Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN

1. Melakukan Koreksi Fiskal dan Menyusun Laporan Keuangan

            Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan
perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan fiskal disusun
berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan
pajak yaitu :
1.    Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini
laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam
melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan
perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2.    Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi
dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3.    Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan
keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan
pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

Susunan laporan keuangan fiscal :


1. Input berupa dokumen dasar
2. Dicatat dalam buku harian jurnal
3. Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar
4. Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang,
hutang dll
5. Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada
akhir tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial
7. Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan
perpajakan
8. Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan
keuangan fiscal.

1
1.    KEBIJAKAN FISKAL
A.   Pengertian Fiskal
a.    Fiskal (Latin: Fiscus) berasal dari nama pribadi dari pemegang keuangan pertama pada zaman
Kekaisaran Romawi.
b.    Fiskal (Inggris: fisc) berarti perbendaharaan negara atau kerajaan.

     Kebijakan fiscalmerujuk padakebijakanyang dibuat pemerintah untuk


mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak)
pemerintah.
     Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan maksud untuk mempengaruhi
jalannya perekonomian atau dengan perkataan lain, dengan kebijakan fiskal pemerintah berusaha
mengarahkan jalannya perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya. Dengan melalui
kebijakan fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional, dapat
mempengaruhi kesempatan kerja, dapat mempengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional,
dandapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional.Dua unsur utama dari fiskal
adalah perpajakan dan pengeluaran publik.

B.   Prinsip Dasar Fiskal


a) Adam Smith
1. Keadilan (Equality)
2. Kepastian (Certainty)
3. Kemudahan (Convenience)
4. Efisiensi (Efficiency) 

b) Edwin R.A. Seligman


1. Fiskal (Fiscal)
2. Administratif (Administrative)
3. Ekonomi (Economic)
4. Etika (Ethical) 

c) Fritz Neumark
1. Kesepadanan pembiayaan (Revenue productivity)
2. Keadilan sosial (Social justice)
3. Pencapaian ekonomi (Economic goals)
4. Kemudahan (Ease Administration and compliance)

C.   Jenis-Jenis Fiskal
Jenis kebijakan fiscal dilihat dari segi teori :
1)    Jenis kebijakan fiscal pembiayaan fungsional
Merupakan kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran pemeritah dengan
mempertimbangkan segala akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional  dan bertujuan
untuk meningkatkan kesempatan kerja.

2
2)    Jenis kebijakatan stabilisasi anggaran otomatis
Merupakan kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran pemeritah dengan
mempertimbangkan besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program yang bertujuan agar
menghemat pengeluaran pemerintah
3)    Jenis kebijakan pengelolaan anggaran
Merupakan kebijakan yang dilakukan dengan mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan
dan hutang untuk mencapai stabilitas ekonomi.

Jenis kebijakan fiscal dilihat dari segi perbandingan jumlah pengeluaran dengan jumlah
penerimaan :
·         Kebijakan Anggaran Seimbang
Kebijakan anggaran yang menyusun laporan seimbang antara jumlah penerimaan dan jumlah
pengeluaran.
·         Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran dengan menyusun jumlah pengeluaran lebih kecil dibanding jumlah
penerimaan.
·         Kebijakan Anggaran Deficit
Kebijakan anggaran dengan menyusun jumlah pengeluaran lebih besar dibanding jumlah
penerimaan.
·         Kebijakan Anggaran Dinamis
Kebijakan anggaran yang dilakukan dengan cara terus menambah jumlah pengeluaran dan
jumlah penerimaan sehingga semakin lama semakin besar jumlah penerimaan dan pengeluaran
negara.

D.   Jenis-Jenis Koreksi Fiskal


Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial
dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 jo UU Nomor 17 Tahun 2000), yaitu
terdiri dari :

1.    Beda Tetap :

·          Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh
bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia.

3
·          Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh
telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final)
sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh
yang terutang. Misalnya : penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah
dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.

2. Beda Waktu :

Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal, misalnya:

·         Metode penyusutan

·         Metode penilaian persediaan

·         Penyisihan piutang tak tertagih

·         Rugi-laba selisih kurs

 
Laporan Keuangan Fiskal

A.   Pengertian Laporan Keuangan Fiskal


         Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan
perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan fiskal disusun
berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain.
         Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak
badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal.
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut
SPT Tahunan (perpajakan).
Rekonsiliasi fiksal dapat dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final.
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak.
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan
(pasal 9 UU PPh).

4
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi
metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiscal.
.    Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan
yang telah dikenakan PPh final.

