Anda di halaman 1dari 10

Perkembangan Bentang Alam Karst Hasil Kerja Endogen Yang Dinamis Di

Gunungsewu, Pulau Jawa

Muzani Jalaludin1, Quinnanita Sharendra Nugraha2


Fakultas Ilmu Sosial
1)

Program Studi Ilmu Geografi Universitas Negeri Jakarta


2)

quinnanitasharendra@gmail.com

Abstrak
Karst Sewu atau Karst yang ada di kawasan Gunungsewu, dikenal dengan morfologi
dataran karbonat yang didominasi oleh perbukitan. Morfologi tersebut berkembang di
lingkungan tropis yang lembab, akibat pelarutan dan denudasi yang cepat. Selain itu, bukit-
bukit tersebut berbentuk sinoid hingga kerucut. Perairan permukaan tidak berarti
dibandingkan dengan aliran air bawah permukaan. Bagian saluran yang ditinggalkan
penataan dan tata ruang perbukitan karst yang telah ditemukan serasi dengan pola
perkembangan yang secara turunan berasosiasi dengan orientasi kompresi regional Pulau
Jawa. Citra bentang alam gunungsewu yang diperoleh melalui berbagai bentuk permukaan
bumi yang sebelumnya tidak di kenali. Morfologi bentuk pola cincin, multi cincin, spiral,
polygonal,dan linier panjang. Arah pegunungan sejajar panjang terlihat berubah secara
berproses dari yang dekat pantai hingga yang terletak di4. Punggungan linier ini di artikan
sebagai blok pengendapan, kemungkinan besar mewakili wilayah pemutus. Bagian depan
punggungan sejajar adalah pengendapan termuda, terletak paling dekat dengan garis pantai,
sejajar dengan pemogokan geologi Pulau Jawa. Ke arah interior pulau, blok pengendapan
sejajar menyimpang dalam arah sebanyak 40o hal ini diartikan sebagai hasil dari perputaran
berlawanan arah jarum jam dari lempeng mikro Gunungsewu sejak akhir Miosen tengah.
Perputaran CCW serupa ditunjukkan oleh arah paleomagnetik batuan beku yang berada lebih
jauh ke timur dari selatan pulau. Tektonik aktif dinyatakan dalam pengangkatan bersih
Gunungsewu secara berskala sedangkan kemiringan regional tampaknya dapat diabaikan.
Pengangkatan muncul dalam bentuk Lazy-V atau terkadang berupa bentuk takik bertumpuk.
Iklinasi regional pada permukaan abrasi di pantai klayar , mengungkapkan kemiringan tanah
kearah utara dengan beberapa derajat sehingga memengaruhi bentuk takik pada karst
tersebut.
Kata kunci: Karst Gunungsewu, Bentang alam sederhana hinga majemuk, garisan pemecah
ombak purba, tektonik aktif.
PENDAHULUAN

Beragam bentang alam dapat kita jumpai di negeri ini, salah satunya Bentang Alam
Karst yang mencakup kurang lebih satu perlima luas dari total wilayah Indonesia. Memiliki
ciri khas yang unik dan menarik. Karst merupakan wilyah dengan batuan yang mudah larut
dan berasal dari sisa sisa organisme yang hidup di laut jutaan tahun yang lalu. Proses
pelarutan ini bisa disebut juga dengan karstifikasi (Jaringan Advokasi Tambang, 2017)

Di Indonesia terdapat beberapa persebaran lahan karst yang cukup luas, antara lain
Pulau Sumatera (sepanjang Bukit Barisan) dengan luas 8.806,45 km 2 atau 5,71% dari total
keseluruhan persebaran karst yang ada di Indonesia, kemudian ada Pulau Kalimantan
(kawasan karst Sangkulirang Mangkalihat) dengan luas 55.181,77 km2 atau 35,83% dari total
keseluruhan persebaran karst yang ada di Indonesia, Pulau Jawa (kawasan Pegunungansewu)
dengan luas 5.292,9 km2 atau 3,43% dari total keseluruhan karst yang ada di Indonesia, Pulau
Sulawesi (kawasan karst Pangkep Maros) dengan luas 22.991,28 km2 atau 15% dari total
keseluruhan karst yang ada di Indonesia. Dan Pulau Papua (kawasan karst cartenz) dengan
luas 37.230,29 km2 atau 24,17% dari total keseluruhan karst yang ada di Indonesia (Jaringan
Advokasi Tambang, 2017)

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dimana hasil
penelitian di dasari pada pengumpulan data lewat literature resmi dan melakukan kategorisasi
data yang paling relevan dengan topic penelitian ini.

