Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK


“ANALISIS OBAT TRADISIONAL”

OLEH:

KELOMPOK II
STIFA B 2020

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


PROGRAM STUDI STRATA SATU FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2022
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Defenisi Obat Tradisional
Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,
mineral maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk
mencegah, mengurangi rasa sakit, memperlambat proses penyakit dan
bahkan menyembuhkan penyakit. Obat harus sesuai dosis agar efek
terapi atau khasiatnya bisa kita dapatkan. Obat tradisional juga
merupakan obat-obatan yang diolah secara tradisional, turunt-temurun,
berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional.
Obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan dan saat ini
penggunaannya cukup mudah dilakukan karena lebih mudah dijangkau
masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada
saat ini banyak digunakan karena tidak terlalu menyebabkan efek
samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh. Bagian dari obat
tradisional yang banyak digunakan atau dimanfaatkan di masyarakat
adalah akar, rimpang, batang, buah, daun dan bunga (Wasito, 2008).
Obat tradisional adalah ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang digunakan secara turun-menurun
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang
menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang sering juga
disebut dengan bahan kimia obat (BKO). BKO dalam obat tradisional
inilah yang menjadi titik penjualan produsen. Hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan
kimia obat tersebut secara tidak terkontrol, baik dosis maupun cara
penggunaannya atau bahkan demi meningkatkan penjualan dikarnakan
konsumen tersebut menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat
pada tubuh (Yuliarti, 2010).
Berdasarkan cara pembuatan serta jenis pada penggunaan dan
tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia telah
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu: (1) Jamu; (2) Obat Herbal
Terstandar; (3) Fitofarmaka. Golongan ini tidak terlalu memerlukan
pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti
empiris karna memang jamu ini telah digunakan secara turun-menurun
selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, dan telah
dibuktikan keamanan dan manfaatnya secara langsung untuk tujuan
kesehatan tertentu (Suryana, 2011).
II.2 Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional
dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan atau
cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu
tersebut serta digunakan secara tradisional (Suryana, 2011).
Berbeda dengan fitofarmaka, jamu bisa diartikan sebagai obat
tradisional yang disediakan secara tradisional, tersedia dalam bentuk
seduhan, pil maupun larutan. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan
resep turun-temurun dan tidak melalui proses seperti fitofarmaka. Jamu
harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu (Suryana, 2011): - Aman untuk
dikonsumsi - Khasiatnya harus berdasarkan data empiris (pengalaman). -
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sebuah ramuan disebut jamu
jika telah digunakan masyaraka melewati 3 generasi. Artinya bila umur
satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika
bertahan minimal 180 tahun. Inilah yang membedakan dengan
fitofarmaka, dimana pembuktian khasiat tersebut baru sebatas
pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah. Jamu dapat dinaikkan
kelasnya menjadi herbal terstandar atau fitofarmaka dengan syarat bentuk
sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang
terstandarisasi dan memenuhi syarat yang berlaku.
Pengobatan dengan menggunakan jamu yang berbahan dasar
tanaman obat memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif aman untuk
dikonsumsi dan memiliki toksisitas yang rendah. Alasan tersebutlah yang
menyebabkan penggunaan jamu pada saat ini cenderung meningkat, baik
di Negara maju maupun Negara berkembang. Berdasarkan Kemenkes-
BPPT (2010) sampai saat ini sekitar 80% populasi penduduk dunia di
Negara berkembang masih menggunakan pengobatan tradisioanl, berupa
ramuan bahan herbal yang di Indonesia disebut jamu, untuk menjaga
kesehatan dan kecantikan. Diantara nya jamu serbuk, jamu serbuk yang
telah diedarkan dan telah dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi
standar kualitas dan keamanannya secara mikrobiologis untuk
dikonsumsi. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan BPOM sehingga
jamu tersebut sangat perlu diuji dan dianalisis kelayakan konsumsinya
berdasarkan efek penggunaannya (Suharmiati dan Handayani, 2006).
II.3 Bahan Kimia Obat
Bahan kimia obat merupakan senyawa kimia obat yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam jamu, dengan tujuan agar efek
yang diinginkan bereaksi lebih cepat dari biasanya. Salah satu cara yang
paling tepat dan sederhana untuk mendeteksi adanya bahan kimia obat
dalam jamu adalah dengan mengamati efek penyembuhan yang
dirasakan oleh konsumen. Jika efek penyembuhan yang dirasakan cepat
maka kemungkinan besar jamu tersebut mengandung bahan kimia obat
dengan dosis yang cukup tinggi (BPOM, 2009).
BKO yang sering dicampurkan ke dalam obat tradisional dan
bahayanya adalah sebagai berikut (BPOM, 2006):

