Anda di halaman 1dari 114

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KELAINAN

REFRAKSI MATA PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 10 TASIKMALAYA


TAHUN 2019

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat dengan Peminatan Epidemiologi

Disusun oleh:
Kinkin Sakinah
154101063

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2020
© 2020
Hak cipta ada pada penulis

ii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini lahir dan terjawantahkan karena rahmat Allah SWT serta doa dari
orang-orang tercinta. Skripsi ini kupersembahkan untuk Ayah, Bunda serta kedua
adikku.

v
RIWAYAT HIDUP

Nama : Kinkin Sakinah

Alamat : Kp. Karang Tengah, RT 01, RW 09, Desa Nagrak,

Kecamatan

Cianjur, Kabupaten Cianjur

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl Lahir : Cianjur, 04 Juli 1997

Status : Lajang

Agama : Islam

Email : kinkinsakinah11@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. SDN Karang Tengah (2003 – 2009)

2. SMP Negeri 5 Cianjur (2009 - 2012)

3. SMA Negeri 1 Cianjur (2012 - 2015)

4. Universitas Siliwangi (2015-2020)

vi
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahamat dan

hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahakan kepada penulis, sehingga bisa

menyelasaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Kelainan Refraksi Mata pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019” sebagai syarat untuk menyelesaiakan Program Sarjana

(S1) pada Program Sarjana Fakultas Ilmu Kesehatan, Jurusan Kesehatan

Masyarakat Universitas Siliwangi.

Kerja keras, ketekunan dan ketulusan hati telah saya curahkan dalam

pembuatan skripsi ini. Banyak hambatan serta rintangan yang penulis hadapi

namun pada akhirnya dapat melaluinya berkat adanya bimbingan dan bantuan dari

berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Suryana Abdurrahmat, S.Pd., M. Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Siliwangi.

2. Andik Setiyono, SKM., M.Kes. dan H. Yuldan Faturahman, SKM., M.Kes.

selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk

memberikan arahan selama penyusunan skripsi.

3. Kedua Orang tua, adik, kakek dan nenek yang telah memberikan doa dan

dukungan selama proses pembuatan skripsi.

4. Seluruh dosen/pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi,

yang telah membimbing saya selama menimba ilmu di Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Siliwangi.

5. Seluruh jajaran Staf Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi.

vii
6. Seluruh responden yang telah bersedia membantu dan meluangkan waktu

dalam pengisian kuesioner.

7. Teman-teman seperjuangan Kesmas angkatan 2015, keluarga besar UKM

Teater 28, teman-teman KKN 17 Mangkonjaya, adik-adik Kesmas

angkatan 2017 yang telah bersedia menjadi enumerator pada saat survei

awal, dan teman-teman yang tinggal bersama selama 4 tahun Laila, Vina,

Sarah, Melani.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu memberikan dukungan.

Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk mendorong penelitian-

penelitian selanjutnya.

Tasikmalaya, 10 Januari 2020

Kinkin Sakinah

viii
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
2020
ABSTRAK
KINKIN SAKINAH

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KELAINAN


REFRAKSI MATA PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 10 TASIKMALAYA
TAHUN 2019

Kelainan refraksi merupakan gangguan penglihatan yang terjadi karena


ketidak seimbangan proses pembiasan, dimana bayangan tidak dapat terbentuk
dengan sempurna dan pandangan menjadi buram. Seseorang dengan kondisi ini
biasanya kesulitan melihat objek jauh atau dekat. SMP Negeri 10 Tasikmalaya
merupakan salah satu sekolah yang berada di wilayah kerja Puskesmas Tawang.
Hasil program penjaringan kesehatan indera oleh Puskesmas Tawang, SMP
Negeri 10 Tasikmalaya menjadi sekolah dengan penemuan kasus kelainan
refraksi tertinggi pada tahun 2017. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 10
Tasikmalaya dengan sampel sebanyak 170 orang siswa, namun pada saat
penelitian berlangsung 4 orang siswa dianggap keluar dari penelitian, karena tidak
hadir pada saat penelitian berlangsung. Analisis statistika yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji Chi-square 2x2 dan 2x3, dengan α=0,05. Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara kelainan refraksi dengan status gizi (p=0,001),
waktu menonton TV (p=0,00), jarak menonton TV (p=0,019), waktu menggunakan
gadget (p=0,019), posisi menggunakan gadget (p=0,019), jarak menggunakan
gadget (p=0,004). Variabel-variabel lainnya seperti riwayat keluarga, riwayat
BBLR, waktu membaca, posisi membaca, jarak membaca, posisi menonton TV,
dan aktivitas melihat jarak jauh tidak menunjukkan adanya hubungan dengan
kelainan refraksi.

Kata kunci : kelainan refraksi, penelitian


Kepustakaan : 2003 – 2018 (38)

ix
ABSTRACT

Refractive errors is a visual impairment that occurs because of


imbalance refraction process, where shadow can not be fully formed and the view
becomes opaque. A person with this condition usually have trouble in seeing
objects, distant or close. SMP Negeri 10 Tasikmalaya is one of the schools inside
the Puskesmas Tawang scope of work area. The results of the screening sensory
health program by Puskesmas Tawang, found that SMP Negeri 10 Tasikmalaya
has the highest number of refractive errors case in 2017. The study was conducted
in SMP Negeri 10 Tasikmalaya with 170 sample students, but during the research
4 students were considered out of research, because they were not attend the
interview. Statistical analysis used in this study is the Chi-square test of 2x2 and
2x3, with α = 0.05. The result shows that there’s no relationship between refractive
error and nutritional status (p = 0.001), time watching TV (p = 0.00), TV viewing
distance (p = 0.019), while using the gadget (p = 0.019), the position of using the
gadget ( p = 0.019), the distance using the gadget (p = 0.004). Other variables
such as family history, history of low birth weight, reading time habits, reading
positions, reading distance, the position of watching TV, and long distance viewing
activity shows no association with refractive errors.

key word : refractive errors, study


literature : 2002 -2018 (38)

x
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan........................................................................................... 6
D. Ruang Lingkup.............................................................................. 8
E. Manfaat......................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 10
A. Emetropia ..................................................................................... 10
B. Kelainan Refraksi (Ametropia) ...................................................... 10
C. Etiologi .......................................................................................... 13
D. Faktor Risiko ................................................................................. 13
E. Pencegahan ................................................................................. 25
F. Penatalaksanaan .......................................................................... 26
G. Pemeriksaan Visus Mata (Tajam Penglihatan).............................. 27
H. Kerangka Teori ............................................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 30
A. Kerangka Konsep ......................................................................... 30
B. Hipotesis Penelitian ...................................................................... 31
C. Variabel Penelitian ........................................................................ 33
D. Metode Penelitian ......................................................................... 36
E. Populasi dan Smapel .................................................................... 36
F. Instrumen Penelitian ..................................................................... 39
G. Prosedur Penelitian....................................................................... 39
H. Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN...................................................................... 44
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 44
B. Analisis Penelitian ......................................................................... 45
1. Analisis Univariat .................................................................... 45
2. Analisis Bivariat ....................................................................... 51
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................. 58
A. Riwayat Keluarga .......................................................................... 58
B. Status Gizi .................................................................................... 59
C. Riwayat BBLR............................................................................... 59
D. Konsumsi Vitamin A ...................................................................... 60
E. Waktu Membaca ........................................................................... 61
F. Posisi Membaca ........................................................................... 62
G. Jarak Membaca ............................................................................ 63
H. Waktu Menonton TV ..................................................................... 64
I. Posisi Menonton TV ...................................................................... 65
J. Jarak Menonton TV....................................................................... 66

xi
K. Waktu Menggunakan Gagdget ..................................................... 67
L. Posisi Menggunakan Gadget ........................................................ 68
M. Jarak Menggunakan Gadget ......................................................... 68
N. Akrtivitas Melihat Jarak Jauh ........................................................ 69
O. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 70
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 71
A. Simpulan....................................................................................... 71
B. Saran ............................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.2 Sampel Kelompok Kasus dan Kontrol

Tabel 3.3 Coding Data

Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat Kelainan Refraksi Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.2 Hasil Analisis Univariat Riwayat Keluarga Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.3 Hasil Analisis Univariat Status Gizi Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya

Tahun 2019

Tabel 4.4 Hasil Analisis Univariat Riwayat BBLR Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.5 Hasil Analisis Univariat Konsumsi Vitamin A Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.6 Hasil Analisis Univariat Waktu Membaca Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.7 Hasil Analisis Univariat Posisi Membaca Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.8 Hasil Analisis Univariat Jarak Membaca Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.9 Hasil Analisis Univariat Waktu Menonton TV Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.10 Hasil Analisis Univariat Posisi Menonton TV Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

xiii
Tabel 4.11 Hasil Analisis Univariat Jarak Menonton TV Siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.12 Hasil Analisis Univariat Waktu Menggunakan gadget Siswa SMP

Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.13 Hasil Analisis Univariat Posisi Menggunakan gadget Siswa SMP Negeri

10 Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.14 Hasil Analisis Univariat Jarak Menggunakan gadget Siswa SMP Negeri

10 Tasikmalaya Tahun 2019

Tabel 4.15 Hasil Analisis Univariat Aktivitas Melihat Jarak Jauh Siswa SMP Negeri

10 Tasikmalaya Tahun 2019

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penglihatan Pada Mata Normal

Gambar 2.2 Penglihatan pada Mata Miopia

Gambar 2.3 Penglihatan pada Mata Hipermetropia

Gambar 2.4 Penglihatan pada Mata Astigmatisme

Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi

tentang pengangkatan Dosen Pembimbing Skripsi I dan II

Lampiran 2 Kartu Bimbingan

Lampiran 3 Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian Berwenang

Lampiran 4 Kuesioner

Lampiran 5 Hasil Analisis Univariat dan Bivariat dengan SPSS

Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia,

melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk

melaksanakan berbagai kegiatan. Gangguan terhadap penglihatan banyak

terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat

mengakibatkan kebutaan. Upaya mencegah dan menanggulangi

gangguan penglihatan dan kebutaan perlu mendapatkan perhatian

(Kemenkes RI, 2014).

Kelainan refraksi mata adalah ketidak seimbangan pembiasaan

dalam proses pembentukan bayangan. Keadaan ini menyebabkan

penglihatan kabur (Dwi, 2018). Kelainan refraksi mata adalah suatu

keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina, melainkan di

bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik

yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu:

miopia, hipermetropia, dan astigmatisma (Ilyas, 2010).

Menurut WHO (2012) 285 juta orang di dunia yang mengalami

gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan tersebut dibagi menjadi

kebutaan dan penglihatan kurang (low vision). Sebanyak 39 juta orang

mengalami kebutaan dan 246 juta orang mengalami berpenglihatan kurang

(low vision). Ketajaman penglihatan seseorang sudah dikatakan low vision

dengan visus 6/18. Gangguan penglihatan tersebut disebabkan oleh

kelainan refraksi 43%, katarak 33% dan glaukoma 2%. Sekitar 80%

gangguan penglihatan dapat dicegah atau diobati sejak dini (WHO, 2012).

1
2

Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 angka kebutaan di

Indonesia masih tinggi yakni diatas 0,5%. Diperkirakan dari prevalensi

tersebut sekitar 9000 orang di Indonesia mengalami kebutaan dan 2 juta

orang mengalami gangguan penglihatan atau low vision. Salah satu

penyumbang terbanyak dari low vision tersebut adalah gangguan refraksi

(Kemenkes RI, 2014).

Program penjaringan kesehatan indera oleh setiap Puskesmas

di Kota Tasikmalaya yang dilakukan pada siswa SD (kelas 5 dan 6) dan

SMP (Kelas 7) tahun 2018, ditemukan 606 kasus kelainan refraksi pada

siswa SD, dan 380 kasus pada siswa SMP. Jumlah kasus kelainan refraksi

tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni, 499 kasus

pada siswa SD dan 379 pada siswa SMP pada tahun 2017 (Dinkes Kota

Tasikmalaya, 2017, 2018). Berdasarkan data hasil penjaringan kesehatan

indera tahun 2018 yang dilakukan pada siswa kelas VII SMP, Puskesmas

Tawang menjadi puskesmas dengan penemuan kasus terbanyak yakni

sebesar 140 kasus, Puskesmas Cilembang sebanyak 89 kasus dan

Puskesmas Sambongpari 58 kasus (Dinkes Kota Tasikmalaya, 2017).

Puskesmas Tawang merupakan merupakan salah satu

Puskesmas di Kota Tasikmalaya yang juga melakukan program

penjaringan kesehatan indera pada siswa SD dan SMP. Pada tahun 2017

Puskesmas Tawang menjadi Puskesmas dengan penemuan kasus

kelainan refraksi terbanyak di Kota Tasikmalaya. Ditemukan 101 kasus

kelainan refraksi pada siswa SD dan 140 kasus pada siswa SMP. Tahun

2018 ditemukan 123 kasus pada siswa SD dan 128 kasus pada siswa SMP

(Puskesmas Tawang, 2017,2018).


3

Berdasarkan data hasil penjaringan kesehatan indera oleh

Puskesmas Tawang, kelainan refraksi mata lebih banyak ditemukan pada

siwa SMP daripada siswa SD. SMP Negeri 10 Tasikmalaya merupakan

salah satu sekolah menengah pertama yang berada wilayah kerja

Puskesmas Tawang. Berdasarkan hasil penjaringan kesehatan indera

pada tahun 2018, SMP Negeri 10 Tasikmalaya menjadi sekolah dengan

penemuan kasus kelainan refraksi terbanyak yakni dengan jumlah kasus

61. Kasus kelainan refraksi tersebut mengalami peningkatan pada tahun

2019 yakni sebanyak 85 kasus (Puskesmas Tawang, 2018, 2019).

Faktor risiko kelainan refraksi mata diantaranya, faktor riwayat

keluarga, penderita gangguan kesehatan tertentu seperti diabetes melitus,

dan stress visual misalnya membaca, menggunakan telepon genggam dan

menonton televisi terlalu dekat, riwayat BBLR, serta kekurang vitamin A

(Dwi, 2018). Menurut penelitian Tiya (2016) faktor yang berhubungan

dengan kelainan refraksi adalah faktor genetik, status gizi, aktifitas melihat

jarak jauh dan aktifitas melihat jarak dekat

Hasil survei awal yang dilakukan pada 20 orang siswa SMP

Negeri 10 Tasikmalaya yang memiliki visus kurang kurang dari 6/6 (dalam

satuan meter) atau kurang dari 20/20 (dalam satuan kaki), 8 (40%)

diantaranya memiliki riwayat keluarga kelainan refraksi. Sebanyak 7 (35%)

orang siswa memiliki status gizi kurus dan 12 (60%) orang siswa memiliki

status gizi normal. Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya membaca buku

pelajaran (selain di sekolah) sebanyak 1-3 jam perharinya, membaca untuk

hobi selama 1-2 jam perhari, menggunakan menonton TV selama 1-5 jam

perhari, dan menggunakan gadget selama 1-5 jam perhari. Kebanyakan


4

siswa masih melakukan aktifitas-aktifitas jarak dekat tersebut dengan

posisi berbaring atau tengkurap, 11 (55%) orang siswa menonton TV

dengan posisi berbaring atau tengkurap, 12 (60%) orang siswa

menggunakan gadget dengan posisi berbaring atau tengkurap. Siswa

jarang melakukan aktifitas melihat jarak jauh seperti olahraga dan aktifitas

di luar ruangan lainnya, 10 (50%) diantaranya hanya melakukan olahraga

satu jam perminggunya pada saat jam pelajaran olahraga di sekolah saja.