B.   Sifat dan Keterbatasan Pelaporan Keuangan Fiskal


1. Laporan keuangan bersifat Historis.
2. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan estimasi dan berbagai
pertimbangan.
3. Lebih mengutamakan hal yang material (tanpa mengurangi kelengkapan materi).
4. Laporan keuangan terutama menekankan makna ekonomis (substansi 0 setiap
transaksi/peristiwa (tanpa dalam kondisi tertentu memperhatikan bentuk yuridis
formalnya).
5. Terdapat alternative metode akuntansi yang dapat digunakan mengakibatkan variasi
dalam pengukuran sumber ekonomis dan tingkat kesuksesan antar wajib pajak.
6. Informasi kualitatif, sedangkan fakta yang tidak dapat kuantifikasikan umumnya
dikesampingkan.

C.   Penyusunan Laporan Keuangan FiskaL


Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan
pajak yaitu :
1.    Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan
pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut
praktik pembukuan.
2.    Ketentuan pajak untuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan
berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.

3.    Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan
atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak apabila tidak
sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.

Susunan laporan keuangan fiscal :


1.    Input berupa dokumen dasar.
2.    Dicatat dalam buku harian jurnal.
3.    Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar.
4.    Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang,
hutang dll.
5.    Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.
6.    Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial.
7.    Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan.

5
8.    Setelah laporan keuangan diatur dalam ketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan
keuangan fiscal

Rekonsiliasi Fiskal
1.    Latar Belakang Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak karena terdapat perbedaan penghitungan,
khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan menurut perpajakan (fiskal). Laporan
keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan financial
dari sektor privat, sedangkan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Untuk
kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang berterima
umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK), sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan
keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan (Undang-Undang PPh). Perbedaan kedua
dasar penyusunan laporan keuangan tersebut mengakibatkan perbedaan penghitungan laba-rugi
suatu entitas (wajib pajak).
Laporan keuangan fiskal disusun secara beriringan dengan laporan keuangan komersial.
Artinya, laporan keuangan bisnis disusun berdasarkan prinsip akuntansi bisnis, tetapi ketentuan
perpajakan sangat dominan dalam mendasari proses penyusunan laporan keuangan.
Laporan keuangan ekstra komtabel dengan laporan keuangan bisnis. Artinya, laporan keuangan
fiskal merupakan prosuk tambahan, diluar laporan keuangan bisnis. Perusahaan bebas
menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi bisnis. Laporan keuangan fiskal
disusun secara terpisah diluar pembukuan (ekstra komtabel) melalui penyesuaian atau proses
rekonsiliasi.
Laporan keuangan fiskal disusun dengan menyisipkan ketentuan-ketentuan pajak dalam
laporan keuangan isnis. Artinya, pembukuan yang diselenggarakan perusahaan didasarkan pada
prinsip akuntansi bisnis, akan tetapi jika ada ketentuan perpajakn yang tidak sesuai dengan
prinsip akuntansi bisnis maka yang diprioritaskan adalah ketentuan perpajakan.
Untuk menjembatani adanya perbedaan tujuan kepentingan laporan keuangan komersial dengan
laporan keuangan fiskal serta tercapainya tujuan efisiensi maka lebih dimungkinkan untuk
menerapkan pendekatan yang kedua. Perusahaan hanya menyelenggarakan pembukuan menurut
akuntansi komersial, tetapi apabila akan menyusun laporan keuangan fiskal barulah menyusun
rekonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial tersebut.

2.    Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal


Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah karena
terdapat perbedaan prinsip akuntansi. Perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan
pengakuan penghasilan dan biaya, perbedaan perilaku penghasilan dan biaya..
a.    Perbedaan Prinsip Akuntansi
Beberapa prinsip akuntansi berterima umum (SAK) yang telah diakui secara umum dalam dunia
bisnis dan profesi, tetapi tidak diakui dalam fiskal adalah :

6
a)    Prinsip Konservatisme penilaian persediaan akhir dengan “terendah antara harga pokok dan nilai
realisasi bersih”, dan penilaian piutang dengan nilai taksiran realisasi bersih, diakui dalam
akuntansi komersial, tetapi tidak diakui dalam fiskal.
b)    Prinsip harga perolehan dalam akuntansi komersial, penentuan harga perolehan untuk barang
yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya tenaga kerja yang berupa natura.
c)    Prinsip matching biaya-hasil. Akuntansi komersial mengakui biaya penyusutan pada saat aktiva
tersebut menghasilkan.
b.    Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi
a)    Metode penilaian persediaan akuntansi komersial memperbolehkan memilih beberapa metode
penghitungan atau penentuan harga perolehan persediaan, seprti rata-rata, masuk pertama keluar
pertama masuk terakhir keluar pertama, pendekatan laba bruto, pendekatan harga jual eceran,
dan lain-lain.
b)    Metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial membolehkan memilih metode
penyusutan seperti metode garis lurus, metode jumlah angka tahun, metode saldo menurun
ganda, metode jasa-jasa, metode jumlah unit produksi, metode berdasarkan jenis dan kelompok,
dan sebagainya.
c)    Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial, penghapusan piutang ditentuakan
berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal penghapusan piutang dilakukan pada saat
suatu piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam
aturan perpajakan.
c.    Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya
Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukan merupakan objek pajak
penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghsilan tersebut harus dikeluarkan dari total
penghasilan kena pajak atau dikurangi dari laba menurut akuntansi komersial.
Perbedaan-perbedaan penghasilan dan pengeluaran/biaya menurut akuntansi dan menurut fiskal
dapat dikelompokkan menjadi perbedaan sementara atau perbedaan waktu dan perbedaan
permanen atau tetap. Perbedaan tetap terjadi karena transaksi-transaksi pendapatan dan biaya
diakui menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal. Perbedaan tetap
mengakibatkan laba-rugi fiskal.
Perbedaan waktu terjadi karena perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan biaya untuk
penghitungan laba. Suatu biaya atau penghasilan menurut akuntansi komersial dan belum diakui
menurut fiskal, atau sebaliknya. Perbedaan ini bersifat sementara karena akan tertutup pada
periode sesudahnya.

