Anda di halaman 1dari 4

PERJUANGAN MAULANA SYEKH DI LOMBOK

Disusun oleh :

Lalu Zui A Mahatvayodha

Japni Tarmizi

M.Iqron

M.Arya Dayu

Fakultas Teknik

Universitas Hamzanwadi

Jalan Professor M Yamin No.35, Pancor, Selong, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara

Bar. 83611
PERANAN TUAN GURU KYAI HAJI ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM MEMPERJUANGAN REVOLUSI
KEMERDEKAAN DI PULAU LOMBOK 

   Penjajahan merupakan sejarah kelam bagi sebuah bangsa. Kehidupan rakyat selalu diselimuti
kebodohan dan keterbelakangan dalam segala aspeknya. Gembaran ini paling tidak tercermin pada
kehidupan bangsa Indonesia ketika dijajah, baik oleh Belanda, Jepang, maupun NICA.

   Perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerdekannya, melepaskan diri dari hisapan
penjajah sama usianya dengan penjajahan itu sendiri. Perjuangan kemerdekaan itu berlangsung dari
kurun waktu ke kurun waktu, sebagai mata rantaiperjuangan rakyat di berbagai daerah Nusantara.

  Di Pulau Lombok, daerah Nusa Tenggara Barat juga tidak pernah sepi dari perjuangan seperti itu.
Perjuangan itu antara lain dimotori oleh para pemimpin agama masyarakat yang peduli akan nasib
bangsa terjajah. Salah satunya adalah Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dengan menjadikan

Madrasah NWDI sebagai basis perjuangan.

   Bagi Maulana Syaikh, penjajahan merupakan potret sebuah pemerintahan yang zalim dan
mengebiri kemerdekaan rakyat. Beliau mengibaratkan rakyat terjajah seperti burung dalam sangkar,
yangtidak pernah menikmati alam bebas. Selain itu, beliau menyebut kaum kolonialis itu sebagai
kaum kafir, yang tidak menerapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah SWT.     

   Dalam berbagai kesempatan, beliau seringkali menyitir firman Allah dalam AL-Qur’an yang
mengatakan :

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yangditurunkan oleh Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yangkafir.” (QS. Al-Mäidah (5] 44).

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yangzalim.” (QS.Al-Máidah (5): 45)

   Kedua ayat di atas selalu diungkapkan sebagai landasan bagi Maulana Syaikh dalam memotivasi
para santri untuk membangun kekuatan perlawanan terhadap kaum penjajah.

   Selain itu, untuk lebih memotivasi santri, beliau tidak segan segan di depan kelas memperagakan
teknik penggunaan pedang dan peralatan perang tradisional lainnya. Yang menarik, dari jiwa dan
semangat yang dikorbankan kepada para santrinya ketika memperagakan peralatan tadi adalah
kerelaannya untuk menanggalkan jubah dan hanya mengenakan baju kaos oblong. Seolah-olah
beliau memang berada dalam latihan yang sebenarnya.

   Sedangkan untuk latihan bela diri, beliau lakukan dengan mendatangkan Abang Ujang, seorang
guru bela diri keturunan Makassar. Para santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan tersebut, di
samping kegiatan rutin mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini semakin
menggambarkan betapa tinggi semangatnya untuk melakuakan perlawanan terhadap penjajah.

 Salah satu bentuk nyata perlawanan beliau adalah peristiwa pertempuran 7 Juni 1946 di Kota
Selong untuk menggempur markas tentara NICA. Kekuatan perlawanan berasal dari santri-santri
Madrasah NWDI yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal. Di antara santri-santri
tersebut adalah saya sendiri (Ahmad Nursaid), Dahmuruddin Mursyid, Umar, M. Thoyyib, Saparul
Khair, dan lain-lain. Kekuatan santri ini didukung oleh kekuatan rakyat dari Pringgasela di bawah
pimpinan Sayyid Saleh dan daerah-daerah lainnya, seperti Lendang Nagka, Kumbang, Danger,
Kalijaga, dan Lenek. Dalam peristiwa itu peranan Maulana Syaikh adalah sebagai pengatur strategi
peperangan.

   Strategi peperangan diatur oleh Maulana Syaikh menjadi tiga formasi, yaitu formasi kiri dibawah
pimpinan Abdullah, formasi kanan dibawah pimpinan Sayyid Saleh, dan formasi tengah di bawah
pimpinan Tuan Guru Haji Faisal. Dalam perencanaannya, formasi kiri menyerang terlebih dahulu, di
susul formasi kanan, dan formasi tengah sebagai kekuatan penggempur akhir.

