Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Struktur Tahan Gempa


Secara umum gempa bumi merupakan getaran permukaan tanah yang dapat
disebabkan oleh aktifitas tektonik, vulkanisme, longsoran, dan bahan peledak.
Dari semua penyebeb diatas goncangan disebabkan oleh peristiwa tektonik yang
merupakan penyebeb utama kerusakan pada struktur gedung (Chen dan Loi,
2006). Gempa bumi yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah gempa bumi
tektonik. Yang merupakan jenis gempa yang menimbulkan kerusakan paling luas
(Dewi dan Sudrajat, 2007), maka dari itu pada daerah dengan resiko gempa tinggi,
perencana dan pelaku konstruksi harus memperhatikan ketahanan terhadap beban
gempa.
Hal penting dari evaluasi berbasis kinerja adalah sasaran kinerja bangunan
terhadap gempa dinyatakan secara jelas. Sasaran kinerja tersebut terdiri dari
kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf
kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (peformance level) dari bangunan
terhadap kejadian gempa tersebut. (Dewobroto, 2006).
Evaluasi kinerja dapat memberikan informasi sejauh mana gempa akan
mempengaruhi struktur bangunan gedung. Hal ini penting untuk evaluasi kinerja
seismik struktur gedung pasca leleh. (Pranata, 2006).
Berdasarkan IBC 2006, tujuan desain bangunan tahan gempa adalah untuk
mencegah terjadinya kegagalan struktur dan kehilangan korban jiwa, dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Tidak terjadi kerusakan sama sekali pada gempa kecil.
b. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan
arsitektural tetapi bukan merupakan kerusakan struktural.
c. Diperbolehkan terjadinya kerusakan struktural dan non struktural pada
gempa kuat, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan
bangunan runtuh.
d. Sistem sprinkler untuk proteksi kebakaran dan tangga keluar tetap
utuh.
Menurut SNI-1726-2012 dilakukannya perencanaan ketahanan gempa untuk
struktur gedung bertujuan untuk :

5
a. Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya gedung
akibat gempa yang kuat.
b. Membatasi kerusakan gedung akibat gempa ringan sampa sedang,
sehingga masih dapat diperbaiki.
c. Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni gedung ketika
terjadi gempa ringan sampai sedang.
d. Mempertahankan setiap saat layanan vital dari fungsi gedung.
Menurut Applied Technology Council (ATC)-40, kriteria-kriteria struktur tahan
gempa adalah sebagai berikut:
a. Immediete Occupancy (IO)
Bila gempa terjadi, struktur mampu menahan gempa tersebut, struktur
tidak mengalami kerusakan struktural dan tidak mengalami kerusakan
non struktural. Sehingga dapat langsung dipakai.
b. Life Safety (LS)
Struktur gedung harus mampu menahan gempa sedang tanpa
kerusakan struktur, walaupun ada kerusakan pada elemen non-struktur.
c. Collapse Pervention (CP)
Struktur harus mampu menahan gempa besar tanpa terjadi keruntuhan
struktural walaupun struktur telah mengalami rusak berat, artinya
kerusakan struktur boleh terjadi tetapi harus dihindari adanya korban
jiwa manusia.

2.2 Kapasitas Seismik Gedung Beton Bertulang


Masalah serius yang dihadapi dalam pencegahan gempa bumi oleh negara-
negara rawan gempa adalah ketahan seismik bangunan lama yang dibangun tanpa
menggunakan standar tentang seismik dan rekayasa gempa. Berdasarkan hal
tersebut, jepang mempublikasikan standar evaluasi seismik yaitu Standard for
Seismic Evaluation of Existing Reinforced Concrete Building yang diterbitkan
pada tahun 1977 dan direvisi pada tahun 1990 dan 2001. Standar ini
dipublikasikan untuk membantu negara-negara rawan gempa yang serupa dengan
jepang untuk upaya pencegahan kerusakan bangunan akibat gempa bumi.
Standar ini menyatakan bahwa bangunan dinyatakan aman apabila memiliki
nilai indeks seismik lebih besar dari 0.8 untuk evaluasi level pertama dan 0.6
untuk evaluasi level kedua. Nilai indeks seismik yang dibutuhkan oleh struktur