Konsumsi vitamin A pada siswa kelas VII di SMP Negeri 10 Tasikmalaya

sudah baik, berdasarkan evaluasi konsumsi makanan dengan metode semi

FFQ, 17 (85%) orang siswa telah mengonsumsi vitamin A dengan jumlah

yang cukup yakni 600 mcg/hari.

Berdasarkan hal-hal diatas, peneliti tertarik dan bermaksud

untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara riwayat keluarga,

status gizi, riwayat BBLR, konsumsi vitamin A, dan stress visual yang terdiri

dari aktivitas melihat jarak jauh dan aktivitas melihat jarak dekat dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

2. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019?
5

3. Apakah ada hubungan antara riwayat BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)

dengan kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP

Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019?

4. Apakah ada hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

5. Apakah ada hubungan antara waktu membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmlaya

tahun 2019?

6. Apakah ada hubungan antara jarak membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

7. Apakah ada hubungan antara posisi membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

8. Apakah ada hubungan antara waktu menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

9. Apakah ada hubungan antara jarak menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

10. Apakah ada hubungan antara posisi menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?


6

11. Apakah ada hubungan anata waktu menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

12. Apakah ada hubungan antara jarak menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

13. Apakah ada hubungan antara posisi menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

14. Apakah ada hubungan antara aktifitas melihat jarak jauh dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa SMP negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019?

C. Tujuan

1. Menganalisis hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

2. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

3. Menganalisis hubungan antara riwayat BBLR (Berat Bayi Lahir

Rendah) dengan kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII

SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.


7

4. Menganalisis hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

5. Menganalisis hubungan antara waktu membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmlaya

tahun 2019.

6. Menganalisis hubungan antara jarak membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

7. Menganalisis hubungan antara posisi membaca dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

8. Menganalisis hubungan antara waktu menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

9. Menganalisis hubungan antara jarak menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

10. Menganalisis hubungan antara posisi menonton TV dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

11. Menganalisis hubungan anata waktu menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.


8

12. Menganalisis hubungan antara jarak menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

13. Menganalisis hubungan antara posisi menggunakan gadget dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

14. Menganalisis hubungan antara aktifitas melihat jarak jauh dengan

kejadian kelainan refraksi mata pada siswa SMP negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

D. Ruang Lingkup

1. Lingkup Masalah

Permasalahan yang akan diteliti adalah hubungan antara

kejadian kelainan refraksi mata dengan faktor risiko yang

mempengaruhi kejadian kelainan refraksi mata. Faktor risiko yang akan

diteliti adalah riwayat keluarga yang mengalami kelainan refraksi mata,

status gizi, riwayat BBLR, konsumsi vitamin A, waktu membaca, posisi

membaca, jarak membaca, waktu menonton TV, posisi menonton TV,

jarak menonton TV, waktu menggunakan gadget, posisi menggunakan

gadget, jarak menggunakan gadget, dan aktivitas melihat jarak jauh.

2. Lingkup Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif observasional dangan desain kasus kontrol (case control).


9

3. Lingkup Keilmuan

Lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah ilmu

epidemiologi khususnya pada penyakit tidak menular kelainan refraksi

mata.

4. Lingkup Tempat

Penelitian ini bertempat di SMP Negeri 10 Tasikmalaya.

5. Lingkup Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah siswa kelas VII di SMP

Negeri 10 Tasikmalaya pada Tahun ajaran 2019-2020.

6. Lingkup Waktu

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Agustus sampai dengan

Desember 2019.

E. Manfaat

1. Bagi Mahasiswa

Menjadi referensi topik penelitian bagi mahasiswa yang tertarik

melakukan penelitian serupa.

2. Bagi Instansi

Menjadi arsip dan salah satu referensi dalam pelaksanaan program

terkait di UPTD Pusksmas Tawang.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Emetropia

Mata yang memiliki penglihatan normal atau tanpa kelainan refraksi

disebut dengan emetropia. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media

penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang, sehingga bayangan

benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di retina. Mata yang

normal akan menempatkan bayangan benda tepat di retina pada keadaan mata

tidak melakukan akomodasi (Ilyas, 2010).

Gambar 2.1
Penglihatan Pada Mata Normal

B. Kelainan Refraksi Mata (Ametropia)

Kelainan refraksi mata adalah ketidak seimbangan pembiasan dalam

proses pembentukan bayangan. Keadaan ini menyebabkan penglihatan kabur

(Dwi, 2018). Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak

dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning

dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam

beberapa bentuk yakni miopia, hipermtropi dan astigmatisma (Ilyas, 2005).

10
11

Bola mata memiliki empat media refraksi. Media refraksi adalah media

yang dapat membiaskan cahaya yang masuk ke mata, yaitu lensa, kornea,

aqueous humor, dan vitreous humor. Agar bayangan dapat jatuh tepat di retina,

cahaya yang masuk harus mengalami refraksi melalui media media tersebut. Jika

terdapat kelainan pada media refraksi, cahaya mungkin tidak jatuh tepat di retina

(Ilyas, 2010).

1. Miopia

Gambar 2.2
Penglihatan pada Mata Miopia

Miopia atau rabun jauh adalah suatu kelainan refraksi yang

disebabkan karena sinar sejajar yang masuk ke mata difokuskan di depan

retina (Kistianti, 2008). Penderita miopia akan lebih jelas melihat benda yang

dekat daripada benda yang jaraknya jauh sehingga disebut juga rabun jauh.

Kelainan ini biasanya diperbaiki dengan lensa negatif sehingga penderita

miopia dapat melihat lebih jelas (Dwi, 2018).


12

2. Hipermetropia

Gambar 2.3
Penglihatan pada Mata Hipermetropia

Hipermetropiaa adalah keadaan yang diakibatkan karena sinar

sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya di belakang retina,

sehingga saat melihat dekat akan terlihat kabur dan akan tampak jelas apabila

melihat dalam jarak yang jauh (Ilyas, 2010).

3. Astigmatisme

Gambar 2.4
Penglihatan pada Mata Astigmatisme
13

Astigmatisme adalah keadaan yang terjadi akibat berkas sinar tidak

difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina tetapi pada 2 garis titik yang

saling tegak lurus karena adanya kelainan kelengkungan permukaan kornea

(Ilyas, 2010).

C. Etiologi

Ada beberapa mekanisme dasar yang diyakini menjadi penyebab

terjadinya kelainan refraksi mata (Ilyas, 2005, 2010 dalam Dwi 2018):

1. Hilangnya bentuk mata (juga diketahui sebagai hilangnya pola mata).

Kondisi ini terjadi ketika kualitas gambar dalam retina berkurang. Panjang

axial bola mata terlalu panjang pada miopia, atau terlalu pendek pada

hipermetropia.

2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah.

3. Kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat. Lensa mata terlalu cekung

pada hipermetropia, terlalu cembung pada miopia, dan kelengkungan

lensa merata di setiap sisi pada penderita astigmatisme.

4. Adanya kekeruhan pada corvus vitreus.

D. Faktor Risiko

Faktor yang berhubungan dengan kelainan refraksi adalah faktor

genetik, status gizi, aktifitas melihat jarak jauh dan aktifitas melihat jarak dekat

(Tiya, 2016). Menurut Dwi Antara (2018) faktor risiko kelainan refraksi antara lain

adalah riwayat keluarga, penderita gangguan kesehatan tertentu seperti diabetes

melitus, riwayat BBLR, usia, dan stress visual. Misalnya melakukan aktifitas seperti

membaca, menggunakan komputer, telepon genggam, atau menonton televisi


14

terlalu dekat, yang dilakukan dalam waktu yang lama dan juga sering, serta

kerurangan vitamin A.

1. Riwayat Keluarga

Faktor keturunan cenderung tidak bisa dihindari. Kondisi mata dengan

kelainan refraksi cenderung menurun dalam keluarga. Seseorang cenderung

memiliki risiko kelainan refraksi lebih besar jika salah satu atau kedua orangtua

memiliki riwayat kelainan refraksi atau gangguan mata lainnya seperti

degenerasi kornea (Dwi, 2018).

Anak dengan orang tua yang mengalami miopia cenderung juga

mengalami miopia. Prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya

miopia adalah 32,9 %, sedangkan pada anak dengan hanya salah satu orang

tuanya yang mengalami miopia adalah sekitar 18,2%, dan kurang dari 8,3%

pada anak dengan orang tua tanpa miopia (Komariah & A, 2014 dalam Nofia,

2018).

Menurut penelitian Wixson yang menyelidiki faktor keturunan sebagai

risiko astigmatise. Ia membandingkan kekuatan kornea dalam kelompok anak

dan orang tua dengan kelompok suami dan istri. Kesimpulan dari penelitian

tersebut adalah kedua orang tua berperan dalam menentukan karakteristik

kekuatan kornea yang kemudian berpengaruh terhadap astigmatisme (Read,

Collins dan Carney, 2006).

Salah satu faktor risiko hipermetropia terbanyak adalah faktor genetik

dan faktor usia. Rabun dekat biasanya terjadi turun temurun. Seseorang yang

anggota keluarga intinya mengalami rabun dekat, biasanya lebih berisiko (Dwi,

2018).
15

2. Struktur mata

Kelainan refraksi terjadi saat bola mata terlalu panjang atau terlalu

pendek. Hal ini menyebabkan sinar cahaya fokus pada satu titik di depan retina,

bukan langsung pada permukaannya. Ketidaknyamanan juga bisa disebabkan

oleh kornea dan/atau lensa yang lengkungannya tidak adekuat, pada kasus

hipermetropia posisi lensa bergeser lebih posterior. Dalam beberapa kasus,

kelainan refraksi disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor ini. Kelainan refraksi juga

terjadi pada penderita DM dimana corpus vitreus mengandung kadar gula tinggi

(Dwi, 2018).

Kondisi-kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:

a. Usia

Kelainan refraksi dapat terjadi pada usia berapapun, akan tetapi dalam

keadaan seperti hipermetropi akan lebih terlihat pada usia diatas 40 tahun,

sedangkan miopia cenderung terjadi mulai dari usia remaja (Dwi, 2018).

Menurut penelitian Della dkk (2014) kasus miopia lebih banyak ditemukan

pada kelompok usia 10-14 tahun yakni sebesar 88,9%. Sebesar 11,1% lainnya

ditemukan pada kelompok usia 6-9 tahun.

b. Status Gizi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang

yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi

di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang,

gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005)

IMT (Indeks Masa Tubuh) merupakan indikator kekurusan dan

kegemukan. Pengukuran IMT merupakan cara paling murah dan mudah dalam
16

mendeteksi masalah status gizi. Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-

anak, remaja dan orang dewasa (Kemenkes RI, 2010).

IMT adalah perbandingan antara berat badan dan tinggi badan

kuadrat. Cara pengukurannya adalah pertama-tama ukur berat badan dan

tinggi badan, selanjutnya hitung IMT dengan rumus berikut (Kemenkes RI,

2010):

IMT = Berat badan (kg)

Tinggi badan 2 (meter)

Pada anak-anak dan remaja pengukuran IMT sangat terkait dengan

umurnya, karena dengan perubahan umur terjadi perubahan komposisi tubuh

dan densitas tubuh. Pengukuran IMT pada remaja dan anak-anak digunakan

indikator umur, biasanya disimbolkan IMT/U (Kemenkes RI, 2010).

Cara menghitung IMT/U biasanya dilakukan dengan mengukur Z-

score, adapun rumus menghitung Z-score adalah sebagai berikut (Kemenkes

RI, 2010):

Z-score = Nilai IMT yang diukur – Nilai median IMT (dalam referensi)

Standar deviasi (dalam referensi)

IMT (Indeks Masa Tubuh) berpengaruh terhadap kelainan refraksi.

Hal tersebut berkaitan dengan panjang bola mata, kedalaman ruang vitreus,

dan kelengkungan kornea. Pada orang dengan IMT gemuk cenderung

menderita hipermetropia karena bola mata lebih pendek dengan ruang vitreus

lebih dangkal dan kelengkungan kornea yang lebih lengkung (Jacobsen dkk,

2006). Bola mata yang lebih pendek, ruang vitreus yang lebih dangkal dan

kornea yang terlalu lengkung akan mempengaruhi proses pembiasan sehingga

cahaya yang datang tidak jatuh tepat di retina melainkan jauh di belakang
17

retina, kondisi ini menyebabkan seseorang sulit melihat objek dengan jarak

dekat.

Orang dengan IMT kurus memiliki bola mata yang lebih panjang

dengan ruang vitreus yang lebih dalam dan kelengkungan kornea yang lebih

tipis (Jacobsen dkk, 2006). Seseorang yang memiliki bola mata yang lebih

panjang, ruang vitreus lebih dalam dan kelengkungan kornea yang lebih tipis

akan cenderung menderita kelainan refraksi. Hal tersebut akan mempengaruhi

proses pembiasan, dimana cahaya yang datang tidak difokuskan pada retina

melainkan di depan retina. Seseorang dengan kondisi tersebut akan kesulitan

melihat objek jarak jauh.

Menurut penelitian Tiya (2016) kasus kelainan refraksi berdasarkan

status gizi anak lebih banyak ditemukan pada anak dengan status gizi normal

dan gizi kurang. Sebanyak 16,2% dengan status gizi kurang, 7,5% dengan

status gizi obesitas ringan, 12,5% dengan status gizi overweight, dan 63,8%

dengan status gizi normal.

c. Riwayat BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)

Seseorang dengan riwayat BBLR lebih berisiko menderita kelainan

refraksi dibandingkan dengan seseorang dengan riwayat berat badan lahir yang

normal. Berat lahir rendah dikaitkan dengan panjang aksial lebih pendek dan

kornea mata lebih lengkung (Vannas dkk, 2003). Panjang aksial bola mata yang

terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu besar menyebabkan

cahaya yang masuk tidak difokuskan secara baik dan objek yang jauh tampak

buram (AOA, 2018).

Gangguan refraksi sangat umum terjadi dan dapat menyebabkan

masalah penglihatan pada anak-anak dengan riwayat BBLR. Astigmatisme


18

pada anak dengan riwayat BBLR dipengaruhi oleh kelengkungan komea.

Prevalensi astigmatisme pada anak dengan riwayat BBLR di Singapura dalam

penelitian case-control didapatkan sekitar 79% dan anak normal 31% (Chen,

2010).

d. Penderita Diabetes Melitus (DM)

Kondisi kesehatan tertentu seperti diabetes melitus merupakan faktor

risiko kelainan refraksi. Pada penderita diabetes melitus, corvus vitreus

mengandung kadar gula tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan perubahan

indeks refraksi pada mata. Perubahan indeks refrasi adalah bertambahnya

indeks bias media penglihatan sehingga pembiasan lebih kuat (Dwi, 2018).

Hipermetropia juga seringkali terjadi pada penderita diabetes melitus.

Pada penderita diabetes melitus terjadi perubahan komposisi kornea dan lensa

sehingga kekuatan refraksinya menurun. Hipermetropia dapat terjadi bila kadar

gula darah di bawah normal, yang juga mempengaruhi aqeus dan vitreus humor

(Ilyas, 2010).

3. Stress Visual

a. Aktifitas melihat jarak dekat

Aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan kelainan

refraksi melalui efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus yang

memicu otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi lebih cekung atau lebih

cembung. Anak-anak yang banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan

aktivitas-aktivitas jarak dekat seperti membaca, menggunakan komputer,

bermain video games, menonton televisi akan lebih berisiko untuk terjadi

kelainan refraksi. Aktifitas jarak dekat yang dilakukan terlalu lama, akan

menambah risiko terjadinya kelainan refraksi seperti miopia (Huang dkk, 2015).
19

Survei epidemiologis menunjukkan bahwa kelainan refraksi sering

terjadi pada orang yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca atau

melakukan pekerjaan dengan jarak dekat daripada mereka yang menghabiskan

lebih banyak waktu tanpa menggunakan mata dalam jarak pandang dekat.

