ANALISISNYA
Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil lautnya
berupa hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan Teluk Jakarta menjadi
salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta. Pada tahun 1995, pemerintah pusat
memaksakan proyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan dikeluarkannya Keppres No. 52
Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto
pada 13 Juli 1995. Keppres tersebut menetapkan Reklamasi teluk jakarta sebagai satu-
satunya jalan upaya penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai untuk
mewujudkan Kawasan Pantai Utara sebagai Kawasan yang mempunyai nilai strategis
dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.
Adanya kata "penyelenggaraan reklamasi" yang termuat di dalam pasal 4 ayat (1)
dan (2) huruf a Pergub Nomor 58 Tahun 2018 mengindikasikan kalau reklamasi akan
dilanjutkan. Secara yuridis, Pergub tersebut dianggap cacat hukum karena merujuk pada
Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta yang sudah
tidak berlaku berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Karakateristik masalah yang mewarnai kebijakan reklamasi adalah kepentingan
ekonomi, di mana para pemodal memainkan peran sangat signifikan. Hal ini mengingat
proyek reklamasi membutuhkan investasi yang sangat besar dan berkelanjutan, sehingga
kebijakan yang ada dipengaruhi oleh kepentingan para pemodal. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa sejatinya mega proyek reklamasi hanya untuk memuaskan kepentingan
kapitalis, bukan untuk kepentingan masyarakat sekitar proyek reklamasi, apalagi
kepentingan masyarakat nelayan tradisional. Hal ini dikarenakan: Pertama, semakin
terbatasnya ketersediaan lahan di Jakarta, ditambah lagi harganya yang terus meningkat
tinggi, menyebabkan para investor beralih ke lahan reklamasi. Para investor di sektor
property cenderung memilih melakukan reklamasi pantai dari pada melakukan pembebasan
lahan. Kedua, para pemilik modal cenderung berupaya melakukan penguasaan sumber daya
secara eksklusif, termasuk kawasan Teluk Jakarta, dengan mengubah menjadi “kota
kelompok elit”
Proyek reklamasi tetap akan membawa dampak negatif terhadap kawasan pantura,
meski beleid membahas tentang pengelolaan pencemaran lingkungan, pelestarian hutan
bakau dan hutan lindung, penataan bantaran sungai di kawasan darat Pantura. Dampak ini
disebabkan oleh proyek reklamasi tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL), rencana zonasi, rencana kawasan strategis, lokasi pengambilan pasir yang
jelas. Pembangunan rumah dan ruko di pulau reklamasi juga tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan sertifikat tanah.
Proyek reklamasi di Teluk Jakarta tak layak dari aspek lingkungan. Jika alasan
pemerintah provinsi beralasan meniru negara lain yang melakukan reklamasi, hal itu
dianggap keliru. Bahkan dua negara yang telah mengerjakan reklamasi yakni Korea Selatan
dan Jepang justru menyesal. Beberapa ahli berpendapat kalau dipertimbangkan lagi memang
secara teknis proyek ini tidak layak. Setelah Korea Selatan melakukan reklamasi tiga kali itu
akhirnya melakukan moratorium atau penundaan. Demikian juga Jepang mulai merestorasi
atau mengembalikan kondisi seperti semula setelah melakukan reklamasi masif. Jadi di
Indonesia sebaiknya juga dihentikan. Jika proyek reklamasi ini tetap diteruskan, lanjutnya,
dapat berdampak pada kematian makhluk hidup di dalam laut dan penurunan kecepatan arus
yang membuat sirkulasi air tidak berjalan lancar.
Reklamasi Teluk Jakarta juga dinilai tidak bermanfaat sama sekali bagi lingkungan.
Hal ini mempertegas informasi bahwa ada yang menyebut reklamasi bisa mengurangi banjir.
Malah bisa memperparah, tidak ada manfaat bagi lingkungan sama sekalli. Dari sisi
lingkungan reklamasi tidak bisa mencegah ada banjir di pesisir, mengurangi sendimentasi di
sungai dan kualitas air di sekitarnya.
1.2 Analisis
Permasalahan amblasan tanah di Jakarta tidak diatasi dalam strategi pertahanan pesisir
Reklamasi. Asumsi di dalam Master Plan Reklamasi bahwa tenggelamnya Jakarta tidak dapat
dihentikan segera untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir di waktu yang akan datang.
