Anda di halaman 1dari 4

ETIKA PERENCANAAN

MUH. MAHAR, S.STP.

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR


2021
Dalam pengembangan wilayah, penataan ruang merupakan tahap awal terpenting.
Dengannya, rencana pengembangan wilayah merumuskan potensi dan daya dukung ruang,
rencana pemanfaatan ruang – lindung dan budidaya, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Termasuk menemu-kenali risiko yang mungkin terjadi akibat penetapan fungsi dan
peruntukkan ruang. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang
memiliki empat tujuan. Pertama, mewujudkan ruang yang aman; Kedua, mewujudkan ruang
yang nyaman; ketiga, mewujudkan pengelolaan ruang secara produktif; dan Keempat,
mewujudkan keberlanjutan pengelolaan ruang. Keempat tujuan ini memberikan tafsir adanya
hak dan kewajiban manusia atas ruang. Yaitu hak dan kewajibannya sebagai pribadi, serta hak
dan kewajibannya sebagai kelompok. Kemudian berlanjut pada memfungsikan ruang sebagai
tempat hidup; dan mengenali dan mengelola fungsi bio-fisik ruang itu sendiri. Dalam
penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), integritas penyelenggara penata ruang sangat
utama. Kemudian kejelasan keberpihakannya kepada masyarakat dan kepentingan daerahnya.
Dibutuhkan kapasitas sistim pemerintahan yang dinamis, bersih, dan taat hukum; Aparatur
pemerintah harus memiliki mentalitas bertanggungjawab, profesional dan kemauan baik
berbuat adil.

Motif land grabbing adalah penguasaan ruang untuk kepentingan industrialisasi dan


mempengaruhi arah kebijakan ekonomi suatu negara – atau daerah. Sehingga land
grabbing bukan issu nasional, tapi internasional. Dimana kepentingan banyak korporasi multi-
nasional dan trans-nasional bersekutu merebut ruang dengan memanfaatkan tangan banyak
korporasi nasional. Kasus ini memberikan pesan, bahwa land grabbing dibangun menggunakan
struktur politik ruang dan tidak murni ekonomi. Atau persekutuan antara kepentingan ekonomi
politik dunia dengan kepentingan ekonomi oknum pemerintah di elit birokrasi. Instrumennya
adalah sertifikasi legal formal yang diterbitkan atas nama instansi pemerintah.

Pada kasus land grabbing tersebut dapat disimpulkan bahwa para stakeholder maupun


pemerintah sangat mudah melanggar etika dalam perencanaan. Aktor dibalik adanya land
grabbing adalah elit pemerintah dan elit politikus, mereka banyak dikendalikan oleh para
investor yang ingin mengeruk keuntungan di indonesia. Mereka hanya mementingkan sisi
ekonomi dan tidak menjadi penengah dari masalah tersebut. Land Grabbing juga dapat menjadi
salah satu penyebab korupsi di dalam tubuh pemerintah, sebab dalam penyusunan RTRW pasti
akan ada oknum oknum yang ingin menambahkan peraturan yang memang seharusnya tidak
baik untuk ditetapkan, namun karena adanya kepentingan dari pihak luar/investor maka oknum
dalam pemerintah itu akan berusaha untuk memberikan ijin yang nantinya tertuang didalam
RTRW. Land grabbing  dalam penataan ruang terbukti menyengsarakan dan merugikan rakyat.
Merugikan keuangan negara dan mengancam keamanan wilayah negara secara geo-politik.
Bertentangan dengan hukum dan sangat tidak adil. Ada tiga modus mafia ruang. Pertama,
menyesuaikan RTRW mengikuti ijin-ijin konsesi yang telah diberikan
sebelumnya. Kedua, menyusun RTRW mengikuti dinamika iklim investasi skala besar. Ketiga,
melakukan alih fungsi dan peruntukan kawasan dalam RTRW dengan
mengeluarkan/menerbitkan ijin ilegal. Apalagi bila penyelenggaraan penataan ruang sejak awal
tidak transparan, tidak melibatkan masyarakat, dan tidak memperhatikan aspek sosio-kultural
masyarakat di suatu wilayah. Saat ini masih banyak perencanaan tata ruang yang masih
disembunyikan dari masyarakat/rakyat, hal tersebut yang nantinya akan menjadi ajang
penyalahgunaan kewenangan yang berujung pelanggaran etika dalam sebuah perencanaan.
Untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran terebut, maka dalam penyusunan RThRW akan
lebih baik didampingi oleh KPK dan masyarakat agar ada keselarasan perencanaan dan
pembangunan yang tidak mementingkan investor-investor demi keuntungan pribadi. Kesadaran
akan pentingnya perencanaan yang berdampak buruk untuk kedepannya juga sangat bisa
membantu dalam mengurangi pelanggaran etika dalam perencanaan dan juga para elit
pemerintah ini tidak mementingkaan keuntungan pribadi melainkan memikirkan kesejahteraan
untuk masyarakat.
Salah satu kasus pelanggaran RTRW yang terjadi dapat kita
cermati di Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam yang telah ditetapkan tersangka melanggar
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sultra. Hal ini terkait pemberian izin usaha
pertambahan untuk PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
Nur Alam merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan
Surat Keputusan (SK) No 828 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan seluas
3.024 hektare (Ha), SK Nomor 815 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Eksplorasi seluas 3.084 Ha, dan SK Nomor 435 tentang Persetujuan Peningkatan IUP
Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT AHB seluas 3.084 Ha di Kabupaten
Buton dan Bombana 2009-2014.
Wakil Ketua KPK Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan menyatakan, pemberian izin
pertambangan PT AHB yang dilakukan Nur Alam memang jelas telah secara melawan hukum
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Karena jabatan
atau kedudukannya sebagai Gubernur Sultra untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara. Padahal, lahan pertambangan PT AHB
berada di antara Kabupaten Buton dengan Bombana yang sedang bersengketa.
Basaria membenarkan, pemberian izin pertambangan tersebut selain melanggar peraturan dan
perundang-undngan yang berlaku, juga diduga kuat melanggar RTRW Provinsi Sultra. "Kan
(dulu) sudah dikasi kesempatan untuk benahi izin yang tidak clear and clean. Jadi untuk kasus
NA pada intinya adalah (akibat penyalahgunaan kewenangan) NA menerima sesuatu atau uang
dari adanya izin yang diberikan," kata Basaria kepada Koran SINDO Jumat (26/8/2016).