Sayangnya, kenyataan di medan perang menyatakan lain. Tuan Guru Haji Muhammad Faisal
sepertinya tidak bersabar untuk menanti serangan dari formasi kiri dan kanan. Semangatnya
demikian berkobar ketika melihata markas Gajah Merah (sebutan markas tentara NICA) di Kota
Selong sudah pertanda peperangaan telah mulai dikobarkan. Maka pecahlah pertempuran pada
hari.Jumat malam Sabtu tanggal 7 Juni 1946 dini hari.

   Dalam peperangan tersebut, tiga orang pemimpin peperangan yaitu Tuan Guru Haji Muhammad
Faisal, Abdullah, dan Sayyid Saleh gugur menjadi syuhada di markas tentara Gajah Merah.
Sementara pihak musuh sejumlah delapan orang tewas. Pada malam hari secara rahasia semua
tentara NICA yang tewas ini diangkat dan dikuburkan di Mataram.

    Kenangan yang paling mengharukan yang saya alami bersamakawan-kawan, adalah ketika
mengetahui Tuan Guru Haji Muhammad Faisal gugur di medan perang. Dengan perasaan yang
demikian bergejolak, saya melaporkan peristiwa ini kepada Maulana Syaikh di Pancor. Beliau
kemudian memerintahkan agar para syuhada itu dibawa pulang ke Madrasah di Pancor. Lalu dengan
petunjuk beliau pula, ketiga pejuang ini dimakamkan sebagai syahid di pekuburan umum Selong.

    Gugurnya Tuan Guru Haji Muhammad Faisal tidak menyurutkan langkah Maulana Syaikh untuk
membangun kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Sebagai bukti sejarah, keesokan harinya
Maulana Syaikh berpidato di tempat umum, tepatnya di Perempatan Pancor.Dalam pidatonya beliau
menyitir ayat Al-Qur’an yang mengatakan:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka
itu) mati: bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup. Tetapi kamu tidak menyadar inya.” (QS. AL-
Baqarah [2]:154)

   Dengan ayat ini, beliau menggambarkan bahwa peperangan melawan penjajah adalah peperangan
di jalan Allah dan apabila mati di dalamnya, maka dikategorikan sebagai syuhada. Tentu saja
mengungkapkan ini ditujukan untuk mengobarkan kembali semangat jihad.

   Di samping mengungkapkan ayat di atas, bahkan beliau secara berapl-api menyatakan, “sudah
saatnya pintu surga dibuka”. Maksud dari ungkapan ini tidak lain agar semangat jihad dan
perlawanan tetap dihidupkan.

    Sebagai bukti sejarah lainnya dalam upaya beliau mempertahankan Kemerdekaan adalah
penugasan para santri untuk menjaga Bendera Merah Putih yang dikibarkan tepat di depan
Madrasah NWDI. Ketika itu, saya mendapat giliran bersamna Sayyid Hasyim, santri dari Desa
Selebung, Keruak, Lombok Timur.
   Selain bentuk-bentuk perlawanan di atas, Maulana Syaikh juga mendorong semangat perlawanan
dalam bentuk lainnya Salah satunya ketika saya ditangkap oleh tentara NICA dan dihadapkan ke
Pengadilan Raad Sasak di Praya, akibat pidato saya dalarm sebuah khutbah Jum’at. Belakangan saya
mengetahui bahwa di tempat lain, Abdul Kadir Ma’arif, santri Madrasah NWDI, juga telah ditangkap
karena hal yang sama.

    Ketika Pengadilan Raad Sasak Praya memutusakan saya bersalah dan dihukum dengan denda
sebesar 2500 uang hitam, maka saya mengajukan apel (banding) ke Asisten Residen di Mataram,
kemudian ke Singaraja. Saya mampir menerima hukuman yang dibebankan kepada saya. Namun,
ketika persoalan ini saya kemukakan kepada Maulana Syaikh, dengan penuh semangat beliau
menyatakan, “Teruslah mengajukan apel, karena apel saudaramu Abdul Kadir Ma’arif sudah sampai
di Jakarta.”

   Dorongan moril ini semakin menggugah semangat perlawanansaya, sekalipun akhirnya saya tidak
dihukum, karena telah terjadi penyerahan kedaulatan RI dalam Perjanjian Meja Bundar.

    Demikianlah sekelumit pengalaman hidup yang menggam-barkan betapa besarnya peranan


Maulana syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam kancah
perjuanganrevolusi kemerdekaan di negara tercinta.

Anda mungkin juga menyukai