Anda di halaman 1dari 13

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Transgender merupakan suatu bentuk nyata di kehidupan yang tidak dapat

dipungkiri keberadaannya. Hal ini ditandai dengan munculnya komunitas-

komunitas transgender sejak tahun 1982 (Fakhriansyah, 2015). Awalnya

keberadaan transgender belum banyak mendapatkan sorotan. Baru beberapa tahun

belakangan ini menjadi sorotan sejak dilegalkannya LGBT di Amerika sekitar

tahun 2015 yang memberikan dampak pada negara-negara lain, termasuk

Indonesia (Ericssen, 2015). Keberadaan transgender pun semakin lama semakin

bertambah, diprediksi bahwa setelah tahun 2012 akan meningkat menjadi 3% dari

jumlah penduduk Indonesia yang berkisar sebanyak 250 juta jiwa (Ginanjar,

2017). Hal tersebut merupakan jumlah yang tidak sedikit dan dapat bertambah di

setiap harinya.

Persoalan yang dirasakan oleh seorang transgender bukan merupakan hal

yang mudah untuk diterima masyarakat, bahkan kondisi tersebut juga

menimbulkan kesulitan terhadap dirinya sendiri. Menjadi seorang transgender

tidak hanya perkara perubahan perilaku, tetapi juga berkaitan dengan rasa yang

dimilikinya. Seorang transgender merasa bahwa jenis kelamin yang telah ada

sejak lahir tersebut merupakan suatu kesalahan dan tidak dapat mendeskripsikan

tentang dirinya secara keseluruhan (Burdge, 2014). Atas dasar pemahaman

terhadap jiwa dan rasa yang berbeda dengan kondisi biologisnya, individu

tersebut kemudian melakukan perubahan sesuai dengan apa yang diyakininya.

1
library.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

Hanya saja perubahan yang dilakukan oleh transgender tidak sampai mengubah

alat kelaminnya, hal ini yang membedakannya dengan transeksual yang merasa

tidak nyaman dengan jenis kelamin yang dimilikinya (Jasruddin & Daud, 2016).

Meskipun demikian, perubahan terhadap gaya hidup yang dilakukan oleh

transgender tetap dikatakan bertentangan dengan fitrah atau keadaan asli yang

diberikan Tuhan terhadap dirinya (Wengrum, 2016).

Kehidupan seorang transgender tidak terlepas dari perjuangan, terutama

perjuangan memperoleh hak dan kebebasan dalam menyuarakkan identitas diri

yang sesungguhnya (Allen, 2010). Perjuangan transgender tersebut berkaitan

dengan keberadaannya yang dianggap berada di luar norma kultural, stereotip, dan

harapan masyarakat pada umumnya, terutama bagi pandangan masyarakat di

Indonesia. Hal ini memunculkan berbagai konflik yang tertuju pada transgender.

Konflik yang dialami oleh transgender mulai dari konflik internal dirinya sendiri

sampai konflik sosial yang datangnya dari masyarakat. Konflik internal yang

dirasakan oleh transgender berawal dari munculnya ketidaknyamanan yang

menimbulkan distress atau kesulitan karena merasa tidak cocok antara identitas

gender dengan jenis kelamin yang dimilikinya (Cronn-Mills, 2015).

Dampak yang dirasakan oleh transgender terhadap ketidakcocokan yang

terjadi pada dirinya menimbulkan gejolak-gejolak di dalam batin yang mendorong

transgender untuk mengubah kodrat alamiahnya menjadi apa yang menurut

mereka itu benar. Munculnya kebingungan, perasaan bersalah, ketakutan,

kegelisahan, hingga depresi, serta menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap

diri sendiri mengenai identitas gender dan keberadaan yang seharusnya


library.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

dimunculkan di masyarakat merupakan bentuk perwujudan dari konflik internal

yang dirasakannya (Durwood, McLaughlin, & Olson, 2017). Fenomena di

lapangan ditemui pola respon yang diberikan oleh seorang transgender (male-to-

female), VW (59 tahun) mengenai pengalaman hidupnya pertama kali ia merasa

bahwa dirinya bukan laki-laki pada umumnya yang dilakukaan saat wawancara

preliminary research, yaitu:

“Ya iya jelas itu ada merasa bersalah, takut, kan jaman dulu kita tuh
ditekan, kamu nanti masuk neraka, kamu nanti menyalahi kodrat, dan lain
sebagainya. Jelas saja itu pertimbangan yang sangat luar biasa. Jangan
salah, waria itu juga mikir lho kalau mau tidur itu. Saya pikir itu yang
kadang orang lain nggak ada yang tahu, bahwa kita itu kemudian orang-
orang yang kosong itu, bukan... kita tuh mikir, mikir mami juga mikir dan
gelisah, kok urip ku koyok ngene... begitu lho, berkeluh kesah padahal kok
kayaknya juga pengennya gak begitu gitu, gimana.. wong itu kita tidak
sadari. Kalau kita paksakan malah jadinya wagu.”(VW – 7/11/2017).
Setiap manusia tentunya memiliki keyakinan dan ikatan yang berhubungan

dengan Tuhan, sama halnya yang terjadi dengan transgender. Perbedaannya ialah

kondisi yang terjadi pada transgender bukanlah suatu hal yang biasa terjadi. Jika

dilihat dari sudut pandang relasi manusia dengan Tuhan, bagi masyarakat

keberadaan transgender dianggap sebagai suatu dosa (Bockting & Cesaretti,

2001). Hal ini juga menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Pertanyaan tersebut

bahkan datang juga dari seorang transgender terhadap dirinya sendiri yang

berkaitan dengan pengamalan beribadah bagi transgender dalam menghadap

Tuhan. Khususnya di agama Islam sendiri memiliki perbedaan yang kontras dan

dapat dilihat secara langsung mengenai cara beribadah antara laki-laki dan

perempuan. Pengalaman yang terjadi pada VW dalam mengungkapkan cara

beribadahnya saat wawancara ialah VW tetap menjalani kegiatan beribadahnya


library.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

sesuai dengan fitrahnya sebagai laki-laki, diungkapkan lebih lanjut sebagai

berikut:

“Bagaimana mami sholat itu kan dipertanyakan. Apakah mami suka ke


masjid? Saya bilang tidak, daripada terjadi fitnah mendingan nggak usah.
Kalau mami sendiri menyatakan bahwa tempat ibadah tidak hanya masjid
dan gereja. Kalau itu tidak membuat kita nyaman, itu bukan tempat
ibadah. Lebih baik di rumah tetapi mami dapat nyaman melaksanakan. Ya
tho? Lho kok bisa? Bisa. Kalau misalnya saya sholat, sementara saya
berhijab tetapi jenis kelamin saya laki-laki, kan saya sholat berdasarkan
jenis kelamin saya. Saya dibarisan laki-laki, mungkin orang-orang di
samping saya tidak nyaman, kan tujuan kita menghadap Tuhan.
Sementara mami juga begitu, sebelah saya ganteng kan saya juga jadi
nggak fokus. Begitu juga di perempuan, mungkin ibu-ibu pengajian di sini
nggak masalah dengan saya. Tapi bagaimana dengan yang lain? Apakah
nggak jadi bisik-bisik tetangga? Lebih baik tidak, saya di rumah saja.”
(VW – 7/11/2017).
Selain persoalan mendalam terkait dengan rumitnya konflik internal yang

tidak mudah diselesaikan, transgender masih harus berhadapan dengan konflik

sosial berupa perlakuan-perlakuan yang didapatkan dari masyarakat. Bagi

masyarakat Indonesia, transgender masih dianggap tabu karena bertentangan

dengan berbagai aspek kehidupan, meliputi nilai, norma, dan agama (Arfanda &

Sakaria, 2015). Selain itu, stereotip masyarakat menganggap bahwa seorang

transgender memiliki permasalahan mental yang dapat dikatakan sebagai

abnormalitas berkaitan dengan gangguan identitas, dimana individu merasa

identitas yang dimunculkan berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya

(Kearney & Trull, 2012). Hal ini memunculkan pandangan negatif yang

membentuk suatu stigma di masyarakat dan membuat transgender dipandang

sebelah mata. Masyarakat menganggap bahwa transgender bertentangan dengan

hakikat dan kodrat yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya dan tidak

mensyukuri apa yang diberikan Tuhan. Akan tetapi, kenyataannya ialah sisi
library.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

transgender tersebut muncul tanpa dapat diprediksi dan diinginkan dari dalam diri,

dengan kata lain secara psikologis hal tersebut tidak dapat dilawan atau ditahan

(Safri, 2016).

Semakin meningkatnya populasi transgender, membuat fenomena ini menjadi

kontroversial, ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap keberadaan

transgender yang diwujudukan dalam bentuk kekerasan dan diskriminasi

(Lombardi, Wilchins, Priesing, & Malouf, 2002). Kekerasan yang dilakukan

berupa kekerasan fisik maupun verbal. Tidak hanya berasal dari masyarakat,

keluarga yang memiliki anak seorang transgender pun juga melakukan penolakan

karena tidak dapat melakukan penerimaan terhadap kondisi yang terjadi (Arfanda

& Sakaria, 2015). Hal ini dirasakan oleh VW (59 tahun) melalui hasil wawancara:

“...dipukul setiap hari sudah jadi makanan saya. Awalnya keluarga saya
tidak menerima saya apa adanya. Belum lagi kakak saya adalah seorang
preman, yang biasanya suka berselisih dengan waria dan pelacur. Dulu
saya menganggap itu sebagai hal yang kejam.” (VW – 7/11/2017).
Seorang transgender juga mendapatkan perlakuan dalam bentuk diskriminasi

yang berdampak pada kehidupan pasangan dan pekerjaannya. Transgender harus

menerima konsekuensi bahwa dirinya sulit mendapatkan pasangan, menikah, dan

mempunyai keturunan akibat minimnya orang yang menghargai transgender. Hal

ini berdampak pada sulitnya dalam mencari dan mendapatkan pasangan yang

benar-benar menerima seutuhnya bahwa dirinya ialah transgender, sehingga

beberapa hubungan intim hanya terjadi untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja

(Lozaa, Beltranb, & Mangadu, 2017). Sulitnya mendapatkan pasangan yang

mampu menerima keseluruhan diri transgender ini menjadi suatu penderitaan

yang dirasakan selama hidup. Perasaan seorang transgender dan kenyataan dalam
library.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

menghadapi kehidupan tanpa pasangan ini diungkapkan oleh VW (59 tahun)

berdasarkan pengalaman hidupnya di dalam percakapan:

“...menjadi seorang waria itu harus sadar kalau dia tidak bisa menikah
dan punya keturunan. Kalau diri kita hanya untuk dinikmati saja oleh
orang lain, bukan untuk dimiliki.”(VW – 7/11/2017).
Bentuk diskriminasi lainnya yang dialami oleh transgender ada pada masalah

pekerjaan. Permasalahan terkait dengan pekerjaan yang dialami transgender ialah

kurang diterimanya seorang transgender di pekerjaan pada umumnya (Bockting &

Cesaretti, 2001; Bar, Jarus, Wada, Rechtman & Noy, 2016). Hal ini dikarenakan

pekerjaan formal diperuntukkan seseorang yang memiliki kesesuaian antara

seksualitas dan gendernya saja. Sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi transgender

membuat para transgender memilih pekerjaan salah satunya sebagai pekerja seks

komersial (PSK) (Arfanda & Sakaria, 2015). Alasan menjadi PSK sebagian besar

dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik bagi dirinya maupun

bagi tanggungannya, alasan lain ialah sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan

biologisnya (Mustikawati, Nugroho, & Widiarti, 2013).

Mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat, membuat VW

menjalani hidup dan memenuhi kebutuhannya menjadi seorang PSK yang

dijalaninya selama lebih kurang 15 tahun. Hal ini dilakukan VW karena

masyarakat tidak menerima transgender untuk bekerja pada umumnya, sehingga

VW sulit mendapatkan pekerjaan selain menjadi PSK. Faktor lainnya ialah situasi

dan kondisi yang memaksa dan membutuhkan uang untuk bertahan hidup.

Peristiwa ini dialami oleh VW saat ia remaja dan memutuskan untuk pergi dari

rumah. Atas dasar sempitnya pekerjaan yang dapat diperoleh seorang transgender,
library.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

sehingga bekerja sebagai PSK justru memperburuk persepsi masyarakat terhadap

transgender. Kini, citra diri transgender lekat sebagai pekerja seks komersial

(PSK), meskipun tidak semua menjadi PSK, namun label tersebut menjadi bagian

diri transgender (Johana, Hanurawan, & Suhanti, 2017).

Dinamika kehidupan transgender yang diikuti dengan konflik internal

maupun konflik sosial yang begitu tajam, merupakan situasi yang tidak mudah

untuk dijalani. Hal tersebut dialami oleh VW di dalam perjalanan hidupnya. Mulai

dari munculnya gejolak dalam batin terkait dengan pertentangan antara rasa dan

kondisi biologisnya yang memunculkan perasaan bersalah, hingga perlakuan

dalam bentuk diskriminasi dan penolakan dari lingkungannya. Kondisi

penderitaan yang dialami tersebut menjadi suatu tantangan untuk dapat memaknai

kehidupannya (Martela & Steger, 2016).

Meskipun mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari lingkungannya,

tidak membuat VW berhenti untuk bermanfaat bagi orang lain. Salah satu

pencapaian yang VW lakukan ialah memberikan gagasan serta membangun

sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bernama LSM Kebaya.

Gagasan ini tercetus berdasarkan pemikirannya mengenai kehidupannya sebagai

transgender yang pernah mengalami bekerja sebagai PSK. VW yakin bahwa

transgender bukan berarti tidak berdaya dan bisa melakukan hal lain. LSM

tersebut didirikan sebagai bentuk kekhawatiran akan isu HIV/AIDS yang

menyerang LGBT. Tujuan dari LSM yang didirikannya ini ialah untuk

menurunkan angka infeksi HIV/AIDS pada transgender dengan cara memberikan

edukasi, konseling dan dukungan psikososial, serta pendampingan agar taraf


library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

hidup transgender meningkat. Selain itu, pembentukan LSM ini dapat dikaitkan

dengan wujud usaha dari VW sebagai seorang transgender dalam menunjukkan

potensi yang dimilikinya dan melawan stigma negatif dari masyarakat.

Berawal dari kondisi yang dihadapkan dengan berbagai konflik internal

maupun konflik eksternal berupa penolakan dan penderitaan yang dialami oleh

VW, tidak membuat VW gentar untuk melakukan perubahan pada dirinya dan

membawa perubahan positif terhadap teman-teman perkumpulan trasgendernya.

Peristiwa yang dialami oleh subjek menunjukkan bahwa subjek berusaha untuk

mencapai makna hidupnya di balik penderitaan yang dirasakannya. Hal tersebut

berkaitan dengan pencapaian makna hidup menurut Frankl (dalam Batthyany &

Russo-Netzer, 2014) yang menjelaskan bahwa makna hidup merupakan

kemampuan untuk memahami keadaan hidupnya, terutama dalam hal penderitaan,

dan mendedikasikan hidup untuk tujuan tertentu.

Secara psikologis, sebenarnya kondisi seorang transgender dapat dikatakan

sebagai gangguan mental yang disebut sebagai ego-dystonic, dimana individu

tersebut memiliki konsep diri atau keadaan ego yang tidak konsisten (Lev, 2013).

