Rumah Tangga
Khutbah Pertama:
َس َت ْغ ِف ُر ُه، ون ْ ه َ ع ْي ُن ُ َس َت ِ ون ْ م ُد ُه َ َح َ ه ،ن ْ م َد لِلَّ ِ ح ْ ِإنَّ ا ْل َ
س ِي َّئاتِ ن َ م ْ و ِ س َنا َ ش ُر ْو ِر َأ ْن ُف ِ ن ُ م ْ ع ْو ُذ بِاهللِ ِ ونَ ُ َ
لضلِ ْ ن ُي ْ م ْ و َ هَ ، ل لَ ُ ض َّ م ِ فاَل ُ هللا َ ُ د ِه ن َي ْه ِ م ْ مالِ َناَ ، َأعْ َ
ح َد ُه اَل و ْ هللا َ ُ ه ِإاَّل ه ُد َأاَّل ِإلَ َ ش َ وَأ ْ هَ ، ي لَ ُ ها ِد َ فاَل َ َ
ُه
س ْول ُ و َر ُ ه ُد َأنَّ محمداً عَ ْب ُد ُه َ ش َ وَأ ْ هَ ، ك لَ ُ ش ِر ْي َ َ
هللا بِا ْل ُه َدى ُ سل َ ُ
ه هَ ،أ ْر َ ح ِي ِ و ْ ه عَ لَى َ م ْي ُن ُ وَأ ِ ُهَ ، خلِ ْيل ُ و َ َ
ة، م ان َ َ دى اَأْل َ وَأ َّ ةَ ، س ال َ َ غ ال ِر َ فبَلَّ َ قَ ، ح ِّ ن ا ْل َ و ِد ْي ِ َ
ها ِد ِه، ج َ ق ِ ح َّ ه َد فِي هللاِ َ جا َ و َ ةَ ، م َ ح اُأْل َّ ص َ ونَ َ َ
ه
حابِ ِص َ وَأ ْ ه َ وعَ لَى آلِ ِ ه َ ه عَ لَ ْي ِ م ُ ساَل ُ و َ ات هللاِ َ و ُ صل َ َ ف َ َ
لسَأ ُ وَأ ْ نَ ، د ْي ِ م ال ِّ ن ِإلَى يَ ْو ِ سا ٍ ح َ م بِِإ ْ َه ْ ن تَ ِبع ُ م ْ و َ َ
ن
م ِ م َّ علَ َنا ِ ج َ ه َأنْ يَ ْ م ِ ك َر ِو َ ه َ منِّ ِ هللا – تَعَالَى – بِ َ َ
د ْي ٍر َ ي ٍء
ِ ق ْ ش
َ ل ُ ه عَ لَى
ِّ ك ُ َّ ِإن،ن
ٍ سا
َ ح ْ ُع ْوه
ْ م بِِإ ُ َاتَّب.
ْد
ُ ما بَعَّ َأ:
ْك ُر ْو ُه ﴿َأن
ُ اش
ْ و َ ،هللا تَعَالَى َ اِتَّ ُق ْوا،اس
ُ ها ال َّن َ ُّفيَا َأي َ
َ ك ُنوا ِإلَ ْي
ها ُ س َ م َأ ْز
ْ واجًا لِ َت ْ كُ س ِ ن َأ ْن ُف ْ م ِ م ْ كُ َق ل َ َخل َ
ٍ ك َآليَا
ت َ ِ ذلَ ة ِإنَّ فِي ً م َ ح
ْ و َرَ د ًة َّ و
َ م
َ م ْ كُ ل بَ ْي َنَ ع َ جَ و َ
َ ك ُر
]21 :ون﴾ [الروم َ م يَ َت
َّ ف َ ِل.
