Anda di halaman 1dari 12

Konsep Pemecahan Masalah

Si Adi MenDeKap KeRe


1. Siapa
a. Nelayan / Masyarakat terdampak reklamasi
b. Perusahaan besar dibidang property
1) PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda
2) PT Pelindo II
3) PT Manggala Krida Yudha
4) PT Pembangunan Jaya Ancol
5) PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu)
6) PT Jaladri Eka Pasti
7) PT Taman Harapan Indah
8) PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro)
9) PT Jakarta Propertindo
c. Negara
1) Kementrian Lingkungan Hidup
2) Kementrian Kelautan dan Perikanan
3) Pemerintah Daerah Provinsi Ibukota Jakarta
d. Lembaga Swadaya Masyarakat
Apabila di bagi ke dalam kelompok yang bersengketa akan seperti pada tabel berikut :
Kelompok Pro
Kelompok Kontra
1. Pemerintah Daerah DKI Jakarta
1. Nelayan
/
Masyarakat
terdampak
2. PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
reklamasi
Marunda
2. Kementrian Kelautan dan Perikanan
3. PT Pelindo II
3. Kementrian Lingkungan Hidup
4. PT Manggala Krida Yudha
4. Lembaga Swadaya Masyarakat contohnya
5. PT Pembangunan Jaya Ancol
WALHI
6. PT Kapuk Naga Indah (anak
perusahaan Agung Sedayu)
7. PT Jaladri Eka Pasti
8. PT Taman Harapan Indah
9. PT Muara Wisesa Samudera (anak
perusahaan Agung Podomoro)
10. PT Jakarta Propertindo
2. Apa yang disengketakan
Proses Reklamasi Pantai Utara di Jakarta khususnya terkait
a. Dampak yang ditimbulkan baik fisik lingkungan, sosial, ekonomi bahkan budaya.
b. Pengabaian regulasi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
c. Illegalitas keputusan pemberian izin pelaksanaan reklamasi
d. Dugaan suap Raperda RZWP-3-K
e. Prinsip Good Governance
3. Lokasi

Beberapa titik yang dijadikan objek untuk reklamasi namun pada paper ini akan
membahas reklamasi di Pantai Utara di Jakarta. Khusunya pulau F,G, I dan K

4. Mengapa terjadi
Terdapat dua kubu yaitu yang pro dan kontra. Pihak Pro berpikir mengenai lahan yang
ada di Jakarta sudah tidak mencukupi kebutuhan masyarakat atau warganya sehingga
diperlukan reklamasi untuk menambah kawasan permukiman. Kelompok ini berasal dari
perusahaan yang akan menanamkan modalnya pada daerah tersebut, sebagian masyarakat
yang memiliki pandangan yang sama serta pemerintah daerah yang saat ini menjabat.
Pemerintah daerah hanya menjalankan peraturan yang terlebih dahulu dikeluarkan masa
pemerintahan sebelumnya bahwa RTRW atau Peraturan Daerah mengenai RTRW telah
mencantumkan reklamasi pantai utara Jakarta sebagai proyek yang akan dilaksanakan
pemerintah. Para pengembang mega proyek Great Sea Wall berdalih bahwa menurut hasil
kajian para ahli lingkungan, reklamasi justru membawa dampak positif, baik terhadap
lingkungan, sosial, ekonomi maupun terhadap peningkatan kehidupan masyarakat sekitarnya.
Perusahaan pengembang berpendapat bahwa pantai yang dibiarkan begitu saja dan hanya
diisi dengan kegiatan-kegiatan yang terbatas untuk para nelayan dan pengangkutan laut
lainnya justru akan mengalami degradasi lingkungan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
degradasi lingkungan akan menimbulkan ketidakteraturan, kemacetan, kerusakan bakau,
banjir lokal, keadaan sungai yang semakin parah dan kotor/jorok, pencemaran air laut dan
timbulnya penyakit dari perumahan kumuh yang semakin bertumbuh di sekitarnya.

