Anda di halaman 1dari 7

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah yang membentang dari
Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang
terdiri dari berbagai suku, bahasa dan adat istiadat. Keanekaragaman tersebut merupakan
sumber kebudayaan nasional. Perwujudan dari kebudayaan tersebut terlihat dari macam
bentuk dan ragam bahasa, adat istiadat, kesenian serta berbagai alat musik tradisional
yang dimiliki (Sutton, 2007). Alat musik khas daerah akan mengiringi berbagai
pertunjukan kesenian yang diselenggarakan di berbagai daerah. Macam alat musik
tradisional khas daerah tersebut antara lain: aramba dari Sumatera Utara, kecapi dan
angklung dari Jawa Barat, sasando dari Nusa Tenggara Timur, tifa dan sekakas dari
Papua, gamelan dari Jawa, Bali, Sunda dan masih banyak lagi. Gambar 1.1 menunjukkan
ragam alat musik tradisional sebagian daerah di Indonesia.

(a) (b) (c)


Gambar 1.1. Ragam alat musik tradisional Indonesia (a) angklung (b) kendang (c)
sasando (Rizki dan Wibisono, 2012)

Bahan baku yang digunakan untuk membuat alat musik tradisional cukup beragam.
Beberapa alat musik tradisional dibuat menggunakan bambu, kulit binatang, pelepah
daun, kayu, kerang serta logam. Bambu digunakan untuk bahan baku musik angklung
bagi suku Sunda, Kulit binatang dan kayu digunakan sebagai alat musik kendang bagi
masyarakat Jawa dan pelepah daun lontar yang dianyam digunakan untuk membuat alat
musik tradisional jenis sasando bagi suku Rote di Nusa Tenggara Timur. Bambu dan kayu
mempunyai sifat dan struktur yang unggul selain menghasilkan bentuk yang unik,
sehingga banyak digunakan untuk membuat alat musik xylophone, flutes, organ dan
violin (Wegst, 2008). Clarinet, fluet dan recorder juga dibuat menggunakan kayu
(Fletcher, 2012). Keuntungan lain dari pemakaian material kayu dan bambu yaitu mudah
1
Penelitian alat musik tradisional gamelan yang dilakukan selama ini masih banyak
pada aspek audio (Ardiansyah dkk., 2009; Suprapto dkk., 2009; Wintarti dan Suprapto,
2015) serta aspek sosial budaya (Sutton, 2007). Penelitian yang bertujuan untuk
menginvestigasi proses produksi alat musik gamelan dari sisi material, proses manufaktur
selain teknik tempa dan pengaruh komposisi paduan terhadap sifat fisis, mekanis dan
akustik pada gamelan masih sangat kurang.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, disertasi ini menekankan pentingnya
mencari teknik produksi alternatif untuk menggantikan metode sebelumnya yaitu teknik
tempa yang memiliki kelemahan yaitu waktu produksi yang lama, kebutuhan tenaga dan
energi tempa yang besar serta resiko produk mengalami retak. Penelitian mengenai
teknik produksi alat musik gamelan melalui teknik pengecoran logam belum ditemukan
referensi yang membahasnya.

1.2 Rumusan masalah


Teknik pengecoran logam sebagai metode alternatif untuk memproduksi alat musik
gamelan terdapat beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara komposisi paduan , temperatur tuang dan media
cetakan terhadap fluiditas logam cair.
2. Bagaimana pengaruh komposisi paduan perunggu timah terhadap struktur mikro,
densitas, porositas, kekerasan, kekuatan tarik, kekuatan bending dan sifat akustik.
3. Bagaimana pengaruh deformasi tempa dan perlakuan panas terhadap paduan
perunggu timah terpilih terhadap perubahan struktur mikro, densitas, porositas,
kekerasan, kekuatan tarik, kekuatan bending serta sifat akustik.
4. Bagaimana aplikasi teknik pengecoran logam sebagai metode alternatif untuk
memproduksi alat musik gamelan.