1. Fenilbutazon
Efek sampingnya timbul rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual,
diare, kadang pendarahan dan tukak, reaksi hipersensifitas terutama
angio edema dan bronkospasme, sakit kepala, pusing, vertigo,
gangguan pendengaran, fotosensifitas dan hematuria. Paroritis,
stomatitis, gondong, panareatitis, hepatitis, nefritis, gangguan
penglihatan, leukopenia jarang, trombositopenia, agranulositosis,
anemia aplastik, eritema multifoema 9 syndroma Steven Johnson,
nekrolisis epidermal toksis (lyll), toksis paru-paru.

2. Antalgin (Metampiron)
Efek sampingnya pada pemakaian jangka panjang dapat
menimbulkan agranulositosis.

3. Deksametason
Efek Sampingnya glukokortikoid meliputi diabetes dan osteoporosis
yang berbahaya bagi usia lanjut. Dapat terjadi gangguan mental,
euphoria dan myopagh. Pada anak-anak kortikosteroid dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan, sedangkan pada wanita hamil
dapat mempengaruhi pertumbuhan adrenal anak. Mineralokortikoid
adalah hipertensi, pretensi Natrium dan cairan serta hypokalemia.

4. Prednison
Efek sampingnya gejala saluran cerna seperti mual, cegukan,
dyspepsia, tukak peptic, perut kembang, pancreatitis akut, tukak
oesofagus, candidiasis. Gejala musculoskeletal seperti
miopatiproximal, osteoporosis, osteonekrosis avaskuler. Gejala
endokrin seperti gangguan haid, gangguan keseimbangan Nitrogen
dan kalsium, kepekaan terhadap dan beratnya infeksi bertambah.
Gejala neuropsikiatri seperti euphoria, ketergantungan psikis, depresi,
insomnia, psikosis, memberatnya shizoprenia dan epilepsy. Gejala
pada mata seperti glaucoma, penipisan kornea dan sclera,
kambuhnya infeksi virus atau jamur di mata. Gejala lainnya seperti
gangguan penyembuhan, atrofi kulit, lebam, acne, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, leukositosis, reaksi hipersensitif
(termasuk anafilaksis), tromboemboli, lesu.

5. Teofilin
Efek samping efek sampingnya takikardia, palpitasi, mual, gangguan
saluran cerna, sakit kepala, insomnia dan aritmia.

6. Hidroklortiazid (HCT)
Efek sampingnya hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang
ringan, impotensi (reversible bila obat dihentikan), hipokalimia,
hipomagnesemia, hipoatremia, hiperkalsemia, alkalosis, hipokloremik,
hiperurisemia, pirai, hiperglikemia dan peningkat kadar kolesterol
plasma.
7. Furosemid
Efek sampingnya hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesia, alkalosis,
hipokloremik, ekskresi kalsium meningkat, hipotensi, gangguan
saluran cerna, hiperurisemia, pirai, hiperglikemia, kadar kolesterol dan
trigliserida plasma meningkat sementara.

8. Glibenklamid
Efek sampingnya umumnya ringan dan frekuensinya rendah
diantaranya gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematology
trombositopeni dan agranulositosis.

9. Siproheptadin
Efek sampingnya mual, muntah, mulut kering, diare, anemia hemolitik,
leukopenia, agranulositosis dan trombositopenia.

10. Chlorpeniramin maleat (CTM)


Efek sampingnya sedasi, gangguan saluran cerna, efek anti
muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus, euphoria, nyeri kepala,
stimulasi SSP, reaksi alergi dankelainan darah.

11. Parasetamol
Efek sampingnay jarang, kecuali ruam kulit, kelainan darah,
pankreatitis akut dan kerusakan hati setelah over dosis.

12. Diclofenac sodium


Efek sampingnya gangguan terhadap lambung, sakit kepala, gugup,
kulit kemerahan, bengkak, depresi, ngantuk tapi tidak bias tidur,
pandangan kabur, gangguan mata, tinitus, pruritus. Untuk hipersensitif
seperti menimbulkan gangguan ginjal, gangguan darah.

13. Sildenafil Sitrat


Efek sampingnya dyspepsia, sakit kepala, flushing, pusing, gangguan
penglihatan, kongesti hidung, priapisme dan jantung.

14. Sibutramin Hidroklorida


Efek sampingnya dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut
jantung serta sulit tidur.

