Anda di halaman 1dari 7

1.

RIWAYAT HIDUP

1.1 Kelahiran
KH. Muktar Syafa’at Abdul Ghafur lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso
Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, pada 6 Maret 1919. Beliau adalah putra
keempat dari pasangan suami-istri KH. Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep.

Jika diilihat dari silsilah keturunan, KH. Mukhtar Syafa’at merupakan salah
seorang keturunan pejuang. KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai
Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran
Diponegoro) sedangkan dari garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai
Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).

1.2 Keluarga
KH. Mukhtar Syafa’at melepas masa lajangnya dengan menikah dengan Nyai
Siti Maryam dan Nyai Hj Musyarofah. Buah dari pekawinan Nyai Siti
Maryam, KH. Mukhtar Syafa’at memiliki 14 anak (10 putra, 4 putri),
sedangkan dengan Nyai Hj Musyarofah memiliki 7 anak (4 putra, 3 putri).

1.3 Wafat
KH. Mukhtar Syafa’at wafat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17
Rajab 1411 H). Jenazah beliau disalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali.
kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah
utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.

2. SANAD DAN PENDIDIKAN KH. MUKHTAR SYAFA'AT

2.1 Perjalanan Menuntut Ilmu KH. Mukhtar Syafa'at


Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), KH. Mukhtar Syafa’at telah menunjukkan
sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras
mendalami agama Islam. Setiap sore hari, beliau tekun mengaji ke musala
terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah beliau mulai
belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), KH. Mukhtar
Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa
Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas khitan pada tahun 1928, beliau kemudian melanjutkan ke Pondok


Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari.
Di pesantren ini, beliau seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-
ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan
Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 beliau
diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian
dapat mengenyam pendidikan pesantren.

Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena beliau ingin mendalami


dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni
Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 beliau akhirnya meneruskan studi
ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi
yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, sering jatuh sakit. Setelah
satu tahun, beliau akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang
diasuh oleh KH. Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, beliau juga dipercaya
oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga mulai
mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya
Syeikh Imam Al-Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga beliau praktikan
secara langsung seperti saat mandi, salat fardhu, dan berhubungan dengan lain
jenis. Saat mandi, beliau tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan
tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah
beliau senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, beliau termasuk kriteria
“santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat
sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Kyai
Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain
jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan
seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya?
Beliau justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara
memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-
jodohkan tersebut beranggapan benar-benar gila, dan praktis keberatan bila
dijodohkan.

2.2 Mendirikan Pesantren


Pesantren ini berawal dari sebuah musholla kecil bernama Darussalam.
Musholla ini didirikan masyarakat bersama KH. Mukhtar Syafa`at pada
tanggal 15 Januari 1951. Dari Mushollah itulah kemudian berkembang
menjadi pesantren Blokagung.
3. KETELADANAN KH. MUKHTAR SYAFA'AT

3.1 Pribadi yang Sederhana


KH. Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah,
teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Beliau tidak pernah
merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai
merendahkan diri pada mereka dan beliau tidak malas beribadah karena
kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, beliau tidak mau menerima.
Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak
untuk mengumpulkannya.

Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap
orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan
berangkat Haji, terlebih dahulu beliau berziarah ke makam Sunan Ampel di
Surabaya. Lepas dari komplek makam, beliau bertemu dengan ratusan
pengemis dan beliau memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar
makam sampai uangnya habis.

Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, beliau kemudian


menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat
juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para
pengemis yang tidak kebagian.

Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak
tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa
menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan
ilmu, KH. Mukhtar Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i (menjaga
kehormatan).
Selaitu, suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H
Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil
dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal
mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan
KH Syafa’at bertanya, ”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang,
kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H.
Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.

3.2 Kesabaran dan Perjuangan Melawan Penjajah


Pengembaraan Kyai Syafa’at dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang
yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Beliau seringkali
dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya
ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi
menuturkan keadaannya, KH. Mukhtar Syafa’at ketika belajar di Pondok
Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita.

Beliau sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu,
beliau tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar
sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus
mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah
berangkat dan menjelang Duhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari
kami gunakan untuk belajar mengaji.

Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras


untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang
antara tahun 1942-1945, beliau juga turut berperan aktif dalam bela negara
dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, beliau
diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan
melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.

Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon
Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta,
jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya.
Dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di
Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Beliau
dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.

Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at


tidak tinggal diam. Beliau bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang
dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan
ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam
Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang
dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949
beliau mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui
perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari
waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak
lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH. Mukhtar Syafa’at yang
menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

5. PENGABDIAN TERHADAP NAHDLATUL ULAMA


Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Mukhtar Syafa’at juga aktif
dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, beliau pernah menjadi
pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah
sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai