Anda di halaman 1dari 2

Materi : MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI AHLUL KITAB

Disusun Oleh : Eko Wahyudin


Jabatan : Penyuluh Agama Isnon Non PNS
Kecamatan : Pasekan
Spesialisasi : Keluarga Sakinah

MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI AHLUL KITAB

Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik


(dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak
ditemukan ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan
wanita kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya
menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul
kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh
seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul
kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya ayat lain yang
menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.
Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun
menikah dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena
al-Qur’an telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-
orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka)
tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata”. (QS. Al-Bayyinah:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi
istrinya agar menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan
seorang mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: wala amatun
mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu).
Lalu dipertegas lagi pada ayat berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min
musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung
penafsiran lain keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah
kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan
tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling
membantu dalam mentaati Allah (at-ta’âwun bi al-birr wa at-taqwa) akan lebih tercipta,
di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan juga di
akhirat.
Pendapat Yang Mengharamkan
Sungguhpun dalam pembahasan di atas, ada peluang dibolehkannya menikahi
ahlul kitab, tetapi ulama-ulama kontemporer Indonesia mengharamkan perkawinan
dengan non-Islam baik dengan ahlul kitab ataupun musyrikah. Pendapat ini seperti
yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Dalam KHI Pasal 40 disebutkan :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu :
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dengan adanya ketentuan dalam KHI ini, kawin antara umat Islam dengan non-
Islam tidak diperbolehkan. Hal ini karena dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
disebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.”
Mejelis Ulama Indonesia dalam fatwanya juga mengharamkan perkawinan beda
agama, bahkan dengan ahlul kitab sekalipun. Dalil-dalil yang dijadikan argumentasinya
adalah surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5. Di samping itu, MUI menilai
bahwa nikah beda agama dapat mendatangkan kemafsadatan, yaitu berpotensi menjadi
keluarga tidak bahagia dan seorang mukmin dapat terancam menjadi kafir. Karena itu
MUI secara tegas menfatwakan nikah beda agama hukumnya haram, baik bagi kaum
laki-laki maupun perempuan.
Kesimpulan
Nikah adalah wahana untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan dalam
keluarga. Keluarga yang seiman, seaqidah, sevisi dan semisi dalam membangun
keluarga ke depan, tentu lebih maslahah dibandingkan keluarga yang di dalamnya
banyak perbedaan, lebih-lebih kalau perbedaannya dalam hal agama. Karena itu, sangat
tepat ulama yang berpendapat bahwa nikah beda agama hukumnya tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai