Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS PUTUSAN

Kelompok 1
Cecilia elvira
Columbanus priaardanto
lidya imelda rachmat
raden ajeng diah puspa sari
stefany ismantara
GZ stephanie priscilla dewi
FAKTA-fakta
Pada tanggal 15 September 2017, saksi korban AGITA DIORA FITRI bersama dengan
saksi YENI ARIANI datang ke tempat praktik Terdakwa (dr. ELIZABETH SUSANA).
Perawatan kecantikan yang dilakukan, dilakukan atas rekomendasi dari saksi YENI
ARIANI yang sudah menjalani perawatan serupa yang ditangani juga oleh Terdakwa
sebelumnya.
Terdakwa menyampaikan secara lisan kepada saksi AGITA DIORA FITRI bahwa
Terdakwa terlebih dahulu akan merampingkan pipi saksi AGITA DIORA FITRI, setelah
itu akan dilakukan penyuntikan filler pada hidung agar terlihat lebih mancung, saksi
AGITA DIORA FITRI memberikan persetujuan dengan menganggukan kepalanya.
Saksi AGITA DIORA FITRI dan saksi YENI ARIANI mengaku tidak diberitahu mengenai
SPO penyuntikan filler hidung sebelum tindak penyuntikan filler hidung.
Terdakwa menyuntikkan hyaluronic acid ke hidung saksi AGITA DIORA FITRI, namun
karena terjadi kepucatan di area kedua alis saksi AGITA DIORA FITRI, terdakwa
mencabut suntikan tersebut dan selanjutnya menyuntikkan hyaluronidase sebagai
anti dot di area hidung.
FAKTA-fakta
Setelah itu saksi korban AGITA DIORA FITRI mengeluh sakit dan menutup
matanya. Ketika membuka matanya, mata kirinya tidak bisa melihat.
Karena keadaan saksi AGITA DIORA FITRI tidak membaik, terdakwa bersama
dengan saksi YENI ARIANI membawa saksi AGITA DIORA FITRI ke Rumah Sakit
Siloam Makassar.
Terdakwa melakukan penyuntikkan Anti Dot kepada saksi AGITA DIORA FITRI
di Rumah Sakit Siloam tanpa sepengetahuan pihak Rumah Sakit Siloam,
namun sudah mendapat izin dari saksi YENI ARIANI.
Setelah dilakukan perawatan baik di Rumah Sakit Siloam maupun Rumah
Sakit Wahidin, saksi AGITA DIORA FITRI masih tidak dapat melihat dengan
sempurna dengan mata kirinya.
Semua biaya perawatan saksi AGITA DIORA FITRI ditanggung oleh terdakwa.
Pasal 79 huruf c Jo. Pasal 51 huruf dakwaan jpu
a UU RI No.29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran
Pasal 360 ayat (1) KUHPidana.
Menurut dakwaan JPU, terdakwa dalam
melakukan praktik kedokteran tidak sesuai dakwaan jpu
dengan Standar Profesi, SPO, dan kebutuhan
medis pasien karena:
Terdakwa tidak membuat persetujuan
tindakan kedokteran tertulis
Terdakwa tidak memiliki sertifikat
kompetensi atau surat keterangan
kompetensi estetik medik dari IDI
Terdakwa tidak membuat SPO Penyuntikan
Filler Hidung yang berfungsi sebagai
Panduan Praktik Klinik bagi tenaga medis
dalam melaksanakan tindakan kedokteran
Terdakwa tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan secara lengkap
dakwaan pertama pertimbangan
HAKIM MENIMBANG bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Terdakwa terhadap Saksi AGITA
hakim
DIORA FITRI adalah merupakan tindakan medis,
sehingga berdasarkan Pasal 67 Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 pelanggaran terhadap
tindakan disiplin medis tersebut harus diperiksa
dan diputus oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia yang dalam hal ini adalah
MKEK IDI. Karena tidak ada keputusan dari MKEK
IDI yang menyatakan Terdakwa melakukan
pelanggaran standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien, maka dengan demikian unsur-unsur dari
dakwaan tersebut tidak terpenuhi, dan terdakwa
terbebas dari dakwaan.
pertimbangan
dakwaan kedua hakim
HAKIM MENIMBANG bahwa unsur kesalahan
atau kealpaan dalam dakwaan kedua
merupakan tindakan medis dalam praktik
kedokteran, sedangkan tindakan medis secara
khusus (lex spesialis) telah diatur dalam UU
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
kedokteran, sehingga kesalahan atau kealpaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat
(1) KUHP tidak dapat diterapkan terhadap
tindakan medis dalam praktik kedokteran,
sehingga terdakwa terbebas dari dakwaan.

bahan
hukum
UU No 29 thn 2004
Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 360 ayat 1 KUHP
Permenkes R.I Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011
Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran

Permenkes R.I No.1438/MENKES/PER/IX/2010


Tentang Standar Pelayanan Kedokteran
Bahan Non Hukum

bahan
Keterangan Ahli
hukum
Keterangan Saksi

Permenkes RI No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 11 Tahun


2012, Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana), (Pasal 28 ayat (10) Pedoman
Organisasi dan Tata Laksana Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI))
ISU HUKUM
Apakah seorang dokter dalam melakukan tindakan
penyuntikan filler harus membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertulis?
ANSWER
Pada Pasal 45 UU No.29 Tahun 2004 dikatakan bahwa setiap tindakan medis
yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan, di
mana persetujuan itu bisa secara lisan atau tertulis. Namun, tindakan medis
yang mengandung risiko tinggi memerlukan persetujuan secara tertulis.

Hal yang serupa juga dinyatakan dalam permenkes 290/MENKES/PER/III/2008


tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
ISU HUKUM
Apakah seorang dokter dalam melakukan tindakan
penyuntikan filler harus membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertulis?
cont ANSWER
Dalam hal ini, dua orang ahli yang diajukan JPU, berpendapat bahwa
penyuntikkan filler hidung termasuk tindakan medis yang beresiko tinggi
Ahli yang diajukan dari pihak terdakwa berpendapat bahwa IDI dalam hal ini
PERDAWERI yang dapat menentukan apakah penyuntikan filler hidung
termasuk dalam tindakan medis beresiko tinggi.
Berdasarkan Surat dari IDI, disimpulkan bahwa Dr. ELISABETH SUSANA patut
diduga melakukan kelalaian karena tidak membuat informed consent tertulis.
Namun Terdakwa melakukan banding, sehingga surat dari IDI sebelumnya
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
ISU HUKUM
Apakah seorang dokter yang tidak memiliki sertifikat
kompetensi atau surat keterangan kompetensi estetik
medik dari organisasi profesi kedokteran (IDI) dalam hal
ini PERDAWERI dapat melakukan praktik kedokteran
terkait dengan estetik medik berupa penyuntikan filler
hidung?
ANSWER
Dasar hukum :
1. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran
2. Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri
Kesehatan R.I Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin
Praktek dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
ISU HUKUM
Apakah seorang dokter yang tidak memiliki sertifikat
kompetensi atau surat keterangan kompetensi estetik
medik dari organisasi profesi kedokteran (IDI) dalam hal
ini PERDAWERI dapat melakukan praktik kedokteran
terkait dengan estetik medik berupa penyuntikan filler
hidung?
cont ANSWER
Berdasarkan undang undang, yang bisa melakukan tindakan medis
kecantikan dan estetika yaitu dokter yang sudah memiliki sertifikat
kompetensi sebagai surat tanda pengakuan terhadap kemampuan
seorang dokter untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia
setelah lulus uji kompetensi. Ketua PERDAWERI menyatakan bahwa
terdakwa memiliki sertifikat kompetensi yang diakui PERDAWERI.
ISU HUKUM
Apakah dalam melakukan penyuntikan filler hidung
seorang dokter diharuskan membuat SPO Penyuntikan
Filler Hidung sebagai Panduan Praktik Klinik?

ANSWER
Dasar Hukum :
1. Pasal 45 ayat 3 UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor
2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran
3. Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor
1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran

Berdasarkan dasar hukum di atas dapat disimpulkan seorang dokter harus


membuat SPO dalam penyuntikkan filler hidung.
ISU HUKUM
Apakah seorang dokter dalam memberikan pelayanan
medis berupa filler hidung tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan secara lengkap harus bertanggung jawab
ketika pasien mengalami dampak negatif dari tindakan
yang telah dilakukan ?
ANSWER
Dasar Hukum :
1. Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
2. Pasal 10 ayat (5) Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor
1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran

Berdasarkan dasar hukum tersebut, maka ya, seorang dokter yang tidak
melakukan pemeriksaan pendahuluan secara lengkap harus beertanggung jawab
terhadap dampak yang dialami pasien.
answer
Tidak menjalankan asas audi et alteram partem

Hakim lebih banyak mempertimbangkan pendapat saksi dan ahli


yang meringankan terdakwa
Hakim mengesampingkan pendapat 2 orang ahli JPU bahwa
penyuntikkan filler adalah tindakan medis beresiko tinggi sehingga
dibutuhkan persetujuan tertulis, dan pada kenyataannya hal
tersebut sudah mengakibatkan gangguan penglihatan bagi
korban.
Hakim cenderung mengesampingkan fakta bahwa terdakwa
tidak memberitahukan perihal SPO filler hidung dan tidak
melakukan pemeriksaan pendahuluan.

Apa yang perlu dipahami dan dikritik


questions dari putusan ini?
answer
surat IDI & kenyataan bahwa tindakan terdakwa
telah mengakibatkan kebutaan pada korban

Tidak adanya bukti persetujuan secara tertulis dari korban, fakta


bahwa terdakwa tidak melakukan pemerikaan pendahuluan terlebih
dahulu kepada korban sehingga meningkatkan resiko timbulnya dampak
negatif, dan pada kenyataannya akhirnya hal tersebut mengakibatkan
korban mengalami gangguan penglihatan sampai sekarang.
Apabila MKEK IDI mengeluarkan surat IDI yang membuktikan bahwa
terdakwa telah lalai atas respon dari banding yang diajukan terdakwa
maka hal tersebut dapat dijadikan alat bukti dengan kekuatan hukum
tetap.

Apakah ada bukti baru untuk


questions mengajukan banding
answer
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Adanya penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
sehingga tindakan terdakwa dr. Elisabeth secara khusus telah
diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, sehingga kesalahan serta kealpaan yang dimaksud
dalam pasal 360 Ayat 1 KUHP tidak dapat diterapkan terhadap
tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa

Terkait dakwaan pertama, pertimbangan hakim juga dapat dimaklumi karena hakim
menimbang kasus tersebut berada dalam ranah disiplin medis, sehingga memerlukan
keputusan dari MKEK IDI untuk menyatakan Terdakwa melakukan pelanggaran standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.

Apa yang menjadi pertimbangan hakim


questions tidak bisa di challenge?
KESIMPULAN terhadap
isu hukum
1. Penyuntikan filler di area wajah merupakan tindakan medis yang
berisiko tinggi, sehingga diperlukan persetujuan tertulis (informed
consent) dari pasien.
2. Untuk meminimalisir adanya resiko medis dalam melakukan tindakan
medis kecantikan dan estetika, maka seorang dokter harus
mempunyai surat keterangan kompetensi estetik medis dari
organisasi PERDAWERI-IDI.
3. Untuk meminimalisir risiko medis harus ada Standar Prosedur
Operasional (SPO), dan sesuai dengan kebutuhan medis dari pasien
dimana didahului dengan pemeriksaan pendahuluan secara lengkap
terhadap pasien
PRESKRIPSI
Perlu dibuat ketentuan yang jelas dari IDI perihal tindakan medis
apa saja yang membutuhkan persetujuan tertulis dokter.
Khusus tindakan estetika yang melibatkan daerah triangle of
death, perlu ada kejelasan hukum mengenai informed consent
secara tertulis.
Aturan hukum yang jelas perihal SPO dokter estetika wajah,
apabila terjadi gagal medis, ada kejelasan dalam hubungan hukum
antara pasien dengan dokter.
Perlu dibuat hukum yang menetapkan bahwa hanya dokter yang
minimal bergelar SpDV yang dapat melakukan tindakan medis
dibidang kecantikan dan estetika, demi meminimalisir resiko medis.

Anda mungkin juga menyukai