Critical Review
(Studi Kasus : Reklamasi Teluk Jakarta)
Dosen:
Johnny Patta, Ir., MURP
Oleh:
Shanada Julistiadi
15411098
3
Selain dampak sosial dan lingkungan, tumpang-tindih maupun tarik-ulur kebijakan merupakan
salah satu masalah yang mengakibatkan perdebatan terhadap keabsahan reklamasi. Pro-kontra
reklamasi dijabarkan pada gambar di bawah ini.
Pro-Kontra Reklamasi
Reklamasi yang diharapkan dapat mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, serta untuk
mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal, ternyata malah mengakibatkan masalah-
masalah yang lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai reklamasi
Teluk Jakarta dalam bab selanjutnya agar mendapatkan solusi terhadap tumpang-tindih maupun
tarik-ulur kebijakan yang terjadi dalam proses reklamasi, serta dampak lingkungan dan sosial yang
diakibatkan oleh reklamasi.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, berikut adalah masalah-masalah yang akan
kami bahas dalam makalah kali ini:
a. Bagaimana upaya untuk menghentikan perdebatan yang diakibatkan oleh tumpang tindih-
maupun tarik-ulur kebijakan ?
b. Bagaimana upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi ?
c. Bagaimana upaya untuk menanggulangi dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi ?
2. DASAR TEORI
2.1 Pengertian Reklamasi
Reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki
sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional, disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang
5
sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Ada beberapa
sumber yang mendefinisikan arti dari reklamasi yaitu sebagai berikut :
1. Menurut Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005), reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau
drainase.
2. Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, reklamasi
adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau
kontur kedalaman perairan.
3. Berdasarkan Pedoman Pengembangan Reklamasi Pantai dan Perencanaan Bangunan
Pengamanannya (2004), reklamasi pantai adalah meningkatkan sumberdaya lahan dari yang
kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat ditinjau dari sudut lingkungan, kebutuhan
masyarakat dan nilai ekonomis.
4. Menurut Perencanaan Kota (2013), reklamasi sendiri mempunyai pengertian yaitu usaha
pengembangan daerah yang tidak atau kurang produktif (seperti rawa, baik rawa pasang surut
maupun rawa pasang surut gambut maupun pantai) menjadi daerah produktif (perkebunan,
pertanian, permukiman, perluasan pelabuhan) dengan jalan menurunkan muka air genangan
dengan membuat kanal kanal, membuat tanggul/ polder dan memompa air keluar maupun
dengan pengurugan.
5. Berdasarkan Modul Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi (2007) adalah
suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau
masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di
kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar,
ataupun di danau.
6
Tipologi Kawasan Reklamasi
Menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai
(2007), kawasan reklamasi dibedakan menjadi beberapa tipologi berdasarkan fungsinya yakni :
1. Kawasan Perumahan dan Permukiman.
2. Kawasan Perdagangan dan Jasa.
3. Kawasan Industri.
4. Kawasan Pariwisata.
5. Kawasan Ruang Terbuka (Publik, RTH Lindung, RTH Binaan, Ruang Terbuka Tata Air).
6. Kawasan Pelabuhan Laut / Penyeberangan.
7. Kawasan Pelabuhan Udara.
8. Kawasan Mixed-Use.
9. Kawasan Pendidikan.
Selain berdasarkan fungsinya, kawasan reklamasi juga dibagi menjadi beberapa tipologi
berdasarkan luasan dan lingkupnya sebagai berikut :
1. Reklamasi Besar yaitu kawasan reklamasi dengan luasan > 500 Ha dan mempunyai lingkup
pemanfaatan ruang yang sangat banyak dan bervariasi. Contoh : Kawasan reklamasi Jakarta.
2. Reklamasi Sedang merupakan kawasan reklamasi dengan luasan 100 sampai dengan 500 Ha
dan lingkup pemanfaatan ruang yang tidak terlalu banyak ( 3 6 jenis ). Contoh : Kawasan
Reklamasi Manado.
