Anda di halaman 1dari 7

Internet sebagai media Pendidikan Tauhid

(Studi Kasus Pembelajaran Agama melalui Youtube di SMAN 1


Pangalengan Kabupaten Bandung)

Pendahuluan
Perkembangan media massa semakin massif dan signifikan. Kemunculan
new media (internet) memberikan dampak signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan. Kecanggihan media informasi ini menawarkan berbagai
kemudahan dalam akses informasi dan pengetahuan. Internet sejak
ditemukan, mewujud menjadi media yang serba cepat dan serba praktis.
Kecepatan arus informasi ini masuk dan berkembang dalam berbagai bidang
kehidupan. Tidak hanya pada bidang komunikasi dan informasi saja, tetapi
juga berpengaruh dalam bidang kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik
bahkan agama. Salah satu konsekuensi logis dari kehadiran internet ini yakni
adanya pergeseran paradigma interkasional dalam tatanan hubungan sosial
manusia. Internet mewujud menjadi alat super canggih yang pada satu sisi
menawarkan manfaat positif, namun pada sisi lain berujung dengan dampak
negatif.
Dalam bidang pendidikan, internet menjadi media alternatif bahkan
media utama sebagai media pembelajaran. Tantangan pendidikan hari ini
berjalan beriringan dengan keharusan penguasaan alat-alat teknologi. Hal ini
dipandang sebagai salah satu upaya untuk mendukung dan meningkatkan
kemampuan tenaga pendidik dan peserta didik dalam mentransferkan
gagasan, ilmu, pengetahuan dan nilai-nilai moral. Dengan begitu, media
internet menjadi sarana baru dan super canggih dalam proses pendidikan
yang mampu menangkap dengan luas beragam pengetahuan dan informasi
baik bagi tenaga pendidik maupun peserta didik.
Salah satu fitur yang familiar di kalangan insan pendidikan adalah media
sosial. Media sosial merupakan ruang interaksional manusia di dunia maya
yang memanfaatkan internet sebagai alat koneksi. Dalam media sosial
terdapat kerja daring (dalam jaringan). Kerja daring inilah yang
menghubungkan antar satu orang dengan orang lain dalam ruang interaksi
yang global dan tidak berbatas.
Penggunaan media sosial di berbagai kalangan di Indonesia semakin
signifikan. Hal ini seiring dengan trend perkembangan internet yang mulai
masuk di berbagai kalangan. Tidak hanya bagi kalangan masyarakat urban
(perkotaan), termasuk juga bagi masyarakat di pedesaan. Data yang dirilis
oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016
menyatakan bahwa hampir 84 juta masyarakat Indonesia menggunakan
internet. 80 % dari total pengguna internet tersebut akrab dengan media
sosial. Hal ini didukung oleh penggunaan mobile phone atau smart phone
yang familiar di masyarakat Indonesia untuk mengakses internet (APJII,
2016).
Beberapa ragam media sosial yang familiar di kalangan masyarakat
Indonesia di antaranya Facebook, instagram, twitter, Whatsapps, BBm, Line,
Youtube, dan lain-lain. Rilis dari APJII menempatkan media sosial seperti
Facebook pada urutan pertama yang sering diakses oleh orang-orang di
Indonesia. Media sosial berbasis instant messenger seperti WA dan BBm
menempati urutan teratas yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dan
media sosial berbasis video sharing seperti Youtube tidak kalah familiar
digunakan oleh berbagai pihak. Dengan begitu, trend penggunaan media
sosial dengan berbagai fitur kecanggihannya menjadi alat teknologi yang
akrab di kalangan masyarakat Indonesia terutama bagi generasi muda
(generasi milenial).
Prinsip media internet adalah keteraksesan bagi semua kalangan dan
kecepatan informasi bagi semua yang terhubung. Internet membangun
kesatuan interaksional dalam wadah global village (kampung global).