2. MENJELASKAN KONPENSASI KERUGIAN FISKAL

Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada
kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami
kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak
Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak
Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk
menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak

7
Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa
kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan
sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).

Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
undang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal
kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut :

1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau


keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah
memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.

2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-
turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka
sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.

3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang
melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan
perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.

4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam
negeri.

Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun
2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai
dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013
atau sesudahnya.

Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal


Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai berikut :

2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00

2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00

2010 : laba fiskal NIHIL

2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00

2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :


8
Tahun 2008 :

Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal


Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.

Tahun 2009 :

Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami kerugian.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.

Tahun 2010 :

Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil. Penghasilan
Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.

Tahun 2011 :

Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal


Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.

Tahun 2012 :

Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal


Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Sisa
kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2013 atau setelahnya.

3. Menghitung dan Menjelaskan Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah dasar penghitungan untuk menentukan


besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Ada 2 (dua) cara untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, yaitu;
 Penghitungan dengan cara biasa. PKP dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan
dengan pengurangan-pengurangan.
 Penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang tidak menyelenggarakan pembukuan, PKP dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto.

Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak

9
mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp
2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga
mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-
31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang
membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi
tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam
bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6
macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21
untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas
atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang
bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang
menarik dana pensiun.  Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal
21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan
menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap
bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak
dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari
Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan
Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti
program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi
Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap
bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar
Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. 
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji   3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja       15.000,00
Premi Jaminan Kematian   9.000,00

10
Penghasilan bruto   3.024.000,00
Pengurangan    
1. Biaya jabatan    
5%x3.024.000,00 151.200,00  
2. Iuran Pensiun 50.000,00  
3. Iuran Jaminan Hari Tua 60.000,00  
    261.200,00
Penghasilan neto sebulan   2.762.800,00
Penghasilan neto setahun    
12x2.762.800,00  
33.153.600,00
PTKP    
24.300.000,0
- untuk WP sendiri  
0
- tambahan WP kawin  
2.025.000,00
   
26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun  
6.828.600,00
Pembulatan  
6.828.000,00
PPh terutang    
5%x6.828.000,00  
341.400,00
PPh Pasal 21 bulan Juli    
341.400,00 : 12  
28.452,00

Catatan:

 Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
 Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP.
Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal
21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp
34.140,00

4. Menjelaskan Norma Penghitungan Penghasilan Netto

11
Self assessment system perpajakan ternyata memberi beban besar kepada Wajib Pajak
untuk mampu mendaftar sendiri, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri pajaknya. Sementara banyak Wajib Pajak tidak mampu untuk
melaksanakannya. Pada awal reformasi perpajakan dengan berlakunya Undang-Undang
KUP 1983 dan Undang-Undang PPh 1983, Direktur Jenderal Pajak memberi dasar dan
arahan bagi Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak untuk menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung Pajak Penghasilan.

Penggunaan NPPN ini juga dapat digunakan ketika Pemeriksa Pajak harus menetapkan
pajak terhutang Wajib Pajak secara jabatan baik bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas atau Wajib Pajak badan. Penggunaan NPPN ini
termasuk kewenangan untuk menetapkan pajak terhutang terhadap SPT Wajib Pajak yang
sedang diperiksa ketika Wajib Pajak tidak menyerahkan dokumen, buku, catatan /informasi
yang dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak.

Namun sejak tahun 2001, kewenangan Pemeriksa Pajak menetapkan pajak terhutang
secara jabatan dengan menggunakan NPPN untuk Wajib Pajak badan, dicabut seiring
dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 Tentang
NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan
Norma Penghitungan.

