Anda di halaman 1dari 13

LITERASI DIGITAL BAGI GENERASI DIGITAL NATIVES

Riana Mardina
Pustakawan Universitas Kristen Krida Wacana
riana@ukrida.ac.id

ABSTRAK

Saat ini kemajuan teknologi digitalmempengaruhi kehidupan manusia. Tingginya penggunaan internet berbanding lurus dengan
kepemilikan seseorang akan perangkat gadget. Generasi digital natives disebut the native gadget, artinya lebih banyak menggunakan
gadget untuk beraktivitas dalam kehidupannya, dengan munculnya lingkungan berbasis digital. Penggunaan media sosial menanjak
tajam seiring era keterbukaan informasi. Perpustakaan sebagai sumber pengetahuan memiliki peran penting dalam mendidik para
pengguna perpustakaan untuk memanfaatkan informasi digital baik dalam pembelajaran maupun memberi dampak pada kehidupan di
masyarkat. Pengembangan materi literasi informasi bersifat multi literacies, yang meliputi literasi-literasi seperti: teknologi digital,
informasi, multi media, visual (gambar), audio , berpikir kritis, serta pemahaman terhadap isu etika, moral, hukum, sosial, budaya yang
melingkupi lingkungan digital tersebut, serta cara berpartisipasi dalam komunitas online secara santun dan bertanggung jawab. Budaya
literasi tradisional seperti menulis, membaca dan mendengar masih diperlukan generasi digital natives untuk meningkatkan
keterampilan literasi digital.
Kata kunci: literasi digital, literasi informasi, partisipasi, teknologi digital, media sosial, digital natives

1
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini banyak mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan manusia. Penggunaan internet di Indonesia selalu meningkat setiap tahun. Organisasi
nirlaba yaitu Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyatakan hasil survei yang dilakukan
organisasi tersebut, bahwa pengguna internet Indonesia mencapai 51, 8% (132,7 juta orang) dari
256,2 juta orang penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia mengakses internet lebih banyak melalui
perangkat gadget sebesar 47, 6 %, dengan tingkat kepuasan pada skala ‘sangat puas’ sebesar 71,1%
mengakses internet melalui perangkat mobile, serta 25,3 % alasan utama terbesar mengakses internet
adalah up date informasi (APJII, 2016). Tingginya kepemilikan perangkat gadget and kemudahan
mengakses internet, menjadi salah satu petunjuk, perangkat mobile mudah dijangkau dan diperoleh
dengan harga murah.
Pada sisi lain aktivitas kehidupan, penggunaan media sosial juga menanjak tajam seiring
mudahnya era keterbukaan. Media sosial menjadi ‘kawan akrab’ bagi penggunanya. Berdasarkan
hasil survei APJII 2016, bahwa 97, 5 % berbagi informasi menjadi aktivitas tertinggi dalam media
sosial. Beberapa tahun terakhir ini, dampak negatif media sosial menjadi tak terkendali, ketika
informasi dibagikan atau diciptakan hanya sekedar menaikkan ‘status’ pengirim informasi. Aktivitas
berbagi informasi lebih banyak menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan di masyarakat. Saat
ini berbagi informasi dengan cepat tanpa perlu menyaring benar tidaknya informasi tersebut sudah
menjadi aktivitas sosial. Etika atau prinsip penggunaan media sosial menjadi terabaikan, karena tren
‘siapa cepat menyebarkan informasi’, akan menaikkan rangking atau citra diri bagi penyebar
informasi. Banyak orang menjadi antusias untuk berbagi informasi tanpu melakukan pengecekan
kembali terhadap informasi tersebut. Penyebaran berita bohong atau ‘hoax’ menjadi letupan besar,
bila tidak dikendalikan dengan bijak, maka akan memberi ledakan dalam kehidupan sosial.
Data APJII 2016 juga menyatakan pengguna internet Indonesia tertinggi sebesar 89, 7 % pada
kelompok mahasiswa. Jika dilihat dari rentang usia, kelompok mahasiswa merupakan bagian dari
sivitas akademika perguruan tinggi. Perpustakaan sebagai sumber pengetahuan (resources center)
memiliki peran untuk memdayagunakan para pengguna perpustakaan, khusus mahasiswa dalam
mengakses sumber pengetahuan tersebut. Tidak sekedar memanfaatkan sumber pengetahuan, tetapi
menggunakannya, serta berujung pada hasil sebuah pengetahuan baru tercipta. Berbagai program
kegiatan pendidikan pemakai seharusnya bisa mendidik pengguna untuk menggunakan informasi
dengan bijak. Melalui program-program literasi informasi, diharapkan pengguna perpustakaan
memiliki kemampuan memilah informasi, khusunya mengkritisi informasi sebelum dibagikan kepada
orang. Pemahaman literasi informasi saja belum cukup, khususnya dalam lingkungan digital seperti
ini, tetapi perlu pengayaan lebih lanjut pada perangkat teknologi digital dengan keragaman format,

