Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Lahan Praktek


1. Sejarah Rumah Sakit Umum Provinsi Dr. Moh. Hosein Palembang
Dr. Mohammad Ali (Dr. Lee Kiat Teng) pada tahun 1953 didirikanlah
Rumah Sakit Umum Palembang dan pada 03 Januari 1957 rumah sakit ini
mulai beroperasional yang dapat melayani masyarakat SeSumatera Bagian
Selatan meliputi Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu dan
Bangka Belitung.
Saat itu Rumah Sakit Umum baru memiliki Pelayanan Rawat Jalan dan
Rawat Inap dengan fasilitas 78 tempat tidur. Setelah operasional beberapa
tahun, Rumah Sakit Umum Palembang memberikan pelayanan penunjang
seperti Laboratorium, Apotik, Radiologi, Emergency dan peralatan Penunjang
Medik Lainnya. Rumah Sakit Umum ini semakin berkembang dengan adanya
fasilitas, sarana dan prasarana, dokter spesialis dan Sub spesialis sehingga
dapat menunjang Rumah Sakit ini dikategorikan sebagai Rumah Sakit kelas B
Pendidikan dan menjadi Rumah Sakit Tipe A tahun 2012.
Pada tahun 1993 RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang berdasarkan
SK Menkes RI No:1134/MENKES/SK/1993 berubah status dari Rumah Sakit
Vertikal (Rumah Sakit Penerimaan Negara Bukan Pajak) menjadi Rumah
Sakit Swadana. Pada tahun 2000 berdasarkan PP No:122/2000 RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang ditetapkan sebagai Rumah Sakit Perusahaan
Jawatan (PERJAN. Tahun 2005 dengan adanya kebijakan pemerintah
terhadap 13 Rumah Sakit Vertikal termasuk RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang, berdasarkan SK MENKES RI No:1243/MENKES/SK/VIII/2005,
tentang penetapan 13 Eks RS PERJAN Menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (BLU)sebagai Rumah Sakit Pendidikan
kelas A.
RSMH merupakan Rumah Sakit Pendidikan Utama Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya sesuai SK MENKES
Nomor:HK.02.02/MENKES/192/2015 tanggal 27 Mei 2015 dengan

1
mewujudkan Academic Health System (AHS), selain itu sesuai dengan
PERMENKES Nomor:HK.02.02/MENKES/390/2019 tanggal 17 Oktober
2014 ditetapkan menjadi Rumah Sakit Rujukan Nasional. Dalam upaya
menjamin mutu dan keselamtan pelayanan, maka RSMH sudah meraih
akreditasi paripurna KARS dan akan meraih akreditasi International JCI
ditahun 2016.
2. Visi, Misi dan Motto
a. Visi
Rumah sakit pendidikan dan rujukan nasional yang mandiri dan
terpercaya
b. Misi
1) Menyelenggarakan standarisasi pelayanan, pendidikan dan
penelitian
2) Meningkatkan SDM yang unggul dan berbudaya kerja
3) Menyelenggarakan produktivitas dan efisiensi
4) Menjalin kemitraan dangan rekan bisnis rumah sakit secara
komperhensif dan berkelanjutan
c. Motto
Kesembuhan dan kepuasaan anda adalah kebahagiaan kami
3. Fasilitas Pelayanan
a. IGD
Unit Gawat Darurat adalah salah satu bagian di rumah yang menyediakan
penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang
dapat memanfaatkan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan berbagai dokter
dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten
dokter.
b. Rawat Jalan
Pelayanan Rawat Jalan adalah pelayanan medis kepada pasien untuk
tujuan pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan
kesehatan lainnya, tanpa perlu merawat pasien tersebut diap.
Keuntungannya, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap.