6
(Es) didapat dari perbandingan indeks seismik dan kerusakan bangunan yang
disebabkan oleh gempa Tokachi tahun 1968 dan gempa Miyagiken tahun 1978
seperti yang terlihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Perbandingan Indeks Seismik dan Kerusakan Bangunan Pada


Gempa Tokachi Tahun 1968 dan Gempa Miyagiken tahun 1978
(Sumber : The Japan Building Disaster Prevention Association, 2001)

Salah satu cara meningkatkan keamanan struktur bangunan terhadap gempa


adalah dengan menambah dinding pada bangunan tersebut. gambar 2.2
menjelaskan sebuah diagram yang menjelaskan hubungan antara gaya horizontal
dan perpindahan horizontal ketika gaya gempa diterapkan pada bangunan beton
bertulang. Building A diasumsikan memiliki jumlah dinding yang banyak
sehingga menyebabkan bangunan tersebut memiliki kekuatan yang tinggi dan
daktilitas yang rendah. Building B diasumsikan berupa frame kaku dengan sedikit
dinding tetapi memiliki daktilitas yang besar. Tanda ▼ adalah respon seismik dari
bangunan dan tanda X adalah kegagalan kritis dari bangunan. Ketika bangunan-
bangunan tersebut diberi, bangunan akan aman sampai tanda ▼ dan akan
mengalami kerusakan pada tanda X.
Gambar 2.3 adalah deskripsi skematis prilaku ketika beban horizontal
diterapkan pada bangunan yang memiliki struktur kaku dengan sejumlah dinding.
ketika beban horizontal secara bertahap meningkat dinding mencapai retak di poin
‘a’. Tapi bangunan tidak sepenuhnya retak pada poin tersebut. Walaupun tahanan
horizontal struktur mengalami penurunan, sisa kekakuan struktur frame mulai
menahan beban horizontal sesuai dengan peningkatan deformasi. Tahanan

7
berlanjut sampai mencapai poin ‘b’ yang merupakan titik kehancuran dari struktur
kekakuan frame.
Nilai seismik bangunan dinyatakan dengan indeks seismik dasar (E0) yaitu
sebuah nilai nilai dasar yang menetukan kinerja seismik bangunan dengan
mengevaluasi kineja seismik bangunan berdasarkan kekuatan dan daktilitas
bangunan tersebut. Nilai indeks seismik dasar (E0) akan dibandingkan dengan
indeks seismik yang dibutuhkan untuk struktur (Es) untuk menyimpulkan apakah
bangunan tersebut aman terhadap gempa atau tidak (The Japan Building Disaster
Prevention Association, 2001).

Gambar 2.2 Hubungan Antara Gaya Horizontal dan Perpindahan Horizontal


Bangunan Beton Bertulang
(Sumber : The Japan Building Disaster Prevention Association, 2001)

Gambar 2.3 Prilaku Gabungan Frame kaku dan Dinding Bangunan


(Sumber : The Japan Building Disaster Prevention Association, 2001)

2.3 Pengaruh Dinding Bata Terhadap Rangka Struktur Beton Bertulang


Struktur rangka bertulang dengan dinding bata (RC frame with brick
masonry wall) sangat banyak dan umum dipakai di Sumatera Barat, baik untuk
bangunan tinngkat tinggi, menengah dan bangunan tingkat rendah. Berdasarkan

8
peristiwa gempa yang terjadi 1 (satu) dekade terakhir di Sumatera Barat, banyak
bangunan beton bertulang yang rusak dan roboh. (Maidiawati et. al. 2008 dan
EERI, 2009).
Gedung yang memiliki rasio (luas dinding terhadap luas lantai bangunan)
yang lebih tinggi yaitu sebesar 1.2 dapat bertahan selama gempa, sedangkan
gedung dengan rasio 0.2 mengalami keruntuhan total (Maidiawati et. al, 2008).
Hal ini memberikan gambaran bahwa dinding bata dalam rangka struktur beton
bertulang dapat memberi pengaruh terhadap rangka struktur beton bertulang itu
sendiri dalam menerima beban gempa.
Pengaruh dinding bata terhadap rangka struktur selalu diabaikan dalam
perencanaan dan hanya dianggap sebagai komponen tanpa penahan beban (non
structure), (Maidiawati, 2008). Beberapa peneliti sebelumnya telah mendapatkan
bahwa dinding bata dalam struktur rangka dapat meningkatkan kekakuan lateral
gedung beton bertulang (Chaker and Cherifati, 1999). Dan dinding bata dalam
struktur rangka dapat meningkatkan kekuatan lateral struktur secara keseluruhan
yaitu sebesar empat kali lebih besar dari pada struktur rangka tanpa dinding bata,
namun daktilitas struktur berkurang dari setengahnya (Maidiawati et. al, 2011).

