Anda di halaman 1dari 44

TUGAS 2

Konstruksi Beton
Dosen : Dr. Ir. Abd. Rahman Djamaluddin, MT

Oleh :

Tina
D081181003

DEPARTMEN TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Balok merupakan elemen struktur yang sangat penting disuatu bangunan.
Dalam perencanaan konstruksi balok direncanakan kuat menahan gaya-gaya yang
mungkin akan terjadi sesuai perhitungan beban, baik berupa gaya vertikal maupun
gaya horisontal. Balok merupakan struktur lentur yang mempunyai karakteristik yang
sangat rumit karena banyak gaya-gaya yang diterimanya sehingga rawan terjadinya
kerusakan.
Beton bertulang merupakan material yang digunakan pada sebagian besar
konstruksi bangunan, baik besar maupun kecil, misalnya gedung, bendungan, jembatan
dan masih banyak lagi. Beton bertulang terdiri dari campuran beton yang
dikombinasikan dengan tulangan baja, dimana beton berfungsi menahan gaya tekan
yang diakibatkan oleh beban yang diberikan sedangkan tulangan baja berfungsi untuk
menahan gaya tarik yang tidak dimiliki oleh beton.
Salah satu kontruksi yang sering digunakan dalam pembagunan suatu gedung
adalah beton bertulang. Kontruksi balok dengan mengunakan beton bertulang ini
dimaksudkan agar balok dapat memiliki gaya lentur dan mempunyai kekakuan
sehingga dapat menerima beban dan gaya-gaya yang bekerja pada konstruksi suatu
bangunan. Suatu pembangunan tentunya mengharapkan kontruksi bangunan
direncanakan sesuai dengan harapan, terutama mengenai keamanan konstruksi, maka
dari itu sebelum mengerjakan suatu konstruksi gedung harus dilakukan analisis
struktur dengan benar dan berpedoman pada peraturan SNI-03-2847- 2002 dan SNI-
2847-2013 tentang perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung.
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Umum

Beton bertulang adalah material yang terdiri atas beton dan baja tulangan. Beton

merupakan material yang kuat dalam menahan tekan, namun lemah dalam

menahan tarik sehingga terjadi retak ketika menerima beban yang melebihi kuat

tariknya karena itu ditanamkan tulangan baja agar dapat menahan tegangan tarik

yang akan diterima struktur beton bertulang tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa

kunci desain struktur beton bertulang adalah letak penempatan baja tulangan agar

tepat berada pada daerah tegangan tarik yang akan diterima. Kombinasi beton dan

baja membuat beton bertulang menjadi material yang berkekuatan tinggi namun

tetap ekonomis.

2.1.1 Konsep Desain

Untuk merencanakan suatu struktur dibutuhkan suatu standart dalam mendesain

agar tujuan perencanaan dapat tercapai. Banyak standart perencanaan beton

bertulang seperti ACI untuk Amerika Serikat, BS untuk Inggris dan SNI untuk

Indonesia. SNI yang mengatur tentang standart perencanaan struktur beton

bertulang di Indonesia adalah SNI 03-2847-2002 dimana dalam pasal 10.1 tertera

ketentuan perencanaan struktur beton bertulang yang berbunyi “Semua komponen

struktur harus direncanakan cukup kuat sesuai dengan ketentuan yang

dipersyaratkan dalam tata cara ini, dengan menggunakan faktor reduksi kekuatan
Ø ditentukan dalam 11.2 dan 11.3”.(SNI 03-2847-2002,hal 51). Terdapat

beberapa kriteria yang harus direncanakan dalam mendesain suatu struktur yaitu :

a. Kemampuan Layan Struktur

Kemampuan layan struktur meliputi kekakuan,kekuatan dan kestabilan struktur.

Setiap komponen struktur harus dirancang untuk mampu menahan beban-beban

yang bekerja sehingga tidak terjadi kegagalan struktur

b. Kebutuhan Fungsi Bangunan

Suatu struktur harus dirancang untuk mampu berfungsi sesuai kebutuhannya agar

desain strukturnya dapat menjadi hemat dan efisien.

c. Ekonomis

Suatu desain struktur harus dirancang sesuai budget yang telah ditentukan agar

kebutuhannya terpenuhi tanpa mengurangi spesifikasi tertentu.

2.1.2 Beban-Beban Pada Struktur

Dalam melakukan analisis desain pada struktur, perlu memperkirakan secara

akurat beban-beban yang akan diterapkan pada struktur serta besarnya beban yang

bekerja pada struktur tersebut. Perencanaan bangunan konstruksi beton bertulang

pada umumnya berdasarkan pada keadaan batas atau ultimit. Analisis struktur

dikerjakan untuk berbagai kombinasi pembebanan ultimit untuk mendapatkan

gaya dalam desain berdasarkan keadaan ekstrem yang mungkin terjadi.

1. Beban Mati

Beban mati adalah berat struktur gedung yang memiliki besar yang konstan

dan terdapat pada satu posisi tertentu. Adapun berat sendiri struktur untuk
bangunan beton bertulang adalah pelat, balok kolom, dinding, langit-langit,

tangga, dan saluran air. Semua motode untuk menghitung beban mati adalah

untuk menghitung elemen didasarkan atas peninjauan berat suatu material yang

terlibat berdasarkan volume elemen tersebut.