Kelainan refraksi berdampak terhadap tugas sekolah dan hasil penilaian.

Proses ini terus berlanjut hingga dekade ketiga kehidupan, dimana mahasiswa

pascasarjana, microscopists, dan militer mendapat kelainan refraksi akibat

pekerjaan dengan jarak pandangan dekat yang terlalu sering (Douglas R.

Fredrick, 2001).

Menurut penelitian Tiya (2016) dari 80 responden, 18 responden

(22,5%) melakukan akivitas melihat dekat >6 jam, 17 responden (12,5%)

melakukan aktivitas melihat dekat 4-6 jam, 17 responden (21,2%) melakukan

aktivitas melihat dekat selama 2-3 jam, dan sebanyak 28 responden (35,0%)

melakukan aktivitas melihat dekat selama <2 jam. Dapat disimpulkan lebih

banyak responden yang melakukan aktifitas jarak dekan dengan waktu ≥2 jam

daripada responden yang melakukan aktifitas jarak dengan dengan waktu <2

jam.

1) Membaca (membaca buku pelajaran (selain di sekolah) dan membaca

untuk hobi)

a) Jarak membaca

Hasil penelitian Lely (2014) menunjukkan ada hubungan

antara jarak membaca dengan kelainan tajam penglihatan pada siswa.

Siswa yang membaca dengan jarak <30cm memiliki persentasi cukup

tinggi yaitu 72.9%.


20

b) Waktu membaca

Kebiasaan membaca yang berisiko menimbulkan gangguan

penglihatan adalah kegiatan membaca dengan jarak yang kurang dari

30 cm, tidak dalam posisi duduk tegak dan lebih dari 30 menit dalam

sehari (Sofiani, 2016).

c) Posisi membaca

Menurut penelitian Lely (2014) anak dengan kelainan

refraksi cenderung memiliki kebiasaan membaca dengan posisi tidak

duduk tegak. Ditemukan 34,3% anak melakukan aktifitas membaca

dengan duduk tegak dan 65,7% melakukan aktifitas membaca dengan

posisi tidak duduk tegak.

2) Menggunakan gadget

a) Jarak menggunakan gadget

Menurut hasil penelitian Tiya, kasus kelainan refraksi lebih

banyak ditemukan pada anak dengan aktifitas melihat jarak dekat

(membaca dan menggunakan gadget) <30 cm. Sebanyak 57,5% anak

melakukan aktivitas melihat dekat dengan jarak <30 cm dan 42,5%

dengan jarak 30 cm (Tiya, 2016).

b) Waktu menggunakan gadget

Penggunaan gadget juga termasuk aktivitas dengan jarak

pandang dekat. Status gangguan refraksi lebih banyak didapatkan

pada siswa yang beraktivitas di depan komputer lebih dari 4 jam setiap

kalinya. Duduk di depan komputer terus menerus dapat memperberat

kerja otot mata. Penggunaan komputer yang berlebihan dapat

mempercepat angka kejadian ganguan refraksi mata (Inez, 2010).


21

Menurut penelitian Juneti (2014) kelainan refraksi lebih

banyak ditemukan pada siswa yang melakukan aktifitas jarak dekat

seperti membaca, menonton TV, menggunakan komputer dan play

stasion, dan menggunakan gadget lebih dari 2 jam.

c) Posisi menggunakan gadget

Posisi saat menggunakan gadget juga berpengaruh

terhadap kelainan refraksi, menggunakan gadget dalam posisi tidur

atau tengkurap akan lebih berisiko mengalami kelainan refraksi

daripada duduk tegak. Hal ini disebabkan karena posisi duduk dinilai

lebih baik daripada tiduran dikarenakan saat melakukan aktivitas

dengan posisi duduk dapat menjaga jarak ideal antara mata dengan

bidang objek yang sedang dilihat (Anisa, 2016).

3) Menonton TV

a) Jarak menonton TV

Berdasarkan penelitian Faiz Ikram (2013) perilaku

menonton televisi yang berisiko menimbulkan kelainan refraksi adalah

menonton televisi lebih dari 4 jam, dan jarak menonton televisi yang

kurang dari standar (kurang dari 6 kali diagonal televisi).

Menurut penelitian Tiya (2016) ada hubungan bermakna

antara kasus kelainan refraksi pada anak dengan jarak menonton

televisi. Jarak pandang menonton TV menjadi prediktor terjadinya

kelainan refraksi.

b) Waktu menonton TV

Intensitas menonton televisi yang terlalu sering dapat

memberikan pengaruh yang buruk terhadap mata kita, karena pada


22

televisi terdapat sinar biru. Sinar biru berbeda dengan sinar ultra violet

yang dipancarkan matahari, sinar biru ini tidak membuat mata kita

langsung berkedip. Sinar biru tersebut langsung masuk ke retina tanpa

filter, hal tersebut dapat membuat terjadinya kelainan refraksi seperti

miopia dan astigmatisme (Mimpsy, 2009).

Menurut penelitian Lely (2014) anak usia sekolah yang

mengalami kelainan refraksi cenderung memiliki screen based activity

(seperti menggunakan gadget, meononton TV, bermain video game

dan menggunakan komputer) >2 jam/hari yang tinggi yaitu 80%, hal ini

menjukkan bahwa sangat banyak aktivitas yang dilakukan anak-anak

di depan layar >2jam/hari.

c) Posisi menonton TV

Idealnya seseorang melakukan aktivitas jarak dekat seperti

menonton TV dalam posisi duduk tegak (Curtin, 2002). Menurut

penelitian Luthfi (2015) ditemukan adanya hubungan antara posisi

melakukan aktifitas jarak dekat (termasuk menonton TV) dengan

kejadian kelainan refraksi.

b. Aktifitas melihat jarak jauh

Aktifitas jarak jauh sangat berkaitan dengan kelainan refraksi.

Aktifitas jarak jauh dapat mengurangi stress visual pada mata (Dwi, 2018).

Sebuah penelitian di Australia yang membandingkan gaya hidup 124 anak dari

etnis Cina yang tinggal di Sydney, dengan 682 anak dari etnis yang sama di

Singapura. Didapati prevalensi miopia di Singapura adalah 29%, dan hanya

3,3% di Sydney. Anak-anak di Sydney membaca lebih banyak buku setiap

minggunya dan melakukan aktivitas dalam jarak dekat lebih lama daripada
23

anak-anak di Singapura, tetapi anak-anak di Sydney juga menghabiskan waktu

di luar rumah lebih lama (13,75 jam per minggu) dibandingan dengan anak-

anak di Singapura 3,05 jam. Hal ini adalah faktor yang paling signifikan

berhubungan dengan onset dan progresifitas miopia antara kedua grup (Mc.

Credie, 2008).

Anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan

memiliki progresifitas dan onset gangguan refraksi yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak lain yang lebih banyak meluangkan waktunya di

dalam ruangan. Hal inilah yang mempengaruhi proses emetropisasi berkaitan

dengan cahaya yang berkenaan langsung dengan lingkungan (ambient light),

makin banyak waktu seseorang yang dihabiskan di luar ruangan merupakan

salah satu faktor protekif dalam pencegahan kelainan refraksi bagi anak-anak.

Cahaya yang kita dapatkan saat berada di luar ruangan (cahaya matahari

langsung) berbeda dengan cahaya buatan yang digunakan sebagai sumber

penerangan dalam ruangan, perbedaannya ini meliputi intensitas dan juga

spektrum dari cahaya tersebut (Wang, dkk, 2017).

Menurut penelitian Andiyani (2013) kelompok yang menghabiskan

waktu di luar ruangan lebih dari 3 jam per minggu menunjukkan angka kejadian

kelainan refraksi yang lebih rendah dibanding kelompok yang menghabiskan

kegiatan di luar ruangan kurang dari 3 jam per minggu.

4. Konsumsi Vitamin A

Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya

miopia dan kelainan refraksi lainnya. Adapun sayuran dan buah yang diketahui

mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan cabai. Hal

ini dikarenakan pada sayuran dan buah tersebut memiliki kandungan beta
24

karoten yang tinggi, yangn antinya akan dikonversikan menjadi vitamin A

(retinol) untuk tubuh (Lubis, Siti MahreniInsani, 2010).

Menurut penelitian Anisa (2016) konsumsi vitamin A pada anak

dengan kelainan refraksi masih kurang. Ditemukan 50,4% anak dengan

konsumsi vitamin A kurang pada kelainan refraksi ringan dan 10,6% pada

kelainan refraksi sedang hingga berat. Persentase anak dengan konsumsi

vitamin A yang sudah mencukupi lebih cenderung lebih sedikit. Ditemukan 25,6

% anak dengan konsumsi vitamin A cukup pada kelainan refraksi ringan dan

5,4% anak dengan konsumsi vitamin A cukup pada kelainan refraksi sedang

hingga berat.

Angka kecukupan vitamin A rata-rata perhari pada kelompok usia 10-

15 tahun adalah 600 RE (LIPI, 1998). Pengukuran konsumsi vitamin A

dilakukan dengan metode survey kosumsi makanan ‘Semi FFQ’. Metode

semifrekuensi makan (Food Frequency Questionnaire) adalah metode yang

difokuskan pada kekerapan konsumsi makanan pada subjek ditambah dengan

informasi kuantitatif jumlah makanan yang dikonsumsi setiap porsi makan.

Kekerapan konsumsi akan memberikan informasi banyaknya ulangan pada

beberapa jenis makanan dalam periode waktu tertentu. Informasi tambahan

adalah takaran saji atau porsi yang biasa digunakan untuk setiap jenis

makanan. Pada metode ini ulangan (repetisi), diartikan tidak hanya sebagai

ragam jenisnya (kualitatif) tetapi banyaknya (kuantitatif) paparan konsumsi

makanan pada subjek yang akhirnya akan berkorelasi positif dengan status

asupan gizi subjek dan risiko kesehatan yang menyertainya (Sirajudin dkk,

2014).
25

E. Pencegahan

Upaya pencegahan kelainan refraksi yang dapat dilakukan, diantaranya

adalah (Curtin, 2002 dalam Fatika, 2009):

1. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk.

a. Anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak saat kecil.

b. Memegang alat tulis dengan benar.

c. Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca

atau menonton TV.

d. Batasi jam membaca.

e. Mengatur jarak membaca (minimal 30 centimeter), dan gunakanlah

penerangan yang cukup.

f. Membaca dengan posisi terlentang dan tengkurap bukanlah kebiasaan

yang baik.

2. Beberapa penelitian melaporkan usaha melatih melihat jauh dan dekat

secara bergantian dapat mencegah kelainan refraksi.

3. Kenali dan perbaiki kelainan mata sejak awal. Jangan menunggu sampai

ada gangguan pada mata. Gangguan pada mata yang tidak diperbaiki sejak

awal, dapat menimbulkan kelainan yang permanen, misalnya bayi prematur

harus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator untuk melihat

apakah ada tanda-tanda retinopati.

4. Anak dengan tingkat miopia atau hipermetropi kanan dan kiri tinggi, segera

lakukan konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi

mata juling ataupun astigmatisme. Patuhi setiap perintah dokter dalam tahap

rehabilitasi tersebut.
26

5. Ibu hamil harus tetap memperhatikan nutrisi, termasuk asupan vitamin A

selama kehamilan, walaupun saat ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin

A.

6. Sebaiknya melakukan pemeriksaan mata sedini mungkin apabila dalam

keluarga terdapat anggota kelurga yang memakai kacamata. Pahami

perkembangan kemampuan melihat bayi.

7. Sebaiknya dilakukan skrining kesehatan mata pada anak-anak di Sekolah.

F. Penatalaksanaan

Tindakan yang dilakukan untuk mengobati atau mengurangi gejala

kelainan refraksi (Dwi, 2018) adalah sebagai berikut :

1. Penatalaksaan non farmakologi

a. Kacamata, lensa kontak, atau operasi refraktif adalah beberapa pilihan

pengobatan gejala-gejala visual pada penderita miopia, hipermetropia,

dan astigmatisme. Lensa kontak yang digunakan umumnya berbentuk

keras atau kaku agar pemetaan kornea dapat mengurangi gejala kelainan

refraksi. Agsigmatisme cenderung tidak dapat dikoreksi, biasanya hanya

astigmatisme ringan yang dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa

kontak.

b. Terapi laser dengan bantuan keratomilesis (LASIK). Tindakan ini lebih

dikenal dengan operasi LASIK mata, dimana dalam prosedurnya laser

digunakan untuk mengubah ukuran kornea mata.. Laser-Assisted in situ

Keratomileusis (LASIK).

c. Terapi Photorefractive Keratomy (PRK) untuk pengobatan jangka

pendek. Konsep terapi yang digunakan sama dengan LASIK, yaitu


27

mengubah ukuran kornea mata. Perbedaannya adalah pada

prosedurnya. Prosedur Photorefractive Keratomy (PRK) menghilangkan

lapisan jaringan kornea, yang meratakan kornea dan memungkinkan

sinar cahaya untuk fokus lebih akurat pada retina.

d. Ortokeratologi. Ini merupakan pengobatan tanpa operasi. Ortekeratologi

dilakukan dengan cara memotong jaringan kornea mata dengan

menggunakan bahan-bahan plastik dan ditambah ke dalam kornea mata.

Fungsinya untuk mengganti kornea yang rusak. Tindakan ini bisa

dilakukan penderita miopia rendah dengan menggunakan kontak lensa

secara berangsur-angsur, dan pergantian sementara lekukan kornea.

2. Penatalaksanaan Farmakologi

Obat yang digunakan untuk penderita kelainan refraksi adalah obat

tetes mata untuk mensterilisasi kotoran yang masuk ke dalam mata.

G. Pemeriksaan Visus Mata (Tajam Penglihatan)

Pemeriksaan tajam penglihatan paling umum dilakukan dengan

menggunakan daftar huruf-huruf yang disebut “Snellen Chart”. Grafik mata ini

dirancang untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melihat suatu objek

pada jarak tertentu (Watt, 2003). Snellen Chart akan disimpan dengan jarak 20

kaki atau 6 meter dari seseorang yang akan melakukan pemeriksaan. Tajam

penglihatan diuji secara terpisah masing-masing mata. Saat pemeriksaan mata

kanan maka mati kiri akan ditutup dengan menggunakan telapak tangan, begitu

juga sebaliknya. Pasien diminta untuk mengidentifikasi huruf-huruf atau simbol

tertentu yang disebut sebagai optotypes (Lyndi, 2006).


28

Pasien diminta untuk membaca huruf dengan masing-masing mata

secara terpisah dan tajam penglihatan dicatat sebagai pecahan, pembilang

menjadi jarak pasien dengan Snellen Chart, dan penyebut menjadi huruf terkecil

yang bisa dibaca oleh orang normal. Pasien yang mampu membaca hingga 6m

tajam penglihatan dicatat sebagai 6/6 (normal). Penentuan tajam penglihatan

tergantung dari baris huruf terkecil yang bisa dilihat pasien mulai dari 6/6 dalam

meter atau 20/20 dalam kaki sampai dengan 6/60 dalam meter atau 20/200 dalam

kaki (Khunara, A. K, 2007).


29

H. Kerangka Teori

(Dwi, 2018) (Tiya, 2016)

Stress Visual

Status
Gizi Aktifitas Melihat
Aktifitas
Melihat Jarak Jarak Dekat
Usia
Jauh

Riwayat BBLR

Menonton
Penderita Diabetes
televisi
Melitus (DM)

Membaca
(selain belajar di
Struktur Mata sekolah)

Menggunakan
gadget
Riwayat Keluarga

Konsumsi Vitamin A

Kejadian Kelainan Refraksi

Gambar 2.5
Kerangka Teori Penelitian
(Dwi, 2018; Tiya, 2016)
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Konsumsi Vitamin A

Riwayat Keluarga

Status Gizi

Riwayat BBLR

Jarak membaca
Kejadian Kelainan
Waktu membaca Refraksi Mata

Posisi membaca

Jarak menonton TV

Waktu menonton TV

Posisi menonton TV

Jarak menggunakan gadget

Waktu menggunakan gadget

Posisi menggunakan gadget

Aktifitas melihat jarak jauh

*Penderita Diabetes Melitus ***Usia


Variabel pengganggu
Keterangan:
*) Tidak diteliti (dikendalikan (menjadi kriteria eksklusi))
***) Usia dianggap homogen
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

30
31

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

2. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian kelainan refraksi

mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

3. Ada hubungan antara riwayat BBLR dengan kejadian kelainan refraksi

mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

4. Ada hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kejadian kelainan

refraksi mata siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

5. Ada hubungan antara waktu membaca dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

6. Ada hubungan antara jarak membaca dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

7. Ada hubungan antara posisi membaca dengan kejadia kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

8. Ada hubungan antara waktu mononton TV dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmlaya tahun

2019.
32

9. Ada hubungan antara jarak menonton TV dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

10. Ada hubungan antara posisi menonton TV dengan kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasimlaya tahun

2019.

11. Ada hubungan antara waktu menggunakan gadget dengan kejadian

kelainan refraksi pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya

tahun 2019.

12. Ada hubungan antara jarak menggunakan gadget dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

13. Ada hubungan antara posisi menggunakan gadget dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.

14. Ada hubungan antara aktifitas melihat jarak jauh dengan kejadian

kelainan refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10

Tasikmalaya tahun 2019.


33

C. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni variabel

bebas dan variable terikat.

1. Variabel bebas

a. Riwayat keluarga

b. Status gizi

c. Riwayat BBLR

d. Konsumsi vitamin A

e. Waktu membaca

f. Jarak membaca

g. Posisi membaca

h. Waktu menonton TV

i. Jarak menonton TV

j. Posisi menonton TV

k. Waktu menggunakan gadget

l. Jarak menggunakan gadget

m. Posisi menggunakan gadget

n. Aktifitas melihat jarak jauh

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian kelainan

refraksi mata pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.
34

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel
No. Variabel Definisi Alat Ukur Kategori Skala
1 Riwayat Salah satu atau Kuesioner a. Ya, salah Nominal
keluarga kedua orang tua satu atau kedua
mengalami orang tua
kelainan refraksi mengalami
mata (miopia, kelainan refraksi
hipermetropia, b. Tidak, kedua
astigmatisme). orang tua tidak
mengalami
kelainan
refraksi.

(Komariah & A,
2014 dalam
Nofia, 2018)
2 Riwayat Berat badan pada Kuesioner a. BBLR (< 2,5 Nominal
BBLR saat lahir. kg)
b. Normal (≥ 2,5
kg)

(Vannas dkk,
2003)
3 Status Kualitas gizi Kuesioner a. Kurang (Z- Nominal
Gizi seseorang yang dan tool score < -2)
diukur dengan (Timbanga b. normal (-2 ≤
menggunakan n injak Z-score ≤ +1)
rumus IMT/U, dan digital dan c. lebih (Z-score
menetukan nilai mikrotoa) > +1)
Z-score pada usia
5-18 tahun. (Kemenkes,
2011)
4 Konsumsi Rata-rata Survei a. < 600 mcg Nominal
Vitamin A konsumsi vitamin konsumsi b. ≥ 600 mcg
A dalam satu hari makanan
(mcg/hari) ‘Semi (LIPI, 1998)
FFQ’
5 Waktu Waktu yang Kuesioner a. > 30 menit Nominal
membaca digunakan untuk b. ≤ 30 menit
membaca (selain
di sekolah) baik (Sofiani, 2016)
membaca buku
pelajaran atau
membaca untuk
hobi dalam satu
hari.
35

6 Jarak Jarak antara Kuesioner a. < 30 cm Nominla


membaca mata dengan b. ≥ 30 cm
buku (atau media
cetak lainnya). (Sofiani, 2016)

7 Posisi Posisi yang Kuesioner a. terlentang Nominal


membaca paling sering atau
dilakukan pada tengkurap
saat membaca. b. duduk

(Sofiani, 2016)
8 Waktu Waktu yang Kuesioner a. > 4 jam Nominal
menonton digunakan untuk b. ≤ 4 jam
TV menonton televisi
dalam satu hari. (Faiz, 2013)

9 Jarak Jarak antara Kuesioner a. < 6 kali Nominal


menonton mata dengan TV diagonal televisi
TV saat menonton. b. ≥ 6 kali
diagonal televisi

(Faiz, 2013)
10 Posisi Posisi yang Kuesioner a. terlentang Nominal
menonton paling sering atau tengkurap
TV dilakukan pada b. duduk
saat menonton
TV. (Faiz, 2013)
11 Waktu Waktu yang Kuesioner a. > 4 jam Nominal
mengguna digunakan untuk b. ≤ 4 jam
kan menggunakan
gadget gadget dalam (Inez, 2010)
satu hari.
12 Jarak Jarak antara Kuesioner a. < 30 cm Nominal
mengguna mata dengan b. ≥ 30 cm
kan gadget saat
gadget menggunakannya (Inez, 2010)
.

13 Posisi Posisi yang Kuesioner a. terlentang Nominal


mengguna paling sering atau tengkurap
kan dilakukan pada b. duduk
gadget saat
menggunakan (Inez, 2010)
gadget.
14 Aktifitas Lama waktu yang Kuesioner a. < 3 Nominal
melihat dihabiskan untuk Jam/minggu
jarak jauh melakukan b. ≥ 3
aktifitas di luar jam/minggu
ruangan seperti
berolahraga, (Andiyani, 2013)
36

rekereasi di luar
ruangan dan lain-
lain.
15 Kelainan Tajam Data a. Visus kurang Nominal
refraksi penglihatan atau sekunder dari 6/6 dalam
mata kemampuan (data satuan meter
melihat objek skrining atau 20/20
berdasarkan hasil kesehatan dalam satuan
pemeriksaan indera kaki (ada
visus mata. Puskesma kelainanan
s Tawang) refraksi mata)
b. Visus lebih
dari dari/sama
dengan 6/6
dalam satuan
meter atau
20/20 (tidak ada
kelainan refraksi
mata)

(Puskesmas
Tawang, 2019)

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional

dengan desain case control. Case control adalah penelitian yang dilakukan

dengan cara membandingkan antara dua kelompok yaitu kelompok kasus

dan kelompok kontrol (Notoatmodjo, 2010).


37

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP

Negeri 10 Tasikmalaya.

2. Sampel

Sampel dari penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok,

yakni kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan perbandingan

jumlah 1:1.

a. Kelompok Kasus

Kelompok kasus merupakan siswa kelas VII SMP Negeri

10 Tasikmalaya yang mengalami kelainanan refraksi, yakni

sebanyak 85 orang. Sampel diambil dengan cara total sampling.

1) Kriteria inklusi

a) Bersedia menjadi responden penelitian

b) Hadir pada saat pelaksanaan wawancara.

2) Kriteria eksklusi

a) Menderita gangguan penglihatan selain kelainan refraksi

(seperti katarak, dan kelainan organik lainnya)

b) Merupakan penderita Diabetes Melitus (DM).

b. Kelompok Kontrol

Kelompok kasus merupakan siswa SMP Negeri 10

Tasikmalaya yang tidak mengalami kelainan refraksi. Jumlah

disesuaikan dengan kelompok kasus yakni 85 orang.


38

1) Kriteria inklusi

a) Bersedia menjadi responden penelitian

b) Hadir pada saat pelaksanaan wawancara

2) Kriteria eksklusi

a) Menderita gangguan penglihatan selain kelainan refraksi

(seperti katarak, dan kelainan organik lainnya)

b) Merupakan penderita Diabetes Melitus (DM

Tabel 3.2
Sampel Kelompok Kasus dan Kontrol
No Kelompok Kasus (orang) Kontrol (orang)
Kelas
1 Kelas VII A 3 3
2 Kelas VII B 7 7
3 Kelas VII C 5 5
4 Kelas VII D 9 9
5 Kelas VII E 10 10
6 Kelas VII F 10 10
7 Kelas VII G 10 10
8 Kelas VII H 7 7
9 Kelas VII I 13 13
10 Kelas VII J 4 4
11 Kelas VII K 8 8
Jumlah 85 85
39

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Kuesioner

Kuesioner digunakan untuk mengukur varialbel-variabel

penelitian yang merupakan faktor risiko kelainan refraksi mata.

2. Lambar semi FFQ (Food Frequecy Questionare)

Lembar semi FFQ digunakan untuk mengukur rata-rata

konsumsi vitamin A dalam satu hari.

3. Timbangan Injak Digital

Timbangan digital digunakan untuk mengukur berat badan

responden penelitian.

4. Mikrotoa

Mikrotoa digunakan untuk mengukur tinggi badan

responden.

G. Prosedur Penelitian

1. Persiapan

Persiapan yang pertama dilakukan adalah studi literasi

mengenai topik yang hendak diteliti, kemudian melaksanakan survei

awal. Survei awal yang dilakukan antara lain, mengumpulkan data-data

yang diperlukan untuk menunjang penelitian yang akan dilaksanakan.

Pada tahap ini bersama pihak Puskesmas Tawang, peneliti juga

melakukan skrining refraksi mata (pemeriksaan tajam penglihatan)

pada siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya. Data yang diperoleh

kemudian menjadi data awal penelitian. Peneliti juga bekerjasama


40

dengan pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung

terlibat dengan penelitian, seperti Dinas Kesehatan Kota Tasikmlaya,

Puskesmas Tawang, SMP Negeri 10 Tasikmalaya, dan praktisi

Refraksi Optisi (RO).

2. Pengumpulan data

Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara

dengan alat ukur berupa kuesioner, pengukuran tinggi badan dan berat

badan. Data yang diperoleh kemudian akan dikumpulkan untuk

dianalisis.

3. Analisis data

Data yang telah terkumpul akan dianalisis statistika dengan

menggunakan aplikasi komputer SPSS 16.0 for Windows secara

deskriptif dan inferensial. Analisis statistika deskriptif dilakukan untuk

mengetahui jumlah, rata-rata dari setiap variabel yang diteliti. Analisis

statistika secara inferensial dilakukan untuk mengetahui hubungan

variabel bebas dan variabel terikat dari penelitian.

4. Interpretasi

Data yang sudah dianalisis kemudian akan diinterpretasikan

dengan tabel, diagram dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan untuk

mempermudah pembaca dalam memahami isi data.


41

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang diperoleh merupakan data primer yang dimbil

secara langsung melalui kuesioner yang diberikan kepada responden.

Data yang diperoleh akan diolah secara statistik dengan aplikasi

komputer SPSS 16.0 for Windows. Adapun peroses yang dilakukan

pada tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

a. Editing

Pemeriksaan kuesioner yang telah diisi oleh responden,

apakah jawaban yang ada dikuesioner sudah lengkap dan jelas.

b. Coding

Perubahan bentuk data ke bentuk yang lebih ringkas

dengan menggunakan kode-kode. Coding dilakukan pada setiap

variabel. Adapung coding yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3
Coding Data

No Variabel Coding
1 Kelainan refraksi mata a. Visus lebih dari dari/sama
dengan 6/6 dalam satuan meter
atau 20/20 tidak ada kelainan
refraksi mata (1)
b. Visus kurang dari 6/6 dalam
satuan meter atau 20/20 dalam
satuan kaki ada kelainanan
refraksi mata (2)
(Puskesmas Tawang, 2019)

2 Riwayat keluarga a. Ya, salah satu atau kedua


miopia orang tua mengalami kelainan
refraksi (1)
b. Tidak, kedua orang tua tidak
mengalami kelainan refraksi (2)
(Komariah & A, 2014 dalam
Nofia, 2018)
42

3 Status gizi a. Kurus (1)


b. Gemuk (2)
c. Normal (3)
(Almatsier, 2005)

4 Riwayat BBLR a. BBLR (1)


b. Normal (2)
(Vannas dkk, 2003)

5 Konsumsi vitamin A a. < 600 mcg (1)


b. ≥ 600 mcg (2)
(LIPI, 1998)

6 Waktu membaca a. > 30 menit (1)


b. ≤ 30 menit (2)
(Sofiani, 2016)

7 Jarak membaca a. < 30 cm (1)


b. ≥ 30 cm (2)
(Sofiani, 2016)

8 Posisi membaca a. terlentang atau tengkurap (1)


b. duduk (2)
(Sofiani, 2016)

9 Waktu menontonTV a. > 4 jam (1)


b. ≤ 4 jam (2)
(Faiz, 2013)

10 Jarak menonton TV a. < 6 kali diagonal televisi (1)


b. ≥ 6 kali diagonal televisi (2)
(Faiz, 2013)

11 Posisi menonton TV a. terlentang atau tengkurap (1)


b. duduk (2)
(Faiz, 2013)

12 Waktu menggunakan a. > 4 jam (1)


gadget b. ≤ 4 jam (2)
(Inez, 2010)

13 Jarak menggunakan a. < 30 cm (1)


gadget b. ≥ 30 cm (2)
(Inez, 2010)

14 Posisi menggunakan a. terlentang atau tengkurap (1)


gadget b. duduk (2)
(Inez, 2010)
43

15 Aktifitas melihat jarak a. < 3 jam/minggu (1)


jauh b. ≥ 3 jam/minggu (2)
(Andiyani, 2013)

a. Data entry

Memasukkan data ke dalam software statistik SPSS

16.0 for Windows.

b. Cleaning

Memeriksa kembali kemungkinan adanya kesalahan

kode atau ketidaklengkapan, kemudian dilakukan pembetulan.

1. Ananlisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis statistika

dengan Uji Chi-square 2x2 untuk variabel riwayat kelurga, riwayat

BBLR, konsumsi vitamin A, waktu membaca, jarak membaca, posisi

membaca, waktu menggunadaka gadget, jarak mengginakan gadget,

posisi menggunakan gadget, waktu menonton TV, jarak menonton TV,

posisi menonton TV dan aktifitas melihat jarak jauh. Variabel satus gizi

dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square 2x3.


BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 10 Tasikmalaya yang

merupakan salah satu sekolah menengah pertama yang berada dalam wilayah

kerja Puskesmas Tawang. Adapun profi dari sekolah ini adalah sebagai berikut

(Kemendikbud, 2019):

1. Nama Sekolah : SMP Negeri 10 Tasikmalaya

2. NPSN : 20229835

3. Jenjang Pendidikan : SMP

4. Jenjang Pendidikan : Negeri

5. Alamat : Jl. RAA. Wiratanuningrat No. 12

RT/RW : 3/11

Kelurahan : Tawangsari

Kecamatan : Tawang

Kota : Tasikmalaya

Provinsi : Jawa Barat

6. Email : smpnegeri10tasikmalaya@yahoo.co.id

7. Nomor Telepon : 265331842

8. Kepala Sekolah : Hj. Yuyun Siti Noorhaesih

9. Jumlah Siswa : 1145

Kelas VII : 385

Kelas VIII : 370

Kelas IX : 390

44
45

B. Analisis Hasil Penelitian

Analisis statistika yang dilakukan untuk menguji variabel-variabel

penelitian adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan

untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari setiap variabel penelitian,

baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis bivariat dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Adapun

variabel yang dianalisis adalah variabel kejadian kelainan refraksi, riwayat

keluarga, status gizi, riwayat BBLR, konsumsi vitamin A, waktu membaca,

posisi membaca, jarak membaca, waktu menonton TV, posisi menonton TV,

jarak menonton TV, waktu menggunakan gadget, posisi menggunakan gadget,

jarak menggunakan gadget dan aktifitas melihat jarah jauh.