2
Pelayanan Rawat Jalan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
meliputi :
- Pelayanan Poliklinik Umum, Meliputi :
- Poliklinik Penyakit Dalam
- Polklinik Beda
- Poliklinik Anak
- Poliklinik Kandungan dan Kebidanan
- Poliklinik Mata
- Polkilinik THT
- Poliklinik Syaraf
- Poliklinik Kulit dan Kelamin
- Poliklinik Psikiatrik/Psikologi
- Poliklinik Rehabilitasi Medik
- Poliklinik Geriatrik
- Poliklinik Gigi dan Mulut
- Klinik Gizi
- Klinik VCT
- Klinik DOTS
- Graha Eksekutif
- Pusat Pelayanan Penyakit Jantung dan Syaraf Terpadu (BHC)
c. Rawat Inap
d. Penunjang
Pelayanan penunjang medik di RSMH merupakan unit penting yang
mendukung terciptanya pelayanan yang prima dan paripurna. Berbagai
jenis pelayanan radiologi RSHS memiliki peralatan yang mutakhir,
meliputi pelayanan pemeriksaan USG 4 Dimensi, USG Color Doppler, X-
Ray, CT Scan Single Slices, CT Scan Multi Slices dan pemeriksaan MRI.
Salah satu yang terbaru adalah MSCT 128 Slices Dual Sources yang
merupakan teknologi pencitraan radiologi diagnostik paling mutakhir.
Daftar Layanan Penunjang RSMH:
- Radiologi
- Radioterapi

3
- Patologi Anatomi
- Patologi Klinik
- Farmakologi
- Rekam Medis
- Farmasi
- CSSD
- Gizi
- Laundry
- Promkes & Pemasaran
- Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
- Sistem Informasi Rumah Sakit
- Performa, Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan (Kesling)

B. Hasil

4
C. Pembahasan
1. Analisis Karakteristik Klien
a. Karakteristik Klien Berdasarkan Umur
Berdasarkan data pengkajian yang didapatkan pada Tn. G
diketahui bahwa klien berusia 61 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Laily (2017), diketahui bahwa dari 44 responden
yang menderita penyakit stroke, sebanyak 11 orang menderita penyakit
stroke pada usia < 55 tahun dan sebanyak 33 orang menderita penyakit
stroke pada usia ≥ 55 tahun. Menurut teori yang dikemukakan oleh
Suiroka (2016), yang menyebutkan bahwa kejadian stroke akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada waktu
memasuki usia ≥ 55 tahun.
Peningkatan kejadian stroke seiring dengan peningkatan usia
berhubungan dengan proses penuaan yang disebabkan karena semua
organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah
yang di otak. Perubahan struktur pembuluh darah menjadi tidak elastis
terutama bagian endotel yang mengalami penebalan dibagian intima
sehingga akan menyebabkan lumen pembuluh darah menjadi sempit
yang berdampak pada gangguan pada aliran darah (Kristiyawati et al.,
2019). Sehingga, dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa orang
yang berusia lebih dari 60 tahun beresiko terkena penyakit stroke, hal ini
disebabkan oleh proses penuaan yang akan mengakibatkan terjadinya
kemunduran fungsi tubuh termasuk juga pembuluh darah diotak yang
akan berdampak pada aliran darah.
b. Karakteristik Klien Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data pengkajian yang didapatkan pada Tn. G
diketahui bahwa klien bejenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2019), didapatkan sebagian besar
pasien stroke berjenis kelamin laki-laki, dari 152 pasien stroke rawat inap
di RSKM, sebanyak 102 pasien berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak
50 pasien berjenis kelamin perempuan. Perbandingan kejadian stroke
yang dialami oleh laki-laki dan perempuan yaitu sekitar 1,3: 1 dengan

5
presentase kejadian stroke pada laki-laki yaitu 25% dan pada perempuan
yaitu sekitar 20% (Junaidi, 2019).
Kejadian stoke lebih banyak terjadi pada laki-laki karena pada
perempuan cenderung mengalami stroke setelah pasca menopouse. Hal
ini dikarenakan oleh perempuan memiliki hormon esterogen yang
mampu mempertahankan kekebalan tubuh perempuan sampai usia
menopuse dan meningkatkan HDL yang berperan untuk pencegahan
terjadinya aterosklerosis (Burhanuddin, 2018). Sedangkan pada laki-laki
memiliki hormon testoteron yang dapat meningkatkan kadar LDL darah
yang dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah (Bushnell, 2019).
Kadar LDL tinggi akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, jika
kolesterol dalam darah meningkat akan meningkatkan risiko penyakit
degeneratif karena kolesterol darah tinggi merupakan salah satu faktor
risiko penyebab penyakit degeneratif (Watila et al., 2018). Oleh karena
itu, dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa laki-laki berisiko
terkena penyakit stroke dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan
oleh pada perempuan memiliki hormon esterogen yang dapat
mempertahankan kekebalan tubuh. Sedangkan pada laki-laki memiliki
hormon testoteron yang dapat meningkatkan kadar HDL sehingga dapat
menimbulkan penyakit degeneratif akibat kadar kolesterol darah yang
tinggi.
c. Karakteristik Klien Berdasarkan Tekanan Darah
Berdasarkan data pengkajian yang didapatkan pada Tn. G
diketahui bahwa klien memiliki tekanan darah tinggi yaitu 150/90 mmHg.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jamini (2020), menyebutkan
bahwa dari 62 responden yang menderita penyakit stroke, 61 diantaranya
memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi) dan 1 orang lainnya tidak
memiliki tekanan darah tinggi (tidak hipertensi). Hasil ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2019), yang menyatakan bahwa
faktor risiko utama terjadinya penyakit stroke adalah tekanan darah
tinggi, baik tekanan sistolik maupun diastolik.