2. Beban Hidup

Beban hidup adalah beban yang letaknya dapat berubah, bisa ada atau tidak ada

pada waktu tertentu pada struktur. Beban hidup meliputi beban orang, barang-

barang gudang, dan beban peralatan yang sedang bekerja. Meskipun dapat

berpindah-pindah, beban hidup masih dapat dikatakan bekerja secara perlahan-

lahan pada struktur.

3. Beban Gempa

Gempa merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat dihindari. Banyak

tempat di dunia yang berada pada daerah gempa, salah satunya adalah

Indonesia. Oleh sebab itu, pada daerah yang rawan gempa perlu

memperhitungkan beban gempa dalam desain semua jenis struktur.

Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.1.1, standar ini menentukan

pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur

gedung. Gempa rencana merupakan beban gempa yang ditetapkan mempunyai

periode ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama

umur gedung 50 tahun.

Untuk struktur beton bertulang yang berada di wilayah rawan gempa harus

didesain sebagai struktur strong column weak beam (Gambar 2.1). Maksudnya

kolom didesain harus lebih kuat dari balok, sehingga jika terjadi gempa kuat,
pada balok akan terjadi kerusakan, namun kolom masih dapat berdiri dengan

baik sehingga nyawa manusia yang berada didalam bangunan dapat

terselamatkan (SNI 03-1726-2002).

Gambar 2.1 Kolom kuat balok lemah

Menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan

terbagi dalam 6 Wilayah Gempa, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah

dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan

paling tinggi.

Data-data untuk menentukan beban gempa rencana antara lain:

1. Faktor Keutamaan (I) menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab 4.1.2

I = I1 . I2 (2.1)

dimana:

I = faktor keutamaan.

I1 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan perode ulang gempa

berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu

selama umur gedung.


I2 = faktor keutamaan untuk menyelesaikan peride ulang gempa

berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut.

Adapun Faktor-faktor Keutamaan I1, I2, dan I sebagai berikut:

Tabel 2.1 Faktor Keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan


bangunan

Faktor Keutamaan
Kategori Gedung
I1 I2 I

Gedung umum seperti untuk


penghunian, perniagaan dan
1,0 1,0 1,0
perkantoran

Momen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6

Gedung penting pasca gempa seperti


rumah sakit, instalasi air bersih,
pembangkit tenaga listrik, pusat 1,4 1,0 1,4
penyelamatan dalam keadaan darurat,
fassiliras radio dan televisi.

Gedung untuk menyimpan bahan


berbhaya seperti gas, produk minyak 1,6 1,0 1,6
bumi, asam, bahan beracun.

Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5

SNI 03-1726-2002

2. Faktor reduksi gempa (R) menurut peraturan SNI-03-1726-2002, sub bab

4.3.3

1,6 ≤ R = µ . f1 ≤ Rm (2.2)

dimana:
R = faktor reduksi gempa

µ = faktor dakrilitas untuk struktur gedung


f1 = faktor kuat lebih beban beton dan bahan 1,6

Rm = faktor reduksi gempa maksimum

Nilai R dan µ ditetapkan berdasarkan tabel 2.2

Tabel 2.2 Parameter daktilitas struktur gedung

Taraf kinerja struktur R


gedung µ pers.(6)
Elastik penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial 3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5

SNI-03-1726-2002

3. Faktor Respon Gempa (C1)

Nilai respon gempa didapat dari spectrum respon gempa rencana untuk

waktu getar alami fundamental (T) dari struktur gedung. Nilai ini

bergantung pada:

1. Waktu getar alami struktur (T), dinyatakan dalam detik.

T = 0,06 H3/4 (2.3)

dimana:

H = tinggi struktur bangunan (m)


2. Nilai respon gempa juga tergantung dari jenis tanah. Berdasrkan SNI

03-1726-2002, jenis tanah dibagi menjadi tiga bagian yaitu tanah

keras, sedang dan lunak.

Tabel 2.3 Jenis-jenis tanah

Nilai respons gempa ditentukan berdasarkan 6 wilayah rawan gempa

(Gambar 2.2) untuk setiap jenis tanah. Berdasarkan SNI 03-1726-2002

nilainya bergantung pada waktu getar alami struktur dan kurvanya

ditampilkan dalam spektrum respons gempa rencana (Gambar 2.3).

Gambar 2.2 Peta wilayah gempa Indonesia (SNI 03-1726-2002)


Gambar 2.3 Respons spektrum gempa rencana (SNI 03-1726-2002)

2.1.3 Analisi Struktur Secara Statik Ekivalen

Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk dapat menahan

suatu beban geser dasar horizontal total akibat gempa (V), yang ditentukan

menurut rumus sebagai berikut:

(2.4)
dimana:

V = gaya geser horizontal total akibat gempa

C1 = faktor respon gempa

I = factor keutamaan

R = factor reduksi gempa

Wt = berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai.

Beban geser dasar akibat gempa (V) harus dibagukan sepanjang tinggi bangunan

gedung. Beban ini dibagi menjadi beban-beban horizontal terpusat yang bekerja

pada masing-masing tingkat lantai menurut rumus berikut:

Wi . zi
Fi = n
V (2.5)
W
i =1
i . zi

Dimana:

Fi = gaya lateral yang bekerja pada lantai ke-i

Wi = berat lantai tingkat ke-i

zi = tinggi lantai ke-I diukur dari penjepitan lateral

V = gaya geser dasar, jika  3 maka 0,1 V harus dianggap terpusat pada

massa lantai tingkat paling atas, sisanya 0,9 V harus dibagi sepanjang tinggi

struktur gedung sesuai rumus (2.5).