PEMBAHASAN

Morfologi karst di Gunungsewu dibatasi oleh Sungai Opak di Barat dan Sungai
Grindulu di Timur. Gunungsewu berasal dari kata “sewu” diambil dari bahasa jawa yang
artinya seribu. Memiliki bentuk yang khas seperti tempurung kelapa dan berjejer panjang,
serta memiliki ketinggian yang nyaris serupa. Dimana di daerah bagian Selatan puncaknya
ditaksir ketinggiannya antara 30-80 m dan semakin ke pedalaman semakin meningkat
ketinggiannya menjadi 350-400 meter di atas permukaan laut. Pegunungan karst
Gunungsewu ini mengalami penyusutan lebih cepat sehingga menghasilkan banyak blok
perbukitan karst (Flathe dan Pfeifer (1965).

Morfologi Gunungsewu tidak dapat dikatakan sebagai karst kerucut, karena morfologi
karst didominasi oleh bentuk cembung (tempurung kelapa). Didaerah tropis, wilayah
karbonat terlihat terdegradasi secara morfologis lebih cepat sehingga menghasilkan banyak
kompleks perbukitan seperti Perbukitan Cokelat Bohol, Filipina, Perbukitan Pepino di
Puertorico, dan perbukitan karst di Kepulauan Seribu. Pegunungan selatan Pulau Jawa
(Karangbolong-Gunungsewu-Nusa Barung. Tidak dibenarkan pernyataan bahwa morfologi
karst sewu berbentuk kerucut atau kegelkarst. Hasil dari diferensiasi jarak perkembangan
horizontal pada periode batu gamping. Jarak perkembangan menurun ke atas (Tija,1969).

Berdasarkan peta STRM (Shuttle Radar Thematic Mapper), karst Sewu berada
sebagian besar di daerah selatan Gunungkidul. Cekungan besar Wonosari dan Baturetno, dan
menahan Waduk Gajahmungkur. Karst Sewu tersusun dari formasi Wonosari Punung
berumur Miosen Tengah sampai Pliosen (Tija, 2013)

Perkembangan morfologi karst di Pantai Selatan Jawa sangat erat hubungannya dengan
perkembangan tektonik termasuk patahan (lehmann, 1936 dan Escher, 1951), yang mana
patern ruangnya menunjukkan hubungan turunan dengan arah tekanan geologi regional ( Tija,
1962).

Perkembangan Bentang Alam Karst Hasil Kerja Endogen Yang Dinamis (Morfo-
Struktural)

Orientasi dan persebaran pegunungan memanjang ini dapat berkelompok dan


membentuk bentangan sabuk yang nyata. Sabuk pegunungan yang memanjang ini memiliki
potensi besar untuk menentukan zona pergerakan tektonik. Proses perubahan ini diartikan
dengan perputaran berlawanan arah jarum jam dari bentangan pegunungan selatan selama
sedimentasi progradasional formasi Wonosari-Punung pada Miosen tengah hingga Pliosen
awal. Ngkoimani (2005) menghitung arah paleomagnetik andesit Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Hasil perhitungan tersebut memperoleh informasi bahwasannya pada masa 11 Ma dan
6,7 Ma (Miosen Tengah hingga Akhir), wilayah pulau tersebut sudah berputar berlawanan
orientasi jarum jam sebesar 8o sampai 10o sambil bergerak ke arah utara. Ngkoimani dan
kawan kawan (2006) juga menyertakan data posisi pegunungan selatan Pulau Jawa (termasuk
kawasan Gunungsewu) dari Campanian – Lutetian (75 hingga 47 Ma). Menurut data, dataran
Gunungsewu berada di sekitar 11o lebih jauh ke selatan dengan tujuan arah BaratLaut, atau
40o sampai 50o dari Barat Laut.

Zona sesar Parangtritis

Lereng curam setinggi 400-500 m di atas permukaan laut membentuk sisi barat
Gunungsewu menunjukkan batuan vulkanikklastik oligo-miosen dan batuan vulkanik formasi
Semilir-Nglanggran-Sambipitu dibawah batu gamping Wonosari-Punung (Rahardjo dan
kawan kawan, 1995). Ini adalah hasil patahan diwilayah sesar Opak ke Timur laut.
Kemungkinan kekeliruan pada ujung Parangtritis hanya berapa derajat ke Timur dari
meridian. Bentangan ini disebut sebagai zona Sesar Parangtritis (PFZ).

Turun Ke atas

Kesalahan besar
190 m 285 m

PEDISayaPLASayaDI YOGYAKARTA-- G.. SEWU


MERAPSayaSaya

225 m
175m

140 m 170 m

Parangtritis
Zona intertidal Pasir poligonal
punggung bukit
bentuk lahan

135 m

Jalur IBreaker

SAMUDERA HINDIA

Lateral kiri

Gambar 1. Zona Sesar Parangtritis

Sisi patahan PFZ menggambarkan indikasi lateral kiri bagian barat yang lain.
Rangkaian patahan besar muncul membentuk bentangan lurus yang mencolok dan sejajar
dengan poros pulau jawa (Tija, 2013)
Tektonik aktif

Lantai Aliran

Lantai aliran kali baksoka yang terproyeksikan dengan baik dan disepanjang Bengawan
Solo sangat penting dalam memperkirakan usia paleo-antropologis. Temuan di wilayah itu
dilakukan oleh Sartono (1964). Lantai bersusun telah dianggap sebagai penanda pergerakan
tanah vertikal secara geologis.

T2

T2

T2
T2

T3
T2
T2
T3 Punggung bukit

T3
T1
T1

T2
Cincin

Patah?

Gambar 2. Tiga kelompok lantai aliran (lantai sungai)

Gambar tersebut menjelaskan morfologi sungai sepanjang jalur tengah sungai Oyo di
dalam Gunungsewu. Sebagian besar dari gambar tersebut mencakup batu gamping Wonosari,
Klastik Formasi Sambipitu berada di barat laut dan dibagian tengah atas dari gambar tersebut.
Pergerakan lapisan vertikal terlihat jelas dari bentuk kelok kelok yang tertorehkan. Sungai
tersebut termasuk cabang cabang sungainya yang menggambarkan asal dari permukaan tanah
yang datar. Ada tiga plot lantai sungai. T1, T2, dan T3 terdiri dari permukaan lantai 45-60 m,
sekitar 105 m, dan 120-130 m diatas daratan. Sepanjang cekungan (lembah) Sadeng yang
kering, (Samodra, 2007) mengklasifikasikan tiga set lantai sungai pada 20-80 m, 60-100 m,
dan 100-140 m. kelompok lantai bawah bisa ditutupi oleh tanah yang ketebalannya bisa
mencapai 10 m. kelompok lantai sungai sedang yang lain di tutupi oleh terra rossa.
Lantai Pesisir

Pada beberapa pantai Gunungsewu yang terbatas, diketahui bahwa ekuivalen pantai
dari tingkat lantai cekungan (lembah) Sadeng yang lebih rendah dapat diklasifikasi lagi.
Terdapat lantai pesisir di sekitar 2 m, 6 m, 15-20 m, sekitar 40 m, dan akhirnya sekitar 80 m.
tingkat yang lebih tinggi belum dapat dipastikan di pantai Gunungsewu. Di Pantai Klayar,
abrasi bebas vegetasi. 1,5 sampai 2 m, diatas air pasang dimiringkan ke arah darat dengan
kemiringan kurang dari 5o sedangkan Wonosari lahan abrasi yang memotong dan
menenggelamkan kearah laut pada 6o hingga 8o (Tija,2013)

Gambar 3. Abrasi yang memotong lapisan Oyo

Kemiringan lahan ke darat membuat kemiringan kontra-regional yang baru setidaknya


4o. di sisi timur Teluk Pacitan ditemukan lima lantai utama seperti berikut.

