Anda di halaman 1dari 8

Nama: Andi Salwa Nabilah Pratiwi

NIM: G021201050

TUGAS 2

1. Surah Al-A'raf ayat 158

Katakanlah, "Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan
dan mematikan, maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasulnya, nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kalian
mendapat petunjuk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, yaitu Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam: Katakanlah. (Al-A'raf: 158) wahai Muhammad Wahai manusia. (Al-
A'raf: 158 Khitab atau pembicaraan ini ditujukan kepada seluruh umat manusia, baik yang berkulit
merah maupun yang berkulit hitam, baik orang Arab maupun orang 'Ajam (selain Arab).
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua. (Al-A'raf: 158) Yaitu kepada seluruh
umat manusia. Hal ini merupakan kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau adalah penutup para nabi dan diutus oleh Allah kepada
seluruh umat manusia, seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya: Katakanlah, "Allah. Dia
menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku
memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya). (Al-
An'am: 19) Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang
kafir kepada Al-Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. (Hud: 17) Dan katakanlah
kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi. Apakah kalian
(mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. Dan
jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). (Ali Imran:
20) Ayat-ayat lainnya mengenai hal ini cukup banyak, sama banyaknya dengan hadits-hadits yang
membahas masalah ini, sehingga sulit dihitung. Hal ini merupakan perkara agama yang harus
diketahui secara daruri, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh umat
manusia. Sehubungan dengan tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan: telah menceritakan kepada
kami Abdullah dan Sulaiman ibnu Abdur Rahman dan Musa ibnu Harun; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul
Ala ibnu Zaid, telah menceritakan kepadaku Bisr ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Abu
Idris Ai-Khaulani yang mengatakan, "Saya pernah mendengar Abu Darda mengatakan bahwa pernah
terjadi dialog antara Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar membuat Umar marah, maka Umar pergi
meninggalkannya dalam keadaan emosi. Lalu Abu Bakar mengikutinya seraya meminta kepada Umar
agar mau memohonkan ampunan buatnya, tetapi Umar tidak melakukannya dan langsung menutup
pintu rumahnya di hadapan Abu Bakar. Lalu Abu Bakar menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam Abu Darda melanjutkan kisahnya, bahwa saat itu dirinya ada bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Ingatlah, teman kalian ini
sedang dalam keadaan emosi,' yakni iri dan marah. Akhirnya Umar menyesali perbuatannya terhadap
Abu Bakar. Lalu ia datang menghadap dan mengucapkan salam serta duduk di sebelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menceritakan duduk perkaranya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Darda melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, dan Abu Bakar berkata, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, dalam
hal ini sayalah yang aniaya.' Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Apakah kalian
meninggalkan temanku karena aku? Sesungguhnya aku telah mengatakan, 'Wahai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua,' lalu kalian menjawab, 'Engkau dusta,'
sedangkan Abu Bakar mengatakan, 'Engkau benar'." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari
secara munfarid. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Abu Ziyad, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas secara marfu', bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda: Aku dianugerahi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang
nabi pun sebelumku, aku katakan hal ini bukan membanggakan diri. Aku diutus untuk semua umat
manusia, baik yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam; aku diberi pertolongan melalui rasa
gentar (yang mencekam hati musuh) sejauh perjalanan satu bulan; dan dihalalkan semua ganimah
bagiku, padahal ganimah tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku; dan bumi ini dijadikan bagiku
sebagai masjid dan sarana bersuci; dan aku diberi izin memberikan syafaat, maka sengaja saya
tangguhkan buat umatku di hari kiamat nanti. Syafaatku akan diperoleh oleh orang yang tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun. Sanad hadits berpredikat jayyid, tetapi mereka tidak
mengetengahkannya. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami qutaibah ibnu
Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bakar ibnu Mudar, dari Abul Had, dari Amr ibnu Syu'aib, dari
ayahnya, dari kakeknya, bahwa di suatu malam pada tahun Perang Tabuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit mengerjakan shalat sunatnya. Lalu berkumpullah di belakangnya sejumlah
lelaki dari kalangan sahabat-sahabatnya mengawalnya. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelesaikan salatnya, beliau menemui mereka dan bersabda kepada mereka: Sesungguhnya
telah diberikan kepadaku malam ini lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun
sebelumku. Ingatlah, aku diutus kepada seluruh umat manusia secara umum, sedangkan sebelumku
hanya diutus untuk kaumnya saja; aku diberi pertolongan dalam menghadapi musuh melalui rasa
gentar (yang mencekam hati mereka), sekalipun jarak antara aku dan mereka sejauh perjalanan satu
bulan, mereka tetap dicekam oleh rasa gentar terhadapku. Dan dihalalkan bagiku memakan semua
ganimah, sedangkan sebelumku, mereka merasa berdosa besar memakannya, mereka hanya
membakarnya. Dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai masjid dan sarana bersuci, di manapun waktu
shalat menemuiku aku dapat bertayamum dan shalat; padahal sebelumku, mereka merasa berdosa
besar melakukan hal itu. Sesungguhnya orang-orang sebelumku hanyalah shalat di dalam biara-biara
dan gereja-gereja mereka dan yang kelima ialah tiada lain dikatakan kepadaku, "Mintalah!