2.4 Analisa Statik Nonlinier (Pushover Analysis)


Analisa statik nonlinier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui
perilaku keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa, dikenal pula sebagai analisa
pushover atau analisa beban dorong statik. Kecuali untuk suatu struktur yang
sederhana, maka analisa ini memerlukan komputer program untuk dapat
merealisasikannya pada bangunan nyata. (Dewobroto, 2005). Salah satunya
program yang tersedia adalah STERA 3D.
Analisa dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada
struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali
sampai satu target perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya
titik tersebut adalah titik pada atap, atau lebih tepat lagi adalah pusat massa atap.
Analisa pushover menghasilkan kurva pushover, seperti diperlihatkan
gambar 2.4, kurva yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V)
versus perpindahan titik acuan pada atap (D) . Pada proses pushover, struktur
didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut.
Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai

9
kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Kurva pushover dipengaruhi
oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong.
(Dewobroto, 2005)

Gambar 2.4 Kurva Pushover


(Sumber : Dewobroto, 2005)

Struktur gedung saat menerima beban gempa, maka akan memikul base
shear. Base shear tiap lantai merupakan fungsi dari massa (m) dan kekakuan (k)
dari tiap lantai tersebut. Base shear mengakibatkan tiap lantai
bergeser/displacement dari kedudukan semula. Apabila sifat geometri struktur
simetris maka simpangan yang terjadi hanya pada satu bidang (2-dimensi) yaitu
simpangan suatu massa pada setiap saat hanya mempunyai posisi/ordinat tunggal
sehingga dapat dianggap sebagai satu kesatuan Single Degree of Freedom (SDOF)
dengan parameter displacement yang diukur adalah pada atap. Saat gaya gempa
bekerja, maka gedung akan merespon beban gempa tersebut dengan memberikan
gaya-gaya dalam. Apabila gaya-gaya dalam tersebut melebihi
kemampuan/kapasitas gedung, maka gedung akan berperilaku in-elastis apabila
struktur cukup daktail tetapi langsung hancur apabila kurang daktail.
(Nurchasanah, et, al, 2015).

Gambar 2.5 Respon Struktur Akibat Gempa


(Sumber : Nurchasanah, et, al, 2015)

10
Tujuan nonlinear static pushover analysis adalah mengevaluasi prilaku
seismik struktur terhadap beban gempa, yaitu memperoleh nilai faktor daktilitas
aktual dan faktor reduksi gempa aktual struktur. Dari analisis ini didapat kurva
kapasitas yang menunjukkan hubungan gaya geser dasar (base shear) terhadap
peralihan, yang memperlihatkan perubahan prilaku struktur dari linier menjadi
nonlinear. Hal itu berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan
penuruna kemiringan kurva akibat terjadinya sendi plastis pada kolom dan balok.
(Pranata, 2006).
Beban lateral statik yang mewakili gaya gempa diterapkan pada pusat massa
di setiap lantai. Ada beberapa rumus yang dipakai STERA 3D untuk menentukan
distribusi beban sepanjang ketinggian bangunan, salah satunya yaitu UBC
(Uniform Building Code 1997).

( )
n
F i=( Q B −F t ) wi hi / ∑ w j h j (1-1)
j=1

{
F t= 0.07 T Q B ,if T >0.7 sec
0 ,if T ≤ 0.7 sec
(1-2)

Dimana,

√(∑ )( )
n n
wi δ ÷ g ∑ f i δ i
2
T =2 π i
i=1 i=1 (1-3)

QB = V
3.0 C a
V= W (1-4)
R

Keterangan :
QB = Gaya Geser
T = Periode elastik fundamental getaran dalam hitungan detik
W = Total beban mati seismik
wi, wx =Bagian berat seisimik efektif total struktur (W) yang
dikenakan pada tingkat i atau x

hi , h x = Tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x

11
R = Struktural Sistem. (Tabel 2.1)
Ca = Seismik Koefisien. (Tabel 2.2)

12
Gambar 2.6 UBC Distribusi
(Sumber : STERA Technical Manual V5.8)

Tabel 2.1. Struktural Sistem (Structural System).