1. Analisis Univariat

a. Kelainan Refraksi

Tabel 4.1
Hasil Analisis Univariat Kelainan Refraksi Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya
Tahun 2019
Kelainan Refraksi N %
Kasus 83 50,0
Kontrol 83 50,0
Jumlah 166 100,0

Jumlah sampel akhir penelitian adalah sebanyak 166 orang. Dari

jumlah sampel awal 170 orang, 4 orang keluar dari penelitian. Sampel yang

keluar dari penelitian adalah 2 orang dari kelompok kasus, dan 2 orang

sampel dari kelompok kontrol, karena tidak hadir pada saat proses

wawancara.
46

b. Riwayat Keluarga

Tabel 4.2
Hasil Analiis Univariat Riwayat Keluarga Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Riwayat Keluarga N %
Ya 79 47,6
Tidak 87 52,4
Jumlah 166 100

Hasil analisis univariat menunjukkan lebih banyak siswa yang

tidak memliki riwayat keluarga kelainan refraksi yakni sebanyak 87 orang

(52,4%).

c. Status Gizi

Tabel 4.3
Hasil Analisis Univariat Status Gizi Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya
Tahun 2019
Status Gizi N %
Kurus 71 42,8
Normal 71 42,8
Gemuk 24 14,4
Jumlah 166 100,0

Ditemukan lebih banyak siswa yang memiliki status gizi normal

dan kurus , yakni sebanyak 71 orang (42,8%) memliki status gizi normal dan

71 orang (42,8%) memliki status gizi kurus.


47

d. Riwayat BBLR

Tabel 4.4
Hasil Analisis Univariat Riwayat BBLR Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Riwayat BBLR N %
BBLR 18 10,8
Normal 148 89,2
Jumlah 166 100

Hasil analisis univariat menunjukkan jauh lebih banyak siswa yang

tidak memiliki riwayat BBLR, yakni sebanyak 148 orang siswa (89,2%).

e. Konsumsi Vitamin A

Tabel 4.5
Hasil Analisis Univariat Konsumsi Vitamin A Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Konsumsi Vitamin A N %
Tidak Mencukupi 24 14,5
Mencukupi 142 85,5
Jumlah 166 100,0

Berdasarkan hasil analisis univariat ditemukan lebih banyak siswa

dengan konsumsi vitamin A yang mencukupi, yakni 142 orang (85,5%).

f. Waktu Membaca

Tabel 4.6
Hasil Analisis Univariat Waktu Membaca Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Waktu Membaca N %
> 30 menit 11 6.6
≤ 30 menit 155 93,4
Jumlah 166 100,0

Berdasarkan hasil analisis univariat, ditemukan lebih banyak

siswa yang membaca dengan waktu ≤ 30 menit, yakni sebanyak 155 orang

(93,4%).
48

g. Posisi Membaca

Tabel 4.7
Hasil Analisis Univariat Posisi Membaca Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Membaca N %
Terlentang atau tengkurap 70 42,2
Duduk 96 57,8
Jumlah 166 100,0

Hasil analisis univariat menunjukkan lebih banyak siswa yang

membaca dengan posisi duduk, yakni sebanyak 96 orang (57,8%).

h. Jarak Membaca

Tabel 4.8
Hasil Analisis Univariat Jarak Membaca Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya
Tahun 2019
Jarak Membaca N %
< 30 cm 123 74,1
≥ 30 cm 43 25,9
Jumlah 166 100,0

Ditemukan lebih banyak siswa yang membaca dengan jarak < 30

cm, yakni sebanyak 123 orang siswa (74,1%).

i. Waktu Menonton TV

Tabel 4.9
Hasil Analisis Univariat Waktu Menonton TV Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Waktu Menonton TV N %
> 4 jam 28 16,9
≤ 4 jam 138 83,1
Jumlah 166 100,0

Berdasarkan hasil analisis univariat ditemukan lebih banyak siswa

yang menonton TV dengan waktu ≤ 4 jam dalah sehari, yakni sebanyak 138

orang (83,1%).
49

j. Posisi Menonton TV

Tabel 4.10
Hasil Analisis Univariat Posisi Menonton TV Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Menonton TV N %
Terlentang atau tengkurap 91 54,8
Duduk 75 45,2
Jumlah 166 100,0

Hasil analisis univariat menunjukkan, lebih banyak siswa yang

menonton TV dengan posisi terlentang atau tengkurap, yakni sebanyak 91

orang (54,8%).

k. Jarak Menonton TV

Tabel 4.11
Hasil Analisis Univariat Jarak Menonton TV Siswa SMP Negeri 10
Tasikmalaya Tahun 2019
Jarak Menonton TV N %
< 6 kali diagonal TV 76 45,8
≥ 6 kali diagonal TV 90 54,2
Jumlah 166 100,0

Ditemukan lebih banyak siswa yang menonon TV dengan jarak ≥

6 kali diagonal TV yakni sebanyak 90 orang (54,2%).

l. Waktu Menggunakan Gadget

Tabel 4.12
Hasil Analisis Univariat Waktu Menggunakan Gadget
Waktu Menggunakan N %
Gadget
> 4 jam 51 30,7
≤ 4 jam 115 69,3
Jumlah 166 100,0

Berdasarkan analisis univaraiat ditemukan lebih banyak siswa

yang menggunakan gadget dengan waktu ≤ 4 jam dalah sehari, yakni

sebanyak 115 orang (69,3%).


50

m. Posisi Menggunakan Gadget

Tabel 4.13
Hasil Analisis Univariat Posisi Menggunakan Gadget Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Menggunakan N %
Gadget
Terlentang atau tengkurap 95 57,2
Duduk 71 42,8
Jumlah 166 100,0

Ditemukan lebih banyak siswa yang menggunakan gadget dengan

posisi terlentang atau tengkurap, yakni sebanyak 95 orang siswa (57,2%).

n. Jarak Menggunakan Gadget

Tabel 4.14
Hasil Analisis Univariat Jarak Menggunakan Gadget Siswa SMP Negeri
10 Tasikmalaya Tahun 2019
Jarak Menggunakan Gadget N %
< 30 cm 114 68,7
≥ 30 cm 52 31,3
Jumlah 166 100,0

Hasil analisis univariat menunjukkan lebih banyak siswa yang

menggunakan gadget dangan jarak < 30 cm, yakni sebanyak 114 orang

siswa (68,7%) menggunakan gadget dengan jarak < 30 cm.

o. Aktivitas Melihat Jarak Jauh

Tabel 4.15
Hasil Analisis Univariat Aktivitas Melihat Jarak Jauh Siswa SMP Negeri
10 Tasikmalaya Tahun 2019
Aktivitas Melihat Jarak Jauh N %
< 3 jam 66 39,8
≥ 3 jam 100 60,2
Jumlah 166 100,0

Ditemukan lebih banyak siswa yang melakukan aktifitas melihat

jarak jauh waktu ≥ 3 jam, yakni sebanyak 100 orag siswa (60,2%).
51

2. Analisis Bivariat

a. Riwayat Keluarga

Tabel 4.16
Hasil Analisis Bivariat Kelainan Refraksi dengan Riwayat Keluarga Siswa
SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Riwayat Kelainan Refraksi Jumlah P Value
Keluarga Kasus Kontrol
f % f % f %
Ya 44 53,0 35 42,2 79 47,6 0,214
Tidak 39 47,0 48 57,8 87 52,4
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang memiliki riwayat keluarga

kelainan refraksi lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni, 44

orang (53,0%). Hasil analisis bivaria menunjukkan tidak ada hubungan

antara kelainanan refraksi dengan riwayat keluarga (p value > α). Diketahui

p value = 0,214 dan α = 0,05.

b. Status Gizi

Tabel 4.17
Hasil Analisis Kelainan Refraksi berdasarkan Status Gizi Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019

Status Kelainan Refraksi Jumlah P Value OR


Gizi Kasus Kontrol
f % f % f %
Kurus 24 28,9 47 56,6 71 42,8 0,214 -
Normal 41 49,4 30 36,1 71 42,8
Gemuk 18 21,7 6 7,2 24 14,5
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang berstatus gizi kurus dan

normal lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus. Sebanyak 41 orang

(49,4%) dengan status gizi normal dan 24 orang (28,9%) dengan status gizi

kurus. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara kelainanan


52

refraksi dengan satus gizi (p value < α). Diketahui p value = 0,001 dan α =

0,05.

c. Riwayat BBLR

Tabel 4.3
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Riwayat BBLR (Berat Bayi Lahir
Rendah) Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019

Riwayat Kelainan Refraksi Jumlah P Value


BBLR Kasus Kontrol
f % f % f %
BBLR 13 15,7 5 6,0 18 10,8 0,081
Normal 70 84,3 78 94,0 148 89,2
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang memiliki riwayat BBLR lebih

banyak ditemukan pada kelompok kasus, yakni 13 orang (15,7%). Hasil

analisis bivariat menunjukan tidak ada hubungan antara kelainan refraksi

dengan riwayat BBLR (p value > α). Diketahui p value = 0,081 dan α = 0,05.

d. Konsumsi Vitamin A

Tabel 4.4
Hasil Analisis Kelainan Refraksi berdasarkan Konsumsi Vitamin A Siswa
SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Konsumsi Kelainan Refraksi Jumlah P Value
Vit. A Kasus Kontrol
f % f % f %
< 600 mcg 15 18,1 9 10,8 24 14,5 0,270
≥ 600 mcg 68 81,9 74 89,2 142 85,5
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa dengan tingkat konsumsi vitamin

A < 600 mcg, lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 15 orang

(18,15). Hasil anaisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara

kelainanan refraksi dengan konsumsi vitamin A (p value > α). Diketahui p

value = 0,270 dan α = 0,05.


53

e. Waktu Membaca

Tabel 4.5
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Waktu Membaca Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Waktu Kelainan Refraksi Jumlah P Value
membaca Kasus Kontrol
f % f % f %
> 30 menit 6 7,2 5 6,0 11 6,6 1,00
≤ 30 menit 77 92,8 78 94,0 155 93,4
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang membaca > 30 menit, lebih

banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 6 orang (7,2%). Hasil analisis

bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara waktu membaca dengan

kelainan refraksi (p value > α). Diketahui p value = 1,00 dan α = 0,05.

f. Posisi Membaca

Tabel 4.6
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Posisi Membaca Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Kelainan Refraksi Jumlah P Value
membaca Kasus Kontrol
f % f % f %
Terlentang 39 47,0 31 37,3 70 42,2 0,271
atau tengkurap
Duduk 44 53,0 52 62,7 96 57,8
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang membaca dengan posisi

terlantang atau tengkurap lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus,

yakni 39 orang (47,0%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada

ubungan antara posisi membaca dengan kelainan refraksi (p value > α).

Diketahui p value = 0,271 dan α = 0,05.


54

g. Jarak Membaca

Tabel 4.7
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Jarak Membaca Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Jarak Kelainan Refraksi Jumlah P Value
membaca Kasus Kontrol
f % f % f %
< 30 cm 63 75,9 60 72,3 123 74,1 0,723
≥ 30 cm 20 24,1 23 27,7 43 25,9
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang membaca dengan jarak <

30 cm lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 63 orang

(75,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara

kelainan refraksi dengan jarak membaca (p value > α). Diketahui p value =

0,723 dan α = 0,05.

h. Waktu Menonton TV
Tabel 4.8
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Waktu Menonton TV Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Waktu Kelainan Refraksi Jumlah P OR
menonton Kasus Kontrol Value
TV f % f % f %
> 4 jam 23 27,7 5 6,0 28 16,9 0,00 5,980
≤ 4 jam 60 72,7 78 94,0 138 83,1 (2,148 –
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0 16,650)

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang menonton TV ≤ 4 jam lebih

banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 23 orang (27,7%). Hasil

analisi bivariat menunjukkan ada hubungan antara kelainanan refraksi

dengan waktu menonton TV (p value < α). Diketahui p value = 0,00 dan α =

0,05.
55

i. Posisi Menton TV

Tabel 4.9
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Posisi Menonton TV Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Kelainan Refraksi Jumlah P Value
menonton TV Kasus Kontrol
f % f % f %
Terlentang 47 56,6 44 53,0 91 54,8 0,775
atau tengkurap
Duduk 36 43,4 39 47,0 75 45,2
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang menonton TV dengan posisi

terlentang atau tengkurap lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus,

yakni 47 orang (56,6%). Berdasarkan analisis bivariat tidak ada hubungan

antara kelainanan refraksi dengan posisi menonton TV (p value > α).

Diketahui p value = 0,775 dan α = 0,05.

j. Jarak Menonton TV

Tabel 4.10
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Jarak Menonton TV Siswa SMP
Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Jarak Kelainan Refraksi Jumlah P OR
menonton Kasus Kontrol Value
TV f % f % f %
< 6 kali 46 55,4 30 36,1 76 45,8 0,019 2,196
diagonal TV (1,178
≥ 6 kali 37 44,6 53 63,9 90 54,2 –
diagonal TV 4,094)
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa menonton TV pada jarak < 6 kali

diagonal TV ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni 46 siswa

(27,7%). Hasil anaisis bivariat menunjukkan ada hubungan kelainan refraksi

dengan jarak menonton TV (p value < α). Diketahui p value = 0,019 dan α =

0,05.
56

k. Waktu Menggunakan Gadget

Tabel 4.11
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Waktu Menggunakan Gadget
Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Waktu Kelainan Refraksi Jumlah P OR
menggunakan Kasus Kontrol Value
gadget f % f % f %
> 4 jam 33 39,8 18 21,7 51 30,7 0,019 2,383
≤ 4 jam 50 60,2 65 78,3 115 69,3 (1,204
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0 –
4,716)

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang menggunakan gadget > 4

jam yakni ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni 33 orang

(39,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara

kelainanan refraksi dengan waktu menggunakan gadget (p value < α).

Diketahui p value = 0,019 dan α = 0,05.

l. Posisi Menggunakan Gadget

Tabel 4.12
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Posisi Menggunakan Gadget
Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Posisi Kelainan Refraksi Jumlah P OR
menggunakan Kasus Kontrol Value
gadget f % f % f %
Terlentang 57 68,7 38 45,8 95 57,2 0,005 2,596
atau (1,378
tengkurap –
Duduk 26 31,3 45 54,2 71 42,8 4,893)
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang menggunakan gadget

dengan posisi terentang atau tengkurap lebih banyak ditemukan pada

kelompok kasus yakni 57 orang (68,7%). Berdasarkan hasil analisis bivariat

ada hubungan antara kelainan refraksi dengan posisi menggunakan gadget

(p value < α). Diketahui p value = 0,005 dan α = 0,05.


57

m. Jarak Menggunakan Gadget

Tabel 4.13
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Jarak Menggunakan Gadget
Siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Jarak Kelainan Refraksi Jumlah P OR
menggunakan Kasus Kontrol Value
gadget f % f % f %
< 30 cm 66 79,5 48 57,8 114 68,7 0,004 2,831
≥ 30 cm 17 20,5 35 42,2 52 31,3 (1,422
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0 –
5,635)

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang menggunakan gadget

dengan jarak < 30 cm, ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni

66 orang (79,5 %). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara

kelainanan refraksi dengan jarak menggunakan gadget (p value < α).

