Anda di halaman 1dari 68

GAMBARAN VIABILITAS MONOKULTUR 3D SFEROID HEPATOSIT

MENGGUNAKAN METODE HANGING DROP

SKRIPSI

OLEH :

ENJELIN SASA KRISTANTI HUTABARAT

17000035

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN

2021
ABSTRAK

Latar belakang : Hati merupakan organ vital di dalam tubuh dan memiliki
banyak fungsi diantaranya metabolisme, detoksifikasi racun, dan sintesis protein.
Prevalensi penyakit hati tinggi dan terapi penyakit hati terus berkembang,
sehingga model hati sangat dibutuhkan untuk mempelajari mekanisme penyakit
hati dan uji toksisitas obat. Banyak metode kultur hepatosit yang terus
dikembangkan untuk menghasilkan suatu model hati yang optimal, dan metode
kultur yang terbaik adalah metode kultur dengan viabilitas hepatosit yang tinggi.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas hepatosit dan


pembentukan sferoid pada kultur 3D metode hanging drop dan pada kultur 2D.

Metode : Hepatosit diisolasi dari hati tikus jantan Sprague Dawley (n=2, 250-350
gr). Hepatosit primer tikus dikultur dengan metode hanging drop (tetes gantung)
dan metode konvensional (2D). Viabilitas hepatosit dianalisa dengan
menggunakan Trypan Blue Exclusion Test dan sel dihitung dalam kamar hitung
Improved Neubauer.

Hasil : Viabilitas hepatosit menurun 5,23% pada metode hanging drop dan
17,19% pada metode kultur 2D hari ke-2. (p > 0.05)

Kesimpulan : Viabilitas hepatosit metode hanging drop lebih besar daripada


metode kultur 2D. Sferoid terbentuk pada metode hanging drop dan tidak
terbentuk pada metode kultur 2D.

Kata kunci : Hepatosit, viabilitas, kultur 3D, sferoid, hanging drop

ii
ABSTRACT

Introduction : Liver is a vital organs in the body that have a lot of essential
function such as metabolism, toxic detoxification and protein synthesis. The
prevalence of liver disease is high, while the therapy developing continuously,
therefore a liver model needed to study the mechanism of the liver disease and
drug toxicity testing. Many hepatocyte culture methods that have been delevelop
to construct an optimal liver model, the best method is a culture with high
viability of the cell.

Aims: This research to know the hepatocytes viability and spheroid formation in
3D culture with hanging drop method and 2D culture.

Methods :Hepatocyte was isolated from male Sprague Dawley-rats liver (n=2,
250-350 gr), Primary hepatocyte cultured with hanging drop method and
conventional method 2D. Hepatocyte viability analyzed with Trypan Blue
Exclusion Test and the cell counted by Improved Neubauer counting chamber.

Result :Viability of the hepatocyte decreased 5,23% in hanging drop method and
17,19% in 2D culture method on day 2.(p > 0.05)

Conclusion : Viability of the hepatocyte in hanging drop method was higher than
2D culture. The spheroid was formed in hanging drop method and not formed in
the 2D culture method.

Keywords : Hepatocyte, viability, 3D culture, spheroid, hanging drop.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur, hormat serta kemuliaan penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus
Kristus atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Gambaran Viabilitas Monokultur 3D Sferoid Hepatosit
Menggunakan Metode Hanging Drop”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan program pendidikan dan memperoleh gelar
sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen
Medan.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan


dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan
dan ketulusan hati perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan kepada :

1. Yang terhormat Dr. dr. Leo Simanjuntak, Sp.OG selaku Dekan


Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan.

2. Yang terhormat dr. Joseph Partogi Sibarani, M.Ked (PD), Sp.PD


selaku Ketua Program Studi Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen Medan.

3. Yang terhormat Dr. dr. Christine Verawaty Sibuea, M.Biomed selaku


dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing, mengoreksi, mendukung dan mengajarkan penulis
dalam banyak hal selama penyusunan skripsi dan terkhususnya selama
penelitian, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Yang terhomat dr. David M.T Simangunsong, M.Kes selaku dosen


pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing,
mengoreksi, mengarahkan serta memberikan dukungan penuh kepada
penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

iv
5. Yang terhormat dr. Jenny Novina Sitepu, M.Biomed selaku dosen
penguji yang telah menguji kelayakan skripsi ini dan juga memberikan
saran serta masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
6. Yang terhormat, Bu Novi selaku staff Laboratorium Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen yang telah
membantu, mengarahkan, mendukung serta mengorbankan waktu dan
tenaganya demi kelancaran penelitian penulis, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
7. Pihak Laboratorium Farmakologi Universitas Sumatera Utara dan
Pihak Palang Merah Indonesia yang telah turut andil dalam kelancaran
penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Staff pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Universitas HKBP
Nommensen yang telah memberikan bekal ilmu, menanamkan cinta
kasih, dan membantu penulis selama mengikuti proses perkuliahan
maupun penyusunan skripsi ini.
9. Yang terkasih dan teristimewa kedua orang tua saya, Ayahanda dr.
Sahat Hutabarat, M.Kes dan Ibunda Santa Hotmaida Situmorang yang
tiada lelah berjuang dalam doa, memberikan nasihat, dan dukungan
baik moral maupun material yang menguatkan penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini. Begitu juga untuk saudara penulis, yang
terkasih dr. Nicholas I.P Hutabarat yang selalu membantu dalam doa
dan memberikan semangat, motivasi dan penghargaan. Mereka adalah
orang yang paling dikasihi penulis.
10. Yang terkasih teman terdekat penulis Obinizaro Matthew Putra Zega,
Vincensius Kurniawan Zai, Hagana Pranata Tarigan, Inri Yana
Tampubolon, Priparty Intan S, Naomi Novita Tampubolon, serta
Imelda Meliwijaya yang telah membantu dalam doa dan memberi
semangat kepada penulis, sehingga skrispi ini dapat terselesaikan
dengan baik.

v
11. Yang terkasih, Thania Bonita Lumbanraja, S.E selaku sepupu penulis
dan kepada Sari Sihombing, selaku kakak rohani penulis yang sudah
menemani, mendukung, memotivasi serta memberikan waktu, doa dan
semangatnya selama pengerjaan skripsi.
12. Yang terkasih, keluarga kedua saya dikampus Campus Ministry
Fakultas Kedokteran (CMFK) Universitas HKBP Nommensen, kepada
semua rekan-rekan sepelayanan untuk doa dan dukungannya selama
ini.
13. Yang terkasih, teman-teman seperjuangan Angkatan 2017 Fakultas
Kedokteran Universitas HKBP Nommensen untuk semua suka, duka,
kenangan dan cerita yang ada selama kurang lebih 3.5 tahun dibangku
kuliah, juga turut serta dalam mengiringi perjalanan pengerjaan skripsi
penulis walaupun sedikit dibatas oleh jarak dan waktu akibat masa
pandemi.
14. Yang terkasih, keluarga asuh penulis selama berkuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas HKBP Nommensen yang telah memberikan
semangat, doa, dan dukungan selama pengerjaan skripsi saya.
15. Orang-orang yang tidak disebutkan satu persatu oleh penulis yang juga
telah turut mendukung dan membantu sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dalam
penyusunan kata, penyelesaian ataupun isinya. Namun, penulis berharap agar
skripsi ini dapat bermanfaat, terutama dalam hal menambah ilmu pengetahuan
bagi penulis, pembaca dan menjadi rujukan untuk penulis selanjutnya agar lebih
baik lagi. Akhir kata penulis ucapakan terimakasih dan Tuhan memberkati.

Medan, 1 Mei 2021


Penulis,

Enjelin Sasa Kristanti Hutabarat

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………… i

ABSTRAK …………………………………………………………………….. ii

ABSTRACK ……………………………………………………………..……. iii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… iv

DAFTAR ISI ……………………….…………………………........................... vii

DAFTAR GAMBAR ………………..………………………...…….................. xi

DAFTAR TABEL ...……………………………………………......................... xii

DAFTAR GRAFIK ..…………………………………………………….…….. xiii

DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……..…………………………………………………. xvi