1.3 Batasan masalah


Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bahan perunggu timah sesuai yang digunakan untuk peneltiian menggunakan
komposisi paduan Cu(20, 22 dan 24)wt.%Sn.
2. Metode pengecoran logam menggunakan cetakan pasir (sand casting ) dan
cetakan pola lilin (investment casting).

5
3. Parameter penelitian meliputi pengukuran panjang fluiditas, pengamatan struktur
mikro, pengukuran densitas dan porositas, pengujian sifat mekanis dan sifat
akustik, tidak melakukan pengujian tegangan sisa.
4. Pengujian sifat akustik dilakukan melalui metode simulasi dan metode
eksperimen sebatas membandingkan frekuensi dan kapasitas redaman.

1.4 Keaslian penelitian


Berdasarkan pada referensi yang ada, penelitian ini mempunyai keterbaruan sebagai
berikut :
1. Bahan baku yang digunakan paduan perunggu timah dengan variasi komposisi
Cu(20, 22, dan 24)wt.%Sn. Penelitian yang ada selama ini masih bersifat parsial
belum menunjukkan hubungan yang komprehensif antara sifat fisis, sifat mekanis
dan akustiknya.
2. Pengukuran akustik meliputi frekuensi dan kapasitas redaman dilakukan dengan
metode Finite Element Analysis/FEA menggunaan software Abaqus version 6.14
dan Experiment Method Analysis/EMA sebagai pembanding belum pernah
dilakukan.
3. Teknik produksi melalui teknik pengecoran logam dengan metode cetakan pasir
(sand casting) dan cetakan pola lilin (investment casting) untuk memproduksi
alat musik gamelan belum pernah dilakukan.
4. Pengaruh deformasi dan perlakuan panas pada perunggu timah setelah teknik
pengecoran pada paduan perunggu timah komposisi tersebut belum pernah
dilakukan.

1.5 Tujuan penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi :
1. Hubungan antara komposisi paduan, temperatur tuang dan media cetakan dalam
mempengaruhi fluiditas logam cair perunggu timah Cu(20, 22 dan 24)wt.%Sn.
2. Pengaruh komposisi paduan perunggu timah Cu(20, 22 dan 24)wt.%Sn terhadap
pembentukan struktur mikro, densitas, porositas, kekerasan, kekuatan tarik,
kekuatan bending termasuk sifat akustik.
3. Pengaruh deformasi tempa dan perlakuan panas pada paduan perunggu timah
terpilih dapat menyebabkan perubahan struktur mikro, densitas, kekerasan,
kekuatan tarik, kekuatan bending termasuk sifat akustik.

6
4. Penerapan teknik pengecoran logam sebagai metode alternatif untuk
memproduksi alat musik gamelan berbahan perunggu timah.

1.6 Manfaat yang diharapkan


Adapun manfaat penelitian ini adalah :
a. Bagi dunia pendidikan
Memberikan kontribusi positif pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pengembangan teknik produksi alat musik gamelan melalui
teknik pengecoran logam.
b. Bagi dunia industri dan masyarakat
1. Membuka wacana baru bagi masyarakat khususnya industri pengrajin
gamelan untuk dapat mengembangkan teknik produksi gamelan melalui
teknik pengecoran logam.
2. Mendukung pelestarian musik tradisional khususnya alat musik gamelan
sebagai kekayaan budaya bangsa yang adiluhur.