Diketahui p value = 0,004 dan α = 0,05.

n. Aktivitas Melihat Jarak Jauh


Tabel 4.14
Distribusi Kelainan Refraksi berdasarkan Aktivitas Melihat Jarak Jauh Siswa
SMP Negeri 10 Tasikmalaya Tahun 2019
Aktivitas Kelainan Refraksi Jumlah P OR
melihat Kasus Kontrol Value
jarak jauh f % f % f %
< 3 jam 53 63,9 13 15,7 66 39,8 0,00 9,513
≥ 3 jam 30 36,1 70 84,3 100 60,2 (4,529
Jumlah 83 100,0 83 100,0 166 100,0 –
19,983)

Berdasarkan tabel di atas, siswa yang melakukan aktifitas jarak jauh

< 3 jam ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni 53 orang (63,9%).

Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan kelainan refraksi dengan

aktifitas melihat jarak jauh (p value < α). Diketahui p value = 0,00 dan α = 0,05.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Riwayat Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat

keluarga dengan kejadian kelainan refraksi dimana p value = 0,214. Akan

tetapi dilihat dari frekuensinya siswa yang memiliki riwayat keluarga kelainan

refraksi ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni sebanyak 44

orang (53,0%), sedangkan siswa yang tidak memiliki riwayat keluarga

kelainan refraksi lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol yakni 48

orang (57,8%).

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Dewi, dkk (2018)

yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara riwayat kelainan refraksi

orang tua dengan kelainan pada anak, baik di daerah perkotaan maupun

daerah pinggiran kota.

Hal tersebut tidak sesuai dengan yang dikemukakan Dwi (2018)

bahwa, faktor keturunan cenderung tidak bisa dihindari. Kondisi mata dengan

kelainan refraksi cenderung menurun dalam keluarga. Seseorang cenderung

memiliki risiko kelainan refraksi lebih besar jika salah satu atau kedua orangtua

memiliki riwayat kelainan refraksi atau gangguan mata lainnya seperti

degenerasi kornea (Dwi, 2018).

Penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara

riwayat keluarga dengan kelainan refraksi. Hal tersebut mungkin terjadi karena

peneliti kurang bisa meneliti lebih jauh tentang faktor riwayat keluarga. Peneliti

hanya melihat faktor riwayat keluarga dari ibu dan ayah saja, tidak sampai

kakek, nenek dan seterusnya.

58
59

B. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang antara kelainan

refraksi dengan status gizi dimana p value = 0,001. Siswa yang memiliki status

normal dan kurus lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus. Sebanyak

41 orang (49,4%) memiliki status gizi normal dan 24 orang (28,9%) memiliki

status gizi kurus.

Sesuai dengan penelitian dari penelitian Tiya (2016) kasus kelainan

refraksi berdasarkan status gizi anak lebih banyak ditemukan pada anak

dengan status gizi normal dan gizi kurang. Sebanyak 16,2% dengan status

gizi. kurang, 7,5% dengan status gizi obesitas ringan, 12,5% dengan status

gizi overweight, dan 63,8% dengan status gizi normal.

Orang dengan IMT kurus memiliki bola mata yang lebih panjang

dengan ruang vitreus yang lebih dalam dan kelengkungan kornea yang lebih

tipis (Jacobsen dkk, 2006). Seseorang yang memiliki bola mata yang lebih

panjang, ruang vitreus lebih dalam dan kelengkungan kornea yang lebih tipis

akan cenderung menderita kelainan refraksi. Hal tersebut akan mempengaruhi

proses pembiasan, dimana cahaya yang datang tidak difokuskan pada retina

melainkan di depan retina. Seseorang dengan kondisi tersebut akan kesulitan

melihat objek jarak jauh.

C. Riwayat BBLR

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat

BBLR dengan kelainan refaksi dimana p value= 0,081. Siswa yang memiliki

riwayat BBLR ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus daripada

kelompok kontrol. Sebanyak 13 orang (15,7%) yang memiliki riwayat BBLR

pada kelompok kasus, dan 5 orang (6,0%) pada kelompok kontrol.


60

Hasil penelitian diatas sesuai dengan penelitian Martga Bella, dkk

(2015) bahwa tidak ada hubungan antara kelainan refraksi dengan riwayat

BBLR. BBLR merupakan suatu kondisi yang dapat diperbaiki. Anak dengan

riwayat BBLR dapat memiliki status gizi yang baik di masa depan apabila

mendapatkan penanganan yang baik, dengan demikian risiko kelainan

refraksipun dapat terhindarkan.

Berat lahir rendah dikaitkan dengan panjang aksial lebih pendek dan

kornea mata lebih lengkung (Vannas dkk, 2003). Panjang aksial bola mata

yang terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu besar

menyebabkan cahaya yang masuk tidak difokuskan secara baik dan objek

yang jauh tampak buram (AOA, 2018). Akan tetapi, dalam penelitian kali ini

tidak ditemukan hubungan antara riwayat BBLR dengan kelainan refraksi,

namun secara frekuensi menunjukkan anak riwayat BBLR lebih banyak

ditemukan pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol. Sebanyak 13

orang (7,8%) yang memiliki riwayat BBLR pada kelompok kasus, dan 5 orang

(3,0%) pada kelompok kontrol.

D. Konsumsi Vitamin A

Hasil Penelitian Menunjukkan tidak ada hubungan antara konsumsi

vitamin A dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,270. Dilihat dari

frekuensinya, siswa dengan konsumsi vitamin A yang masih kurang (< 600

mcg) lebih banyak ditamukan pada kelompok kausu yakni 15 orang (18,1%).

Hasil diatas tidak sesuai dengan yang dikemukakan Lubis, dkk (2010)

Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia dan

kelainan refraksi lainnya. Adapun sayuran dan buah yang diketahui

mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan cabai. Hal
61

ini dikarenakan pada sayuran dan buah tersebut memiliki kandungan beta

karoten yang tinggi, yang nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A

(retinol) untuk tubuh.

Hasil yang ditemukan peneliti merupakan jumlah vitamin A yang

dikonsumsi dalam sehari, bukan jumlah vitamin A yang diserap tubuh. Akan ada

kemungkinan tidak seluruhnya yang dikonsumsi diserap tubuh. Hal tersebut

kemungkinan menyebabkan peneliti tidak dapat membuktikan adanya

hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kelainan refraksi.

Menurut penelitian Anisa (2016) walaupun tidak ada hubungan yang

signifikan antara konsumsi vitamin A dengan kelainan refraksi, konsumsi

vitamin A pada anak dengan kelainan refraksi masih kurang. Ditemukan 50,4%

anak dengan konsumsi vitamin A kurang pada kelainan refraksi ringan dan

10,6% pada kelainan refraksi sedang hingga berat. Persentase anak dengan

konsumsi vitamin A yang sudah mencukupi lebih cenderung lebih sedikit.

Ditemukan 25,6 % anak dengan konsumsi vitamin A cukup pada kelainan

refraksi ringan dan 5,4% anak dengan konsumsi vitamin A cukup pada kelainan

refraksi sedang hingga berat.

Hal tersebut sesuai dengan yang ditemukan peneliti, dimana tidak ada

hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kelainan refraksi, akan tetapi

presentase anak yang konsumsi vitamin A belum mencukupi (< 600 mcg) lebih

banyak ditemukan pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol yakni 9,0%

pada kelompok kasus, dan 5,4% pada kelompok kontrol.

E. Waktu Membaca

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara waktu

membaca (selain di sekolah) dengan kelainan refraksi, dimana p value= 1,00.


62

Lebih yang membaca dengan waktu > 30 menit yaknilebih banyak ditemukan

pada kelompok kasus yakni 6 orang (7,2%), sedangkan siswa yang membaca

≤ 30 menit lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol yakni sebanyak 78

orang (94,0%).

Hasil penelitian diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Dewi Wulansari, dkk (2018) yakni tidak ada hubungan antara waktu membaca

dengan kelainan refraksi baik di daerah perkotaan maupun di daerah

pinggiran kota.

Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Sofiani (2016)

yang menyebutkan bahwa kebiasaan membaca yang berisiko menimbulkan

gangguan penglihatan adalah kegiatan membaca dengan jarak yang kurang

dari 30 cm, tidak dalam posisi duduk tegak dan lebih dari 30 menit. Akan

tetapi, penelitian dalam penelitian kali ini tidak ditemukan adanya hubungan

antara waktu membaca dengan kelainan refraksi.

Peneliti hanya berfokus pada membaca buku saja, sedangkan di

zaman modern ini fungsi buku telah teralihkan dengan gadget. Kemudahan

akses dan banyaknya informasi yang bisa didapatkan melalui internet

membuat orang lebih menyukai membaca menggunakan smartphone dan

laptop/komputer. Peneliti belum menganalisis faktor aktivitas membaca

sampai pada hal tersebut.

F. Posisi Membaca

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara posisi

membaca dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,636. Berdasarkan

frekuensinya, siswa yang membaca dengan terlentang atau tengkurap

ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni 39 (47,0%), sedangkan


63

siswa yang membaca dengan posisi duduklebih banyak ditemukan pada

kelompok kontrol yakni 52 orang (62,7%).

Menurut penelitian Lely (2014) anak dengan kelainan refraksi

cenderung memiliki kebiasaan membaca dengan posisi tidak duduk tegak.

Ditemukan 34,3% anak melakukan aktifitas membaca dengan duduk tegak

dan 65,7% melakukan aktifitas membaca dengan posisi tidak duduk tegak.

Hasil penelitian Lely (2014) tidak sesuai dengan yang ditemukan

peneliti, dimana siswa cederung lebih suka melakukan aktifitas membaca

dalam posisi duduk daripada terlentang atau tengkurap. Hasil analisis

univariat menunjukkan persentase anak yang melakukan aktifitas membaca

dengan posisi duduk lebih banyak daripada terlentang atau tengkurap, yakni

59,0%.

Hal tersebut mungkin berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki di

rumah, seperti kepemilikan meja belajar. Membaca dengan menggunakan

meja belajar akan membatu anak tetap dalam posisi duduk saat membaca,

sesuai yang dikemukakan Curtin (2002) membiasakan anak membaca

dalam posisi duduk sejak dini dapat mencegah terjadinya kelainan refraksi.

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menganalisis lebih jauh tetang

hal tersebut.

G. Jarak Membaca

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara jarak

membaca dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,723. Dilihat dari

frekuensinya yang membaca dengan jarak < 30 cmlebih banyak ditemukan

pada kelompok kasus yakni 63 orang (75,9%), sedangkan siswa yang


64

membaca dengan jarak ≥ 30 cm ditemukan lebih banyak pada kelompok

kontrol yakni 23 orang (27,7%).

Menurut Lely (2014) ada hubungan antara jarak membaca dengan

kelainan tajam penglihatan pada siswa. Siswa yang membaca dengan jarak <

30 cm memiliki persentasi cukup tinggi yaitu 72.9%.

Aktivitas membaca yang terlalu dekat akan menyebabkan kelelahan

pada pada mata atau stress visual. Hal tersebut dikarenakan aktivitas

membca terlalu dekat yang dilakukan terus menerus akan menyebabkan

kelainan refraksi melalui efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus

yang memicu otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi lebih cekung atau

lebih cembung (Huang dkk, 2015).Terjadinya perubahan otot siliaris dan lensa

menyebabkan kesulitan melihat pada jarak jauh ataupun dekat, yang dikenal

sebagai kelainan refraksi.

Peneliti tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara jarak

membaca dengan kelainan refraksi, hal tersebut mungkin berkaiata dengan

fakta bahawa siswa SMP Negeri 10 Tasikmalaya lebih banyak yang

melakukan aktivitas membaca dengan posisi duduk. Sesuai dengan yang

dikemukanan Curtin (2002) bahwa membaca dengan posisi duduk dapat

menjaga jarak pandang agar tidak terlalu dekat.

H. Waktu Menonton TV

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara waktu menonton

TV dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,00. Siswa yang menonton

TV > 4 jam ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus yakni 23 orang anak

(27,7%), sedangkan siswa yang menonton TV ≤ 4 jam lebih banyak ditemukan

pada kelompok kontrol yakni 78 orang (94,0%).


65

Intensitas menonton televisi yang terlalu sering dapat memberikan

pengaruh yang buruk terhadap mata kita, karena pada televisi terdapat sinar

biru. Sinar biru berbeda dengan sinar ultra violet yang dipancarkan matahari,

sinar biru ini tidak membuat mata kita langsung berkedip. Sinar biru tersebut

langsung masuk ke retina tanpa filter, hal tersebut dapat membuat terjadinya

kelainan refraksi seperti miopia dan astigmatisme (Mimpsy, 2009).

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan penelitian Lely (2014)

anak usia sekolah yang mengalami kelainan refraksi cenderung memiliki

screen based activity (seperti menggunakan gadget, meononton TV, bermain

video game dan menggunakan komputer) >2 jam/hari yang tinggi yaitu 80%,

hal ini menjukkan bahwa sangat banyak aktivitas yang dilakukan anak-anak

di depan layar >2jam/hari.

I. Posisi Menonton TV

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara posisi

menonton TV dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,775. Dilihat dari

frekuensinya siswa yang memiliki kebiasaan menonton TV dengan posisi

terlentang atau tengkurap lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni

47 orang (56,6%), sedangkan siswa yang menonton TV dengan posisi duduk

lebih banyak pada kelompok kontrol yakni 39 orang (47,0%).

Hasil yang ditemukan peneliti tidak sesuai dengan penelitian Luthfi

(2015) ditemukan adanya hubungan antara posisi melakukan aktifitas jarak

dekat (termasuk menonton TV) dengan kejadian kelainan refraksi.

Menurut Curtin (2002) Idealnya seseorang melakukan aktivitas jarak

dekat seperti menonton TV dalam posisi duduk tegak. Posisi yang ideal saat
66

melakukan aktivitas jarak dekat seperti menonton TV akan membantu

mencegah terjadinya kelainan refraksi.

Peneliti tidak dapat membuktikan hubungan antara posisi menonton

TV dengan kelainan refraksi. Akan tetapi jika dilihat dari frekuensinya siswa

yang memiliki kelainan refraksi lebih banyak yang memiliki kebiasaan

menonton TV dengan posisi terlentang atau tengkurap yakni 46 orang

(27,7%).

J. Jarak Menonton TV

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara jarak menonton

TV dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,019 dengan OR 2,196 yang

artinya seseorang yang menonton TV dengan jarak < 6 kali diagonal TV akan

lebih beresiko 2,196 kali lebih tinggi untuk menderita kelainan refraksi. Dilihat

dari frekuensinya siswa yang memiliki kebiasaan menonton TV jarak < 6 kali

diagonal TV lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 46 orang

(55,4%), sedangkan siswa yang memiliki kebiasaan menonton TV dengan

jarak ≥ 6 kali diagonal TV ditamukan lebih banyak pada kelompok kontrol yakni

53 orang (63,9%).

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan penelitian Tiya (2016)

ada hubungan bermakna antara kasus kelainan refraksi pada anak dengan

jarak menonton televisi. Jarak pandang menonton TV menjadi prediktor

terjadinya kelainan refraksi.