ٍ ق ْو
Ayyuhal ikhwah,
ُالث
َ وث
َ م ْث َنى َ سا ِء
َ ّن ال ِن
َ مِ م ُ َاب ل
ْ ك َ َ ما ط َ حوا ُ ِفا ْنكَ
ْ ملَك
َت َ ماَ ح َد ًة َأ ْو
ِ وا َ دلُوا
َ ف ِ م َأال تَ ْع
ْ خ ْف ُت
ِ ْفِإنَ ع َ و ُربَا َ
مْ ك َ َأ ْي
ُ ما ُن
“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa: 3)
Ayyuhal ikhwah,
Selain sunnah dari penutup para nabi dan rasul, menikah juga merupakan sunnah
dari rasul-rasul lainnya sebelum Nabi Muhammad. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
َ م َأ ْز
واجًا ْ ع ْل َنا لَ ُه
َ ج
َ و
َ ك َ ن
َ ق ْب ِل ْ م
ِ سال َ ق ْد َأ ْر
ُ س ْل َنا ُر َ َول
َ
ً َّو ُذ ِرّي
ة َ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38).
Di dalam menikah terdapat manfaat yang besar dan kebaikan bagi jasmani.
Menikah berarti merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dengan
merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya akan didapat rahmat, kesuksesan di
dunia dan akhirat. Menikah adalah bukti mengikuti sunnahnya para nabi dan
barangsiapa yang ketika di dunia meneladani para rasul kelak akan dikumpulkan
bersama mereka di akhirat. Menikah itu menunaikan kebutuhan, mewujudkan
kebahagiaan jiwa, dan menyenangankan hati. Menikah bisa membentengi
kemaluan, menjaga kehormatan, menundukkan pandangan, dan menjauhkan diri
dari fitnah.
َسبًا ُ َعل
َ هن َ ج َ شرًا
َ ف َ ن ا ْل
َ َما ِء ب َ مِ قَ َ خلَ ذي ِ َّو ال
َ ُوه
َ
ديرًا َ ك
ِ ق َ وك
َ َُّان َرب َ ص ْهرًا ِ و َ
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al-
Furqon: 54).
Yakni Allah menjadikan nasab sebagai pendekatan dan pelebur hubungan. Hal itu
terjadi dengan sebab ikatan pernikahan. Menikah juga akan mendatangkan pahala
karena memberikan hak kepada suami atau istri, dan kepada anak dengan cara
memberikan nafkah kepada mereka (atau istri melayani suami). Menikah juga akan
melapangkan rezeki dan menjadikan seseorang kaya, tidak seperti apa yang
ditakutkan oleh orang-orang matrealis yang lemah keyakinan dan tawakalnya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
مْ ك
ُ عبَا ِد
ِ نْ مِ ين َ ح ِ ِ ص ال
َّ وال َ م ْ ك ُ م ْن
ِ مى َ حوا اَأليَاُ ِوَأ ْنك
َ
ه
ِ ِضلْ ف َ نْ مِ هُ َّم اللُ ه ِ ِق َرا َء ُي ْغنَ كو ُنوا ُف ُ َم ِإنْ يْ ك
ُ ماِئَ وِإ َ
ٌ ع عَ ِلي
م ٌ سِ وا َ هُ َّوالل َ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nur: 32).
ه
ِ ض ِل َ ن
ْ ف ْ م ُ َّم الل
ِ ه ُ ه َ كو ُنوا ُف
ِ ق َرا َء ُي ْغ ِن ُ َِإنْ ي
“Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS.
An-Nur: 32).
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya maslahat dari pernikahan sangatlah banyak. Tidak cukup waktu bagi
kita untuk menguraikan satu per satu pada kesempata yang sempit ini. Bagi siapa
yang hendak mengetahuinya lebih jauh, maka sebaiknya ia menelah buku-buku
para ulama yang membahas permasalahan ini. Sesungguhnya pernikahan itu
adalah maslahat bagi individu dan masyarakat, dari sisi agama dan akhlak, dari
tinjauan waktu sekarang maupun yang akan datang. Karena menikah mampu
mencekah terjadinya mafsadat.