Jumlah Wajib Pajak yang terus meningkat namun tidak sebanding dengan dan jumlah
Pemeriksa Pajak, menyebabkan pemeriksaan pajak harus dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Hal ini termasuk jika Wajib Pajak tidak menyerahkan dokumen, buku, catatan /informasi yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak, sehingga Pemeriksa Pajak harus menetapkan pajak
terutang secara jabatan. Penulis berharap Menteri Keuangan untuk kembali memberikan aturan
penggunaan NPPN dalam pemeriksaan pajak untuk Wajib Pajak badan yang harus ditetapkan
pajak terutangnya secara jabatan.

5. Menghitung penghasilan neto karyawan yang tidak punya usaha

Dalam ketentuan perpajakan dan berdasarkan jenis penghasilannya, Wajib Pajak Orang
Pribadi dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok utama, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi
yang bekerja/menerima penghasilan dari pemberi kerja dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
memiliki usaha dan pekerjaan bebas.

12
Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja dan menerima penghasilan dari pemberi kerja ini
biasanya kita kenal sebagai karyawan, pekerja, penerima imbalan sehubungan dengan
pekerjaan/kontrak kerja, contohnya seperti: karyawan, direktur dan komisaris yang dibayar
gaji/honor, pegawai harian, pegawai magang, dan sejenisnya.

Wajib Pajak orang pribadi yang dikategorikan sebagai memiliki usaha dan pekerjaan
bebas, biasanya orang pribadi ini memiliki suatu usaha atau pekerjaan yang dikelola sendiri,
mencari calon pembeli dan memasarkan hasil produknya sendiri tanpa mendapat perintah dari
seseorang atau suatu badan pemberi kerja. Orang pribadi yang memiliki pekerjaan bebas
contohnya seperti, pengacara, dokter, konsultan hukum, konsultan bisnis, manajemen, keuangan,
akuntansi, perpajakan, arsitek dan sejenisnya yang mendapatkan penghasilan karena
menawarkan jasa keahliannya kepada pengguna jasanya (bukan dipekerjakan pada majikan
pemberi penghasilan). Sedangkan orang pribadi yang memiliki usaha bebas contohnya orang
yang membuka toko, membuka kantor jasa yang bersifat perorangan dan sejenisnya.

Dalam pengenaan PPh, orang pribadi yang bekerja dan menerima penghasilan, akan
dipotong PPh yang disebut sebagai PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja. Seluruh penghasilan dan
gaji yang diterima selama setahun ini kelak pada akhir tahun akan dihitung ulang sedangkan PPh
terutangnya akan diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong selama tahun berjalan
oleh pemberi kerja. Dalam perhitungannya, penghasilan berupa gaji dan imbalan yang diperoleh
akan dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan berupa biaya jabatan, iuran pensiun
dan sejenisnya yang telah dipotong oleh pemberi kerja.

Jadi untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja ini,
perhitungannya tidaklah terlalu rumit dan Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan khusus. Yang diperlukan hanyalah
mengumpulkan bukti-bukti pembayaran dan pemotongan penghasilan yang diperoleh dari
pemberi kerja.

Khusus untuk Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan dan usaha bebas, dalam menghitung
Penghasilan kena pajak dibutuhkan pencatatan/pembukuan serta perhitungan yang lebih mendetil
dan lebih rumit. Karena mereka perlu menentukan terlebih dahulu penghasilan neto yang telah
diperoleh selama setahun untuk usaha dan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Pada tulisan

13
berikut dan tulisan-tulisan selanjutnya, penulis akan khusus membahas mengenai metode
penghitungan penghasilan neto untuk orang pribadi yang memiliki usaha dan pekerjaan bebas
ini.

Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas

Dalam ketentuan perpajakan, metode penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas dapat menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu:

 Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
 Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan
Pedoman Norma Penghitungan Penghasilan Neto
 Penghitungan Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan
pembukuan.
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, Bayar PPh Pasal 25 tarif 0,75%

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor


208/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(WP OPPT) adalah Wajib Pajak Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai
pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor


255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 (yang mulai berlaku 1 Januari 2009) ditegaskan
bahwa besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu (WP OPPT), ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.

Kriteria Wajib Pajak orang pribadi yang dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tanggal 12 Juli 2010. Ditegaskan
bahwa yang termasuk sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang

14
mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Pedagang Pengecer yang dimaksud adalah orang
pribadi yang melakukan:

a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau


b. penyerahan jasa,melalui suatu tempat usaha.
Jadi apabila orang pribadi yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu, dalam menentukan berapa besar angsuran PPh Pasal 25 yang harus
disetorkan setiap bulannya adalah dengan menggunakan metode yang sederhana yaitu besarnya
ditetapkan sebesar 0,75% dari peredaran bruto (omzet) perbulan yang diperolehnya dari setiap
tempat usahanya. PPh ini disetorkan/dilaporkan setiap bulannya sebagai PPh Pasal 25.
Sedangkan pada akhir tahun seluruh penghasilan yang diperoleh pada setiap cabang digabungkan
dan dihitung kembali besarnya penghasilan kena pajak dan PPh Terutangnya. PPh Pasal 25 yang
telah disetorkan setiap bulannya (yang sebesar 0,75% dari omzet), adalah merupakan kredit
pajak pengurang dari PPh terutang yang telah dihitung kembali pada akhir tahun tersebut. Dalam
pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu ini
cukup melaporkan seluruh omzet yang diperolehnya selama setahun serta PPh Pasal 25 yang
telah disetorkan setiap bulannya (sebesar 0,75% dari omzet) dengan melampirkan dengan
melampirkan daftar jumlah penghasilan dan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari
masing-masing tempat usaha ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2010.