2
misalnya informasi berbasis teks, audio, film, atau kombinasi diantara ketiga media maupun dengan
media lainnya (seperti virtual reality, augmented, dan lainnya). Pemahaman penggunaan maupun
dampak yang timbul dari kesalahan penggunaan perangkat teknologi komunikasi dan informasi
menjadi sangat penting, karena kelompok kaum muda, khususnya mahasiswa menjadi konsumen
tertinggi dalam mengakses internet. Pustakawan perlu kreatif mengelola pendidikan literasi informasi
dengan mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, dan menyesuaikan materi
literasi informasi sesuai generasi manusia yang menjadi pengguna perpustakaan. Pentingnya
pemahaman literasi digital, maupun kolaborasi dengan literasi informasi atau literasi lainnya menjadi
nilai tambah untuk pengembangan kegiatan literasi informasi berikutnya

GENERASI DIGITAL NATIVES


Hasugian (2011) membagi generasi manusia dalam 6 kategori, pertama, disebut dengan ‘the
Greatest Generation’ yaitu generasi yang lahir pada masa perang dunia II (1901-1924); kedua
diartikan sebagai the Silent Generation yang lahir pada rentang tahun 1925-1942; ketiga, generasi
the Baby Boomers yang lahir pada rentang tahun 1943-1960; keempat, disebut sebagai Generasi X,
yaitu generasi yang lahir pada periode 1961-1981; kelima, generasi Millennial dengan rentang lahir
pada tahun 1982-2002; keenam, generasi digital natives atau disebut dengan istilah generasi Z atau
Internet Generation, adalah generasi manusia yang lahir dari tahun 1994 sampai tahun sekarang.
Menurut Prensky (2001), salah satu penggagas teori generasi digital natives, menyebutkan
karakteristik digital natives, adalah generasi yang lahir pada era 1980 dan sesudahnya, yaitu generasi
yang lahir pada lingkungan teknologi digital. Selanjutnya, generasi digital natives, sebagai generasi
dengan aktivitas yang melekat pada penggunaan komputer, dan mengganggap teknologi digital
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Karakteristik lainnya generasi ini sangat
menikmati permainan (games online), serta adanya kebutuhan, keinginan untuk selalu terhubung
dengan internet setiap saat, menciptakan konten-konten dan membagikannya kepada orang lain,
kemudian, sangat aktif dalam dalam media sosial.
Ku & Soulier (2009); Gaith (2010) mengartikan generasi digital natives dengan karakteristik
sebagai berikut: menikmati aktivitas dalam lingkungan yang serba online, misalnya lebih sering
menciptakan hubungan pertemanan secara online; sesegera mungkin mendapatkan informasi,
berkolaborasi secara berjejaring, mencari informasi secara acak, karena itu lebih menyukai informasi
berbasis hypertext. Cara mendapat informasi, jika memungkinkan informasi diperoleh secara instan.
Dalam melakukan aktivitas, cenderung bekerja dengan multitasking atau secara pararel dalam kurun
waktu bersamaan; lebih suka memproses informasi visual secara dinamis, menikmati informasi