Ayyuhal ikwah,
Kita juga harus mengetahui hal-hal yang melatar-belakangi seseorang yang enggan
menikah. Saat ini setidaknya ada dua faktor yang menonjol yang menyebabkan
para pemuda meninggalkan pernikahan:
Yakni, banyak anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan tidak suka
dengan hubungan pernikahan dengan alasan menikah akan menghambat studi
mereka. Alasan ini adalah alasan yang keliru dan terbantahkan karena menikah
tidak menghalangi seseorang untuk menempuh pendidikannya atau menjadi
seorang yang berprestasi dalam pendidikannya. Bahkan, terkadang menikah malah
membantu kelancaran dan prestasi akademik seseorang. Apabila seseorang
mendapatkan pasangan yang shalehah, keduanya saling menghormati dan
mencintai, maka setiap mereka akan menolong yang lainnya dalam belajar dan
menghadapi beban kehidupan. Banyak sekali orang yang menjadikan
pernikahannya sebagai motivasi.
Bagi para wanita hendaknya merenungi kembali apa yang ia peroleh dari
sekolahnya yang tinggi? Lalu membandingkan dengan kebahagiaan yang ia
korbankan karena menunda pernikahan. Apabila –wal ‘iyadzubillah– umurnya telah
lewat batas lalu ia kehilangan kesempatan untuk menimang anak dan jadilah ia
perempuan menua yang hidup sendiri. Bayangkan jika ia tidak berkesempatan
berbahagia dengan kehidupannya (karena tidak menikah) dan tidak memiliki anak
yang akan mendoakannya setelah ia wafat.
Kedua, hal yang juga menyebabkan para pemuda meninggalkan pernikahan adalah
karena wali-wali yang zalim terhadap anak-anak perempuannya.
Mereka ini adalah para wali yang tidak takut kepada Allah, tidak menjalankan
amanah yang Allah berikan kepada mereka, dan tidak memiliki rasa kasih sayang
kepada sesama hamba Allah. Ketika ada seorang laki-laki yang sekufu agama dan
penampilan fisiknya datang melamar, para wali ini berpikir berulang-ulang lalu
menunda-nuda keputusannya. Pada akhirnya mereka mengatakan, anak saya
masih belum cukup usia, belum ini dan itu, nanti kami musyawarahkan lagi, dll.
padahal sebenarnya ia berdusta membuat-buat alasan. Sebenarnya ia ada obsesi
pribadai yang tinggi, atau ia menginginkan harta yang ia bisa peroleh dari dari sang
pelamar, atau bisa juga ia memiliki sikap permusuhan dan rasa benci dengan sang
pelamar.
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya perwalian dalam pandangan agama adalah sebuah amanah yang
wajib ditunaikan dengan cara yang baik. Ketika ada seseorang yang melamar,
agamanya baik dan secara fisik ia tidak bermasalah, dan sang anak perempuan
menyukainya, lalu ditolak dengan alasan-alasan dusta atau dengan alasan belum
mapan dengan standar yang tinggi, ini adalah bentuk maksiat kepada Allah,
mengkhianati amanah, dan menyia-nyiakan umur anak perempuan tersebut. Dan
Allah akan menghisab perbuatan demikian di hari kiamat kelak. Allah Ta’ala
berfirman,
Ayyuhal ikhwah,
Ada seseorang yang pernah menolak orang yang melamar anak perempuannya,
karena hal ini anak perempuannya pun jatuh sakit. Ketika hendak meninggal, sang
anak mengatakan kepada perempuan-perempuan yang menjenguknya, “Sampaikan
salam kepada ayahku, tolong katakan padanya sesungguhnya antara dirinya dan
Allah ada suatu hal yang ia akan dimintai pertanggung-jawaban pada hari kiamat.
Dan hari kiamat itu tidaklah jauh”.