2.1.4 Metode Desain

Ada dua metode dasar dalam merencanakan elemen struktur beton bertulang

yaitu:

a. Metode Beban Kerja (Working Stress Design/Elastic Design)

Unsur Struktur direncanakan terhadap beban kerja sedemikian rupa sehingga

tegangan yang terjadi lebih kecil dari pada tegangan yang diizinkan, yaitu :

 (2.6)

Keterangan :

 : Tegangan normal

 : Tegangan izin

Pada metode ini kekuatan bahan dikalikan dengan factor reduksi sehingga kuat

bahan dalam perencanaan bukan kuat bahan maksimal, misalnya nilai kuat kolom

beton bertulang direduksi menjadi 0,33 fc’.Hal ini dilakukan untuk memberi batas

keamanan atas asumsi-asumsi yang tidak pasti dilapangan. Namun beban yang

diberikan sesuai dengan kenyataan dilapangan, misalnya beban mati dan beban

hidup (D+L).

b. Metode Kekuatan Batas/Ultimit

Dengan metode ini, unsur struktur direncanakan terhadap beban terfaktor

sedemikian rupa sehingga unsur tersebut mempunyai kuat rencana yang

diinginkan, yaitu :

Mu ≤ ØMn (2.7)

Keterangan :
Mu : Momen yang boleh bekerja pada penampang

Ø : Faktor reduksi

Mn : Momen yang bisa ditahan oleh penampang

Batas keamanan diberikan dengan faktor pengali tertentu pada beban sesuai

dengan peraturan yang berlaku, selain itu dalam perencanaannya masih ada faktor

reduksi kekuatan sehingga keamanannya menjadi berlapis-lapis.Terkadang hal ini

malah menyebabkan terjadinya overstrength atau perbesaran dimensi struktur.

SNI-03-2847-2002 nilai-nilai beban yang harus diberikan adalah sebagai berikut :

U1 = 1,4D

U2 = 1,2D + 1,6L ± 0,5(A atau R)

U3 = 1,2D + 1,0L ± 1,6W ± 0,5(A atau R)

U4 = 0,9D + 1,6W

U5 = 1,2D + 1,0L ± 1,0E

U6 = 0,9D + 1,0E

Keterangan :

D = beban mati

L = beban hidup

E = beban gempa

W = beban angina

A = beban atap

R = beban hujan
Pada Working Stress Method perencanaannya berdasarkan daerah elastis hingga

batas elastis,sedangkan pada Ultimate Design Method berdasarkan daerah plastis

hingga batas ultimit.

2.2 Balok

2.2.1 Konsep Dasar

Balok adalah salah satu elemen struktur bangunan yang akan mengalami lentur

akibat beban luar yang bekerja padanya. Berdasarkan teori elastic, distribusi

tegangan normal pada penampang akibat momen lentur (M) dapat dituliskan pada

persamaan 2.3, namun rumus ini hanya berlaku bila penampang balok beton tanpa

tulangan belum retak

Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Elastik pada Balok ( MacGregor,1997)

 My
= (2.8)
I

Keterangan :
 = Tegangan Normal

M = Momen yang bekerja pada penampang

y = Jarak dari sumbu netral

I = Momen inersia penampang

Rumus di atas tidak dapat digunakan dalam desain balok beton bertulang karena

rumus di atas hanya berlaku untuk penampang beton tanpa tulangan sedangkan

dalam mendesain balok beton bertulang, tulangan baja dibutuhkan untuk

mentransfer gaya tarik pada saat terjadi retak di bagian tarik balok.

Umumnya ada 2 jenis perhitungan yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi

penampang beton bertulang, yaitu analisis dan desain. Pada perhitungan analisis,

kita diminta untuk menghitung tahanan atau kapasitas penampang berdasarkan

data yang ada. Sedangkan pada perhitungan desain, kita diminta memilih

penampang yang cocok untuk menahan gaya-gaya yang ada.

2.2.2 Analisis dan Desain

Dalam menganalisis ataupun mendesain suatu penampang beton bertulang

berdasarkan teori lentur, kita memerlukan beberapa asumsi berikut yang sesuai

dengan SNI 03-2847-2002 :

1. Penampang tegak lurus sumbu lentur yang berupa bidang datar sebelum

lentur akan tetap berupa bidang datar setelah lentur (Pasal 12.2(2))

2. Regangan pada baja sama dengan regangan pada beton pada level yang sama

(Pasal 12.2(2))
3. Tegangan pada beton dan tulangan dapat dihitung dari regangan dengan

menggunakan hubungan tegangan-regangan beton dan baja (Pasal 12.2(4))

4. Untuk perhitungan kekuatan lentur penampang, kuat tarik beton diabaikan

(12.5(5))

5. Beton diasumsikan runtuh pada saat regangan tekannya mencapai regangan

batas tekan (12.2(5))

6. Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan tekan beton

boleh diasumsikan berbentuk persegi, trapesium, parabola, atau bentuk

lainnya yang menghasilkan perkiraan kekuatan yang cukup baik bila

dibandingkan dengan hasil pengujian.

7. Ketentuan 12.2(6) dapat dipenuhi oleh suatu distribusi tegangan beton

persegi ekuivalen yang didefinisikan sebagai berikut :

• Tegangan beton sebesar 0.85fc’ diasumsikan terdistribusi secara

merata pada daerah tekan ekuivalen yang dibatasi oleh tepi

penampang dan suatu garis lurus yang sejajar dengan sumbu netral

sejarak a = β1c dari serat dengan regangan maksimum

• Jarak c dari serat dengan regangan maksimum kesumbu netral

harus diukur dalam arah tegaklurus terhadap sumbu tersebut.