HEIGHT LIMIT
FOR SEISMIC
ZONE 3 AND 4
BASIC STRUCTURAL (FEET)
SYSTEM X 304.8 FOR mm
LATERAL-FORCE-RESISTING R °θ
SYSTEM DESCRIPTION
1. Bearing wall system 1. Light-framed wall with shear panels
a. Wood structural panel wall for 5.5 2.8 65
structures three stories or less 4.5 2.8 65
b. All other light-framed wall
2. Shaer wall
a. Concrete 4.5 2.8 160
b. Masonry 4.5 2.8 160
3. Light steel-framed bearing wall with
tension-only bracing 2.8 2.2 65
4. Braced frames where bracing carries

13
gravity load
a. Steel 4.4 2.2 160
b. Concrete 2.8 2.2 -
c. Heavy timber 2.8 2.2 65
2. Building Frame system 1. Steel ecctrically barced frame (EBF) 7.0 2.8 240
2. Light-framed wall with shear panels
a. Wood structural panel wall for 6.5 2.8 65
structures three stories or less
b. All other light-framed wall
3. Shaer wall 5.0 2.8 65
a. Concrete
b. Masonry 5.5 2.8 240
4. Ordinary braced frames 5.5 2.8 160
a. Steel
b. Concrete
5.6 2.2 160
c. Heavy timber
5.6 2.2 -
5. Special concentrically braced frames
5.6 2.2 65
a. steel

6.5 2.2 240


3. Moment-resisting frame 1. special moment-resisting frame (SRMF)
system a. Steel 8.5 2.8 N.L
b. Concrete 8.5 2.8 N.L
2. Masonry moment-resisting wall frame
(MMRWF)
3. Concrete intermediate moment-resisting 6.5 2.8 160
frame ( IMRF)
4. Ordinary moment-resisting frame 5.5 2.8 -
(OMRF)
a. Steel
b. Concrete
5. Special truss moment frames of steel 4.5 2.8 160
(STMF) 3.5 2.8 -
6.5 2.8 240

4. Dual system 1. Shear wall


a. Concrete with SMRF 8.5 2.8 N.L
b. Concrete with steel OMRF 4.2 2.8 160
c. Concrete with concrete IMRF 6.5 2.8 160
d. Masonry with SMRF 5.5 2.8 160
e. Masonry with steel OMRF 4.2 2.8 160
f. Masonry with concrete IMRF 4.2 2.8 -
g. Masonry with masonry MMRWF 6.0 2.8 160

2. Steel EBF
a. With steel SMRF
b. With steel OMRF 8.5 2.8 N.L
3. Ordinary braced frame 4.2 2.8 160
a. Steel with steel SMRF
b. Steel with steel OMRF 6.5 2.8 N.L
c. Concrete with concrete SMRF 4.2 2.8 160
d. Concrete with concrete IMRF 6.5 2.8 -
4. Special concentrically braced frames 4.2 2.8 -
a. Steel with steel SMRF
b. Steel with steel OMRF
7.5 2.8 N.l
4.2 2.8 160
5. Cantilevered column 1. Cantilevered column element 2.2 2.0 357
building system
6. Shear wall-frame 1. Concrete 5.5 2.8 160
interaction system
7. Undefined system - - -

14
Tabel 2.1. Lanjutan

(sumber : UBC, 1997)

Tabel 2.2 Seismik Koefisien (Seismic Coeficient) Ca.


SOIL PROFILE SEISMIC ZONE FACTOR, Z
TYPE Z = 0.075 Z = 0.15 Z = 0.2 Z = 0.3 Z = 0.4
SA 0.06 0.12 0.16 0.24 0.32 Na

SB 0.08 0.15 0.20 0.30 0.40 Na

SC 0.09 0.18 0.24 0.33 0.40 Na

SD 0.12 0.22 0.28 0.36 0.44 Na

SE 0.19 0.30 0.34 0.36 0.36 Na

SF

(sumber : UBC, 1997)