Internet, salah satunya media sosial menghubungkan semua kalangan
manusia tanpa sekat geografis. Kampung global menawarkan akses
pengetahuan dan informasi yang luas dan beragam. Kampung global menjadi
ruang interaksi baru untuk saling mempengaruhi dalam kehidupan manusia.
Kampung global dengan akses internet tidak hanya berlaku bagi masyarakat
perkotaan saja, tetapi juga bagi seluruh masyarakat dunia di pedesaan,
pesisir, pegunungan bahkan masyarakat pedalaman selama ada koneksi
dengan internet.
Salah satu trend penggunaan media sosial adalah sebagai media
pembelajaran. Media sosial seringkali dijadikan sebagai media pembelajaran
pendidikan. Akses informasi yang luas dan cakrawala pengetahuan yang
tidak terbatas menjadikan internet sebagai pilihan cerdas bagi dunia
pendidikan. Dengan begitu, internet menawarkan sesuatu yang baru dan
kemudahan cepat dalam akses pengetahuan, baik bagi tenaga pendidik
(guru) maupun bagi pesera didik.
Salah satunya adalah pemanfaatan media sosial berbasis video sharing
(Youtube) sebagai media pembelajaran agama di SMAN 1 Pangalengan.
SMAN 1 Pangalengan merupakan satu-satunya Sekolah Menengah Atas
berstatus milik pemerintah yang berada di Kecamatan Pangalengan.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Bandung tahun 2016, populasi pendudukan
di Kecamatan Pangalengan kuranglebih 168.000 jiwa. Dengan populasi
tersebut, secara demografis menempatkan Kecamatan Pangalengan sebagai
daerah pedesaan yang berkembang. Pangalengan cepat atau lambat sedang
mengarah menjadi sebuah kota kecil (BPS, 2016).
Sebagai satu-satunya SMA berstatus negeri, maka SMAN 1 Pangalengan
memiliki fasilitas pendidikan yang cukup lengkap untuk mendukung
kegiatan pembelajaran baik yang kurikuler, ko kurikuler maupun ekstra
kurikuler. Fasilitas pembelajaran seperti ruang kelas berbasis IT, fasilitas
keterampilan dan olahraga, termasuk fasilitas akses internet (wifi) tersedia
dan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Hal ini tentunya
memudahkan seluruh civitas akademika sekolah untuk mendorong
peningkatan prestasi, minat dan keterampilan peserta didik di era digital.
Pembelajaran berbasis IT nyatanya memberikan kemudahan baik bagi tenaga
pendidik maupun peserta didik dalam mengakses informasi dan
pengetahuan.
Selain fasilitas IT yang disediakan di sekolah, berdasarkan observasi
penulis, tenaga pendidik maupun peserta didik hampir sebagian besar
memiliki akses yang besar dengan internet melalui penggunaan mobile
phone. Hal ini tentunya sangat mendukung proses pemanfaatan internet
sebagai media pembelajaran. Maka, penggunaan media sosial seperti youtube
banyak penulis temui dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar
kelas. Ibarat pisau, internet termasuk media sosial menawarkan dua sisi
konsekuensi, positif atau negatif. Dua dampak ini akan muncul seiring
dengan kecakapan dan kebijakan penggunanya dalam memanfaatkan media
sosial. Sebab, bagaimanapun internet menawarkan berbagai kemudahan
sekaligus problem-problem baru dalam kehidupan manusia, termasuk dalam
bidang pendidikan.
Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah penggunaan Youtube
dalam pembelajaran agama. Hal ini menjadi menarik sebab, sebagaimana
yang disampaikan penulis di atas bahwa media sosial selain menawarkan
kemudahan juga menawarkan permasalahan. Perilaku kriminal, asusila,
amoral dan berbagai perilaku negatif lainnya seringkali berawal dari
penggunaan media sosial. Maka, dalam hal ini penulis berasumsi bahwa
bagaimana penggunaan youtube dalam pembelajaran agama dapat dijadikan
sebagai media dalam internalisasi nilai-nilai tauhid bagi generasi muda.