3. Reklamasi Kecil merupakan kawasan reklamasi dengan luasan kecil (dibawah 100 Ha) dan
hanya memiliki beberapa variasi pemanfaatan ruang ( hanya 1-3 jenis ruang saja ). Contoh :
Kawasan Reklamasi Makasar.
8
Daerah Pelaksanaan Reklamasi
Perencanaan Kota (2013) memaparkan pelaksanaan reklamasi pantai dibedakan menjadi tiga
yaitu:
A. Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula
Kawasan daratan lama berhubungan langsung dengan daratan baru dan garis pantai yang baru akan
menjadi lebih jauh menjorok ke laut. Penerapan model ini pada kawasan yang tidak memiliki
kawasan dengan penanganan khusus atau kawasan lindung seperti :
kawasan permukiman nelayan
kawasan hutan mangrove
kawasan hutan pantai
kawasan perikanan tangkap
kawasan terumbu karang, padang lamun, biota laut yang dilindungi
kawasan larangan ( rawan bencana )
kawasan taman laut
B. Daerah reklamasi yang memiliki jarak tertentu terhadap garis pantai
Model ini memisahkan (meng-enclave) daratan dengan kawasan daratan baru, tujuannya yaitu :
Menjaga keseimbangan tata air yang ada
Menjaga kelestarian kawasan lindung (mangrove, pantai, hutan pantai, dll)
Mencegah terjadinya dampak/ konflik sosial
Menjaga dan menjauhkan kerusakan kawasan potensial (biota laut, perikanan, minyak )
Menghindari kawasan rawan bencana
C. Daerah reklamasi gabungan dua bentuk fisik (terpisah dan menyambung dengan daratan)
Suatu kawasan reklamasi yang menggunakan gabungan dua model reklamasi. Kawasan reklamasi
pada kawasan yang potensial menggunakan teknik terpisah dengan daratan dan pada bagian yang
tidak memiliki potensi khusus menggunakan teknik menyambung dengan daratan yang lama.
10
diperlukan untuk menampung rembesan air dari laut (air asin) yang dapat mengganggu
pemanfaatan lahan.
Sistem Polder ini diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
Polder Dalam
Air yang disedot dari polder tidak langsung dibuang kelaut, melainkan ke waduk-waduk
tampungan atau ke suatu saluran yang berada di luar polder. Langkah selanjutnya adalah
dialirkan ke laut.
Polder Luar
Air dari polder langsung dibuang ke laut.
3. Sistem Kombinasi antara Polder dan Urugan
Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem urugan yaitu setelah lahan diperoleh
dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga
perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut cukup aman. Penimbunan dimaksudkan
untuk perbaikan tanah karena tanah dasar pantai pada umumnya sangat lunak.
4. Sistem Drainase
Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif
rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya harus lebih tinggi dari elevasi muka
air laut. Wilayah ini bisa berupa daerah rawa pasang surut ataupun daerah rawa yang tidak
dipengaruhi pasang surut. Dengan membuatkan sistem drainase yang baik beserta pintu-pintu
pengatur, wilayah pesisir ini dapat dimanfaatkan untuk daerah pemukiman dan pertanian.
Sepanjang sejarah berdirinya Jakarta, sejak 22 Juli 1527 hingga kini, sistem pemerintahan di
kota ini telah beberapa kali mengalami perubahan, mencakup pergantian penguasa, nama serta
pergantian luas wilayah administrasinya. Semula daerah ini bernama Jayakarta, yang terdiri dari tiga
bentuk pemerintahan. Pertama, pemerintahan langsung yang dikendalikan oleh Penguasa Jayakarta
dengan wilayahnya meliputi Pelabuhan Angke. Kedua, pemerintahan Negara Agung yang
11
dikendalikan pembantu penguasa Jayakarta dengan wilayah meliputi Pasar Ikan Kali Ciliwung dan
Jakarta Kota (saat ini). Ketiga, pemerintahan Mancanegara dengan cakupan wilayah Tanjung Priok.