Jika ia menginginkan sumbangan yang mahal atau mas kawin yang mewah, maka
anaknya bukanlah barang dagangan yang diukur dengan harta. Bukanlah maksud
dari pernikahan itu untuk memperoleh harta. Cukuplah harta hanyalah perantara
untuk mewujudkan hal itu saja. Wanita itu tidak bisa dibandingkan dengan barang
dagangan, mereka jauh lebih mulia. Mereka adalah amanah yang agung dan bagian
dari keluarganya. Ia adalah bagian dari sang ayah. Jika kita berpikir demikian, maka
kita akan menganggap harta tidak ada apa-apanya. Dan berlebih-lebihan dalam
mahar dan biaya pernikahan tidaklah membawa kebaikan untuk mereka.
Ada seseorang yang diminta memberikan mas kawin dalam jumlah besar untuk
pasangannya, lalu laki-laki itu pun memenuhinya namun dengan perasaan kesal.
Sampai-sampai ia mengatakan, “Aku benar-benar terbebani karena dirimu. Sampai-
sampai untuk menjalin hubungan kekerabatan pun harus membayar mahal”. Kalau
kita berkaca kepada salaf ash-shalih, bagaimana mereka meringankan mahar dan
memudahkan pernikahan, nisacaya keberkahan semakin banyak, kedua pasangan
pun bisa mendapatkan kebaikan darinya. Berlebih-lebihan dalam mahar telah
menyia-nyiakan banyak para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, dan
menjauhkan mereka dari pernikahan.
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya seorang laki-laki walaupun ia mampu membayar mahar yang tinggi
yang ditetapkan keluarga perempuan, hal itu tetap menyiratkan rasa tidak enak di
hatinya. Oleh karena itu, saya mengajak saudara-sadaura para wali, untuk
meringankan mahar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya banyak dari para wali, baik dari kalangan ayah atau selainnya,
mensyaratkan agar orang yang melamar memberikan materi kepada mereka. Ini
adalah bentuk memakan harta dengan cara yang batil. Seluruh mahar,
diperuntukkan bagi istri (calon pengantin perempuan), bukan kepada ayahnya,
saudaranya, pamannya, atau siapapu dari kalangan walinya. Mereka tidak berhak.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
ْ َم ع
ن ُ َن ل
ْ ك ِ ْفِإن
َ ط ْب َ ة ً َ حلْ ِن ن
َّ ه َ ص ُد
ِ ِ ق ات َ سا َءَ ّوَآ ُتوا ال ِن
َ
م ِريًئ ا
َ ه ِنيًئ اَ كلُو ُه ُ ف َ ْسا ً ه نَفُ م ْن
ِ ي ٍء
ْ ش َ
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. Annisa: 4).
Dan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ حبَا ٍء (َأ
:ي ِ ق َأ ْو ٍ ص َدا َ ت عَ لَى ْ ح َ ك ِ م َرَأ ٍة ُن ْ ما ا َ َُّأي
و َ ِة ال ِنّكَاح
َ ف ُه ِ مَ صْ ع ِ ل َ ق ْب َ د ٍة َّ عِ هبَةُ ) َأ ْو ِ وا ْلَ ُطيَّة ِ ع َ اَ ْل
نْ م َ ِو ل َ ف ُهَ ِة النِّكَاح ِ م
َ ص ْ عِ َان بَ ْع َدَ ما ك َ و َ ،ها َ َل
هُ ل ا ْب َن َت ُ جُ ه ال َّرِ م عَ لَ ْي َ ما ُأ ْك ِر َ ق َّ ح َ وَأَ ،ه ُ َطي ِ ُْأع
ه
ُ خ َتْ وُأ َ .
“Wanita manapun yang menikah dengan maskawin, pemberian, atau perbekalan
sebelum akad pernikahan, maka itu adalah untuknya. Sedangkan yang diberikan
sesudah akad pernikahan, maka itu untuk siapa yang diberikan kepada-nya. Dan
kemuliaan yang paling berhak untuk diberikan kepada seorang laki-laki adalah
berkaitan dengan puterinya dan saudara perempuannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
dan lainnya).
Bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, janganlah memberi syarat nominal
mahar ataupun selainnya ketika hendak melangsungkan pernikahan. Tidak ada hak
bagi para wali untuk melakukannya. Jika Anda para wali melakukan hal itu, maka
Anda telah memperoleh harta dengan cara yang haram.
Dan bagi orang tua janganlah ia menyalah-gunakan amanah yang Allah berikan
kepadanya berupa anak perempuan. Janganlah ia menjadikannya sebagai wasilah
memperoleh harta tatkala hendak menikahkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ل
سو َ وال َّر ُ ه ََخو ُنوا اللَّ َ م ُنوا اَل ت ُ ين آ َ
ذ َ ها الَّ ِ يَا َأيُّ َ
موا َأنَّ َ
ما واعْ لَ ُ ونَ .م َ م تَ ْعلَ ُ وَأ ْن ُت ْ
م َ ك ْ مانَاتِ َُخو ُنوا َأ َ وت ُ َ
ع ْن َد ُه َأ ْ
ج ٌر ه ِ وَأنَّ اللَّ َة َ م فِ ْت َن ٌ ك ْ وَأ ْواَل ُد ُ
م َ ك ْوا ُل ُ َأ ْ
م َ
مظي ٌ عَ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi
Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28).
ن
ذ ْي َ م عَ لَى ِ
عبَا ِد ِه الَّ ِ ساَل ٌ و َفىَ ، ك َو َ
ه َم ُد لِلَّ ِ اَ ْل َ
ح ْ
ك
ش ِر ْي َح َد ُه اَل َ و ْهللا َ
ُ ه ُد َأاَّل ِإلَ َ
ه ِإاَّل ش َوَأ ْفىَ ، صط َ َ ا ْ
َّه ُد َأنَ ش ْ وَأَ ،واُأل ْولَى َ خ َر ِة ِ م ُد فِي اآل ْ حَ ه ا ْلُ َ ل،ه ُ َل
ُه
ُ خلِ ْيلَ و َ ،فى َ َ صط ْ م ُ ُه ال ُ س ْول َ محمداً عَ ْب ُد ُه
ُ و َر
ه
ِ ِحاب َ ص ْ وَأ َ هِ ِوعَ لَى آل َ ه ِ هللا عَ لَ ْي
ُ صلَّىَ ،ج َتبَى ْ مُ ا ْل
ًك ِث ْيرا
َ ًَس ِل ْيما
ْ مت َ َّسلَ و َ ،اه َت َدى ْ م ُ ُن بِ ُه َداه ْ م َ و َ .
ْد
ُ ما بَع َّ َأ:
Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran
dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita
muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang
kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada
Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu
diantara mereka adalah Rumaisha Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid
bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-
Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar
beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan
ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan
kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki
banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi
Allah, orang seperti Anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang
kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah
denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak
meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i).
Marilah kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya dalam seluruh permasalahan agama kita, termasuk dalam
permasalahan pernikahan. Karena pada merekalah sebaik-baik petunjuk.