Khususnya, penggunaan youtube sebagai media pembelajaran agama di
SMAN 1 Pangalengan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk menganalisis
pola, faktor-faktor yang mempengaruhi dan efektifitas penggunaan youtube
sebagai media pembelajaran agama, teruatama dalam hal pendidikan tauhid.

Kajian Teori
1. Kajian Tentang Internet sebagai Ruang Interaksi
Perkembangan teknologi internet, realitas virtual dan cybersace
telah membawa perubahan besar dan mendasar pada tatanan sosial
dan budaya dalam skala global. Perkembangan dunia baru tersebut
telah mengubah pengertian kita tentang masyarakat, komunitas,
komunikasi, interaksi sosial, dan budaya. Realitas sosial-budaya yang
ada mendapatkan tandingan simulasinya, yang mana batas di antara
keduanya pada akhirnya menjadi kabur. Cyberspace sebagai satu
bentuk jaringan komunikasi dan interaksi global telah menawarkan
bentuk komunitas tersendiri, yaitu komunitas virtual (virtual
community) (Slouska, 1999:19).
Kemunculan istilah cyberspace sejalan dengan munculnnya internet.
Menurut Wood dan Smith, ungkapan cyberspace berasal dari bahasa
Yunani, kubernetes yang berarti “yang mengendalikan” sehingga
menghasilkan konotasi kontrol. Dari term ini muncul pula istilah yang
kita kenal dengan cybernetics, yakni ilmu tentang sistem kontrol
otomatis. Dimana cybernetics menaruh perhatian pada kualitas feedback
yang dikendalikan oleh sebuah sistem seperti mesin. Dalam Dictionary
of Media Studies, cyberspace diartikan sebagai, ”national space shere
internet activity takes place, by analog to a real, physical space”. Melalui
pengertian ini kita bisa memahami bahwa cyberspace merupakan
sebuah ruang ide dimana aktivitas internet mengambil tempat sebagai
ruang fisikal (Fakhruroji, 2011:68).
Cyberspace adalah sebuah ruang maya yang dibentuk melalui
jaringan antarkomputer. Cyberspace berarti pula sebuah ruang artifisial
hasil konstruksi teknologis, yang di dalamnya ada relasi antara tanda
dan realitas. Sebagai sebuah ruang imajiner dan maya, di dalam
cyberspace setiap orang bisa melakukan apa saja yang biasa dilakukan
dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara baru yaitu cara
artifisial. Adanya relasi tanda dan realitas tersebut bila ditinjau secara
konvensional, tanda menjelaskan relasi antara sesuatu yang
menandakan (penanda) dan sesuatu yang ditandai (realitas).
Cyberspace memungkinkan situasi bagaimana tanda tidak memiliki
relasi alamiah dan substansial dengan realitas. Tanda di bangun
berdasarkan produksi mandiri dari dan untuk dirinya sendiri (self
Production system)-inilah tanda artifisial (Piliang, 2004:xxxiii).
Yasraf Amir Pilliang dalam pengantar buku tersebut
mengklasifikasikan tiga paradigma penerimaan manusia terhadap
perkembangan teknologi saat ini, terutama berkaitan dengan dunia
maya. Pertama, paradigma affirmative, dimana umat manusia
cenderung menerima begitu saja tanpa adanya filterisasi manfaat dari
teknologi yang ada. Manusia dalam paradigma pertama cenderung
menjadi user yang menikmati perkembangan teknologi tersebut.
Kedua, Paradigma retrival, kebalikan dari paradigma pertama,
manusia menolak dan tidak ingin menjadi korban dari perkembangan
teknologi yang ada. Manusia jenis ini menganggap teknologi maya
justeru menciptakan keretakan sosial dalam kehidupan nyata. Adanya
komunitas virtual menjadi bukti negatif dari penggunaan dunia maya
tersebut. Dalam hal ini manusia cenderung melepaskan rasa
(psikologis) dirinya dan menyandarkannya pada instrumental maya.
