong-potong. Pencuri yang babak belur dikeroyok massa gambar yang muncul di
TV seringkali tanpa sensor ketat, sehingga dapat memunculkan perasaan takut dan khawatir yang
berlebihan bagi penonton khususnya penonton anak-anak.
Tayangan berita yang kita anggap aman, ternyata tidak luput pula dari unsur kekerasan. Tidak
masalah jika demonstrasi atau unjuk rasa berlangsung dengan damai, namun yang kerap kita
saksikan adalah demonstrasi brutal dan anarki. Kita disuguhi gambar orang-orang ditangkap dan
dipukuli, asap dari ban bekas atau bom molotov, pagar-pagar rubuh, hingga gambar orang
terluka. Sesungguhnya masyarakat belajar kekerasan dari televisi, mereka mencontoh apa yang
pernah dilihat di televisi.
Kita tidak usah bicara lagi soal film atau sinetron. Sudah cukup bukti bahwa film dan sinetron
hanya menjual kemewahan, kelicikan, perebutan harta yang tiada henti, perselingkuhan dn
sebagainya. Hanya satu kata untuk menyatakanbtayangan TV kita pada hari ini, yakni: Prihatin!
TELEVISI PEDULI ANAK
Guna mengatasi masalah di atas, perliu kiranya mewujudkan dengan segera Televisi Peduli
Anak. Di beberapa negara maju (Inggris, Kanada, Australia) telah menjadi agenda utama. Acara-
acara yang ditampilkan pada jam anak adalah acara yanag aman dan mendidik. Orang tua tidak
akan khawatir melepas anaknya menonton televisi, meskipun tanpa pendamping. Akan sangat
sulit menemukan acara orang dewasa seperti: film, pada jamnya anak-anak. Orang dewasa yang
menginginkan acara dewasa dapat mengaksesnya melalui berlangganan TV kabel.
Bagaimana dengan Indonesia? Berbicara mengenai Indonesia tentu saja kita harus berani melihat
kenyataan yang ada. Kita harus berbenah dan bergerak untuk mewujudkan Televisi Peduli Anak.
Meski harus berebut perhatian dengan masalah besar lainnya seperti: korupsi, pemilu, kenaikan
BBM dan sebagainya, kita tidak boleh berpangku tangan berdiam diri saja. Sebab, televisi seperti
musuh yang datang diam-diam, tanpa kita sadari meninggalkan bom yang siap meledak.
Dalam seminar yang berjudul “Mengapa Anak perlu Diet Media?” 19 Juli 2008, Nina Armando
menawarkan beberapa alternatif untuk mewujudkan Televisi Peduli Anak dengan cara
mengusahakan agar televisi mau memperbaiki mutu acaranya, yakni memberikan masukan
kritik: melalui surat pembaca di surat kabar, ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), atau memberi
masukan langsung kepada media yang bersangkutan. Kegiatan semaam ini dapat dilakukan siapa
saja, apakah ia seorang ibu rumah tangga, seorang bapak, pelajar, mahasiswa, guru, tokoh
agama, dan sebagainya. Sebagai warga masyarakat kita diharapkan tidak cuek, namun harus
proaktif melakukan suatu perubahan.
Cara-cara sederhana semacam ini ternyata cukup efektif untuk menjewer pengelola stasiun TV.
Satu kasus yang telah membuahkan hasil adalah tayangan Ekstravaganza dari Trans TV. Setelah
mendapat peringatan dari KPI sebanyak tiga kali, pihak pengelola telah bebenah diri.
Acara Ektravaganza kini telah tampil mendidik, tanpa kata-kata kasar dan perilaku tidak pantas.
Hari Anak Indonesia patut dijadikan sebagai momentum untuk melakukan pembenahan dan
perubahan. Gerakan Hari Tanpa Tv merupakan awal yang bail. Meski bagi sebagian orang
gerakan ini dipandang dengan sebelah mata, dianggap berlebihan, dan tidak berarti. Namun
sebagai bentuk kepedulian terhadap anak-anak kita, selayaknya gerakan hari Tanpa TV tidak
dianggap sepele.
Orangtua, pendidik, pemerintah dan penyelenggara stasiun TV harus menyadari bahwa Media
khususnya TV nerupakan agen sosialisasi paling berpengaruh. Prof. Chairul Yoel dalam
makalahnya berjudul Media Vs Kids menyatakan : “Today’s media influence all our lives, but
particulary the lives of our children”. Bahwa hari ini media telah mempengaruhi seluruh
kehidupan kita, secara khusus media telah pula mempengaruhi kehidupan anak-anak kita.

Anda mungkin juga menyukai