Proposal Penelitian
Dosen Pembimbing :
Oleh :
R0419001
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut World Health Menurut (WHO) terdapat 2,7 juta kasus
ruptur perineum pada ibu bersalin, diperkirakan akan mencapai 6,3 juta di tahun
2050, dan 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia, terjadi di Asia. Di
Indonesia ruptur perineum dialami oleh 75% ibu melahirkan pervaginam. Dari
total 1951 kelahiran spontan pervaginam, 57% ibu mendapat jahitan perineum 8%
karena episiotomy dan 29% karena robekan spontan (Kemenkes RI, 2017).
Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat kelahiran
bayi baik menggunakan alat maupun tidak menggunakan alat. Ruptur perineum
disebabkan paritas, jarak kelahiran, berat badan bayi, pimpinan persalinan tidak
sebagaimana mestinya, ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma alat dan
episiotomi (Sumarah, 2014).
Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya robekan spontan maupun
episiotomi. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan mempunyai dampak
tersendiri bagi ibu yaitu gangguan ketidaknyamanan Hal ini dikaitkan dengan
morbiditas yang signifikan seperti pendarahan post-partum, ikatan genting ibu
dan bayi, nyeri perineum pasca melahirkan, inkontinensia urin pasca melahirkan,
inkontinensia anal, disfungsi seksual, penundaan waktu berhubungan seksual, dan
perdarahan, sedangkan ruptur perineum spontan terjadi karena ketegangan pada
daerah vagina pada saat melahirkan, juga bisa terjadi karena beban psikologis
menghadapi proses persalinan dan yang lebih penting lagi Ruptur perineum
terjadi karena ketidaksesuaian antara jalan lahir dan janinnya, oleh karena efek
yang ditimbulkan dari Ruptur perineum sangat kompleks (Triyanti et al. dalam
Mutmainah, 2019; Ugwu et al., 2018). Ruptur Perineum perlu mendapatkan
perhatian karena dapat menyebabkan fungsi organ reproduksi wanita, sebagai
sumber perdarahan, dan sumber atau jalan keluar masuknya infeksi, yang
kemudian dapat menyebabkan kematian karena perdarahan atau sepsis (Manuaba,
2008)
Laserasi perineum merupakan penyebab perdarahan kedua setelah atonia
uteri, hal ini sering terjadi pada primigravida karena pada primigravida perineum
masih utuh, belum terlewati oleh kepala janin sehingga akan mudah terjadi
robekan perineum. Jaringan perineum pada primigravida lebih padat dan lebih
resisten daripada multipara. Luka laserasi biasanya ringan tetapi dapat juga terjadi
luka yang luas yang dapat menimbulkan perdarahan sehingga membahayakan
jiwa ibu (Departemen Kesehatan RI, 2011). Sebanyak 25% primipara pasca
persalinan vaginal mengalami gangguan defekasi, sepertiga kasus diantaranya
akibat trauma sfingter ani. Dispareunia, inkontinensi urin atau retensi urin dapat
menurunkan kualitas hidup perempuan. Inkontinensi anal dan fistula bahkan
seringkali berkaitan dengan isu medikolegal dan pembiayaan yang cukup besar.