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….………… 1

1.1 Latar Belakang………………………………………..……………… 1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………..………………... 3

1.2.1 Bagaimana viabilitas hepatosit yang dihasilkan pada monokultur


model hati dengan menggunakan metode Hanging drop tersebut?..… 3

1.2.2 Bagaimana pembentukan sferoid hepatosit yang terbentuk

dengan menggunakan metode Hanging drop tersebut?....................… 3

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………..………................ 3

1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………….. 3

vii
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………..... 4

1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………… 4

1.4.1 Mahasiswa……………………………………………............... 4

1.4.2 Masyarakat……………………………………………………... 4

1.4.3 Peneliti Lain……………………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….............. 5

2.1 Embriologi hati………………………………………………………. 5

2.2 Struktur Anatomi Hati dan Hepatosit………………………………... 6

2.2.1 Struktur Makroskopik Hati………………………………. …… 6

2.2.2 Struktur Mikroskopik Hati…………………………….............. 7

2.2.3 Hepatosit………………………………………………………. 7

2.3 Histologi dan Fisiologi Hati…………………………………………. 8

2.3.1 Produksi empedu………………………………………………. 9

2.3.2 Penyimpanan dan Metabolime Vitamin……………………… 9

2.3.3 Metabolisme obat…………………………………………….. 10

2.3.4 Metabolisme bilirubin………………………………………... 10

2.4 Penyakit Hati………………………………………………………... 10

2.5 Metode Kultur dan Pembentukan Sferoid Hepatosit……………….. 12

2.5.1 Kultur Tiga Dimensi (3D) dan Pembentukan Sferoid……...… 13

2.5.2 Kultur Dua Dimensi (2D)……………………………………... 13

2.5.3 Metode Hanging droo……………..………………….............. 14

viii
2.6 Viabilitas Hepatosit…………………………………………………. 15

2.7 Kerangka Teori……………………………………………………… 16

2.8 Kerangka Konsep…………………………………………………… 17

BAB III METODOLOGI PENELTIAN………………………...…………… 18

3.1 Desain Penelitian……………………………………………………. 18

3.1.1 Isolasi hepatosit……………………………………………….. 18

3.1.2 Monokultur hepatosit dengan metode Hanging drop……........ 18

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………. 18

3.2.1 Tempat………………………………………………............... 18

a. Tahap I……………………………………………............... 18

b. Tahap II……………………………………………………. 18

3.2.2 Waktu………………………………………………………… 18

3.3 Alat dan Bahan……………………………………………………... 18

3.3.1 Alat dan Bahan peneltian…………………………….............. 18

3.3.2 Hepatosit……………………………………………………... 20

3.4 Sampel dan Perhitungan Besar Sampel…………………................ 20

3.4.1 Sampel Peneltian…………………………………….............. 20

3.4.2 Besar Sampel………………………………………………... 20

3.5 Prosedur Peneltian………………………………………………… 20

3.5.1 Isolasi Hepatosit dari Sampel Deseksi Hati

Sprague-Dawley rats................................................................. 20

ix
3.5.2 Monokultur 3D Hepatosit dan Analisa Viabilitas Hepatosit..... 21

3.5.3 Pembentukan Sferoid…………………………...…………..... 23

3.6 Alur Penelitian……………………………………………………… 23

3.7 Identifikasi Variabel………………………………………………... 23

3.8 Definisi Operasional………………………………………………... 24

3.9 Rencana Biaya Penelitian…………………………………………... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…….……………………….............. 26

4.1 Viabilitas monokultur 3D hepatosit yang terbentuk dengan

menggunakan metode hanging drop.……….……..…………...…… 26

4.2 Pembentukan sferoid hepatosit yang terbentuk dengan menggunakan


metode Hanging drop............................................................….…… 28

BAB V KESIMPULAN..........................………………………………........... 31

5.1 Kesimpulan. ………………………………………………………... 31

5.2 Saran …………………………………………………………….…. 31

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 32

LAMPIRAN……………………………………….………………………….... 36

x
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Proses pembentukan diverticulum hati dan liver bud 5

Gambar 2.2 Kerangka Teori 16

Gambar 2.3 Kerangka Konsep 17

Gambar 3.1 Penampakan kamar hitung Improved Neubauer 22

Gambar 3.2 Alur Penelitian 23

Gambar 4.1 Pembentukan Sferoid pada Metode Hanging drop dan 28

Metode 2D

xi
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 3.1 Alat dan Bahan Penelitian 19

Tabel 3.2 Definisi Operasional 24

Tabel 3.3 Rincian Biaya Penelitian 25

xii
DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman

Grafik 4.1 Viabilitas Hepatosit pada metode Hanging drop dan 26

metode 2D

xiii
DAFTAR SINGKATAN

2D : Dua Dimensi

3D : Tiga Dimensi

HepaRG : Sel hati immortal yang berasal dari hepatoma

Apo-Β : Apolipoprotein B

AFP : Alpha-Fetoprotein

ALB : Albumin

HNFα : Hepatocytes nuclear factor alpha.

CK118 : Cytokeratin-18

CK19 : Cytokeratin-19

BMP : Bone Morphogenetic Protein

PCLP1 : Podocalyxin protein 1

PODXL : Podocalyxin-like protein

TGFβ : Transforming Growth Factor Beta

Wnt : Wingless Gene Int-1

FGF : Fibrolast Growth Factor

O2 : Oksigen

VLDL : Very Low Density Lipoprotein

CYP-450 : Cytochrome P450

UGT : Uridine Diphosphate Glucoronyltransferase

xiv
ECM : Extracellular Matrix

HepG2 : Liver hepatocellular cells

PBS : Phospate Buffer Saline

PRP : Platelet-Rich Plasma

Bax : (Bcl-2 associated x protein)

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

EGF : Epidermal Growth Factor

FGF : Fibroblast Growth Factor

PDGF : Platelet Derived Growth Factor

ULA : Ultra-low Attachement

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Pengantar Penelitian

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian Pemakaian Laboratorium dan Fasilitas


Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas HKBP
Nommensen

Lampiran 5 Surat Izin Pengambilan Sampel dari Laboratorium Farmakologi


Universitas Sumatera Utara

Lampiran 6 Surat Permohonan Pembuatan Surat Pengantar Penelitian

Lampiran 7 Surat Permohonan Pemakaian Laboratorium dan Alat-Alat


Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas HKBP
Nommensen

Lampiran 8 Nota Pengambilan PPR Trombosit dari PMI

Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian

Lampiran 10 Tabel Perhitungan Viabilitas Hepatosit

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati adalah organ yang melakukan banyak fungsi vital di dalam
tubuh. Hati bertanggung jawab dalam proses metabolisme, baik untuk
menyimpan nutrisi dan vitamin maupun melakukan detoksifikasi terhadap
racun dan zat berbahaya lainnya. Hati juga berperan penting dalam sistem
pencernaan, sekresi, dan pembentukan sel darah merah.1
Hati merupakan organ yang memiliki kemampuan regenerasi yang
baik jika terjadi kerusakan. Pada cedera hati akut, sel hati akan melakukan
proliferasi untuk menjaga kelangsungan fungsi organ hati. Kerusakan hati
yang tinggi mengakibatkan penurunan kemampuan hati dalam menjaga
homeostasis tubuh. Keadaan ini dapat menyebabkan kapasitas regenerasi
hati berkurang sehingga kematian sel hati dapat terjadi. 2 Hal ini dapat
memicu terjadinya penyakit hati yang dikenal dengan fibrosis, dimana jika
kondisi ini berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan sirosis hati.3
Data WHO tahun 2015 melaporkan bahwa Hepatitis B
mengakibatkan sekitar 887.000 kematian di dunia. 4 Prevalensi Hepatitis di
Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,2% pada tahun 2013. 5 Data
CDC tahun 2018 menyatakan bahwa sirosis hati menduduki urutan ke
empat penyebab kematian di Indonesia. 6 Riwayat penggunaan alkohol dan
obat-obatan, serta obesitas dan diabetes merupakan faktor resiko terjadinya
kerusakan hati.7 Kerusakan hati juga dapat disebabkan oleh infeksi seperti
virus Hepatitis dan Ebola. 4
Peningkatan prevalensi penyakit hati yang terjadi menunjukkan
bahwa masih terdapatnya keterbatasan dalam penanggulangan masalah
tersebut. Mekanisme penyakit hati yang belum diketahui serta
metabolisme obat yang bekerja pada hati sangat penting untuk dipelajari.
Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan suatu model hati untuk
mempelajari mekanisme penyakit hati dan untuk uji obat. Rekonstruksi

1
model hati membutuhkan metode kultur yang baik sehingga dapat
dihasilkan suatu model hati dengan viabilitas baik. Sel hati sulit diekspansi
secara in vitro.2,8 Hepatosit dalam kultur konvensional pada umumunya
juga menunjukkan penurunan polaritas dan viabilitas sel. 9 Keterbatasan
inilah yang mendasari para peneliti mengembangkan berbagai metode
kultur solasi hepatosit. Beberapa diantaranya adalah kultur 2D (dua
dimensi), 3D (tiga dimensi), dan kultur sandwich. Kultur 2D menekankan
penampakan permukaan datar, menarik para ahli dengan kesederhanaan
dan efisiensi yang diberikan. Kelemahan kultur ini, lingkungan bagi
pertumbuhan sel kurang mendukung serta dengan kepadatan sel yang
10–12
rendah menyebabkan morfologi sel tidak terbentuk dengan baik.
Metode lain yaitu kultur sandwich dilakukan mengkultur sel secara
berlapis-lapis.10 Kekurangan kultur ini yaitu rendahnya aktifitas proliferasi
karena kurangnya kontak atau interaksi antar sel, sehingga sel-sel tersebut
mudah mengalami apoptosis.13

Keterbatasan metode-metode tersebut menyebabkan penelitian


metode kultur terus berkembang. Penemuan terbaru bergeser pada kultur
3D. Metode ini diteliti dapat mempengaruhi proliferasi, diferensiasi dan
viabilitas hepatosit. Kultur 3D yang sering digunakan dalam penelitian
organ hati adalah kultur yang membentuk sferoid. Kultur 3D sferoid
sangat baik digunakan untuk menguji toksisitas, walaupun masih terdapat
keterbatasan dan kekurangan. Kultur 3D sferoid setidaknya sudah mampu
memberikan lingkungan mikro yang lebih baik bagi pertumbuhan sel
untuk terbentuknya model hati yang memiliki viabilitas yang lebih lama.14
Metode Hanging drop (tetes gantung) merupakan salah satu metode yang
pernah digunakan untuk pembentukan sferoid. Hanging drop merupakan
metode yang memungkinkan adanya ekstraksi bebas sel yang dipengaruhi
oleh gaya gravitasi. Sel tersebut dinilai dari waktu ke waktu untuk melihat
kepadatan, volume, dan viabilitas yang terbentuk.15,16

2
Penelitian kultur 3D sferoid HepaRG menggunakan metode
Hanging Drop pernah dilakukan di Jepang pada tahun 2015. Hasil
penelitian yang dilaporkan menunjukkan bahwa kultur 3D mampu
menciptakan kondisi fisiologis yang sesuai dengan lingkungan in vivo
serta adanya peningkatan kadar nilai beberapa kandungan yang penting
bagi pertumbuhan sel, seperti Albumin dan Apo-β. Metode Hanging drop
sendiri mampu meminimalisir penggunaan alat dan bahan, membuat
metode ini dapat memudahkan penelitian yang dilakukan. 15

Hepatosit yang akan dikultur 3D dengan metode Hanging drop


dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran viabilitas
model hati yang baik. Harapan ini berkembang dengan tujuan agar model
hati ini nantinya tidak hanya digunakan dalam memahami metabolisme
dan uji toksisitas obat, tetapi juga dapat dipakai untuk mempelajari
mekanisme penyakit hati terutama yang belum diketahui.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah viabilitas hepatosit yang dihasilkan pada monokultur


model hati dengan menggunakan metode Hanging drop tersebut?