Gambar 4. Lantai utama di sisi timur Teluk Pacitan


Wilayah puncak pada gunung berdasarkan gambar diatas merupakan sisa peninggalan
dari lantai ke enam. Lantai 1, perwakilan bawah, adalah permukaan abrasi yang belum lama
ini terangkat dari vegetasi yang tandus. Lantai ini dan lantai kedua lebih tinggi dari
permukaan yang rata. Lantai ketiga lebih tinggi dan miring 4o sampai 5o berorientasi ke
selatan. Gambar tersebut menunjukkan bahwasannya teras ketiga dihasilkan dari
pengangkatan vertikal spasmodic dan kemudian mengalami kemiringan ke arah selatan,
sebelum adanya pergerakan vertikal pada tanah (Tija, 2013)

Takik Permukaan Laut

Lebih dari 50 tahun mempelajari studi pesisir, diyakini oleh Tija bahwa bentuk takik
permukaan laut adalah penanda langsung dari kondisi tektonik. Pertama, inti takik sesuai
dengan permukaan laut . Kedua, tinggi takik merupakan penanda dari tinggi gelombng dan
kisaran pasang surut yang berlaku seperti yang dimiliki Verstappen (1960). Ketiga, dua
bentuk takik dasar adalah “Lazy V” (menyerupai huruf v yang terlentang) dan “Fishhook”
(gambar 3), yang yang masing masing terhubung dengan pantai yang naik secara aktif dan
pantai yang stabil secara tektonik. Perbandingan takik dibanyak pantai inti Sundalandia yang
sama stabilnya secara tektonik ( Bangka, Belitung, Semenanjung Malaysia) dengan pantai
pantai yang diketahui aktivitas tektoniknya (Sulawesi bagian timur, Kepulauan Tukangbesi,
Kepulauan Laut Banda, Nusa Tenggara, Sabah-Malaysia Timur, dan Gunungsewu) telah
membuktikan bahwasannya tebing batu gamping dipesisir Gunungsewu bagian tengah dan
timur mempunyai takik Lazy-V (Tija, 2013).
Gambar 5. Lekukan Lazy-V pada tebing di pantai Baron yang menjadi ciri khas seluruh
pantai Gunungsewu.

Namun, belahan takik terdalam tetap pada meter 1,5 m di atas air pasang. Di Teluk
Baron dan Sadeng, level abrasi bangku dikaki takik pun berada diata dasar gelombang. Takik
permukaan laut rata rata saat ini belum bertumbuh. Posisi tinggi dari belahan takik terdalam
dan tidak adanya takik yang sesuai dengan keadaan pasang surut diartikan bahwa
pengangkatan vertikal, diperkirakan lebih dari 2 meter (Tija, 2013).

KESIMPULAN

Disisi lain, morfologi karst merupakan pembuktian sinoid (cembung), lembah kering
aliran sungai bawah permukan, gua, dan sinkhole, karst Gunungsewu juga membentuk pola
sederhana berupa pegunungan sejajar panjang, berliku liku, berpasangan, lingkaran, oval, dan
polygon bersarang. Bentang alam melingkar dan multi cincin adalah umum, tetapi tidak
semua dapat dihubungkan dengan atoll. Fakta bahwa terumbu karang hanya mewakili
sebagian kecil dari karst Gunungsewu, yang dominan tersusun dari batuan sedimen berkapur
lapis. Topografi pra-karbonat yang berasal dari puncak bukit diperkirakan sangat
berpengaruh dalam membentuk pola pengendapan karbonat, terumbu, dan klastik berkapur.
Pegunungan sejajar yang panjang diartikan sebagai wilayah pemecah paleo yang ditinggikan.
Punggungan sejajar yang paling dekat dengan laut dan garis pantai pada dasarnya parallel.
Semakin menuju pealaman, arah mereka semakin menyimpang dari garis pantai untuk
mencapai sudut hingga 40o arah yang menyimpang mungkin berkaitan dengan perputaran
CCW progresif dari terran Gunungsewu ketika berpindah ke Utara dari posisi Miosen Tengah
pada 10o sampai 11o seperti yang disarankan oleh data paleomagnetik. Pergerakan tanah
vertikal terran Gunungsewu telah terjadi secara berkala dan sudah menghasilkan tiga
klasifikasi besar terasering sungai. Perwakilan dari lantai lantai ini tersebar di sepanjang
Lembah Sadeng yang kering, Kali Baksoka, dan sungai Oyo. Lembah sungai yang
dikategorikan “liku bebas” di sepanjang Sungai Oyo juga konsisten dengan pengangkatan
tanah. Lantai pesisir yang melapisi sisi timur Teluk Pacitan menunjukkan masa pengangkatan
tanah yang lebih tua di padukan dengan kemiringan sedikit ke arah laut. Lantai pesisir ini
yang lebih rendah dan muda hanya menunjukkan pengangkatan vertikal. Secara lokal,
layaknya di Pantai Klayar, lantai abrasi, 1 hingga 1,5 m diatas permukaan air pasangdengen
kemiringan 4o ke darat. Kemiringan kontra- regional berasal dari tektonik yang sangat baru.
Sementara Lazy-V bentuk takik ditebing kapur Gunungsewu ditaksir mengingat lokasina di
busur Pulau Jawa yang aktif secara tektonik, belahan takik terdalam tetap hingga 1,5 m di
atas permukaan air pasang, yang menyebabkan pengangkatan tanah dalam waktu historis 2 o
sampai 5o.

DAFTAR PUSTAKA

Escher, BG 1951. Grondslagen der Algemene Geologie. Wereldbibliotheek, Amsterdam:


Angka 294, 295, 298,
299, dan 300.
Flathe, H. dan Pfeiffer, D., 1965. Grundzuege der Geomor- pholgie, Geologie und
Hydrogeologie im Karstgebiet Gunung Sewu (Jawa, Indonesien). Geologisches
Jahrbuch
, B.83, hal.533-562.
Grund, A., 1914. Der geographisches Zyklus im Karst. Ge-
sellschaft fuer Erdkunde, B.52, hal.621-624.
Hartono, G. dan Bronto, S., 2007. Asal-usul Pembentukan Gunung Batur di daerah
Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Geologi Indonesia, 7(3), hal.143-158.
Haryono, E. dan Day, M., 2004. Diferensiasi bentuk lahan dalam kegelkarst Gunung
Sewu, Jawa, Indonesia. Jurnal Kajian Gua dan Karst, 66 (2), hal.62-69.
Lehmann, H., 1936. Morphologische Studien auf Java.
Geographische Abandlungen, Seri 3(9), hal.1-141.
Ngkoimani, LO, 2005. Magnetisasi batuan andesit Jawa dan implikasinya terhadap
paleomagnetisasi dan evolusi tektonik; abstrak. KumpulanAbstrak DisertasiS3,
Institut Teknologi Bandung, Internet.
Ngkoimani, LO, Bijaksana, S., dan Abdullah, CI, 2006. Kendala magnetik dan geo-
kronologis pada evolusi tektonik Kapur-Miosen Jawa. Prosiding, Konferensi dan
Pameran Geosains Internasional, Jakarta, 14-16 Agustus, 06-SOT-11, 4pp.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, HMD, 1995.
Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1: 100
000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Samodra, H., 2007. Korelasi Antara Morfogenesis dan Perkembangan Lembah
Sadeng Dengan Pola Arah Struktur Geologi Akibat Tektonik di Kawasan Kars
Gunung Sewu, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Universitas Padjadjaran (Bandung), Tesis S-2, 178pp.
Samodra, H., Gafoer, S., dan Tjokrosapoetro, S., 1992.peta Geologi Lembar Pacitan, Jawa,
skala 1: 100 000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sartono, S., 1964. Stratigrafi dan Sedimentasi
paling timur Gunung Sewu (Jawa Timur). Publikasi Teknik Seri Geologi Umum 1,
Direktorat Geologi, Bandung.
Surono, B., Toha, dan Sudarno, I., 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa, skala 1 : 100 000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Tjia, HD, 1962. Kelurusan Topografi di Nusa Barung, Jawa Timur. Institut Teknologi
Bandung.Prosiding, 2 (2), hal.89-98.
Tjia, HD, 1969. Pengembangan lereng di karst tropis.
Zeitschrift fuer Geomorfologi, 13 (3), hal.260-266.
Tjia, HD dan Samodra, H., 2011. Deformasi kerak aktif tion di pantai Gunung Sewu,
Jawa. Prosiding, Konferensi Karst Trans-Disiplin Asia, hal.17-21.
Tjia, HD, dan Mastura, SSA, 2013. Perubahan Permukaan Laut di Semenanjung
Malaysia: Sebuah Catatan Geologi.
Universiti Kebangsaan Malaysia Penerbit, Bangi, Malaysia, 150 hal.
Verstappen, H. Th., 1960. Tentang geomorfologi timbul
terumbu karang dan signifikansi tektoniknya. Zeitschrift fuer Geomorfologi, B. 4 (1),
hal.1-28.

Anda mungkin juga menyukai