3
berbentuk gambar interaktif, khususnya ‘games’ yang interaktif. Disamping itu pula keinginan agar
pendapat mereka dihargai oleh orang lain.
Generasi digital natives disebut juga sebagai sebagai the native gadget yang lahir pada abad
digital (Brynko, 2009; Prensky, 2001), artinya lebih banyak menggunakan gadget untuk beraktivitas
dalam kesehariaan.
Penggunaan teknologi informasi tidak hanya berdampak pada aktivitas sosial, tetapi pengaruh
teknologi pada generasi digital natives dapat dilihat juga terhadap gaya belajarnya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Ghaith (2010), gaya belajar generasi digital natives, dengan ciri-
ciri: cara belajar dengan cepat, memproses informasi secara cepat, walaupun pada akhirnya tidak bisa
berkonsentrasi dengan baik, karena mencari informasi serba cepat dalam waktu singkat.
Kecenderungan generasi digital natives yang serba cepat dan instan menjadikan mereka lebih
memilih melakukan browsing informasi, tanpa mau berlama-lama membaca informasi dengan
lengkap (Law, 2009). Aktivitas browsing dan reading informasi (Gilster, 1997) memiliki perbedaan
terutama pada pengalama yang diperoleh dari aktivitas tersebut. Seseorang mendapatkan informasi
dari buku, memiliki experience berbeda ketika pengguna membaca buku dengan melakukan
browsing informasi di internet. Kegiatan browsing bersifat dinamis, artinya jika mengakses suatu
situs informasi yang ditampilkan di internet hari ini akan berbeda konten dalam hari berikutnya.
Pengalaman membaca buku bersifat statik, artinya kebaruan konten buku tidak secepat kebaruan
informasi dalam sebuah situs. Disamping itu, pembaca tidak akan kehilangan makna buku tersebut,
meskipun sudah dicetak berkali-kali atau berganti edisi.
Berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan generasi digital natives merupakan generasi
yang dilingkupi dengan lingkungan berbasis teknologi, bekerja dengan cara multitasking, berjejaring
dengan banyak orang, menyukai suatu permainan yang interaktif, akses informasi secara acak, ingin
segera mendapatkan informasi secara instan, cepat, tanpa harus membaca informas secara detail,
pilihan rujukan informasi dominan pada sumber-sumber yang tersedia online, dibanding sumber
informasi yang disediakan perpustakaan. Perilaku orang dalam mengadopsi teknologi dipengaruhi
dari adanya teknologi yang muncul di setiap generasi yang berbeda.

LITERASI INFORMASI
Menurut World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016, budaya literasi Indonesia berada
di posisi ke-60 dari 61 negara. Data ini menunjukkan bahwa literasi Indonesia sangat rendah.
Menurut Kajian Perpustakaan Nasional (A’La, 2017) yang dimuat dalam Harian Kompas, bahwa
minat membaca masyarakat Indonesia pada 12 Propinsi dan 28 Kabupaten/Kota di Indonesia
termasuk kategori rendah (25,1 %). Kondisi yang memprihatinkan bahwa minat membaca

4
masyarakat Indonesia dalam angka kecil dan kontradiksi dengan hasil survei APJII 2016, masyarakat
Indonesia memiliki angka tertinggi dalam mengakses internet, disamping kemudahan mencari
informasi melalui internet.
Penggunaan informasi tidak hanya sekedar membaca, tetapi perlu sampai tingkat melek atau
paham informasi. American Library of Assocation (2000) mengartikan standar literasi informasi di
perguruan tinggi terpenuhi, jika seseorang sudah mampu menentukan informasi yang dibutuhkan,
mengakses informasi dengan efisiensi dan efektif, mengevaluasi informasi secara kritis,
mensintesakan informasi terpilih ke dalam suatu dasar pengetahuan, menggunakan informasi
dengan efektif untuk menyelesaikan suatu tugas, memahami aspek isu sosial, ekonomi, hukum yang
melingkupi informasi tersebut serta menggunakan informasi secara etis dan legal. Dalam lingkungan
digital, UNESCO (2017) mensyaratkan seseorang telah memiliki keterampilan literasi informasi, jika
telah mampu mengakses informasi, menggunakan teknologi komunikasi, menginterpretasikan,
membuat pendapat terhadap informasi yang ditemukan, dan mampu menciptakan informasi.
Standar kompetensi literasi informasi menurut Deleo, Eichenholtz, & Sosin (2009), yaitu
seseorang harus memiliki kemampuan seperti:, pertama, menentukan ruang lingkup informasi yang
dibutuhkan, kedua, mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien; ketiga,
mengevaluasi sumber informasi secara kritis; keempat, mensintesakan informasi yang telah diseleksi
ke dalam dasar sistem pengetahuan dan nilai individu; kelima, individu sebagai pribadi ataupun
sebagai anggota kelompok menggunakan informasi dengan efektif untuk menyelesaikan untuk suatu
maksud/tujuan tertentu; (e) memahami isu ekonomi, hukum dan sosial disekitarnya dan penggunaan
dan akses informasi secara etis dan legal. Ketiga standar literasi informasi dapat disimpulkan bahwa
seseorang harus mampun mencari, mengevaluasi informasi dengan benar, memilih proses yang
efektif, menggunakannya dengan etis, memperhatikan aspek sosial, ekonomi, hukum sebagai kondisi
yang paling rentan melingkupi informasi, bertanggung jawab dalam penciptaan informasi baru.
Penerapan literasi informasi di lingkungan perguruan tinggi sudah lama dilakukan, dan lebih
banyak terintegrasi dalam program pendidikan pemakai, atau pengenalan mahasiswa baru.
Implementasi kegiatan literasi informasi perlu dilakukan evaluasi, mengingat pengguna perpustakaan
berasal dari berbagai generasi, dan literasi informasi memberi impak baik bagi pengguna
perpustakaan. Hasil penelitian yang dilakukan Deleo, Eichenholtz & Sosin (2009) pada sekelompok
mahasiswa, bahwa masalah yang muncul dalam mengajarkan literasi informasi: pertama,
beragamnya pengetahuan tentang literasi informasi, khususnya dari kelompok pembelajar dewasa;
kedua, pada kelompok pembelajar dewasa, kapasitas pengetahuan komputer masih terbatas, bahkan
adanya indikasi keraguan pada penggunaan teknologi; ketiga, persyaratan kemampuan teknologi