Menurut temuan Badan POM, obat tradisional yang sering dicemari


BKO umumnya adalah obat tradisional yang digunakan pada:

Klaim Kegunaan Obat Tradisional BKO yang Sering Ditambahakan

Pegal linu / encok / rematik Fenilbutason, antalgin, diklofenak


sodium, piroksikam, parasetamol,
prednison, atau deksametason

Pelangsing Sibutramin hidroklorida

Peningkat stamina / obat kuat pria Sildenafil Sitrat

Kencing manis / diabetes Glibenklamid

Sesak nafas / asma Teofilin

II.4 Kromatografi Lapis Tipis

II.4.1 Defenisi Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi ialah suatu proses pemisahan yang memiliki


analit-analit didalam sampel. Didalam proses pemisahan ini
terdapat 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat
berupa bahan padat atau porus dalam bentuk molekul kecil, atau
dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau
dilapiskan pada dinding kolom. Sedangkan fase gerak dapat berupa
gas atau cairan. Jika dalam penggunaannya gas digunakan sebagai
fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam
kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak
yang digunakan selalu cair. Kromatografi merupakan teknik analisis
yang paling sering digunakan dalam analisis sediaan farmasetik
karna penggunaanya yang sederhana. Reaksi terhadap
parameterparameter yang terjadi berpengaruh terhadap kinerja
kromatografi ini dan akan meningkatkan sistem kromatografi
sehingga akan dicapai suatu pemisahan yang baik (Rohman, 2008).
Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat
dibagi atas kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis yang
keduanya sering disebut dengan kromatografi planar, kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG). Kromatografi
lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan kromatografi kertas (KKr)
dengan bermacam variasinya pada umumnya dikenal sebagai
kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan
oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Pada kromatografi
lapis tipis ini, fase diamnya berupa lapisan yang seragam
(uniform) sedangkan pada permukaan bidang datar didukung oleh
lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik. Meskipun
demikian, kromatografi planar ini dapat juga dikatakan sebagai
bentuk terbuka dari kromatografi kolom. Kromatografi lapis tipis
dalam pengerjaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan
dengan kromatografi kolom. Karna peralatan yang digunakan pun
lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium
dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Rohman, 2008).

II.4.2 Bahan dan Teknik KLT

Bahan dan teknik KLT terdiri dari:

1. Penjerap atau Fase Diam

Fase diam yang paling sering digunakan pada KLT adalah


silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme perpindahan solut
dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya yang utama pada KLT
adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai
penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah diubah, dan
digunakan untuk pemisahan. Beberapa penjerap KLT serupa dengan
penjerap yang digunakan pada KCKT. Kebanyakan penjerap harus
dikontrol ukuran partikelnya dan luas permukaannya. Beberapa
prosedur dari kromatografi, terutama pemisahan yang menggunakan
larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kandungan air
dalam silika. Syarat kandungan air yang ideal adalah antara 11-12%
b/b. Lempeng silika gel ini dapat diubah untuk membentuk penjerap
fase terbalik dengan cara mengolah dan dengan menggunakan parafin
cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik
jenis ini juga dapat digunakan untuk identfikasi jenis-jenis
hormon yang mengandung steroid (Rohman, 2008).

2. Fase Gerak pada KLT

Fase gerak pada KLT dapat dipilih sesuai penggunaannya,


tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karna waktu yang
diperlukan pun hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah
dengan menggunakan campuran dua pelarut organik karna daya elusi
campuran kedua pelarut ini sangat mudah diatur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak
(Rohman, 2008):
a. Fase gerak yang digunakan harus mempunyai kemurnian yang
sangat tinggi karna KLT merupakan teknik pemisahan yang
sensitif.
b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga
harga R, solut terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan
pemisahan.
c. Untuk teknik pemisahan dengan menggunakan fase diam polar
seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan
kecepatan migrasi solut yang berarti juga dapat menentukan
nilai R. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar
seperti dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil
benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
d. Untuk jenis solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik
digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti
campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu,
penambahan sedikit asam etonoat atau amonia masing-masing akan
meningkatkan elusi solut-solut yang bersifat basa dan asam.

Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas dapat


dikategorika “kromatografi planar”. KLT merupakan salah satu
metode yang paling sederhana dan banyak digunakan. Peralatan dan
bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan teknik pemisahan dan
analisis sampel dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah
bejana tertutup atau sering disebut sebagai chamber yang berisikan
pelarut dan lempeng KLT. Pelaksanaan analisis dengan KLT ini
diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel pada salah satu
ujung fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk zona awal
pemisahan. Kemudian sampel dikeringkan dan ujung fase diam yang
terdapat pada zona awal tersebut kemudian dicelupkan ke dalam fase
gerak ke dalam chamber. Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa
didasarkan pada perbandingan nilai Rf dengan nilai Rf standar.
Nilai Rf umumnya tidak selalu sama sekalipun pada tempat yang sama
bahkan sekalipun analisis yang berbeda dalam tempat yang sama,
sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan Rf relatif yaitu nilai
Rf noda senyawa dibandingkan noda senyawa lain dalam lempeng yang
sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi
dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran pada lempeng, arah
aliran fase gerak, volume dan komposisi fase gerak bahkan metode
persiapan sampel KLT sebelumnya (Wulandari, 2011). Pada metode
analisis KLT, beberapa persiapan harus dipenuhi untuk mendapatkan
hasil pemisahan sampel yang baik yaitu meliputi preparasi sampel,
penanganan lempeng KLT, penanganan eluen, penanganan chamber
tempat elusi, aplikasi sampel, proses pengembangan sampel dan
evaluasi noda. Sebelum melakukan preparasi sampel terlebih dahulu
ditentukan jenis sampel dan sifat fisika kimia analit yang akan
dianalisis. Jenis sampel terbagi menjadi sampel larutan jernih,
sampel larutan keruh, sampel semisolid (setengah padat), bahkan
sampel padat. Sifat fisika kimia yang harus diketahui sebelum
melakukan preparasi sampel adalah kelarutan analit dan stabilitas
analit. Penyaringan sampel juga merupakan tahapan penting pada
preparasi sampel. Penyaringan dapat memperbaiki kromatogram yang
dihasilkan dan mempermudah penotolan sampel karna dapat memisahkan
analit dari partikel-partikel yang ada dalam larutan sampel
(Wulandari, 2011). Lempeng KLT bersifat rapuh dan harus dilakukan
dengan benar mulai dari pembukaan kemasan sampai ketahap
dokumentasi. Pendukung sorben yang paling umum digunakan pada
lempeng KLT adalah aluminium foil, film plastik dan piring kaca.
Pendukung sorben yang paling banyak digunakan adalah aluminium
foil. Lempeng yang telah dimurnikan dengan cara pencucian akan
memiliki latar belakang yang lebih bersih dan lebih seragam saat
diamati secara visual maupun dengan lampu deteksi (Wulandari,
2011).
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum adalah cawan
porselin, corong, erlenmeyer, lumping dan stamper, lampu UV 254 & 366
nm, pipa kapiler, penangas air, timbangan analitik,
III.1.2 Bahan.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum adalah
etanol, petroleum eter, produk jamu penambah nafsu makan, tablet
dexamethasone
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Pengamatan Sediaan Obtra
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dilakukan pengamatan terhadap sampel obtra yang meliputi : Nama
produk, bentuk sediaan, uji organoleptis (bau, warna, rasa), komposisi,
klaim khasiat, cara pemakaian, cara penyimpanan, nama produsen,
alamat produsen, kode registrasi, tanggal kadaluarsa, golongan
sediaan obtra (jamu, OHT, atau fitofarmaka) dan bobot isi.
III.2.2 Pengujian Keseragaman Bobot Sediaan
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang isi tiap bungkus serbuk, ditimbang isi seluruh 20 bungkus
serbuk lalu hitung bobot isi serbuk rata-ratanya.
3. Dihitung keseragaman bobotnya dengan ketentuan : tidak boleh lebih
dari 2 bungkus serbuk, yang masing-masing bobot isinya menyimpang
dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam
kolom A dan tidak boleh satu bungkus pun yang bobot isinya
menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang
ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada tabel berikut :
Bobot rata-rata Penyimpangan Terhadap Bobot Isi Rata-rata (%)
isi serbuk A B
5 g sampai 10 g 8 10
III.2.3 Identifikasi BKO
III.2.3.1 Larutan A
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang jamu sebanyak 5 gr.
3. Dimasukkan kedalam Erlenmeyer.
4. Disari dengan 50 ml petroleum eter kemudian disaring.
5. Diambil ampas lalu disari dengan 50 ml etanol.
6. Diuapkan filtrat pada penangas air hingga 5 ml.
III.2.3.2 Larutan B
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang jamu sebanyak 5 gr.
3. Dimasukkan kedalam Erlenmeyer.
4. Ditambahkan dexamethasone
5. Disari dengan 50 ml petroleum eter kemudian disaring.
6. Diambil ampas lalu disari dengan 50 ml etanol.
7. Diuapkan filtrat pada penangas air hingga 5 ml.
III.2.3.3 Larutan C
Baku dexamethasone 0,1% b/v dalam etanol

Anda mungkin juga menyukai