6
Hipertensi akan memicu untuk timbulnya plak di pembuluh darah
besar (ateroklerosis). Dampak yang ditimbulkan oleh dengan adanya plak
di dalam pembuluh darah akan menyebabkan penyempitan
lumen/diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah
menyebabkan pembuluh darah menjadi mudah pecah dan lepas. Jika plak
terlepas akan menyebabkan peningkatan risiko tersumbatnya pembuluh
darah otak dan memicu timbulnya stroke (Nabyl, 2017). Individu yang
mempunyai tekanan darah tinggi atau hipertensi mempunyai proporsi
lebih besar untuk menderita penyakit stroke dibandingkan individu yang
tidak mempunyai tekanan darah tinggi atau tidak hipertensi (Saputra,
2019). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa individu yang
mempunyai tekanan darah tinggi atau hipertensi lebih beresiko terkena
penyakit stroke, hal ini terjadinya karena tekanan darah tinggi dapat
memicu timbulnya plak di pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan
penyempitan lumen/diameter pembuluh darah sehingga pembuluh darah
mudah pecah dan lepas.
d. Karakteristik Klien Berdasarkan Kadar Kolesterol Darah
Berdasarkan data pengkajian yang didapatkan pada Tn. G
diketahui bahwa klien memiliki kadar kolesterol yang tinggi yaitu 203
mg/dL. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamini,
dkk (2020), yang menunjukkan bahwa kadar kolesterol total pasien dari
62 sampel didapatkan kadar kolesterol yang normal berjumlah 29 orang
(46,8%) yang terdiri dari 12 orang (19,4%) dengan Stroke hemorragik
dan 17 orang (27,4%) dengan stroke non hemorragik dan kadar
kolesterol tinggi berjumlah 33 orang (53,2%) terbagi menjadi 7 orang
(11,3%) dengan stroke hemorragik dan 26 orang (42%) dengan stroke
non hemorragik yang berarti terdapat hubungan antara kadar kolesterol
darah dengan kejadian stroke dengan P value 0,004 (0<0,05).
Peningkatan kadar kolesterol total dalam darah akan
menyebabkan terjadinya akumulasi lipoprotein pada tunica intima
terutama LDL dan VLDL. Timbunan tersebut akan dioksidasi karena
pembuluh darah mengalami jejas (stres) yang kemudian terjadinya

7
stresoksidatif. Hal ini akan menimbulkan reaksi inflamasi dan
menghasilkan Monocyte Chemotactic FActor (MCF) sehingga monosit
akan masuk sampai kedasar tunika intima dan kemudian berubah
menjadi makrofag yang kemudian menimbulkan akumulasi matriks
ekstra seluler yang akan menimbulkan kalsifikasi dan fibrosis plak
aterom sehingga elastis dan diameter pembuluh darah berkurang (Price,
2017). Menurut Negara, dkk (2018), kadar kolesterol total yang tinggi
merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
stroke. Kadar kolesterol total yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
aterosklerosis yang merupakan patologi dasar dalam terjadinya stroke
iskemik atau stroke non hemorragik. Kadar kolesterol total yang tinggi
dapat ditemukan pada 19% total penderita stroke iskemik dan telah
terbukti sebagai predikator independen untuk total yang rendah dikaitkan
dengan kejadian mikroaneurisma yang dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan intrasereberal (ICH) (Saputra, 2019). Berdasarkan hal diatas,
dapat diketahui bahwa kadar kolesterol total yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya aterosklerosissehingga elastis dan diameter
pembuluh darah berkurang dan beresiko terkena stroke.