Kebijakan ini berbeda dengan perlakuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu sebelumnya. Kebijakan sebelumnya (berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-171/PJ./2002 yang berlaku hingga 11 Juli 2010 seiring dengan berlakuknya PER-
32/PJ/2010) disebutkan bahwa pembayaran PPh Pasal 25 yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak
OPPT (menurut ketentuan KEP-171/PJ./2002 ini besarnya adalah sebesar 2% dari omzet setiap
bulannya) selama tahun berjalan akan dianggap sebagai Pelunasan Pajak Penghasilan yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan apabila Wajib Pajak tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final. Oleh sebab itu maka
pada akhir tahun, Wajib Pajak ini tidak perlu lagi menghitung/mencari besarnya penghasilan

15
netto dan penghasilan kena pajak atas seluruh penghasilan yang diterimanya selama setahun,
karena pembayaran PPh Pasal 25 sebesar 2% dari omzet setiap bulannya dianggap sebagai final.

Oleh sebab itu, menurut penulis terdapat adanya ketentuan yang mengatur berbeda dalam
periode tahun 2010 atas perlakuan terhadap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak OPPT
dianggap telah final karena telah menyetorkan PPh Pasal 25 sebesar 2% dari omzet (Pasal 4
huruf a KEP-171/PJ./2002) dengan ketentuan bahwa PPh Pasal 25 sebesar 0,75% yang
disetorkan oleh Wajib Pajak OPPT adalah merupakan kredit pajak dari PPh terutang atas
penghasilan yang diperoleh selama satu tahun pajak (Pasal 3 ayat (3) PER-32/PJ/2010).

6. Menghitung Pajak Terutang, Kredit pajak pasal 21,22,23,24, dan Pasal 25

Untuk menghitung PPh terutang, kita terlebih dahulu harus tahu dasar pengenaan PPh. Dasar
Pengenaan Pajak PPh (DPP PPh) merupakan nilai yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung PPh terutang, atau nilai yang akan dikalikan dengan tarif PPh. DPP PPh ini disebut
dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) menurut UU PPh 1984. Untuk menghitung PKP, anda
harus paham yang menjadi objek PPh dan yang menjadi biaya pengurang dari objek PPh
tersebut. PPh dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam suatu tahun pajak. Intinya, PPh dikenakan atas penghasilan, dan yang dimaksud
penghasilan di sini adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis.maka kita harus menghitung
berapa modal atau biaya yang kita butuhkan untuk mendapatkan atau memperoleh penghasilan
tersebut. 

Dalam konteks pajak penghasilan (pph) yang dimaksud dengan kredit pajak adalah 
1. Pph pasal 21 yang telah dipotong / dipungut oleh pemberi kerja , khusus untuk wajib pajak
orang pribadi.
2. Pph pasal 22 yang telah dipotong atau dipungut pihak lain pada saat wajib pajak mengimpor
barang atau melakukan pembelian maupun penjualan barang kepada pihak tertentu yang ditunjuk
menjadi pemotong atau pemungut pasal 22
3. Pph pasal 23 yang telah dipotong / dipungut pihak lain.
4. Pph pasal 24 yang telah dibayar diluar negeri atas penghasilan diluar negeri.
5. Pph pasal 25 atau yang lebih dikenai dengan angsuran bulanan pph pasal 25 yang telah disetor
sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan.

16
Menghitung PPh yang masih harus dibayar (ps 29/28A) dan angsuran PPh pasal 25 tahun
berjalan.

Pajak yang Kurang dibayar (PPh Pasal 29)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari pada kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang
terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Penjelasan Pasal 29

Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak
yang terutang menurut ketentuan Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, dan paling lambat pada batas akhir penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan.

Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib
dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret, bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi
Wajib Pajak badan, setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama
dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan
pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau
tanggal 31 Oktober bagi Wajib Pajak Badan.

Contoh :

Pajak Penghasilan yang terutang Rp80.000.000,00

Kredit pajak :

- pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp5.000.000,00

- pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000,00

17
- pomotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp5.000.000,00

- kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp15.000.000,00

- dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp10.000.000,00

Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp45.000.000,00

Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar (PPh Pasal 29) Rp35.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah tahun
yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak tahun lalu,
yang dikurangi dengan:

 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan pasal 23
(15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah - serta 2% berdasarkan sewa dan
penghasilan lain serta imbalan jasa) - serta pajak penghasilan yang dipungut sesuai pasal
22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

 Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:

1. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak
yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat
ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 4 Undang-Undang PPh).