Banyak perempuan menganggap penyulit yang timbul setelah persalinan
merupakan konsekuensi wajar dari perjalanan panjang menjadi seorang ibu. Rasa
malu dan ketidaktahuan kemana harus mencari pertolongan juga membuat
perempuan cenderung bersikap menerima keadaan. Di sisi lain, masih banyak
penolong persalinan belum mampu mengenali dan mengelola berbagai dampak
robekan perineum akibat persalinan. (Pangastuti, 2021)
Ruptur perineum lebih besar resikonya terjadi pada ibu primigravida karena
jalan lahir belum pernah dilalui bayi sama sekali dan otot masih kaku, namun
pada ibu multigravida juga tidak menutup kemungkinan juga dapat mengalami
ruptur perineum. Hal ini sejalan dengan penelitian Elina, et al. pada tahun 2016
yang berjudul “Hubungan Paritas dengan Terjadinya Robekan Perineum Spontan”
menunjukkan hasil dari 373 ibu primipara sebagian besar mengalami robekan
perineum spontan 84,9%, dan dari 229 paritas multipara lebih dari setengahnya
mengalami robekan perineum spontan 62,4%, sedangkan pada grandemultipara
sebagian besar tidak mengalami robekan perineum spontan 94,4%.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah robekan pada perineum
saat bersalin adalah dengan pijat perineum. Pijat perineum adalah salah satu cara
yang paling kuno dan paling pasti untuk meningkatkan kesehatan, aliran darah,
elastisitas, dan relaksasi otot-otot dasar panggul. Jika sampai terjadi ruptur
perineum, pemijatan perineum dapat mempercepat proses penyembuhan
perineum (Beckmann, et al., dalam Mutmainah, 2019). Pijat perineum adalah
salah satu cara untuk meningkatkan kesehatan, aliran darah, elastisitas, dan
relaksasi otot-otot dasar panggul. Teknik ini, jika dilatih pada tahap akhir
kehamilan (mulai minggu ke-34) sebelum persalinan, juga akan membantu
mengenali dan membiasakan diri dengan jaringan yang akan dibuat rileks dan
bagian yang akan dilalui oleh bayi (Morgan dalam Mutmainah, 2019). Di
Indonesia sendiri pijat perineum antenatal masih belum banyak dipraktikkan dan
masih belum banyak masyarakat yang tahu jika dibanding dengan terapi
persiapan persalinan lain, seperti senam kegel atau senam hamil.
Upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan kejadian ruptur perineum
pada ibu bersalin ditetapkan dalam KEPMENKES RI NOMOR
HK.01.07/MENKES/320/2020 Tentang Standar Profesi Bidan, yaitu pada area
kompetensi 6: Promosi Kesehatan dan Konseling pada poin Kerjasama dalam tim
untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan masyarakat dalam lingkup
kesehatan reproduksi. Departemen Kesehatan RI Juga menggalakkan senam
hamil sebagai upaya preventif komplikasi saat persalinan, termasuk ruptur
perineum.
Walaupun di Indonesia belum ada Undang-Undang yang mengatur secara
khusus tentang pelaksanaan pijat perineum yang masuk dalam pelayanan
kebidanan komplementer, namun penyelenggaraan pengobatan komplementer
secara umum telah diatur dalam PERMENKES No.15 tahun 2019 yang masuk
dalam pelayanan kesehatan tradisional komplementer. Pelayanan kebidanan
komplementer merupakan bagian dari penerapan pelayanan kesehatan
komplementer dan alternatif dalam tatanan pelayanan kebidanan. Bagi banyak
bidan dan wanita, pelayanan kebidanan komplementer adalah pilihan untuk
mengurangi intervensi medis saat hamil dan melahirkan, dan berdasarkan
pengalaman hal tersebut cukup membantu. Namun, sebagian besar terapi ini tidak
dianggap bermakna dalam pengobatan konvensional. (Ernst & Watson, 2012) Hal
ini disebabkan oleh kelangkaan dalam hal bukti klinis dan informasi yang
diterbitkan sehubungan dengan efektivitas pelayanan kebidanan komplementer
pada kehamilan, persalinan dan nifas.
Ruptur perineum yang terjadi sewaktu melahirkan dan penanganannya
merupakan masalah kebidanan. Fungsi utama bidan adalah mengupayakan ibu
dapat melahirkan dengan aman, dengan mempersiapkan fisik dan psikologis ibu
sejak masa kehamilan. Bidan selain berperan sebagai penolong persalinan dan
memberikan perawatan nifas termasuk perawatan luka perineum, bidan juga
berperan dalam menurunkan angka kejadian ruptur perineum di Indonesia dengan
persiapan fisik seperti diadakannya kelas ibu hamil berdasarkan Buku Panduan
Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil oleh DEPKES RI tahun 2009 memberikan
pendidikan kesehatan kepada ibu dan praktik mengenai terapi yang dapat
meminimalisir resiko ruptur perineum, yaitu senam hamil setiap sesi yang waktu
pelaksanaannya disesuaikan dengan keputusan partisipan, biasanya pada akhir
sesi. Bidan juga memfasilitasi buku panduan senam hamil atau CD senam hamil.