Menonton TV pada jarak yang tidak semestinya akan mengakibatkan

kelelahan pada mata. Kelelahan pada mata dapat terjadi karena lama

pengguunaan indera penglihatan dan jarak antara objek dengan indera

penglihatan yang tidak semestinya, penglihatan tidak fokus ataupun karena


67

sinar ultraviolet dari layar TV bisa membahayakan mata (merusak sel-sel

retina). Meski kadar sinar unltra violet dari layar TV dikatakan ringan, namun

bila berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, pada akhirnya

dapat merusak retina mata, resikonya dapat mengurangi ketajaman

penglihatan. Untuk mengurangi dampak buruk sinar ultraviolet dari TV salah

satu caranya dengan memastikan tampilan gamar di layar senantiasa tajam

dan mengatur jarak antara mata dengan layar TV agar tidak terlalu dekat

(Kistianti, 2008).

K. Waktu Menggunakan Gadget

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara waktu

menggunakan gadget dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,019.

Siswa yang menggunakan gadget >4 jam ditemukan lebih banyak pada

kelompok kasus yakni 33 orang (39,8%), sedangkan siswa yang

menggunakan gadget ≤ 4 jam ditemukan lebih banyak pada kelompok kontrol

yakni sebanyak 65 orang (78,3%).

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan penelitian Juneti (2014)

kelainan refraksi lebih banyak ditemukan pada siswa yang melakukan aktifitas

jarak dekat seperti membaca, menonton tv, menggunakan komputer dan play

stasion, dan menggunakan gadget lebih dari 2 jam.

Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar

tujuh tahun mulai tertarik pada penggunaan gadget seperti bermain video

game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun bermain video game setiap

hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per

minggu. Artinya, mereka dapat duduk bermain video game di depan alat

elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari. Akibat
68

penggunaan gadget dalam waktu yang lama dapat menyebabkan anak

tersebut lebih berisiko tinggi untuk mengalami kelainan refraksi pada mata,

akibat aktivitas dalam jarak pandang dekat tersebut.

L. Posisi Menggunakan Gadget

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara posisi

menggunakan gadget dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,005.

Siswa yang menggunakan gadget dengan posisi terentang atau tengkurap

lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yakni 57 orang (68,7%),

sedangkan siswa yang menggunakan gadget dengan posisi duduk lebih

banyak ditemukan pada kelompok kontrol yakni 45 orang (54,2%).

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan yang dikemukakan

Anisa (2016) bahwa posisi saat menggunakan gadget juga berpengaruh

terhadap kelainan refraksi, menggunakan gadget dalam posisi terlentang atau

tengkurap akan lebih berisiko mengalami kelainan refraksi daripada duduk

tegak. Hal ini disebabkan karena posisi duduk dinilai lebih baik daripada

terlentang atau tengkurap, dikarenakan saat melakukan aktivitas dengan

posisi duduk dapat menjaga jarak ideal antara mata dengan bidang objek

yang sedang dilihat.

M. Jarak Menggunakan Gadget

Hasil peneltian menunjukkan ada hubungan antara jarak

menggunakan gadeget dengan kelainan refrkasi, dimana p value = 0,004.

Siswa yang menggunakan gadget dengan jarak < 30 cm lebih banyak

ditemukan pada kelompok kasus yakni 66 orang (79,5%), sedangkan siswa

yang menggunakan gadget dengan jarak ≥ 30 cm ditemukan lebih banyak

pada kelompok kontrol yakni 35 orang (42,2%).


69

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan penelitian Tiya, yang

menyebutkan bahwa kasus kelainan refraksi lebih banyak ditemukan pada

anak dengan aktifitas melihat jarak dekat (membaca dan menggunakan

gadget) <30 cm. Sebanyak 57,5% anak melakukan aktivitas melihat dekat

dengan jarak <30 cm dan 42,5% dengan jarak 30 cm (Tiya, 2016).

Penggunaan gadget yang terlalu dekat dapat mengakibatkan

kelelahan pada mata. Kelelahan pada mata dapat terjadi karena lama

pengguunaan indera penglihatan dan jarak antara objek dengan indera

penglihatan yang tidak semestinya (Kistianti, 2008). Oleh karena itu perlu

menjaga jarak antara gadget dengan mata untuk mencegah terjadinya

kerusakan mata seperti kelainan refraksi.

N. Aktivitas Melihat Jarak Jauh

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara aktivitas melihat

jarak jauh dengan kelainan refraksi, dimana p value = 0,00. Siswa yang

melakukan aktivitas melihat jarak jauh < 3 jam perminggu lebih banyak

ditemukan pada kelompok kasus yakni 53 orang (63,9%), sedangkan siswa

yang melakukan aktivitas jarak jauh ≥ 3 jam ditemukan lebih banyak pada

kelompok kontro yakni 70 orang (84,3%).

Hasil yang ditemukan peneliti sesuai dengan penelitian Andiyani

(2013) kelompok yang menghabiskan waktu di luar ruangan lebih dari 3 jam

per minggu menunjukkan angka kejadian kelainan refraksi yang lebih rendah

dibanding kelompok yang menghabiskan kegiatan di luar ruangan kurang dari

3 jam per minggu.

Anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan

memiliki progresifitas dan onset gangguan refraksi yang lebih rendah


70

dibandingkan dengan anak lain yang lebih banyak meluangkan waktunya di

dalam ruangan. Hal inilah yang mempengaruhi proses emetropisasi berkaitan

dengan cahaya yang berkenaan langsung dengan lingkungan (ambient light),

makin banyak waktu seseorang yang dihabiskan di luar ruangan merupakan

salah satu faktor protekif dalam pencegahan kelainan refraksi bagi anak-anak.

Cahaya yang kita dapatkan saat berada di luar ruangan (cahaya matahari

langsung) berbeda dengan cahaya buatan yang digunakan sebagai sumber

penerangan dalam ruangan, perbedaannya ini meliputi intensitas dan juga

spektrum dari cahaya tersebut (Wang, dkk, 2017).

O. Keterbatasan Penelitian

1. Peneltian ini hanya berfokus pada aktivitas membaca buku saja,

sedangkan fungsi buku sekarang ini sudah banyak tergantikan oleh

gadget.

2. Tingkat konsumsi vitamin A yang diukur hanya sebatas jumlah yang

dikonsumsi dalam sehari, bukan jumlah yang diserap tubuh.


BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik

beberapa kesimpulan, sebagain berikut:

1. Tidak ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kelainan refraksi

pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

2. Ada hubungan yang antara status gizi dengan kelainan refraksi pada

siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

3. Tidak ada hubungan antara riwayat BBLR dengan kelainan refraksi pada

siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

4. Tidak ada hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kelainan refraksi

pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

5. Tidak ada hubungan antara waktu membaca (selain di sekolah) dengan

kelainan refraksi pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun

2019.

6. Tidak ada hubungan antara posisi membaca dengan kelainan refraksi

pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

7. Tidak ada hubungan antara jarak membaca dengan kelainan refraksi pada

siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

8. Ada hubungan antara waktu menonton TV dengan kelainan refraksi pada

siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

9. Tidak ada hubungan antara posisi menonton TV dengan kelainan refraksi

pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

10. Ada hubungan antara jarak menonton TV dengan kelainan refraksi pada

siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

71
72

11. Ada hubungan antara waktu menggunakan gadget dengan kelainan

refraksi pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

12. Ada hubungan antara posisi menggunakan gadget dengan kelainan

refraksi pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

13. Ada hubungan antara jarak menggunakan gadeget dengan kelainan

refraksi pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

14. Ada hubungan antara aktivitas melihat jarak jauh dengan kelainan refraksi

pada siswa kelas VII SMP Negeri 10 Tasikmalaya tahun 2019.

B. Saran

Berdasarkan hal-hal yang ditemukan dalam penelitian, peneliti

menyarankan agar:

a. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan untuk mengurangi risiko

terjadinya kelainan refraksi, seperti mengatur jarak pandang,

membetulkan posisi, dan tidak terlalu lama ketika melakukan aktivitas-

aktivitas melihat jarak dekat seperti membaca buku, menggunakan

gadget, dan menonton TV.

b. Membiasakan melakukan aktivitas di luar ruangan seperti berolahraga,

rekreasi dan aktivitas luar ruangan lain minimal 3 jam setiap

minggunya.
DAFTAR PUSTAKA

America Optometric Assosiation. (2018) Myopia (Nearsightedness). AOA. [Online]


Tersedia: http://www.aoa.org/myopia.xml (Diakses : 18 Agustus
2019).

Andiyani, Nurbaiti (2013) Hubungan Kegiatan di Luar Rumah dengan Miop pada
Mahasiswa Pendidikan DokterUniversitas Muhammadiyah
Yogyakarta usia 18-23 Tahun. Academia. Tersedia:
https://www.academia.edu/8927333/Hubungan_Kegiatan_di_Lu
ar_Rumah_dengan_Miop_pada_Mahasiswa_Pendidikan_Dokte
r_Universitas_Muhammadiyah_Yogyakarta_usia_18-
23_Tahun._Correlation_Between_Outdoor_Activity_and_Myopi
a_in_Medical_Student_Of_Muhammadiyah_University_Yogyak
arta_aged_18_to_23_years (Diakses : 23 Januari 2020)

Almatsier, Sunita. (2005) Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Arief Mansjoer, dkk. (2002) Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media


Aesculapius FKUI.

Sofiani, Anisa. (2016) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Miopia pada Remaja


(Studi di SMA Negeri 2 Kabupaten Temanggung). [Online]
Tesedia: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph (Diakses:
13 Agustus 2019)

Chen, Ta-Ching, T. - H. Tsai, Y. - F, Shih, P. -T Yeh, C.-H. Yang, F.-C. Hu, L. L. -


K. Lin, dan C.-M. Yang. (2010) Long Term Refractive Status of
Eyes in Preterm Children. [Online] Tersedia: http: ://www.
iovs.org (Diakses: 05 Oktober 2019)

Curtin, B., J. (2002) The Miopia. Philadelphia Harper & Row. 348-381.

Dinkes Kota Tasikmalaya. (2017) Data Skrining Kesehatan Indera Tahun


2017.Tasikmlaya: Dinkes Kota Tasikmalaya.

Dinkes Kota Tasikmalaya. (2018) Data Skrining Kesehatan Indera Tahun 2018.
Tasikmlaya: Dinkes Kota Tasikmalaya.

Faiz Ikram, Imam Masduki. (2013) Hubungan Gaya Hidup dengan Miopia Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. [Online] Tersedia:
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12126/
NASKAH%20PUBLIKASI.pdf?sequence=12&isAllowed=y
(Diakses: 10 Juli 2019)

Huang H M, Dolly Shuo-Teh Chang, Pei-Chang Wu. 2015. The Association


between near work activities and myopia in children - A
Systematic Review and Meta-Analysis. Plos One.
Jacobsen N, Hanne J, Ernst G. (2006) Prevalence of myopia in Danish conscripts.
Acta Ophthalmologica Scandinavica.

Juneti. (2014) Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Tajam


Penglihatan pada Anak Sekolah Dasar Kelas V dan Kelas Vi Di
SDN 017 Bukit Raya Pekanbaru Tahun 2014. FK UNRI. [Online]
Tersedia: https://www.neliti.com/publications/184777gambaran-
faktor-faktor-yang-mempengaruhi-gangguan-tajam-penglihatan-
pada-anak-sekolah (Diakses: 05 Oktober 2019)

Kemenkes RI. (2010) Buku Saku Nasional PSG. Kemenkes RI. [Online] Tersedia:
https://www.kesmas.kemenkes.go.id/assets/upload/dir_519d41
d98f00/files/Buku-Saku-Nasional-PSG-
2017_957.pdf&ved=2ahUKEwiK (Diakses: 18 Agustus 2019).

Kemenkes RI. (2010) Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.


1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2014) Infodatin Penglihatan. Pusat Data dan Informasi. Kemenkes
RI. [Online] Tersedia:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
infodatin/infodatin-penglihatan.pdf (Diakses: 04 April 2014).

Khrisna. (2015) Teknik Pemeriksaan Refraksi Subjektif Menggunakan Trial Lens.


Scribd. [Online] Tersedia:
https://id.scribd.com/doc/29015435/Teknik-Pemeriksaan-
Refraksi-Subyektif-Menggunakan-Tria-Lens (Diakses: 18
Agustus 2019)

Khunara Ak. (2007). Disease of The Lens. Comprehensive Opthamology Fourth


Edition. India: Newasege International Publisher.

Kistianti F. (2008) Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya cacat mata
miopia Pada Mahasiswa. Jurnal UGM. 3:78-84.

Lembaga Ilmu Pengetauan Indonesia (1998) Widyakarya Pangan dan Gizi.


Serpong: Lembaga Pengetahuan Indonesia.

Lely I. Porotu’o, Woodford B. S. Joseph, Ricky C. Sondakh (2014) Faktor-Faktor


yang Berhubungan dengan Ketajaman Penglihatan pada Pelajar
Sekolah Dasar Katolik Santa Theresia 02 Kota Manado. [Online]
Tersedia:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/view/7237
(Diakses: 16 Oktober 2019)

Mimpsy. (2009) Dampak Menonton Televisi. [Online] Tersedia:


www.mariasunarto.com (Diakses: 18 Agustus 2019)
Nugraha, Dwi Antara. (2018) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Penglihatan. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Notoatmodjo,S. (2010) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Primadiani, Inez Shafira. (2017) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Progresivitas


Miopia Pada Mahasiswa Kedokteran. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. [Online] Tersedia: http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/medico (Diakses 10 Juli 2019).

Purwanto, Sigit. (2010) Faktor Determinan Yang Berhubungan Dengan Miopia.


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. [Online] Tersedia :
http://ejournal.fkm.unsri.ac.id/index.php/jikm/article/download/4
3/21 (Diakses: 30 April 2019).

Puskesmas Sukaresik. (2017) Data Skrining Kesehatan Indera 2017.


Tasikmalaya: Puskesmas Tawang

Puskesmas Sukaresik. (2018) Data Skrining Kesehatan Indera 2018.Tasikmalaya:


Puskesmas Tawang.

Rahimi, Martga Bella dkkl (2015) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Insiden


Miopia Pada Siswa SMP di Kota Padang. FK Universitas
Andalas. [Online] Tersedia :
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/384/33
9 (Diakses: 21 April 2019)
Read, Scott A, Michael J. Collins, Leo G. (2006) A Review of Astigmatism and lt
Is Possible Genesis. [Online] Tersedia: http: ://www. iovs.org
(Diakses: 05 Oktober 2019)

Sidarta, Ilyas. (2010) Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Sirajudin dkk (2018) Survei Konsumsi Pangan (Bahan Ajar Gizi). Kamenkes RI.
[Online] Tersedia: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Survey-Konsumsi-Pangan_SC.pdf
(Diakses: 16 Oktober 2019)

Sukamto, Nofia Dian Adriani. Hubungan Faktor Keturunan, Aktivitas Jarak Dekat,
Dan Aktivitas Di Luar Ruangan Dengan Kejadian Miopia Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Angkatan
2014. Fakultas Kedokteran Universitas Bandar Lampung.
[Online] Tersedia:
http://digilib.unila.ac.id/30193/3/SKRIPSI%20TANPA%20PEMB
AHASAN.pdf (Diakses: 10 Agustus 2019)

Amalia, Tiya Enira (2016) Prevalensi dan Penyebab Kelainan Refraksi pada Anak
Usia Sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah 16 Palembang.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
[Online] Tersedia: http://repository.um-
palembang.ac.id/id/eprint/811/1/SKRIPSI631-1705095850.pdf
(Diakses: 16 Oktober 2019)

McCredie J. 2008. Outdoor time could cut risk of childhood myopia. Australian
Doctor. [Online] Tersedia :
http://www.australiandoctor.com.au/news/latest-news/outdoor-
time-couldcut-risk-of-childhood-myopia (Diakses: 10 Agustus
2019)

Vannas AE, Ying GS, Richard AS, Maureen GM, Vesa J, Timo T. (2003) Myopia
and natural lighting extremes: risk factors in Finnish army
conscripts. ActaOphthalmol. Scand.