Memasuki tahun 1960, di sekitar Jakarta Kota dan wilayah lainnya yang dikuasai pribumi
maupun etnis Tionghoa harus tunduk dan membayar upeti kepada Pemerintah Hindia Belanda atau
VOC (Vereenigde Oostindische Compaigne), dengan sistem pemerintahan pada saat itu diatur dalam
UU Comptabuliteit 1854 yang menetapkan pusat pemerintahan berada di Weltevreden.
GEOGRAFIS JAKARTA UTARA
Wilayah kota Administrasi Jakarta Utara mempunyai luas 174,560 Km2 terdiri dari luas lautan
35 Km2 dan luas daratan 139,560Km2. Daratan Jakarta Utara membentang dari Barat ke Timur
sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4 s/d 10 km. Ketinggian dari permukaan
laut antara 0 s/d 20 meter, dari tempat tertentu ada yang dibawah permukaan laut yang sebagian
besar terdiri dari rawa-rawa/empang air payau. Wilayah Jakarta Utara merupakan pantai beriklim
panas, dengan suhu rata-rata 270 C, curah hujan setiap tahun rata-rata 142,54 mm dengan
maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan
tempat bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini
merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut.
Batas Wilayah Wilayah Kotamadya Jakarta Utara dibatasi dengan batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Laut Jawa Koordinat 1060 29-00 BT 150 10-00 LS 1060 07-00 BT 050 10-00 LS
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Dati II Tangerang, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kab. Dati II Tangerang dan Jakarta Pusat.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kab. Dati II Bekasi.
Penggunaan Tanah Luas tanah daratan di Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km2. Dirinci berdasarkan
penggunaan 47,58% untuk perumahan, 15,87% untuk areal industri, 8,89% digunakansebagai
perkantoran dan pergudangan dan sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong dan
sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut :
status hak milik 13,28%, Hak Guna Bangunan (HGB) sekitar 29,04%, lainnya masih berstatus Hak
Pakai, Hak Pengelolaan dan non sertifikat.
Jumlah Penduduk : 1.182.749 Jiwa
Kepadatan Penduduk : 8.475 Jiwa/KM
Pertumbuhan Penduduk : 0,46%
Terdiri Dari : 6 Kecamatn, 31 Kelurahan, 409 RW dan 4.746 RT.
12
Teluk Jakarta
Teluk Jakarta pada umumnya merupakan perairan dangkal yang memiliki kedalaman rata-rata
15 meter dengan luas sekitar 514 km2. Teluk ini merupakan muara 13 sungai yang melintasi
kawasan metropolitan Jakarta dan daerah penyangga Bodetabek yang saat ini berpenduduk sekitar
20 juta jiwa.
Wilayah di Teluk Jakarta termasuk dalam 3 kategori, yaitu wilayah Vorsteden (kota depan),
Regentschap Batavia serta sebagian wilayah partikelir di bawah pengawasan Afdeling I (keamanan)
yang membawahi Tanjung Priok serta pengawasan Resident Batavia melalui aparat Asisten Resident
Batavia, Asisten Resident Meester Cornelis, serta aparat kontrolir Tanjung Priok, Penjaringan dan
Bekasi. Sedangkan penguasa pribumi masa VOC adalah Bupati Tangerang, Bupati Bekasi, Batavia dan
Meester Cornelis yang membawahi beberapa wedana.
Sistem pemerintahan berubah kembali pada tahun 1905, setelah dibentuk Gemeente Batavia,
dimana wilayah di sekitar Teluk Jakarta ini berubah menjadi Distrik Batavia yang meliputi Onder
Distrik Penjaringan, Tanjung Priok, Meester Cornelis dan Bekasi. Sedangkan Tanjung Priok berada di
bawah pemerintahan Haven Directie KPM.