2. Penatalaksanaan Terapi Vokal “AIUEO” terhadap Pasien Stroke yang


Mengalami Gangguan Komunikasi Verbal
Berdasarkan hasil implementasi inovasi terapi vokal “AIUEO”
terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami gangguan
komunikasi verbal pada Tn. G yaitu implementasi dilakukan sebanyak 2
kali sehari selama tiga hari. Hasil implementasi terapi vokal “AIUEO”
menunjukkan bahwa kemampuan bicara mengalami peningkatan pada hari
kedua dan ketiga setelah diberikan terapi “AIUEO” dengan skor hari
pertama yaitu 15, hari kedua 18 dan ketiga 19. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Prihatin (2017) tentang “Perbedaan
efektifitas terapi AIUEO dan Melodic Intonation Therapy (MIT) terhadap
waktu kemampuan bicara pada pasien stroke dengan afasia motorik di
rumah sakit panti wilasa Citarum Semarang” diperoleh hasil rerata

8
kemampuan berbicara sebelum dilakukan terapi AIUEO adalah 12,38,
sesudah dilakukan terapi AIUEO pada hari ketiga adalah 16,62 dan sesudah
dilakukan terapi AIUEO pada hari ketiga 21,38 dengan hasil P value =
0,004 (p ≤ 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap
kemampuan bicara pasien stroke.
Hasil tersebut juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Puspitasari (2017) tentang “Pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan
komunikasi pada afasia motorik pasien pasca stroke di kota pontianak”
diperoleh hasil rerata kemampuan berbicara sebelum dilakukan terapi
AIUEO adalah 13,86 dan sesudah dilakukan terapi AIUEO adalah 15,14
dengan hasil P value = 0,035 (p ≤ 0,05) yang berarti ada perbedaan yang
signifikan terhadap kemampuan bicara pasien stroke.
Menurut Elizabeth E. Galletta dan A. M. Barrett (2017), terapi
AIUEO memengaruhi ekspresi pengucapan kata melalui gerak otot. Gerak
otot motorik dalam berbicara dan berbahasa merupakan domain dari area
Broca pada otak penderita stroke. Perbaikan pengucapan tersebut terjadi
karena adanya reorganisasi fungsional bahasa pada orang dengan afasia
yang melibatkan interaksi intra dan interhemispherik.
Terapi AIUEO merupakan terapi yang menggunakan teknik
mengajarkan pasien afasia menggerakkan otot bicara melalui menggerakan
lidah bibir otot wajah dan mengucapkan kata-kata dengan fonem bahasa
A,I,U,E,O yang dikenal bagian dari phonomotor therapy. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bose (2018) membuktikan bahwa terdapat
perubahan signifikan pada kemampuan penderita aphasia jargon/anomik
dalam menamai benda.
Teknik AIUEO yaitu dengan cara menggerakkan otot bicara yang
akan digunakan untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang
sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal
ini disebut dengan artikulasi organ bicara. Pengartikulasian bunyi bahasa
atau suara akan dibentuk oleh koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris
(pernafasan), unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan
unsur yang beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada)

9
(Gunawan, 2018). Pengulangan bunyi masing-masing alfabet sebagai awal
pelatihan kembali dapat diupayakan pada penderita stroke sedini mungkin
sejak terdeteksi mengalami afasia (Hudak & Gallo, 2017). Selain itu,
Menurut (Bakhiet et al, 2017), latihan secara intensif dapat meningkatkan
neuralplasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi
motorik. Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivitas
jaringan otak yang merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan
adanya kemampuan ini kemampuan motorik klien yang mengalami
kemunduran karena stroke dapat dipelajari kembali.
Dari pembahasan diatas, dapat kita ketahui bersama bahwa latihan
vokal AIUEO secara rutin dapat meningkatkan kemampuan bicara pasien
stroke yang mengalami gangguan komunikasi verbal. Terapi ini bekerja
dengan cara menggerakkan otot lidah, bibir, wajah dan kemudian
mengucapkan huruf-huruf vokal A,I,U,E,O. Dengan melakukan terapi vokal
“AIUEO” secara intensif dapat meningkatkan kemampuan motorik dan
merefleksikan kemampuan adaptasi otak sehingga dapat mengembalikan
fungsi dalam berbicara dan berbahasa secara bertahap.

D. Keterbatasan Studi Kasus


Dalam pelaksanaan studi kasus ini, penulis menyadari tidak lepas dari
kekurangan dan keterbatasan yang ada meskipun telah diupayakan sebaik
mungkin untuk mengatasinya. Adapun keterbatasan dalam penulisan studi
kasus ini yaitu, kurangnya sumber data yang berbentuk artikel fulltext di
database elektronik yang relevan dengan tujuan penulisan studi kasus ini dan
yang dapat mempengaruhi hasil dari studi kasus ini.