Akan tetapi, kondisi ego-dystonic yang dialami oleh transgender ini ada yang

disikapi dengan tidak mempermasalahkan orientasi seksualnya dan tidak ada

keinginan untuk mengubah orientasi seksual mereka, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosial dan seksual secara efektif yang disebut dengan ego-

dystonic (sync with ego). Ada juga yang disikapi dengan keluhan dan terganggu

oleh konflik pikiran, sehingga menimbulkan perasaan bersalah, malu, cemas,

tidak terbuka, dan depresi yang disebut sebagai ego-dystonic (can not sync with
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

ego) (Mediana & Hassan, 2015). Berdasarkan hasil dari preliminary research

yang dilakukan, kondisi subjek menunjukkan ego-dystonic (sync with ego),

dimana terlihat bahwa subjek memiliki semangat hidup yang tinggi, tampil

sebagai wanita seperti yang dirasakan tanpa melakukan operasi, berhijab saat ini,

menerima kuasa Tuhan, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh VW (59 tahun):

“...selalu bersyukur, kita nggak bisa menyalahkan keadaan. Bahwa Tuhan


luar biasa adilnya, gitu lho, saya selalu katakan itu. Luar biasa lho, kita tuh
termasuk orang-orang luar biasa. Kita hebat kalau kalian paham akan
kehebatan kalian. Jadi kalian harus posisikan kalian sebagai orang hebat
yang sesungguhnya. Manfaatkan perbedaan dengan skill, dengan
kemampuan.”(VW – 7/11/2017).
“Yang namanya Tuhan tuh yang maha maha maha itu sangat maha sekali.
Jadi jangan kamu menggantikan posisi Tuhan deh. ...iya, adanya tuh suka
menakut-nakuti deh ya sehingga dengan sangat terpaksa dia harus seperti
laki-laki. Padahal dia merasa sangat tidak nyaman. Makanya temen-temen
saya motivasi, „udah gapapa, selama emang kamu merasa nyaman‟.”(VW –
7/11/2017).
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh VW di dalam keberjalanan hidupnya

menunjukkan bahwa VW mampu berkontribusi secara aktif di lingkungan

masyarakat. Hal ini menggambarkan eksistensi diri VW sebagai manusia, dimana

ia mampu keluar dari dirinya, melampaui segala keterbatasan yang dimilikinya,

dan tidak terkungkung dengan keterbatasan tersebut (Abidin, 2014). Eksistensi

diri merupakan suatu cara berada individu di dalam kehidupan yang ditandai

dengan kebebasan dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Bentuk

kebebasan dan tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan

melakukan perencanaan terhadap hidupnya dan melaksanakan rencana tersebut

berdasarkan keputusan yang diambilnya (Längle, 2003). Seperti yang dialami oleh
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

VW bahwa di balik kesulitan yang dihadapinya, ia mampu merencanakan tujuan

hidupnya dan melaksanakannya hingga tujuan tersebut dapat tercapai.

Salah satu pembahasan mengenai eksistensi diri tidak terlepas pada

kehidupan yang otentik, dimana individu dapat hidup secara bebas dan bahagia

menjadi diri sendiri tanpa terpengaruh tekanan dari luar (Abidin, 2014). Pada

transgender, mewujudkan kehidupan yang otentik menjadi suatu tantangan

sekaligus keinginan terbesar di dalam hidupnya. Menjalani kehidupan otentik bagi

transgender memiliki arti bahwa seorang transgender dapat mengekspresikan

emosinya dengan menunjukkan jati diri yang sebenarnya (Allen, 2010). Apabila ia

adalah seorang transgender male-to-female, maka ia akan mengubah penampilan

menjadi wanita seutuhnya meskipun tanpa melakukan perubahan terhadap alat

seksualitasnya dan tidak memikirkan pandangan negatif dari orang lain.