Ketika Jepang masuk ke wilayah ini, bentuk pemerintahan berubah menjadi shiku (setingkat
kecamatan) dengan wilayah sekitar Teluk Jakarta, seperti Shiku Penjaringan, Tanjung Priok dan
Bekasi. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Teluk
Jakarta terbagi atas beberapa wilayah administratif, yaitu Kewedanan Penjaringan, Tanjung Priok
dan Bekasi. Ketiga daerah kawedanan ini berada di bawah walikota Jakarta Raya dan termasuk
dalam wilayah Jawa Barat. Kemudian, wilayah di Teluk Jakarta ini berubah menjadi wilayah
administratif Kotamadya Jakarta Utara pada tahun 1957, setelah terbentuknya Kotapraja Jakarta
Raya.
3. Pembahasan
3.1 Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan
Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi
tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras
agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa
dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan
teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan
13
Revitalisasi Pantai Utara. Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun
2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke
pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan
untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan
keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN
tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu
mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan
menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang
menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta
memuluskan rencana reklamasi. Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus
membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan
pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar
teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun
2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil di Teluk Jakarta. Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi
Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun
2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara
Wisesa Samudra.
14
Diperlukan adanya arahan pengembangan kota baru pada lahan reklamasi dan mem-
posisikannya kedalam pengembangan kawasan strategis Jabodetabekpunjur dan ren- cana tata
ruang daerah
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek- punjur telah
ditetapkan pada 12 Agustus 2008. Perpres ini merupakan payung hukum bagi penataan ruang
kawasan Jabodetabekpunjur sebagai suatu kesatuan ekologis. Penataan Ruang kawasan
Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang
berkaitan dengan upaya konservasi air tanah, upaya menjamin terse- dianya air tanah dan air
Perpres No. 54 Tahun 2008 juga menetapkan arahan pemanfaatan ruang kawasan pesisir utara DKI
Jakarta sebagai Zona Penyangga:
Zona P1 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi,
intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut. Pemanfaatan diarahkan un- tuk menjaga
fungsi zona N1.
Zona P2 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk referensi banjir
mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut. Peman- faatan
diarahkan untuk menjaga fungsi zona N1 dan zona P5.
Zona P3 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mendukung zona dengan intensitas
pemanfaatan yang tinggi dan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Pemanfaatan diarahkan untuk
menjaga fungsi zona B1.
15
Zona P4 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung rendah.
Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona B2 dan zona B4.
Zona P5 : Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi,
retensi air, intrusi air laut, dan konservasi hutan bakau dengan daya dukung lingkungan
rendah. Pemanfaatan diarahkan sebagai penyangga zona N1 dan zona B1.
Berdasarkan Perda No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030, kawasan
Pantura Jakarta di kembangkan sebagai pusat kegiatan primer yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala nasional atau beberapa provinsi dan internasional.
Dalam skala regional struktur ruang kawasan pantai utara ibukota negara berfungsi :
Bagian dari sistem pusat kegiatan dalam Propinsi DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang dan
Kabupaten Bekasi.
Arahan pembentuk keterpaduan sistem pusat kegiatan antar wilayah Propinsi DKI Ja- karta ,
Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.
16
Reklamasi Pantai Utara
Pendekatan Pengembangan Kawasan Strategis Pantura
17
Program PTPIN kerap dikaitkan dengan reklamasi 17 pulau di pesisir utara Jakarta terse- but,
padahal keduanya merupakan proses yang terpisah walaupun tujuannya relatif sama, yaitu
melindungi kawasan pesisir pantai utara Jakarta sekaligus mengakomodasi keperluan
pengembangan kota di masa depan. Namun demikian, kedua upaya tersebut perlu saling bersinergi
untuk dapat memberi manfaat bagi ibukota negara.