Sesungguhnya setiap nabi telah meminta (kepada Allah), sedangkan aku sengaja menangguhkan
permintaanku sampai hari kiamat nanti. Hal itu untuk kalian dan untuk semua orang yang bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Sanad hadits ini jayyid lagi kuat, tetapi mereka (para ahli hadits)
tidak mengetengahkannya. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Abu Musa Al-Asy'ari , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda:
Barangsiapa yang pernah mendengar tentang diriku dari kalangan umatku, baik dia seorang Yahudi
ataupun seorang Nasrani, lalu ia tidak beriman kepadaku, niscaya dia tidak dapat masuk surga. Hadits
ini di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan melalui jalur lain, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku
berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. tiada seorang lelaki pun dari kalangan umat ini yang
mendengar perihal diriku, baik seorang Yahudi ataupun seorang Nasrani. kemudian ia tidak beriman
kepadaku, melainkan masuk neraka. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Hasan, telah menceritan kepada Kami Ibnul Lahiah telah menceritakan kepada kami Abu Yunus
(yaitu Salim ibnu Jubair), dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaannya, tiada seorang pun dari
kalangan umat ini yang mendengar tentang diriku, baik dia seorang Yahudi ataupun seorang Nasrani,
kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang disampaikan olehku, melainkan ia
termasuk penghuni neraka. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada
kami Israil, dari Abu Ishaq; dari Abu Burdah, dari Abu Musa .a. yang mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku dianugerahi lima perkara; Aku diutus kepada orang
yang berkulit merah dan berkulit hitam (seluruh umat manusia), bumi ini dijadikan untukku sebagai
masjid dan sarana bersuci; dihalalkan bagiku semua ganimah, padahal ganimah tidak dihalalkan bagi
orang-orang sebelumku; dan aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh)
sejauh perjalanan satu bulan; dan aku diberi izin memberi syafaat, padahal tidak ada seorang nabi pun
melainkan memohon syafaat; dan sesungguhnya aku simpan syafaatku, kemudian aku akan
memberikannya kepada setiap orang dari umatku yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan
Allah dengan sesuatu pun. Hadits ini pun sanadnya shahih, tetapi menurut kami tidak ada seorang pun
dari mereka (ahli hadits) yang mengetengahkannya. Hadits yang semisal terdapat dalam hadits lain
melalui Ibnu Umar yang diriwayatkan dengan sanad yang jayyid pula. Hadits ini memang ada di
dalam kitab Shahihain melalui hadits Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku dianugerahi lima perkara yang belum pernah
diberikan kepada nabi-nabi sebelumku. Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam
hati musuh) sejauh perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid dan sarana
bersuci, maka siapa pun orangnya dari kalangan umatku menemui waktu shalat, hendaklah ia shalat
(di tempat itu), dihalalkan bagiku semua ganimah yang tidak pernah dihalalkan kepada seorang pun
sebelumku, dan aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan adalah seorang nabi itu diutus hanya
untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh uawt manusia. Firman Allah subhanahu wa
ta’ala: Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan
dan Yang mematikan. (Al-A'raf: 158) Semuanya itu adalah sifat Allah yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya. Dengan kata lain, aku diutus oleh Tuhan
Yang menciptakan segala sesuatu, Yang memiliki semuanya, Yang di tangan kekuasaan-Nya semua
kerajaan, demikian pula menghidupkan dan mematikan, dan hanya Dialah yang berhak memberi
keputusan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya,
nabi yang ummi. (Al-A'raf: 158) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka
bahwadirinya adalah utusan Allah kepada mereka, kemudian memerintahkan mereka agar
mengikutinya dan beriman kepadanya. Nabi yang ummi. (Al-A'raf: 158) Yaitu nabi yang telah
dijanjikan dan telah diberitakan kepada kalian melalui kitab-kitab terdahulu sebagai berita gembira
akan kedatangannya, karena sesungguhnya sifat-sifatnya disebutkan di dalam kitab-kitab mereka
(kaum Ahli Kitab). Karena itulah ia disebut nabi yang ummi. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya. (Al-A'raf: 158) Yakni yang ucapan dan amal