Masalah ketegangan pada otot dan sendi yang berperan dalam proses persalinan
juga dapat diatasi pada saat perawatan prenatal dengan kegiatan pijat perineum
yang bermanfaat untuk melancarkan sirkulasi darah pada otot perineum. Pijat
perineum merupakan suatu program latihan bagi ibu hamil sehat untuk
mempersiapkan kondisi otot perineum, serta mempersiapkan kondisi mental ibu
terutama menghadapi tekanan kepala bayi yang keluar melalui perineum dalam
persalinan. (Yuliaswati, Enny.2015)
Menurut penelitian Emmanuel Onyebuchi Ugwu, et al. mengenai efektifitas
pijat perineum antenatal terhadap trauma perineum dan morbiditas pasca
persalinan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Nigeria tahun 2018
menunjukkan hasil dari 108 ibu hamil trimester III primigravida pada kelompok
yang diberikan pijat perineum antenatal pada saat persalinan terdapat 20 orang
dengan kejadian episiotomi (37,7%), 27 ibu dengan perineum utuh (50,9%), 6 ibu
dengan ruptur perineum derajat I (11,3%) dan derajat II 0 (0%). Sedangkan pada
kelompok yang tidak diberi pijat perineum antenatal, ibu dengan kejadian
episiotomy sebanyak 32 (58,2%), 16 ibu dengan perineum utuh (29,1%), 5 ibu
dengan ruptur perineum derajat I (9,1%), 2 ibu dengan ruptur perineum derajat II
(3,6%).
Pengaruh pemberian pijat perineum terhadap derajat ruptur perineum juga
sejalan dengan penelitian Natami, P.A., et al. pada tahun 2012 pada ibu
primigravida di BPS Widjayati dan BPS Desak Kecamatan Negara, Denpasar,
Bali, menunjukkan hasil pada kelompok responden yang diberikan perineum
massage, tidak ada yang mengalami robekan derajat III dan IV. Responden yang
paling banyak tidak mengalami robekan perineum yaitu 6 orang (60%), 3 orang
(30%) mengalami robekan derajat I dan 1 orang (10%) mengalami robekan
derajat II sedangkan kelompok responden yang tidak diberikan perineum massage
jumlah responden sebanyak 10 orang. Sebagian besar responden mengalami
robekan perineum derajat II yaitu sebanyak 7 orang (70%).
1.2. Rumusan Masalah
Adakah pengaruh pijat perineum antenatal terhadap derajat ruptur perineum pada
ibu bersalin di wilayah klinik X?
1.3. Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pijat perineum antenatal
terhadap derajat ruptur perineum pada ibu bersalin primigravida di wilayah
klinik x
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui derajat ruptur perineum terhadap ibu yang tidak
diberi pijat perineum antenatal di wilayah klinik x.
2. Untuk mengetahui derajat ruptur perineum pada ibu yang diberi pijat
perineum antenatal di wilayah klinik x.
3. Untuk mengetahui pengaruh pijat perineum antenatal terhadap derajat
ruptur perineum pada ibu bersalin primigravida di wilayah klinik x
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis
1. Prodi Kebidanan Sarjana Terapan Universitas Sebelas Maret
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dan
materi pembelajaran di mata kuliah mengenai pelayanan kebidanan
komplementer, asuhan kebidanan kehamilan, praktek asuhan
kebidanan kehamilan dan asuhan persalinan untuk mahasiswa
Kebidanan Sarjana Terapan di Universitas Sebelas Maret.
2. Peneliti selanjutnya
Dapat digunakan sebagai referensi maupun acuan untuk penelitian
selanjutnya mengenai ruptur perineum.
3. Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian diharapkan dapat membawa dampak positif pada
tenaga kesehatan khususnya bidan dalam pelayanan kebidanan
komplementer di Indonesia terutama pijat perineum antenatal untuk
menambah bukti klinis dan informasi yang diterbitkan sehubungan
dengan pengaruh pijat perineum antenatal terhadap penurunan resiko
ruptur perineum.