Pada saat yang sama, rencana ini mengidentifikaksi bahwa penghentian proses amblasan tanah
merupakan prasyarat penting untuk ‘skenario apapun’ untuk melindungi kota. Sementara
pertanda bahwa prasyarat ini terpenuhi sangat sedikit, Master Plan tidak memuat
langkahlangkah untuk mengatasi tantangan ini, termasuk tidak memuat langkahlangkah penting
dalam rencana pembiayaan. Hal ini menjadikan Master Plan tidak menyeluruh dan
menimbulkan keraguan serius untuk terus dilakukan.
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan ini diawali oleh klaim Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) atas kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992.2 Hal ini dipicu
oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang pada tahun 1947 untuk pertama kalinya
mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan negara itu. Peta itu menunjukkan dua
rangkaian pulau yang masuk dalam wilayah mereka.
Salah satu sengketa atau konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan adalah sengketa atau
konflik yang berkaitan dengan tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Republik Rakyat
Tiongkok. Bahkan tindakan RRT saat ini telah menyulut kemarahan Filipina, Vietnam,
Malaysia, Taiwan dan Brunei setelah mengerjakan proyek reklamasi pulau di tujuh terumbu
karang di antara pulau-pulau kecil di tengah-tengah laut yang masih dalam sengketa.
Bagi RRT, reklamasi merupakan kebijakan nasional yang ditujukan bagi kepentingan
nasionalnya. Setiap negara pengklaim memiliki kepentingan nasionalnya masing- masing di
kawasan Laut Cina Selatan. Sejak Desember 2013, RRT melakukan perluasan sebanyak lebih
dari 1.200 hektar di kelupauan di Laut Cina Selatan sebagian besar reklamasi dilakukan di
Kepulauan Spratly, yakni pulau-pulau di perairan antara Vietnam, Malaysia, dan Filipina,
dimana seluruh negara ini termasuk RRT, Taiwan, dan Brunei memperebutkan klaim di wilayah
tersebut.
Dalam beberapa bulan terakhir, Tiongkok sangat aktif dan juga agresif dalam upayanya
membentuk sebuah pulau buatan di Kepulauan Spratly. Tercatat ada tujuh gugusan karang yang
direklamasi oleh RRT, tujuh gugusan karang tersebut seperti; Mischeif, Gaven, Hughes,
Johnson South, Cuarteron, Fiery Cross. Beberapa dari gugusan karang tersebut adalah karang
yang tenggelam di bawah laut saat terjadi air pasang, dan RRT mereklmasi gugusan karang
tersebut untuk memperluas dan mengubah statusnya menjadi sebuah pulau yang tidak
tenggelam saat air pasang, sehingga memiliki pengaruh terhadap delimitasi batas maritime.
1.4 Analisis
Perlu diingat bahwa LCS merupakan salah satu perairan dengan keanekaragaman hayati
paling tinggi di mana terdapat kurang lebih 571 spesies koral atau terumbu karang di dalamnya.
Sayangnya, pembangunan pulau buatan oleh RRT sangat mengancam keberadaan kawanan
koral tersebut. Hal ini karena ketika kapal pengeruk mengambil pasir dari laut, ini bakal
membuat terumbu karang hancur.
Di samping itu, adanya pengendapan pasir di sekitar wilayah pulau buatan juga memicu
terjadinya sedimentasi lanau dan pasir. Sedimen yang terbentuk lantas menyelubungi terumbu
karang dan merusak jaringan internalnya. Apabila kondisi ini terjadi, terumbu karang akan
semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Bahkan di wilayah tersebut dikenal sebagai ladang gas dan minyak bumi. Diperkirakan
bahwa untuk Kepulauan Spratly saja, bisa mendapatkan lebih dari 200 miliar barel minyak.
Ketika aktivitas di area LCS meningkat akibat adanya kegiatan reklamasi, tidak menutup
kemungkinan bagi China untuk melakukan eksplorasi hidrokarbon. Kondisi ini lantas
meningkatkan potensi terjadinya tumpahan minyak.
Dampak dari tumpahan minyak sendiri tentu sudah jelas, yakni dapat meracuni para
biota laut. Selain itu, lapisan minyak yang tebal di permukaan air akan menghalangi sinar
matahari, yang sangat dibutuhkan alga, untuk mencapai dasar laut. Menurut laman National
Oceanic and Atmospheric Administration, efek mengerikan lainnya adalah dikarenakan
kebocoran minyak dan gas membahayakan ikan-ikan laut, pada akhirnya, mereka juga bisa
menjadi terlalu beracun untuk dikonsumsi oleh manusia.