perbuatannya bersesuaian, dan dia beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya.
Dan ikutilah dia. (Al-A'raf: 158) Maksudnya, tempuhlah jalannya dan titilah jejaknya. supaya kalian
mendapat petunjuk (Al-A'raf: 158) Yaitu mendapat petunjuk ke jalan yang lurus." via
https://tafsir.learn-quran.co/id

2. Surah Al-A'raf ayat 54

Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam (berkuasa) di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang;
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Mahasuci Allah. Tuhan semesta alam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa Dialah
yang menciptakan seluruh alam semesta ini, termasuk langit dan bumi serta apa yang ada di antara
keduanya dalam enam hari. Hal seperti ini disebutkan di dalam Al-Qur'an melalui bukan hanya satu
ayat. Yang dimaksud dengan enam hari ialah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Pada hari
Jumat semua makhluk kelak dihimpunkan, dan pada hari Jumat pula Allah menciptakan Adam
‘alaihissalam Para ulama berselisih pendapat mengenai pengertian makna hari-hari tersebut. Dengan
kata lain. apakah yang dimaksud dengan hari-hari tersebut sama dengan hari-hari kita sekarang,
seperti yang kita pahami dengan mudah. Ataukah yang dimaksud dengan setiap hari adalah yang
lamanya sama dengan seribu tahun, seperti apa yang telah dinaskan oleh Mujahid dan Imam Ahmad
ibnu Hambal, yang hal ini diriwayatkan melalui Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Adapun mengenai
hari Sabtu, tidak terjadi padanya suatu penciptaan pun, mengingat hari Sabtu adalah hari yang
ketujuh. Karena itulah hari ini dinamakan hari Sabtu, yang artinya putus. Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya menyebutkan: telah menceritakan kepada kami Hajjaj,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah, dari
Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi maula Ummu Salamah, dari Abu Hurairah yang
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya, lalu bersabda:
Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung yang ada di bumi pada hari
Ahad, menciptakan pepohonan yang ada di bumi pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tidak
disukai pada hari Selasa, menciptakan nur pada hari Rabu, menebarkan hewan-hewan di bumi pada
hari Kamis, dan menciptakan Adam sesudah atsar pada hari Jumat sebagai akhir makhluk yang
diciptakan di saat yang terakhir dari saat-saat hari Jumat, tepatnya di antara waktu atsar dan malam
hari. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim ibnu Hajjaj di dalam kitab sahihnya dan juga oleh Imam
An-Nasai melalui berbagai jalur dari Hajjaj (yaitu Ibnu Muhammad Al-A'war), dari Ibnu Juraij
dengan sanad yang sama. Di dalamnya disebutkan semua hari yang tujuh secara penuh. Padahal Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan dalam Firman-Nya enam hari. Karena itulah maka Imam
Bukhari dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan para huffaz mempermasalahkan
hadits ini. Mereka menjadikannya sebagai riwayat dari Abu Hurairah, dari Ka'b Al-Ahbar, yakni
bukan hadits marfu. Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Lalu Dia
beristiwa di atas Arasy. (Al-A'raf: 54) Sehubungan dengan makna ayat ini para ulama mempunyai
berbagai pendapat yang cukup banyak, rinciannya bukan pada kitab ini. Tetapi sehubungan dengan ini
kami hanya meniti cara yang dipakai oleh mazhab ulama Salaf yang saleh, seperti Malik, Auza'i, Ats-
Tsauri, Al-Al-Laits ibnu Sa'd, Asy-Syafii, Ahmad, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta lain-lainnya dari
kalangan para imam kaum muslim, baik yang terdahulu maupun yang kemudian. Yaitu
menginterpretasikannya seperti apa adanya, tetapi tanpa memberikan gambaran, penyerupaan, juga
tanpa mengaburkan pengertiannya. Pada garis besarnya apa yang mudah ditangkap dari teks ayat oleh
orang yang suka menyerupakan merupakan hal yang tidak ada bagi Allah, mengingat Allah
subhanahu wa ta’ala itu tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyerupai-Nya. Allah subhanahu
wa ta’ala telah berfirman: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat, (Asy-Syura; 11) Bahkan pengertiannya adalah seperti apa yang
dikatakan oleh para imam, antara lain Na'im ibnu Hammad Al-Khuza'i (guru Imam Bukhari). Ia
mengatakan bahwa barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, kafirlah dia.
Barang siapa yang ingkar kepada apa yang disifatkan oleh Allah terhadap Zat-Nya sendiri,