Wang, L., Du, M., Yi, H., Duan, S., Guo, W., Qin, P., Sun, J. (2017) Prevalence of
and factors associated with myopia in Inner Mongolia Medical
Students in China, a cross-sectional study. BMC Ophthalmology.

Watt,. W. S. (2003) How Visual Acuity Is Measured. [Online] Tersedia: http://


lowvision.preventblindness.org/eyeconditions/howvisual-acuity-
is-measured (Diakses: 18 Agustus 2019)
LAMPIRAN 4

KUESIONER

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KELAINAN


REFRAKSI MATA PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 10 TASIKMALAYA
TAHUN 2019

Nomor Responden :

Usia :

Jenis Kelamin :

Kelompok : Kasus/Kontrol

1. Apakah orang tua saudara/i mengalami kelainan refraksi mata (rabun jauh,
rabun dekat, atau mata silinder)?
a. Ya, ayah dan ibu
b. Ya, ayah saja
c. Ya, ibu saja
d. Tidak keduanya
2. Status Gizi
Berat Badan = ………………….. kg
Tinggi Badan = …………………... kg
3. Berapakah berat badan saudara saat lahir? (tanyakan pada orang tua)
Berat Badan Lahir = ………………… kg
4. Aktifitas jauh :
a. Membaca
1) Waktu yang digunakan untuk membaca buku pelajaran (kecuali di
sekolah), mengerjakan tugas dan membaca untuk hobi dalam sehari
(24 jam): ………………… menit.
2) Posisi yang paling sering dilakukan saat membaca:
a) Duduk tegak
b) Berbaring atau tengkurap
3) Jarak membaca: …………………. cm
b. Menonton TV
1) Waktu yang digunakan untuk menonton TV dalam satu hari (24 jam):
…………………. Jam.
2) Posisi yang sering dilakukan saat menggunakan komputer/laptop:
a) Duduk tegak
b) Berbaring atau tengkurap
3) Ukuran TV yang digunakan di rumah: …… X ….. cm
4) Jarak menggunakan menonton TV: …………….. m
c. Menggunakan gadget
1) Waktu yang digunakan untuk menggunakan gadget (bermain game,
menonton dll) dalam satu hari (24 jam): …………… jam.
2) Posisi yang paling sering dilakukan saat menggunakan
handphone/gadget:
a) Duduk tegak
b) Berbaring atau tengkurap
3) Jarak menggunakan handphone/gadget : ……….. cm
5. Aktivitas melihat jarak jauh
Berapa lama saudara/i berolahraga dan melakukan aktivitas di luar ruangan
lainnya dalam satu minggu?
Jawab : ……………………………. (jam/minggu)
6. Berapakah rata-rata konsumsi Vitamin A saudara dalam satu hari?
(terlampir)
Survei Konsumsi Vitamin A Semi FFQ (Food Frequency Quetionaire)

No. Jenis Makanan Porsi Frequensi Konsumsi Jumlah Rata-rata Nilai


Makan Sehari Seminggu Sebulan Setahun Tidak konsumsi konsumsi kandungan
(dengan Pernah makanan dalam vitamin A
Ukuran (gr) sehari (mg)
Rumah (gr)
Tangga
(URT))
1 Susu sapi
2 Telur Ayam
3 Telur Asin
4 Hati Ayam
5 Hati Sapi
6 Wortel
7 Bayam
8 Kangkung
9 Sawi
10 Tomat
11 Wortel
12 Semangka
13 Pisang
14 Mangga
15 Pepaya
Total konsumsi Vitamin A dalam sehari (mg)
LAMPIRAN 5
HASIL ANALISIS SPSS UNIVARIAT

kelainan refraksi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kasus 83 50.0 50.0 50.0

kontrol 83 50.0 50.0 100.0

Total 166 100.0 100.0

Riwayat keluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 79 47.6 47.6 47.6

tidak 87 52.4 52.4 100.0

Total 166 100.0 100.0

Status gizi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kurus 71 42.8 42.8 42.8

normal 71 42.8 42.8 85.5

gemuk 24 14.5 14.5 100.0

Total 166 100.0 100.0


BBLR

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ya 18 10.8 10.8 10.8

tidak 148 89.2 89.2 100.0

Total 166 100.0 100.0

Konsumsi Vit A

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak mencukupi 24 14.5 14.5 14.5

mencukupi 142 85.5 85.5 100.0

Total 166 100.0 100.0

kategori waktu membaca

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid > 30 menit 11 6.6 6.6 6.6

< sama dengan 30 menit 155 93.4 93.4 100.0

Total 166 100.0 100.0

Posisi membaca

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid terlentang atau tengkurap 70 42.2 42.2 42.2

duduk 96 57.8 57.8 100.0

Total 166 100.0 100.0


Kategori jarak memaca

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 30 cm 123 74.1 74.1 74.1

> sama dengan 30 cm 43 25.9 25.9 100.0

Total 166 100.0 100.0

kategori waktu menonton TV

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid > 4 jam 28 16.9 16.9 16.9

< sama dengan 4 jam 138 83.1 83.1 100.0

Total 166 100.0 100.0

Posisi menonton TV

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid terlentang atau tengkurap 91 54.8 54.8 54.8

duduk 75 45.2 45.2 100.0

Total 166 100.0 100.0

Jarak menonton TV

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 6 kali diagonal 76 45.8 45.8 45.8

lebih dari sama dengan 6


90 54.2 54.2 100.0
kali diagonal

Total 166 100.0 100.0


kategori waktu menggunakan gadget

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid > 4 jam 51 30.7 30.7 30.7

< sama dengan 4 jam 115 69.3 69.3 100.0

Total 166 100.0 100.0

Posisi menggunakan gadget

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid terlentang atau tengkurap 95 57.2 57.2 57.2

duduk 71 42.8 42.8 100.0

Total 166 100.0 100.0

kategori jarak menggunakan gadget

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 30 cm 114 68.7 68.7 68.7

> sam dengan 30 cm 52 31.3 31.3 100.0

Total 166 100.0 100.0

kategori aktivitas melihat jauh 2

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < 3 jam 66 39.8 39.8 39.8

> sama dengan 3 jam 100 60.2 60.2 100.0

Total 166 100.0 100.0


HASIL ANALISIS SPSS BIVARIAT

Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Riwayat keluarga ya Count 44 35 79

% within kelainan refraksi 53.0% 42.2% 47.6%

tidak Count 39 48 87

% within kelainan refraksi 47.0% 57.8% 52.4%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.956a 1 .162

Continuity Correctionb 1.546 1 .214

Likelihood Ratio 1.960 1 .161

Fisher's Exact Test .214 .107

Linear-by-Linear Association 1.945 1 .163

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 39,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Riwayat keluarga (ya / tidak) 1.547 .838 2.856

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.242 .916 1.686

For cohort kelainan refraksi = kontrol .803 .588 1.096

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Status gizi kurus Count 24 47 71

% within kelainan refraksi 28.9% 56.6% 42.8%

normal Count 41 30 71

% within kelainan refraksi 49.4% 36.1% 42.8%

gemuk Count 18 6 24

% within kelainan refraksi 21.7% 7.2% 14.5%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

Pearson Chi-Square 15.155a 2 .001

Likelihood Ratio 15.577 2 .000

Linear-by-Linear Association 14.905 1 .000

N of Valid Cases 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 12,00.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Status gizi


a
(kurus / normal)

a. Risk Estimate statistics cannot be


computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

BBLR ya Count 13 5 18

% within kelainan refraksi 15.7% 6.0% 10.8%

tidak Count 70 78 148

% within kelainan refraksi 84.3% 94.0% 89.2%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.988a 1 .046

Continuity Correctionb 3.053 1 .081

Likelihood Ratio 4.116 1 .042

Fisher's Exact Test .078 .039

Linear-by-Linear Association 3.964 1 .046

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for BBLR (ya / tidak) 2.897 .983 8.537

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.527 1.094 2.131

For cohort kelainan refraksi = kontrol .527 .246 1.127

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Konsumsi Vit A tidak mencukupi Count 15 9 24

% within kelainan refraksi 18.1% 10.8% 14.5%

mencukupi Count 68 74 142

% within kelainan refraksi 81.9% 89.2% 85.5%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.754a 1 .185

Continuity Correctionb 1.218 1 .270

Likelihood Ratio 1.770 1 .183

Fisher's Exact Test .270 .135

Linear-by-Linear Association 1.743 1 .187

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi Vit A (tidak mencukupi /


1.814 .745 4.415
mencukupi)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.305 .916 1.860

For cohort kelainan refraksi = kontrol .720 .419 1.235

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi Total

kasus kontrol

kategori waktu > 30 menit Count 6 5 11


membaca
% within kelainan refraksi 7.2% 6.0% 6.6%

< sama dengan Count 77 78 155


30 menit
% within kelainan refraksi 92.8% 94.0% 93.4%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .097a 1 .755

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .097 1 .755

Fisher's Exact Test 1.000 .500

Linear-by-Linear Association .097 1 .756

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kategori waktu membaca (>


1.216 .356 4.150
30 menit / < sama dengan 30 menit)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.098 .626 1.927

For cohort kelainan refraksi = kontrol .903 .464 1.758

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Posisi membaca terlentang atau tengkurap Count 39 31 70

% within kelainan refraksi 47.0% 37.3% 42.2%

duduk Count 44 52 96

% within kelainan refraksi 53.0% 62.7% 57.8%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.581a 1 .209

Continuity Correctionb 1.210 1 .271

Likelihood Ratio 1.584 1 .208

Fisher's Exact Test .271 .136

Linear-by-Linear Association 1.571 1 .210

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Posisi membaca (terlentang


1.487 .800 2.762
atau tengkurap / duduk)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.216 .899 1.643

For cohort kelainan refraksi = kontrol .818 .593 1.127

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Kategori jarak < 30 cm Count 63 60 123


memaca
% within kelainan refraksi 75.9% 72.3% 74.1%

> sama dengan Count 20 23 43


30 cm
% within kelainan refraksi 24.1% 27.7% 25.9%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .282a 1 .595

Continuity Correctionb .126 1 .723

Likelihood Ratio .283 1 .595

Fisher's Exact Test .723 .362

Linear-by-Linear Association .281 1 .596

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kategori jarak memaca (< 30 cm / >


1.208 .602 2.421
sama dengan 30 cm)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.101 .765 1.585

For cohort kelainan refraksi = kontrol .912 .654 1.272

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

kategori waktu > 4 jam Count 23 5 28


menonton TV
% within kelainan refraksi 27.7% 6.0% 16.9%

< sama dengan Count 60 78 138


4 jam
% within kelainan refraksi 72.3% 94.0% 83.1%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 13.919a 1 .000

Continuity Correctionb 12.416 1 .000

Likelihood Ratio 14.894 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.835 1 .000

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kategori waktu menonton TV (> 4


5.980 2.148 16.650
jam / < sama dengan 4 jam)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.889 1.461 2.443

For cohort kelainan refraksi = kontrol .316 .141 .709

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Posisi terlentang atau Count 47 44 91


menonton TV tengkurap
% within kelainan refraksi 56.6% 53.0% 54.8%

duduk Count 36 39 75

% within kelainan refraksi 43.4% 47.0% 45.2%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .219a 1 .640

Continuity Correctionb .097 1 .755

Likelihood Ratio .219 1 .640

Fisher's Exact Test .755 .378

Linear-by-Linear Association .218 1 .641

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 37,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Posisi menonton TV (terlentang


1.157 .628 2.133
atau tengkurap / duduk)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.076 .791 1.464

For cohort kelainan refraksi = kontrol .930 .686 1.260

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Jarak < 6 kali diagonal Count 46 30 76


menonton TV
% within kelainan refraksi 55.4% 36.1% 45.8%

lebih dari sama Count 37 53 90


dengan 6 kali diagonal
% within kelainan refraksi 44.6% 63.9% 54.2%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 6.213a 1 .013

Continuity Correctionb 5.461 1 .019

Likelihood Ratio 6.253 1 .012

Fisher's Exact Test .019 .010

Linear-by-Linear Association 6.175 1 .013

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Jarak menonton TV (< 6 kali diagonal /


2.196 1.178 4.094
lebih dari sama dengan 6 kali diagonal)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.472 1.083 2.001

For cohort kelainan refraksi = kontrol .670 .483 .930

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

kategori waktu > 4 jam Count 33 18 51


menggunakan
% within kelainan refraksi 39.8% 21.7% 30.7%
gadget
< sama dengan Count 50 65 115
4 jam
% within kelainan refraksi 60.2% 78.3% 69.3%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 6.368a 1 .012

Continuity Correctionb 5.547 1 .019

Likelihood Ratio 6.440 1 .011

Fisher's Exact Test .018 .009

Linear-by-Linear Association 6.330 1 .012

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kategori waktu menggunakan


2.383 1.204 4.716
gadget (> 4 jam / < sama dengan 4 jam)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.488 1.113 1.990

For cohort kelainan refraksi = kontrol .624 .417 .936

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

Posisi terlentang atau Count 57 38 95


menggunakan tengkurap
% within kelainan refraksi 68.7% 45.8% 57.2%
gadget
duduk Count 26 45 71

% within kelainan refraksi 31.3% 54.2% 42.8%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 8.885a 1 .003

Continuity Correctionb 7.974 1 .005

Likelihood Ratio 8.973 1 .003

Fisher's Exact Test .005 .002

Linear-by-Linear Association 8.831 1 .003

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Posisi menggunakan


gadget (terlentang atau tengkurap / 2.596 1.378 4.893
duduk)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.638 1.158 2.319

For cohort kelainan refraksi = kontrol .631 .466 .855

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

kategori jarak < 30 cm Count 66 48 114


menggunakan
% within kelainan refraksi 79.5% 57.8% 68.7%
gadget
> sam dengan Count 17 35 52
30 cm
% within kelainan refraksi 20.5% 42.2% 31.3%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 9.073a 1 .003

Continuity Correctionb 8.093 1 .004

Likelihood Ratio 9.216 1 .002

Fisher's Exact Test .004 .002

Linear-by-Linear Association 9.018 1 .003

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 26,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kategori jarak menggunakan


2.831 1.422 5.635
gadget (< 30 cm / > sam dengan 30 cm)

For cohort kelainan refraksi = kasus 1.771 1.163 2.696

For cohort kelainan refraksi = kontrol .626 .470 .833

N of Valid Cases 166


Crosstab

kelainan refraksi

kasus kontrol Total

kategori aktivitas < 3 jam Count 53 13 66


melihat jauh 2
% within kelainan refraksi 63.9% 15.7% 39.8%

> sama dengan Count 30 70 100


3 jam
% within kelainan refraksi 36.1% 84.3% 60.2%

Total Count 83 83 166

% within kelainan refraksi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 40.242a 1 .000

Continuity Correctionb 38.255 1 .000

Likelihood Ratio 42.457 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 40.000 1 .000

N of Valid Casesb 166

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kategori aktivitas melihat jauh


9.513 4.529 19.983
2 (< 3 jam / > sama dengan 3 jam)

For cohort kelainan refraksi = kasus 2.677 1.939 3.695

For cohort kelainan refraksi = kontrol .281 .170 .466

N of Valid Cases 166


LAMPIRAN 6
DOKUMENTASI PENELITIAN

Pengabsenan sampel penelitian Proses wawancara

Skrining kelainan refraksi dan survei Lokasi penelitian (SMP Negeri 10


awal Tasikmalaya)

Anda mungkin juga menyukai