Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KONSEP NUTRISI PADA PASIEN KRITIS

diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Gadar Kritis 2
dosen pengampu Susy Puspasari., M.kep

Oleh
Kelompok 5 :

Cica Rosita Sari 219055


Friska Aprilianti 219063
Novianti Latifah 219074
Risma Anggraeni 219081
Sandi Sopian 219082
Wineu Aini Wulandari 219090
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKEP PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Makalah yang berjudul “Nutrisi pada pasien kritis” disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Gadar kritis 2.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua piihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang ini dapat memberirikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bandung, 7 maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1

1.3 Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II...............................................................................................................................3

TINJAUAN TEORI.........................................................................................................3

2.1 Definisi Gastrointestinal (GI)................................................................................3

2.2 Pendarahan Akut...................................................................................................3

2.2.1 Definisi.............................................................................................................3

2.2.2 Etiologi.............................................................................................................3

2.2.3 Faktor Resiko Sindrom Erosif Terkait Stres................................................4

2.2.4 Tanda Dan Gejala...........................................................................................4

2.2.5 Patofisiologi......................................................................................................4

2.2.6 Komplikasi.......................................................................................................5

2.3 Sirosis hepatis........................................................................................................6

2.3.1 Definisi.............................................................................................................6

2.3.2 Etiologi Menurut FKUI (2001).......................................................................6

2.3.3 Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer & Bare (2001)...................................6

2.4 Trauma abdomen..................................................................................................8

2.4.1 Definisi.............................................................................................................8

2.4.2 Etiologi.............................................................................................................8

ii
2.4.3 Manifestasi Klinis............................................................................................8

2.4.4 Patofisiologi......................................................................................................8

2.4.5 Pemeriksaan penunjang..................................................................................9

2.5 Nutrisi Pada Pasien Kritis....................................................................................9

2.5.1 Kebutuhan Energi Pada Penderita Sakit Kritis..........................................10

2.5.2 Makro Dan Mikro Nutrien Dalam Nutrisi..................................................11

2.5.3 Rute Pemberian Nutrisi................................................................................13

BAB III...........................................................................................................................15

PENUTUP.......................................................................................................................15

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................15

3.2 Saran.....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gastrointestinal (GI) dysmotility adalah gangguan sementara pergerakan sistem
pencernaan . Gastrointestinal (GI) dysmotility merupakan keajadian yang sering ditemui
di intensive care unit (ICU) , dengan angka kejadian cukup besar mencapai 60% pada
pasien kritis. Hal ini juga merupakan Kesehatan peningkatkan mortalitas dan lama tingga
di ICU. GI dapat merupakan kelainan primer seperti pada pasien dengan diabetes mel-
itus dan sepsis atau merupakan efek sekunder dari terapi yang diberikan seperti efek dari
resusitasi cairan jumlah besar, penggunaan pasoprosesor atau obat-obatan yang menur-
unkan motilitas usus seperti opoid. Manifestasi klinis GI dapat sangat luas dan dibagi
menjadi upper GI dysmotility dan lower GI dysmolity.
Nutrisi adalah ikatan kimia yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk melakukan
fungsinya sebagai energi, membangun dan memelihara sebuah jaringan serta menegatur
proses-proses kehidupan. Nutrisi juga merupakan kebutuhan yang sangat utama bagi
pasie kritis dan nutrisi enteral lebih baik daripada parenteral karena lebih mudah,murah,
aman dan fisiologis. Nutrisi adalah proses dimana tubuh menggunakan makanan yang
dikonsumsi untuk energi dan mempertahankan KEsehatan,pertumbuhan serta berlang-
sungnya fungsi normal setiap organ dan jaringan tubuh.
Perdarahan akut saluran cerna bagian atas (SCBA) sering dijumpai di ruang gawat
darurat dan ruang perawatan intensif dengan mortalitas yang cukup tinggi. Perdarahan
akut SCBA sering menyertai penyakit lain seperti sepsis , syok/ renjatan dan gangguan
hemostasis. Menurut American Of College of gasroenterologi penatalaksanaan perdara-
han akut SCBA direkomendasikan endoskopi dalam ≤ 24 jam untuk mencegah perdara-
han aktif dan perdarahan ulang.
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pem-
bentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradan-
gan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare,
2001).