sesungguhnya dia telah kafir. Semua apa yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai
diriNya, juga apa yang digambarkan oleh Rasul-Nya bukanlah termasuk ke dalam pengertian
penyerupaan. Jelasnya, barang siapa yang meyakini Allah sesuai dengan apa yang disebutkan oleh
ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, kemudian diartikan sesuai dengan keagungan
Allah dan meniadakan dari Zat Allah sifat-sifat yang kurang, berarti ia telah menempuh jalan hidayah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat. (Al-A'raf: 54) Yakni menghilangkan kegelapan malam hari dengan cahaya siang hari, dan
menghilangkan cahaya siang hari dengan gelapnya malam hari. Masing-masing dari keduanya
mengikuti yang lainnya dengan cepat dan tidak terlambat. Bahkan apabila yang ini datang, maka yang
itu pergi; begitu pula sebaliknya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan
suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari
malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan
dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
(Yasin: 37-40) Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: dan malam pun tidak dapat
mendahului siang. (Yasin: 40) Artinya, tidak akan terlambat darinya serta tidak akan ketelatan
darinya, bahkan yang satunya datang sesudah yang lainnya secara langsung tanpa ada jarak waktu
pemisah di antara keduanya. Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang;
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. (Al-A'raf: 54) Di antara ulama ada yang membaca
nasab, ada pula yang membaca rafa tetapi masing-masing dari kedua bacaan mempunyai makna yang
berdekatan. Dengan kata lain, semuanya tunduk di bawah pengaturanNya dan tunduk di bawah
kehendak-Nya. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: Ingatlah, menciptakan dan
memerintahkan hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54) Yakni hanya Dialah yang berhak menguasai dan
mengatur semuanya. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (Al-A'raf: 54) Sama dengan yang
disebutkan di dalam firman-Nya: Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan
bintang. (Al-Furqan: 61), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-
Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Hisyam Abu
Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada
kami Abdul Gaffar ibnu Abdul Aziz Al-Ansari, dari Abdul Aziz Asy-Syami, dari ayahnya yang
berpredikat sahabat, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa
yang tidak memuji Allah atas amal yang dikerjakannya, yaitu amal yang saleh; dan bahkan dia
memuji dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah ingkar dan amalnya dihapuskan. Dan barang
siapa yang menduga bahwa Allah telah menjadikan bagi hamba-hamba-Nya sesuatu dari urusan itu,
berarti ia telah ingkar terhadap apa yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya. Dikatakan
demikian karena ada firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengatakan: Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (Al-A'raf: 54) Di dalam
sebuah doa yang matsur (bersumber) dari Abu Darda dan telah diriwayatkan secara marfu' disebutkan:
Ya Allah, bagi-Mu semua kekuasaan, dan bagi-Mu semua pujian, dan hanya kepada Engkaulah semua
urusan dikembalikan. Saya memohon kepada-Mu semua kebaikan, dan saya berlindung kepada-Mu
dari semua kejahatan. via https://tafsir.learn-quran.co/id

3. Surah Al-Baqarah ayat 2

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Ibnu Juraij
mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa makna zalikal kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-
Qur'an ini. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah. Sa'id ibnu Jabir, As-Suddi, Muqatil
ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka mengatakan bahwa memang demikianlah
maknanya, yakni zalika (itu) bermakna haza (ini). Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-
isim isyarah (kata petunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal
ini sudah dikenal di dalam pembicaraan (percakapan) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh
Imam Al-Bukhari, dari Ma'mar ibnul Musanna, dari Abu Ubaidah. Az-Zamakhsyari mengatakan
bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam mim, sebagaimana yang terdapat di dalam
firman-Nya yang lain: yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. (Al-Baqarah: 68)