1.2.2 Bagaimanakah pembentukan sferoid hepatosit yang terbentuk dengan


menggunakan metode Hanging drop tersebut?

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan mengkultur hepatosit dengan metode


Hanging drop yang menghasilkan suatu model hati yang memiliki
viabilitas yang baik untuk dapat dipakai mempelajari mekanisme
penyakit hati terutama yang belum diketahui dan metabolisme serta uji
toksisitas obat.

3
1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui viabilitas monokultur 3D sferoid hepatosit yang terbentuk


dengan menggunakan metode Hanging drop.

b. Mengetahui pembentukan sferoid hepatosit yang terbentuk dengan


menggunakan metode Hanging drop.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat bagi mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang


gambaran viabilitas monokultur 3D hepatosit menggunakan metode
Hanging drop.

1.4.2 Manfaat bagi masyarakat

Melalui penelitian ini, hasil yang diharapkan dapat berdaya guna


bagi bidang kesehatan yaitu dengan mengahasilkan model hati yang bukan
hanya dapat digunakan untuk mempelajari metabolisme dan uji toksisitas
obat, tetapi juga untuk mempelajari mekanisme penyakit hati terutama
yang belum diketahui.

1.4.3 Manfaat bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi sumber


referensi untuk penelitian lain yang akan dilakukan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi hati

Perkembangan hati dimulai dari bagian kaudal anterior usus hati


pada pertengahan minggu ke 3 dan awal minggu ke 4. Hati memiliki dua
jenis sel utama yaitu hepatosit dan kolangiosit. Keduanya berasal dari
bagian endodermal yang muncul dari garis primitif anterior dari gastrulasi
embrio. Endodermal hati memiliki epitel kubus selapis yang nantinya
berubah menjadi epitel kolumnar pseudostratifikasi yang disebut
hepatoblas. Hepatosit dan kolangiosit merupakan hasil proliferasi dan
difrensisasi dari hepatoblas pada septum transversum. Beberapa faktor
yang menandai perkembangan hepatoblas dapat dilihat melalui marker
AFP, ALB, HNFα, CK18 untuk hepatosit dan CK19 untuk kolangiosit.
Sel-sel ini bermigrasi ke bagian anterior yang akan terpisah dari
mesendoderm bipotensial untuk membentuk endoderm definitif.
Endoderm definitif ini kemudian akan membentuk tabung yang berputar di
sepanjang sumbu anterior-posterior (AP) dan akan membentuk tiga bagian
yang terdiri dari foregut, midgut, dan hindgut. Foregut endoderm inilah
yang akan membentuk hati, lambung, paru-paru, tiroid dan pankreas
bagian ventral.17

Gambar 2.1 Proses pembentukan diverticulum hati dan liver bud 17

5
Hepatoblas kemudian juga akan berkembang untuk membentuk
divertikulum hati (kuncup hati). Pertumbuhan divertikulum hati didukung
oleh septum transversum yang berasal dari bagian mesoderm. Bone
morphogenetic protein (BMP) yang diekspresikan dalam jaringan ikat
septum transversum berperan sangat penting untuk perkembangan hati.17,18

Hati seorang janin merupakan tempat transisi utama untuk proses


hematopoiesis bagi kelompok mamalia. Hal inilah yang menyebabkan
hepatoblas dan sel-sel progenitor hematopoietik sudah berkembang sejak
saat kuncup hati tikus terbentuk. Ketika kuncup mengembang, satu bagian
sel mesotelial yang belum matang mengekspresikan level yang tinggi pada
podocalyxin protein 1 (PCLP1 atau PODXL) yang akan melapisi lobus
hati tikus. Hasil dari kultur budaya eksperimen menggambarkan perluasan
hepatoblas secara parakrin dan perolehan fenotip yang lebih matang
dengan ekspresi mesotelin serta hilangnya PCLP1. 17

Fungsi metabolik hati ditempatkan khusus pada bagian lobulus hati


(zonasi metabolik). Gambaran pematangan hati yang berperan dalam
proses glikolitik menjadi glukonegogenik dapat dilihat dalam dua trimester
pertama. Pematangan hepatosit akan terus berlanjut setelah lahir. Selama
perkembangan hati, beberapa marker yang turut berperan yaitu
transformasi faktor pertumbuhan β (TGFβ), Wnt, faktor pertumbuhan
fibroblas (FGF), protein morfogenetik tulang (BMP) dan sebagainya. 17

2.2 Struktur anatomi hati dan hepatosit.

2.2.1 Struktur makroskopik hati

Organ hati terletak di bagian lateral perut yang melintang menuju


prosesus xifoideus sekitar 15-20 cm. Berat organ hati orang dewasa
berkisar sekitar 1200-1800 gr dan tergantung pada ukuran dan masa tubuh.
Secara anatomi hati memiliki empat lobus, yaitu lobus kanan, lobus kiri,
lobus kaudatus dan lobus kuadratus. Lobus kanan dan kiri dibagi oleh
garis yang terletak disepanjang vena cava inferior-superior yang menuju

6
fossa kandung empedu inferior.19 Hati memiliki pembuluh darah utama
yaitu vena portal dan arteri hepatika. 20 Vena portal dibentuk melalui vena
mesenterika superior dan limpa, sedangkan arteri hepatika terletak
disepanjang ligamentum hepatoduodenal yang akan terbagi menjadi dua
cabang yaitu kanan dan kiri.19

2.2.2 Struktur mikroskopik hati

Hati merupakan bagian dari sistem hepatobilier yang terdiri atas


parenkim (hepatosit) dan non-parenkim. Struktur parenkim hati berbentuk
seperti tali. Sedangkan, bagian non-parenkim terdiri dari endotel, sel epitel
bilier, sel kupffer dan sel stelata hepatika. Kedua bagian tersebut bersama-
sama membentuk unit heksagonal yang dikenal sebagai lobulus hati yang
terdiri dari sekitar 100.000 bagian.19

Pembuluh darah utama yang memasok hati adalah vena portal dan
arteri hepatika. Vena portal secara berurutan terdiri dari vena interlobar,
segmental, interlobular, dan preterminal. Cabang dari arteri hepatika yaitu
pleksus preportal dan pleksus prebiliar yang memasok darah ke saluran
empedu interlobular serta kapiler yang terdapat disepanjang saluran.
Lobulus menerima darah yang kaya nutrisi dari vena porta yang sebagian
terdeoksigenasi dari lambung, duodenum, kandung empedu, pankreas,
limpa, dan usus kecil. Sedangkan, arteri hepatika memasok darah yang
kaya akan O2 dari dorsal aorta ke lobulus hati. Serangkaian pembuluh
darah kapiler yaitu sinusoid terletak disepanjang vena porta sampai arteri
hepatika dan akan bertemu di vena sentral. 20

2.2.3 Hepatosit

Hepatosit merupakan unit fungsional dasar yang sangat berperan


dalam fungsi metabolik hati. Ukuran hepatosit setiap orang berbeda-beda.
Rata-rata hepatosit berdiameter 25-40 µm sedangkan inti selnya
berdiameter 10 µm. Inti hepatosit terletak di pusat dan berbentuk bulat.
Hepatosit juga mendominasi volume dari parenkim hati yaitu sekitar 80%.