Pemahaman secara mendalam terkait dengan proses perjalanan hidup

transgender yang berhadapan dengan berbagai persoalan hingga mencapai

eksistensi diri merupakan pengalaman yang dapat dijadikan pembelajaran. Hal

tersebut berkaitaan mulai dari persoalan yang dialami transgender, meliputi

keyakinan diri, nilai-nilai, norma, kegelisahan, rasa bersalah dalam

mengekspresikan gender yang sebenarnya, berjuang dalam bertahan hidup dari

stigma negatif masyarakat, mengalami penolakan dan diskriminasi dari keluarga,

lingkungan, maupun teman-teman perkumpulan waria, hingga cara mewujudkan

eksistensi dirinya di tengah penderitaan yang di rasakan tersebut. Eksistensi diri

berdasar pada kenyataan bahwa individu mengada pada saat ini dan segala

persoalan yang terjadi secara sadar dirasakan serta dihadapi, diikuti dengan
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

mempersiapkan langkah selanjutnya untuk dijalani dalam rangka mencapai tujuan

hidup (Abidin, 2014).

Berdasarkan ilustrasi fenomena di atas, mengenai proses transgender

menjalani kehidupannya merupakan suatu perjalan yang tidak mudah. Keputusan

menjadi transgender memiliki berbagai konsekuensi secara internal maupun

eksternal. Konsekuensi secara internal, meliputi pertentangan antara keputusan

menjadi gender lawannya dengan nilai-nilai yang telah diinternalisasi sepanjang

hidup. Sementara itu, konsekuensi eksternal menyebabkan berbagai perlakuan

sosial, seperti stigma negatif, kekerasan, dan diskriminasi. Akan tetapi, di tengah

perjalanan hidupnya yang diikuti dengan berbagai persoalan tersebut, masih ada

seorang transgender yang mampu melakukan hal bermanfaat bagi orang lain. Hal

tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun sebuah LSM dengan tujuan

membantu para transgender dalam mengurangi angka HIV/AIDS. Penelitian ini

bermaksud untuk menelusuri dan melakukan analisa secara mendalam mengenai

persoalan kehidupan transgender yang meliputi berbagai konflik internal maupun

konflik eksternal untuk mencapai eksistensi dirinya. Oleh sebab itu, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif dengan judul: Studi Kasus:

Eksistensi Diri Transgender (Male – to – Female)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah yang

menjadi topik penelitian yang dilakukan peneliti ialah bagaimana proses

pencapaian eksistensi diri transgender (male-to-female)?


library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan eksistensi diri pada

transgender. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana

seorang transgender mewujudkan eksistensi diri tersebut.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritik bagi

pengembangan disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi eksistensial,

psikologi perkembangan, dan psikologi sosial. Selain itu, penelitian ini

diharapkan mampu memberikan informasi dan memperkaya pengetahuan

tentang transgender, khususnya terkait dengan proses eksistensi diri.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi subjek yang diteliti

Memberikan gambaran mengenai proses pencapaian eksistensi

diri pada transgender yang memiliki perjalanan hidup penuh konflik

internal maupun konflik eksternal, sehingga melalui penelitian ini

subjek diharapkan lebih memahami proses eksistensi dirinya, serta

menyadari sepenuhnya terkait dengan aktivitas yang dilakukan dalam

rangka menemukan makna atas keberadaan dirinya di dunia.

2) Bagi transgender lain

Hasil penelitian ini diharapkan membantu memberikan

gambaran proses pengalaman dalam mencapai eksistensi yang dapat


library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

menjadi inspirasi bagi transgender lain, terutama yang bekerja sebagai

PSK untuk menyadari akan kehidupan yang lebih baik.

3) Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran

proses eksistensi diri, membantu masyarakat menyadari bahwa di

dalam kondisi sesulit apapun tetap dapat berusaha mencapai eksistensi

dirinya, dan memberikan pemahaman bahwa setiap indidu memiliki

caranya masing-masing dalam mencapai eksistensinya atas dasar

kebebasan dalam mengatur kehidupan serta bertanggung jawab

terhadap pilihannya.

4) Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan

dan pemahaman mengenai eksistensi diri transgender dan

memperdalam penelitian dengan topik terkait.

Anda mungkin juga menyukai