Manfaat praktis
1. Subjek penelitian (Ibu Hamil Trimester III Primigravida)
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang dampak ruptur perineum
dan manfaat pijat perineum antenatal untuk menurunkan resiko ruptur
perineum serta dapat melakukan pijat perineum secara mandiri.
2. Tempat Penelitian (Klinik X)
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan
pertimbangan klinik dalam pelayanan kesehatan antenatal, sehingga
dapat menurunkan angka ruptur perineum di wilayah Klinik X.
PENGARUH PIJAT PERINEUM ANTENATAL PADA IBU HAMIL
TRIMESTER III TERHADAP PENURUNAN RESIKO RUPTUR PERINEUM
DI KLINIK X TAHUN 2021
Keaslian Penelitian
No Judul Jumlah Sampel Desain Persamaan Perbedaan Hasil
1 Effectivene 108 Ibu hamil Sebuah Persamaan perbedaan Hasilnya menunjukkan
ss of primigravida studi dengan dalam bahwa ibu hamil trimester
antenatal dengan eksperi penelitian ini penelitian III yang menerima pijat
perineal kehamilan mental adalah terletak ini pada perineum antenatal lebih
massage in tunggal, dalam dengan pada sampel variabel memungkinkan melahirkan
reducing presentasi metode yaitu ibu yang diteliti, dengan perineum utuh,
perineal kepala di 34-36 random hamil yaitu trauma insiden episiotomi yang
trauma and minggu ized trimester III perineum lebih rendah dan secara
post- kehamilan, control primigravida dan signifikan lebih kecil
partum tanpa kontraksi trial dan desain morbiditas kemungkinannya untuk
morbidities uterus yang penelitian, post-partum mendapatkan gangguan
: A kemudian yaitu studi ketidaknyamanan pasca
randomize melakukan eksperimental melahirkan seperti
d persalinan di dengan uji inkontinensia flatus
controlled Rumah Sakit coba dibanding dengan kelompok
trial Pengajaran terkontrol ibu yang tidak menerima
(Ugwu, Universitas pijatan Perineum antenatal.
E.O, et al, Nigeria, Enugu,
2018) Niger
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Teori
2.1.1. Ruptur Perineum
2.2.1.1Persalinan
2.2.1.1.1 Definisi Persalinan
Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi
yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia
luar yang terjadi pada kehamilan yang cukup bulan (37–42
minggu) dengan ditandai adanya kontraksi uterus yang
menyebabkan terjadinya penipisan, dilatasi serviks, dan
mendorong janin keluar melalui jalan lahir dengan presentase
belakang kepala tanpa alat atau bantuan (lahir spontan) serta
tidak ada komplikasi pada ibu dan janin (Eka Puspita, 2014).
2.2.1.2 Tahapan Persalinan
Beberapa jam terakhir kehamilan ditandai dengan adanya
kontraksi uterus yang menyebabkan penipisan, dilatasi serviks,
dan mendorong janin keluar melalui jalan lahir.
(Prawirohardjo, 2008).
Tahapan Persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu:
a) Kala I
Kala pertama adalah dilatasi serviks untuk menyiapkan
jalan lahir bagi janin. Kala ini dimulai saat persalinan mulai
sampai pembukaan lengkap (10 cm). Proses ini terbagi
dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3
cm dan fase aktif (7 jam) serviks membuka dari 3 sampai
10 cm. Kontraksi lebih kuat dan sering selama fase aktif
(Prawirohardjo, 2008)
b) Kala II
Kala II persalinan dimulai ketika dilatasi serviks sudah
lengkap dan berakhir ketika janin sudah lahir. Kala II
persalinan disebut juga sebagai stadium ekspulsi janin.