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu Gastrointestinal Dismolity ?
b. Jelaskan apa itu Perdarahan Akut !
c. Jelaskan apa itu Sirosis Hepatis !
d. Jelaskan apa itu Trauma Abdomen !
e. Bagaimana nutrisi pada pasien kritis ?

1.3 Tujuan
a. Menjelaskan Gastrointestinal Dismolity
b. Menjelaskan konsep dari Perdarahan Akut
c. Menjelaskan konsep dari Sirosis Hepatis
d. Menelaskan konsep dari Trauma Abdomen
e. Menjelaskan nutrisi pada pasien kritis

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Gastrointestinal (GI)


Gastrointestinal (GI) dysmotility adalah gangguan sementara pergerakan sistem
pencernaan . Gi adalah organ yang mempeunyai fungsi penting dalam hemeostatis tubuh.
Fungsi ini meliputi acute gastrointestinal injury ( AGI ) dapat muncul sebagai akibat
injury pada organ sekitar selama periode sakit.

Nutrisi (zat gizi) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu berupa energi,membangun dan memelihara jaringan serta mengatur
proses kehidupan.

Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil,sehingga mengalami
respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang dialami akan mengubah
metabolisme tubuh,hormonal,imunologis dan homeostatis nutrisi.

Nutrisi pada pasien kritis merupakan proses organisme yang menggunakan


makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses
degesti,absorbsi,transportasi,penyimpanan,metabolisme dan pengeluaran zat-zat uang
tidak digunakan untuk memeptahankan kehidupan,pertumbuhan, dan fungai normal dari
organ-organ,serta menghasilkan energi baik melalui nutrisi oral,enteral maupun
parenteral yang diberikan pada apasien yang secara fisiologis tidak stabil baik diberikan
nutrisi melalu oral enteral maupun parentera.

2.2 Pendarahan Akut


2.2.1 Definisi
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) adalah perdarahan saluran cerna
bagian atas yang berasal dari bagian proksimal ligamentum Treitz. (Longo, 2010)

2.2.2 Etiologi
Penyebab perdarahan akut SCBA menurut Morton (2014) dan Nurarif (2013) yang
ditandai dengan hematemesis dan melena adalah :

3
 Kelainan esophagus : pecahnya varises esophagus, esophangitis dan adanya
keganasan, ulkus, lessi Mallory weiness
 Kelainan lambung dan duodenum : tukak lambung, tukak duodenum, gast-
ritis erosif, gastropati kongestif, keganasan., angoodisplasia, penyakit crohn,
divertikulum meckel
 Penyakit darah : leukemia, DIC, purpura, trombositopenia.
 Penyakit sistemik : uremia dan lainnya.
 Pemakaian obat yang ulserogenik : golongan salisilat, kortikosteroid, alko-
hol, dan lainnya.

2.2.3 Tanda Dan Gejala


Gejala klinis Perdaraha akut SCBA tergantung dari lama, kecepatan, banyak atau
sedikitnya darah yang hilang dan perdarahan berlangsung terus-menerus atau tidak.
Menurut Adi, (2007) kemungkinan pasien datang dengan gejala klinis :
 Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi dan berlang-
sung lama
 Hematemesis yaitu muntah yang mengandung darah berwarna merah te rang/
kehitaman akibat proses denaturasi dan melena yaitu perdarahan saluran cerna
atas yang keluar melalui rektum dan berwarna kehitaman atau seperti ter diser-
tai atau tanpa anemia dengan atau tanpa gangguan hemodinamik

2.2.5 Patofisiologi
Penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh ketidak-
seimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat dan
faktor defensif menurun. Yang dimaksud faktor agresif antara lain asam lambung,
pepsin, refluk asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
obat kortikisteroid, infeksi helikobacter pilory dan faktor radikal bebas khususnya
pada pasien usia lanjut. Yang di maksud faktor defensif adalah mukosa yang baik,
sel epitel permukaan mukosa yang utuh, prostaglandin, musi atau mukus yang
cukup tebal, sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermiabiloitas mukosa
terhadap ion H+ dan regulasi PH intrasel. Perdarahan dapat terjadi akibat varises
dan non varises.
Perdarahan Varises sering terjadi pada varises esofagus yang disebabkan
penyakit serosis hepatis. Serosis hepatis/ hati banyak disebabkan oleh virus hepat-

