PENDAHULUAN
Bahan baku yang digunakan untuk membuat alat musik tradisional cukup beragam.
Beberapa alat musik tradisional dibuat menggunakan bambu, kulit binatang, pelepah
daun, kayu, kerang serta logam. Bambu digunakan untuk bahan baku musik angklung
bagi suku Sunda, Kulit binatang dan kayu digunakan sebagai alat musik kendang bagi
masyarakat Jawa dan pelepah daun lontar yang dianyam digunakan untuk membuat alat
musik tradisional jenis sasando bagi suku Rote di Nusa Tenggara Timur. Bambu dan kayu
mempunyai sifat dan struktur yang unggul selain menghasilkan bentuk yang unik,
sehingga banyak digunakan untuk membuat alat musik xylophone, flutes, organ dan
violin (Wegst, 2008). Clarinet, fluet dan recorder juga dibuat menggunakan kayu
(Fletcher, 2012). Keuntungan lain dari pemakaian material kayu dan bambu yaitu mudah
1
Penelitian alat musik tradisional gamelan yang dilakukan selama ini masih banyak
pada aspek audio (Ardiansyah dkk., 2009; Suprapto dkk., 2009; Wintarti dan Suprapto,
2015) serta aspek sosial budaya (Sutton, 2007). Penelitian yang bertujuan untuk
menginvestigasi proses produksi alat musik gamelan dari sisi material, proses manufaktur
selain teknik tempa dan pengaruh komposisi paduan terhadap sifat fisis, mekanis dan
akustik pada gamelan masih sangat kurang.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, disertasi ini menekankan pentingnya
mencari teknik produksi alternatif untuk menggantikan metode sebelumnya yaitu teknik
tempa yang memiliki kelemahan yaitu waktu produksi yang lama, kebutuhan tenaga dan
energi tempa yang besar serta resiko produk mengalami retak. Penelitian mengenai
teknik produksi alat musik gamelan melalui teknik pengecoran logam belum ditemukan
referensi yang membahasnya.
5
3. Parameter penelitian meliputi pengukuran panjang fluiditas, pengamatan struktur
mikro, pengukuran densitas dan porositas, pengujian sifat mekanis dan sifat
akustik, tidak melakukan pengujian tegangan sisa.
4. Pengujian sifat akustik dilakukan melalui metode simulasi dan metode
eksperimen sebatas membandingkan frekuensi dan kapasitas redaman.
6
4. Penerapan teknik pengecoran logam sebagai metode alternatif untuk
memproduksi alat musik gamelan berbahan perunggu timah.
7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
8
Komposisi tersebut akan menghasilkan frekuensi optimal dibanding perunggu dengan
komposisi Sn < 15wt.%Sn. Perunggu timah dengan komposisi Cu(10-22)wt.%Sn adalah
komposisi terbaik untuk memperoleh sifat mekanis berupa kekuatan tarik tinggi dan
menurunnya kegetasan (Sik dkk., 2009). Komposisi 20-22wt.%Sn sering dinamakan
“bell metal” karena dikhususkan sebagai bahan baku untuk membuat alat musik (Surdia
dan Saito, 1999). Penambahan komposisi timah pada tembaga akan meningkatkan sifat
mampu cor, menurunkan titik lebur, meningkatkan ketahanan korosi dan memberikan
penampilan dekoratif yang lebih baik. Penambahan komposisi timah hingga 23wt.%Sn
meningkatkan kekerasan dan kualitas akustik, sedangkan > 23wt.%Sn akan
meningkatkan sifat rapuhnya.
Sifat mekanis meliputi tegangan tarik dan ketangguhan paduan perunggu timah
Cu(20-24)wt.%Sn menurun dengan meningkatnya temperatur lebur superheat 1040oC,
namun nilai kekerasan meningkat. Penurunan sifat mekanis berupa kekuatan tarik dan
ketangguhan tersebut disebabkan terbentuknya microporosity akibat temperatur tinggi.
Peningkatan kekerasan paduan Cu-Sn dicapai pada batas komposisi timah 26wt.%Sn,
namun peningkatan kekerasan paling tinggi terjadi pada komposisi timah 17-20wt.%Sn.
Struktur kristal dendrite fasa α dan fasa α+δ eutectoid terbentuk pada komposisi 20-
22wt.%Sn, komposisi 23wt.%Sn terbentuk struktur butir acicular dari fasa α dan
komposisi 24wt.%Sn terjadi penghalusan butir (Nadolski, 2017).
Paduan perunggu timah low tin bronze mempunyai temperatur lebur lebih tinggi
dibanding high tin bronze. Paduan high tin bronze mempunyai temperatur lebur mulai
dari 950oC pada kondisi setimbang. Adanya unsur penambah dalam paduan perunggu
timah seperti Ni, Pb, Si, Zn dalam jumlah < 1,5wt.% menyebabkan temperatur lebur
paduan perunggu timah meningkat hingga mencapai temperatur superheat yaitu 1000oC
- 1200oC.
Diagram fasa binary paduan CuSn ditunjukkan pada Gambar 2.1. Diagram fasa
binary CuSn merupakan reaksi kompleks yang menjelaskan reaksi dari fasa eutectoid ke
fasa peritectic untuk proses pemanasan dan sebaliknya dari fasa peritectic ke fasa
eutectoid untuk pendinginan. Penjelasan diagram fasa binary paduan CuSn sebatas pada
komposisi timah Cu(13,5-25)wt.%Sn sebagai kajian utama penelitian ini. Peningkatan
komposisi timah dibaca dari kiri ke kanan serta sebaliknya untuk pembacaan komposisi
tembaga. Tembaga murni mempunyai temperatur lebur 1084oC dan timah murni
temperatur lebur sebesar 232oC. Terdapat delapan fasa pada paduan binary CuSn yaitu α,
β, γ, δ, η, ε, ξ dan fase Sn. Fasa eutectoid (α + δ) terbentuk pada temperatur 520 °C dan
9
fasa eutectoid (α+γ) terbentuk pada temperatur 586ºC (Li dkk., 2013). Fasa peritectic α
dengan fasa β dapat dibedakan menjadi 2 batas (Kohler dkk., 2009) yaitu : Hypoperitectic
dari Cα = 13,5%Sn sampai Cρ =22%Sn dan Hyperperitectic dari Cρ=22%Sn sampai Cl
= 25,5%Sn terbentuk pada temperatur 798°C. Pada temperatur 798°C ini pula dimulai
terbentuknya fasa peritectic (α+L) dan fasa peritectic (β +L) pada temperatur 756°C. Pada
proses pendinginan fasa peritectic β akan menjadi fasa α dan γ, dilanjutkan fasa γ akan
menjadi fasa eutectoid α dan δ, pada akhirnya fasa δ akan bertransformasi menjadi fasa
α dan ε. Fasa yang mudah terbentuk adalah α dan δ eutectoid sedangkan fasa α dan ε
terbentuk sangat lambat dan berlangsung pada suhu rendah dengan perlakuan panas
(Copper Development Association, 1994). Fasa α lebih didominasi komposisi tembaga
dengan membentuk struktur kristal faced centered cubic/FCC, sedangkan fasa β dan γ
terjadi akibat meningkatnya komposisi timah lebih dari 22wt.%Sn yang membentuk
struktur kristal body centered cubic/BCC (Hanson dan Walpole, 1951).
10