• Faktor β1 harus diambil sebesar 0.85 untuk beton dengan nilai kuat

tekan fc’ lebih kecil dari pada atau sama dengan 30 Mpa. Untuk

beton dengan nilai kuat tekan diatas 30 Mpa, β1 harus direduksi

sebesar 0.05 untuk setiap kelebihan 7 Mpa diatas 30 Mpa, tetapi β1

tidak boleh kurang dari 0.65


a. Analisis Balok Persegi Dengan Tulangan Tarik Saja

1. Persamaan Mn dan ØMn pada kondisi tulangan tarik Leleh

Gambar 2.5 Tegangan dan Gaya pada Balok dengan Tulangan Tarik Saja
(Pan Austin, 2005)

Pada gambar diatas, gaya tekan C (Nc) pada beton adalah :

C = (0.85 fc')ab (2.9)

Dan gaya tarik baja adalah :

T = As. fy (tulangan tarik sudah leleh) (2.10)

Keseimbangan gaya horizontal pada penampang mensyaratkan C = T sehingga:

As. fy
a= (2.11)
0.85 fc'.b

Mn dapat dihitung sebagai berikut :


2. Persamaan Mn dan ØMn pada kondisi seimbang

Gambar 2.6 Diagram Regangan untuk kondisi keruntuhan seimbang


Regangan maksimum (εb) yang dapat dimanfaatkan pada serat tekan terluar

adalah 0.003. Maka berdasarkan hukum perbandingan segitiga berlaku rumus :

cb  cu 0.003
= = (2.14)
d  cu +  y 0.003 + ( fy / Es)

Jika diambil Es = 200000 maka persamaan tersebut akan menjadi :

cb  cu 0.003 600
= = = (2.15)
d  cu +  y 0.003 + ( fy / 200000) 600 + fy
Karena jenis keruntuhan pada balok beton bertulang bergantung pada rasio

tulangan yang dimiliki penampang, maka akan ada rasio tulangan dimana

keruntuhan yang terjadi bersifat balance atau seimbang. Pada kondisi seperti itu:

As. fy b . fy.d As
ab = = , dimana b = (2.17)
0.85. fc.b 0.85. fc bd

Karena ab = 1.cb , maka :

cb b. fy
= (2.18)
d 0.85.1. fc

cb
Jika nilai ini disubtitusikan pada persamaan sebelumnya, maka :
d

Berdasarkan persamaan ini, dapat ditentukan apakah fs = fy ,

• Jika   b → kondisi “under reinforced” ( fs = fy)

• Jika   b → kondisi “over reinforced” ( fs  fy)

SNI mensyaratkan maksimum adalah 0.75 b (Pasal 12.3(3)), hal ini digunakan

untuk menghindari terjadinya keruntuhan getas pada elemen struktur.

2.2.3 Retak Pada Balok

Ketika beban diberikan pada balok maka akan menimbulkan gaya dalam yaitu

gaya geser dan momen lentur pada penampang dari balok tersebut. Gaya geser

akan menyebabkan tegangan geser. sementara momen lentur akan menyebabkan

kondisi tarik dan tekan. Kedua gaya dalam tersebut bisa menyebabkan retak pada

beton bertulang saat tegangan yang timbul lebih besar dari kekuatan beton.
Balok beton dapat retak ketika menahan momen lentur. Sewaktu serat bawah

tertarik (momen positif), beton sebenarnya bisa menahan tegangan tarik tersebut,

tetapi seperti kita ketahui bahwa kuat tarik beton sangat kecil.

SNI-03-2847-2002 membatasi untuk beton normal, kekuatan beton dalam

menahan tarik akibat lentur adalah :

fr = 0.7 fc' (2.20)

Keterangan :

fc’ = kekuatan tekan karakteristik beton

Pada balok kita hanya membahas retak yang disebabkan oleh momen lentur

karena hal tersebut merupakan hal yang paling dominan. Momen lentur ini akan

menyebabkan kondisi tekan dan tarik pada serat beton. Ketika momen lentur

menyebabkan keadaan dimana tegangan tarik yang terjadi lebih besar dari

kekuatan tarik balok,maka akan terjadi retak Momen yang menyebabkan retak

untuk yang pertama kalinya disebut momen retak (Mcr)

Pada balok sederhana, kurva dari momen –lendutan akan ditunjukan pada gambar

di bawah. Sebelum terjadi retakan,kekakuan balok adalah EIg atau EIucr, dimana

Ig adalah luasan utuh dari inersia balok.dan Iucr adalah momen inersia dalam

kondisi utuh. Setelah retak kekakuan balok menjadi EIcr, dimana Icr adalah

momen inersia dari balok yang sudah retak

Saat Momen maksimal Ma akibat beban layan,balok akan mengalami lendutan

sebesar δ1+δ2 dimana δ1 adalah lendutan sebelum terjadi retak dan δ2 merupakan

lendutan setelah retak. Jika kita menghitung lendutan secara teoritis dengan
momen inersia sebelum retak, lendutan akan sebesar δ3 yang lebih kecil dari

δ1+δ2.

Maka sesungguhnya balok beton bertulang mengalami retak saat diberi beban

layan namun masih memiliki elastisitas.