Dampak dan Pencegahan Lingkungan
Mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012, kegiatan
reklamasi merupakan jenis rencana usaha dan/kegiatan bidang multisektor yang wajib dilengkapi
dengan Analisis Mutu dan Dampak Lingkungan (AMDAL). RTRW DKI Jakarta 2010-2030 pasal 104
ayat (1) menyebutkan bahwa pengembangan kawasan Pantura harus diawali dengan perencanaan
reklamasi yang disusun secara cermat dan terpadu sekurang- kurangnya mencakup AMDAL.
Beberapa kajian lingkungan hidup terkait dampak program ini terhadap wilayah perencanaan ini
telah dilakukan, diantaranya adalah Kajian Lingkun- gan Hidup Strategis (KLHS) Pantura Teluk Jakarta
pada tahun 2009.
Namun dalam perjalanan implementasi, penerapan rekomendasi terkait lingkungan hidup
menemui banyak kendala. Walaupun demikian, selayaknya upaya-upaya kajian terkait dampak
lingkungan harus tetap dilakukan dengan sungguh-sungguh di masa mendatang. Perencanaan lebih
lanjut sebaiknya dibuat tidak parsial sehingga tidak mengganggu kepentingan atau fungsi lain baik
kegiatan sektoraltermasuk di dalamnya isu lingkungan hidupmaupun Pemerintah Daerah
termasuk dampak kumulatif lingkungan hidup dari perencanaan reklamasi antar pengembang dan
reklamasi yang akan menggunakan hutan lindung.
Penutupan teluk diperkirakan akan menciptakan dampak ekologis yang signifikan. Beberapa
dampak utama lingkungan akibat pembangunan telah diteliti dan dikompilasikan dalam dokumen
building block untuk analisa lingkungan strategis. Penelitian baru-baru ini mengidentifikasi dampak
yang akan terjadi dan merekomendasikan upaya-upaya mitigasi yang memungkinkan, serta
mengidentifikasi upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Hutan bakau/mangrove: Di wilayah pesisir di Teluk Jakarta, hutan mangrove berada pada
Taman Wisata Alam Kamal dan Kebun Pembibitan Angke Kapok (55.06 ha), Cagar Alam Muara Angke
(25.02 ha), Hutan Lindung Angke Kapok (44.76 ha), juga di sekitar Cilincing Marunda dengan luas
total sekitar 118.11 ha di tahun 2011.
Pembangunan tanggul laut, tanggul sungai, dan reklamasi pantai akan mengganggu salinitas
dan pasang-surut laut yang berperan dalam pertumbuhan tanaman mangrove. Bila tidak ada pasang-
surut maka populasi mangrove dan habitat fauna (ikan, burung pantai, monyet berekor panjang,
reptil) yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove akan terancam. Jika terlanjur
18
rusak, maka akan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisi hutan mangrove
tersebut.
Alternatif mitigasi terhadap dampak rusaknya hutan mangrove yang di rekomendasikan dalam
PTPIN adalah relokasi hutan mangrove. Rancangan dalam implementasi tahap B dalam program
PTPIN akan menggabungkan pengembangan hutan mangrove di sayap barat Garuda Megah. Pada
kawasan ini diusulkan sebagai tempat pengembangan taman hutan bakau dan Discovery Center.
Kesempatan untuk mengembangkan kawasan hutan mangrove ini dilakukan melalui rancangan
Tahap C dengan menggunakan penambahan stuktur di bagian timur untuk menciptakan sistem
muara dengan kondisi intertidal di bagian utara mulut Sungai Cikarang.
Kehidupan Laut. Penutupan teluk ini akan mengubah teluk Jakarta menjadi danau retensi air
tawar, yang akan menciptakan dampak besar terhadap keadaan ekologis di teluk Jakarta. Hasilnya,
spesies ikan laut yang menetap di wilayah itu dan benthos akan musnah.
Dampak Hidrodinamis: Penutupan teluk Jakarta akan menimbulkan perubahan signifikan
terhadap pola di teluk. Perubahan tersebut diperkirakan akan menimbulkan erosi baru dan risiko
sedimentasi.
