Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA BAYI DENGAN RDS (RESPIRATORY DISTRES SYNDROME)

OLEH :
PUTU SANTIKA DEWI
(P07120213027)

JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES DENPASAR


PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN
2016

1
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI DENGAN RDS (RESPIRATORY DISTRES SYNDROME)

1.1. Definisi
Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris

disebut neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan

gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan

lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory

grunting); dan retraksi di daerah epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat

inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop akan terdengar penurunan masukan

udara dalam paru.


Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya

kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya

kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan

sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran

hialin (PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah,

2005).
Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah idiopatic

respiratory distress syndrome (IRDS) atau disebut juga penyakit membran hialin

(PMH).
Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada

sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS

dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni,

2006).

2
Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RDS) adalah istilah

yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus (Asrining Surasmi,

dkk, 2003).
RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang

bayi-bayi preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup

bulan (Donna L. Wong, 2003).

1.2. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik

dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan

ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua

usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari

28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi

yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan

frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur

kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria,

persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi

sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit

putih (Nelson, 1999).


1.3. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya

untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan

faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya

tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.

3
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan

alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu

memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan

Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang

ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau

ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat

inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat

menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras

untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi),

sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang

lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali

perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran).

Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk

menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan.

Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka

alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat

menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary

vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.

Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran

darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan

4
pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri

melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.


Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi

pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi

vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik

menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada

bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital.

Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang

menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin.

Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu

lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan

menghambat pertukaran gas.


Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon

dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan

pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan

sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan

menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak

mengalir ke dalam alveoli.


Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi

normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya

dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis

surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen

5
yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan

penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2003).


Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran

setan yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi 

penurunan aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan 

atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau

kematian bayi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985).

6
Primer Sekunder
1.4. WOC
Bayi1.5.
prematur Perdarahan antepartum, Ibu diabetes Seksio sesaria Aspirasi mekonium Asfiksia Resusitasi Pneumotorak,
1.6. hipertensi hipotensi (pneumonia aspirasi) neonatorum neonatus sindrom wilson,
(pada ibu) mikity
1.7.
Pembentukan
Gangguan perfusi darah
Hiperinsulinemia Pengeluaran
membran Pernapasan intra uterin Janin kekurangan Pemberian kadar Insufisiensi pada
1.8. hialin uterus
janin hormon stress oleh
O2 dan kadar CO2 OTrauma akibat
surfaktan paru Sumbatan jalan napas 2 yang tinggi bayi prematur
1.9. Sirkulasi utero plasenter Mengalir
ibuke janin Gangguan
parsial oleh air ketuban meningkat kadar O2 yang
belum sempurna kurang baik Imaturitas paru pematangan paru Kerusakan surfaktan perfusi
1.10. Bayi prematur; dismaturitas bayi yang berisi air dan mekonium tinggi
Menekan sintesis
1.11.Pertumbuhan surfaktan paru belum matang surfaktan
1.12. Penurunan produksi surfaktan
1.13. Meningkatnya tegangan permukaan alveoli
Ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi
1.14. menurun
Surfaktan Kolaps paru (atelektasis) saat ekspirasi
Janin tidak dapat menjaga
rongga paru tetap IDIOPATIC RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME / IRDS
Kolaps paru
mengembang
Hipoksia Gangguan ventilasi pulmonal
Retensi CO2 Peningkatan pulmonary
Tekanan negatif intra Kerusakan endotel kapiler vaskular resistence (PVR)
toraks yang besar Kontriksi vaskularisasi dan epitel duktus arteriousus Asidosis respiratorik
pulmonal Hipoperfusi Pembalikan parsial
Transudasi alveoli Pe↓ pH dan PaO2 jaringan paru sirkulasi darah janin
Usaha inspirasi yang lebih Masukan oral
P↓ oksigenasi jaringan
kuat tidak adekuat/ Pembentukan fibrin Membran hialin
menyusu buruk melapisi alveoli Vasokontriksi berat Me↓nya aliran Aliran darah dari
Dispena Metabolisme anaerob darah pulonal kanan ke kiri
Fibrin & jaringan yang melalui arteriosus
Takipnea nekrotik membentuk lapisan Menghambat Pe↓ sirkulasi paru
Timbunan asam laktat dan foramen ovale
Apnea membran hialin pertukaran gas dan pulmonal
Retraksi dinding Peningkatan MK : kerusakan
metabolisme Asidosis metabolik Penurunan curah MK : Resti penurunan pertukaran gas
dada MK : Perubahan
jantung curah jantung
(membutuhkan
Pernapasan cuping nutrisi kurang glikogen lebih Kurangnya cadangan
hidung dari kebutuhan glikogen dan lemak coklat
banyak M↓nya perfusi ke Paru Me↓nya aliran darah pulmonal Pe↓ kesadaran
Mengorok tubuh
organ vital Kelemahan otot
Respon menggigil pada Otak Iskemia Gangguan
Kelemahan fungsi Dilatasi pupil MK :
MK : Pola nafas tidak Hipoglikemia bayi kurang/tidak ada Bayi kehilangan panas tubuh/tdk MK : Termoregulasi Kejang Resti
efektif, intoleransi aktivitas dapat me↑kan panas tubuh tidak efektif serebral
Letargi cidera

7
1.15. Manifestasi Klinis
1.16. Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi

prematur dengan berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu.

Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering

disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada

akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam

pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-

72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu

pertama.
1.17. Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh

atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan

gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang

menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi

suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda

gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering

ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi,

kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia,

tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi

(Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985).


1.18.
1.19. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gambaran radiologis
1.20. Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan

foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai

8
gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia

diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto

rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini,

makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa

pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit

membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.


2. Gambaran laboratorium
1.21. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium

diantaranya adalah :
a. Pemeriksaan darah
1.22. Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya

lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila

dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar

PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan

karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan

ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah

menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik

dan metabolik dalam tubuh.


b. Pemeriksaan fungsi paru
1.23. Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik,

frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan

memperhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal

volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang, functional residual

capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian pula

fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.

9
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
1.24. Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan

beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus

paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada

lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.


3. Gambaran patologi/histopatologi
1.25. Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis

dan membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu

terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang

ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal

dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.


1.26.
1.27. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu

diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara

meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus

adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati

karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2

yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis

paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.


c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan

glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat

badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu

10
dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara

intravena.
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik

untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis

50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan

atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.


e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian

surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun

harganya amat mahal.


2. Penatalaksanaan keperawatan
1.28. Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan

berat badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36

minggu. Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila

menerima bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya yang

dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan

(dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran

dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan

nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).


1.29.
1.30. Pencegahan
1.31. Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah

pertumbuhan paru yang belum sempurna karena itu salah satu cara untuk

menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelainan bayi yang maturitas

parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan sempurna bila

produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)

11
memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan

menghitung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion.

Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan

lahir tidak akan menderita penyakit membran hialin, sedangkan bila

perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi belum matang dan akan

mengalami penyakit membran hialin. Pemberian kortikosteroid oleh beberapa

sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin.

Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan saat ini. Cara yang paling

efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal

ini tentu agar sulit dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.
1.32.
1.33. Komplikasi
1. Pneumotoraks / pneumomediastinum
2. Pulmonary interstitial dysplasia
3. Patent ductus arteriosus (PDA)
4. Hipotensi
5. Asidosis
6. Hiponatermi / hipernatremi
7. Hipokalemi
8. Hipoglikemi
9. Intraventricular hemorrhage
10. Retinopathy pada prematur
11. Infeksi sekunder
1.34. (Suriadi dan Yuliani, 2006).
1.35.
1.36. Prognosis
1.37. Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat

prematuritas dan beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi

yang pernah menderita penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan

antara 20-40% (Scopes, 1971).


1.38.

12
1.39.

1.40.

13
1.41. ASUHAN KEPERAWATAN RDS
1.42. (RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)
1.43.
1.44.
3.1. Pengkajian
1. Identitas klien
1.45. Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat,

agama, tanggal pengkajian.


2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
1.46. Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti

perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau

intrapartus.
b. Status infant saat lahir
1.47. Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi

asfiksia), bayi lahir melalui operasi caesar.


3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
 Murmur sistolik
 Denyut jantung DBN
b. Integumen
 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
 Pitting edema pada tangan dan kaki
 Mottling
c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan
 Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
 Nafas grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Pernapasan dangkal
 Retraksi suprasternal dan substernal
 Sianosis
 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral

14
 Letargi
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi

diafragma dengan over distensi duktus alveolar


b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan

amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)


 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan

maturitas paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-

94%, pH 7,3-7,45.
 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari

sel alveolar yang rusak.