18
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:

a) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


b) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan;
d) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e) Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan; dan
f) terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak (Pasal 25 ayat 6 Undang-
Undang PPh).

Penghitungan angsuran PPh pasal 25 selain yang telah diatur dan diberi contoh oleh Undang-
Undang PPh pada pasal 25 ayat (1), pasal 25 ayat (4), dan pasal 25 ayat (6) juga memberi
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak bagi: a. Wajib Pajak baru; b. Wajib Pajak bank , badan usaha milik Negara, badan usaha
milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan c. Wajib Pajak
orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima
persen) dari peredaran usaha (pasal 25 ayat7).
Berdasarkan wewenang tersebut Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 208/ PMK.03/ 2009 (selanjutnya disebut PMK 208/PMK.03/2009)
yang menetapkan penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh :

a) Wajib Pajakbaru
b) Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha MilikNegara, Badan Usaha
Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala,

19
c) Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan
pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun ketentuan ini
memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan
besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan
untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan
kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.

1. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru


a) Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7) huruf a
Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1
angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.
Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau
pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal
25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK 208/PMK.03/2009 yaitu:
1) Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum ataspenghasilan
neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung
besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung
berdasarkan pembukuannya.
b) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari
pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan,

20
penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
c) Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal
yang disetahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih
dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
d) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala,
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi
laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12
(dua belas).

b. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan Peraturan Menteri


Keuangan

Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013


Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya
disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindakdilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(selanjutnya disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib Pajak
yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan Wajib Pajak yang dikenai
Pajak Penghasilan bersifat final diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013,
yaitu:

1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.

21
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
 Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap; dan
 Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b meliputi:
 tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
 pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
 olahragawan;
 penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
 agen iklan;
 pengawas atau pengelola proyek;
 perantara;
 petugas penjaja barang dagangan;
 agen asuransi; dan
 distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis
lainnya.

22
4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
 menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
 menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah:
 Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
 Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dinyatakan pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:

a. Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan
pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak yang bersangkutan.
b. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk
peredaran bruto dari:
 jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3);
 penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
 usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
 penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

23
c. Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
bersangkutan yang disetahunkan.
d. Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan
Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar
sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
e. Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan
pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha
yang disetahunkan.

Contoh:
1) PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada bulan
Agustus 2013 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z.
PT Andalan menggunakan tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2014
PT Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan
instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada
tanggal 1 November 2014 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial
berupa produksi gula dalam kemasan. Jika laporan laba rugi PT Andalan pada bulan November
2014 menyatakan peredaran bruto Rp500.000.000,00 dan biaya-biaya fiskal Rp 400.000.000,00.
a. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014 ?
b. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014?

a. Masa Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014, PT Andalan belum mempunyai
kewajiban membayar angsuran PPh pasal 25 karena belum beroperasi secara komersial
sehingga belum mempunyai penghasilan dan Pajak Penghasilan terutang nihil (Undang –
Undang PPh pasal 25).

24
b. Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 diatur sbb:
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2), pasal 2 ayat (5), serta pasal 7 PMK 107/PMK.011/2013
maka terhadap PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-
Undang PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial.
Peraturan yang terkait dengan tarif umum Undang-Undang PPh yaitu Undang-Undang
PPh pasal 17, pasal 25, dan pasal 31 E ; PMK 208/PMK.03/2009 pasal 2 ayat (1) dan
pasal 2 ayat (2).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 (saat mulai beroperasi secara
komersial) berdasarkan penghasilan neto sebulan kemudian disetahunkan.

Peredaran bruto                                           Rp 500.000.000,00


Biaya-biaya fiskal                                       Rp 400.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                 Rp 100.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal setahun                Rp 1.200.000.000,00
Kompensasi Kerugian                                Rp 0,00                      
Penghasilan Kena Pajak                             Rp 1.200.000.000,00
Peredaran Bruto setahun adalah : 12 x Rp. Rp 500.000.000,00 = Rp 6.000.000.000,00.

Karena jumlah peredaran bruto masih dibawah Rp50.000.000.000,00 setahun maka


terhadap PT Andalan mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam
menghitung Pajak Penghasilan terutang.
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
adalah:

Rp 4.800.000.000,00 x Rp 1.200.000.000,00 = Rp 960.000.000,00.


Rp 6.000.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang: 50% x 25% x Rp 960.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas:

25
Rp1.200.000.000,00 – Rp960.000.000,00 = Rp 240.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang: 25% x Rp 240.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan terutang: Rp 120.000.000,00 + Rp 60.000.000,00= Rp
180.000.000,00.
Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014: Rp180.000.000,00/ 12 = Rp15.000.000,00
dan disetor ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 Desember 2014.