5
dalam melakukan penelitian kepustakaan; keempat, perbedaan dan inkonsisten sering muncul, antara
harapan para dosen dengan yang dikerjakan oleh mahasiswa.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknologi mempengaruhi
penerapan keterampilan literasi informasi. Setiap orang memiliki perbedaan dalam penguasaan
teknologi. Penting bagi pustakawan untuk memahami bahwa setiap orang memiliki keterampilan
teknologi berbeda-beda. Hal ini juga dibuktikan melalui penelitian Eisenberg, Lowe & Spitzer
(2004), bahwa pengajaran literasi informasi sangat terkait dengan penguasaan keterampilan
perangkat teknologi atau digital. Dengan demikian keterampilan teknologi atau perangkat digital
sebagai konten terbaik dalam mengajarkan literasi informasi kepada siapapun juga.

LITERASI DIGITAL
Literasi digital secara sederhana diartikan sebagai kecakapan memahami dan menggunakan
informasi dari berbagai tipe format sumber-sumber informasi yang lebih luas, dan mampu
ditampilkan melalui perangkat komputer (Gilster, 1997; Martin (2006, h.18).
Kompetensi literasi digital lebih luas dipaparkan dari hasil penelitian Bhatt (2012) menyatakan,
keterampilan teknologi komunikasi dan informasi menjadi inti kompetensi dalam literasi digital.
Seseorang harus memiliki kemampuan dalam penguasaan perangkat teknologi digital, dengan
harapan individu tersebut sudah memiliki keterampilam literasi digital. Perangkat teknologi digital
yang dikuasai tidak hanya internet saja, tetapi berbagai tipe teknologi digital seperti yang dinyatakan
Bhatt, de Roock & Adams (2015), yaitu penguasaan sistem komunikasi dengan efektif. Salah satu
karakteristik kemampuan literasi digital pada generasi digital natives dikemukakan Ng (2012):
seperti teknologi media sosial (web 2.0) dengan berbagai komunitas online yang melingkupinya,
kemudian penguasaan perangkat teknologi mobile itu sendiri. Menurut Ng (2012), penguasaan
teknologi digital seperti itu dianggap sebagai tahapan jelas untuk kemampuan literasi digital.
Keterampilan literasi digital di luar penguasaan perangkat teknologi digital, dikemukakan hasil
penelitian Martin & Grudziecki (2008) melalui hasil penelitian mereka, keterampilan literasi digital
ditekankan pada sikap dan kesadaran seseorang dalam mengggunakan perangkat ICT untuk
berkomunikasi, kemampuan berekspresi dalam kegiatan sosial, dengan maksud untuk mencapai
tujuan pada berbagai situasi kehidupan individu yang bersangkutan. Kemampuan literasi digital akan
menjadi lebih baik, bila mampu dikembangkan dalam situasi kehidupan yang nyata, serta mampu
memecahkan masalah. Kemampuan literasi digital menjadikan seseorang mampu mentranformasikan
kegiatan melalui penggunaan perangkat teknologi digital. Setiap orang harus memiliki kesadaran
sebagai orang-orang yang melek digital, dalam konteks kehidupan, pekerjaan maupun belajar.
Penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari menjadi hal penting bagi generasi digital natives