Perusahaan pengembang hendak menjadikan Program Reklamasi dan Revitalisasi Pantai


Utara Jakarta sebagai salah satu cara penanganan pantai yang akan memperbaiki kondisi
lingkungan hidup melalui program penataan kembali pemukiman masyarakat pantai utara
sebagai situs bersejarah. Reklamasi dipandang dapat membangun kawasan utara Jakarta yang
merupakan kawasan kota tua sebagai andalan tourisme yang dinilai sangat bermanfaat guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan pembangunan di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Perusahaan pengembang juga berdalih bahwa reklamasi dapat mencegah banjir dengan
melakukan pembersihan dan normalisasi 13 muara sungai dan membantu pembuatan banjir
kanal dan sarana pencegahan lainnya. Selain itu reklamasi juga dapat lebih menata
lingkungan hidup dan sosial dengan mengatur ulang lingkungan yang ada menjadi lebih
teratur, bersih dan higienis.
Adanya reklamasi dinilai dapat mempertahankan dan mengembangkan serta menata
ulang lingkungan konservasi alam yang ada. Reklamasi juga dinilai dapat mempermudah
perhitungan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise) dan pengaruh
pasang surut dan perhitungan adanya aliran balik sungai (back water). Keuntungan lainnya
adalah meningkatkan dan merehabilitasi pemukiman-pemukiman kumuh sekitar pantai guna
menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.
Pihak Kontra berpandangan reklamasi akan berdampak buruk bagi kehidupan ekosistem
laut jakarta serta dampak bagi masyarakat sekitarnya terkait sisi ekonomi dan kondisi sosial
masyarakat. Hal ini di dukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli
dibidang lingkungan.
a. Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh BP Pantai Utara Jakarta DKI
Jakarta berdampak negatif terhadap lingkungan terutama dapat menyebabkan banjir.
b. Kajian tentang banjir dalam studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang
belum memperhitungkan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise)
dan pengaruh pasang surut dan belum memperhitungkan adanya back water (aliran
balik sungai) akibat adanya hambatan berupa sedimentasi dan penimbunan tanah
reklamasi ;
c. Bahwa bencana banjir tahunan Kota Jakarta selama ini dan bencana banjir 2002, telah
menimbulkan banyak korban dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial ekonomi
yang sangat besar ;

d. Bahwa kajian studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang belum


mencakup kemungkinan dampak lingkungan akibat pengambilan bahan urugan.
e. Reklamasi juga dinilai dapat menyebabkan gangguan terhadap operasional
PLTU/PLTGU Muara Karang yang menyuplai kebutuhan listrik Jakarta diantaranya
adalah kawasan Istana Negara, Jalan Sudirman, Monas dan Bandara Soekarno Hatta.
Gangguan tersebut diakibatkan oleh kenaikan suhu air pendingin. Selain itu, reklmasi
juga dapat memperluas potensi pencemaran ke arah perairan Pulau Seribu akibat
aktivitas di darat.
5. Dengan alasan apa
a. Periode 1995-2011
Segala sesuatu yang berkaitan dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta, telah secara tegas
diatur dengan Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Provinsi DKI
Jakarta. Keppres No. 52 Tahun 1995 merupakan aturan yang bersifat khusus yang mengatur
tentang reklamasi pantai utara Jakarta sebagaimana tercantum dalam Amar Putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011. Pada Pasal 4 Keppres No.
52 Tahun 1995 dijelaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta diberi kewenangan dalam hal
memberikan izin reklamasi. Keppres No. 52 Tahun 1995 juga memberikan kuasa kepada
Gubernur DKI Jakarta sebagai Ketua Pengendali untuk membentuk Badan Pelaksana Pantai
Utara Jakarta (BP Pantai Utara Jakarta) guna melaksanakan reklamasi pantai utara Jakarta.
Adanya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Propinsi DKI
Jakarta ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkan Peraturan Daerah
(Perda) DKI Jakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata
Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta. Dalam Peraturan Daerah tersebut dijabarkan lebih rinci
mengenai perencanaan reklamasi.
Pada tanggal 19 Februari 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
yang dahulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan
Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Surat Keputusan Menteri
tersebut mewajibkan Gubernur DKI Jakarta untuk tidak memberikan izin reklamasi yang
mendorong pihak perusahaan pengembang menempuh jalur hukum.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 12 PK/TUN/2011 yang diputuskan pada
tanggal 24 Maret 2011 secara tersirat menjelaskan terjadinya pertarungan hukum di
pengadilan berkaitan dengan Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Pertarungan hukum