7
Membran plasma hepatosit terdiri atas tiga domain dengan unsur molekul,
kimia, dan antigenik yang berbeda, baik komposisi maupun fungsinya. 21
Hepatosit memiliki banyak organel penting yang terkandung dalam
sitoplasmanya. 19,20

Fungsi hepatosit yang berperan dalam biokimiawi dan


pengekspresikan profil gen bergantung pada lokasinya pada lobulus hati.
Penelitian terbaru terhadap hati tikus, menemukan bahwa 50 % gen hati
terdiri dari zona metabolik yang terdapat pada daerah mid lobular.
Glikolisis dan lipogenesis terjadi terutama di hepatosit perisentral. Proses
metabolik lainnya seperti sintesis glutamin, asam empedu, urea, albumin
serta biosintesis kolestrol juga memainkan peran hepatosit dalam
menjalankan fungsinya. Zona metabolik ini berpengaruh terhadap suatu
penyakit hati. Hepatosit mengandung hemosiderin dan kandungan
tembaga pada saat lahir, dan akan berkurang secara bertahap pada usia 6-9
bulan.21

2.3 Histologi dan Fisiologi hati

Hati tersusun secara struktural yang terdiri dari parenkim, vaskular,


duktus empedu, dan komponen intestinal lainnya. Unit fungsional hati
disebut sebagai lobulus hati atau asinus hati dalam bentuk tiga dimensi.
Secara histologi, konsep pembagian asinus tiga dimensi dibagi menjadi
tiga zona yang berperan proses oksigenasi dan peredaran darah di saluran
portal. Sebagian besar dearah yang kaya akan O2 mengalir dari cabang
terminal vena porta dan arteri hepatik, lalu melalui sinusoid darah
dialirkan ke hepatosit yang pada akhirnya akan mengering dibagian asinus
perifer. Hepatosit yang berasal dari endoderm mengisi 75-80% volume
hati. Sel hati berbentuk heksagonal atau polidehdral dan memiliki
sitoplasma eosinofilik yang mengandung inti yang bulat. Beberapa bahan
yang terkandung dalam hepatosit yaitu lemak, glikogen, empedu,

8
lipofuscin dan hemosiderin yang tidak selalu terlihat spesifik dalam
deferensiasi hepatositik.22

Secara fisiologi, hati merupakan organ penting yang bertanggung


jawab dalam berbagai fungsi pada tubuh manusia. Hati berfungsi untuk
mendukung metabolisme, imunitas, pencernaan, detoksifikasi,
penyimpanan vitamin dan fungsi lainnya. Organ ini mengambil peran 2%
dari berat badan orang dewasa. Berbagai macam fungsi hati akan
dipaparkan pada penjelasan berikut ini.

2.3.1 Produksi empedu

Empedu merupakan cairan penting yang membantu mengeluarkan


bahan yang tidak dieksresikan oleh ginjal serta membantu penyerapan
lemak melalui sekresi garam empedu dan asam. Empedu diproduksi oleh
hepatosit dan terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, bilirubin dan
sebagainya. Empedu yang diekskresikan ke dalam duodenum, akan
mengalami sirkulasi enterohepatik untuk menjalankan fungsinya. Empedu
yang tidak dieksresikan akan dikonversi untuk dapat digunakan kembali
dengan penyerapan oleh illeum dan diangkut kembali ke hati.

2.3.2 Penyimpanan dan Metabolime Vitamin

Sebagian besar vitamin yang larut dalam lemak mecapai hati


melalui penyerapan usus dalam bentuk Very low-density lipoprotein
(VLDL). Vitamin A disimpan dalam sel ito. Vitamin D3 harus menjalani
25-hidroksilasi oleh sistem CYP-450 hati. Hati menerima vitamin E dalam
bentuk α dan γ -tokoferol yang akan mengalami proses ekskresi dan
sekresi. Sementara, vitamin K tidak disimpan dan dimetabolisme di hati
karena sangat diperlukan untuk γ-karboksilasi faktor koagulasi dan
protein.

9
2.3.3 Metabolisme obat

Fungsi lain hati adalah detoksifikasi xenobiotik yang


menggunakan lisosom melalui biotransformasi. Reaski xenobiotic terjadi
pada retikulum endoplasma halus hepatosit. Selain itu, dalam metabolisme
obat juga terjadi proses konjugasi, salah satunya konjugasi glutation.
Penurunan glutation dapat memungkinkan penumpukan metabolit toksik
dalam proses detoksifikasi.

2.3.4 Metabolisme bilirubin

Hati memainkan peran penting dalam pemecahan heme.


Hemolisis terjadi diberbagai tempat termasuk di hati. Heme akan dipecah
menjadi biliverdin, yang kemudian direduksi menjadi bilirubin tak
terkonjugasi yang nantinya akan terikat pada albumin. Nantinya bilirubin
tersebut akan mengalami proses konjugasi melalui sistem uridine
diphosphate glucoronyltransferase (UGT) yang akan dieksresikan melalui
empedu dan sebagian besar melalui tinja karena tidak dapat diserap oleh
dinding usus.

2.4 Penyakit Hati

Penyakit hati merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di


dunia. Data CDC tahun 2018 turut melaporkan bahwa sirosis hati
menduduki urutan ke empat penyebab kematian di berbagai negara. 6
Prevalensi Hepatitis di Indonesia sendiri mengalami peningkatan sebesar
1,2% pada tahun 2013.5 Penyebab penyakit hati sering disebabkan oleh
adanya infeksi dari mikroorganisme seperti virus atau riwayat penggunaan
alkohol dan obat-obatan jangka panjang.7 Beberapa contoh penyakit hati
seperti Hepatitis, yaitu peradangan hati yang diakibatkan karena infeksi
virus atau zat penyebab lainnya.23 Penyakit hati yang sering juga terjadi
yaitu Sirosis hati, merupakan keadaan hilangnya sel hati yang digantikan
dengan jaringan parut yang bersifat ireversibel yang dapat memperburuk

10
fungsi hati. Sirosis hati dapat disebabkan oleh alkohol serta virus hepatitis
B dan C.24

Kondisi ketika sel hati tumbuh secara abnormal diluar kendali


organ dapat menyebabkan Kanker dan Hepatitis. Karsinoma hepatoseluler
merupakan jenis kanker hati yang paling umum. Kanker yang berasal dari
hati ini menyebabkan fungsi metabolisme hati dapat terganggu. 25,26 Tanda
dan gejala pada penyakit hati dapat bervariasi, tetapi yang paling umum
dijumpai yaitu mata dan permukaan kulit tanpa menguning,
pembengkakan perut dan kaki, mudah memar, perubahan warna tinja dan
urin, bahkan dapat juga tanpa gejala. Penegakan diagnosis penyakit hati
dapat ditunjang dengan beberapa pemeriksaan, yaitu CT-scan, USG, biopsi
liver, tes fungsi hati dan pemeriksaan lainnya.27

Mekanisme patologis penyakit hati sebagian besar menjelaskan


adanya peran stress oksidatif, preoksidasi lipid, peradangan, dan gangguan
respon imun. Menanggapi hal tersebut, ternyata masih banyak
ketidakseimbangan patogenesis yang terjadi, seperti proses peradangan
pada hati. Serangkaian reaksi molekuler dan seluler dalam mekanisme
juga belum sepenuhnya dipahami dan dapat diselesaikan. 28

Hati sendiri merupakan organ sentral yang bertanggung jawab


atas metabolisme obat-obatan dan bahan kimia beracun. Berbagai macam
mekanisme penyakit hati yang ada menuntut terapi yang mampu bekerja
pada target terapeutik yang luas. Cidera hati akibat intoksisitas obat
merupakan masalah klinis yang penting saat ini. Lebih dari 900 obat yang
mempengaruhi hati secara langsung. Baicalin, flavonoid radix
Scrutellariae yang diinduksi oleh Acetaminophen, secara efektif dapat
meredakan cidera hati. Kebutuhan obat yang aman dan efektif demi
memberikan hepatoprotektif terhadap hati sangat diperlukan. 28 Untuk
itulah diperlukan suatu rekonstruksi organoid hati yang diharapkan dapat
menjadi wadah untuk memperlajari mekanisme penyakit hati yang belum

11
diketahui pasti maupun dalam metabolisme dan uji toksisitas obat-obatan
yang bekerja pada hati.

2.5 Metode kultur dan pembentukan sferoid hepatosit.

Kultur sel telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk


mengungkap mekanisme biofisik dan biomolekuler dasar dari jaringan
suatu organ. Dalam penelitian biomedis, kultur sel banyak digunakan
untuk rekayasa jaringan, praktik industri dan sebagainya. Kultur sel in
vitro kerap diterapkan untuk meningkatkan pemahaman dasar sel secara in
vivo. Hal ini termasuk diferensiasi, pertumbuhan dan mekanika sel. Semua
hal ini dipengaruhi oleh lingkungan mikro yang diciptakan baik secara
biokimia maupun biomekanik.10

Monokultur yang merupakan teknik kultur dengan penanaman satu


sel tunggal juga berkembang menjadi berbagai macam metode kultur.
Kultur 2D (dua dimensi) yang telah mendominasi tidak menutup
kemungkinan bergesernya penelitian terbaru menggunakan kultur 3D (tiga
dimensi) yang memberikam lingkungan mikroseluler lebih menjanjikan.
Kultur yang banyak digunakan sebagai model in vitro untuk mempelajari
respon seluler. Namun, secara signifikan banyak bukti yang menunjukkan
sistem 2D dapat mengahasilkan bioaktifitas sel yang menyimpang pada
lingkungan renspon in vivo.10

Untuk mengatasi keterbatasan ini, metode 3D yang menginduksi


kultur sferoid hadir untuk mengupayakan kondisi in vivo yang lebih baik.
Hasil studi 3D yang diteliti menunjukkan bahwa meningkatnya dimensi
matriks ekstraseluler (ECM) secara signifikan mempengaruhi proliferasi,
diferensiasi, respon mekanik, dan viabilitas sel. Berikut akan dibahas
mengenai beberapa metode kultur beserta kekurangan dan kelebihannya. 10

12
2.5.1 Kultur tiga dimensi (3D) dan pembentukan sferoid.