7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Paduan perunggu timah
Perunggu timah merupakan paduan antara logam tembaga (Cu) dan timah (Sn) yang
memegang peranan penting dalam industri logam paduan. Tembaga mempunyai struktur
kristal FCC (face centered cubic), temperatur lebur 1083,4°C, modulus elastisitas 130000
MPa, kekerasan Brinel 874 MPa, kekuatan tarik 30–40 MPa dan massa jenis 8900 kg/m3.
Tembaga mempunyai sifat tuang yang jelek, dalam keadaan cair mudah sekali menyerap
gas yang dapat membentuk rongga gas dan porositas. Timah mempunyai struktur kristal
FCC, titik lebur 231,97°C, modulus elastisitasnya 49900 MPa, kekerasan Brinel 51 MPa,
kekuatan tarik 0,00004 - 0,00005 MPa dan massa jenis 5520 kg/m3. Timah merupakan
logam putih keperakan, mudah ditempa dan bersifat fleksibel, memiliki struktur kristalin,
mudah patah, tidak mudah teroksidasi dan tahan korosi (Surdia dan Shinroku, 1999).
Paduan antara logam tembaga dengan timah membentuk paduan perunggu timah. Paduan
perunggu timah ini terdiri atas komposisi Sn<17wt.% dinamakan low tin bronze dan
komposisi Sn ≥ 17wt.%Sn dinamakan high tin bronze (Zeynep dkk., 2012). Nilai modulus
Young dan densitas perunggu timah menurut beberapa sumber sangat bervariasi antara
0.96 – 1.2E+5 MPa dan densitas 7400 – 8900 kg/m3 (Bartocha dan Baron, 2016).
Tembaga paduan khususnya perunggu mulai digunakan sejak ilmu metalurgi dikenal
oleh masyarakat yaitu sekitar abad ke -9 dan ke-10 (Srinivasan dkk., 2007). Paduan
perunggu timah (CuSn) sudah lama dikenal dan digunakan untuk berbagai keperluan
selama bertahun-tahun. Paduan perunggu timah mempunyai kekuatan dan konduktivitas
thermal yang tinggi, mampu mesin, tahan korosi, tahan terhadap keausan, mudah dituang
dan ditempa (Li dkk., 2013). Sejak abad ke-11 bahan perunggu telah digunakan untuk
membuat lonceng gereja (Audy dan Audy, 2008). Abad ke-12 sampai abad ke-14 paduan
perunggu 20wt.%Sn digunakan untuk membuat berbagai perabot keperluan rumah tangga
dan upacara melalui teknik pengecoran dan tempa (Sik dkk., 2009). Bahan perunggu juga
digunakan untuk memproduksi berbagai macam alat musik. Sejak abad ke-17 perunggu
timah banyak digunakan untuk membuat alat musik terompet dan perkusi (Fletcher,
2012) serta alat musik gamelan (Sumarsam, 2002).
Komposisi paduan perunggu timah merupakan parameter penting yang menentukan
sifat mekanis dan akustik pada alat musik. Bahan baku utama untuk membuat alat musik
lonceng adalah perunggu timah dengan komposisi Cu(20-25)wt.%Sn (Debut dkk., 2016).