10
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Penulis melakukan analisa data dengan membandingkan tinjauan teori
dengan hasil pengkajian sehingga penulis menemukan kesinambungan
antara teori yang dimuat dalam buku dengan kenyataan dilapangan.
Pengkajian dilakukan dengan menggunakan format Review of System
(ROS) yang didapatkan pada pasien: Tn. G usia 61 tahun memiliki keluhan
utama bagian tubuh sebelah kanan tidak bisa digerakkan dan kesulitan
berbicara. Kemudian dari data Objektif fiktahui klien tampak miring ke
arah kiri (slight), klien tampak pelo, berbicara tidak jelas, bunyi vokal yang
dihasilkan tidak jelas dan tampak mengalami kelemahan sisi tubuh sebelah
kanan dan semua kebutuhan klien dibantu oleh keluarga sepenuhnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Dalam menetapkan diagnosa keperawatan secara teoritis pada penderita
stroke berjumlah 9 diagnosa. Sedangkan diagnosa yang terdapat dilapangan
pada Tn. G hanya ditemukan 2 diagnosa yaitu gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan neuromoskuler, dan gangguan komunikasi
verbal brhubungan dengan penurunan sirkulas sereberal.
3. Intervensi Keperawatan
Penulis dalam rencana tindakan keperawatan menetapkan berdasarkan data
yang ada dibuku SDKI, SLKI dan SIKI, yaitu sebagai berikut:
a. Gangguan mobilitas fisik yaitu dengan melakukan dukungan ambulasi
b. Gangguan komunikasi verbal yaitu dengan melakukan Promosi
Komunikasi: Defisit Bicara.
4. Implementasi Keperawatan
Penulis dalam hal implementasi dilakukan selama 3 hari sejak pertama kali
dilakukan pengkajian. Adapun implementasi yang dilakukan:
a. Memonitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume, dan diksi bicara
b. Memonitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaitan
dengan bicara

11
c. Memonitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang menganggu
bicara
d. Mengidentifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk
komunikasi
e. Menyesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan
f. Memberikan terapi vokal “AIUEO”
g. Memodifikasi lingkungan untuk memaksimalkan bantuan dengan
mengikutsertakan keluarga dalam proses latihan
Mengulangi terapi yang telah dilakukan
h. Memberikan dukungan psikologis dengan memberikan semangat dan
motivasi kepada klien dan keluarga
5. Evaluasi Keperawatan
Penulis dalam hal mengevaluasikan asuhan keperawatan mdikal bedah pada
Tn. G menyimpulkan bahwa secara keselurahan berhasil dilakukan, hal ini
dibuktikan dengan peningkatan skala fungsional komunikasi derby setelah
dilakukan latihan terapi vokal “AIUEO” pada pasien stroke yang
mengalami gangguan komunikasi vebal. Saat pengkajian pada Tn. G
didapatkan skala fungsional komunikasi derby adalah 15 kemudian setelah
dilakukan latihan terapi vokal “AIUEO” mengalami peningkatan yaitu
menjadi 19 dengan sistem latihan 2x dalam sehari selama 3 hari.
6. Dischard Planning
Discharger planning yang dapat penulis berikan dalam asuhan keperawatan
medikal bedah pada Tn. G dengan gangguan komunikasi verbal, antara lain:
a. Menganjurkan keluarga untuk tetap melakukan terapi vokal di rumah
b. Menganjurkan keluarga untuk memberikan dukungan emosional
kepada klien
c. Menganjurkan klien untuk berbicara perlahan

12
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Karya ilmiah ini diharapkan memberi gambaran kepada institusi pendidikan
akan pentingnya terapi wicara terhadap pasien stroke. Selain itu, dapat
meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dengan
mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan keperawatan yang
dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat yang profesional,
terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan yang
komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan RSUP Dr. Moh. Hosein Palembang khususnya di ruang rawat
inap dapat memberikan pelayanan kesehan secara nonfarmakologi yaitu
dengan pemberian terapi vokal “AIUEO” pada pasien stroke yang mengalami
gangguan komunikas.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemandirian dalam
perawatan dan proses pemulihan pada pasien stroke yang mengalami
gangguan komunikasi verbal.

13

Anda mungkin juga menyukai