Sistem 3D merupakan kultur yang membentuk lingkungan mikro


tiga dimensi dan tersusun atas distribusi matriks ekstraseluler menjadi
prilaku dasar dan merangkum fungsi organ. Pendekatan kultur sel 3D
bertujuan untuk membentuk suatu model yang dapat berinteraksi secara in
10
vivo. Secara umum, kultur 3D memberikan keuntungan yaitu, dapat
memungkinkan meniru lingkungan mikro seluler in vivo, dapat bertindak
sebagai model untuk mempelajari kondisi patofisilogis dan lebih realistis
untuk menumpuhkan sel dalam budaya 3D untuk mempelajar efek dosis
obat sebagai lapisan antar sel. Penyediaan sinyal biofisika dan biokimia
yang diciptakan sangat mempengaruhi tingkat migrasi, adhesi, proliferasi
dan ekspresi gen juga diberikan dibandingkan kultur 2D. Interaksi antar
sel-sel disekitarnya sangat mempengaruhi terbentuknya lingkungan yang
mirip dengan kondisi in vivo. Salah satu teknik kultur 3D yang paling
sering digunakan dalam penelitian organ hati adalah kultur sferoid. 14 Salah
satu penelitian pembentukan sferoid menunjukkan bahwa, hasil akhir
biakan sel berbentuk bulat dan memanjang. 29 Sistem kultur sferoid diteliti
juga mampu menyediakan lingkungan yang lebih menyerupai in vivo,
mempertahankan sifat fenotipik sel dan adanya interaksi antar sel yang
mengatasi keterbatasan kultur monolayer sangat mempengaruhi viabilitas
sel yang dikultur.30 Penerapan kultur 3D sferoid yang telah diteliti dapat
digunakan untuk pengujian toksistas rutin. Walaupun sebagian besar studi
kultur sferoid menggunakan HepG2 bukan hepatosit primer. 14

2.5.2 Kultur dua dimensi (2D)

Kultur sel 2D bergantung pada penampakan permukaan yang rata.


Pertumbuhan sel dalam lapisan tunggal 2D memungkinkan pasokan
jumlah nutrisi dan faktor pertumbuhan yang sama dalam medium,
sehingga didapati pertumbuhan yang homogen. Hal ini yang sempat
menarik para ahli biologi secara kesederhanan dan efisiensinya. Namun,

13
bentuk sel yang tidak terkontrol terkadang diberikan oleh metode ini yang
nantinya mempengaruhi bioaktivitas sel secara in vivo. Sistem 2D ini juga
menginduksi polaritas sel sehingga dapat mengubah fungsi asli dan
lingkungan mikro sel. Efek polarisasi ini dapat dikurangi dengan metode
kultur sandwich yang menambah lapisan matriks ekstraseluler. 10

Kultur sandwich dilakukan dengan cara mengkultur sel secara


berlapis-lapis. Kultur ini telah lama terbukti menghasilkan kultur hepatosit
yang morfologi dan fungsinya lebih akurat bagi lingkungan in vivo.
Teknik kultur lain dari 2D yaitu pola mikro dan perubahan kekakuan
media. Kekurangan metode ini menyebabkan turunnya kapasitas
10,31
detoksifikasi. Aktifitas proliferasi yang rendah karena kurangnya
kontak atau interaksi antar sel juga merupakan kelemahan dari kultur
sandwich, hal ini dapat menyebabkan sel-sel yang dikultur akan rentan
mengalami apoptosis karena kelangsungan hidup yang tidak bertahan
lama.13

2.5.3 Metode Hanging drop

Hanging drop (tetes gantung) merupakan metode yang membentuk


sel dengan menggunakan gaya gravitasi bumi yang akan membuat sel
bermigrasi dengan polaritas dalam matriks ekstraseluler yang luas seperti
pada jaringan in vivo. Kelebihan dari metode ini yaitu tidak memerlukan
bahan atau peralatan khusus.15 Hanging drop merupakan salah satu
metode dari kultur sferoid, dimana volume dan kepadatan sel ikut
mengontrol ukuran sferoid yang terbentuk. Suspensi sel yang diteteskan
pada permukaan platform akan ditutup dan dibalikkan. Dengan ini sferoid
akan terbentuk akibat bantuan tegangan permukaan platform dimana sel
menempel serta adanya peran dari gaya gravitasi.30,32 Metode ini pernah
digunakan untuk melihat karakteristik dan reproduktifitas sferoid HepG2.
Sel-sel ini dikultur dengan metode Hanging drop dan dinilai dari waktu ke
waktu untuk melihat morfologi, viabilitas, distribusi siklus sel, serta

14
kandungan lipid dan protein. Metode ini diteliti memungkinkan adanya
ekstraksi bebas antar sel selama eksperimen. Dari pembahasan penelitian,
pengendapan dengan bantuan gaya gravitasi, dinilai cukup baik untuk
mendorong terbentuknya agregasi maktriks ekstraseluler (ECM) yang
penting untuk morfologi sel.16

Penelitian sferoid HepG2 juga pernah dilakukan di Jepang


menerapkan metode Hanging drop dengan kultur 3D. Hasil menunjukkan
bahwa adanya peningkatan karakteristik hepatoseluler yang diharapkan
dapat meningkatkan aktivitas metabolisme hati, yang pada akhirnya dapat
digunakan untuk studi fungsional dan farmakologis pengembangan obat.15

2.6 Viabilitas Hepatosit

Viabilitas merupakan kelangsungan atau presentase sel dapat


bertahan hidup, hal ini sangat penting dalam studi biologi. Penilaian
viabilitas sering dan perlu dilakukan untuk kultur 3D, seperti sferoid dan
organoid yang bertujuan baik untuk pengobatan maupun mempelajari
karakteristik organ. Uji trypan blue masih merupakan metode pengukuran
yang masih banyak digunakan untuk menilai viabilitas sel. Proses akhir
penilaian adalah dengan memperkirakan populasi sel, yaitu jumlah total
sel yang masih sehat atau hidup.30

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi jangka pendek atau


panjangnya viabilitas yaitu kepadatan suatu sel, efek dan dosis obat,
morfologi sel yang dapat cukup signifikan mempengaruhi persinyalan
molekuler.33 Viabilitas sel juga sangat bergantung pada lingkungan mikro
yang diberikan dalam mengupayakan kondisi asli untuk pertumbuhan sel
serta kontak antar sel yang mempengaruhi proliferasi dan resiko sel
mengalami apoptosis.12,13

15
2.7 Kerangka teori

Hati Penyakit hati

Struktur anatomi Mekanisme penyakit hati,


hati obat penyakit hati dan
metabolisme obat di hati

Makroskopik Mikroskopik Model Hati

Parenkim Non-parenkim
(Hepatosit) (endotel, sel kupffer,
sel stelata hepatika).

VKultur 2 D Kultur 3 D

Metode
Hanging Drop

Viabilitas Hepatosit dan Pembentukan Sferoid

Gambar 2.2 Kerangka Teori

16
2.8 Kerangka Konsep

Model hati

Metode kultur 3D Metode kultur 2D

Metode Hanging
drop

Viabilitas Hepatosit dan Pembentukan Sferoid

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

17
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksperimental dengan


tahapan sebagai berikut:

3.1.1 Isolasi hepatosit

3.1.2 Monokultur hepatosit dengan metode hanging drop dan menganalisa :

a. Viabilitas sel
b. Pembentukan sferoid hepatosit

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

a. Tahap I Maret 2021 : Isolasi hepatosit di Laboratorium Penelitian


Fakultas Kedokteran HKBP Nommensen

b. Tahap II Maret 2021 :Monokultur 3D sferoid hepatosit di


Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran HKBP Nommensen

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret 2021.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian yang diperlukan selama penelitian di


Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran HKBP Nommensen dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

18
No. Alat dan Bahan Justifikasi Pemakaian Kuantitas

1. AlfaMEM Medium Kultur 1 botol

2. Cap Aseptik 2 box

3. Cell strainer Isolasi Hepatosit 1 box

4. Filter 0.2 Micr Filtrasi bahan 1 boks

5. Flask 25 cm2 (Nune) Scale up-kultur, pasase 1 pack

6. Fungizone Antifungal kultur 100 mL

7. Glutamax Suplemen kultur 100 mL

8. Hand seal Aseptik 1 boks

9. Masker Aseptik 1 boks

10. PBS Isolasi, washing 1 pack

11. PenStrep AB kultur 100 mL

12. PRP Kultur 100 mL

13. Spuit 10 ml Filtrasi bahan 1 boks

14. Spuit 20 cc Filtrasi bahan 1 boks

15. Spuit 5 cc Filtrasi bahan 100

16. Tip 10 micro Hitung sel 1 boks

17. Tip biru Buat medium, kultur, panen 1 boks

18. Tip kuning Buat medium, kultur, panen 1 boks

19. Trypan blue exclusion test. Isolasi 100 mL

19
20. Tube 15 ml Wadah steril, tabung sentrifugasi 1 pack

21. Tube 50 ml Wadah steril, tabung sentrifugasi 1 pack

22. Mikroskop binokuler Melihat viabilitas hepatosit dan 1 buah


pembentukan sferoid hepatosit

Tabel 3.1 Alat dan Bahan Penelitian

3.3.2 Hepatosit

Hepatosit diisolasi dari organ hati Sprague-Dawleu rats jantan dewasa

(250-350 gr)

3.4 Sampel dan Besar Sampel

3.4.1 Sampel Penelitian

Hepatosit diisolasi dari organ hati Sprague-Dawleu rats jantan dewasa

(250-350 gr), n=2.