Dampak dan Pencegahan Sosial
Selayaknya sebuah proyek berskala besar, implementasi pembangunan tanggul laut, tanggul
sungai, dan reklamasi pesisir utara Jakarta akan berdampak terhadap kondisi sosial yang relatif
besar. Dampak ini dapat bisa bersifat positif maupun negatif. Dilihat dari sisi sosial, dampak utama
program ini adalah yang terkait dengan ketenagakerjaan, pengembangan masyarakat di wilayah
pesisir, sektor perikanan dan komunitas terkait.
Secara tradisional, kawasan pantai Jakartaterutama di lahan-lahan kosong yang ditempati
oleh masyarakat pendatang, kecuali kawasan Luar Batang, Cilincing dan sedikit Marunda yang dihuni
penduduk asli masyarakat Betawi. Kawasan kawasan kosong itu adalah lahan yang terletak di
muara Kali Kamal, muara dan bantaran Kali Angke, kawasan Rumah Pompa Pluit, bantaran Waduk
Pluit, Sunda Kelapa, kawasan Kali Baru, dan muara Kali Landak. Penghuninya sudah bercampur baur
dan mencirikan masyarakat pesisir. Selama bertahun-tahun, mereka turun temurun menempati
lahan-lahan kosong tersebut.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang teridentifikasi yang berada di pesisir utara Jakarta,
baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari pembangunan Giant Sea Wall,
yaitu: masyarakat di Muara Kamal (peternak kerang hijau), Nelayan Kali Angke, Pasar Ikan Muara
Angke, Kali Baru, Cilincing, Marunda Pulo dan Marunda Kongsi (kawasan cagar budaya Betawi)
Pengembangan Masyarakat dan Relokasi. Penguatan tanggul laut pada PTIN Tahap A akan
memberikan dampak langsung dan besar kepada penghuni pada masyarakat pesisir pada semua
19
penghuni di pesisir Jakarta, termasuk 1,5 juta jiwa penduduk yang bermukim di pemukiman kumuh.
Banyak rumah-rumah yang dibangun di atas tanggul laut. Di beberapa tempat, tanggul laut langsung
melalui daerah perumahan dan daerah pemukiman kumuh. Kegiatan galangan pembuatan kapal dan
galangan perbaikan kapal yang mengandalkan hubungan langsung dengan laut akan terganggu oleh
pembangunan tanggul. Mengu- rangi dampak pada masyarakat/komunitas dan kegiatan
perekonomian ini merupakan hal yang sangat penting dari segi sosio-ekonomi. Titik awal
perancangan konseptual Tahap A sedapat mungkin berusaha membatasi relokasi akibat penguatan
tanggul. Garuda Megah direncanakan akan dapat menyediakan ruang untuk perumahan sosial
(sebanyak 17 pers- en) dan kebutuhan lahan untuk menampung relokasi.
Perikanan dan Masyarakat Nelayan: Garuda Megah dan tanggul laut akan menutup jalan
masuk ke pelabuhan pelabuhan ikan yang ada. Tempat penang kapan ikan dan budidaya air asin
akan hilang di waduk retensi air tawar. Mengingat pentingnya sektor perikanan bagi ma- syarakat
yang bergantung kepada sektor ini, maka perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengurangi
dampak ini ketika teluk ditutup. Salah satu usulan dari PTPIN ini adalah merelokasi masyarakat
nelayan dan pelabuhan perikanan ke kedua ujung luar barat dan timur dari sayap Garuda Megah.