(Prawirohardjo, 2008)
c) Kala III
Kala III persalinan dimulai segera setelah janin lahir, dan
berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
janin. Kala III persalinan disebut jua sebagai stadium
pemisahan dan ekspulsi plasenta. (Prawirohardjo, 2008)
d) Kala IV
Kala IV persalinan adalah pengawasan terhadap bahaya
pendarahan, pengawasan dilaksanakan selama ± 2 jam
pasca persalinan. (Buku Ajar KIA, Kemenkes RI 2014)
2.1.1.3 Faktor yang mempengaruhi Persalinan
a) Tenaga Atau Kekuatan (Power)
Adalah kekuatan yang mendorong janin dalam persalinan.
Kekuatan yang berguna untuk mendorong keluar janin adalah his,
kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan aksi ligament.
Kekuatan primer yang diperlukan dalam persalinan adalah his,
sedangkan sebagai kekuatan sekundernya adalah tenaga meneran
ibu (Permata Sari et al., 2018).
b) Jalan Lahir (Passage)
Merupakan faktor jalan lahir, terbagi menjadi 2 yaitu bagian
keras (tulang panggul) dan bagian lunak (uterus, otot dasar
panggul dan perineum) (Permata Sari et al., 2018).
c) Janin (Passanger)
Meliputi sikap janin, letak janin, presentasi, bagian presentasi,
serta posisi. Sikap janin menunjukkan hubungan bagian tubuh
janin yang satu dengan bagian yang lain. Letak janin dilihat
berdasarkan hubungan sumbu tubuh janin dibandingkan dengan
sumbu tubuh ibu. Presentasi digunakan untuk menentukan bagian
janin yang ada di bagian bawah rahim yang dijumpai pada palpasi
atau pada pemeriksaan dalam.
Bagian presentasi adalah bagian tubuh janin yang pertama
kali teraba oleh jari pemeriksa saat melakukan pemeriksaan
dalam. Sedangkan posisi merupakan indikator untuk menetapkan
arah bagian terbawah janin (Prawirohardjo, 2008).
2.1.1.4 Mekanisme Persalinan
Mekanisme persalinan letak belakang kepala Menurut
(Prawirohardjo, 2008) mekanisme persalinan dibagi beberapa
tahap yaitu :
a) Fiksasi
Masuknya kepala dengan lingkaran terbesar (diameter
Biparietal) melalui PAP. Pada primigravida kepala janin mulai
turun pada umur kehamilan kira–kira 36 minggu, sedangkan
pada multigravida pada kira– kira 38 minggu kadang–kadang
permulaan partus. Engagement lengkap terjadi bila kepala
sudah mencapai Hodge III. Bila engagement sudah terjadi
maka kepala tidak dapat berubah posisi lagi, sehingga
posisinya seolah–olah terfixer di dalam panggul, oleh karena
itu engagement sering juga disebut fiksasi.
Pada kepala masuk PAP, maka kepala dalam posisi
melintang dengan sutura sagitalis melintang sesuai dengan
bentuk yang bulat lonjong. Seharusnya pada waktu kepala
masuk PAP, sutura sagitalis akan tetap berada di tengah yang
disebut Synclitismus. Tetapi kenyataannya, sutura sagitalis
dapat bergeser kedepan atau kebelakang disebut Asynclitismus.
Asynclitismus dibagi 2 jenis :
1) Asynclitismus anterior : naegele obliquity yaitu bila sutura
sagitalis bergeser mendekati promontorium.
2) Asynclitismus posterior : litzman obliquity yaitu bila
sutura sagitalis mendekati symphisis.
a) Penurunan
Penurunan kepala lebih lanjut ke dalam panggul.
Faktor– faktor yang mempengaruhi descensus yaitu tekanan air
ketuban, dorongan langsung fundus uteri pada bokong janin,
kontraksi otot– otot abdomen, ekstensi badan janin.
b) Fleksi
Menekannya kepala dimana dagu mendekati sternum sehingga
lingkaran kepala menjadi mengecil suboksipito bregmatikus
(9,5 cm). Fleksi terjadi pada waktu kepala terdorong His
kebawah kemudian menemui jalan lahir. Pada waktu kepala
tertahan jalan lahir, sedangkan dari atas mendapat dorongan,
maka kepala bergerak menekan ke bawah.