3.5 Prosedur Penelitan

3.5.1 Isolasi Hepatosit dari Hati Sprague-Dawley rats

Jaringan hati dicuci dengan PBS dingin untuk membersihkan sisa


darah yang mengkontaminasi. Hati dipotong dengan pisau bedah menjadi
lembaran tipis dengan ketebalan sekitar 1-2 mm, dan dicuci dengan PBS
sebanyak 3 kali. Jaringan hati dipindahkan ke botol 100 mL dan digesti
dilakukan dengan menggunakan Tryple Select (300 U/mL dalam 20 mL
PBS) pada 370C dengan vortex intermiten dalam 30 menit, dan
supernatant dibuang. Sisa jaringan hati dipindahkan ke tube 50 mL yang
mengandung 20 mL. Tryple Select dan digesti dilanjutkan hingga 4 kali.
Digesti tripsin disaring dengan 100 micron nylon mesh filter dan
dicampurkan ke dalam 20 mL AlfaMEM + PRP untuk menghentikan
digesti. Campuran disentrifugasi 50 g selama 4 menit, selanjutnya

20
sepernatan dibuang dan pellet diresuspensi dalam AlfaMEM + PRP.
Konsentrasi PRP yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan PRP
34
10%. Jumlah dan viabilitas sel dihitung dengan trypan blue exclusion
test. Semua proses dilakukan dalam laminar flow dengan kondisi steril.35

3.5.2 Monokultur 3D Hepatosit dan Analisa Viabilitas Hepatosit

Hepatosit dikultur dengan menggunakan metode Hanging drop.


Hepatosit juga dikultur dengan metode 2D sebagai kontrol. Hanging drop
(tetes gantung) merupakan metode yang membentuk sel dengan
menggunakan gaya gravitasi bumi. Metode kultur hanging drop dilakukan
dengan meneteskan suspensi sel pada cawan petri dan kemudan cawan
petri dibalikkan sehingga tetesan suspense sel menggantung dan
dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC. Volume dan kepadatan
sferoid yang terbentuk dibantu oleh tegangan permukaan platform dimana
sel menempel.

Sedangkan metode 2D hanya bergantung pada penampakan


permukaan yang rata dengan pertumbuhan sel yang homogen. Platform
pada metode ini tidak perlu dibalikkan, sehingga volume sel tidak
terbentuk. Metode ini dilakukan dengan menanamkan suspensi sel pada
plat kultur 6 sumur. Salah satu bentuk metode 2D yaitu kultur sandwich
yang dilakukan dengan cara mengkultur sel secara berlapis-lapis pada
matriks ekstraseluler (ECM). Monokultur diinkubasi dalam inkubator CO2
pada suhu 370C, 5% CO2 dan kelembapan 95%. Analisa viabilitas
hepatosit dilakukan pada hari ke-2.

Analisa viabilitas hepatosit diperoleh dengan menggunakan


trypan blue exclusion test. Analisa viabilitas sel dilakukan pada hari ke-1
dan ke-2. Sel dihitung dalam kamar hitung Improved Neubauer. Suspensi
sel akan dicampur dengan trypan blue. Kerja dari uji trypan blue exclusion
test yaitu, sifat dari zat warna trypan blue akan mengikat sel yang rusak,
yang berarti sel yang mati. Sedangkan sel yang hidup akan tetap meniru

21
warna asli sel. Sel harus dihitung dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah
pencampuran dengan trypan blue, jika terlalu lama akan dapat
menurunkan viabilitas sel. Kedua sel akan dihitung pada kamar hitung
neubauer baik yang hidup dan yang mati. Perhitungan persentase sel yang
hidup dapat menggunakan rumus berikut :

Bentuk kamar hitung :

1 5 2

6 7 8

4 9 3

Gambar 3.1 Penampakan kamar hitung Improved Neubauer

Rumus perhitungan viabilitas sel :

Jumlah sel yang hidup =

Jumlah sel yang hidup di 9 kotak


x 2 x 10 4
9
(Dilusi)

Jumlah sel yang mati =

Jumlah sel yang mati di 9 kotak x 2 x 10 4


9

22
Viabilitas sel =

Jumlah sel yang hidup


x 100 %
Jumlah sel yag hidup + Jumlah sel yang mati

3.5.3 Pembentukan Sferoid

Pembentukan sferoid dilihat dibawah mikroskop binokuler dari


hasil kultur 3D menggunakan metode hanging drop dan kultur 2D.

3.6 Alur Penelitian

Isolasi Hepatosit

Kultur 3D sferoid hepatosit


Kultur 2D hepatosit dengan metode Hanging
drop

Uji Viabilitas dan Pembentukan Sferoid (hari ke-2)


Gambar 3.2 Alur Penelitian

3.7 Identifikasi Variabel

Variabel penelitian :

1. Viabilitas hepatosit
2. Pembentukan sferoid

23
3.8 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara ukur Skala ukur

Viabilitas Viabilitas Kamar Analisa viabilitas Numerik


hepatosit merupakan hitung hepatosit
(Hasil ukur)
kelangsungan atau Improved diperoleh dengan
presentase sel dapat Neubauer analisis viabilitas Jumlah sel
bertahan hidup, hal hepatosit hidup / (Sel
ini sangat penting menggunakan hidup + sel
dalam studi biologi trypan blue mati) x 100%
Hepatosit exclusion test dan
merupakan unit sel yang hidup
fungsional dasar akan dhitung
yang sangat dalam kamar
berperan dalam hitung Improved
fungsi metabolik Neubauer.
hati.
Pembentukan Kultur 3D yang Mikroskop Pembentukan Kategorik
Sferoid menyediakan binokuler sferoid dilihat
(Hasil ukur)
lingkungan yang ibawah
Agregat sel
lebih menyerupai in mikroskop
berbentuk
vivo, dengan binokuler dengan
sferis
mempertahankan pembesaran 10x
sifat fenotipik sel dan 40x
dan adanya
interaksi antar sel.

24
Hanging Hanging drop (tetes Tetesan Suspensi sel yang Kategorik
drop gantung) suspensi berada di
merupakan metode sel permukaan
yang membentuk platform
sel dengan diteteskan dan
menggunakan gaya dibalikkan
gravitasi bumi yang dengan
akan membuat sel mengandalkan
dapat beragregasi gaya gravitasi.
dengan bebas
seperti pada
jaringan in vivo.

Tabel 3.2 Definisi Operasional

3.9 Biaya Penelitian

No. Uraian Biaya

1. Reagensia Rp. 1.500.000

2. Analisis Rp. 500.000

3. Total Biaya Rp. 2.000.000

Tabel 3.3 Rincian Biaya Penelitian

25
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Viabilitas monokultur 3D hepatosit yang terbentuk dengan


menggunakan metode hanging drop.

Hepatosit diisolasi dari hati Sprague-Dawleu rats jantan dewasa


dengan berat 250-350 gr, usia 6 minggu sebanyak 2 ekor. Hati dipotong
menjadi ukuran kecil-kecil dengan menggunakan pisau bedah dan
dilanjutkan dengan digesti menggunakan Triple select (Gibco) sebanyak
20 ml. Digesti dihentikan dengan medium α-MEM yang disuplementasi
dengan PRP 10 % Viabilitas hepatosit dianalisa dengan menggunakan
Trypan blue exclusion test dan jumlah hepatosit dihitung dengan kamar
hitung Improved Neubauer.

200
180 Hanging
160 Drop
140
Viabilitas (%)

120
100
80
60
40
20
0
Hari 0 Hari ke-2
Periode Kultur

Grafik 4.1 Viabilitas Hepatosit pada metode Hanging drop dan metode 2D
(Viabilitas hepatosit pada metode hanging drop lebih besar dibandingkan metode
kultur 2D, p > 0.05)

26
Viabilitas hepatosit pada awal penyemaian 86,41%. Viabilitas
hepatosit hari ke-2 menurun 5,23% pada metode hanging drop dan
17,19% pada metode kultur 2D. Viabilitas hepatosit pada metode hanging
drop lebih besar daripada viabilitas metode kultur 2D. (p > 0.05)

Pada metode kultur 3D, viabilitas hepatosit yang lebih besar


disebabkan adanya kontak antar sel. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Ullah dkk, interaksi antar sel yang kuat dan diferensiasi sel yang
bertahan lebih lama sangat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan
hidup sel. Pada kultur 2D, adanya peningkatan ekspresi sinyal penanda
apoptosis seperti Bax (Bcl-2 associated x protein) yang lebih tinggi
dibandingkan kultur 3D, hal ini menyebabkan derajat apoptosis sel yang
lebih tinggi pada kultur 2D dibanding kultur 3D. 36 Lingkungan mikro yang
mendukung juga sangat berpengaruh bagi proliferasi dan interaksi antara
sel dan sekitarnya dalam mencapai viabilitas sel yang tinggi. 37

Pada metode penelitian ini, pembuatan medium kultur hepatosit


menggunakan PRP. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pavlovic
dkk, didapati bahwa PRP mengandung faktor pertumbuhan yang tinggi
seperti VEGF, EGF, FGF, PDGF. PRP juga mengandung protein dan zat
lain yang diperlukan untuk adhesi dan pertumbuhan sel. 38 Kandungan PRP
juga membantu proses penyembuhan luka dengan mempercepat regenerasi
kulit yang rusak, hal ini disebabkan karena PRP memiliki sifat pro-
angiogenik yang tinggi dan anti apopotosis. 39

Disisi lainnya, metode hanging drop yang tidak membutuhkan alat


atau cara khusus selain memanfaatkan gravitasi bumi, memungkinkan sel
dapat beragregasi dengan bebas. Bentuk sferoid yang terbentuk akibat
agregasi bebas hepatosit ini mampu mempertahankan intekasi sel-ke-sel
selama pertumbuhan hepatosit.14 Dengan demikian, viabilitas hepatosit
pada kultur 3D hanging drop dalam penelitian ini lebih besar
dibandingkan kultur 2D.