ها ي يَا َأيُّ َ ون عَ لَى ال َّن ِب ّ ِ صل ُّ َ ه ُي َ ك َت ُماَل ِئ َ و َ ه َ ِإنَّ اللَّ َ
َس ِليماً اَللَّ ُه َّ
م موا ت ْ س ِل ّ ُ و َ ه َ صلُّوا عَ لَ ْي ِ م ُنوا َ ين آ َ ذ َ الَّ ِ
د،م ٍ ح َّ م َ ك نَ ِب ِي ّ َنا ُ س ْولِ َ و َر ُ ك َ د َ م عَ لَى عَ ْب ِ سلِ ّ ْ و َ ل َ ص ِّ َ
ة
م ِ فا ِء اَألِئ َّ الخلَ َُ ةع ِ م عَ لَى اَأل ْربَ َ ض اللَّ ُه َّ وا ْر َ َ
ض وا ْر َ وعَ ِلي َ ان َ م َ ع ْث َ و ُ م َر َ ع َ و ُك ٍر َ فا ِء َأبِي بَ ْ الح َن َُ
نم ْ و َ ن َ ع ْي َ ن ال َّتابِ ِ وعَ ِ ن َ ع ْي َ م ِ ج َ ة َأ ْ ح اب َ ِص َ ن ال َّ م عَ ِ اللَّ ُه َّ
م
َه ْمع ُ ض عَ َّنا َ وا ْر َ ن َ د ْي ِ م ال ِّ ن ِإلَى يَ ْو ِ سا ٍ ح َ م بِِإ ْ َه ْ تَ ِبع ُ
ن
م ْي َ ح ِ م ال َّرا ِ ح ُ ك يَا َأ ْر َ متِ َ ح َ و َر ْ ك َ و َ ع ْف ِ بِ َ
ك
ش ْر َ
ل ال ِ وَأ ِذ َّ
نَ ،م ْي َ
سلِ ِ م ْ وال ُم َ ساَل َ م َأ ِ
ع َّز اِإل ْ اَللَّ ُه َّ
ن ك َأعْ َدا َء ال ِّ
د ْي َ م ْ‚ر َأعْ َدا َء َ
د ِّو َ
نَ ،
ك ْي َ
ش ِر ِم ْ وال ُ َ ،.
خ َر ُه
وآ ِ
ه َ ه ؛ َأ َّ
ول َ ُ جلَّ ُ
و ِه َق ُه ِد َّ اغ ِف ْر لَ َنا ُذ ُنبَ َنا ُ
كلَّ ُ م ْ اَللَّ ُه َّ
ما
و َم َنا َ د ْ
ق َّما َ اغ ِف ْر لَ َنا َ
م ْ ه .اَللَّ ُه َّوعَ لَ َن ُ
س َّر ُه َ
ِ ،
ما و َ س َر ْف َنا َ ،ما َأ ْ و َ ما َأعْ لَ َّنا َ
و َ ما َأ ْ
س َر ْرنَا َ و َ
خ ْرنَا َ َأ َّ
خ ُر اَلمَؤ ِ ّ
ت ال ُ وَأ ْن َ
م َ
د ُق ِّم َ ت ال ُ م َّنا َ ،أ ْن َ
ه ِ ت َأعْ لَ ُ
م بِ ِ َأ ْن َ
ه ِإاَّل َأ ْن َ
ت ِ .إلَ َ
ن
س ِ ح ْو ُك َ ش ْ
ك ِر َ و ُك َع َّنا عَ لَى ِذ ْك ِر َ م َأ ِ اَللَّ ُه َّ
خ ْذ و ُضى َ حبُّ َ
وتَ ْر َ ما ُت ِوفِّ ْق َنا لِ َ
م َك ،اَللَّ ُه َّ دت ِ َ عبَا َ ِ
الد ْنيَا
وى َربَّ َنا آتِ َنا فِي ُ ص ْي َنا لِ ْلبِ ِرّ َ
وال َّت ْق َ وا ِ بِ َن َ
اب ال َّنا ِر وقِ َنا عَ َذ َة َ س َن ًح َخ َر ِة َ وفِي اآل ِ ة َ س َن ً ح َ َ .