tersebut terjadi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dahulu
bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup
(WALHI) dan beberapa lembaga lingkungan hidup lainnya melawan para perusahaan
pengembang. Pertarungan berlangsung dari tahun 2003 hingga tahun 2011.
Objek sengketa penyebab pertarungan hukum di pengadilan adalah Surat Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Keputusan tersebut dikeluarkan
oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup berdasarkan pada temuan Komisi Penilai AMDAL
(Analisis dampak lingkungan) yang dibentuk kementerian sejak tahun 1996 hingga tahun
2002. Komisi Penilai AMDAL menemukan bahaya dari adanya reklamasi pantai bagi
keberlangsungan ekosistem sekitar serta dampak bagi masyarakat sekitar khususnya para
nelayan. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut secara jelas melarang semua pihak
dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta sebagai pihak yang berwenang memberikan perizinan
proyek reklamasi pantai utara Jakarta untuk tidak memberikan izin bagi para pengembang
dalam meneruskan upaya reklamasi. Adanya keputusan menteri tersebut sempat membuat
proyek terhambat.
Perusahaan pengembang geram dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003. Mereka kemudian menggugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negeri (PTUN) Jakarta. Pada tanggal 11 Februari 2004, PTUN mengeluarkan Putusan
Nomor: 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi
dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Kekalahan pada tahap pertama mendorong Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri (PT TUN) Jakarta. Pada tanggal 03 Februari
2005, PT TUN Jakarta mengeluarkan keputusan Nomor: 202/B/2004/PT.TUN.JKT, yang
menguatkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta Nomor:
75/G.TUN/2003/PTUN.JKT.
Kekalahan di tahap pertama dan tahap banding tidak membuat Kementerian Lingkungan
Hidup patah arang. Kementerian Lingkungan Hidup kemudian mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juli 2009 mengabulkan kasasi dengan
mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109 K/TUN/2006 yang membatalkan
Putusan PT TUN Jakarta Nomor:

202/B/2004/PT.TUN.JKT. Sesuai Keputusan Kasasi

Mahkamah Agung tersebut, maka upaya reklamasi harus segera dihentikan.

Namun, perusahaan pengembang yang merasa telah mengeluarkan banyak rupiah untuk
proyek segera mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Hingga akhirnya
Mahkamah Agung memenangkan kubu perusahaan pengembang dengan dikeluarkannya
Keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24
Maret 2011. Keputusan tersebut membalikan keadaan dengan membatalkan putusan kasasi
dan mengizinkan royek reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk tetap dilanjutkan.
Dalam Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 dijelaskan bahwa
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan
Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta bertentangan dengan
Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Propinsi DKI
Jakarta. Mahkamah Agung menyatakan bahwa berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1995,
Menteri Negara Lingkungan Hidup tidak memiliki wewenang untuk membatalkan atau
menyatakan proyek reklamasi tidak boleh dilakukan. Hal tersebut dikarenakan fungsi Menteri
Negara Lingkungan Hidup hanyalah sebagai Anggota Tim Pengarah, yang bertugas
mengarahkan Badan Pengendali Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diketuai oleh Gubernur
DKI Jakarta.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menjelaskan bahwa dalam hal terdapat kelemahan
AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), maka yang berwenang menghentikan proyek
adalah Presiden RI melalui Peraturan Presiden bukan melalui Keputusan Menteri. Hal
tersebut dikarenakan proyek tersebut didasarkan pada dasar hukum Keputusan Presiden yakni
Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang secara tata urutan perundang-undangan
berada di atas Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000
tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 yang diputuskan pada tahun
2011 menandakan sekaligus mengukuhkan bahwa Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 tidak
bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan
peraturan menteri yang berlaku pada tahun 2011. Dengan demikian kewenangan memberikan
izin reklamasi pantai utara Jakarta tetap pada Gubernur DKI Jakarta.
Pada tanggal 10 Maret 2008 ditengah proses jalannya persidangan anatara Kementerian
Lingkungan Hidup dan perusahaan pengembang; Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional. Pada Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional Angka 20
tercantum bahwa DKI Jakarta termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Pada tanggal 12 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan


Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pasal-pasal pada Keppres No. 52 Tahun 1995
sepanjang yang terkait dengan penataan ruang dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Presiden
tersebut tidak menggugurkan Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 yang berisi kewenangan
Gubernur DKI Jakarta dalam memberikan izin reklamasi karena tidak terkait dengan
penataan ruang sebagaimana dikukuhkan pada Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12
PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011.
b. Periode 2012-2016
Pada tahun 2012 atau satu tahun pasca dikeluarkannya Amar Putusan Mahkamah Agung
Nomor 12 PK/TUN/2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 16
ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 menjelaskan bahwa menteri Kelautan
dan Perikanan diberi kewenangan dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas
provinsi, serta kegiatan reklmasi pada pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah pusat.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung memalui keterangan resminya sebagaimana terdapat
pada laman resmi Sekretaris Kabinet RI menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 122
Tahun 2012 tersebut secara jelas hanya mencantumkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
(KSNT) yang menjadi kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam hal izin
reklamasi. Dengan demikian reklamasi di pantai utara Jakarta masih tetap menjadi
kewenangan Pemerintah DKI Jakarta mengingat Jakarta tidak masuk dalam Kawasan
Strategis Nasional Tertentu (KSNT), melainkan masuk dalam Kawasan Strategis Nasional
(KSN) sebagaimana tercantum dalam Lampiran X poin 20 Peraturan Presiden Nomor 26
Tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Maret 2008.
Pada tanggal 12 Januari 2012, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengesahkan Perda DKI
Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Dalam Peraturan
Daerah tersebut dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan rencana tata kelola, rencana
pengembangan kawasan, dan lainnya. Menindaklanjuti Peraturan Daerah tersebut, Gubernur
DKI Jakarta pada tanggal 19 September 2012 mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Peraturan tersebut berisi tentang rencana penataan reklamasi yang di dalamnya terdapat