4
itis B dan hepatitis C dan penggunaan alcohol. Varises esofagus adalah vena kolat-
eral yang berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi seg-
mental portal . Faktor penting yang terjadinya perdarahan adalah tekanan portal,
ukuran varises, dinding varises dan tingkat keparahan penyakit hati.
Gagal hati pada serosis hepatis terjadi kematian sel hepar mengakibatkan
tekanan vena portal sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam sub
mukosa esofagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengali-
hkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan
dalam vena ini, maka vena ini menjadi mengembang dan membesar ( dilatasi) oleh
darah dan timbul varises. Verises bisa pecah dan mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal.
Perdarahan non varises banyak disebabkan oleh gastritis erosif dan tukak
peptik. Kedua kasus ini berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi nosn
steroid (OINS) , infeksi helicobacter pylori dan stres. Penggunaan obat mengangu
proses peresapan mukosa , proses penghancuran mukosa dan dapat menyebakan
cidera. Obat- obat tersebut dapat menurunkan aliran darah mukosa, menurunkan
sekresi mukus dan bicarbionat , gangguan aggegrasi platelet menyebabkan gang-
guan pertahanan sehingga mukosa mengalami injuri dan megalami perdarahan.
Obat NSAID dapat menyebabkan angiogenesis menurun menganggu proses
penyembuhan dan meningkatkan leukosit adherenc sehingga leukosit teraktivasi
menyebabkan injuri mukosa dan terjadi perdarahan . Secara umum obat NSAID
merusak epitel mukosa lambung menyebabkan difusi asam sehingga terjadi gang-
guan angregasi platelet menyebabkan injuri mukosa sehingga terjadi perdarahan.
Disseminated Intavascular Coagulation (DIC) merupakan syndroma kliniko
patologis yang ditandai dengan adanya aktifasi koagulasi darah. Infeksi/ septikemia
sering menyebabkan DIC akibat dari bakteri. Timbulnya DIC dari sepsis disebab-
kan akaren hipotensi, koagulopati, disfungsi multi organ yang diakibatkan karena
sepsis berat. Yang berujung pada gangguan mediator- mediator inflamasi pada
host.
Gangguan hematologi yang terjadi pada DIC karena sepsis terjadi karena
neutrofil beradesi dengan endotel membawa radikal bebas dan mengeluarkan
lisosim menyebabkan kerusakan endotel yang menyebabkan penurunan O2 di mi-
tokondria dan pembentukan trombin yang diperantarai oleh faktor jaringan dimana
permukaan dinding endotel yang memeiliki sifat anti trombotik berubah menjadi
5
pro trombotik, gangguan mekanisme anti koagulasi (penekanna sistem anti trombin
dan protein C sehingga tidak dapat mengimbangi pembentukan trombin) , gang-
guan degradasi fibrin akibat penekanan sistem fibrinolisis, . Hal ini disebabkan
oleh tingginya kadar plasminogen aktivator inhibitor tipe- 1 (PAI-1) yang beredar
di sirkulasi namun ada fungsi fibrinolisis dapat meningkat sehingga merusak pem-
buluh darah dan dapat menyebabkan perdarahan (Katz, 2011 dan Levi,2014)

2.2.6 Komplikasi
Komplikasi Komplikasi akibat perdarahan akut SCBA menurut (Priyanto, 2009)
adalah :
 Syok hipovolemia
 Aspirasi pneumonia
 Gagal ginjal akut
 Anemia karena perdarahan
 Syndrom hepatorenal
 Koma hepatikum

2.3 Sirosis hepatis


2.3.1 Definisi
Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus
dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan re-
generasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati
(Mansjoer, FKUI, 2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya
dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2002).
Dapat disimpulkan bahwa sirosis hati adalah penyakit hati kronis yan dit-
andai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan
ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakanstadium akhir
dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.