c) Putaran Paksi Dalam
Berputarnya oksiput ke arah depan, sehingga ubun -ubun kecil
berada di bawah symphisis (HIII). Faktor-faktor yang
mempengaruhi yaitu perubahan arah bidang PAP dan PBP,
bentuk jalan lahir yang melengkung, kepala yang bulat dan
lonjong.
d) Defleksi
Mekanisme lahirnya kepala lewat perineum. Faktor yang
menyebabkan terjadinya hal ini yaitu lengkungan panggul
sebelah depan lebih pendek dari pada yang belakang. Pada
waktu defleksi, maka kepala akan berputar ke atas dengan
suboksiput sebagai titik putar (hypomochlion) dibawah
symphisis sehingga berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi,
muka dan akhirnya dagu.
e) Putaran paksi luar
Berputarnya kepala menyesuaikan kembali dengan sumbu
badan (arahnya sesuai dengan punggung bayi).
f) Expulsi
Lahirnya seluruh badan bayi.
2.1.1.5 Pengertian Perineum
Perineum adalah regio yang terletak antara vulva dan anus,
panjangnya rata-rata 4 cm. Saat persalinan, tidak hanya
ditentukan oleh organ-organ genitalia interna saja seperti uterus
dan vagina, tetapi bagian seperti otot-otot, jaringan-jaringan
ikat dan ligamen-ligamen juga mempengaruhi jalan lahir. Otot-
otot yang menahan dasar panggul dibagian luar adalah
a) Regio Anal
1) Canalis analis
Panjang kanalis sekitar 4 cm dan membentuk sudut
postero-inferior.
2) Sphincter ani
Terdiri dari komponen sphincter externa dan
interna. Sphincter ani interna merupakan lanjutan
dari otot polos sirkular rektum. Sphincter ani
externa menyatu dengan puborectalis membentuk
area penebalan yang disebut anulus anorectalis.
3) Fossa ischiorectalis
Terletak di kedua sisi canalis analis. Dinding medial
dan lateral fossa ischiorectalis adalah m. levator ani
dan canalis analis serta obturatorius internus. Fossa
terisi oleh lemak.
b) Regio Urogenital
Regio ini berbentuk segitiga. Membrana perinealis
merupakan lapisan fasia kuat yang melekat ke tepi
trigonum urogenitalis. Pada wanita, membran ini ditembus
oleh uretra dan vagina.
1) Vulva
Merupakan istilah untuk menyebut genitalia
eksterna wanita. Mons pubis merupakan tonjolan
lemak yang menutupi symhphisis pubis dan os.
pubis. Labia mayora adalah bibir berlemak
yangmons pubis. Labia minora terletak di sebelah
dalam labia mayora dan di posterior menyatu
membentuk fourchette.
2) Uretra
Pada wanita, uretra berukuran pendek sekitar 3-4
cm. Faktor ini menyebabkan predisposisi infeksi
saluran kemih akibat penyebaran organisme. Uretra
berjalan dari leher kandung kemih menuju meatus
eksterna, meatus ini terletak di antara klitoris dan
vagina.
3) Vagina
Vagina adalah saluran berotot yang berjalan ke arah
atas dan belakang dari orificium vagina. Pasokan
darah vagina didapat dari a. vaginalis dan cabang
vaginalis a. uterina (Drake, et al., 2019).
2.1.1.6 Pengertian Ruptur Perineum
Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir yang terjadi pada
saat kelahiran bayi baik menggunakan alat maupun tidak
menggunakan alat. Ruptur perineum disebabkan oleh paritas,
jarak kelahiran, berat badan bayi, pimpinan persalinan tidak
sebagaimana mestinya, ekstraksi cunam, ekstraksi fakum,
trauma alat dan episiotomi. (sumarah, 2014).
2.1.1.7 Klasifikasi Ruptur Perineum
2.1.1.7.1. Berdasarkan penyebab rupture
a) Episiotomi
Ruptur perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu
sendiri harus dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar,
perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan
dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum.
Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi
dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi
di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan
beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat.