ketentuan-ketentuan seperti luas pulau, kapasitas penduduk pulau, alokasi pemanfaatan pulau
serta rancangan sistem air, listrik dan lainnya.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dari segi hukum, Pemerintah DKI Jakarta memiliki
kewenangan perizinan reklamasi pantai utara Jakarta yang konstitusional berdasar Pasal 4
Keppres No. 52 Tahun 1995. Kewenangan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta dapat
dicabut melalui Peraturan Presiden sebagaimana tercantum pada amar putusan Mahkamah
Agung Nomor 12 PK/TUN/2011.
Walaupun izin berada di Tangan Gubernur DKI Jakarta, tidak serta merta Gubernur dapat
mengeluarkan SK (Surat Keputusan) perizinan pembuatan pulau reklamasi. Ada banyak
syarat administrasi yang harus dipenuhi perusahaan pengembang diantaranya adalah AMDAL
(Analisis Dampak Lingkungan) sebagaimana terdapat pada beberapa peraturan perundangundangan
Teranyar, sejak pertama kali dilantik 19 November 2014, Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama atau Ahok telah menerbitkan sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan
reklamasi, masing-masing:
a. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian
Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada Pt Muara Wisesa Samudra terbit pada
tanggal 23 Desember 2014;
b. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian
Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo, terbit pada
tanggal 22 Oktober 2015;
c. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian
Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci, terbit pada
tanggal 22 Oktober 2015;
d. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian
Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk,
terbit pada tanggal 17 November 2015.
Keputusan ini kemudian dianggap syarat akan kekeliruan dan praktik korupsi. Pada saat
penerbitan surat Keputusan tersebut telah terbit UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah dengan UU Nomor 1 Tahun
2014 mensyaratkan adanya Penetapan Zonasi Wlayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
belum ditetapkan oleh pemerintah daerah. Penetapan zonasi ini kemudian menjadi salah satu
polemik karena ditemukan adanya kasus suap untuk melancarkan proses peraturan terkait
zonasi tersebut. Hingga izin pelaksanaan dikeluarkan penetapan zonasi belum disahkan oleh
DPRD

Selain itu yang janggal dari pemberian izin pelaksanaan Reklamasi Pulau F,I dan K
dengan Pulau G adalah memiliki dasar hukum yang berbeda serta keduanya tidak
mempertimbangkan adanya UU No 7 Tahun 2007 yang sudah berlaku pada saat itu sehingga
sudah tidak relevan untuk digunakan.
Berikut rincian mulai diterbitkannya UU No 27 Tahun 2007 :
1) 26 April 2007
Disahkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 6 ayat (5) UU No.
26 Tahun 2007 menyatakan Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri.
2) 17 Juli 2007
Disahkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil seperti telah diubah dalam UU No. 1 Tahun 2014.
3) 10 Maret 2008
Diterbirkan PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang di dalamnya mengatur dan menetapkan Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur
termasuk Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat) ke dalam
Kawasan Strategis Nasional.
4) 12 Agustus 2008
Disahkan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan JabodetabekPunjur dan di Pasal 72 menyatakan:
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini:
a) Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur;
b) Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan
Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri;
c) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara
Jakarta, sepanjang yang terkait dengan penataan ruang; dan
d) Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuk
Naga Tangerang, sepanjang yang terkait dengan penataan ruang,
dinyatakan tidak berlaku.
5) 24 Maret 2011
Keluar Putusan Peninjauan Kembali No.12 PK/TUN/2011 tentang Ketidaklayakan
Surat Keputusan Menteri No.14 tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana
Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta (Kepmen LH No. 14 Tahun
2003). Dengan demikian, Kepmen LH tersebut secara hukum tidak berlaku lagi.
6) 12 Januari 2012
Disahkan Perda DKI Jakarta No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
2030 yang kemudian mengubah pengaturan pulau-pulau reklamasi yang sebelumnya

diatur dalam Perda No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan
Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.
7) 21 September 2012
Terbit empat surat persetujuan prinsip reklamasi oleh Gubernur Fauzi Bowo, masingmasing:
a) Surat Gubernur No. 1290/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi
Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo;
b) Surat Gubernur No. 1291/-1.794.2 tetang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau
G atas nama PT Muara Wisesa Samudra;
c) Surat Gubernur No. 1292/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi
Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci;
d) Surat Gubernur No. 1295/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi
Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk.
8) 19 September 2012
Terbit Pergub DKI Jakarta No.121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan
Reklamasi Pantura Jakarta.
9) 10 Juni 2014
Terbit empat surat perpanjangan persetujuan prinsip reklamasi yang ditandatangani
oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang sempat
menjabat Plt. Gubernur dari 1 Juni 2014 hingga 23 Juli 2014, masing-masing:
a) Surat Gubernur No. 544/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip
Reklamasi Pulau F Kepada PT. Jakarta Propertindo;
b) Surat Gubernur No. 541/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip
Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci;
c) Surat Gubernur Nomor 540/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi
Pulau K kepada PT PEMBANGUNAN.
d) PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta
No. 542/-1.794.2 tentang Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi Pulau G yang
diterbitkan oleh Basuki Tjahaya Purnama;
10) 3 Juli 2013
Terbit Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan

Republik

Indonesia

No.17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan


Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Republik Indonesia No. 28/PERMEN-KP/2014.
11) 23 Desember 2014
Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT. Muara
Wisesa Samudra.
12) 2 Maret 2015

Pemprov DKI Jakarta mengajukan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Pantai Utara Jakarta. Menandai bahwa Raperda tersebut merupakan usulan insiatif
Pemerintah Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
13) 15 September 2015
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mengajukan gugatan terhadap Izin Pelaksanaan
Reklamasi Pulau G.
14) 22 Oktober 2015
Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F dan Pulau I.
15) 17 November 2015
Gubernur Ahok menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K.
16) 21 Januari 2016
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta kembali mengajukan gugatan terhadap 3 Izin
Pelaksanaan Reklamasi Pulau F, I dan K.
17) 25 Februari 2016
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melakukan aksi penolakan terhadap Ranperda
Zonasi Pesisir yang akan disahkan oleh Rapat Paripurna DPRD Jakarta. Namun
tertunda karena tidak mencapai kuorum.
18) 1 Maret 2016
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melakukan aksi penolakan terhadap Ranperda
Zonasi Pesisir yang akan disahkan oleh Rapat Paripurna DPRD Jakarta. Namun
tertunda karena tidak mencapai kuorum.
19) 17 Maret 2016
Rapat paripurna pengesahan Ranperda Zonasi Pesisir kembali ditunda karena tidak
mencapai kuorum.
20) 31 Maret 2016
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap M.Sanusi (angoota DPRD DKI
Jakarta) disusul penetapan tersangka terhadap Presiden Direktur Agung Podomoro
Land selaku holding grup PT.Muara Wisesa pemegang Izin Reklamasi Pulau G.
6. Kapan terjadi
Proses perizinan Reklamasi telah dimulai sejak diberlakukannya Keputusan Presiden
Nomor 5 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara di Jakarta yang prosesnya berlangsung
hingga sekarang
7. Kebijakan dan Regulasinya
1) Undang-Undang No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
2) Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.

3) Tahun 1995 diterbitkan Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai


Utara Jakarta
4) Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta
5) SK Gubernur KDKI Jakarta No 1090 Tahun 1996 Organisasi Dan Tata Kerja
Badan Pengendali Reklamasi Pantura Jakarta
6) Kepmeneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.
KEP.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai
Utara Jakarta
7) SK. Gubernur KDKI Jakarta No. 220 Tahun 1998 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta (jo. SK. Gub. No. 972
Tahun 1995.
8) Perda No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta
9) SK. Gubenur KDKI Jakarta No. 138 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta
10) Perpres Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur
11) Persetujuan KLHS Teluk Jakarta oleh Kementerian LH (Disepakati oleh 3
provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten)
12) Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030
13) Peraturan Gubernur Nomor 121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan
Reklamasi Pantura Jakarta
Beberapa persoalan tersebut harusnya dikaitkan dengan UU No 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan diantaranya pada pasal 52 ayat (1) dimana syarat suatu keputusan
adalah :
a. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
b. Dibuat sesuai prosedur
c. Substansi yang sesuai dengan objek keputusan.
Sahnya keputusan tersebut didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan
Azas Umum Pemerintahan yang Baik. Setiap keputusan harus diberi alasan pertimbangan
yuridis, sosiologis dan filosofis yang menjadi dasar penetapan keputusan. Pada pasal 56
dinyatakan bahwa keputusan yang tidak memnuhi persyaratan merupakan keputusan yang
tidak sah, keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

Anda mungkin juga menyukai