وِإي َتا ِءن َ سا ِ ح َ واِإل ْ ل َ َد ِ م ُر بِا ْلع ْ ه يَْأ ُ د هللاِ ِ﴿ ،إنَّ اللَّ َ عبَا َ
ِ
ك ِرم ْن َ وا ْل ُشا ِء َ ح َ ف ْ ن ا ْل َ هى عَ ِ ويَ ْن َِذي ا ْل ُق ْربَى َ
وَأ ْو ُفوا ون (َ )90 ك ُر َ م تَ َذ َّ ك ْعلَّ ُم لَ َ ك ْ ع ُ
ظ ُ ي َي ِ وا ْلبَ ْغ ِ َ
ان بَ ْع َد م َ ضوا اَأل ْي َ وال تَ ْن ُق ُ م َ ه ْد ُت ْ ذا عَ ا َ ه ِإ َ د اللَّ ِ َه ِبِع ْ
ك ِفيال ً ِإنَّ اللَّ َ
ه م َ ك ْ ه عَ لَ ْي ُ م اللَّ َ ع ْل ُت ُ
ج َ ق ْد َ و َ ها َ د َتَ ْوكِي ِ
ُون﴾ [النحل ،]91-90 :واذكروا هللا عل َ ما تَ ْف َ م َ َي ْعلَ ُ
ه
م ِ ع ِ العظيم الجليل يذكركم ،واشكروه على نِ َ
مام َ ه يَ ْعلَ ُ واللَّ ُ ه َأ ْكبَ ُر َ ذ ْك ُر اللَّ ِ ول َ ِ ي ِز ْدكمَ ﴿ ،
ون﴾ [العنكبوت]45 : ع َ ص َن ُتَ ْ
Oleh tim khotbahjumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com
Ibnu Sina adalah salah seorang dari beberapa ulama tempo dulu yang tidak
hanya menguasai ilmu-ilmu agama tetapi juga bidang-bidang keilmuan lain
seperti fislafat, fisika, psikologi, kimia, astronomi dan kedokteran. Nama
lengkap beliau adalah Abu ʿAli al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allah ibn Sina. Beliau lahir
di Bukhara Uzbekistan pada tahun 980 M (sekarang masuk wilayah negara
Iran). Di dunia Barat beliau dikenal dengan nama yang sudah terpengaruh
bahasa Latin, yakni Avicenna.
Sebagai dokter beliau sangat dihormati baik di Barat maupun di Timur karena
kitabnya berjudul Al-Qanun fi al-Thib (selesai ditulis pada tahun 1025 M) yang
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi The Canon of
Medicine menjadi buku referensi kedokteran hingga sekarang. Beliau digelari
Bapak Kedokteran.
Salah satu teori kesehatan yang sangat terkenal dari beliau adalah bahwa sakit
tidak melulu disebakan oleh lemahnya fisik tetapi bisa juga disebabkan oleh
kondisi kejiwaan yang lemah. Teori ini ditemukannya ketika menangani seorang
pasien yang sakit secara fisik tetapi bukan disebabkan karena gangguan fisik
melainkan kejiwaannya sedang melemah.
Baca juga: 3 Tips Ibnu Sina saat Menghadapi Krisis Kesehatan
Kisah tentang pasien itu diilustrasikan dalam sebuah gambar dalam salah satu
halaman di buku The Canon of Medicine di mana terdapat seorang gadis yang
sedang diperiksa denyut nadinya oleh seorang dokter sementara dokter lainnya
menyiapkan obat untuk seorang pemuda yang juga sedang sakit. Ilustrasi itu
mengisahkan legenda Ibnu Sina dengan teorinya yang dalam konteks zaman
semakin relevan bahwa sakit tidak melulu disebakan oleh adanya gangguan fisik
tetapi bisa juga karena nonfisik atau psikis.
Kisah tersebut selengkapnya dapat ditemukan sumbernya dalam buku Saints
and Saviours of Islam karya Dr. Hamid Naseem Rafiabadi (Sarup & Sons; New
Delhi, 1st Edition, 2005: 281-282), sebagai berikut:
Pada suatu hari seorang pemuda mengalami kondisi fisik yang sangat lemah.
Sudah cukup lama ia berbaring sakit, tapi tak kunjung sembuh sebab tidak ada
dokter yang bisa mendiagnosis sakitnya secara tepat. Dari hari ke hari sakitnya
makin memburuk karena ia sudah tak mau makan dan juga tidak mau berbicara
dengan siapa pun. Lalu didatangkanlah Ibnu Sina untuk memeriksa sang
pemuda itu yang tak lain adalah keponakan seorang pejabat tinggi di Qabus.
Mula-mula Ibnu Sina memeriksa denyut nadi sang pemuda itu dan meminta
sang pejabat mendatangkan seseorang yang dapat menyebutkan nama-nama
jalan dan lapangan rumput di kota Gurgan (400 km dari Teheran Iran). Kota ini
terletak di dekat Laut Kaspia.