Apabila sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas jumlah peredaran bruto bulan November
2014 (saat mulai beroperasi secara komersial) Rp300.000.000,00 dan biaya-biaya fiskal
sebesar Rp200.000.000,00.
Jumlah peredaran bruto setahun adalah: 12 x Rp300.000.000,00 = Rp3.600.000.000,00 (masih
dibawah Rp4.800.000.000,00). Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 tetap
berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh seperti contoh PT Andalan di atas.

2) Tn. Bejo (subjek pajak dalam negeri) statusnya menikah dan mempunyai 3 orang anak, tinggal
di Jakarta. Pada bulan Juli 2014 memulai usaha bengkel mobil "Lari Cepat". Jumlah penghasilan
selama bulan Juli 2014 sebesar Rp500.000.000,00. Biaya – biaya yang dikeluarkan pada bulan
Juli 2014 sebesar Rp450.000.000,00. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014?

Jawaban:
Peraturan yang terkait adalah PMK No. 107/PMK.11/2013 pasal 2 dan pasal 3. Wajib Pajak baru
terdaftar bulan Juli 2014 (setelah berlakunya PP 46 tahun 2013 dan PMK 107/PMK.011/2013),
maka pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp500.000.000,00 = Rp6.000.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan sudah melebihiRp4.800.000.000,00, maka
penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh.
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 adalah:

Peredaran Usaha bulan Juli 2014                           Rp 500.000.000,00


Biaya-biaya fiskal                                                    Rp 450.000.000,00

26
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                            Rp 50.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal setahun                            Rp 600.000.000,00
PTKP : K/3                                                               Rp 32.400.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun                           Rp 567.600.000,00

PPh Wajib Pajak Orang Pribadi terutang:


5% x Rp 50.000.000,00      = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00  = Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00  = Rp 62.500.000,00
30% x Rp 67.600.000,00    = Rp 20.280.000,00
           Rp 567.600.000,00     Rp 115.280.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 adalah : Rp115.280.000,00 / 12 = Rp9.606.666,00 dan
paling lambat disetor ke Kas Negara tanggal 15 Agustus 2014.

3) Tn. Kanai (subjek pajak dalam negeri) memulai usaha restoran "Enak Lezat" pada bulan
Agustus 2014. Peredaran usaha bulan Agustus Rp300.000.000,00. Berdasarkan pembukuan,
diketahui jumlah biaya-biaya fiskal sebesar Rp250.000.000,00. Berapa besaran angsuran PPh
pasal 25 bulan Agustus 2014?
Jawaban:
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp300.000.000,00 = Rp3.600.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihiRp4.800.000.000,00 maka terhadap
penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%.
PPh terutang bulan Agustus 2014 adalah: 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00 dan tidak
ada angsuran PPh pasal 25.

2. Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam
bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah,
dan Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala

27
a. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak bank dan sewa guna
usaha dengan hak opsi.

Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 diatur dalam pasal 3 PMK 208/ PMK.03/
2009 yaitu besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-
rugi fiskal menurut laporan keuangantriwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu,
dibagi 12.

Contoh:
PT Bank X berdasarkan laporan keuangan triwulan Januari - Maret 2014 diketahui memperolah
laba fiskal sebesar Rp5.000.000.000,00. PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar Rp400.000.000,00.
Hitunglah jumlah angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014).

Jawaban:
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014) didasarkan pada
laporan keuangan triwulan terakhir yaitu triwulan I (Januari-Maret 2014).
Diasumsikan bahwa peredaran bruto triwulan I setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka
terhadap PT Bank X tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam
menghitung Pajak Penghasilan terutang.

Laba Fiskal yang disetahunkan : 4 x Rp5.000.000.000,00 = Rp 20.000.000.000,00


PPh Terutang : 25% x Rp20.000.000.000,00 = Rp5.000.000.000,00
Kredit Pajak Pasal 24 tahun 2013 =(Rp 400.000.000,00)
PPh yang harus dibayar sendiri =Rp4.600.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan April 2014 : Rp4.600.000.000,00 / 12 = Rp 383.333.333,00

Selanjutnya penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan III (Juli-September) didasarkan
pada laporan keuangan triwulan II (April-Juni).

28
b. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah.
Penghitungannya diatur pada Pasal 4 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu:

 Besarnya Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-
rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang
bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi
dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta
Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang
lalu, dibagi 12 (dua belas).
 Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan, maka
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan
pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir
tahun pajak sebelumnya.