27
Jumlah sel yang dapat dikultur pada metode hanging drop terbatas.
Volume suspersi sel yang hanya mencapai 50 µl menjadi keterbatasan
dalam penelitian ini karena pada metode hanging drop hepatosit tidak
dapat dikultur dalam jumlah yang banyak dan tidak dapat dikultur dalam
waktu yang lama.40,41 Metode kultur 3D lainnya dapat menjadi saran pada
penelitian selanjutnya karena karena dapat mengkultur hepatosit dalam
waktu yang lebih lama dan jumlah sel yang lebih banyak seperti pada
metode Ultra-low Attachement (ULA), biroreaktor dan sebagainya.32

4.2 Pembentukan sferoid hepatosit yang terbentuk dengan menggunakan


metode Hanging drop.

Tampak pembentukan sferoid pada metode Hanging drop dan tidak


tampak pembentukan sferoid pada metode kultur 2D.

Morfologi

Metode Hanging Drop Metode 2D

Hari 0

28
Hari ke-2

Gambar 4.1 Pembentukan Sferoid pada Metode Hanging drop dan


Metode 2D

Morfologi sferoid diamati pada hari ke-2. Pada kultur 3D


menggunakan metode hanging drop, tampak bentuk sferoid, sementara
pada metode kultur 2D tidak terbentuk sehingga tidak terlihat. Metode
hanging drop menyebabkan tidak terjadi perlekatan sel pada wadah kultur
sehingga hepatosit saling beragregasi, sementara pada kultur 2D hepatosit
melekat pada wadah kultur.14,42

Pembentukan sferoid dapat dilakukan dalam berbagai metode


yaitu, Hidrogel, Biroreaktor, Bioprinting 3D, Ultra-low attachement
(ULA), dan Hanging drop. Dibandingkan metode lainnya, hanging drop
mampu membentuk sferoid yang konsisten dengan tidak memerlukan
bantuan protokol khusus dan alat bahan tambahan selain memanfaatkan
gaya gravitasi bumi.40 Sferoid merupakan kelompok koloni sel yang
berbentuk bulat dan memanjang. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Fang dan Eglen, sferoid membentuk gambaran geometri yang spesifik
dengan interaksi sel-ke-sel yang kuat.43

Konsep kultur 3D pada penelitian yang dilakukan Antoni dkk,


menunjukkan peningkatan jumlah sel, viabilitas, karena komunikasi sel-
ke-sel yang lebih tinggi, sedangkan pada kultur 2D interaksi antar sel

29
rendah dan kurang mampu membangun struktur jaringan sel termasuk
sferoid yang tidak dapat terbentuk.35,44

Dalam metode hanging drop, sferoid tidak selalu dapat terbentuk.


Beberapa penelitian menjelaskan sferoid dapat terbentuk lebih baik jika
dikultur bersama dengan beberapa jenis sel. Sferoid yang dibentuk dengan
ko-kultur seperti sel endotel dan osteoblast meningkatkan adhesi dan
interaksi yang lebih tinggi.42,45 Pada penelitian yang dilakukan Lazari dkk
sferoid mengalami peningkatan ukuran dari waktu ke waktu ketika
dikultur dengan jenis sel yang beragam. 46 Sedangkan pada peneltian Ryu
dkk yang melakkan ko-kultur dengan sel punca mesenkimal, terdapat
peningkatan viabilitas dan fungsi fenotipik sel serta interaksi antar sel
yang juga mampu dipertahankan selama pembentukan sferoid. 29

30
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Viabilitas hepatosit metode hanging drop lebih besar daripada metode
kultur 2D

5.1.2 Sferoid terbentuk pada metode hanging drop dan tidak terbentuk pada
metode kultur 2D

5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa saran, yakni :

1. Viabilitas hepatosit akan semakin baik pada lingkungan mikro yang


mirip dengan hati in vivo, sehingga diperlukan metode kultur hepatosit
bersama sel-sel lainnya yang terdapat pada hati in vivo.

2. Pada kultur dengan jumlah sel yang besar, diperlukan metode kultur
yang dapat menampung jumlah sel yang lebih besar dan waktu kultur
yang lebih lama.

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Spirli C. Journal of liver : disease & transplantation (JLTD). Scitechnol.
2018;5(3).
2. Gilgenkrantz H, Collin de l’Hortet A. Understanding liver regeneration:
from mechanisms to regenerative medicine. Am J Pathol. 2018;188(6).
3. Yanguas S, Cogliati B, Willebrords J. Experimental models of liver
fibrosis. Springer. 2016;90(5):1025–48.

4. Organization WH. Hepatitis B [Internet]. 2019. Tersedia pada:


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-b
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi penyakit
hepatitis B di Indonesia tahun 2017 [Internet]. Vol. 53. 2017. Tersedia
pada:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
-situasi-penyakit-hepatitis-B-2018.pdf
6. Center for Disease Control. Global health - Indonesia [Internet]. 2018
[dikutip 5 Februari 2020]. Tersedia pada:
https://www.cdc.gov/globalhealth/countries/indonesia/default.htm

7. Asrani SK, Devarbhavi H, Eaton J, Kamath PS. Burden of liver diseases in


the world. J Hepatol. 2019;70(1):151–71.
8. Fu GB, Huang WJ, Zeng M, Zhou X, Wu HP, Liu CC, et al. Expansion and
differentiation of human hepatocyte-derived liver progenitor-like cells and
their use for the study of hepatotropic pathogens. Cell Res. 2019;29(1):8–
22.
9. Watkins PB, Siler SQ, Howell BA, Brouwer KIMLR. Sandwich-cultured
hepatocytes as a tool to study drug disposition and drug-induced liver
injury. J Pharm Sci. 2017;105(2):443–59.
10. Duval K, Grover H, Han L-H, Mou Y, Pegoraro AF, Fredberg J, et al.
Modeling physiological events in 2D vs 3D cell Culture. Am Phyological
Soc. 2017;32.
11. Bell CC, Dankers ACA, Lauschke VM, Sison-Young R, Roz Jenkins CR,
Goldring CE, et al. Comparison of hepatic 2D sandwich cultures and 3D
spheroids for long-term toxicity applications: a aulticenter study. Toxicol
Sci. 2018;162(2).
12. Kapałczyńska M, Kolenda T, Przybyła W, Zajączkowska M, Teresiak A,
Filas V, et al. 2D and 3D cell cultures – a comparison of different types of
cancer cell cultures. Arch Med Sci. 2016;14(4):911.

32
13. Jia Z, Cheng Y, Jiang X, Zhang C, Wang G, Xu J, et al. 3D culture system
for liver tissue mimicking hepatic plates for improvement of human
hepatocyte (C3A) function and polarity. Hindawi BioMed Res Int. 2020;22.
14. Shri M, Agrawal H, Rani P, Singh D, Onteru SK. Hanging drop, a best
three-dimensional (3D) culture method for primary buffalo and sheep
hepatocytes. Sci Rep. 2017;7(1):6–9.
15. Takahashi Y, Hori Y, Yamamoto T, Urashima T, Ohara Y, Tanaka H. 3D
spheroid cultures improve the metabolic gene expression profiles of
hepaRG cells. Biosci. 2015;35(3):1–7.
16. Hurrell T, Ellero AE, Masso ZF, Cromarty AD. Characterization and
reproducibility of hepG2 hanging drop spheroids toxicology in vitro. Sci
Elsevier. 2018;50:86–94.
17. Gordillo M, Evans T, Gouon-evans V. Orchestrating liver development.
Development. 2015;142:2094–9.
18. Eşrefoğlu M, Taşlidere E, Çetİn A. Development of liver and pancreas.
Bezmialem Sci. 2017;4:30–2.
19. Kanel GC. Liver : anatomy, microscopic structure, and cell types. In:
Podolsky DK, Camilleri M, Fitz JG, Kalloo AN, Shanahan F, Wang TC,
editor. Yamada’s Atlas of Gastroenterology. 5 ed. Los Angeles, CA.: John
Wiley & Sons, Ltd.; 2016. hal. 50–2.
20. Grunsven LA Van. 3D in vitro models of liver fibrosis. Adv Grug Deliv
Rev. 2017;121:133–46.
21. Guido M, Sarcognato S, Sacchi D, Ludwig K. The anatomy and histology
of the liver and billiary tract. In: Pediatric Hepatology and Liver
Transplantation. Italy: Springer Nature Switzerland AG; 2019. hal. 41–51.
22. Anatomy G. Embryology, histology, and anatomy. 1–5 hal.
23. Longdom Publishing. Hepatitis [Internet]. Journal of Liver. 2020 [dikutip
20 Februari 2020]. Tersedia pada:
https://www.longdom.org/scholarly/hepatits-journals-articles-ppts-list-
2384.html
24. Longdom Publishing. Liver cirrhosis [Internet]. Journal of Liver. 2020
[dikutip 20 Februari 2020]. Tersedia pada:
https://www.longdom.org/scholarly/liver-cirrhosis-journals-articles-ppts-
list-2376.html
25. Longdom Publishing. Liver cancer [Internet]. Journal of Liver. 2020
[dikutip 20 Februari 2020]. Tersedia pada:
https://www.longdom.org/scholarly/liver-cancer-journals-articles-ppts-list-

33
2368.html
26. Longdom Publishing. Hepatocellular carcinoma. J Liver [Internet]. 2020;
Tersedia pada: https://www.longdom.org/scholarly/hepatocellular-
carcinoma-journals-articles-ppts-list-2380.html
27. MedlinePlus. Liver disease [Internet]. 2020 [dikutip 17 Juli 2020]. Tersedia
pada: https://medlineplus.gov/liverdiseases.html
28. Li S, Tan HY, Wang N, Cheung F, Hong M, Feng Y. Review article the
potential and action mechanism of polyphenols in the treatment of liver
diseases. Oxid Med Cell Longev. 2018;2018:1–2.