Gambar 2.7 Daerah dari pembebanan dan retak pada balok beton bertulang
sederhana saat diberi beban layan. Region 1: utuh. Region 2 : Retak
(MacGregor,1997)

Gambar 2.8 Kurva antara momen elastis dan lendutan yang menggambarkan
kondisi, utuh, aktual, and retak. Ma adalah momen lentur maksimal
saat beban layan (Shahab,Z.A,1995)
Gambar 2.9 Retak, regangan dan tegangan pada uji coba balok
(MacGregor,1997)
2.2.4 Momen Retak

Jika momen inersia pada beton bertulang dilambangkan dengan I dan jarak dari

serat tarik terjauh dari garis netral adalah y, maka momen retak yang terjadi

I
sebesar : Mcr = fr (2.21)
y

Ketika diberikan beban layan, balok beton bertulang dapat mengalami retakan

pada tempat dimana momen lentur lebih besar dari momen retak. Retakan

membuat area yang utuh pada balok berkurang dan merubah kekakuan balok

tersebut karena momen inersianya juga berkurang. Momen inersia sesudah retak

(Icr) tergantung pada area yang tersisa dan baja tulangan.

Beberapa eksperimen menunjukan bahwa beton bertulang mengalami retak pada

saat diberi beban layan.

2.2.5 Momen Inersia Retak Balok

Saat penampang dari balok mengalami retak,wilayah yang mengalami tarik akan

berubah dan area yang masih efektif hanya terdiri dari beton dan baja yang masih

dalam keadaan elastis.

Gambar 2.10 Penampang utuh, Penampang retak dan transformasi penampang


Mula-mula tulangan pada beton dirubah menjadi beton dengan rasio modulus

elastisitas (n) :

Es
n= (2.22)
Ec

Untuk menghitung jarak aksis netral retakan dari serat regangan (c) kita

mengambil momen statis dari garis netral dari dari area sisa dan momen statisnya

dianggap nol.
1
Sx = bc 2 + nAs' (c − d ) − nAs(d − c)
12
1 2
bc + c(nAs + nAs') − (nAsd + nAs' d ) = 0 (2.23)
12

Kemudian

− n( As + As') + n 2 ( As + As') 2 + 2bn( Asd + As' d ')


C= (2.24)
b

Keterangan :

Sx = Momen statis disekitar garis netral

d = Tinggi balok

d’ = Selimut beton

As = Luas tulangan tarik longitudinal

As’ = Luas tulangan tekan longitudinal

Kemudian kita dapatkan Momen inersia retak

1
Icr = bc 3 + nAs(d − c) 2 + nAs'(c − d ' ) 2 (2.25)
3
2.2.6 Momen Inersia Efektif Pada Balok

Jika balok retak pada tempat dimana momen lentur lebih besar dari momen retak,

maka momen inersia secara keseluruhan dari balok tersebut akan mengecil.

Momen inersia yang baru ini disebut momen inersia effektif

Branson menjabarkan secara empiris momen inersia effektif sebesar


2.3 Kolom

2.3.1 Konsep Dasar

Kolom adalah elemen vertikal yang menerima beban tekan aksial, dengan atau

tanpa momen. Ukuran penampang suatu kolom biasanya adalah tingginya. Kolom

menerima beban dari balok, lantai dan atap kemudian menyalurkannya ke

pondasi. Dalam konstruksi, balok dan pelat lantai terlebih dahulu

dikerjakan,setelah balok dan pelat mempunyai kekuatan yang cukup untuk

menerima beban kemudian kolom dibangun untuk membangun lantai berikutnya.

Ada tiga tipe kolom yang biasa digunakan, yaitu :

a. Kolom persegi dengan tulangan longitudinal dan tulangan pengikat lateral.

Kolom ini merupakan kolom beton yang ditulangi dengan tulangan pokok

memanjang, yang pada jarak spasi tertentu diikat dengan pengikat sengkakng

kea rah lateral sedemikian rupa sehingga penulangan keseluruhan membentuk

rangka.

b. Kolom bundar dengan tulangan longitudinal, spiral, dan pengikat lateral.

Kolom ini berbentuk bundar dan tulangannya berbentuk spiral yang dililitkan

keliling membentuk heliks menerus di sepanjang kolom.

c. Kolom komposit dimana profil baja ditanam dalam baton tersebut.

Komponen struktur tekan yang diperkuat pada arah memanjang dengan profil

baja yang berbentuk pipa, I, dll, dengan atau tanpa diberi tulangan pokok

memanjang.
Gambar 2.11 Jenis-Jenis Kolom

Keruntuhan pada kolom dapat disebabkan oleh :

• Kelelehan tulangan pada zona tarik

• Crushing beton pada zona tekan

• Tekuk pada kolom langsing

Keruntuhan karena kelelehan tulangan pada zona tarik dan crushing beton pada

zona tekan terjadi pada kolom pendek. Pemisahan atas kolom pendek dan kolom

langsing didasari atas nilai rasio kelangsingan kolom, menurut SNI Beton pasal

12.12.2 suatu kolom didefinisikan sebagai kolom pendek bilamana dipenuhi :