Alhasil, akan tercipta keterasingan (alienasi) dalam dirinya. Ketiga,
paradigma futuristik, manusia pada kategori ini cenderung bersifat
seperti rubah. Satu sisi ia menikmati perkembangan teknologi maya
tersebut dan menjadi user sejati, di sisi lain ia pun menyadari dampak
negatif yang diciptakan dari instrumen tersebut (Slouska, 1999: 14-15).
Ketiga paradigma ini yang senantiasa menjadi standar
pengklasifikasian para penikmat dunia maya saat ini.
Salah satu interaksi manusia di dunia maya adalah kemunculan
fitur media social berbasis video sharing seperti youtube. Youtube
merupakan media social yang didalamnya terdapat kerja daring
(dalam jaringan) yang digunakan sebagai ruang maya bagi manusia.
Perbedaannya dengan ragam media social yang lain terletak pada
karakteristiknya. Salah satu karakteristik yang mencolok, bahwa
youtube digunakan dengan basis video sharing. Artinya ruang
interaksi didasarkan pada teknologi layar dengan visualisasi konten
dalam bentuk video. Namun, bagaimanapun trend penggunaan
youtube berkembang seiring dengan kebutuhan manusia.
Dalam konteks pendidikan, youtube sering digunakan sebagai
media pembelajaran berbasis internet. Kemunculan metode
pembelajaran e-learning merupakan salah satu contoh konkrit dari
penggunaan internet (syberspace) sebagai media pembelajaran,
termasuk penggunaan youtube sebagai media pembelajaran bagi
peserta didik. Dengan demikian, youtube merupakan salah satu ruang
maya yang seringkali dijadikan sebagai media transfer gagasan,
pengetahuan, dan nilai-nilai tertentu dari tenaga pendidik kepada
peserta didik.
2. Kajian Tentang Pendidikan Nilai
Nilai atau Value atau valere  dalam bahasa Latin  berarti berguna, mampu
akan, berdaya, berlaku, kuat. Sesuatu disebut memiliki nilai ketika sesuatu itu
dianggap “berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat”. Nilai di sini
dapat dipahami sebagai “kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan”. Di sini
nilai bermakna “hanya yang baik”, sementara yang sebaliknya disebut sebagai
“anti nilai” atau “tidak bernilai”.
Nilai hadir dan terbentuk melalui serangkaian proses yang
berlangsung dalam kehidupan manusia. Nilai hadir melalui wadah-
wadah tertentu yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
Nilai dikemukakan oleh subyek penilai sebagai ekspresi terhadap
kualitas yang dimiliki oleh obyek. Nilai tergantung pada kualitas dan
psikologi objek dalam mengekspresikan nilai tersebut. Nilai
berkesesuaian dengan keinginan, kehendak, keyakinan dan minat atau
kesenangan yang dicita-citakan oleh setiap orang. Pada akhirnya,
ketika nilai ini termanifestasikan, maka akan menjadi sesuatu yang
inheren dalam kehidupan manusia.
Karena manusia akan bertindak berdasarkan “apa yang dianggap
penting atau berguna”, maka nilai menjadi motif tindakan seseorang.
Pada titik ini definisi Gordon Allport (1964) dapat dipahami. Allport ,
menyatakan bahwa nilai adalah: “a belief upon which a man acts by
preference. It is this a cognitive, a motor, and above all, a deeply propriate
disposition”. Nilai bagi Allport merupakan kepercayaan yang dijadikan
preferensi (dasar pilihan) manusia dalam melakukan suatu tindakan.
Pada definisi Allport ini, nilai dipercayai ada dalam setiap diri
manusia sebagai berkualitas, segala tindakan dan perbuatan manusia
seperti keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah –juga hasrat,
sikap, keinginan, kebutuhan dan motif, adalah hasil proses psikologis.
Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang
dipercayainya sebagai suatu yang berharga.