6
melalui penguasaan literasi digital. Penyelesaian masalah kehidupan termasuk, penyelesaian tugas-
tugas perkuliahan bagi mahasiswa (Kenton & Blummer, 2010).
Kompetensi literasi digital ditinjau pada aspek berpikir kritis, dikemukakan (Meyers, Ingrid,
Ruth, 2013); (Gilster, 1997), aspek berpikir kritis dalam literasi digital sangat penting, karena
beragamnya informasi di internet, dan kemudahan konten informasi diciptakan pengguna internet.
Keterampilan literasi digital sebagai pengembangan berpikir, artinya kesadaran berpikir terhadap
tugas-tugas yang dibebankan kepada seseorang. Cara berpikir kritis seharusnya menjadi bagian
penting dalam mengembangkan tahapan literasi informasi pada level mengevaluasi informasi secara
kritis (Goodfellow, 2011). Seperti yang dinyatakan oleh Martin (2006, h.18), bahwa aspek berpikir
kritis menjadi hal penting dalam mengembangkan kompotensi literasi digital, bahwa berpikir kritis
dan evaluasi kritis terhadap apa yang ditemukan dalam internet, serta mampu menerapkan dalam
kehidupan.
Kompetensi literasi digital ditinjau dari aspek partisipasi, Meyers, Ingrid & Ruth (2013)
menyatakan, bahwa literasi digital adalah cara seseorang untuk mampu berpartisipasi secara efektif
dalam lingkungan yang serba digital. Terdapat tiga perspektif terkait literasi digital yaitu: pertama,
literasi digital sebagai akuisisi dari keterampilan-keterampilan informasi yang berkembang pada abad
ini. Seseorang dianggap telah memiliki keterampilan dalam sistem informasi, dianggap sebagai
proses yang dibutuhkan. Seseorang diharapkan sudah menggunakan sumber-sumber digital dengan
efektif untuk memenuhi kebutuhan informasi, mengevaluasi dokumen digital terbaru, relevan dan
yang memiliki kredibilitas, serta mampu melakukan elaborasi seperti menciptakan berbagi informasi
online dalam forum-forum berbasis pengguna dan beragam media sosial atau jaringan sosial online.
Kedua, literasi digital sebagai pengembangan dari ‘kebiasaan berpikir’. Pada perspektif ini
ditekankan aspek kognitif seseorang. Faktor kognitif sebagai bagian kemampuan berpikir, artinya
kemampuan seseorang untuk memproses informasi-informasi dalam kepalanya. Penekanan pada
aspek kognitif dalam literasi digital juga dikemukakan Kenton & Blummer (2010), literasi digital
bagi generasi digital natives, yaitu keterampilan kognitif untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam
lingkungan digital. Ketiga, literasi digital (Meyers, Ingrid & Ruth (2013), sebagai ikatan erat dalam
praktek dan budaya digital. Pada perspektif ini bentuk partisipasi sebagai kunci utama untuk
mengembangkan literasi digital. Melalui perspektif ini, dibangun cara baru bagi generasi digital
natives untuk berpartisipasi dalam budaya digital dan memfasilitasi adanya cara baru atau bentuk lain
dari pembelajaran.
Kemampuan literasi digital bagi Goodfellow (2011) sebagai keterampilan multi literacies
yaitu, penguasaan terhadap kesadaran, sikap, dan kemampuan, individu dalam memanfaatkan
perangkat digital untuk berkomunikasi, dan mengekspresikan secara nyata dalam kehidupan sehari-

7
hari. Kemampuan tersebut meliputi literasi-literasi: teknologi informasi, literasi media, literasi
visual, audio serta literasi berkomunikasi.
Penguasaan multi literacies adalah inti keterampilan literasi digital, dikemukakan juga Ng
(2012), dengan maksud literasi digital tidak hanya berfokus pada penguasan teknologi digital semata,
tetapi menekankan pada penguasaan keterampilan lainnya seperti: komputer, internet, teks, media,
visual, audio, ataupun web 2.0, yang dipresentasikan melalui perangkat teknologi digital.
Ng (2012) mengartikan keterampilan multi literacies dalam literasi digital dibagi menjadi tiga
dimensi. Dimensi pertama, yaitu technical, di dalamnya adanya penguasaan operasional/mendasar
terhadap penguasaan perangkat teknologi digital dan berpikir kritis. Dimensi kedua, disebut
cognitive, di dalamnya adanya keterampilan literasi informasi, berpikir kritis (critical literacy),
photo-visual, audio, gestural, spatial, linguistics. Dalam dimensi kedua ini ditekankan berpikir
kritis, mengevaluasi, menciptakan sebuah informasi digital, memilih perangkat lunak, pemahaman
terhadap isu etika, moral, hukum yang melingkupi informasi digital tersebut. Jika dimensi pertama
dan kedua digabungkan, maka disarikan adanya penguasaan keterampilan reproduction dan hypertext
literacy, yaitu keterampilan dalam mengkontruksi dan mensintesakan pemahaman menggunakan
perangkat teknologi digital.
Selanjutnya dimensi ketiga dari literasi digital, Ng (2012) adalah social emotional dimension, di
dalamnya adala social-emotional literacy dan critical literacy. Jika dimensi kedua dan ketiga
digabungkan, maka disarikan lagi, adanya penguasaan akan online etiquette literacy dan cyber safety
literacy. Dalam gabungan kedua dimensi ini, ditekankan adanya pemahaman terhadap penggunaan
internet secara bertanggung jawab untuk berkomunikasi, sosialisasi, belajar, perlindungan hak privasi
seseorang, dengan kaitan penggunaan perangkat teknologi digital. Integrasi tiga dimensi literasi
digital adalah seperangkat keterampilan inti yang meliputi keterampilan teknis, kognitif, sosial
emosional yang bisa diwujudkan dalam penguasaan keterampilan dasar dalam menggunakan
perangkat teknologi digital, mencari, mengidentifikasi, mengakses informasi untuk tujuan belajar dan
riset, serta mampu mengembangkan keterampilan penggunaan teknologi yang sesuai untuk
pemecahan masalah, kemudian menciptakan pemahaman baru, serta berperilaku dengan santun
dalam komunitas-komunitas online, termasuk perlindungan diri terhadap ancaman yang berasal dari
lingkungan digital.

8
PEMBAHASAN

PENGEMBANGAN LITERASI DIGITAL BAGI DIGITAL NATIVES

Hampir sebagian besar perpustakaan perguruan tinggi sudah memiliki kegiatan pendidikan
pemakai, seperti pengenalan perpustakaan untuk mahasiswa baru, literasi informasi pada mahasiswa,
atau pelatihan-pelatihan statistik, dan sebagainya dengan tujuan akhir untuk memberi luaran yang
baik untuk mahasiswa sebagai salah satu sivitas akademika perguruan tinggi. Konten materi yang
diajarkan dalam literasi informasi, bisa mengacu model The Big 6, atau The SCONUL Seven Pillars
of Information Literacy, model ACRL Information Literacy Competency Standars for Higher
Education, ataupun mengacu pada prinsip-prinsip literasi informasi yang ditetapkan UNESCO.
Perancangan materi literasi informasi setiap perpustakaan perguruan tinggi tidaklah sama, ada
materi literasi informasi dibuat dengan mengacu pada salah model di atas, tetapi ada ada juga
pustakawan yang mengkombinasikan dari model-model literasi informasi tersebut, menjadi
kekhasan materi literasi informasi perpustakaan yang disesuaikan dengan rencana strategis
perpustakaan perguruan tinggi tersebut. Pustakawan perlu memiliki kreativitas merancang program
kegiatan literasi informasi yang menarik bagi penggunaanya, dengan mengikuti tren pengguna
perpustakaan yang saat ini sudah didominasi dalam kelompok generasi digital nativies.
Pengembangan materi literasi informasi tidak hanya pada aspek tren teknologi yang bermunculan,
tetapi ada hal-hal yang penting perlu diperhatikan, seperti perubahan kebutuhan dari penggunaanya,
maupun karakteristik pengguna perpustakaan. Beberapa kelompok generasi mahasiswa, memiliki
perbedaan dengan mahasiswa dari generasi digital natives, khususnya mahasiswa pada tingkat pasca
sarjana yang perlu disesuaikan penyampaian maupun konten materi literasi informasi.
Keempat model yang disebutkan di atas, memiliki acuan yang hampir sama yaitu kompetensi
atau keterampilan mahasiswa setelah mendapatkan pelatihan literasi, diharapkan mampu menentukan
ruang lingkup informasi yang dibutuhkan; mengakses informasi yang dibutuhkan dengan efisien;
mengevaluasi informasi dan sumber-sumber secara kritis, mensintesakan informasi yang telah
diseleksi ke dalam tulisannya, menggunakan informasi secara efektif untuk penyelesaian tugas
tertentu, serta menggunakan informasi secara etis dan legal.
Pada paparan tentang kemampuan literasi digital, disimpulkan pada kemampuan secara multi
literacies, penguasaan perangkat teknologi digital, kemampuan berpikir kritis, terutama mengkritisi
informasi multi format sebelum digunakan sendiri, ataupun dibagikan kepada orang lain,
menerapkan keterampilan literasi digital untuk penyelesaian masalah dalam kehidupan yang nyata,
peka pada isu-isu hukum, sosial, budaya, dan perlindungan privasi seseorang, khususnya informasi