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. (Al-Mumtahanah: 10) (Zat) yang
demikian itulah Allah. (Yunus: 3) Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafal zalika dengan
pengertian seperti yang telah disebutkan. Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang
diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dan lain-lainnya, bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an
yang telah dijanjikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan diturunkan kepadanya,
atau isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal; semuanya ada sepuluh
pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan ulama. Yang dimaksud dengan
"Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud
dengan lafal zalikal kitabu adalah isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran. tenggelam ke dalam
perselisihan dan memaksakan pendapat, padahal dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Ar-raib artinya keraguan. As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari
Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sej'umlah orang-orang dari
kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa makna la raibafihi ialah "tidak ada
keraguan di dalamnya Hal yang sama dikatakan pula oleh Abud Darda, Ibnu Abbas. Mujahid. Sa'id
ibnu Jabir, Abu Malik. Nafi' maula Ibnu Umar, ‘Atha’, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil
ibnu Hayyan, As-Suddi, Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid. Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak
pernah mengetahui ada perselisihan pendapat mengenai maknanya." Akan tetapi, adakalanya lafal ar-
raib dipakai untuk pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang
penyair: Busainah mengatakan, "Wahai Jamil, apakah engkau curiga kepadaku?' Maka kukatakan,
"Kita semua, wahai Busainah, mencurigakan." Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan",
seperti pengertian yang terkandung di dalam ucapan seseorang dari mereka, yaitu: Kami telah
menunaikan semua keperluan dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang
(senjata kami). Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia
diturunkan dari sisi Allah. Pengertiannya sama dengan makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala di
dalam surat As-Sajdah. yaitu: Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya,
(adalah) dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2) Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk
kalimat ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi larangan).
yakni: "Janganlah kalian meragukannya!" Di antara ulama ahli qiraah ada yang melakukan waqaf
(menghentikan bacaan) pada lafal la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya dari fihi hudal lil
munaqin. Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi lebih utama karena berdasarkan ayat yang
telah kami sebut tadi, karena lafal hudan menjadi sifat Al-Qur'an (yakni kitab Al-Qur'an ini tidak
diserukan lagi, di dalamnya terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Makna ini lebih
balig (kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa). Lafal hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena
menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan keadaan). Hidayah
ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Katakanlah, "Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-
orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Quran itu suatu
kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang
jauh.(Fushshilat: 44) Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman, dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian. (Al-Isra: 82) Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna bahwa hanya
orang-orang mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu sendiri
sudah merupakan petunjuk. Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya mereka yang bertakwa.
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57) As-Suddi
meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Suddi juga meriwayatkannya dari
Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan darisejumlah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai makna hudal lil muttaqin. Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang
yang bertakwa. Abu Rauq meriwayatkan dari Dahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin.
Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang menjauhkan diri dari kemusyrikan
terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya. Muhammad ibnu Ishaq
meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna al-muttaqin. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka
adalah orang-orang yang takut terhadap siksaan Allah dalam meninggalkan hidayah yang mereka
ketahui, dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dalam membenarkan apa yang didatangkan-Nya.
Sufyan Ats-Tsauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri mengenai firman-Nya,
"lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara diri dari
hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya. Abu Bakar
ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya mengenai makna al-muttaqin.
Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi,
dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar.
Kemudian Abu Bakar ibnu Iyasy berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa
yang dikatakan oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak
memprotesnya." Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam
firman Allah Subhanahu wa ta’ala pada ayat berikutnya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
gaib, yang mendirikan shalat. (Al-Baqarah: 3) Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat
mencakup semua yang telah dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas. Imam At-Tirmidzi dan Imam
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits melalui riwayat Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari
Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Suddi yang
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Seorang hamba masih
belum mencapai golongan orang-orang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal-hal yang tidak
mengapa karena menghindari hal-hal yang mengandung apa-apa (dosa). Menurut Imam At-Tirmidzi,
hadits ini berpredikat hasan garib. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman yakni Ar-Razi, dari Al-Mugirah ibnu Muslim, dari
Maimun Abu Hamzah yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Abu Wa'il,
masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah seorang murid Mu'az. Syaqiq
ibnu Salamah berkata kepadanya, "Wahai Abu Arif, tidakkah engkau menceritakan kepada kami apa
yang telah dikatakan oleh Mu'az ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya
mengatakan bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat. kemudian ada
suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka (orang-orang yang
bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pemurah; Allah menampakkan diri
kepada mereka dan tidak menutup diri-Nya. Aku bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?'
Mu'az menjawab, 'Mereka adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan
berhala, dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata,' lalu
mereka masuk ke dalam surga." Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa
iman. Tiada yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah
Subhanahu wa ta’ala sendiri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (Al-Qashash: 56) Bukanlah
kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (Al-Baqarah: 272) Barang siapa yang Allah
sesatkan. maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk (Al-A'raf: 186) Barang siapa
diberi petujuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-
Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk
kepadanya. (Al-Isra: 97) Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna yang sama. Lafal Al-
huda adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai perkara yang hak,
penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang
memberi petunjuk. (Ar-Ra'd: 7) Dan adapun kaum Tsamud. maka mereka Kami beri petunjuk. tetapi
mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat: 17) Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Sebagian orang menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan an-naj-dain ialah jalan kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat
daripada yang lainnya. At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai,
mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan). An-Nabigah
(salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan: Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak
bermaksud menjatuhkannya. maka dia memungutnya seraya menutupi wajahnya menghindar dari
pandangan kami dengan tangannya. Penyair lain mengatakan: Dia menanggalkan penutup kepala
yang melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya dari sinar
matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak tangan dan lengannya. Menurut
suatu riwayat, Umar ibnul Khattab pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b tentang makna takwa.
maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar
menjawab, "Ya, pernah." Ubay ibnu Ka'b bertanya lagi, "Kemudian apa yang kamu lakukan?" Umar
menjawab, "Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata,
"Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz melalui bait-bait
syairnya, yaitu: Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa.
Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri. selalu waspada menghindari
duri-duri yang dilihamya. Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesesuatu yang kecil (dosa kecil).
sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil. Abu Darda di suatu hari pernah
mengucapkan syair-syair berikut: Manusia selalu mengharapkan agar semua yang didambakannya
dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia kehendaki. Seseorang
mengatakan.Keuntunganku dan hartaku" padahal takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang
paling utama. Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah yang menceritakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Tiada keuntungan yang paling baik
bagi seseorang sesudah takwa kepada Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya,
membuat dia bahagia; dan jika dia memerintahnya, ia taat; jika melakukan giliran terhadapnya, maka
ia berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara diri dan harta
suaminya." via https://tafsir.learn-quran.co/id

Anda mungkin juga menyukai