Anda di halaman 1dari 4

Millenial Bergerak Mewujudkan Bumi Yang Sehat

Ada pepatah lama yang berbunyi tak kenal maka tak sayang, maka perkenalkan saya
Alfiyan Adi Permana, atau biasa dipanggil “Alfiyan”. Saya lahir di Kabupaten Blora pada tanggal
18 Oktober 2002. Sejak kecil saya sudah ikut merantau bersama kedua orangtua saya ke Kota
Bekasi, dan tumbuh besar disana. Sudah 2 semester ini saya diberikan kesempatan untuk
melanjutkan studi S-1 saya di Institut Teknologi Sumatera dengan konsentrasi Jurusan Teknologi
Infrastruktur dan Kewilayahan tepatnya pada Program Studi Teknik Perkeretaapian. Saya memilih
bidang studi ini karena ketertarikan saya sejak kecil terhadap dunia transportasi khususnya
transportasi umum, tentang bagaimana sistemnya berjalan dan bagaimana dampaknya terhadap
permasalahan lingkungan.

Saat saya SD dulu, saya senang sekali bersepeda, bahkan kendaraan utama saya untuk
bepergian ya sepeda, mengayuh pedal dengan kaki kecil, menyusuri sudut kota dan menikmati
suasana yang rindang menjadi hal yang menyenangkan, dan itu terbawa hingga saya SMP, sepeda
menjadi teman dekat saya dalam mengarungi kegiatan, mulai dari latihan futsal, rapat pengurus
OSIS sampai latihan pramuka, bahkan saya sempat menjadi delegasi Jambore Nasional Pramuka
Ke-10 di Cibubur, dan itu semua tidak lepas dari peran sepeda saya yang selalu setia mengantarkan
saya ke tempat tujuan. Namun beranjak SMK, saya tidak lagi menggunakan sepeda sebagai
transportasi utama saya untuk pergi sekolah. Lokasi sekolah yang berada di pusat kota membuat
saya terpaksa beralih ke moda transportasi sepeda motor, saat itulah saya mulai menyadari bahwa
penggunaan kendaraan bermotor merubah sesuatu di bumi ini, berangkat sekolah yang dulunya
menyenangkan seketika berubah menjadi hal yang paling amat tidak saya sukai, karena saat saya
melintas di jalan raya banyak sekali asap kendaraan yang saya hirup, membuat saya batuk dan
membuat lingkungan menjadi gersang. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi saya memilih
bidang studi Teknik Perkeretaapian, karena disamping prospek yang menjanjikan, kereta juga
membantu mengurangi emisi karbon berkat efisiensi penggunaan bahan bakarnya.

Berbicara tentang sektor transportasi, seperti yang kita ketahui merupakan salah satu
penyumbang terbesar pemanasan global, gas buang yang dihasilkan kendaraan hasil dari
pembakaran mesin menghasilkan zat karbonmonoksida, zat tersebut dapat menimbulkan kerugian
bagi lingkungan, salah satunya adalah perubahan suhu. Perubahan suhu setiap tahun tahun kian
meningkat. Pasti dari kita banyak yang merasakan perubahan suhu di lingkungan sekitar tempat
tinggal kita, contoh saja di tempat tinggal saya sekarang yaitu Bekasi, bahkan orang-orang
menyebut bahwa Bekasi merupakan daerah di planet lain karena suhu udaranya yang sangat terik.
Global warming adalah isu lingkungan yang tak akan pernah dibuat usang oleh perkembangan
zaman dan peradaban. Sejak pesatnya kemajuan teknologi di dunia ini, sebut saja ini era revolusi
teknologi, pekerjaan manusia menjadi lebih mudah baik dalam kegiatan komunikasi, mobilisasi,
dan lain-lain. Gaya hidup masyarakat mengalami perubahan pada hal-hal yang bersifat praktis dan
cepat. Ada banyak hal di sekitar kita yang cukup menyita perhatian terkait isu global warming ini.
Tidak perlu menengok jauh-jauh, contoh yang paling sederhana adalah di lingkungan kampus. Ada
banyak mobil yang parkir di sana-sini. Mobil-mobil ini ternyata bukan seluruhnya milik pengajar
(dosen) dan karyawan. Sebagian besarnya adalah milik mahasiswa. Pertanyaannya tidak jatuh pada
apakah mereka dibelikan atau membeli sendiri, tetapi pada “perlukah?”. Perlukah seorang mahasiswa
yang datang ke kampus seorang diri, hendak duduk beberapa jam, beraktivitas di dalam kampus
kemudian pulang dan tidak membawa kebutuhan kuliah yang sedemikian beratnya sehingga harus
diangkut menggunakan mobil kemudian menggunakan kendaraan pribadi beroda empat tersebut ke
kampus?