1.48.
3.2. Analisa Data

1.49.
1.50. Data 1.51. Etiologi 1.52. Masalah
No
1.53. 1.54. DO : 1.56. Surfaktan ↓ 1.79. Kerusaka
1 - Hiperkapnea 1.57.  n pertukaran gas
- Hipoksia 1.58. Tegangan permukaan alveolus ↑
- Takipnea 1.59. 
- Sianosis 1.60. Ketidakseimbangan infasi saat inspirasi
- Letargi 1.61. 
- Dispnea 1.62. Kolaps alveoli
- GDA abnormal 1.63. 
- Pucat 1.64. Gangguan ventilasi pulmonal
1.55. 1.65.
Hipoksia 1.66. CO2
Retensio Peningkatan
 1.67. pulmonary
Kerusakan endotel 1.68.
Asidosis vaskular resistance
dan epitel duktus 1.69.
respiratorik 
arteriousus 1.70. Hipoperfusi
 1.71.
Vasokonstriksi jaringan paru
Transudasi alveoli 1.72. 
 Penurunan Menurunkan aliran
Pembentukan
sirkulasi paru dan darah pulmonal
fibrin
perfusi alveolar
 15
Membran hialin
melapisi alveoli
1.73.
1.74.
1.75.
1.76. Kerusakan
1.77. pertukaran gas
1.78.
1.80. 1.81. DO : 1.83. Surfaktan menurun 1.94. Pola
2 - Dispnea; takipnea 1.84.  napas tidak efektif
- Periode apnea 1.85. Janin tidak dapat menjaga rongga paru tetap
- Pernapasan 1.86. Mengembang
cuping hidung 1.87. 
- Retraksi dinding 1.88. Usaha inspirasi lebih kuat
dada 1.89. 
- Sianosis - Sukar bernapas
- Mendengkur - Dispnea
- Napas grunting - Retraksi dinding dada
- Kelelahan - Kelelahan
1.82. - Pernapasan cuping hidung
1.90.
1.91.
MK : pola nafas1.92.
tidak efektif
1.93.
1.95. 1.96. DO : 1.98. Metabolisme anaerob 1.112. Termoreg
3 - Hipotermia 1.99.  ulasi tidak efektif
- Letargi 1.100. Timbunan asam laktat
- Menangis buruk 1.101. Asidosis metabolik
- Aterosianosis 1.102. 
- Takipnea; apnea 1.103. Kurangnya cadangan glikogen dan lemak
- Turgor kulit coklat
buruk 1.104. 
- Hipoglikemia 1.105. Respons menggigil pada bayi kurang/tidak ada
1.97. 1.106. 
1.107. Bayi kehilangan panas tubuh/tidak dapat
meningkatkan panas tubuh
1.108.
1.109.
1.110. tidak efektif
MK : Termoregulasi
1.111.
1.113.1.114. DO : 1.116. Kolaps paru 1.132. Risiko
4 - Bradikardia 1.117.  tinggi penurunan
- Sianosis umum 1.118. Gangguan ventilasi pulmonal curah jantung
- Pucat 1.119. 
- Hipotensi Hipoksia 1.120.
 Peningkatan PVR
- Dispnea 1.121.
- Edema perifer Kontriksi 
1.122.
- Lelah vaskularisasi Pembalikan parsial
1.123.
pulmonal sirkulasi darah
 janin
Penurunan
oksigenasi 16
jaringan

Penurunan curah
jantung
- Murmur sistolik 1.124.
1.115. 1.125.
1.126.
1.127.
1.128.
1.129. MK : Penurunan
1.130. curah jantung
1.131.
1.133.
3.3. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar

surfaktan, ketidakseimbangan perfusi ventilasi.


2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan,

keterbatasan pengembangan otot.


3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,

peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.


4. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan

ventilasi pulmonal
1.134.

1.135.

17
1.1. 1.2. Diagnosa 1.3. Tujuan dan Kriteria 1.5. Intervensi
N Keperawatan Hasil 1.6. (NIC)
1.4. (NOC)
1.7. 1.8. K 1.44. NOC : 1.52. NIC
1
etidakefektifan Pola nafas 1.45. Respiratory status : 1.53. Oxygen Therapy
1.9. Batasan Karakteristik Ventilation 1.54.  Bersihkan mulut, hid
: 1.46. Setelah dilakukan trakea
1.10.  Bradipnea tindakan keperawatan ..x.. 1.55.  Pertahankan jalan naf
1.56.  Siapkan peralatan ok
1.11.  Dispnea jam diharapkan pola nafas
1.57.  Monitor aliran oksige
pasien teratur dengan 1.58.  Monitor respirasi dan
1.12.  Fase ekspirasi
kriteria : 1.59.  Pertahankan posisi pa
memanjang 1.60.  Monitor volume aliran
1.47.  Irama pernafasan
1.13.  Ortopnea jenis canul yang digunakan.
teratur/ tidak sesak 1.61.  Monitor keefektifan te
1.14.  Penggunaan otot 1.48.  Pernafasan dalam
bantu pernafasan yang telah diberikan
batas normal (dewasa: 16- 1.62.  Observasi adanya tand
1.15.  Penggunaan posisi 20x/menit)
hipoventilasi
tiga titik 1.49.  Kedalaman 1.63.  Monitor tingkat kecem
1.16.  Peningkatan pernafasan normal yang kemungkinan diberikan tera
1.50.  Suara perkusi
diameter anterior-posterior
jaringan paru normal (sonor)
1.17.  Penurunan kapasitas 1.51.  Cemas berkurang
vital
1.18.  Penurunan tekanan
ekspirasi
1.19.  Penurunan tekanan
inspirasi
1.20.  Penurunan ventilasi
semenit
1.21.  Pernafasan bibir
1.22.  Pernafasan cuping
hidung
1.23.  Pernafasan ekskursi
dada
1.24.  Pola nafas abnormal
(mis., irama, frekuensi,
kedalaman)
1.25.  Takipnea
18
1.26.
1.27. Faktor yang
berhubungan
1.137.
1.138. DAFTAR PUSTAKA

1.139.

1.140. Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi :


Pedoman untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2.
Jakarta : EGC.
1.141.
1.142. Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
1.143.
1.144. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
1.145.
1.146. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
UI.
1.147.
1.148. Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.
1.149.
1.150. Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan
pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
1.151.
1.152. Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta :
EGC.
1.153.
1.154.

19

Anda mungkin juga menyukai