(Triyanti et al. dalam Mutmainah, 2019)
b) Spontan
Ruptur perineum spontan terjadi karena ketegangan pada
daerah vagina pada saat melahirkan, juga bisa terjadi
karena beban psikologis menghadapi proses persalinan dan
yang lebih penting lagi Ruptur perineum terjadi karena
ketidaksesuaian antara jalan lahir dan janinnya, oleh karena
efek yang ditimbulkan dari Ruptur perineum sangat
kompleks (Triyanti et al. dalam Mutmainah, 2019)
2.1.1.7.2. Berdasarkan derajat rupture
Berdasarkan buku Asuhan Persalinan dan BBL yang
diterbitkan Kemenkes RI pada tahun 2017, klasifikasi laserasi
atau robekan perineum dibagi menjadi 4 derajat:
a) Derajat I Meliputi mokosa vagina, fourchette posterior
dan kulit perineum. Pada derajat I ini tidak perlu
dilakukan penjahitan, kecuali jika terjadi perdarahan
b) Derajat II Meliputi mokosa vagina, fourchette posterior,
kulit perineum dan otot perineum. Pada derajat II
dilakukan penjahitan dengan teknik jelujur.
c) Derajat III Meliputi mokosa vagina, fourchette posterior,
kulit perineum, otot perineum dan otot spingter ani
external.
d) Derajat IV Derajat III ditambah dinding rectum anterior
Pijat Perineum
Faktor Maternal Antenatal
- Paritas
- Usia
Faktor Janin
- Ukuran janin
- Posisi dan Ruptur Perineum
Presentasi derajat I, II, III, IV
- Kelainan
Kongenital
- Distosia
- Senam kegel
Faktor Persalinan - Meneran dengan baik
Prevaginam - Posisi bersalin yang
- Ekstraksi tepat
Vakum - Pertolongan yang tepat
- Ekstraksi saat persalinan
Cunam
- Penolong
Persalinan
2.3. Kerangka Konsep
Paritas
Usia
Ukuran Janin
: Diteliti
: Tidak diteliti
Natami, P. A., Runiari, N., Kp, S., Kep, M., Mat, S., & Mastini, N. I. P. (2012).
Pengaruh Perineum Massage Terhadap Derajat Robekan Perineum Pada Ibu
Primigravida Di BPS Widjayati Dan BPS Desak Kecamatan Negara. Skripsi tidak
diterbitkan. Denpasar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Journal Vol. 3
No, 2.
Ugwu, E. O., Iferikigwe, E. S., Obi, S. N., Eleje, G. U., & Ozumba, B. C. (2018).
Effectiveness of antenatal perineal massage in reducing perineal trauma and post‐
partum morbidities: A randomized controlled trial. Journal of Obstetrics and
Gynaecology Research, 44(7), 1252-1258.
Damayanti, I.P. et al. (2014) Buku Ajar: Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada
Ibu Bersalin dan Bayi Baru Lahir. Yogyakarta: Deepublish
Sari, eka puspita, kurnia dwi rimandini. 2014. Asuhan Kebidanan pada Persalinan
Cetakan1. Jakarta : Trans Info Medika
Permata Sari, D., Zulfa Rufaida, M., Bd, Sk., & Wardini Puji Lestari, S. (2018).
Nyeri Persalinan (E. D. Kartiningrum (ed.); 1st ed.). STIKes Majapahit Mojokerto.
Safitri, M. E., Hajar, S., & Dakhi, E. F. (2019). Hubungan Karakteristik Ibu
Bersalin Dengan Ruptur Perineum. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan
Kesehatan, 5(2), 285-292.
Pemiliana, P. D., Sarumpaet, I. H., & Ziliwu, D. S. (2019). Factors Associated
With A Ruptured Perineum On A Vaginal Birth At The Clinic Niar The Terrain Of
The Year 2018. Window of Health: Jurnal Kesehatan, 170-182.
Octaviani Iqmy, L., Minhayati, D. 2019. Senam Kegel Terhadap Ruptur Perineum
Ibu Bersalin. Jurnal Kebidanan Vol 5, 193-198
Drake, et al. 2019. Gray’s Anatomy for Student 4th Edition. Elsevier. 1180 hal.