29. Ryu N, Lee S, Park H. Spheroid culture system methods and applications
for mesenchymal stem cells. cells. 2019;8:1–3.
30. Piccinini F, Tesei A, Arienti C, Bevilacqua A. Cell counting and viability
assessment of 2D and 3D cell cultures : expected reliability of the trypan
blue assay. Biol Proced Online. 2017;19:1–12.
31. Reif R, Karlsson J, Günther G, Beattie L, Wrangborg D, Hammad S, et al.
Bile canalicular dynamics in hepatocyte sandwich cultures. Springer Link.
2015;89:1861–1870.

32. Lauschke VM, Shafagh RZ, Hendriks DFG, Ingelman-Sundberg M. 3D


primary hepatocyte culture systems for analyses of liver diseases, drug
metabolism, and toxicity: emerging culture paradigms and applications.
Biotechnol J. 2019;14(7):1–10.
33. Garg S, Huifu H, Kaul SC, Wadhwa R. Integration of conventional cell
viability assays for reliable and reproducible read ‑ outs : experimental
evidence. BMC Res Notes. 2018;11:1–7.
34. Adiwinata J, Antarianto RD, Sibuea CV, Dewi AAP, Nurhayati RW,
Luviah E, et al. Komposisi medium yang mengandung lisat konsentrat
trombosit golongan AB dan heparin untuk mempertahankan hidup haringan
hati. Univ Indones Departmen Histol Pre Clin. 2020;
35. Sibuea CV, Pawitan JA, Antarianto R, Jasirwan COM, Sianipar IR, Luviah
E, et al. 3D co-culture of hepatocyte, a hepatic stellate cell line, and stem
cells for developing a bioartificial liver prototype. Int J Technol.
2020;11(5):951–62.
36. Ullah I, Kim Y, Lim M, Oh KB, Hwang S, Shin Y, et al. In vitro 3-D
culture demonstrates incompetence in improving maintenance ability of
primary hepatocytes. Animal Cells Syst (Seoul). 2017;21(5):332–40.
37. Sibuea CV. Liver decellularization as liver organoid reconstruction
scaffold. Bul Faramtera. 2021;6(1):6–10.

34
38. Pavlovic V, Ciric M, Jovanovic V, Stojanovic P. Platelet Rich Plasma: A
short overview of certain bioactive components. Open Med. 2016;11:242–
7.
39. Hersant B, Sid-Ahmed M, Braud L, Jourdan M, Baba-Amer Y, Meningaud
JP, et al. Platelet-rich plasma Improves the wound healing potential of
mesenchymal stem cells through paracrine and metabolism alterations.
Stem Cells Int. 2019;2019:1–12.
40. Chaicharoenaudomrung N, Kunhorm P, Noisa P. Three-dimensional cell
culture systems as an in vitro platform for cancer and stem cell modeling.
World J Stem Cells. 2019;11(12):1069–70.
41. Huang SW, Tzeng SC, Chen JK, Sun JS, Lin FH. A dynamic hanging-drop
system for mesenchymal stem cell culture. Int J Mol Sci. 2020;21(12):1–
22.
42. Fontana F, Raimondi M, Limonta P. Three-dimensional cell culture as an in
vitro tool for prostate cancer modeling and drug discovery. Int J Mol Sci.
2020;21(18):1–4.
43. Fang Y, Eglen RM. Three-dimensional cell cultures in drug discovery and
development. SLAS Discov. 2017;22(5):456–72.

44. Antoni D, Burckel H, Josset E, Noel G. Three-dimensional cell culture: A


breakthrough in vivo. Int J Mol Sci. 2015;16:5517–27.
45. Białkowska K, Komorowski P, Bryszewska M, Miłowska K. Spheroids as
a type of three-dimensional cell cultures—examples of methods of
preparation and the most important application. Int J Mol Sci.
2020;21(17):1–17.
46. Lazzari G, Nicolas V, Matsusaki M, Akashi M, Couvreur P, Mura S.
Multicellular spheroid based on a triple co-culture: A novel 3D model to
mimic pancreatic tumor complexity. Acta Biomater. 2018;78:296–307.

35
LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi
Nama : Enjelin Sasa Kristanti Hutabarat
Tempat/ Tanggal Lahir : Bengkulu, 8 April 2000
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Ds. Pal Tiga Puluh Kecamatan Lais
Telp/ HP : 082178643060

II. Riwayat Pendidikan

1. TK Pembina (2005-2007)
2. SD Negeri 02 Lais Bengkulu Utara (2007-2011)
3. SMP Sint Carolus Bengkulu (2011-2014)
4. SMA Negeri 02 Kota Bengkulu (2014-2017)
5. Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan (2017-
sekarang)

36
III. Riwayat Organisasi

1. Anggota Departemen Pendikan, Profesi, Ilmiah (PENDPROFIL) BEM


Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Periode 2018-
2019.
2. Anggota Tim Ibadah Campus Ministry Fakultas Kedokteran (CMFK)
Universitas HKBP Nommensen Periode 2018-2019.
3. Bendahara Campus Ministry Fakultas Kedokteran (CMFK)
Universitas HKBP Nommensen Periode 2018-2019.
4. Sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen Periode 2019-2020.

IV. Riwayat Kegiatan

1. Peserta Masa Orientasi, Pengenalan Kampus, dan Kuliah Umum di


Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen pada tahun 2017
2. Peserta Latihan kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM)
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen tahun 2018.
3. Peserta “Regional Community Empowerment 2017” di Desa Lubuk
Saban Pantai Cermin pada November tahun 2017
4. Panitia Bakti Sosial Fakultas Kedokteran Universitas HKBP
Nommensen di Desa Bandar Pulo, Kota Perdagangan, Simalungun
pada November 2018
5. Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen periode 2019/2020
6. Peserta seminar “The 1st Internasional Conference of Nasopharyngeal
Carcinoma” pada Desember 2018
7. Peserta Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen tahun 2018.
8. Peserta seminar “Know and Manage Yourself” Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen tahun 2018.

37
9. Panitia “Nommensen Medical Olympiad” Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen tahun 2019
10. Peserta “Nommensen Medical Olympiad” Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen tahun 2019

38
LAMPIRAN 2
Ethical Clearance

39
LAMPIRAN 3
Surat Pengantar Penelitian

40
LAMPIRAN 4
Surat Izin Penelitian Pemakaian Laboratorium dan Fasilitas Laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen

41
LAMPIRAN 5
Surat Izin Pengambilan Sampel dari Laboratorium Farmakologi Universitas
Sumatera Utara

42
LAMPIRAN 6
Surat Permohonan Pembuatan Surat Pengantar Penelitian

43
LAMPIRAN 7
Surat Permohonan Pemakaian Laboratorium dan alat-alat Laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen

44
LAMPIRAN 8
Nota Pengambilan PRP Trombosit dari PMI

45
LAMPIRAN 9
Dokumentasi Penelitian

46
Dokumentasi Penelitian

47
Dokumentasi Penelitian

48
Dokumentasi Penelitian

49
Dokumentasi Penelitian

50
LAMPIRAN 10
Tabel Perhitungan Viabilitas Hepatosit Metode Hanging Drop dan Metode
2D

Hidup Mati Rata-rata


Hanging
Drop A B A B Hidup Mati Viabilitas
Hari ke-0 3300 4400 555 555 3850 555 86.41
Hari ke-2 3300 3888 555 1111 3594 833 81.18
Hidup Mati Rata-rata
2 Dimensi A B A B Hidup Mati Viabilitas
Hari 0 3300 4400 555 555 3850 555 86.41
Hari ke-2 2222 2777 1111 1111 2499.5 1111 69.22

Seeding 86.41 86.41


Hanging Drop 86.41 8.473293
Hari ke-0
2 Dimensi 86.41 0
Hanging Drop 81.18 3.9268
Hari ke-2
2 Dimensi 69.22 0

Hanging Drop Average SEM


Hari ke-0 86.41 86.41 0.5
Hari ke-2 81.18 8.473293

2 Dimensi Average SEM


Hari 0 86.41 0
Hari ke-2 69.22 0

51

Anda mungkin juga menyukai