Di tengah galaknya pemerintah merevitalisasi angkutan umum, keputusan mahasiswa tersebut


sangatlah disesali, karena sebagai mahasiswa tentu sudah seharusnya dapat memahami apa dampak
dari pengguanaan kendaraan pribadi secara tidak bijak. Kota yang besar jadi terasa cukup sesak dengan
datangnya perantau muda untuk menimba ilmu dan memperjuangkan masa depan. Volume kendaraan
yang keluar masuk kota, ditambah mahasiswa yang membawa mobil seorang diri. Selain meninggalkan
asap kendaraan bermotor, mobil juga menyita banyak tempat untuk parkir. Tindakan tersebut tentu
bukan merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan, tetapi untuk memuaskan keinginan, keinginan akan
prestige yang tinggi.

Anak muda mana sih yang tidak bangga mampu mengendarai mobil ke kampus? Tidak
ada. Sayang sekali, kebanggaan semacam itu adalah kebanggaan yang diletakkan pada tempat
yang salah sebab justru memberikan dampak kurang baik yang lebih banyak pada orang lain dan
hanya memberikan kenyamanan bagi diri sendiri. Kita tentu sudah dapat menebak latar belakang
di balik fenomena ini. Gengsi (prestige) adalah faktor pendorong utama mengapa banyak
mahasiswa yang pergi ke kampus menggunakan mobil sementara mereka masih sanggup
menggunakan kendaraan bermotor roda dua atau bahkan sepeda. Tentu saja prestige, kalau bukan
karena prestige karena apa lagi? Tidak mungkin karena kebutuhan, sebab kebanyakan mahasiswa
yang membawa mobil memang tidak sedang kerepotan membawa barang-barang yang perlu
diangkut menggunakan mobil. Kebanyakan dari mereka hanya membawa satu tas yang terlihat
tidak begitu berisi.

Sekilas kita pasti berpikir bahwa itu bukan kebutuhan tetapi gaya hidup yang diliputi
prestige. Prestige itu kemudian menutup kesadaran banyak orang untuk turut berpartisipasi dalam
menjaga lingkungan, dalam hal ini mengurangi polusi udara. Mereka berpikir tidak dapat hidup
tanpa prestige sementara kebutuhan akan udara bersih yang mereka hirup setiap harinya dilupakan.
Ini adalah sebuah ironi. Mahasiswa dengan idealisme dan semangatnya yang masih tinggi sudah
sepatutnya memiliki kesadaran yang penuh untuk menjaga keasrian lingkungan terlebih kampus
terletak di perkotaan yang tanpa sumbangan polutan udara dari dalam pun sudah cukup
membuatnya kurang asri karena datangnya polutan dari luar. Di perkotaan banyak sekali
transportasi yang dapat kita akses untuk menuju ke kampus, ada ojek online, shuttle bus, angkot
dan bahkan jika lokasi kampus tidak terlalu jauh, kita bisa jalan kaki, selain irit biaya, tentu saja
berdampak baik pada lingkungan.

Kita sebagai mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi agent of change dan menjadi
pelopor perubahan di masa depan harus bisa membawa dampak positif terhadap lingkungan di
sekitar kita, mulai dari hal terkecil seperti penggunaan kendaraan bermotor. Mungkin dampaknya
tidak begitu besar jika hanya kita saja yang mulai membudayakan jalan kaki dan menggunakan
kendaraan umum, tapi bayangkan jika keluarga kita, orang di sekitar kita juga mengikuti apa yang
kita lakukan? Tentu saja bumi kita akan menjadi sehat kembali dan bisa terus menjadi tempat kita
hidup dan berdiri. Let’s stop global warming!

Anda mungkin juga menyukai