2.3.2 Etiologi Menurut FKUI (2001)


Penyebab sirosis hepatis antara lain :
 Malnutrisi
 Alkoholisme

6
 Virus hepatitis
 Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
 Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
 Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
 Zat toksik
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
 Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
 Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
 Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis)

2.3.3 Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer & Bare (2001)


1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut
menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati
akan teraba berbenjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis
dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena
hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis
dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan de-
mikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini

7
cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan
pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, pender-
ita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang men-
colok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pem-
buluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum
bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembu-
luh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau
hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menang-
gung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh
darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu,
pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata
dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan
mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari
ruptur varises pada lambung dan esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi un-
tuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan
retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin
tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan
fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melak-
ukan aktivitas rutin sehari-hari.
8
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalo-
pati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu
dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemam-
puan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara

2.4 Trauma abdomen


2.4.1 Definisi
Trauma abdomen merupakan cedera fisik dan psikis atau kekerasan yang
menyebabkan terjadinya cedera. Trauma abdomen merupakan trauma yang terjadi
di area abdomen akibat dari benda tajam atau tumpul. (Musliha, 2010, p. 139).
Trauma abdomen diartikan sebagai jenis trauma yang melibatkan daerah antara
diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011).

2.4.2 Etiologi
Penyebab Trauma Penetrasi :
 Luka tembakan
 Luka tikaman benda tajam
 Luka akibat tusukan
Penyebab Trauma Non-Penetrasi :
 Terkena kompresi atau tekanan dari luar
 Hancur akibat tertabrak mobil’
 Terjepit sabuk pengaman akibat terlalu lama menekan perut
 Deserasi akibat kecelakaan saat olahraga.

2.4.3 Manifestasi Klinis


Kasus trauma abdomen bisa menimbulkan beberapa tanda dan gejala seperti :
 Nyeri tekan diatas abdomen
 Distensi abdomen
 Demam
 Anorexia
 Mual dan muntah
 Takikardi
 Peningkata suhu tubuh

9
 Nyeri spontan.
 Pada trauma non penetrasi biasa muncul jejas atau ruptur di bagian dalam
abdomen.
 Perdarahan intraabdominal
 Apabila trauma sampai ke usus maka fungsi usus akan terganggu
 Pada trauma penetrasi biasa ditemuka luka tusuk pada abdomen.

2.4.4 Patofisiologi
Didalam tubuh kita terdapat organ-organ yang sangat penting, apabila bagian
tubuh kita terkena benturan keras atau tumpul, maka trauma merupakan hasil dari
interaksi antara benda tersebut ke tubuh kita. Beratnya trauma yang akan muncul
itu tergantung pada seberapa kuat benda tersebut mengenai tubuh (abdomen)
tersebut. selain itu beratnya trauma juga akan ditentukan oleh elastisitas dari
jaringan tersebut unutk kembali seperti semula ketika terkena benturan, dan juga
viskositas dimana kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya ketika
terjadi benturan tumpul/keras/tajam.
Jika terjadi trauma abdomen jenis penetrasi atau non penetrasi maka tidak
menutup kemungkinan pasti terjadi perdarah intra abdomen yang serius, maka
korban akan menunjukkan tanda tanda yang serius berupa iritasi yang disertai
penurunan sel darah merah yang pada akhirnya akan muncul gambaran syok
hemoragik. Apabila organ viseral mengalami perforasi, mkaa tanda-tanda perforasi
dan iritasi akan tampak.

2.4.5 Pemeriksaan penunjang


 Pemeriksaan darah rutin, seperti HB sebagai data bila terjadi perdarahan terus
menerus, serum amilase yang mungkin bisa menunjukkan ada atau tidaknya
trauma pankreas atau perforasi usus halus
 Plain abdomen foto tegak
 Untuk memperlihatkan ada atau tidak udara bebas dalam rongga peritoneum
dan perubahan gambar usus.
 Intravenous pyelogram (VP)
 Guna mengetahui apakah ada trauma ginjal
 Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

10
 Untuk mengetahui apakah terdapat darah atau cairan usus didalam rongga
perut pasien.

2.5 Nutrisi Pada Pasien Kritis


Malnutrisi adalah masalah umum yan gdijumpai pada kebanyakan pasien yang
masuk ke rumahsakit. Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi
asupan nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan nutrisi. Sebanyak 40%
pasien dewasa menderita malnutrisi yang cukup serius yang dijumpai pada saat mereka
tiba dirumahsakit dan dua pertiga dari semua pasien mengalami perburukan status nutrisi
selama mereka dirawat di rumahsakit. Untuk pasien kritis yang dirawat di Intensive Care
Unit (ICU) seringkali menerima nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter salah
memperkirakan kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai
pemberian nutrisi. Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu pasien
elektif pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal
napas. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum
dimasukkan ke ICU.