8
Komposisi tersebut akan menghasilkan frekuensi optimal dibanding perunggu dengan
komposisi Sn < 15wt.%Sn. Perunggu timah dengan komposisi Cu(10-22)wt.%Sn adalah
komposisi terbaik untuk memperoleh sifat mekanis berupa kekuatan tarik tinggi dan
menurunnya kegetasan (Sik dkk., 2009). Komposisi 20-22wt.%Sn sering dinamakan
“bell metal” karena dikhususkan sebagai bahan baku untuk membuat alat musik (Surdia
dan Saito, 1999). Penambahan komposisi timah pada tembaga akan meningkatkan sifat
mampu cor, menurunkan titik lebur, meningkatkan ketahanan korosi dan memberikan
penampilan dekoratif yang lebih baik. Penambahan komposisi timah hingga 23wt.%Sn
meningkatkan kekerasan dan kualitas akustik, sedangkan > 23wt.%Sn akan
meningkatkan sifat rapuhnya.
Sifat mekanis meliputi tegangan tarik dan ketangguhan paduan perunggu timah
Cu(20-24)wt.%Sn menurun dengan meningkatnya temperatur lebur superheat 1040oC,
namun nilai kekerasan meningkat. Penurunan sifat mekanis berupa kekuatan tarik dan
ketangguhan tersebut disebabkan terbentuknya microporosity akibat temperatur tinggi.
Peningkatan kekerasan paduan Cu-Sn dicapai pada batas komposisi timah 26wt.%Sn,
namun peningkatan kekerasan paling tinggi terjadi pada komposisi timah 17-20wt.%Sn.
Struktur kristal dendrite fasa α dan fasa α+δ eutectoid terbentuk pada komposisi 20-
22wt.%Sn, komposisi 23wt.%Sn terbentuk struktur butir acicular dari fasa α dan
komposisi 24wt.%Sn terjadi penghalusan butir (Nadolski, 2017).
Paduan perunggu timah low tin bronze mempunyai temperatur lebur lebih tinggi
dibanding high tin bronze. Paduan high tin bronze mempunyai temperatur lebur mulai
dari 950oC pada kondisi setimbang. Adanya unsur penambah dalam paduan perunggu
timah seperti Ni, Pb, Si, Zn dalam jumlah < 1,5wt.% menyebabkan temperatur lebur
paduan perunggu timah meningkat hingga mencapai temperatur superheat yaitu 1000oC
- 1200oC.
Diagram fasa binary paduan CuSn ditunjukkan pada Gambar 2.1. Diagram fasa
binary CuSn merupakan reaksi kompleks yang menjelaskan reaksi dari fasa eutectoid ke
fasa peritectic untuk proses pemanasan dan sebaliknya dari fasa peritectic ke fasa
eutectoid untuk pendinginan. Penjelasan diagram fasa binary paduan CuSn sebatas pada
komposisi timah Cu(13,5-25)wt.%Sn sebagai kajian utama penelitian ini. Peningkatan
komposisi timah dibaca dari kiri ke kanan serta sebaliknya untuk pembacaan komposisi
tembaga. Tembaga murni mempunyai temperatur lebur 1084oC dan timah murni
temperatur lebur sebesar 232oC. Terdapat delapan fasa pada paduan binary CuSn yaitu α,
β, γ, δ, η, ε, ξ dan fase Sn. Fasa eutectoid (α + δ) terbentuk pada temperatur 520 °C dan
9
fasa eutectoid (α+γ) terbentuk pada temperatur 586ºC (Li dkk., 2013). Fasa peritectic α
dengan fasa β dapat dibedakan menjadi 2 batas (Kohler dkk., 2009) yaitu : Hypoperitectic
dari Cα = 13,5%Sn sampai Cρ =22%Sn dan Hyperperitectic dari Cρ=22%Sn sampai Cl
= 25,5%Sn terbentuk pada temperatur 798°C. Pada temperatur 798°C ini pula dimulai
terbentuknya fasa peritectic (α+L) dan fasa peritectic (β +L) pada temperatur 756°C. Pada
proses pendinginan fasa peritectic β akan menjadi fasa α dan γ, dilanjutkan fasa γ akan
menjadi fasa eutectoid α dan δ, pada akhirnya fasa δ akan bertransformasi menjadi fasa
α dan ε. Fasa yang mudah terbentuk adalah α dan δ eutectoid sedangkan fasa α dan ε
terbentuk sangat lambat dan berlangsung pada suhu rendah dengan perlakuan panas
(Copper Development Association, 1994). Fasa α lebih didominasi komposisi tembaga
dengan membentuk struktur kristal faced centered cubic/FCC, sedangkan fasa β dan γ
terjadi akibat meningkatnya komposisi timah lebih dari 22wt.%Sn yang membentuk
struktur kristal body centered cubic/BCC (Hanson dan Walpole, 1951).

Gambar 2.1. Diagram fasa binary paduan CuSn (Valck, 1986)

10

Anda mungkin juga menyukai