9
pribadi bersifat digital, serta mampu berpartisipasi secara digital dalam komunitas online dengan
ramah dan beretika. Pemahaman perangkat digital tidak terbatas pada perangkat hardware atau
aplikasi komputer (software) tertentu. Seperti hasil survei APJII (2016) konten sosial, ekobnomi,
adalah jenis konten yang banyak diakses melalui internet yaitu 97,4 % (APJII, 2016) di banding
konten pendidikan, hiburan, berita.
Berdasarkan paparan di atas, penulis memaparkan usulan pengembangan materi literasi dengan
mengkombinasi kompetensi literasi digital yang bersifat multi literacies.
1. Memasukkan materi keterampilan berkomunikasi (communication literacy) khususnya
keterampilan berkomunikasi secara textual dalam perangkat digital. Aspek hukum seperti UU
ITE dapat dijadikan materi dalam pengembangan konten literasi informasi. Pengguna
perpustakaan perlu diajarkan kembali bagaimana menulis yang baik, memilih kata-kata, gaya
bahasa, dan tanda baca, dan sebagainya, agar terhindar dari kesalahan memberi komentar, atau
mengutip kata, apalagi melakukan ’copas’. Pentingnya keterampilan berkomunikasi secara teks
melalui perangkat digital, seperti menulis kata-kata singkat tapi penuh dengan makna berarti.
Perpustakaan dapat melakukan lomba menulis esai secara online melalui media sosial untuk
pengguna perpustakaan. Kegiatan ini memotivasi mahasiswa untuk menulis dengan struktur
bahasa yang baik. Misalnya menulis ide, konsep dalam blog, atau menggunakan aplikasi Steller
sebagai sarana penuangan ide dan ’belajar’ menulis populer. Materi seperti ini mengajarkan
mahasiswa agar terbiasa memberi komentar dalam komunitas online dengan santun dan beretika.
2. Mengenalkan materi informasi digital berbasis gambar, audio, video, dan lain-lain (bukan teks).
Kita sudah sering melihat begitu banyak gambar, suara atau video yang beredar di media sosial,
bukan lagi informasi sebenarnya, tetapi sudah mengalami proses perubahan, sehingga memiliki
makna berbeda, bahkan menimbulkan keresahan bagi yang menerima informasi digital tersebut.
3. Mengembangkan materi literasi informasi pada tahapan mengevaluasi hasil sumber informasi
yang ditemukan, dengan komponen berpikir kritis. Aspek berpikir kritis menjadi krusial, seiring
merebaknya informasi atau situs bersifat ’hoax’ dalam lingkungan digital, terutama informasi
dalam media sosial. Beredarnya ’hoax’ di media sosial secara teknologi terkadang mengelabui
masyarakat, tanpa memahami apakah informasi yang diterima dalam kapasitas informasi benar
atau berita bohong. Pengguna perpustakaan perlu diajarkan untuk mempertajam nalar mereka
terhadap informasi yang beredar secara masif. Mahasiswa sekarang ini sebagian besar adalah
generasi digital natives, yang ingin membaca informasi sesegera mungkin dan mendapatkan inti
dari informasi yang dibaca. Mahasiswa perlu diajarkan cara menganalisis informasi atau situs
’hoax’. Misalnya asal sumber informasi, alamat URL, dipercaya atau tidak, validitas situs
penyebar ’hoax’, kebaruan, atau otoritas pemilik situs tersebut. Cara membedakan dan memilih

10
sebuah situs atau informasi tersebut masuk dalam kategori ’hoax’ atau tidak. Pustakawan dapat
memberi tugas-tugas tersebut dalam program literasi informasi yang diajarkan kepada
mahasiswa.
4. Penekanan keterampilan berpikir kritis bukan hanya pada mencari informasi di internet, tetapi
mengkritisi informasi yang diterima melalui perangkat digital. Mengajarkan berpikir kritis tidak
mudah, karena pustakawan perlu memahami tentang proses kognitif dalam pikiran seseorang,
terutama interaksi pikiran seseorang terhadap informasi dalam bentuk teks, gambar, video
ataupun multi format media digital lainnya.
5. Mengembangkan salah satu tahapan literasi informasi yaitu mendiseminasi hasil sintesa informasi
kepada orang lain secara etis dan bertanggung jawab. Pengguna perpustakaan tidak hanya
diperkenankan tentang isu plagarisme saja, tetapi perlu diberi pemahaman tentang perangkat
hukum yang melingkupi lingkungan digital, seperti UU ITE, perlindungan hak privasi seseorang
terutama profil seseorang yang tersedia secara digital di internet ataupun komunitas online.
Mengajarkan kepada mahasiswa tentang cara pandang terhadap isu tertentu dengan melihat dari
berbagai aspek ekonomi, agama, sosial, sebelum sebuah informasi digital dibagikan. Pustakawan
dapat berkolaborasi dengan pemerhati atau dosen dalam bidang-bidang tersebut.
6. Memasukkan dalam tahapan literasi informasi tentang bentuk hasil nyata yang dapat diberikan
dalam masyarakat. Mengacu pada implikasi literasi digital adalah harus memberi dampak pada
kegiatan-kegiatan sosial, misalnya pewujudan informasi. Misalnya perpustakaan menggunakan
teknologi media sosial (web 2.0) untuk menghadirkan partisipasi kelompok masyarakat (social
learning) sebagai komunitas online. Partisipasi dari luar perguruan tinggi dengan mendiskusi isu
tertentu, sehingga tercipta suatu pengetahuan baru, dan bisa dibagikan ke kelompok masyarakat
di luar perguruan tinggi, mengingat bahwa pengetahuan tersebut sudah diproses melalui kegiatan
literasi informasi.