Keparahan penyakit dan terapinya dapat mengganggu asupan makanan normal


dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya, lamanya tinggal di ICU dan kondisi
kelainan sebelumnya, seperti alkoholisme dan kanker dapat memperburuk status nutrisi.
Respon hipermetabolik komplek terhadap trauma akan mengubah metabolisme tubuh,
hormonal, imunologis dan homeostasis nutrisi. Efek cedera atau penyakit berat terhadap
metabolisme energi, protein, karbohidrat dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan
nutrisi pada pasien sakit kritis.

Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis mengharuskan


para klinisi mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat terhadap
outcome penderita kritis yang dirawat di ICU.

2.5.1 Kebutuhan Energi Pada Penderita Sakit Kritis


Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan
terapi nutrisi. Nitrogen secara kontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran
yang bersifat homeostatik pada jaringan protein tubuh. Keseimbangan nitrogen
dapat dihitung dengan menggunakan formula yang mempertimbangkan nitrogen

11
urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea nitrogen/UUN), dan
nitrogen dari protein dalam makanan :

Keseimbangan Nitrogen = ((dietary protein/6,25) - (UUN/0,8) +4)

Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen


dalam makanan bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur dengan
6,25. Faktor koreksi 4 ditambahkan untuk mengkompensasi kehilangan nitrogen
pada feses, air liur dan kulit. Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana
asupan nitrogen melebihi ekskresi nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan
nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan dapat mempertahankan lean body
mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai dengan ekskresi nitrogen
yang melebihi asupan.

Kebutuhan energi dapat juga diperkirakan dengan formula persamaan Harris-


Bennedict, atau kalorimetri indirek. Persamaan Harris-Bennedict pada pasien
hipermetabolik harus ditambahkan faktor stres. Penelitian menunjukkan bahwa
rumus perkiraan kebutuhan energi dengan menggunakan prosedur ini cenderung
berlebih dalam perhitungan energi expenditure pada pasien dengan sakit kritis
hingga 15%. Sejumlah ahli menggunakan perumusan yang sederhana “Rule of
Thumb” dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari.

Selain itu penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan


sebelum memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energi yang
dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18
jam setelah makan. REE sering juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER
(Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan
REE yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan
pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary
compromise.

Banyak metode yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah satunya


adalahh kalorimetri yang dapat dipertimbangkan sebagai gold standard dan
direkomendasi sebagai metode pengukuran REE pada pasien-pasien sakit kritis.

2.5.2 Makro Dan Mikro Nutrien Dalam Nutrisi


a. Karbohidrat

12
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam
diet sebaiknya berkisar 50% –60% dari kebutuhan kalori. Dalam diet,
karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk : pertama karbohidrat yang dapat dicerna,
diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti glukosa dan
fruktosa;disakarida seperti sukrosa, laktosa dan maltosa;polisakarida seperti
tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna
seperti serat.

Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf
pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal
sebagai glikogen. Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24 – 36 jam
melakukan puasa. Saat cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat
glukoneogenesis dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat.
Oksidasi glukosa berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang
ditunjukkan oleh RQ (Respiratory Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam
lemak rantai panjang.

Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami glikolisis anaerob


menjadi laktat kemudian digunakan untuk glukoneogenesis hati. Kelebihan
glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik menyebabkan akumulasi glukosa
dihati berupa glikogen dan lemak. Meskipun turnover glukosa meningkat pada
kondisi stres, metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam proporsi yang sama.
Oleh karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal 5
mg/kgbb/menit.

b. Lemak

Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun


parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% –50%
dari total kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki
fungsi antara lain sebagai sumber energi, membantu absorbsi vitamin yang larut
dalam lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi
organ-organ internal, membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-
jaringan tubuh. Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan
keseimbangan energi dan menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat

13
pemberian glukosa dalam jumlah besar. Penting juga bagi kita untuk
memperkirakan komposisi pemberian lemak yang berhubungan dengan proporsi
dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA), asam
lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam lemak esensial omega 6
dan omega 3 dan komponen antioksidan.