Saat orang tersebut menyebut nama jalan tertentu, denyut nadi sang pemuda
bedetak lebih kencang dan rona wajahnya berubah sangat cepat. Mengetahui hal
ini Ibnu Sina kemudian meminta sang pejabat untuk mendatangkan seseorang
yang dapat bercerita lebih banyak tentang keluarga-keluarga yang tinggal di
jalan tertentu. Orang itu berhasil didatangkan dan Ibnu Sina memintanya untuk
menyebutkan dengan suara keras nama-nama orang dalam keluarga itu. Dia
lakukan hal itu sesuai perintah. Ketika dia menyebut nama seseorang dari
anggota keluarga itu, angka denyut nadinya meninggi.
Mengamati hal itu, Ibnu Sina kemudian meminta sang pejabat mendatangkan
seseorang yang mengenal dengan baik orang-orang dari anggota keluarga
tersebut. Sang pejabat berhasil mendatangkan orang yang dimaksudkan oleh
Ibnu Sina, yakni seseorang yang benar-benar kenal dengan orang-orang beserta
nama-namanya dari anggota keluarga yang dimaksud.
Ketika Ibnu Sina meminta orang itu menyebutkan nama-nama penghuni rumah
keluarga itu dan sampai pada penyebutan nama gadis tertentu angka denyut nadi
(tekanan darah) sang pemuda sangat tinggi. Kemudian Ibnu Sina menghampiri
sang pejabat secara tertutup dan memberitahukan bahwa sang pemuda itu
sedang kasmaran atau jatuh cinta kepada seorang gadis dari keluarga itu dan
menyarankan supaya ia segera dinikahkan dengan gadis idamannya. Terbukti
dengan direstuinya untuk segera menikah dengan sang gadis pujaannya, pemuda
tersebut sembuh dari sakitnya.
Dari situlah Ibnu berhasil mendiagnosis pemuda itu sakit bukan karena ada
gangguan penyakit yang bersifat fisik tetapi lebih karena gangguan yang berifat
kejiwaan. Dalam ilmu kedoteran hal ini disebut psikosomatis, yakni suatu
kondisi atau gangguan ketika pikiran mempengaruhi tubuh, hingga memicu
munculnya gangguan fisik. Kasus tersebut menunjukkan kebenaran teori Ibnu
Sina bahwa sakit tak melulu disebabkan oleh fisik yang lemah, tapi bisa juga
karena kejiwaan yang bermasalah. Teori in tidak sulit bagi Ibnu Sina karena
beliau bukan saja seorang dokter tetapi juga rohaniawan. Beliau hafal Al-Qur’an
di usia 10 tahun.
Teori baru tersebut memberikan perimbangan terhadap teori lama yang
diabadikan dalam sebuah pepatah bahasa Arab yang berbunyi:
العقل السليم في الجسم السليم
Artinya: “Jiwa yang sehat terdapat dalam badan yang sehat.”
Dengan temuan teori baru dari Ibnu Sina tersebut, maka pepatah lama di atas
sebetulnya dapat dimodifikasi dengan membaliknya menjadi:
الجسم السليم في العقل السليم
Artinya: “Badan yang sehat terdapat dalam jiwa yang sehat.”
Pepatah yang terakhir itu menurut hemat penulis juga cocok diajarkan di
pesantren karena di lembaga pendidikan tradisioanal ini diajarkan Mahfudhat.
Tidak ada jeleknya mereka hafal dan dapat meresapi kata-kata mutiara tersebut
untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperkuat mental spiritual
mereka di samping juga tetap memperkuat badannya dengan tetap
memperhatikan pepatah lama. Hasil yang diharapkan tentu saja adalah agar para
santri memiliki jiwa dan raga yang kuat sehingga dapat belajar dan beribadah di
pesantren dengan lebih baik.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama
(UNU) Surakarta.