Pada sisi lain, nilai dipahami sebagai patokan normatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara
tindakan alternatif (Kuperman, 1983). Penekanan utama definisi ini pada
faktor eksternal yang mempengaruhi prilaku manusia. Pendekatan yang
melandasi definisi ini adalah pendekatan sosiologis. Penegakan norma sebagai
tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat
seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak
baik.
Pendidikan nilai muncul disebabkan karena adanya nilai dalam
kehidupan manusia. Nilai-nilai inilah yang pada akhirnya memunculkan
perspektif baru dalam sistem pendidikan untuk menjaga dan mewariskan
nilai-nilai melalui sebuah pendidikan nilai. Mulyana (2004 : 119) menjelaskan
bahwa pendidikan nilai adalah bimbingan atau pengajaran kepada peserta
didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak secara konsisten.
Pendidikan nilai menadang sesuatu dari sisi moral berkaitan dengan etika,
sudut pandang keindahan berkaitan dengan estetika dan sesuatu yang
berkaitan dengan benar dan salah.
Sementara itu, menurut Kohlberg,et.al (Djahiri, 1996 : 49)
menjelaskan bahwa pendidikan nilai adalah rekayasa ke arah : (a)
pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi ke pengalaman
afektual (affektive component & experiences) atau “jati diri” atau hati
nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia
dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses
pelakonan (experiencing), dan atau transaksi/interaksi dunia afektif
seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi nilai-moral-norma, ajuan
nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma
(moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral
control).
3. Kajian Tentang Media Pembelajaran
Kata media berasal dari kata medius yang artinya tengah,
perantara dan pengantar. Sementara dalam bahasa Arab media sama
dengan Wasaíl atau washilah artinya pengantar. Maka secara sefinitif
media berarti pengantar pesan dari penerima kepada pengirim. Media
merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses
komunikasi. Komunikasi menghendaki adanya kesesuaian pesan
dalam bentuk penerimaan atau penolakan dari seorang komunikator
kepada komunikan. Pesan tersebut dapat disampaikan melalui sebuah
media. Maka dalam hal ini, media menjadi komponen yang penting
dalam sebuah proses komunikasi, sebab dapat menentukan diterima
atau tidaknya sebuah pesan komunikasi. Pesan komunikasi ini dapat
beragam, apakah berkaitan dengan politik, social, budaya, maupun
pendidikan yang berkaitan dengan pembelajaran peserta didik.
Media pembelajaran merupakan sarana atau perantara yang
berada di lingkungan peserta didik agar mengetahui, memahami dan
menerapkan gagasan, pengetahuan dan nilai-nilai pendidikan yang
disampaikan oleh seorang guru. Daryanto (2010 : 4) mengartikan
media pembelajaran sebagai sarana pelantara dalam proses
pembelajaran. Kehadiran media pembelajaran menjadi penting dalam
prosesnya, sebab media pembelajaran dapat merangsang peserta didik
untuk mengetahui dan mendalami sesuatu.
Media pembelajaran dapat berupa alat fisik, ucapan, tindakan,
ruang social, dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai sarana oleh
guru untuk menyampaikan materi pembelajaran. Media pembelajaran
meliputi segala sesuatu yang dapat membantu pengajar dalam
menyampaikan materi pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan
motivasi, daya pikir, dan pemahaman peserta didik terhadap materi
pembelajaran yang sedang dibahas atau mempertahankan peserta
terhadap materi yang sedang dibahas (Munir, 2008: 138)
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, yakni berupaya menghimpun data,
mengolah dan menganalisa secara kualitatif dan mendefinisikannya pula
secara kualitatif (Wardi Bachtiar, 1997 : 21). Pengumpulan data dilakukan
melalui metode angket, wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi.
Metode-metode ini digunakan berbarengan dan saling mendukung satu sama
lain.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis interaktif Miles dan
Huberman. Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari 3 komponen yaitu :
reduksi data, penyajian data dan penarikan serta penyajian data (Pawito,
2007 : 104).

Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai