Fiqih Munakahat
PASIR PANGARAIAN
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur pemakalah haturkan ke hadirat Allah S.W.T. atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan dengan dosesn pengampu Bapak:
Diflizar, SHI. M.A dengan sebaik-baiknya, meskipun masih jauh dari kata
kesempurnaan. Shalawat beserta salam pemakalah sanjung tinggikan kepada
Rasulullah S.A.W.
Dalam menyelesaikan makalah ini pemakalah berusaha untuk melakukan
yang terbaik. Tetapi pemakalah menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu pemakalah mengharapkan
kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah pemakalah yang
akan datang.
Dengan terselesaikannya makalah ini, pemakalah mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang
telah memberikan dorongan, semangat dan masukan.
Semoga apa yang pemakalah tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan masyarakat pada umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Amin.
Pemakalah
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................. I
Daftar Isi........ ........................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali
dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau
penolong.Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang
yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak
yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan
pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin
pria).Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka
tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali
dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah.Nikah
yang tanpa wali adalah tidak sah.Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu
hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Seorang wali dalam suatu akad
6
nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali
(dari pihak perempuan).
1. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk
muslim.
2. Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang
gila tidak berhak menjadi wali.
3. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun
menikahkan dirinya sendiri. Apabila
7
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn
Hanbal).
8
b) Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c) Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d) Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e) Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f) Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g) Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h) Anak paman seayah,
i) Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
2.Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak
sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab
apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat
dengan dia tidak ada.
c. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh
perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g. Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh
Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3.Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-
istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa
diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,
luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam
dan laki-laki.
9
4. Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk
sebagai wali nikahnya seseorang permpuan, karena orang tersebut pernah
memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini diIndonesia tidak terjadi.
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri
sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi
berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits:
ي َعدْل
ْ ًَ ِِ َو شَا ِهد َ َلَ نِكَا َح إِل
ّ بى ِل
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi
yang adil’. Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi
dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan
yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam
pernikahan.Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai
syarat sah nikah.Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya
informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa
ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan
difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus
melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad,
namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami
mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada
kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian.Meski
demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan
10
mereka terhadap hadis tersebut.Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah,
yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu
mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang
pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah,
sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena
itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak
hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak
sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan
sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
istri, jaksa dan suami atau istri”.
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak
yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1) Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama.
Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus,
seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2) Baligh
11
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis
(menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan
itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua
syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3) Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
4) Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan
calon pengantin laki-laki.
5) Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah.Demikian
pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6) Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang
wanita saja dapat diterima. Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya
mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7) Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat
lahiriyahnya saja.Demikian pendapat para jumhur ulama.Selain hanafiyah.
8) Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat.Sedangkan
jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat
mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon
pengantin laki-laki.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu.Saksi menjadi syarat sah
akad nikah.
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
http://khalkulbahri.blogspot.co.id/2013/10/makalah-fiqh-munakahat-wali-dan-
saksi.html di akses pada tanggal 08 Agustus 2017
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/hukum-islam-pengertian-wali-
nikah-dan.html di akses pada tanggal 08 Agustus 2017
15