Keterangan :

k = faktor panjang efektif komponen struktur tekan

lu = panjang bentang komponen struktur lentur yang diukur dari pusat ke pusat

joint

r = radius girasi penampang komponen struktur tekan

M1 = momen ujung terfaktor yang lebih kecil dari kolom

M2 = momen ujung terfaktor yang lebih besar dari kolom

M1
M1

M2 M2

Kelengkungan Tunggal Kelengkungan Ganda

Gambar 2.12 Bentuk Kelengkungan pada kolom


2.3.2 Analisis dan Desain

a. Kolom Pendek

Gambar 2.13 Diagram Regangan Akibat Gaya Normal Kosentrik dan Momen

Kekuatan kolom pendek yang dibebani secara konsentrik terbagi atas komponen

sumbangan beton dan sumbangan baja, yaitu :

Poc = 0,85. fc'( Ag − Ast) (2.29)

Penggunaan nilai0,85 dalam perhitungan kekuatan kolom didasari atas adanya

perbedaan kuat tekan beton pada elemen struktur aktual terhadap kuat tekan

beton silinder. Berdasarkan persamaan diatas, kekuatan kolom adalah :

Po = 0,85. fc'( Ag − Ast) + Ast. fy (2.30)

SNI beton pasal 12.3.5 mensyaratkan adanya reduksi kekuatan sedemikian rupa

sehingga :

- Untuk kolom dengan tulangan spiral :

Pn(max) = 0,85(0,85. fc'.(Ag − Ast ) + fy.Ast ) (2.31)

- Untuk kolom dengan tulangan pengikat :

Pn(max) = 0,80(0,85. fc'.(ag − Ast ) + fy.Ast ) (2.32)


Nilai kekuatan nominal diatas harus dikalikan lagi dengan faktor reduksi untuk

elemen struktur tekan sesuai SNI Beton pasal 11.3, yaitu :

 = 0,70 untuk kolom dengan tulangan spiral

 = 0,65 untuk kolom dengan tulangan sengkang

Komponen struktur yang dibebani aksial tekan harus direncanakan terhadap

momen maksimum yang mungkin menyertai beban aksial tersebut.

Gambar 2.14 Notasi dan Perjanjian Tanda Gaya Dalam pada Kolom
(MacGregor,1997)

Dari gambar diatas, diketahui  si = Z.y , dimana Z adalah nilai yang diambil

sembarang. Z bernilaipositif jika regangan tersebut adalah tekan dan jika Z

bernilai negatif maka Z adalah regangan tarik. Berdasarkan hukum perbandingan

garis segitiga diketahui :


Pada persamaan diatas, jarak garis netral c diasumsikan berada dalam daerah d

penampang sehingga tulangan baja pada lokasi d benar-benar mengalami gaya

tarik. Jika Pn = beban aksial dan Pnb = beban aksial yang berkaitan dengan

keruntuhan balance, maka :

Pn  Pnb → keruntuhan tarik

Pn = Pnb → keruntuhan balance

Pn  Pnb → keruntuhan tekan


Berkaitan dengan faktor reduksi, SNI Beton pasal 11.3 memperbolehkan

peningkatan nilai  dari 0,7 ke 0,8 (untuk tulangan spiral) dan dari 0,65 sampai

0,8 (untuk tulangan sengkang pengikat) jika Pn lebih kecil dari pada 0,1Ag. fc'.

Jadi untuk kolom dengan tulangan ikat :

0,15..Pn
 = 0,8 −  0,65 (2.39)
0,1. fc'.Ag

Untuk kolom dengan tulangan spiral

0,15..Pn
 = 0,8 −  0,70 (2.40)
0,1. fc'.Ag

Peningkatan nilai  tersebut secara umum berarti bahwa faktor reduksi 0,65 dan

0,70 diatas hanya diberlakukan jika keruntuhan yang terjadi didahului oleh

keruntuhan tekan. Persamaan di atas dapat diterapkan langsung untuk kolom

dengan :

- fy  400Mpa

- tulangan longitudinal bersifat simetris

h − d − ds
-  0,7
h

Untuk kolom yang lain, Pb harus dihitung terlebih dahulu. Setelah itu, faktor

reduksi bisa dikurangi seperti diatas jika nilai  Pn lebih kecil dari pada 0,1Agfc’

atau  Pb. Jika nilai  Pb lebih kecil dari 0,1Agfc’ maka pembagi pada persamaan

diatas yaitu 0,1Agfc’ diganti  Pb.

b. Perencanaan Kolom

Kapasitas suatu penampang kolom beton bertulang dinyatakan dalam bentuk

diagram interaksi P-M, yang menunjukan hubungan beban aksial dan momen
lentur pada elemen struktur tekan pada kondisi batas. Titik teratas dari diagram

interaksi ini menunjukan Po (tekan aksial murni atau tanpa momen).Zona

dibawah garis Mn adalah daerah yang menunjuka bahwa penampang beton telah

retak dan runtuh. Kondisi balance terjadi ketika ketahanan beton dan baja sama

besar dalam menahan gaya-gaya yang ada. Pada awalnya gaya-gaya tersebut

ditahan oleh kuat tekan beton dan tulangan hingga mencapai titik balance dimana

momen telah mencapai maksimum, setelah beton akan mulai mengalami retak

maka gaya-gaya itu akan ditahan tulangan tarik hingga mencapai titik leleh baja.

Gambar 2.15 Diagram Interaksi P-M


Prosedur untuk merencanakan kolom adalah sebagai berikut :

1. Untuk Pn dan Mn yang bekerja pada penampang, hitung e.

2. Asumsikan dimensi penampang dan rasio tulangannya

3. Hitung Pnb untuk penampang yang diasumsikan tersebut dan tentukan tipe

keruntuhannya

4. Periksa apakah penampang cukup memadai (aman dan ekonomis).

Asumsikan penampang baru jika penampang tidak memadai.