Selama hari-hari pertama pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien


yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus selambat mungkin, yaitu
untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1
gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT)/Long
Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15
gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan
infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran.

c. Protein (Asam-Asam Amino)

Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8


g/kgbb/hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli
merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25 gram
protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini didasarkan pada
kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan populasi pasien di
ICU direkomendasikan sebesar 0,15 – 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini sebanding
dengan 1 – 1,25 gram protein/ kgbb/hari. Beratnya gradasi hiperkatabolik yang
dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat diberikan nitrogen sampai dengan
0,3 gram/kgbb/hari.

Kepustakaan lain menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa


muda sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari. Namun selama sakit kritis kebutuhan
protein meningkat menjadi 1,2 – 1,5 gram/kgbb/hari. Pada beberapa penyakit
tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya kegagalan hati akut dan
pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5 gram/kgbb/hari.

Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa mencapai 1,5 – 2 gram
protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan protein dari fistula
pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol. Hal ini sesuai

14
dengan hasil penelitian Elwyn yang hanya menggunakan dekstrosa 5% nutrisi,
menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen b/d tingkat
keparahan penyakit.

d. Mikronutrien

Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3


(niasin), B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih
banyak dibandingkan kebutuhan normal sehari-harinya. Khusus tiamin, asam
folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa
menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin yang larut dalam air. Selain defisiensi
besi yang sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi defisiensi
selenium, zinc, mangan dan copper.

e. Nutrisi Tambahan

Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada


larutan nutrisi untuk memodulasi respon metabolik dan sistim imun, walaupun
signifikansinya belum bisa disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth
hormone, glutamine,branched-chain amino acids (asam amino rantai panjang),
novel lipids, omega-3fatty acids, arginine, nucleotides.

Namun perlu di waspadai khususnya L-arginine yang sering disebut


sebagai immune-enhancing diets, dapat memperburuk sepsis, karena L-arginine
akan meningkatkan NO yang dapat meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi,
gangguan motilitas usus dan gangguan integritas mukosa, serta gangguan
respirasi. Heyland DK dkk. menyimpulkan bahwa imunonutrisi dapat
menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak berhubungan dengan mortalitas
secara umum

2.5.3 Rute Pemberian Nutrisi


Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi
dengan morbiditas minimal. Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan
kerugian tersendiri dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari
pasien.

15
Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral selalu lebih dipilih
dibandingkan parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan untuk
kasus tertentu kurang dapat diandalkan atau kurang aman. Nutrisi parenteral
mungkin lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, asal diberikan dengan cara yang
benar. Dalam perawatan terhadap penderita sakit kritis, nutrisi enteral selalu
menjadi pilihan pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif berikutnya.

a. Nutrisi Enteral

Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan dari pada oral,
kecuali pada keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke
intrakranial. Pipa naso jejunal dapat digunakan jika terjadi kelainan
pengosongan lambung yang menetap dengan pemberian obat prokinetik atau
pada pankreatitis Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral jangka panjang
adalah dengan gastrostomi dan jejunum perkutaneus.

Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran memiliki komposisi yang


bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh (berasal dari whey, daging,
isolat kedelai dan kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau
polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim pankreas saat absorbsinya.
Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen (asam amino maupun peptida)
tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin, namun dapat membantu
bila absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas atau
setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid biasanya berasal dari minyak
nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi juga berisi
trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi kalori dari non
protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari total kebutuhan kalori.

Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare. Serat dimetabolisme oleh


bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang digunakan oleh koloni untuk
pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan trace mineral
ditambahkan sampai volume yang mengandung 2000 kkal.

Nutrisi enteral adalah faktor resiko independen pneumonia nosokomial


yang berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini mungkin
dan benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia, sebab bila

16
nutrisi enteral yang diberikan secara dini akan membantu memelihara epitel
pencernaan, mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi
gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi.

Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.


Diare sering terjadi pada pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral,
penyebabnya multifaktorial, termasuk terapi antibiotik, infeksi Clostridium
difficile, impaksi feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis.
Komplikasi metabolik paling sering berupa abnormalitas elektrolit dan
hiperglikemia.

b. Nutrisi Parenteral

Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat


dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi
enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral.

Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan


untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada pasien ICU,
kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam.
Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat.
Hal yang paling ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total
Parenteral Nutrition) melalui vena sentral adalah infeksi. Hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:

 Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan


femoral.
 Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
 Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
 Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
 Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
 Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep
antimikroba.
 Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

18
DAFTAR PUSTAKA

19

Anda mungkin juga menyukai