Contoh:
PT MBA merupakan Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) tahun 2014 yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham pada bulan

Januari 2014 diketahui sbb:

Rencana Peredaran bruto tahun 2014                     Rp 100.000.000.000,00


Rencana Laba Fiskal tahun 2014 sebesar              Rp 10.000.000.000,00
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar                 Rp 150.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar      Rp 100.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                          Rp 400.000.000,00
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 adalah :
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka terhadap PT MBA tidak
mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan
terutang.

29
Rencana Laba Fiskal tahun 2014                        Rp 10.000.000.000,00
PPh Terutang : 25% x Rp. 10.000.000.000,00 = Rp 2.500.000.000,00
Kredit Pajak

:
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar            Rp 150.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar Rp 100.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                     Rp 400.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 650.000.000,00
PPh Badan terutang yang harus bayar sendiri   Rp 1.850.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 :                 Rp1.850.000.000,00 / 12= Rp.
154.166.666,00

c. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala,
penghitungannya diatur pada Pasal 5 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu sebesar Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan
keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri
untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

Contoh:
PT ACI Tbk berdasarkan laporan keuangan berkala bulan Januari - Juni 2014 diketahui sbb:
Peredaran Bruto Januari-Juni 2014               Rp 60.000.000.000,00
Laba Fiskal Januari - Juni 2014                     Rp 20.000.000.000,00
PPh pasal 22 impor tahun 2013                    Rp 100.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013         Rp 70.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013                             Rp 300.000.000,00

Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada bulan setelah penyampaian laporan berkala adalah :
Peredaran bruto setahun 2 x Rp 50.000.000.000,00 = Rp 100.000.000.000,00.

30
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka terhadap PT ACI tidak
mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan
terutang.
Laba Fiskal Januari-Juni 2014                     Rp 20.000.000.000,00
Laba Fiskal tahun 2014 (setahun)               Rp 40.000.000.000,00
PPh Terutang :
25% x Rp 40.000.000.000,00 =                    Rp 10.000.000.000,00
Kredit Pajak:
PPh pasal 22 impor tahun 2013                   Rp 100.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013        Rp 70.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar             Rp 300.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak                                    Rp 470.000.000,00
PPh Badan yang harus bayar sendiri          Rp 9.530.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli sampai Desember 2014 : Rp 9.530.000.000,00 / 12 = Rp
794.166.666,00

3.   Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu.

Penghitungannya diatur pada Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009. Besarnya angsuran PPh
pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol
koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing
tempat usaha tersebut.

Ketentuan pelaksanaan angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Nomor Per-32/PJ/2010 Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25
bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Pasal 1 Per 32/PJ/2010 menjelaskan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang
Pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
Pedagang Pengecer adalah orang pribadi yang melakukan:

31
a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha.

Contoh:
Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan mobil
bekas yang memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha dan memulai usahanya pada bulan Juli 2014.
Peredaran bruto pada bulan Juli 2014 sebesar Rp350.000.000,00.
Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?

Jawaban:
Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sesuai pasal 6 PMK
208/ PMK.03/ 2009 karena dikategorikan sebagai Pedagang Pengecer (Pasal 1 Per
32/PJ/2010).
Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan
No.107/PMK.011/2013 tanggal 30 Juli 2013, pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan
pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha
yang disetahunkan.

Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 350.000.000,00 =


Rp4.200.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi Rp 4.800.000.000,00 maka terhadap
penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%
sesuai PP Nomor 46 tahun 2013.
PPh terutang bulan Juli 2014 adalah: 1% x Rp4.200.000.000,00 = Rp 42.000.000,00 dan tidak
ada angsuran PPh pasal 25.

Masih dengan contoh di atas, namun jika peredaran bruto Heri pada bulan Juli 2014
sebesar Rp 500.000.000,00. Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 500.000.000,00 = Rp 6.000.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 maka terhadap
penghasilan bruto tahun 2014 penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal
17 Undang-Undang PPh.
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 dihitung sesuai Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009 dan Per

32
32/PJ/2010.
Angsuran PPh Pasal 25 bulan Juli 2014 = 0,75% x Rp 500.000.000,00 = Rp 3.750.000,00.
Angsuran tersebut dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Agustus 2014.
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2014 adalah
0,75% dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.

BAB III
PENUTUP

Daftar Pustaka

a. B.Ilyas, Wirawan Richard Burton.2011.Hukum Pajak.Edisi Kelima.Jakarta.Salemba Empat


b. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhirdengan Undang-Undang Nomor 16
tahun 2009

c. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilansebagaimana telah diubah terakhirdengan Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008
d. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 TentangPajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari UsahaYang Diterima Atau Diperoleh Wajib PajakYang Memiliki Peredaran
Bruto      Tertentu
e. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan
f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.01/PJ.07/1991 Tentang Norma
Penghitungan    Penghasilan Netto Dan Tata Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib Pajak
Yang Dapat  Menghitung Penghasilan Netto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Pajak       Penghasilan Neto.

33
34

Anda mungkin juga menyukai