5. Desain tulangan lateral.

Dalam membatasi rasio tulangan, SNI Beton pasal 12.9.1 mensyaratkan sebesar :

0,01    0,08

Walaupun maks dapat diambil sebesar 0,08, pemasangan tulangan dengan rasio

seperti ini sangat sulit dilakukan di lapangan, terutama jika digunakan jenis

sambungan lewatan. Selain itu SNI Beton pasal 12.9.2 juga mensyaratkan jumlah

minimum tulangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

- Jumlah tulangan minimum untuk kolom persegi adalah 4

- Jumlah tulangan minimum untuk kolom bundar adalah 6

Untuk mengasumsikan ukuran kolom dapat menggunakan rumus berikut :

- Untuk kolom dengan tulangan spiral

Pu
Ag  (2.41)
0,5( fc'+ fy.1 ).

- Untuk kolom dengan tulangan pengikat/sengkang

Pu
Ag  (2.42)
0,4( fc'+ fy.1 ).
Ast
Dimana  t =
Ag

Fungsi dipasangkannya tulangan ikat pada kolom adalah sebagai berikut :

- Mengekang tulangan longitudinal terhadap tekuk

- Memberi bentuk pada kolom dan mempertahankan osisi tulangan-tulangan

longitudinal selama pengecoran.

- Memberi kekanganan pada beton

- Sebagai tulangan sengkang

Untuk tulangan spiral,SNI Beton pasal 12.9.3 memberikan batasan minimum

yaitu :

2.3.3 Retak Pada Kolom

Berbeda dengan balok, gaya yang dominan pada kolom adalah gaya normal.

Misalnya gaya tekan.Gaya ini dihasilkan oleh tekanan pada penampang.

Selain gaya normal, momen lentur yang bekerja pada ujung kolom juga

menghasilkan kondisi tarik dan tekan pada penampang. nilai dari gaya tersebut

akan sebesar
P M
f=−  (2.44)
A W

Keterangan :

P = Gaya normal

A = Luas penampang
M = Momen lentur

W = Modulus section pada kolom = I/yt

I = Momen Inersia utuh dari kolom

Yt = Jarak dari serat regang ke garis netral

Akan ada dua kondisi yang terjadi pada penampang kolom yaitu tarik dan tekan,

P M
atau hanya tekan.Jika  maka hanya akan terdapat kondisi tekan pada
A W

P M
penampang. Sebaliknya jika  maka akan ada dua kondisi yang terjadi
A W

yaitu tekan dan tarik.

Retak akan terjadi jika ada kondisi tarik, dan hanya jika tegangan tarik lebih besar

dari kuat tarik atau modulus tarik dari beton.

Gambar 2.16 Penempatan gaya normal dan momen lentur pada penampang yang
menyebabkan kondisi tekan (a) dan kondisi tekan dan tarik (b)

2.3.4 Momen Retak


P M
Jika f = − +  fr , kolom akan retak dan jika f  fr , kolom tidak akan
A W

retak.Sehingga momen retak dapat dituliskan sebagai


P M P
fr = − +  fr = −  (2.45)
Mcr
A W A W

Jadi

P.W
Mcr = fr.W + (2.46)
A

Jika Momen yang bekerja pada kolom kurang dari Mcr, maka kolom tidak

mengalami retak, dan tidak akan ada perubahan momen inersia pada kolom. Jika

terdapat eksentrisitas pada gaya normal P, maka momen retak akan menjadi :

P.W
Mcr = fr.W + − Pe (2.47)
A

Keterangan :

e = eksentrisitas dari gaya normal P

fr = Modulus tarik dari beton

Gambar 2.17 Gaya Normal P dengan eksentrisitas


Karena terdapat gaya normal ( dengan eksentrisitas ) dan gaya lentur pada tiap

bagian kolom, secara prinsip kita dapat menghitung momen retak pada kolom

dengan menggunakan balok yang belum diberi beban.

Menurut brugeling, retak dapat terjadi pada bagian balok yang belum diberi beban

dimana momen M adalah :

M = M 20 + M cr (2.48)

M cr = fcr ( fl )Wc

Gambar 2.18 Kurva momen-balok beton sebelum pembebanan dari Bruggeling.

Keterangan :

M20 = momen lentur dari dekomresi dimana tensile pada serat = 0

Mcr = Momen retak setelah dekomresi


fcr = kekuatan tarik pada beton

Wc = Modulus penampang dari bagian yang utuh

Brugeling menghitung besaran fcr (fl) secara empiris sebesar :

fcr( fl) = (0.8 + 0.26a)−0.6 fcr (2.49)

Keterangan :

a = Tinggi dari daerah tarik pada penampang beton

fcr = Kekuatan beton dalam menahan tarik saat retak

2.3.5 Momen Inersia Retak

Perhitungan dari momen inersia retak untuk kolom sama dengan perhitungan

balok. Branson dan Shaikh mengemukakan bahwa momen inersia retak dari beton

bertulang sebelum diberi beban, sebagian maupun seluruhnya, hampir sama

dengan tulangan beton. Efek dari beton yang belum diberi beban termasuk dalam

Icr, sementara efek dari tulangan yang belum diberi beban tidak termasuk, karena

gaya Pps dihitung sebagai beban buatan. Pendekatan ini dianggap mendekati

dengan hasil-hasil yang didapat dari eksperimen.


Gambar 2.19 Penampang utuh, Penampang retak dan transformasi penampang

Pola dari tahanan kolom berbentuk segiempat yang tengah dibahas ini adalah

simetris dengan total area As.

Pertama-tama, ambil momen statis di sekitar garis netral pada bagian yang telah

ditransformasi. Momen statis ini dianggap nol. Kemudian, jarak dari serat regang

terjauh ke garis netral c dapat dihitung sebesar :


1 1 1
Sx = nAs(c − d ') − nAs(h − d '−c) = 0
bc 2 +
12 2 2
1 2 1
bc + nAs − nAsh = 0 (2.50)
12 2

Kemudian

− nAs + n 2 As 2 + nAsbh
C=
b (2.51)

Dan momen inersia retaknya akan menjadi :


1 1 1
Icr = bc 3 + nAs(c − d ' ) 2 + nAs(h − d '−c) 2 (2.52)
3 2 2

Keterangan :

b = lebar dari bagian kolom

h = tinggi dari bagian kolom


d’ = selimut beton

As = area total tulangan

n = rasio transformasi = Es/Ec

2.3.6 Momen Inersia Efektif pada Kolom

Momen inersia efektif pada kolom yang ramping dapat dihitung dengan

menggunakan pendekatan dari eksperimen balok bertulang yang belum dibebani

maupun dibebani sebagian. Seperti pada kolom, terdapat momen dan gaya normal

pada tiap bagian dari balok yang belum dibebani.

Shaikh dan Branson melakukan eksperimen pada balok bertulang sederhana yang

belum dibebani, baik seluruhnya maupun sebagian. Mereka menemukan bahwa

momen retak pada beban layan setelah dekompresi dan momen inersia efektif

kurang lebih sama dengan tulangan balok tersebut. Maka momen inersia efektif

pada saat terdapat gaya normal dan gaya lendutan adalah sebesar :

Keterangan :

Ig = gaya inersia umum dari balok, dengan mengabaikan tulangan

Icr = momen inersia retak

Ma = momen lendutan maksimum akibat beban layan

Mcr = momen retak


Gambar 2.20 Kombinasi momen pada ujung kolom dan diagram momen

Pada kolom,akan terdapat dua kombinasi momen yang bekerja di ujung dari

kolom (gambar 2.17). Pola dari dua kombinasi ini akan berbeda.

Pada tipe A, retak akan terjadi hanya pada dua ujung (atas dan bawah) sementara

pada tipe B, retak dapat terjadi disepanjang kolom.

Jika kita mengasumsikan momen inersia efektif pada kolom dapat di persamakan

seperti pada balok, maka kita dapat menggunakan persamaan (2-11 & 2-12)

seperti yang disarankan oleh ACI code 318-1989 (revisi 1992) namun harus

diasumsikan juga bahwa kolom tipe A dibagi atas dua bagian, karena arah dari

momen pada ujungnya berubah sepanjang kolom.sehingga pada analisa struktur

kolom dibagi menjadi dua elemen masing-masing separuh dari panjangnya,

dimana Ic dari tiap elemen adalah Ic untuk separuh kolom.

Jika menganalogikan sebagai balok, momen inersia efektif kolom retak yang

terjadi pada Tipe A :

Ie = 0.7Iem + 0.15(Iet + Ieb) (2.54)


Dan pada Tipe B

Ie = 0.85Iem + 0.15Iecont (2.55)

Keterangan

Iem = momen inersia efektif pada pertengahan tinggi kolom

Iet = momen inersia efektif pada bagian atas kolom

Ieb = momen inersia efektif pada bagian bawah kolom

Ie cont = momen inersia efektif pada ujung sambungan kolom

Contoh aplikasi desain balok beton bertulang dan Sketsa gambar beton bertulang

- SAP 200
- ETABS
- SAPCON
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir, kerikil, batu pecah, atau agregat-
agregat lain yang dicampur menjadi satu dengan suatu pasta yang terbuat dari semen dan air
membentuk suatu massa mirip-batuan.
Beton bertulang adalah suatu bahan material yang terbuat dari beton dan baja tulangan.
Kelebihan beton bertulang antara lain, beton memiliki kuat tekan yang relatif lebih tinggi,
Beton bertulang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap api dan air, Struktur beton
bertulang sangat kokoh, Beton bertulang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi,
memiliki usia layan yang sangat panjang, Beton biasanya merupakan satu-satunya bahan yang
ekonomis, kemampuannya untuk dicetak menjadi bentuk yang sangat beragam, membutuhkan
sedikit semen dan tulangan baja, serta Keahlian buruh yang dibutuhkan untuk membangun
konstruksi beton bertulang lebih rendah.
Kelemahan-kelemahan beton bertulang tersebut antara lain, Beton mempunyai kuat tarik
yang sangat rendah, Beton bertulang memerlukan bekisting untuk menahan beton tetap di
tempatnya sampai beton tersebut mengeras, Sifat-sifat beton sangat bervariasi karena
bervariasinya proporsi-campuran dan pengadukannya, Rendahnya kekuatan per satuan berat
dari beton.
Pengetahuan yang mendalam tentang sifat-sifat beton bertulang sangat penting sebelum
dimulai mendesain struktur beton bertulang. Beberapa sifat-sifat beton bertulang antara lain,
Kuat Tekan, Modulus Elastisitas Statis, Modulus elastisitas dinamis, Perbandingan Poisson,
Kuat Tarik, Kuat Geser dan Kurva Tegangan-Regangan.

Anda mungkin juga menyukai