Selain mendapatkan tempat baru, program ini diharapkan juga dapat menciptakan ke-
mungkinan bagi mereka untuk menjual produk-produk mereka langsung di pasar, toko sementara
maupun permanen, restoran dan warung makanan. Untuk jangka panjang, waduk retensi air tawar
ini dapat menciptakan alternatif kegiatan baru bagi nelayan. Dengan catatan: bila kualitas air cukup
layak untuk mendukung kegiatan tersebut. Namun demikian upaya untuk mengurangi dampak
proyek ini terhadadap masyarakat nelayan, antara lain merelokasi mereka ke tempat yang lebih
aman dan layak sekaligus juga untuk meningkatkan pendapatan mereka, harus dilakukan dan
dipikirkan dengan hati-hati. PTPIN diharapkan dapat menciptakan banyak peluang kerja, melalui
kegiatan reklamansi diperki- rakan akan menciptakan lebih dari 550.000 lapangan kerja baru.
Pekerjaan konstruksi Ga- ruda Megah diperkirakan akan menyediakan 4.250 lapangan pekerjaan
sementara.
4. KESIMPULAN
Untuk menghentikan perdebatan yang diakibatkan oleh tumpang tindih-maupun tarik-ulur kebijakan,
reklamasi sebaiknya dipersiapkan dengan baik. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Adanya program PTPIN yang kerap dikaitkan dengan reklamasi teluk Jakarta dapat dimanfaatkan
sebagai acuan dalam melindungi kawasan Teluk Jakarta dari dampak-dampak negatif reklamasi. Salah
satu upaya penanggulangan dampak negatif reklamasi yang dijabarkan dalam PTPIN yaitu sebagai
alternatif mitigasi terhadap dampak rusaknya hutan mangrove yang di rekomendasikan dalam PTPIN
20
adalah relokasi hutan mangrove. Rancangan dalam implementasi tahap B dalam program PTPIN akan
menggabungkan pengembangan hutan mangrove di sayap barat Garuda Megah. Pada kawasan ini
diusulkan sebagai tempat pengembangan taman hutan bakau dan Discovery Center. Kesempatan
untuk mengembangkan kawasan hutan mangrove ini dilakukan melalui rancangan Tahap C dengan
menggunakan penambahan stuktur di bagian timur untuk menciptakan sistem muara dengan kondisi
intertidal di bagian utara mulut Sungai Cikarang. Sedangkan dalam bidang sosial, untuk mengurangi
dampak pada masyarakat/komunitas dan kegiatan perekonomian ini beru[a Garuda Megah yang
direncanakan akan dapat menyediakan ruang untuk perumahan sosial (sebanyak 17 persen) dan
kebutuhan lahan untuk menampung relokasi. Selain mendapatkan tempat baru, program ini
diharapkan juga dapat menciptakan kemungkinan bagi mereka untuk menjual produk-produk mereka
langsung di pasar, toko sementara maupun permanen, restoran dan warung makanan. Untuk jangka
panjang, waduk retensi air tawar ini dapat menciptakan alternatif kegiatan baru bagi nelayan. Den-
gan catatan: bila kualitas air cukup layak untuk mendukung kegiatan tersebut. Namun demikian upaya
untuk mengurangi dampak proyek ini terhadadap masyarakat nelayan, antara lain merelokasi mereka
ke tempat yang lebih aman dan layak sekaligus juga untuk meningkatkan pendapatan mereka, harus
dilakukan dan dipikirkan dengan hati-hati. PTPIN diharapkan dapat menciptakan banyak peluang kerja,
melalui kegiatan reklamansi diperkirakan akan menciptakan lebih dari 550.000 lapangan kerja baru.
Pekerjaan konstruksi Garuda Megah diperkirakan akan menyediakan 4.250 lapangan pekerjaan
sementara.
DAFTAR PUSAKA
- http://ncicd.com/wp-content/uploads/2015/02/Laporan-PTPIN_181114_LowRes.pdf
- http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/10050401/Jalan.Panjang.Reklamasi.di.Telu
k.Jakarta.dari.era.Soeharto.sampai.Ahok
- http://beritajakartautara.blogspot.co.id/2011/11/sejarah-dan-geografis-jakarta-utara.html
21