2.4.1 Kurva Kapasitas


Khususnya pada sistem struktur bangunan yang memiliki kinerja rendah
(poorer performance levels), prosedur analisis nonlinier (statik dan dinamik)
diperlukan untuk memprediksi prilaku struktur di daerah inelastiknya (paska
elastik). Perilaku inelastik sturktur ini diharapkan mampu memberikan kapasitas
cukup dalam menahan kebutuhan gempa dengan probalistik tertentu (desain).
Kemampuan struktur akan berkaitan langsung dengan kapasitas struktur tersebtu
dalam mengakomodasi kebutuhan. Dengan kata lain, struktur memiliki kapasitas
untuk menahan kebutuhan gaya gempa desain sedemikian sehingga kinerja
struktur sesuai dengan tujuan desain. Perilaku inelastik (paska elastik) struktur
direpresentasikan dengan adanya sendi-sendi plastis yang terbentuk pada kaki-
kaki kolom dan balok, seperti diperlihatkan pada gambar 2.7. (Diktat modul
pelatiahan performance-based design bangunan tahan gempa)

15
Gambar 2.7 Perilaku Inelastik Struktur Portal Kolom-Balok
(Sumber : Diktat Modul Pelatiahan Performance-based Design Bangunan
Tahan Gempa)

Analisis pushover nonlinear yang telah dijelaskan sebelumnya akan


memberikan sebuah kurva kapasitas (gaya geser – deformasi atapa). ATC-40
mendefinisikan beberapa daerah di daerah elastik dan inelastik dari kurva
kapasitas yang diperoleh. Gambar 2.8 memperlihatkan definisi daerah kinerja
pada kurva kapasitas.

Gambar
2.8 Kurva Kapasitas dan Definisi Daerah Kinerja
(Sumber : ATC-40, 1996)

Kurva kapasitas (yang didefinisikan sebagai gaya geser dasar dan


perpindahan atap) kemudian diubah menjadi spektrum kapasitas (capacity
spectrum) dalam format ADRS (Accleration Displascement Response Spectra).
(Diktat modul pelatiahan performance-based design bangunan tahan gempa).
Persamaan yang digunakan antara lain :

PF 1 ( MPF ) =¿
(1-5)

(1-6)
16
a 1 ( MMPF )=¿ ¿

V /W (1-7)
Sa =
a1

∆roof (1-8)
Sd =
PF 1 φroof , 1
Dimana :
PF1 = Faktor partisipasi modal untuk mode pertama (MPF)
a1 = koefisien massa modal untuk mode pertama (MMPF)
wi/ q = massa pada level/timgkat ke-i
φ i1 = besaran mode 1 pada level/tingkat ke-1
N = level/tingkat N, level struktur tertinggi
V = Gaya geser dasar
W = Beban mati gedung ditambah beban hidup tereduksi (25%)
∆ roof = Perpindahan atap (V dan Δroof acuan membentuk kurva kapasitas)
Sa = Spektra akselerasi
Sd = Spektra perpindahan/deformasi (Sa dan Sd acuan membentuk spektrum
kapasitas)

Gambar 2.9 Spektrum Kapasitas – Respon Spektra Standar dan ADRS


(Sumber : ATC-40, 1996)

2.4.2 Kurva Spektrum Kapasitas (Respons Spektrum)

17
Pergerakan tanah yang terjadi selama gempa menghasilkan pola
perpindahan horisontal yang kompleks pada struktur. Pola perpindahan itu
bervariasi dari waktu ke waktu. Metoda analisis nonlinear dinilai lebih mudah dan
langsung untuk menggunakan perpindahan lateral. Untuk sebuah struktur dan
pergerakan tanah (ground motion), kebutuhan perpindahan memprediksi respons
maksimum struktur yang diperkirakan terjadi saat pergerakan.
Untuk menentukan kesesuaian level kinerja, perpindahan yang terjadi pada
kurva kapasitas harus ditentukan secara konsisten dengan kebutuhan gempa.
Metoda spektrum kapasitas merupakan metoda yang sudah banyak dikenal dan
diintegrasikan pada perangkat lunak yang ada. Perpindahan kebutuhan (demand
deformation) pada metoda spektrum kapasitas terjadi pada suatu titik di spektrum
kapasitas yang disebut titik kinerja (performance point). (Diktat modul pelatiahan
performance-based design bangunan tahan gempa).
Pembuatan kurva kebutuhan (respons spektrum) berdasarkan SNI 03-1726-
2012 ditentukan berdasarkan pembagian wilayah-wilayah kerawanan terhadap
gempa. Pada gambar 2.10 ditampilkan respons spektrum Kota Padang dalam
format tradisional yang dibentuk berdasarkan jenis tanah yang berbeda.