Ribuan IUP bermasalah Berdasarkan data KPK dari 10.172 IUP pertambangan, 3.966 IUP
bermasalah pada Februari 2016. Banyak izin bermasalah dicurigai mengandung korupsi melibatkan
kepala daerah sebagai pemberi izin. IUP bermasalah, antara lain, IUP ganda di kawasan sama, IUP
alamat tak sesuai, kawasan hutan lindung atau konservasi dan pemegang IUP tak punya Nomor
Pokok Wajib Pajak.

Menurut Dian, beberapa izin dibuat seolah-olah memenuhi aspek regulasi dan data
administrasi. Setelah dikaji, ditemukan banyak permasalahan dalam penerbitan izin hingha
menimbulkan eksploitasi sumber daya alam. Jika dihitung, dampak kajian ekonomi dan ekologi
mencapai Rp4.000 triliun. Hingga Agustus 2016, masih ada 3.772 IUP bermasalah. ”Ada sekitar
1.000 IUP bermaslah dilaporkan bupati ke gurbernur untuk ditindaklanjuti,” katanya.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, diperkuat Permen terkait Tata Cara Evaluasi
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Minerba, Gurbernur pun memeliki kewenangan dalam
memperbaiki IUP bermasalah.

Mencermati dua kasus diatas tentunya akan sangat panjang jika


ditinjau dari sisi teori perencanaan baik sisi substansi perencanaan
maupun prosedur perencanaan. Kaitan antara kasus-kasus diatas
dengan etika perencanaan adalah masalah pelanggaran moral dan
etika perencana. Perencana dalam konteks diatas bukan hanya
melibatkan pejabat publik tetapi juga setiap stakeholder yang
terkait penyusunan RTRW. Aspek etika dan moral mutlak diperlukan
dan wajib di pahami oleh setiap stakeholder baik dalam proses
penyusunan tata ruang, pelaksanaan tata ruang dan penertiban tata
ruang. Berdasarkan informasi yang di kumpulkan penulis, muncul
gambaran bahwa dilema RTRW yang terjadi di Provinsi Riau secara tidak
langsung juga diakibatkan oleh beberapa pihak “perencana” antara lain:
- Instansi tingkat daerah (Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten)
- Instansi Pusat (Kementrian Kehutanan)
- Kepala Daerah (Gubernur/Bupati)
- Komisi Amdal
- Konsultan Penataan Ruang dan AMDAL
- Perusahaan Perkebunan, HTI, HPH.
Yang kesemuanya turut terlibat dalam pemberian ijin,
rekomendasi dan pertimbangan teknis yang tidak
mempertimbangkan Rencana Tata Ruang, dan TGHK sebagai acuan
pembangunan daerah.

Anda mungkin juga menyukai