PENUTUP
Kegiatan literasi informasi dapat dikembangkan dengan model multi literacies, artinya mahasiswa
tidak hanya diajarkan mengikuti standar literasi informasi saja, tetapi perlu diperlengkapi dengan
literasi-literasi lainnya dalam lingkungan digital saat ini. Informasi yang dihasilkan bisa menjadi
pengetahuan baru dan mampu membangun masyarakat lebih baik dengan penggunaan perangkat
digital secara etis, santun, bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek sosial, budaya, ekonomi,
hukum yang melingkupi informasi digital tersebut. Budaya literasi secara tradisional seperti menulis,
membaca dan mendengar masih diperlukan dalam lingkungan digital untuk meningkatkan
keterampilan literasi digital bagi generasi digital natives.

11
DAFTAR PUSTAKA

A’la, A. (2017, Februari 7). Literasi rendah ladang ‘hoax’, Kompas, h.1.

American Library Association. (2000). Information literacy competency standards for higher
education. Retrieved from http://www.ala.org/acrl/standards/informationliteracycompetency.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII]. (2016). Survei infografis penetrasi dan
perilaku internet di Indonesia. Retrieved from https://www.apjii.or.id/

Bhatt, I., (2012). Digital literacy practices and their layered multiplicity. Educational Media
International, 49 (4), 289-301.

Bhatt, I., de Roock R.J., & Adams, J. (2015). Diving deep into digital literacy: emerging methods for
research. Language and Education, 29 (6), 477-492.

Brynko, B. (2009). NFAIS: Greeting the barbarians at the gate. Information Today, 26-29.

Deleo, P.A., Eichenholtz, S., & Sosin, A.A., (2009). Bridging the information literacy gap with
clickers. Journal of Academic Librarianship, 35(3), 438- 444.

Eisenberg, M.B., Lowe, C.A., & Spitzer, K.L. (2004). Information literacy: essentials skills for the
information age. Second Edition. Westport: Libraries Unlimited.

Ghaith, G. (2010). An exploratory study of the achievement of the twenty-first century skills in
higher education. Education & Training, 52 (6/7), 489-498.

Gilster, P. (1997). Digital literacy. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Goodfellow, R. (2011). Literacy, literacies and the digital in higher education. Teaching in Higher
Education, 16 (1), 131-144.

Hasugian J. (2011). Perpustakaan digital dan digital natives. Disampaikan pada Seminar dan
Workshop Nasional Pemberdayaan Repositori. 1 Desember 2011. Medan: Universitas
Nommensen.

Kenton, J., Blummer, B. (2010). Promoting digital literacy skills: examples from the literature and
implications for academic librarians. Community & Junior College Librarie, 16 (2), 84-99.

Ku, D.T., & Soulier, J.S. (2009). Effects of learning goals on learning performance of field-
dependent and field-independent late adolescent in a hypertext environment. Adolescence, 44,
651-664.

12
Law, D. (2009). Academic digital libraries of the future: an environment scan. New Review of
Academic Librarianship, 15 (1), 53-67.

Martin, A. (2006). Literacies for the digital age: preview of part 1. In Martin, A., & Madigan, D.,
(Ed.). Digital literacies learning. (h. 3-25). London: Facet Publishing.

Martin, A., & Grudziecki, J., (2006). DigEuLit: concepts and tools for digital literacy development.
Innovation in Teaching and Learning in Information and Computer Sciences, 5 (4), 1-19.

Meyers, E.M., Ingrid, E., & Ruth, V.S. (2013). Digital literacy and informal learning environments:
an introduction. Learning, Media and Technology, 38 (4), 355-367.

Ng, W. (2012). Can we teach digital natives digital literacy ?. Computers & Education, 59, 1065-
1078.

Prensky, M., (2001). Digital natives, digital immigrant. On the Horizon, 9 (5). Retrieved from
http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20%20Digital%20Natives,%20Digital%20Im
migrants%20-%20Part1.pdf

UNESCO. (2017). Information Literacy. Retrieved from


http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/access-to
knowledge/information-literacy/

13

Anda mungkin juga menyukai