1
RESPON SPEKTRUM
TANAH SEDANG
AKSELERASI SPEKTERA Sa (g)

0.8

0.6

0.4

0.2

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Waktu (Detik)

Gambar 2.11 Respons Spektrum Standar Kota Padang


(Sumber : Puskim.PU.go.id)

RESPON SPEKTRUM
PEKTRA Sa (g)

0.8
18

0.6
0.4

AKSELERA
0.2

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
PERPINDAHAN SPEKTRA Sd (cm)

Gambar 2.12 Respons Spektrum Kota Padang Dalam Format ADRS

Respons spektrum standar (Sa, T) diubah kedalam format ADRS (Sa, Sd)
menggunakan persamaan 1-9 sehingga hasil kurva kebutuhan dapat dilihat pada
gambar 2.12.
2
T (1-9)
Sd = 2 S a .( g)

2.5 Respon Struktur Terhadap Gempa


Analisis respon struktur terhadap gempa bertujuan untuk mengetahui kinerja
dari rangka struktur bangunan pada saat gempa terjadi. Pada penelitian ini penulis
menggunakan data rekaman pergerakan tanah (ground motion) yang terjadi pada
saat gempa sumatera 2009. Rekaman pergerakan tanah tersebut tercatat pada alat
seismograf yang terletak di PLTA Singkarak. gambar 2.12, 2.13, dan 2.14
memperlihatkan rekaman pergerakan tanah pada saat gempa 2009.

Gambar 2.12 Rekaman Pergerakan Tanah Arah Timur-Barat

19
Gambar 2.13 Rekaman Pergerakan Tanah Arah Utara-Selatan

Gambar 2.14 Rekaman Pergerakan Tanah Arah Atas-Bawah

Mengacu kepada peta ancaman gempa (seismic hazard) yang dikeluarkan


oleh USGS (United States Geological Survey) pada tahun 2007, gambar 2.15,
maka rekaman pergerakan tanah tersebut dinilai terlalu kecil. Maka daripada itu
rekaman pergerakan tanah yang tercatat pada alat seismograf yang terletak di
PLTA Singkarak dikonfersikan untuk mendekati angka pada peta ancaman gempa
(seismic hazard) yang dikeluarkan oleh USGS (United States Geological Survey),
dan durasinya
dipersingkat dari 160 detik
menjadi 60 detik, seperti
diperlihatkan pada gambar
2.16, 2.17, dan 2.18.

20
Gambar
2.15 Peta
ancaman gempa
(Sumber : USGS,
2007)

Gambar 2.16 Rekaman Pergerakan Tanah Arah Timur-Barat


Setelah Dikonfersi

21
Gambar 2.17 Rekaman Pergerakan Tanah Arah Utara-Selatan
Setelah Dikonfersi

Gambar
2.18
Rekaman
Pergerakan Tanah
Arah Atas- Bawah
Setelah
Dikonfersi

2.6 STERA 3D
STERA 3D (Structural Earth Response Analysis 3D) adalah perangkat
lunak komputer terpadu untuk analisis seismik bangunan baja dan beton bertulang
dalam ruang tiga dimensi yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Taiki Saito dan
dibagikan secara gratis untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Perangkat lunak
itu dikembangkan sejak tahun 2007. STERA 3D memiliki tampilan visual untuk
membuat model bangunan dan hasil yang mudah dan cepat. gambar 2.19
menunjukan model elemen yang digunakan STERA 3D. Balok dimodelkan
sebagai elemen garis dengan gaya lentur nonlinier pada kedua ujungnya. Sebuah
kolom dimodelkan dengan cara yang sama, dan interaksi nonlinier antara gaya
aksial dan momen dinyatakan dengan menggunakan gaya aksial beton dan baja
yang diatur dalam bagian kedua ujungnya. (M.Afifuddin, M.Panjaitan, D.ayuna,
2016).

22
Gambar 2.19 Model Nonlinier yang Digunakan Pada STERA 3D
(Sumber : STERA Technical Manual V5.8)

23

Anda mungkin juga menyukai